• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEREDUKSI ORGANISASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI MUHAMMADIYAH UNTUK MENUJU PROFESIONALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEREDUKSI ORGANISASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI MUHAMMADIYAH UNTUK MENUJU PROFESIONALISASI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MEREDUKSI ORGANISASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI

MUHAMMADIYAH UNTUK MENUJU PROFESIONALISASI

Ali Imron A.M. Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jl. Ahmad Yani Pabelan Kartasura Tromol Pos 1 Surakarta 57102 Telpon (0271) 717412 Faks 715448 Ponsel: 081329107250

email: aliimron_almakruf@yahoo.com

ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT ABSTRACT

Condition of Indonesian women are now independent politically and rhetorically. Formally, women recognized as equal to men, given equal opportunities and no rejection of something (title for example) with the reason a person is female. The phenomenon of Indonesian women’s movement, including women Muhammadiyah, is now experiencing a shift from concessions toward professionalization. Only problem is, how far women are able to utilize this opportunity to have the competence to compete with men. Therefore, it is necessary to reconceptualize and restructure organizations such as Muhammadiyah, IMM, HMI and so forth that are still in dichotomy male-female.

Key Word: The reduction, an organization of men and women, Muhamma-diyah, professionalization.

(2)

PENDAHULUAN

Di balik keberhasilan gerakan dan kepemimpinan perempuan di berbagai bidang kehidupan, ternyata masih tersimpan mitos perempuan sebagai manusia kelas dua (the sec-ond class, the secsec-ond sex) di dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya masyarakat Indonesia yang masih banyak berpandangan bah-wa perempuan merupakan sosok manusia kelas dua, tetapi juga di berbagai negara terutama negara berkembang. Hal ini tidak terlepas dari pandangan sosiohistoris dan kultural yang membedakan perem-puan dengan laki-laki.

Sejak dahulu hingga kini, secara universal perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan itu tidak hanya tampak dalam biologis atau fisiologis yang terjelma dalam jenis kelamin (seks) tetapi juga dalam pandangan konstruksi sosio-kultural yang lebih dikenal dengan istilah jender. Perempuan sering dikatakan sebagai sosok makhluk yang lembut, indah, tidak asertif, tidak agresif, dan cenderung menga-lah. Adapun laki-laki sering di-tampilkan sebagai sosok manusia yang besar, kokoh, asertif, agresif, dan dominan.

Perbedaan laki-laki-perempuan itu membawa implikasi yang jauh dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam bidang politik, demokrasi, organisasi dan kepemimpinan perempuan. Permasalahannya kini adalah bagaimana pola gerakan dan kepemimpinan perempuan Mu-hammadiyah kontemporer, dan

bagaimana agar gerakan perem-puan Muhammadiyah mampu mengangkat eksistensinya secara mandiri?

MENCARI AKAR SUBORDINASI PEREMPUAN: PENYELEWENG-AN SEJARAH

Meskipun terdapat banyak konsep yang baik mengenai perem-puan, dalam praktiknya fakta me-nunjukkan bahwa perempuan di banyak komunitas berada di bawah dominasi laki-laki. Mau tak mau, keadaan ini telah berarti segalanya bagi perempuan dalam sejarah kebudayaan manusia. Sejarah manusia, baik yang sakral (yang diambil dari kitab-kitab suci atau mitos) maupun yang sekular (yang disusun secara ilmiah) senantiasa menunjukkan sebagai sejarah laki-laki. Dari perspektif sejarah, jelas laki-laki dan perempuan tidak setara. Tegasnya masyarakat di ber-bagai negara mayoritas masih merupakan masyarakat patriarkal.

Dikotomi laki-laki-perempuan juga tercermin dalam pengkotakan “pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan” yang lebih dikenal dengan pembagian kerja secara seksual (sexist). Jelas perbedaan laki-laki-perempuan tidak saja ditentu-kan faktor biologis (tampak pada jenis kelamin) melainkan juga faktor sosial budaya (tercermin dalam jender).

(3)

studi lintas budaya menunjukkan bahwa perempuan selalu berada dalam posisi subordinatif. Karena subordinatif perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka timbullah konsep jender. Sampai saat ini belum ada satu pun teori yang dianggap mam-pu menerangkan akar subordinasi perempuan dengan memuaskan.

Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hierarki jender menu-rut Gailey (1987), ada empat kelom-pok yakni: (1) Teori adaptasi awal, yang berpandangan bahwa adap-tasi awal manusia merupakan dasar pembagian kerja secara seksual, sekaligus menjadi dasar subordinasi perempuan di bawah laki-laki, (2) Teori teknik-lingkungan, yang menyatakan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan pen-duduk sudah menjadi persoalan sejak zaman dulu. Subordinasi perempuan dalam konteks ini berakar pada peran reproduktifnya, (3) Teori sosiobiologi, yang men-jelaskan bahwa dominasi laki-laki muncul sebagai akibat seleksi alam, dalam hal ini berkaitan dengan ketahanan tubuh, dan (4) Teori struktural, yang menyatakan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah dibanding laki-laki, sekaligus otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Karena, perem-puan berhubungan dengan arena domestik, sedangkan laki-laki lebih terlibat dalam arena publik.1

Pembagian bidang kehidupan menjadi sektor publik dan domestik ini dianggap universal. Dasar pem-bagian ini adalah tanggung jawab perempuan dalam proses kehamilan dan perawatan anak. Dengan demikian status relatif perempuan bergantung pada derajat keterlibat-an mereka dalam arena publik dketerlibat-an partisipasi laki-laki dalam arena publik. Teori struktural berargumen-tasi, bahwa subordinasi perempuan itu bersifat kultural, yang berakar pada pembagian kerja berdasarkan jender.

Di pihak lain, seperti kebudaya-an pada umumnya, kebudayakebudaya-an In-donesia menempatkan perempuan

sebagai the second sex ataupun

instrumen bagi laki-laki. Bahkan, konsep kebudayaan Jawa menem-patkan perempaun sebagai konco wingking (teman di belakang). Artinya, perempuan dipandang sekedar teman hidup yang tugasnya di belakang, menangani urusan di rumah tangga. Hal itu tercermin dalam ungkapan-ungkapan prover-bial yang sangat mengagungkan laki-laki.

Padanan perempuan di Jawa adalah wanita: artinya wani ditata, sehingga kebanyakan perempuan Jawa (tradisional) bersikap nerima, termasuk terhadap sikap dan perlakuan laki-laki terhadapnya. Juga lingkup gerakan perempuan bersifat domestik, di seputar rumah

1 Lihat Gailey, Christine Ward. “Evolutionary Perspectives on Jender Hierarchy” dalam

(4)

tangga, berkisar dari dapur ke sumur, dari sumur ke kasur, dari kasur ke dapur, dan begitu seterus-nya. Atau, perempuan itu tugas pokok dan fungsinya adalah masak, macak, lan manak yang berarti memasak, berhias diri dan melahir-kan. Ini berarti perempuan dianggap sekadar menjadi pelayan laki-laki yang tugasnya dari memasak, menyajikannya di meja makan, mencuci pakaian, mematut diri agar suaminya senang, hingga mene-maninya di tempat tidur.2. Lebih ekstrem lagi adalah ungkapan yang menyatakan bahwa istri itu kedu-dukannya di samping suami adalah swarga nunut neraka katut yang berarti kebahagiaan dan/atau penderitaan perempuan/ istri sangat bergantung pada laki-laki/ suami. Itu semua mencerminkan bahwa kedudukan perempuan adalah subordinat laki-laki. Betapa perempuan dianggap tidak mem-punyai peran penting dalam kehi-dupan. Perempuan sekadar “suple-men” bagi laki-laki, tidak memiliki kemandirian dan eksistensi nyata. Perempuan mengalami Cinderella Complex, atau sindrom manusia kelas dua. Ironisnya perempuan seakan dibenarkan masyarakat jika dia cukup mengharap pertolongan laki-laki dalam menghadapi tan-tangan. Akibatnya, perempuan tidak akan dapat berperan banyak sebagai agen perubahan sosial (so-cial agent) yang mampu menentu-kan jalannya sejarah, bahmenentu-kan sering

menjadi manusia yang tertindas oleh sejarah. Manusia yang mampu “menyejarah” demikian memerlu-kan tantangan besar agar dapat berkarya besar. Syarat terpenting untuk itu adalah adanya kebebasan dan kemandirian, meski bukan berarti hidup soliter.

Cinderella Complex yang me-nimpa perempuan kelas menengah ke atas akan menimbulkan ke-mandulan kreativitas. Adapun perempuan kelas bawah, tidak cukup keberanian untuk menentang diskriminasi yang dialaminya. Karena itu, tantangan utama perem-puan sebelum ia menjadi agen perubahan sosial adalah kondisi psikologis dalam dirinya selain sistem patriarkis dalam masyarakat yang sangat tidak kondusif dalam mengangkat kemandirian dan eksistensi perempuan.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan mayoritas beragama Islam, ayat al-Qur’amn atau hadits Rasulullah Saw. Sering menjadi dasar/ alasan yang kurang tepat. Misalnya, ajaran Islam Arrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’, “Laki-laki itu pemimpin bagi

perempuan”3 yang ditafsirkan

secara sempit juga turut mem-pengaruhi pandangan masyarakat terhadap eksistensi perempuan yang berada di bawah dominasi laki-laki. Hal ini mudah dipahami bilamana kita memahami kultur masyarakat Indonesia yang religius, yang

2 lihat Al-Ma’ruf, 1995 3 Q.S. an-Nisa’: 34

- - -

(5)

-menempatkan ajaran agama sebagai landasan hukum dan tradisi ke-hidupannya. Hukum dan tradisi yang terformulasikan dalam pola hidup berakar pada ajaran agama, seperti tercermin dalam ungkapan yang populer di masyarakat Minang.4

Padahal jika dicermati, mesti-nya kata qawwamuna itu bukan berarti ‘laki-laki sebagai pemimpin atau pengatur perempuan’ seperti lazimnya kebanyakan penafsiran orang selama ini. Kata qawwamu merupakan term ekonomis, dan bukan bilogis. Artinya, laki-laki lebih diartikan sebagai pencari nafkah, bukan pemimpin.5 Lebih-lebih jika dicermati ayat berikutnya, Arrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa’ bima fadh-dhalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin wabima anfaqu min amwa-lihim. Artinya, “Laki-laki itu pe-mimpin bagi perempuan karena Al-lah teAl-lah memberikan kelebihan pada yang satu dari yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari hartanya.” Kalimat “Allah telah memberikan kelebihan pada satu dari yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari hartanya”, kiranya jelas menunjukkan (dapat ditafsirkan) bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kelebihan dan keduanya saling melengkapi. Jadi, dalam Islam, laki-laki dan perempuan tidak bersifat hierarkis atau struktural melainkan bersifat fungsional.

Pemahaman ini akan lebih tegas lagi jika kita kaitkan dengan ayat al-Quran yang lain: Hunna libasul lahum waantum libasul lahunna. Artinya, “Mereka (perempuan) itu pakaian (bagi) kamu sekalian (laki-laki), dan kamu sekalian (laki-laki) merupakan pakaian bagi mereka (perempuan)”. Jelas, keduanya — laki-laki dan perempuan— saling melengkapi dan setara, tidak sub-ordinatif.

Dapat pula ditambahkan beta-pa banyak ayat al-Quran yang menyatakan bahwa “Apabila kamu sekalian beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, maka Allah akan memberikan pahala dan surga bagi mereka.” Juga ayat yang menyatakan, “Yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik ketaqwaanya”. Ada juga ayat yang menyatakan bahwa “Seorang laki-laki tidak akan me-nerima hasil suatu pekerjaan kecuali atas usahanya sendiri, demikian pula perempuan tidak akan me-nerima hasil suatu pekerjaan kecuali atas usahanya”. Ayat-ayat itu jelas menegaskan, bahwa siapa yang lebih bertaqwa —baik laki-laki mau-pun perempuan— maka itulah manusia yang paling mulia di hadapan Allah. Sekaligus ayat ini juga menyejajarkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama di mata Allah, hanya bobot ketaqwaanlah yang membuat mere-ka berbeda. Tidak ada pembedaan

4 Hukum basendi adat, adat basendi syara’, syara’ basendi Kitabullah. Artinya, hukum

berlandaskan adat, adat berlandaskan agama, dan agama berlandaskan al-Quran”.

5 lihat pandangan Riffaat Hassan dalam Wajidi, 1995.

- - - -

--

(6)

-laki-laki dengan perempuan. Hal lain yang membuat pan-dangan kultural bahwa perempuan itu sekadar pelengkap laki-laki adalah dongeng tentang Siti Hawa yang terjelma dari tulang rusuk Adam. Cerita ini jelas bukan ber-sumber dari al-Quran (sebab tidak ada satu ayat pun yang menyatakan demikian), melainkan dari kitab-kitab kuno agama Kristen (Per-janjian Lama) dan juga Hadits-hadits —yang tentu saja masih perlu diteliti validitasnya (keshahihan-nya)—. Berdasarkan asumsi bahwa hanya al-Quran satu-satunya kitab yang memiliki otentisitas dan otoritas sebagai sumber yang tak ter-bantahkan, maka jelaslah bahwa tidak satu sumber pun yang valid yang menyatakan adanya subor-dinasi perempuan dari laki-laki.

Dengan demikian, sebenarnya adanya pandangan atau mitos bahwa perempuan itu hanya suplemen atau subordinasi dari laki-laki selama ini merupakan “penyele-wengan sejarah” tentang perem-puan. Oleh karena itu, jika tidak ada penyelewengan sejarah itu maka sebenarnya tidak perlu ada gerakan emansipasi perempuan. Tegasnya, yang diperlukan kini adalah “pelurusan sejarah tentang perem-puan”.

PEMBERONTAKAN KEBUDA-YAAN

Situasi kebudayaan dengan semangat subordinatif perempuan demikian sangat dominan di Indo-nesia hingga pertengahan abad XX.

Kondisi itu harus berakhir dengan datangnya kebudayaan modern. Ketika para kawula muda Jawa terpelajar mendirikan Budi Utomo (BU), maka yang terjadi sesungguh-nya adalah pemberontakan ke-budayaan. Pemberontakan itu sangat penting artinya dalam sejarah Indonesia, karena ia menjadi tonggak bangkitnya nasionalisme (Indonesia) dan sekaligus mundur-nya kebudayaan etnis termasuk Jawa. Cara berpikir modern yang berbeda dengan yang diajarkan tradisi masyarakat saat itu, adalah landasan pemberontakan kebudaya-an itu.

Fenomena yang menarik adalah bahwa sebelumnya telah terjadi pemberontakan kebudayaan serupa dengan skala lebih kecil, yang dilakukan seorang gadis yang berpikiran amat maju pada zaman-nya, justru dari dalam salah satu benteng kebudayaan Jawa saat itu: kamar pingitan dalem kabupaten Jepara. Pemberontakan Kartini dari kamar pingitan dalem kabupaten Jepara itu menjadi lebih bermakna karena ia mewakili kaum perem-puan yang menjadi manusia kelas dua dalam kebudayaannya. Meski tidak ada hubungan langsung antara BU dengan Kartini, kedua-nya melihat kebudayaan dalam perspektif baru yang sama, yang lebih banyak mengandalkan dan menghargai rasionalitas dan kompe-tensi pribadi manusia.

(7)

Boleh jadi ia kebetulan seorang perempuan yang memberontak terhadap dominasi laki-laki, namun tidak kebetulan bahwa itu semua karena ia berpikiran maju dan rasional. Karena itu, tidak kebetulan pula jika Kartini menjadi feminis Indonesia pertama.

GERAKAN PEREMPUAN MU-HAMMADIYAH KONTEMPO-RER: DARI KONSESI KE PRO-FESIONALISASI

Tanpa bermaksud mengklaim bahwa kondisi sekarang berkat perjuangan Kartini, kedudukan perempuan di Indonesia kini kurang lebih sama dengan yang dicita-citakan Kartini. Perempuan Indone-sia sekarang sudah merdeka secara politis dan retorik. Secara formal perempuan diakui sama dengan laki-laki, diberi kesempatan yang sama dan tidak ada penolakan terhadap sesuatu (jabatan misalnya) dengan alasan seseorang adalah perempuan. Merdeka secara politis, karena realitanya (pada tingkat sosiologis laki-laki tetap mendoni-masi kehidupan), jika dalam suatu persaingan perempuan kalah dengan laki-laki, hal itu karena kekalahan objektif, bukan dipoliti-sasi. Sri Mulyani, misalnya, bisa menjadi Menteri Keuangan Indone-sia. Demikian pula Megawati, bisa juga menjadi Presiden Republik In-donesia, dan masih banyak lagi perempuan “perkasa” lainnya.

Sejalan dengan itu, maka yang terjadi dalam gerakan

kepemimpin-an perempukepemimpin-an, termasuk di kalkepemimpin-ang- kalang-an Muhammadiyah, semestinya adalah profesionalisasi, bukan konsesi. Ketika sedikit banyak laki-laki tergeser dalam beberapa posisi, maka yang terjadi adalah per-gantian pihak yang tidak memiliki kompetensi oleh mereka yang memiliki kompetensi. Perubahan ini telah dapat diterima karena alasan rasional, yakni tidak terjadi atas dasar asumsi ideologis, tetapi atas dasar pertimbangan daya guna yang lebih besar. Dengan kata lain, atas dasar pertimbangan profesional, dan bukan konsesi politik.

Mengenai meleburnya tokoh-tokoh Aisyiah ke dalam PP Muham-madiyah sudah dibahas paling tidak sejak Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Aceh dan diintensifkan dan telah disepakati pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Jakarta. Sayang sekali hingga kini keputusan itu belum direalisasikan secara konkret dan adil. Tetap saja Aisyiah –organisasi perempuan Muham-madiyah—berdiri di samping Muhammadiyah. Mengapa para tokoh perempuan Muhammadiyah tidak “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam jajar-an Pimpinjajar-an Pusat Muhamma-diyah, atau Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, dan seterusnya? Mengapa masih saja berdiri PP Aisyiah di samping PP Muhamma-diyah?

(8)

umum-nya, maka agaknya perlu dilakukan gerakan “Kartini kotemporer”. Gerakan ini tidak hanya bertujuan menghilangkan diskriminasi ter-selubung terhadap perempuan In-donesia (hal ini sudah berlalu), tetapi lebih dari itu gerakan ini haruslah memberantas beberapa ideologi yang menjadi sumber dari persepsi yang mempersulit perem-puan Indonesia untuk mengem-bangkan diri mereka sebagai manusia mandiri, bukan suplemen kehidupan laki-laki. Karena, ke-mandirian adalah kunci utama menuju eksistensi perempuan setara dengan laki-laki.

Di samping itu, agaknya perlu pula dikembangkan budaya

tan-dingan (counter culture) untuk

melawan budaya militer dan buda-ya konsumtif buda-yang sedang menjadi arus utama. Bentuk dari budaya tandingan tersebut, meminjam istilah Hafidz (1995) adalah otonomi dan karakteristik feminin. Otonomi berarti kompetensi untuk mengata-kan “tidak” terhadap keinginan pihak lain yang bermaksud men-dominasi atau memaksakan ke-kuasaannya. Karakteristik feminin diartikan sebagai sifat antikekerasan, memelihara, menumbuhkan, me-nyayangi, intuitif, kreatif, dan seba-gainya sebagai lawan dari karak-teristik maskulin (rasional, keras, merusak, menaklukkan, persaingan, mengejar keuntungan, dan seba-gainya) yang saat ini dominan.6

Restrukturisasi Organisasi: Mere-duksi Dikotomi Perempuan-Laki-laki

Dalam hal gerakan dan kepe-mimpinan perempuan di Indonesia, tampaknya gerakan mereka masih diwarnai sikap ideologis dan diha-dapi oleh pihak luar yakni laki-laki, dengan sikap sama. Dalam konteks itulah, agaknya kemajuan kaum perempuan di Indonesia masih cenderung bersifat konsensional atau ideologis. Perempuan masih banyak diberi karena pertimbangan politis dan ideologis, bukan karena kempetensi mereka. Konsesi pada akhirnya akan mengecewakan, karena tidak mengubah posisi ketergantungan perempuan pada laki-laki.

Contoh menarik kedudukan konsensional yang diberikan atas dasar pemikiran ideologis adalah apa yang terjadi pada organisasi IMMAWATI-anggota IMM perem-puan dan KOHATI-anggota HMI perempuan. Begitu pun AISYIAH yang mendampingi Muhamma-diyah. Hal ini mencerminkan ada-nya “kompleks identitas”. Artiada-nya, setelah perempuan relatif bebas bergerak, gerakan perempuan cenderung menunjukkan identitas dirinya sebagai organisasi perem-puan, sekadar untuk membedakan diri dari laki-laki. Di satu pihak perempuan dihargai dengan diberi wadah tersendiri, namun di lain

6 Hafidz, Wardah. “Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Proses Demokratisasi

(9)

pihak mereka sebenarnya mengu-rung diri sehingga tidak akan pernah sama dengan anggota laki-laki.

Pembedaan demikian memang memberi kesempatan kepuasan psikologis, karena dengan begitu perempuan dapat menunjukkan arti penting eksistensinya. Namun hal ini sekaligus mengundang bahaya yakni perempuan terperangkap dalam kemasan formalitas atau retorika politik. Perempuan (Aisyi-ah) dipandang setara dengan laki-laki (Muhammadiyah) hanya karena telah memiliki organisasi, padahal sesungguhnya organisasi perempuan yang eksklusif justru menunjukkan ketidaksetaraan perempuan dengan laki-laki. Jika kemerdekaan perempuan berhenti pada tingkat formalitas politik, maka yang terjadi adalah mani-pulasi, atau kemerdekaan tanpa substansi. Tegasnya, penonjolan identitas ini justru merupakan pengakuan inferioritas perempuan di hadapan laki-laki, karena dalam praktik sehari-hari (secara sosiologis, bukan politis) perempuan masih dianggap kelas dua. Dalam keadaan demikian, perempuan (Aisyiah) meminta keistimewaan dan men-dapat perlindungan dari laki-laki (Muhammadiyah). Pengusaha atau sarjana perempuan tidak pernah menonjolkan prestasi mereka lebih besar daripada kenyataan bahwa mereka adalah perempuan.

Jika kondisi itu dipertahankan maka sangat sulit untuk mencipta-kan tokoh pemimpin perempuan (Aisyiah) yang mampu berkompetisi dengan pemimpin laki-laki

(Muham-madiyah). Artinya, anggota perem-puan dihargai karena keperem-puanannya, bukan kompetensinya. Hal itu jelas merupakan pembagian yang sexist, yang memang sangat mendasar tetapi sekaligus naif karena hanya memperhatikan jenis kelamin manusia. Untuk itu, organi-sasi besar semacam Muhammad-iyah, HMI, dan IMM yang tentunya berorientasi pada intelektual dan profesional, kiranya pembagian seksis itu perlu dikaji ulang karena sudah tidak relevan lagi dengan eksistensi kaum perempuan kontemporer.

Tegasnya, sudah saatnya para tokoh perempuan “perkasa” Aisyiah selayaknya mampu berkompetisi dengan para tokoh Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah. Sehingga, PP Muhammadiyah pasca-Muktamar ke-43 tahun 2010/ Satu Abad Muhammadiyah kelak diisi oleh para tokoh yang benar-benar memiliki kapabilitas, dan akuntabilitas dalam kepemimpin-annya tanpa memandang laki-laki atau perempuan. Siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki kompetensi dapat men-duduki PP Muhammadiyah, tidak lagi terjadi dikotomi PP Muhamma-diyah dan PP Aisyiah yang bersifat konsesif. Itulah yang dimaksud gerakan perempuan Muhammad-iyah bergerak dari konsesi menuju ke profesionalisasi.

(10)

seka-rang adalah mengisi kemerdekaan politik yang telah dicapai, dengan meningkatkan kualitas intelektual dan kompetensi, bukan lagi eman-sipasi. Sebab, sekali lagi emansipasi itu sudah tidak relevan lagi. Jadi, yang diperlukan sekarang adalah bagaimana kaum perempuan mengejar ketertinggalannya dari laki-laki dari berbagai aspek agar kemerdekaan politik yang telah dicapai itu dapat benar-benar men-jadi realitas, bukan sekedar mitos.

Sesungguhnya kini telah ber-laku suatu kompromi antara laki-laki-perempuan. Kompromi itu menampung kepentingan mereka bersama —dan ini sulit untuk di-bantah— yang dalam bahasa kebu-dayaan yakni untuk mencapai kebahagiaan. Untuk itulah perem-puan harus membuat kesepakatan dan transaksi dengan laki-laki. Transaksi ini harus terjadi, karena feminisme radikal yang menjauhkan perempuan dari laki-laki tidak (atau belum) dapat diterima di Indonesia. Karena itu, perempuan harus maju bersama dengan laki-laki yang – suka atau tidak suka— dominan. Perempuan sebagai pendamping laki-laki inilah yang kemudian oleh pemerintah dijadikan “Ideologi nasional resmi” untuk menangani politik perempuan. Munculnya Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mudah dipahami dari kacamata ini.

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN: PROSPEK DAN TANTANGAN-NYA

(11)

Masyarakat kita sekarang se-dang mengalami suatu proses perubahan yang sangat cepat menuju masyarakat industri. Proses itu telah memunculkan modal besar sebagai kekuatan baru, di samping birokrasi dan militer. Ketiga keku-atan dominan itulah (uang, ke-kuasaan, dan kekuatan) yang saat ini menentukan hampir segala aspek kehidupan dalam masyarakat. Kecenderungan utama masyarakat industri adalah komoditasi, ter-masuk komoditasi manusia. Dengan bantuan teknologi yang maju pesat, kekuatan-kekuatan dominan telah menjadi mayoritas masyarakat sebagai komoditi yang lemah posisinya dan konsumen yang pasif. Mayoritas perempuan, karena kondisi dan kapasitasnya yang cenderung lebih tertinggal di-band-ing laki-laki dalam banyak faktor penting, telah menjadi pihak yang paling rentan sebagai objek komo-diti. Masalah TKW, buruh perem-puan di sektor industri, dan para pekerja seks komersiasl (PSK) di industri pariwisata, adalah wajah bopeng dari permasalahan perem-puan dewasa ini. Dalam peran sebagai konsumen, perempuan juga menduduki posisi penting sebagai objek utama. Iklan-iklan di media massa, baik cetak maupun elek-tronik adalah contoh yang tidak berlebihan dalam konteks ini. Banyak perempuan yang dengan demikian mudah menyediakan diri menjadi objek bagi masyarakat laki-laki dan “menjual diri” dengan memamerkan kecantikan, aurat, dan kemolekan tubuhnya yang

indah kepada publik dalam iklan atau promosi industri. Hal itu di-lakukan semata-mata demi peroleh segepok uang tanpa mem-pedulikan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang semestinya menjunjung tinggi kamanusiaan, harga diri, dan eksistensinya. Sebuah perilaku yang ironis bahkan kontraproduktif dipandang dari perspektif jender yang ingin memperjuangkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan sebagai subjek dan subjek, bukan subjek dan objek.

PENUTUP

Mengakhiri pembicaraan ini, perlu dikemukakan bahwa pada dasarnya fenomena gerakan puan Indonesia, termasuk perem-puan Muhammadiyah, kini meng-alami pergeseran. Gerakan perem-puan kontemporer menunjukkan perubahan yakni dari konsesi (dulu) ke profesionalisasi (kini). Hanya permasalahannya, seberapa jauh perempuan mampu memanfaatkan peluang itu dengan memiliki kompe-tensi untuk berkompetisi dengan laki-laki. Jika ternyata tokoh-tokoh perempuan kalah bersaing sehingga posisi kepengurusan PP Muhamma-diyah diduduki mayoritas laki-laki, maka bukan berarti kepemimpinan perempuan belum diakui, melainkan tak lebih dari kompetensinya yang masih kalah dengan laki-laki.

(12)

modal paling penting dalam me-wujudkan gerakan dan kepemim-pinan perempuan Indonesia yang prospektif. Untuk itu, mau tidak mau perempuan harus mampu berkompetisi dengan laki-laki dengan meningkatkan kualitas diri baik dalam intelektual, manajemen organisasi, kepemimpinan maupun kompetensi lain, jika tidak ingin kaum perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua. Karena, pada gilirannnya, —dan kini sudah tam-pak— kepemimpian perempuan tidak lagi konsensional atau bersifat politis melainkan profesional.

Untuk itu, agaknya sudah saat-nya dilakukan rekonseptualisasi dan restrukturisasi pada organisasi-organisasi semacam Muhamma-diyah, HMI, IMM, dan sebagainya yang masih —langsung atau tidak langsung— membuat dikotomi laki-laki-perempuan. Akan lebih baik jika

tidak ada Aisyiah, KOHATI, atau IMMAWATI, yang ada adalah Muhammadiyah, HMI, dan IMM dengan kepengurusan yang di-duduki oleh para tokoh yang profesional baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, dengan demi-kian tokoh pemimpin perempuan akan berkompetisi dengan laki-laki dalam satu organisasi Muhammad-iyah dan akan dapat membuktikan dirinya mampu menjadi mitra laki-laki, bukan lagi sekadar suplemen laki-laki. Atau, perempuan bukan sekadar sebagai pelengkap pen-derita? Bagaimana para Kartini dan Aisyiah muda, siapkah untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 tahun 2010 ini? Jawabannya tentu terpulang pada eksistensi dan profesionalitas kaum perempuan itu sendiri. Waktulah yang akan mengujinya.

DAFTAR PUSTAKA

A.M., Ali Imron. 2003. “Signifikansi Ilmu-ilmu Humaniora dalam Pembangunan Bangsa: Perspektif 50 Tahun Indonesia Merdeka”

dalam Maryadi dan Abdullah Aly (Ed.). Transformasi Budaya.

Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Gailey, Christine Ward. 1987. “Evolutionary Perspectives on Jender

Hierar-chy” dalam Beth B. Hess dan Myra Marx Ferree, eds. Analyzing

jender, a Handbook of Social Science Research. Sage Publications, Inc. Hafidz, Wardah. 1995. “Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Proses

Demokratisasi Masyarakat Indonesia” dalam Fauzi Ridjal dkk. (Ed.).

Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Hatta.

Referensi

Dokumen terkait

Genetik dan atopi penderita biduran 21,2n/o danatopi berupa hidung tersumbat 17,5%.Di antara penderita urtikaria kronik didapatkan 159 kasus urtikaria fisik, pada

Dengan bergabung menjadi bagian dari Islam, maka komunitas Aboge tidak hanya memiliki identitas adat, namun juga memiliki identitas lain yang juga dimiliki oleh masyarakat umum,

Orcalindo Lamtama Mandiri diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam

Angka kejadian diare pada balita tertinggi terdapat pada Pulau Siberut Barat pada Puskesmas Betaet dengan jumlah sebanyak 304 orang balita dan terdapat angka kematian karena

[r]

• Menjalin hubungan dengan media adalah pekerjaan khusus, paling penting dalam mendukung pelayanan darah. • Dalam keadaan darurat perlu dengan cepat menghubungi

The Pearson correlation test showed that the cys- teine level was negatively correlated with IL-10 level (p: 0.014; r= -0.53), therefore, it could be concluded that there was a

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan dosis pupuk kandang sapi serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata