• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialog Kritis Antara Golongan Elit dan Warga Desa Dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dialog Kritis Antara Golongan Elit dan Warga Desa Dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1. PENDAHULUAN

1 .I. Latar Belakang

Sepanjang penyelenggaraan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) persoalan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan telah memperoleh perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Perhatian dari pemerintah secara umum ditunjukkan dengan menyelenggarakan program pembangunan sektoral dan regional. Usaha ini sejak Pelita VI dipertajam pemerintah dengan menggelar Program lnpres Desa Tertinggal (IDT). Upaya tersebut, seperti kita ketahui, secara kuantitatif, telah memberikan hasil yang cukup membesarkan hati, walaupun sejak terjadi krisis moneter pertengahan tahun 1997 yang berlangsung hingga saat ini telah menyebabkan kinerja program-program pembangunan secara keseluruhan harus mengalami kemerosotan tajam.

Sejajar dengan tumbuhnya optimisme yang menyertai usaha-usaha tersebut, berbagai hasil studi menemukan bahwa masih ada masalah mendasar yang dapat mempengaruhi kelanjutan dan keberhasilan upaya pemerataan dan penanggulangan kemiskinan di waktu-waktu mendatang. Masalah dimaksud berkenaan dengan praktek kehidupan pada institusi- institusi formal pedesaan yang gejalanya cenderung masih 'meminggirkan' partisipasi warga desa, termasuk golongan periferi di dalamnya. Gejala 'peminggiran' ini berupa kurang terakomodasikannya aspirasi mereka yang disebut terakhir itu dalam dinamika yang bekerja pada kelembagaan yang bersangkutan, baik di aras gagasan maupun pelaksanaan.

(2)

korporatisme merupakan cara pikir untuk memperlakukan institusi-institusi formal (desa) sebagai unit perwakilan kepentingan negara, baik sebagian atau sepenuhnya. Fungsi dan tujuan-tujuan institusi yang bersangkutan kemudian ditata secara hirarkhis oleh negara dan seringkali bersifat memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak negara untuk memberikan monopoli perwakilan atas suatu kepentingan. Selanjutnya untuk menjamin kelancaran atas kepentingan itu, kepada institusi-institusi yang bersangkutan oleh negara dikenakan suatu syarat, yaitu mereka harus tunduk kepada pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan serta dalam artikulasi tuntutan dan dukungan

'.

lmplikasi yang dapat kita rasakan akibat ciri institusi demikian itu, dalam konteks kegiatan pembangunan masyarakat desa (untuk selanjutnya disebut PMD), adalah makin kokohnya cara-cara pendekatan yang teknokratis dan paternalistik. Dengan pendekatan teknokratis yang dimaksud adalah pendekatan di rnana sekelompok orang berdasarkan suatu keahlian atau pengalaman, rnemperlakukan rnasyarakat sebagai sebuah mesin atau ladang yang dapat mereka tentukan menurut rencana-rencana mereka sendiri, tanpa kesediaan untuk membiarkan rencana-rencana itu dipertanyakan, direvisi, atau digagalkan oleh mereka yang terkena. Sedangkan yang diartikan dengan paternalistik adalah sikap dimana pihak yang satu (elit) mernperiakukan pihak lainnya (rnasyarakat luas) sebagai anak kecil atau orang yang belum dewasa

'.

Akibat lebih lanjut dari proses korporatisasi adalah munculnya suatu konfigurasi elit rnasyarakat yang lebih rnerupakan hasil dari hubungan-

I Philippe Sc-unitter s e w &kut!p Peter W~liarnm, (1989:11), Corporatism in Perspective: An Introdudcry Guide to Cwporatist Theory, Sage Publications. London.

Lihat pula Mohtar Mas'oed, (1994:123-128)), PoIifik, BiBirdmsi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Y o e w M .

(3)

hubungan kekuasaan yang terbatas. Dikatakan terbatas karena hanya melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan dominan saja dalam dinamika kegiatan ekonomi-politik lokal.

Pada gilirannya, keseluruhan proses tersebut telah menggiring golongan elit desa sadar atau pun t~dak, untuk lebih memusatkan pikiran dan tindakannya pada kepentingan di sekitar diri mereka sendiri. Dengan demikian golongan elit tidak memiliki kepedulian yang cukup untuk memperjuangkan kepentingan warga desa pada umumnya, terutama golongan periferi.

Berdasarkan alur pikiran seperti itu menarik untuk mengkaji pokok masalah; sejauh manakah dalarn penyelenggaraan kegiatan PMD yang digagas oleh pihak pemerintah atas-desa (untuk selanjutnya disebut PMD- formal) masih memberi peluang interaksi yang dialogis antara golongan elit dan warga desa, termasuk golongan periferi. Proses dialog yang saya maknai di sini adalah upaya masing-masing warga desa dari beragam golongan untuk senantiasa melakukan penjabaran kegiatan PMD-formal secara kritis-reflektif, dimana kepentingan kolektiif dan terlebih lagi pihak yang lemah diutamakan. Sebagai konsekuensinya tentu saja golongan elit, dalam ha1 ini Kepala Desa (untuk selanjutnya disebut Kades) dan jajarannya, dituntut untuk mengambil prakarsa melakukan cara-cara pendekatan yang berdampak emansipatif bagi komunitas sosial secara keseluruhan, terutama warga golongan periferi.

(4)

penggerak kepentingan pengawasan sosial (social control), atau pengendali masyarakat dalam konteks struktur informal 3 .

Merujuk pada uraian Susanto-Sunario dikatakan praktek pengendalian masyarakat (untuk selanjutnya disingkat: PM) dan pengawasan sosial (untuk selanjut disingkat: PS) merupakan gejala nyata yang senantiasa menyertai usaha suatu masyarakat mengatur diri dalam kehidupan sosial. Dapat dinyatakan, makin berciri formal praktek PM maka akan dengan sendirinya diperlukan dukungan alat bantu yang juga semakin formal, seperti adanya sangsi hukum dan perangkat kekuasaan 4 .

Sebaliknya PS dimengerti sebagai bentuk PM yang tidak formal sehingga tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan seperti halnya PM formal. Konsep PS mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) yang ditujukan untuk menciptakan keselarasan (konformitas), solidaritas, dan kelangsungan hidup kelompok dalam masyarakat. Perilaku kelompok tersebut antara lain dikukuhkan oleh

3 Sepecti kita ketahui kebijaksanaan pernbangunan d Indonesia m r a konstitusional berlandaskan pada ideologi Pancasila. lddogi ini menyimak dad konteksnya membenkan ruang &n bahkan mendwong para pendukungnya agar se~ntiasa melakukan suatu penjabaran ktitimflektif. Artinya, lacy,individu, golongan

&n lapisan sosial perlu mampu menunjukkan karya yang bedampak pembebasan (emansipatif) bagi entitas kemasyarakatan secara keselwuhan. Oleh karma itu menurut Poeyxrwardojo (1994:ll) hams dihindarkan agar ideologi Pancasila tidak bersifat otoriter yang mengekang &n memparsempit n m g hi- manusia.

Sebagai catatan, yang saya maksudkan dengan warga desa adalah orang-orang yang menjad penduduk desa semra umum. Sementara yang diattikan dengan golongan petifen adalah meraka yang berada dalam stfata a d paling bawah. Pada bab berikut akan diperlihatkan pembagian strata tersebut bedasarkan klasifikasi pungutan swadaya, dmana untuk gdongan periferi tidak dikenakan pungutan pancen.

Di wilayah Riangan misalnya, sering golongan periferi atau golongan lemah (miskin) ini dijuluki dengan 'jelema malaral. Istilah-istilah seperti id biasanya 'bukut' lewat penampilan fisik. antara lain seperti bentuk rumah, isi pentotan, pengwsaan tanah, dan sumber mata pencaharian dan yang paling jelas seperli disebutkan d atas adalah bebas dad pungutan pancen. Gdongan m i a l yang menjadi lapisan di atas meraka ,

biasanya masih dikategorikan sebagai 'orang kebanyakan'. 'rahayat' (rakyat atau masyarakat luas), atau warga , desa. Oengan kata lain golongan penferi ini hanya meliputi sejumlah orang yang yang lebih sedikit dibandingkan orang ksbanyakan.

4 Astrid Susanto Sunado (1990), Komunikasi Sebagai Mataranfai Utama Antam Pengendalian

(5)

keberadaan adat-istiadat. Adat istiadat yang diartikan di sini adalah norma- norma sosial yang keberlakuannya berada dalam taraf custom, dimana perilaku-perilaku sepatutnya ditekankan benar, dan sebaliknya pelanggaran atasnya dapat membawa risiko sangsi.

Perimpitan penuh antara PM yang bersifat formal dengan PS yang bersifat informal memang tidak pernah akan terjadi, sebab setiap individu atau kelompok selalu masih memiliki saluran-saluran informalnya yang terletak dalam kehidupan pra-politik, atau yang dalam ha1 ini saya sebut sebagai bidanglruang sosial semi-otonom, suatu istilah yang juga dikenal dalam khazanah kepustakaan antropologi hukum.

Dapat kita catat bahwa kepentingan PM dan PS memang berpotensi untuk saling bertentangan, apalagi dalam praktek kekuatan PM di aras desa yang digerakkan oleh Kades dan jajarannya, sering dipaksa untuk mengemban missi PMD formal yang sebagian isi dan bentuk kegiatannya dirumuskan secara sepihak oleh kekuatan atas-desa. Sementara kepentingan PS tak lain berfungsi sebagai PM informal, sehingga arah yang ditempuh lebih mengutamakan pencapaian rasa solidaritas, adil, merata yang pada gilirannya semua itu mencarminkan arti kemaslahatan sosial.

(6)

dalam ha1 ini mengutamakan kepentingan bersama melalui kerjasama yang timbali-balik. Norma moral sosial tersebut dalam tulisan ini untuk selanjutnya akan disebut etos komunal resiprokal.

Dalam konteks pandangan rekayasa sosial (istilah lain yang kurang lebih sepadan dengan PM) dasar pemikirannya adalah, hubungan-hubungan sosial rentan terhadap praktek-praktek pengendalian, dimana alat yang dipergunakan untuk mencapai kendali adalah hukum. Moore menyebut hukum sebagai suatu istilah ringkas yang lazim untuk menggambarkan suatu himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide, aturan- aturan, kebiasaan-kebiasaan dan kegiatan-kegiatan dari alat-alat perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundangan-undangan, pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung kekuatan politik dan legitimasi

'.

Dengan demikian hukum, yang sesungguhnya lebih kompleks dari itu, kemudian diabstrasikan dari konteks sosial dimana ia berada dan dibicarakan seolah-olah merupakan suatu kesatuan yang mampu mengendalikan konteks sosial tersebut. Berlawanan dengan arah itu sebenarnya kita juga dapat menyatakan bahwa: masyarakatlah yang sesungguhnya menentukan hukum dan bukan sebaliknya.

Namun bagi studi sosiologi, seperti kita ketahui, kedua arah penglihatan yang kelihatan saling 'bertentangan' ini sesungguhnya berimplikasi sama, yaitu hukum dan konteks sosial dimana hukum itu berada pada dasamya berinteraksi secara dialektis, atau satu sama lain bersifat saling tarik-menarik. Dalam kaitan ini saya hendak mengajukan rumusan pendekatan sosiologi atas ruang sosial semi-otonom tersebut. Ruang sosial semi-otonom dimengerti sebagai suatu analisis atas proses-proses interaksi,

(7)

yang di dalamnya berkembang dialog kritis, antar golongan elit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam rangka implementasi kegiatan PMD- formal, yaitu kegiatan yang diprakarsai pihak atas-desa. Dialog kritis ini, dapat kita sebut sebagai upaya masing-masing pihak untuk menghasilkan kesesuaian pengertian atau bahkan aturan yang lebih adil terutama bagi kepentingan golongan periferi. Diasumsikan aturan ini dapat muncul apabila masing-masing pihak melandasi kepentingan dirinya dengan acuan norma moral sosial yang sama, dalam ha1 ini yang mengutamakan kepentingan kolektif

.

Dalam kaitan ini Suseno menerangkan kata moral sebagai kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia itu sendiri, sehingga kewajiban moral dibedakan dengan kewajiban-kewajiban lain. Norma moral mengikuti lebih lanjut pemikiran Suseno adalah norma untuk mengukur betul- salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dasar keberlakukan norma normal ini, hanya akan memperoleh keabsahannya jika norma-norma tersebut disepakati (atau dapat disepakati) oleh semua orang yang menjadi partisipan dalam wacana yang terbuka dan bebas tekanan6.

Dalam konteks teori kritis, keabsahan norma-norma moral ini tidak dapat dikembalikan pada penetapan oleh penguasa lewat tindakan strategis, melainkan hanya dapat lahir dari tindakan-tindakan interaktif di kalangan warga komunitas itu sendiri yang pada gilirannya mengembangkan wacana dialogdialog krits (komunikatif)

'.

Berdasarkan pemahaman tersebut kita dapat mengatakan pendasaran keberlakuan norma moral sosial atau etos komunal resiprokal itu datang dari sikap kolektif yang mengacu pada adat-istiadat setempat. Lebih jauh dapat kita mengerti apabila etos seperti itu memberi tekanan kuat agar setiap

6

Frans Magnis Suseno (1995: 47-49). Filsafat Sebagai llmu Kritis, Kanisus. Jakarta

'

Lihat Jurgen Habermas (1984), The Theory of Communicative Action: Reason end
(8)

individu mengambil sikap tanggung jawab dan kewajiban yang mengutamakan pemenuhan kepentingan bersama yang adil, sehingga pada gilirannya tercipta suatu kernaslahatan sosial (social utility). Hal terakhir ini rnengacu pada rasa aman dan nyaman lahir-batin yang mewarnai kehidupan komunitas secara merata, dan ini terjadi berkat masing-masing individu dari beragarn golongan sosial mengembangkan proses-proses interaksi yang menguatkan pemenuhan kepentingan satu sama lain secara timbal-balik.

Singkat kata, pengertian ruang semi-otonom ini menunjuk adanya suatu fakta bahwa ruang kecil di dalarn lingkup kehidupan desa ini memiliki kapasitas untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, aturan, nilai-nilai, simbol-simbol yang berasal dari dalam, atau bahkan adat-istiadat sehingga orang tunduk padanya. Tetapi di pihak lain ruang sosial semi-otonom itu sendiri sebenarnya juga rentan terhadap aturan-aturan dan desakan- desakan kekuasaan yang datang dari dunia luar yang mengelilinginya, dalam ha1 ini dari pihak kecamatan.

Meskipun kekuatan PM dengan dukungan kekuasaan formalnya dapat menikmati keadaan dan monopolistik terhadap penggunaan kekerasan, namun pemaksaan atau bujukan efektif tidaklah dapat terlepas dari ruang sosial kecil yang terorganisasi ini (semi-otonom) dimana individu atau golongan warga tertentu berpartisipasi. Di sinilah kita secara nyata dapat melihat sisi peran PS yang lain, yaitu sebagai kekuatan PM yang bersifat informal.

1.2. Perurnusan Masalah

(9)

(power compliance) pihak atas-desa. Kedua, apakah keberadaan norma moral sosial yang mengutamakan etos komunal resiprokal mampu menumbuhkan kepekaan sosial yang penting bagi pengembangan proses interaksi yang dialogis antar warga dari beragam golongan dalam konteks kegiatan PMD. formal,

Dengan demikian ingin saya katakan, soal krusial yang menentukan ada atau tidaknya peluang interaksi dialog kritis tanpa tekanan (hegemoni) antar warga dari beragam golongan pada ruang sosial semi-otonom adalah, sampai mana masing-masing partisipan melandasi diri dengan norma moral yang sama

-

etos komunal resiprokal.

Mengikuti pendapat ahli antropologi, etos komunal atau etos hidup ini biasanya sulit dibedakan dengan adat-istiadat yang dikenal dalam kehidupan komunitas itu sendiri. Hal ini disebabkan suara hati (sikap) seorang individu atau kelompok individu umumnya belum dapat mengartikulasikan dirinya secara khas terpisah, karena ia atau mereka tidaklbelum berbeda dengan suara adat istiadat.

Dengan kata lain sistem normatif pada komunitas Desa Baru, khususnya yang masih diikat kuat oleh ciri-ciri hubungan primer (face to face grouping), biasanya belum sampai dipersoalkan orang secara menyeluruh apakah suatu wewenang normatif berpusat pada suara hati atau pada ketentuan-ketentuan adat-istiadat

.

Etos komunal berciri resiprokal ini tak lain berupaya mencari keserasian antara individu dan komunitas melalui interdependensi mereka.

- -

a Frans Magnis Suseno, ibid (1995:30).

Dapat dcatat istilah ' h e g m i ' (hegemony) ditawarkan deh Gramsci untuk d q a n istiiah 'kekuatan' (force). Jika 'kekuatan' dartikan sebagai penggwraan &ya paksa untuk membuat orang ,

(10)

Dalam proses inilah biasanya timbul apa yang disebut kepekaan sosial (social sensitivity) yang merupakan inti suatu PS

.

Bertolak dari anggapan di atas muncul pertanyaan berikut pada aras kehidupan manakah norma moral tersebut berakar kuat sehingga mengejewantah menjadi sebuah etos. Diduga etos yang berciri resiprokal ini hidup dan berakar kuat pada kelompok-kelompok kekerabatan, kelompok teritorial, dan kelompok sosial yang berstruktur sodality yang eksis di bawah-desa. Menjelaskan arti kelompok yang disebut terakhir ini (selanjutnya disebut kelompok sodalis) adalah, suatu kesatuan sosial kecil yang berdaya hidup dan disertai kuatnya ciri hubungan primer antar warga pendukungnya, tetapi tanpa ikatan kekeluargaan sebagai ciri khas, melainkan oleh hubungan kepentingan atau kebutuhan bersama (need compliance)

'

.

Namun seperti dijumpai Tjondronegoro di pedesaan Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tahun 1980-an sodalis-sodalis ini belum dilibatkan dalam berbagai kegiatan PMD yang diprakarsai oleh pemerintah atas-desa. Terlebih lagi kelompok-kelompok berbasis kekerabatan serta teritorial yang menurut saya juga bernasib sama. Kenyataan ini terjadi karena pihak atas-

9 Lihat Astrid Susanto-Sunario (1977: 7-9), Makna dan Fungsi Kn'tik Sosial dalam Masyarakat dan Negam, Prisrna no 10. LWES. Jakarta.

Di sini bdiau menguraikan seam terang mengapa e t a komunal dikatakan berciri naturalism resiprokal. Dikatakan etos ini pada dasarnya tidak &tang bettiasarkan piinsip transendental, melainkan tercipta deh situasi nyata lingkungan sosial, materi dan nokmateri. B ~ N sesudah itu sistem n m t i f kolektif (agarna, kepercalaan alau adat-istiadat) membari sangsi yang lebih tinggi, sehingga orang takut untuk menyimpang daripadanya. Dengan pengertian ini kiranya menjadi lebih tdihat retevansi penggunaan konsep etos tersebut dengan kepentingan s M i ini. Mnya, karma kajian ini saya pusalkan pada kmunilas pedesaan dimana hubungan antar iridividu warganya masih terjalin deh ikalan sosial primer atau naturalistik rnaka etos yang tabntuk pun mengutamakan kepentingan kdektif

.

Dalarn tataran praksis etos ini bekerja &lam bentuk-bentuk niprokal, sepeiti tolong-mendong antar warga dalarn berbagai lapangan kehidiipan.
(11)

desa ini lebih suka mengandalkan basis institusionalnya pada organisasi- organisasi formal bentukannya sendiri. Padahal berbeda dengan kelompok- kelompok primer tersebut yang dasar moralnya lebih dilandasi oleh ikatan kebutuhan (need compliance), pada organisasi formal dasar moralnya lebih bertumpu pada ikatan pengendalian kekuasaan (power compliance). Akibatnya dapat diduga penjalinan hubungan antara institusi-institusi formal dan kelornpok-kelompok sosial yang ada menjadi persoalan tersendiri. Dalam kaitan itulah keberadaan ruang sosial semi-otonom diharapkan dapat rnencairkan kemandegan (stagnasi) hubungan tersebut. Sekaligus dengan ha1 ini program PMD pun dapat diberikan akar lebih kuat pada kenyataan kebutuhan yang berlaku di lapangan kehidupan, karena antara aspirasi yang hidup di kalangan warga desa dengan penyelenggaraan kegiatan akan terjadi peratutan yang fungsional

".

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas pada kajian ini saya hendak memusatkan persoalan keberadaan dan peranan ruang sosial semi-otonom pada konteks pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Sejauh manakah korporatisasi negara pada institusi-intistitusi formal desa mengikuti penataan yang bersifat hirarkhis dan memaksa, sehingga artikulasi tuntutan, dukungan dan proses-proses pengambilan keputusan oleh institusi yang bersangkutan berlaku dalam konteks pengendalian ikatan kekuasaan (power complience).

I Dalam pmpektif stud yang kurang lebih sama namun lebih memwatkan kajiannya pada ams atas- desa, Nico Schulle Noldhdt (1984:14) &lam karanpnnya, C$o Dumeh: Kepemlmpinan M a 1 dalem Fernbangunan, mengajukan persoalan yang drumuskamya sbb: ada jurang ktitis yang membelah antara kesatwbkesaluan ekonomipolitik di desa dengan satuan-satuan senpa d atasdesa. Pa& jurang knlis inilah , kekuatan PM (pemetintahan) mengambil litik tunpu untuk mengadakan takanan-tekanan, yang kemudian deh

pihak pecwakilan (pmerintahan) d atas kecamatan tekanan-lekanan tersebut dsalurkan kembali ke dalarn lingkungan badsi yang dwakili deh kepada desa dan staf pemerinI8hannya. Dilihat dad kaitan intmksi mtar

(12)

Sejajar dengan itu hendak dianalisis sejauhmana etos komunal resiprokal yang hidup mentradisi pada kelompak-kelompok primer mampu menumbuhkan kepekaan sosial pada kalangan warga di lingkup yang lebih luas (komunitas desa), sehingga mampu menumbuhkan keberadaan interaksi yang melahirkan dialog kritis antar golongan warga yang bermanfaat bagi terwujudnya kemaslahatan sosial (social utility).

1.3. Tujuan Penelitian

I. Mempelajari sejauh mana institusi-institusi formal bentukan pemerintah berstruktur korporatis, dimana kepentingan berdimensi PM yang menyertai program-program pembangunan diduga cenderung tampil monolitik sehingga mengatasi kepentingan kekuatan-kekuatan PS, dalam ha1 ini yang diartikulasikan oleh warga desa, terutama golongan periferi. 2. Mempelajari sejauhmana tatanan kelompok-kelompok primer yang

berlandaskan etos komunal-resiprokal mampu menguatkan kepekaan sosial pada kehidupan komunitas lokal.

(13)

1.4. Pokok Penelitian, Konsep, dan Metoda Penelitian

Pokok penelitian ini adalah, sejauhmana ajang-ajang sosial yang tergelar pada kehidupan komunitas Desa Baru mampu memaknai dirinya sebagai ruang sosial semi-otonom yang berkembang di dalamnya proses- proses dialog kritis antara golongan elit, yang berdiri sebagai kekuatan PM, dengan warga desa pada umumnya termasuk golongan periferi, yang berdiri sebagai kekuatan PS, untuk memecahkan persoalan-persoalan PMD atas dasar etos komunal resiprokal.

Berdasarkan pokok studi tersebut konsep-konsep di dalamnya dirumuskan sebagai berikut:

Ruang sosial semi-Otonom:

Ruang sosial semi-otonom dimengerti sebagai suatu analisis atas proses-proses interaksi, yang di dalamnya berkembang dialog kritis, antar golongan elit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam rangka implementasi kegiatan PMD-formal, yaitu kegiatan yang diprakarsai pihak atas-desa. Dialog kritis ini, dapat kita sebut sebagai upaya masing-masing pihak untuk menghasilkan kesesuaian pengertian atau bahkan aturan yang lebih adil dan merata terutama bagi kepentingan golongan periferi. Diasumsikan aturan ini dapat muncul apabila masing-masing pihak melandasi kepentingan dirinya dengan acuan norma moral sosial yang sama, dalam ha1 ini mengutamakan kepentingan kolektif

.

Etos komunal:

(14)

sebagai sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu keldmpok dengan kelompok lainnya

Pengendalian Masyarakat (PM) dan Pengawasan Sosial (PS):

PM dan PS dipahami sebagai gejala yang menyertai kehidupan sosial untuk mengatur diri dalam kehidupan berkelompok. Pada komunitas desa Cijati, yang relatif telah berkembang, bentuk PM berciri lebih formal dengan segala alat bantu-nya seperti kekuasaan dan perangkat hukum. Hal terakhir ini terwujud dengan pembentukan institusi-institusi formal desa (pemerintahan desa dan perangkatnya seperti LKMD). Di samping itu wujud operasional PM lainnya, yang dalam studi ini akan mendapatkan sorotan utama, adalah program-program lnpres Bandes yang diturunkan dari atas- desa yang pada kenyataannya telah terstruktur begitu ketat.

Sebaliknya PS dipahami sebagai PM yang berwujud informal karena ia mengacu pada perilaku kelompok (group conduct) dan sering tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan. Sebagai PM tidak formal yang berbasiskan norma moral etos komunal, maka benar- tidaknya sikap dan tindakan inividu diukur menurut sikap dan tindakan kelompok.

(15)

Golongan Elit, Warga Desa, dan Periferi:

Golongan elit yang dimaksudkan dipusatkan pada Kades dan jajaran aparat desanya. Sementara yang dimaksudkan dengan warga desa adalah penduduk desa setempat pada umumnya, sedangkan yang diartikan dengan golongan periferi adalah mereka berada dalam strata sosial paling bawah. Di desa setempat kita dapat melihatnya dalam klasifikasi penduduk menurut besarnya pungutan swadaya pancen. Dalarn bahasa lokal tentu saja ada istilah-istilah yang spesifik untuk menunjukan status individu atau golongan tertentu dalam struktur sosial kornunitas yang bersangkutan.

Di wilayah Sumedang misalnya sering golongan periferi atau golongan lemah (miskin) ini dijuluki dengan sebutan 'jelema malarat'. lstilah seperti ini biasanya 'diukur' lewat berbagai penampilan fisik, antara lain seperti bentuk rumah, isi perabotan, penguasaan tanah, surnber mata pencaharian, dan yang paling jelas seperti telah dikatakan di atas adalah mereka bebas dari pungutan pancen. Golongan sosial yang menjadi lapisan di atas mereka biasanya rnasih dikategorikan berturut-turut sebagai 'jelema biasa' (mayoritas warga) dan 'jelema beunghar' (minoritas orang kaya). Pembangunan Masyarakat Desa (PMD):

Secara analitis PMD diartikan sebagai seluruh tindakan terpola yang menyertai perikehidupan warga desa dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok dan peningkatan kesejahteraan hidupnya di aras kornunitas, terrnasuk bagaimana proses-proses pengambilan keputusan diambil dari berbagai tingkat kehidupan, dalam ha1 ini di aras bawahdesa (dukuh, RW, RT), desa, dan antar desa (kewmatan).

Korporatisasi Institusi:

(16)

fungsi dan tujuan-tujuannya ditata secara hirarkhis oleh negara dan bersifat memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak untuk memberikan monopoli perwakilan oleh negara untuk suatu kepentingan. Kepada institusi- institusi tersebut negara mengenakan pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan dan artikulasi tuntutan dan dukungan.

Gambaran Umum Metodologi Penelitian Studi Kasus Sebagai Strategi Penelitian

Strategi penelitian ini menggunakan studi kasus karena bertujuan untuk menyoroti secara rinci dan mendalam persoalan 'apa' dan 'mengapa' yang menyertai penyelenggaraan kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa, khususnya yang dihadapi golongan elit (kepala desa dan jajarannya) dan warga desa termasuk golongan periferi, di desa Cijati kecamatan Situraja, kabupaten Sumedang.

Teori Kritis Sebagai Paradigma Utama Penelitian

(17)

muncul sebagai dorongan dari hasil konsensus atau saling pengertian (mutual understanding) yang mempertautkan segi pengetehuan dan praksis. Pengetahuan yang dimaksud adalah pandangan hidup yang secara normatif dianut oleh warga komunitas lokal (etos komunal), sedangkan diartikan dengan segi praksis adalah perilaku individu-individu warga yang bersangkutan yang terejawantah sebagai konsekuensi dari dianutnya pandangan hidup itu sendiri.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

[image:17.553.43.495.41.692.2]
(18)

Pokok Penelitian: Metode dan Analisis Data

[image:18.550.44.510.65.696.2]

Pengawasan Sosial Pokok Penelitian

Gambaran Umum Desa & Kecamatan

Pandangan Hidup & Pola-Pola Resiprositas

Pengendalian Masyarakat

Ruang Sosial Semi-Otonom: Dialog Kritis antar Golongan

Metode Pengumpulan & Analisis Data

.

Pengamatan atas obyek-obyek visual, seperti: kondisi geografis, fasilitas- fasilitas fisik yang ada, transportasi

dan komunikasi ke luar desa,

dokumen-dokumen tertulis, dsb

wawancara: Kades dan jajarannya, para tokoh desa dan kecamatan, dan warga biasa.

Pandangan Hidup secara normatif diacu pada konsep yang diajukan ahli psikologi sosial Suwarsih Warnaen yang menggali makna dari ungkapan- ungkapan tradisional daerah Jabar, cerita Lutung Kasamng, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Sawer Panganten, cerita Roman Pangetan Komel dan Manfn Jero

Pola-pola resiprositas digali secara

empiris dengan melakukan

pengamatan atas pola-pola perilaku antar kerabat & tetangga, wawancara mendaiam kepada tokoh dan warga. Pengamatan atas obyek-obyek visual (proyek-proyek dan kegiatan PMD

yang diprakarsai pemerintah),

dokumen-dokumen tertulis tentang regulasi formal yang diberiakukan oleh pemerintah atas-desa, wawancara mendalam terhadap tokoh (formal & informal) desa dan kecamatan, serta kepada warga desa.

Pengamatan atas obyek-obyek visual (proyek-proyek & kegiatan PMD yang

bersifat swadaya), riwayat hidup

Kades, wawancara mendalam kepada tokoh (formal & informal). dan analisis peristiwa.

Pengamatan terlibat dan turut

(19)

Organisasi Penulisan

Tulisan ini dibagi dalam 7 bab, masing-masing:

Bab I dengan judul Pendahuluan, berisi uraian yang menggambarkan latar belakang rnasalah, perumusan masalah, dan tujuan penelitian.

Bab II dengan judul Teori dan Metodologi akan dikupas rnengenai paradigma penelitian, teori, metoda, ajang sosial, dan hipotesis pengarah.

Bab Ill dengan judul Gambaran Umum Desa Coati Kabupaten Sumedang akan menguraikan mula-mula mengenai gambaran umum kabupaten Sumedang, dan desa Cijati. Dalam ha1 yang disebut terakhir ini secara khusus akan dideskripsikan hubungan kait-mengait antara sumberdaya manusia setempat dan kegiatan PMD. Hal ini penting untuk membawakan pengenalan kita atas siapa dan mengapa golongan elit, warga desa kebanyakan, dan golongan periferi berpartisipasi mereka dalam kegiatan PMD.

Bab IV dengan judul Etos dan Pengaturan Kehidupan Kehidupan Warga Desa Cijati mengulas berturut-turut etos hidup sebagai dasar moral, pola pandangan hidup orang Sunda, pola-pola resiprositas sosial dalam kehidupan warga desa, ikatan kekerabatan dekat (baraya deukeut), ikatan teritorial dan perkumpulan-perkumpulan.

Bab V dengan judul Pengawasan Sosial dan Pengendalian Masyarakat Dalam Kepemimpinan dan Pembangunan Masyarakat Desa ditelaah tentang bagairnana kekuatan PS memainkan peranannya lewat kelompok-kelompok primer dalam proses rekrutmen Kades. Sebaliknya dikupas pula mengenai bagaimana kekuatan PM memainkan peranannya dalam penataan PMD.

(20)

melakukan penetrasi terhadap desa lewat program-program PMD-nya, dan ditampilkan sejauhmana implikasi yang timbul terhadap kepemimpinan Kades. Selanjutnya diuraikan apa itu ruang sosial semi-otonom dan bagaimana dengan peluang dialog kritis yang berkembang di dalamnya. Berikutnya digambarkan bagaimana dialog-dialog yang tergetar antara golongan etit dan warga desa termasuk golongan periferi dalam sejumlah persoalan-persoalan PMD. Akhirnya di bab ini pula peneliti mencoba untuk menarik kesimpulan atas seluruh hasil penelitian ini.

[image:20.545.45.486.12.691.2]
(21)

BAB 2

TEORl dan METODOLOGI

2.1. Pengendalian Masyarakat (PM) dan Pengawasan Sosial (PS)

Dalam kenyataan kita senantiasa akan menjumpai bentuk PM dan PS sebagai gejala yang menyertai kehidupan warga untuk mengatur diri dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sebelurn menguraikan lebih jauh tentang PM dan PS ini perlu dicatat ada ilmuwan-ilmuwan sosial, termasuk Sajogyo, yang tidak atau kurang sepakat bahkan menolak penggunaan konsep PM apabila maknanya disepadankan dengan social engineering (SE) atau rekayasa sosial khususnya dalam konteks disiplin sosiologi. Hal ini disebabkan mereka menilai pada konsep tersebut termuat konotasi yang memperlakukan kelompok sasaran sebagai obyek yang dibodohkan

'

.

Dalarn suatu uraian Sajogyo secara analitis mengaitkan soal tersebut dengan posisi tugas para penyuluh pertanian dalarn konteks pertanyaan apakah mereka melakukan upaya social engineering, engineering sociology atau clinical sociology. Dikatakannya di sini ada unsur engineering karena kita dapat menemukan usaha dinas pertanian yang berkeinginan merobah sikap dan tingkah laku jutaan petani kepada kemajuan, teknik yang lebih produktif, usahatani yang lebih efisien, dan sebagainya. Dengan kata lain di sini ada ciri formal yang menyertai usaha tersebut.

Dalam usaha penyuluhan pertanian itu pula, lanjut Sajogyo, kita sekaligus dapat menjumpai adanya unsur clinical sociology manakala para penyuluh pertanian berhadapan dengan para petani yang hendak disuluh di sawah-sawah dan kampung-kampung tempat tinggal mereka dalam kelompok-kelompok informal kecil. Singkat kata menurut Sajogyo pada ujung kesimpulannya, penyuluhan pertanian itu mempunyai momen engineering

(22)

baik dari segi aplikasi ilmu-ilmu sosial maupun momen clinical sociology, yaitu pada waktu penyuluh secara langsung membina kelompok-kelompok petani di desa mencapai kernajuan yang dicita-citakan

Senada dengan itu, Wiradi membahas konsep 'social engineering' dengan rnenyatakan :

.

.

.

.seperti telah disebutkan, pada tahap awal masuk sosiologi di Amenka Serikat, suasana di sana sedang diiiputi oleh semangat reformasi. lstilah 'social reform' sedang populer. Tetapi lama-kelamaan istilah ini pun ditinggalkan karena dianggap terlalu berlebihan tekanannya kepada moralitas, dan juga karena lebih bersifat radikal. Karena itu, ketika kemudian muncul istilah SE, oleh sebagian ilmuwan istilah ini kadang-kadang dipakai sebagai sinonim dengan 'soc~~al reform.

Namun sebagian besar ilmuwan menganggapnya berbeda bahkan bertentangan, sebab 'social reform' mengasumsikan bahwa 'masalah sosial' itu akarnya terletak pada tata sosial secara keseluruhan, dan karena 'socia/ reform' bertujuan merubah tata-sosial yang ada. Sedangkan SE bertujuan memecahkan 'masalah-masalah sosial' praktis itu sendin secara pragrmatis, sehingga dianggap tak menganggu kelestarian tata sosial yang ada.

Dalam konteks ini Lazarfeld dan Reitz mengatakan bahwa istilah SE sebenarnya hanyalah semacam metafor bagi peranan ilmuwan sosiologi dalam peransertanya untuk metakukan perbaikan masyarakat. Namun demikian dalam perkembangan berikutnya yang terjadi dalam kenyataan justru menjadi berlawanan dengan makna yang melekat padanya. Hal terakhir ini oleh kedua penulis Lazarfeld dan Reitz dijelaskannya melalui 3

(tiga) tahap yang menyertai perkembangan sosiologi di Amerika Serikat. Yang hendak dikemukakan di sini adalah perkembangan pada tahap terakhir yang dicirikan oleh upaya menuju pengembangan sosiologi terapan. Artinya sebagai ilmu ia berusaha menjadi sintesa baru antara sosiologi sebagai

Sajogyo (1971: 426-429), Penelifian //mu Sosial dan Aplikasinya, &lam Koentjaraningrat (ed), Metodd i Penelitian Masyarekat, LIPI. Jakarta

09, Gunawan Wired (1996: 7-81, Rekeyasa SosieI dalam Menghadapi Era lndusln'alisasi Pertanian,

(23)

sistem pengetahuan dan praktek kerja sosial dalam memecahkan rnasalah sosial nyata.

Dengan kata lain menuju pembangunan ilmu sosiologi terapan itulah hakekat usaha pencarian sintesa baru, yaitu menjembatani kesenjangan (gap) antara ilmuwan (sosial) dan para penentu kebijakan. Peran ilmuwan sosial sebagai pengelola proses dialektis antara teori dan praktek seperti itu yang oleh Lazarfeld semula diberi metafor social engineer. Jadi, bukan perekayasaan pemecahan masalah itu sendiri

.

Terlepas dari masih terdapatnya kontroversi dalam cara memaharni istilah dan konsep SE dalam kerangka keilmuan, namun seperti telah disebutkan di atas, di tataran empiris SE atau PM (dan PS) ini adalah suatu gejala sosial nyata yang senantiasa hadir dalam kehidupan suatu masyarakat untuk mengatur diri dalam kehidupan berkelompok. PM merupakan suatu bentuk khas PS, yaitu suatu jenis pengawasan sosial yang bersifat formal. Makin berkembang suatu masyarakat makin formal pula bentuk PM dengan segala alat bantu-nya seperti kekuasaan dan hukurn. Sebaliknya PS adalah PM yang tidak formal dan tidak memiliki alat bantu khas seperti sangsi hukum apalagi kekuasaan.

Menurut Susanto-Sunario usaha menghimpitkan kepentingan antara PM dan PS adalah merupakan upaya setiap pemerintah di mana-mana, karena itu pemerintahan sebagai kekuatan PM perlu selalu mengekang diri agar sistem pengendaliannya (pemerintahannya) tidak menjurus ke arah totaliterisme. Belum jelas benar bagi Pound yang mencetuskan istilah SE pertama kalinya pada tahun 1922, apakah ia memaksudkannya sebagai pengendalian sistem politik terhadap masyarakat atau sebaliknya sebagai pengendalian masyarakat terhadap sistem politik, ataupun sebagai suatu kerja sama antara PM dan PS. Yang penting bagi Pound saat itu hukum yang '

(24)

adil perlu berpangkal pada kenyataan psiko-sosiologik suatu masyarakat. Pendekatan di atas bermakna- untuk mernberikan pengamanan atas keinginan-keinginan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. PM dengan demikian harus berusaha mengatasi pertentangan dan persaingan antar anggotalgolongan masyarakat. Pertentangan ini selalu berasal pada (a) keterbatasan tersedianya sumberdaya, dan (b) keterbatasan kesernpatan, serta (c) keterbatasan volume pemenuhan-pemenuhan kebutuhan dasar 5 .

2.2. Etos Komunal

Adalah menarik untuk lebih jauh melihat apa beda PS dengan kritik sosial. Kritik sosial jelas Susanto-Sunario lebih lanjut, biasanya dinilai sebagai barometer sosial-politik suatu masyarakat Adanya pendapat- pendapat yang menginginkan koreksi atau perbaikan dalam masyarakat menjelaskan adanya gagasan untuk membuka perubahan nilai atau bahkan sistem nilai apabila berjalan cukup lama dan bersifat pervasif. Sehubungan dengan adanya pendapat-pendapat yang berbeda dalam masyarakat, maka seringkali orang menghubungkan faktor kritik sosial dan PS.

Selanjutnya kritik sosial juga sering dihubungkan dengan pendapat umum yang biasanya menginginkan sesuatu yang baru, atau ha1 yang lama telah diketahui untuk segera dilaksanakan. Pertanyaannya kini adalah: Seberapa jauhkah hubungan-hubungan demikian ini tepat ?. Untuk mencari 'jalan ke luar' dari pertentangan ini dengan mengacu pada pemikiran Huxley dan Huxley oleh Susanto-Sunario mula-mula dibahas mengenai 3 jenis etos.

Astiid Susanto-Sunario (1989:141), Komunikasi Pengendalian dan Komunikasi Pengawasan, Sidr Harapan, Jakarta.

(25)

Etos tersebut masing-masing adalah etos intuitif, etos nafuralistik, dan etos evolusionalistiks

.

Namun sebelum menguraikan lebih lanjut ketiga etos tersebut di atas perlu ditegaskan kembali makna konsep etos. Etos di sini adalah norma moral yang pendasaran keberlakuannya datang dari budaya dan sikap kolektif, yaitu hasil sosialisasi dan internalisasi warga yang bersangkutan. Pada norma moral ini ada tekanan agar individu-individu warga yang bersangkutan mengambil sikap tanggung jawab dan kewajiban yang mengutarnakan pemenuhan kebutuhan bersama secara merata dan adil (resiprokal). Dalam khazanah kepustakaan ilmu-ilmu sosial. etos ini sering juga dipahami sebagai kebiasaan, adat, watak, cara berbuat dan beberapa arti lainnya yang menunjukkan tentang karakter suatu kelompok atas kelompok lainnya. Etos adalah masalah tentang baik dan buruk, yang bajik dan yang jahat, yang benar (dalam arti adil) dan yang salah, dan seterusnya. Etos sosial (dalam studi ini disebut etos komunal) adalah suatu pleonasme, karena para sosiolog mengartikan etos sebagai sejumlah perangai budaya, karakteristik yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya

'

.

Dalam uraiannya yang rinci Soekito menyebut suatu pernyataan, manusia itu selalu mengalami alienasi, selama ia hidup selarna itu pula ia akan tetap mengalami alienasi. Setiap tindak-tanduk manusia yang menimbulkan ketegangan-ketegangan, membuktikan kekurangan dirinya. Alienasi itulah kekurangan kita sebagai manusia yang sesungguhnya dapat kita kurangi tetapi tidak dapat ditiadakan. Jika kita sebagai manusia telah menyadari kekurangan yang dicerminkan oleh tindak-tanduk atau tingkahlaku diri kita sehari-hari, maka kita memerlukan orang lain.

'

T.H. Huxley dan Julian Hwdey (1947) dalam Asrtrid S. Sunatio, (1977:E-10). Makna dan ~ungsi kick' Sosial dalam Masyarakaf dan Negam, Prisma, LP3ES.
(26)

Kekurangan yang kita alami bukanlah sesuatu yang merintangi kita untuk berusaha rnenyernpurnaKan hidup kita, melainkan justru merupakan dorongan. Oleh karena itu keberadaan orang lain merupakan faktor positif jika dilihat dari sudut etos sosial.

Dengan mengembangkan positif pada orang lain, kita akan lebih mudah menghayati hak-hak kita, karena kita tidak akan menuntut hak-hak kita tanpa terlebih dahulu menghormati hak-hak orang lain. Menempatkan orang-orang sebagai pribadi berarti memperlakukannya sebagai pribadi, yaitu sebagai seorang yang sebagaimana kita, mempunyai daya-upaya dan keinginan untuk menyempurnakan hidupnya. Kita harus adil terhadap orang lain dan kita akan berlaku demikian hanya apabila kita mengakui dalam perbuatan orang lain terkandung eksistensi berharga. Tanpa pengakuan ini tidak akan mungkin timbul hidup etis, yang dicerminkan dalam perbuatan rnembatasi diri dengan sukarela

' .

Kembali pada konsep etos yang di awal paragraf ini hendak kita hubungkan dengan pertanyaan sejauhmana PS, dalam konteks kepentingan yang berhadapan dengan PM, dan kritik sosial saling berkaitan maka kita perlu melihat konsep etos itu secara lebih analitis. Seperti telah disebutkan terdahulu, pertama-tama kita dapat mulai dengan mengajukan uraian apa itu etos intuitif Etos ini pada dasarnya hendak menggambarkan apa yang oleh pribadi dianggap benar. Hal ini disebabkan karena manusia dalarn hidupnya seringkali akan mengalami konflik mental. Hal ini wajar, sebagai manusia ia juga akan berusaha untuk mengatasi konflik mental ini dengan akibat bahwa dalam dirinya akan terbentuk dengan sendirinya dasar dari hati nuraninya dan kesadaran akan moral, sehingga berkembanglah dalam dirinya suatu

(27)

0

sistem etos

.

Di sini walaupun etos menjadi pedoman manusia dalam kapasitas individu banyak membantunya dalam membentuk- kesadaran moralnya, namun ditinjau dari segi makro, etos tidak memberi jaminan kepada individu, apakah secara obyektif yang telah dilakukannya berdasarkan etos dan hati nuraninya adalah mutlak berada di landasan yang benar.

Selanjutnya etos naturalistik menurut Huxley lebih ditentukan oleh evolusi, otoritas, dan tradisi sehingga unsur kesadaran moral lebih ditentukan oleh unsur biologis-genetik. Tahap dan situasi nyata lingkungan akan menentukan sifat etos yang dianut suatu kelompok. Etos seperti ini mirip dengan pendapat para ahli antropologi yang melihat etos tidak terlepas dari lingkungan dan kelompok. Dalam kondisi naturalistik etos dilandasi pemikiran prinsip resiprokal karena satu sama lain saling memerlukan, saling terdorong memberikan kemanfaatan atau kegunaan sehingga tercapai kemaslahatan sosial.

Etos seperti ini tidak tumbuh pertama-tama oleh prinsip transendental, melainkan situasi nyata lingkungan sosial, materi dan non-materi. Ritus agama atau kepercayaan pada gilirannya akan menguatkan pemberian sangsi yang lebih tinggi, sehingga orang takut untuk berperilaku menyimpang. Sernua ini akhirnya mempunyai pengaruh psikologis terhadap individu, sehingga ia tidak mau melanggar apa yang oleh kelompoknya dianggap baik, supaya ia tidak hilang muka dan akan dinilai sebagai orang baik.

Menghubungkan etos sosial naturalistik dengan kehidupan komunitas petani, kita dapat menyimak pada uraian Scott yang melihat bahwa di kebanyakan komunitas tersebut khususnya yang bersifat pra-kapitalis, kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan telah menyebabkan

0

(28)

timbulnya apa yang mungkin dapat dinamakan secara tepat sebagai etika subsistensi.

Etika yang terdapat di kalangan petani Asia Tenggara itu merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas. Etika sosial ini pada gilirannya menimbulkan pengaturan-pengaturan (norma) sosial yang di tataran kehidupan nyata masih kuat bertumpu pada pinsip- prinsip resiprositas. Lebih tegas lagi Scott menyebut prinsip safety first allas dahulukan selamat iniiah yang melatar-belakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalislO.

Apabila etos intuitif lebih bersifat pribadi, dan etos naturalistik lebih terikat pada tahap perkembangan biologis dan ikatan kolektif manusia, maka menurut Huxley etos berdasarkan teori evolusi adalah etos yang bersifat dinamis. Perkembangan konsep etos hingga ke tahap ini dimungkinkan oleh perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti psikologi. sosiologi, sejarah, dan lain-lain. Etos berdasarkan teori ini memungkinkan manusia berkembang dan menjadi lebih dewasa.

Pengertian etos dalam rangka teori evolusi terarah untuk mengembangkan etos itu sendiri, bukan untuk menghambat manusia. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan lebih banyak pengetahuan dan pengalaman serta mencari keserasian antara unsur-unsur tadi.

Dengan demikian konsep etos menurut teori evolusi kurang mengukur benar-tidaknya suatu tindakan berdasarkan ukuran kelompok saja (sebagaimana yang dilakukan oleh etos naturalistik). Etos berdasarkan teori evolusi justru menilai manusia dalam keutuhannya dan tidak melihatnya terlepas dari lingkungan tersebut. Pikiran bahwa etos dalam teori evolusi melihat perkembangan inividu tidak terlepas dari lingkungannya justru tercerminkan dalam kenyataan bahwa sumbangan pemikiran ilmiah dan'

10

(29)

pengetahuan justru diperlukan sebanyak mungkin. Perkembangan dan pembentukan suatu moralitas sosial dirasakan hanya dapat te~lujudkan apabila cukup pengetahuan baru yang menunjang usaha manusia dalam menganalisa kenyataan apa yang baik dan apa yang buruk.

Apabila pengetahuan rasional diperlukan untuk lebih menjelaskan kenyataan dan memahaminya serta mencari jawabannya melalui proses berpikir secara abstrak, maka juga dalam bidang seni-budaya manusia dapat memperoleh nilai baru (atau nilai lama yang kembali) setelah melalui proses komunikasi. Etos dalam teori evolusi karenanya tidak berbeda dengan etos menurut teori naturalistik, yaitu ia tetap mempertahankan nilai operasionalnya. Namun dernikian etos menurut teori evolusi didasarkan pada pengetahuan yang luas dan banyak. Kontrol dalam ha1 ini bersifat disiplin diri karena kepentingan diri dengan adanya disiplin sosial. Manusia menurut etos evolusionistik ini bersikap dan bertindak dengan berwawasan lebih komprehensif.

Manusia tetap mencari dan mernperoleh kesempatan untuk rnemenuhi dorongan-dorongan dalam dirinya akan tetapi tetap rnencari keserasian dengan lingkungannya. Ini karena ia sadar bahwa ia tidak hidup sendiri dan juga memerlukan lingkungan itu untuk perkembangannya sendiri. Keserasian dengan lingkungan dengan demikian tidak merupakan tujuan utama, melainkan merupakan sarana dan nilai operasional demi perbaikan hidup individu dengan lingkungannya.

(30)

kelompok, melainkan bersama-sama mencari jalan keluar dari masalah. Dari sinilah muncul yang disebut kepekaan sosial (social sensitivity) yang merupakan awal dari lahirnya kritik sosial.

2.3. Ruang Sosial Semi Otonom: Ajang Dialog Kritis antara Golongan

Elit dan Warga Desa Terrnasuk Golongan Periferi.

2.3.1. Kritik Sosial

Kritik sosial, apabila kita tempatkan dalam konteks kehidupan komunitas desa (petani) sederhana yang masih dilandasi etos naturalistik, lebih tepat kita sebut sebagai ajang bermusyawarah, ajang bertukar-pikiran atau ajang bersilaturahmi. Ajang bermusyawarah sebagai wacana interaksi yang mengembangkan perbincangan dalam kenyataannya memang dapat terjadi dengan ragam bobot dan skala yang berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri proses pergeseran ajang sosial biasa menuju ajang bermusyawarah lebih mudah terjadi apabila pesertanya melibatkan diantaranya figur-figur kritis (pemuka masyarakat dan kalangan terdidik). Hal ini wajar karena mereka dengan etos infuitifnya relatif lebih mampu merumuskan rasa kepekaan sosial dan lebih mampu rnentransformasikannya dengan bahasa yang pas (cocok) pada khalayak warga desa dalam bentuk verbal.

(31)

Adalah sangat penting membahas ha1 terakhir ini, karena bagi warga desa-terutama golongan periferi, apabila kita menghubungkan pembicaraan kita tentang dimensi politik, jelas ditunjukkan bahwa aspirasi mereka selama ini tak cukup terakomodasikan dalam institusi-institusi formal seperti Lembaga Ketahanan Musyawarah Desa (LKMD). Soetrisno mengatakan kelompok-kelompok (pembangunan) komunitas di pedesaan secara sosial- ekonomis sesungguhnya sejak lama tidak lagi bersifat homogen sehingga dapat diduga LKMD lebih berfungsi sebagai wahana yang memperjuangkan kepentingan golongan elit semata.

2.3.2. Negara dan Penataan Pembangunan Masyarakat Desa (Formal): Korporatisasi Institusi-lnstitusi Formal Desa

(32)

dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini membuat proses pembangunan berwarna instruktif daripada bersifat dialogis yang dalam jangka panjang mengakibatkan masyarakat sangat tergantung pada negara dan aparatnya dalam ha1 pembangunan."

Soetrisno lebih jauh mengatakan suatu pembangunan dikatakan berhasil tidak hanya apabila pembangunan itu menaikkan taraf hidup masyarakat, tetapi juga harus diukur dari sejauh mana pembangunan itu dapat menimbulkan kemauan dan kemampuan dari suatu masyarakat untuk mandiri. Artinya, kemauan masyarakat itu untuk menciptakan pembangunan dan melestarikan serta mengembangkan hasil-hasil pembangunan, baik yang berasal dari usaha mereka sendiri maupun yang berasal dari prakarsa yang datang dari luar masyarakat. Dari segi ini negara dan aparatnya akhirnya tetap merupakan unsur dominan dalam proses pembangunan pedesaan. Hampir semua departemen memiliki program pembangunan pedesaan, dimana Kades dan aparatnya tetap merupakan 'titik masuk' (entry point) yang utama bagi semua program pembangunan pedesaan.

lnovasi dalam beberapa aspek strategi pedesaan di Indonesia dilakukan juga oleh negara, salah satu yang penting adalah dibentuknya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan diberikannya fungsi penasehat bagi Kades pada lembaga tersebut. Namun dalam kenyataannya LKMD belum dapat berfungsi sebagaimana diharapkan. LKMD masih merupakan bagian dari perangkat pemerintah desa. Demikian pula inovasi- inovasi lain yang dikembangkan di daerah pedesaan masih mencerminkan dominasi negara dalam proses pembangunan. Sentralisme tetap merupakan ciri dalam proses pembangunan pedesaan di negara kita, dan ini terkait dengan kenyataan bahwa masyarakat pedesaan khususnya tidak memiliki

(33)

kelas menengah yang dapat menjadi sumber penggerak pembangunan -atternatif.

Ada beberapa akibat penting dari kegagalan negara rnenciptakan kelas menengah. Salah satunya adalah negara dan aparatnya harus menjadi motor tunggal penggerak pernbangunan (moderninasi) masyarakat. Sekaligus dengan itu, negara dan aparatnya sering menjadi obyek kritik apabila terjadi kesalahan dan tidak berhasilnya program moderninasi yang mereka rencanakan. Kritik ini sering menjadi ketegangan-ketegangan politik apabila negara dan aparatnya memiliki tradisi yang tidak menghargai makna kritik dalam proses moderninasii2

Sejalan dengan pendapat Soetrisno, Mas'oed melihat program PMD- formal sebagai salah satu mata-rantai yang menghubungkan unit politik negara di satu pihak dan unit politik masyarakat desa di pihak lain. Sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, PMD-formal juga dikonseptualisasikan sebagai proses pengkonsolidasian berbagai wilayah teritorial dan pengintegrasian kehidupan masyarakat dalam berbagai dimensi (sosial, kultur, ekonomi, maupun politik) ke dalam satu unit yang utuh

".

Dalam perspektif ini program PMD-formal yang dilakukan pemerintah mengandung dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif. Pertama, PMD-formal merupakan proses memasukkan desa ke dalam negara, yaitu melibatkan masyarakat desa agar berperan-serta dalam masyarakat yang lebih has. Ini dilakukan melalui pengenalan pelembagaan baru dalam kehidupan desa dan penyebaran gagasan modernisasi. Kedua, PMD-formal juga betwujud proses memasukkan negara ke dalam desa. Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan hegemoni negara sehingga

l2 Loekman Soetrisno (1988:1325), Negara dan Peranannya d818m Menciptakan Pembangunan Desa yang Man?$ri, Prisma No.1, LRES, Jakarta.

(34)

merasuk ke dalam kehidupan masyarakat desa dan sering mengakibatkan peningkatan ketergantungan desa terhadap negara.

Diungkapkan lebih jauh oleh Mas'oed proses pertama sebenarnya menjanjikan warga desa kemungkinan untuk dilibatkan dalam pembangunan nasional. Melalui program PMD-formal warga desa bisa berharap memperoleh 'akses' ke berbagai jenis sumberdaya pembangunan, material maupun politik yang dimiliki negara. Berbagai jenis proyek pembangunan, baik melalui mekanisme PELITA, yang dilaksanakan berbagai instansi sektoral maupun melalui skema INPRES dan BANGDES (sekarang disebut PMD), telah berfungsi sebagai penyalur banyak sumberdaya ke pedesaan. Sebagian besar kebijaksanaan publik itu telah berhasil memobilisasi penduduk pedesaan sebagai warga dari negara nasional Indonesia, yang bisa menikmati bagian dari hasil pembangunan secara lebih besar, dan yang lebih penting lagi bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara penuh. Dengan kata lain, proses ini bisa membuka jalan menuju partisipasi, modernisasi, dan mungkin juga demokratisasi.

Namun harapan itu kurang didukung oleh proses kedua dalam PMD- formal, yaitu proses penetrasi negara ke desa. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam praktek masyarakat desa hanya bisa punya akses ke sumberdaya kehidupan negara, kalau negara juga punya akses kehidupan desa. Melalui berbagai aturan main yang mendukung program PMD-formal. negara menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang mempengaruhi kehidupan sosial, politik dan ekonomi sehari- hari warga desa. Penetrasi itu dilakukan antara lain melalui kooptasi atau pembentukan lembaga baru yang didominasi oleh negara (misalnya, LKMD) maupun melalui pejabat negara yang ditugaskan di desa.

(35)

lain kooptasi itu adalah birokratisasi prosedur desa. Saluran yang seharusnya merupakan pembawa suara desa ke negara berubah menjadi saluran perintah dari negara terhadap warga desa.

Penetrasi negara ke dalam kehidupan desa itu berjalan efektif selama Orde Baru antara lain karena dua hal. Pertama, adalah dukungan jaringan administrasi teritorial militer yang sejajar dengan jaringan administrasi teritorial sipil. Kedua, adalah sistem perwakilan kepentingan, yang menghubungkan negara dan masyarakat melalui jaringan organisasi- organisasi fungsional non-ideologis atau 'korporatisme negara'. Penerapan mekanisme ini oleh pemerintah Orde Baru, menurut Mas'oed, telah menghilangkan kemajemukan dalam kehidupan sosial dan politik pedesaan dan munculah pengorganisasian kepentingan masyarakat dalam wadah serba tunggal. Di pedesaan ha1 terakhir terwujud melalui organisasi Pendidikan Kesejahteraaan Keluarga (PKK) yang terutama untuk menampung kegiatan kaum wanita, Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai wadah kolektif ekonomi, Karang Taruna untuk wadah kegiatan para

remajalpemuda, dan lain-lain.

Melalui organisasi-organisasi yang berciri korporatis ini negara secara bersungguh-sungguh mengandalkannya sebagai satu-satunya media penyambung antara negara dan masyarakat. Karena mekanisme inilah yang diyakini bisa meminimalkan konflik sosial dan memaksimalkan produktivitas. Yang dipersoalkan di sini adalah kenyataan bahwa organisasiorganisasi itu kurang diarahkan pada upaya memperjuangkan kepentingan anggota- anggotanya, tetapi justru iebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sarana mengendalikan perilaku masyarakat itu sendiri.

Kecenderungan monopolisasi lembaga perwakilan kepentingan itu justru menimbulkan banyak kesempatan bagi para elit desa yang menempati '

(36)

pembangunan desa mencirikan dengan kuat bias kota. Ini dimulai dari pembentukan- gagasan-gagasan di pusat yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh birokrat kota dan teknokrat, dan kemudian ia disebarkan dan dlterapkan ke daerah-daerah tanpa didahului dengan suatu proses uji-coba14

Dalam konteks yang demikian ini para pemimpin lokal diketahui menjadi lebih tertarik untuk mengejar karier (dan bisnis) di lingkup atas desa, dan untuk meraih itu semua mereka rnelakukannya dengan berkiprah pada proses-proses yang berjalan dari atas-bawah. Dengan demikian dapat diduga bahwa pemimpin lokal tidak lagi bekerja atas nama lapisan bawah (golongan periferi) yang sesungguhnya perlu diperjuangkan nasibnya.

Berdasarkan uraian di atas perlu disoroti secara khusus peranan pemerintah desa, terutama Kades yang semakin berkepentingan untuk berorientasi ke Iuar desa. Untuk memahami sikap ini perlu diperhatikan dua hal. Pertama, adalah proses rekrutmen Kades, dan kedua, adalah aneka- fungsi yang secara aktual dilakukan oleh para pejabat desa tersebut.

Mengenai proses rekrutmen Kades, dari pengamatan Mas'oed dalam karangannya yang sama ditunjukan bahwa keberhasilan seseorang untuk menjadi pejabat desa lebih banyak ditentukan oleh wewenang di luar desa daripada oleh para pemilih dalam desa. Selanjutnya pemahaman mengenai kecenderungan orientasi ke luar elit desa juga bisa dimengerti dari begitu banyaknya fungsi yang harus ditangani oleh kepala desa. Fungsi-fungsi ini rnisalnya di bidang pembangunan pertanian (kredit pertanian) Insus, KUD, dalam bidang kesehatan (misalnya Keluarga Berencana), penarikan pajak (misal, PBB), dan lain-lain.

PMD yang dirancang dari atas mendorong penetrasi negara yang rnendalam dan meluas ke dalam kehidupan pedesaan dan pengintegrasiannya kedalam kerangka kerja nasional. Selain memberi

(37)

kesempatan kepada penduduk desa untuk menikmati sumberdaya yang dimiliki negara, program itu juga memaksakan menyeragamkan pelembagaan desa dengan risiko menghapuskan keunikan lokal. Di hadapan hukum nasional banyak lembaga-lembaga lokal kehilangan keabsahannya. Ditambah dengan mekanisme pengendalian masyarakat yang ketat, kondisi itu rnelemahkan otonomi pedesaan, dan akhirnya memandulkan potensi- potensi yang ada di sana untuk menurnbuhkan demokrasi.

Memang benar bila dilihat dari latar belakang sejarah lebih ke belakang, maka dalam kenyataannya sebelum kedatangan VOC ke Indonesia sekali pun, pusat kerajaan-kerajaan di Jawa sudah banyak mencampuri otonomi desa yang kemudian diintensifkan oleh masa penjajahan setelah pada tahun 1799 VOC peranannya diarnbil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.

(38)

2.3.2.1. Korporatisasi dan lmplikasinya Terhadap Pelayanan Kepentingan Umum

Adalah menarik untuk mengungkapkan lebih jauh masalah gejala korporatisasi institusi-institusi formal pembangunan desa di atas. Sebagaimana telah disinggung pemerintah secara sengaja telah mengintroduksikan sejumlah institusi formal yang dimaksudkan untuk melancarkan jalannya pembangunan khususnya yang diprakarsai dari atas- desa, termasuk di sini institusi pemerintahan desa. Dalam kaitan ini menarik untuk memperhatikan arti korporatisasi institusi-institusi formal pembangunan desa itu dalam konteks wacana yang lebih luas dan implikasinya terhadap pelayanan kepentingan umum..

Sebagaimana telah dijelaskan di muka korporatisasi yang dimaksudkan di sini menunjuk pada gejala perlakuan atas institusi-institusi formal pembangunan desa yang cenderung atau bahkan sepenuhnya dikelola sebagai unit perwakilan kepentingan negara yang fungsi dan tujuan- tujuannya ditata secara hirarkhis oleh negara dan bersifat memaksa. Penataan ini berhubungan dengan kehendak memberikan monopoli perwakilan negara untuk suatu kepentingan sesuai dengan kategori fungsi- yang diembannya. Selanjutnya untuk menjamin kelancaran atas kepentingan itu, kepada institusi-institusi yang bersangkutan oleh negara dikenakan suatu syarat, yaitu mereka harus tunduk kepada pengawasan tertentu dalam pemilihan pimpinan serta dalam artikulasi tuntutan dan dukungan.

(39)

aras mikro (desa) saja masih memerlukan penjelasan teoritis untuk mendapatkan pemahaman yang lebih makro (aras negara). Dengan kata lain pertanyaan berikutnya adalah bagairnana sebenarnya proses korporatisasi pada institusi-institusi formal desa apabila hendak kita jelaskan dalam konteks yang lebih makro (negara).

Menjawab ha1 ini Budiman rnenghubungkan gejala korporatisasi ini dengan faktor kemandirian dan kenetralan negara. Dengan gejala kemandirian negara yang dimaksud adalah inisiatif yang diambil negara dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Negara yang mandiri adalah negara yang secara sepihak mengambil inisiatif untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Jelas bahwa negara ini tentunya merupakan negara yang secara politis kuat. Peran negara seperti ini oleh Stephan sebagaimana dikutip oleh Budiman disebut Negara Organis. Negara organis adalah negara yang punya kemauan dan kepentingan sendiri dan melakukan intewensi ke dalam kehidupan masyarakat. Konsep kemauan dan kepentingan sendin dari negara adalah kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Konsep kebaikan umum, dengan keharusan moral yang dibebankan kepada negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, membuka kesempatan untuk merumuskan dan dengan inistiatif sendiri memaksakan perubahan-perubahan besar kepada sebuah rnasyarakat. Jelas dalam konsep teori Negara Organis ini, negara yang menjadi lembaga politik yang paling penting"

.

Dihubungkan dengan faktor kedua yaitu kenetralan negara maka perlu dijelaskan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsep tersebut. Budiman menyebut negara dikatakan netral, bila kebijaksanaan- kebijaksanaan yang dijalankannya bersifat melayani kepentingan umum,

l6 Arief Budiman (1882: 4-7), Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil-hasil

Pembangunan, LPBES, Jakarta.

(40)

bukan kepentingan elit negara tersebut. Jadi yang dipakai sebagai ukuran kenetralan di sini adalah hasil kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh sesuatu negara.

Kenetralan negara ini apabila dibahas lebih jauh membawa kita kepada dua pemikir besar. Hegel seperti dikutip Budiman percaya kalau warga dibiarkan mengatur dirinya sendiri, maka akan terjadi kekacauan karena masing-masing warga akan memperjuangkan kepentingan subyektufnya melawan kepentingan subyektif warga lainnya. Ini adalah tesis dan anti-tesis yang sintesisnya ditemui dalam pewujudan lembaga negara. Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan dari kepentingan urnum masyarakat. Kepentingan umum ini sebenamya merupakan kepentingan warga juga. Dengan mengikuti kepentingan umum, warga sebenarnya sedang membela kepentingan dirinya sendiri.

Namun dalam kenyataannya, kebijaksanaan-kebijaksanaan negara seringkali hanya menguntungkan sekelompok orang dalam masyarakat. Karena itu Marx beranggapan negara wma alat dari segelintir orang yang berkuasa di masyarakat. Negara hanyalah alat dari klas yang berkuasa. Menurut Marx Hegel melakukan kesalahan metodologis. Seharusnya, ide diperoleh dan diangkat dari kenyataan yang empiris, bukan sebaliknya.

Aspek kedua dari kenetralan sebuah negara, yakni proses pengambilan keputusannya apakah dijalankan secara demokratis atau tidak. Pengambilan keputusan yang lebih mengikut-sertakan kelompok-kelompok di dalarn masyarakat lebih memungkinkan terjadinya kebijaksanaan- kebijaksanaan yang melayani kepentingan umum. Sebaliknya, bila pengambilan keputusan tidak demokratis maka kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkannya tidak atau kurang mencerminkan kepentingan umum.

(41)

menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaannya, melainkan membiarkan agar masyarakat turut berpartisipasi. Dalam kaitan inilah kita sampai pada pengertian Negara Pluralis. Negara Pluralis adalah negara yang tidak mandiri dalam arti negara tersebut tidak mengambil inisiatif dan memasukkan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam menyusun kebijaksanaan- kebijaksanaannya. Semua disusun secara demokratis, dengan partisipasi penuh dari warga masyarakat, baik secara perseorangan maupun sebagai kelompok dalam suatu proses politik yang bersaing. Hasilnya, kebijaksanaan-kebijaksanaan negara selalu melayani kepentingan umum.

Semacam bentuk antara Negara Pluralis dan Negara Organis ialah Negara Korporatis. Di sini negara mengambil inisiatif sendiri untuk berperan, tetapi dalam melakukan kebijaksanaan, negara ini memilih atau membentuk kelompok-kelompok berdasarkan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat dan meminta wakil-wakil kelompok tersebut untuk duduk dalam salah satu lembaga negara. Peran wakil-wakil ini adalah memberi masukan-masukan pendapat yang oleh Negara Korporatis kemudian diolah untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan politiknya. Dengan demikian, proses demokratis yang dijalankan oleh negara merupakan proses demokratis yang datang dari atas, dan sifatnya terbatas.

Teori negara korporatis ini di Indonesia terasa sekali dianut oleh rezim yang berkuasa selama PJP I. Di Indonesia semboyan yang paling dikenal dalam kerangka negara korporatis adalah rakyat masih bodoh, karena itu negaralah yang akan merumuskan pembangunan untuk rakyat.

2.3.3. Ruang Sosial Semi Otonom dalam Konteks Teori Kritis

(42)

dukungan, kinerja institusi tersebut menjadi terbatasi oleh kendali negara. Seperti kita ketahui penataan institusi ini berhubungan dengan kehendak- negara untuk memberikan monopoli pelwakilan untuk suatu kepentingan, sesuai dengan kategorinya masing-masing.

Bertolak dari pengertian ini penting bagi kita memahami sampai mana ajang-ajang sosial yang eksis dalam komunitas lokal mampu memaknai dirinya sebagai ruang (sosial) semi-otonom. Artinya, ajang sosial yang bertransformasi menjadi suatu wacana publik yang menggelar di dalamnya interaksi-interaksi yang menghasilkan dialog-dialog (kritis) antar warga, khususnya dalam rangka menjabarkan secara reflektif kegiatan-kegiatan PMD-formal sehingga kepentingan antar golongan dapat diakomodasikan. Dikatakan sebagai ruang sosial sosial semi-otonom karena ia menunjuk pada suatu fakta bahwa ruang kecil ini dapat menghasilkan kesepakatan- kesepakatan, aturan, nilai-nilai, bahkan adat-istiadat. Namun sejajar dengan itu ruang tersebut rentan terhadap aturan-aturan atau desakan-desakan kekuasaan yang datang dari luar.

(43)

sehingga terbuka untuk perubahan. Dengan demikian Marx membuka jalan ke tindakan emansipasi.

Namun menurut Habermas, Marx tidak mempertahankan pendekatannya secara konsisten. Marx di bawah saintisme abad 19,

memahami teorinya lebih sebagai pola teori ilmu alam: sebagai teori obyektif yang sekedar mendeskripsikan hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat, daripada sebagai suatu kegiatan kritis. Habermas dalarn hubungan ini bicara tentang salah paham positivistik Marx terhadap teorinya sendiri. Sebagai akibat teorinya menjadi dogma sehingga berakibat kehilangan daya pembebas.

Marx merosot menjadi seorang positivis sosial, karena menurut Habermas ia mereduksikan manusia pada satu macam tindakan saja, yaitu pada kerja. Marx lupa melihat makna komunikasi, yaitu interaksi simbolik timbal-balik antar manusia, yang sebenarnya. Marx memang mencoba memahami interaksi tersebut, sebagai perkembangan pekerjaan, tetapi menurut Habermas ha1 itu tak memungkinkan. Pekerjaan dan interaksi komunikasi adalah dua macam tindakan manusia yang walaupun saling mengandaikan, saling mengantarkan dan berkaitan erat, namun tidak dapat dikembalikan satu sama lain.

Dengan kata lain Marx hanya memahami interaksi (komunikasi) hanya sebatas dimensi pekerjaan saja, sehingga tak mengherankan teorinya gagal sebagai teori emansipatif. la hanya mengembalikan seluruh perkembangan masyarakat pada perkembangan alat-alat produksi. Sementara Haberrnas menunjukkan meskipun perkembangan alat-alat produksi tetap memainkan peranan dalam perkembangan masyarakat, namun ia tidak tidak mempelopori, ia hanya menyusuli suatu perubahan sosial saja.

(44)

sendiri. Sebaliknya, komunikasi merupakan interaksi yang diantarkan secara simbolis, menurut bahasa dan mengikuti norma-norma. Bahasa harus dapat dirnengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya. lnteraksi komunikasi mengembangkan kepribadian orang, melalui internalisasi peran-peran sosial. Komunikasi yang salah diganjari sangsi.

Perkembangan filsafat sosial sejak jaman Marx di abad ke 19 sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi saja, melainkan dapat mendorong praksis perubahan sosial. Praksis disini bukanlah tingkah laku buta naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial, jadi praksis yang diterangi oleh kesadaran rasionat"

.

Habermas sudah meneliti bahwa Hegel yang

" llmu pengetahuan dan tekndogi yang semula begitu dipercaya untuk membebaskan manusia dari perbatasanperbatasan alamiah dan aosialnya temyata berkembang menjadi 'idedogi' barn, sebab di dalamnya berlaku 'rasionalitas tekndogis'. Hal terakhir ini me-tgisyaratkan pandangan yang pesimitis berhubung rasio tersebut dinilai begitu berkuasa, sehingga menutup jalm pembebasan. Untuk mengatasi ha1 itu Habermas kemudian m w a r k a n suatu skema in-tatif untuk memahami rasionalisasi dalam perkembanan sejarah. Skema ini sesungguhnya betldak dari tewi rasionalisasi Weber, yang memusatkan din pada 'tindakan soaial'.

Habems kemudian menjelaskan adanya dua dmensi pada tindakan dasar manusia yaw dsebut 'keja' yaitu manakala manwia menghadapi alam, dan Interaksi' atau 'kwnikasi' manakala manusia menghadapi lingkungan masyarakat Dalam keterangan yaw lain dsebut dua istilah, yaitu lndakan rasimal bertujuan' (tercakup dalam dimensi keja) dan tindakan komunikal (tenakup &lam dmensi komunikasi). Tindakan yang pertama bersifat instrumental dalam arti untuk memenuhi aturan-aturan teknis berdasarkan pengetahuan

Gambar

gambaran awal tentang situasi lokal seperti Gambaran Umum Desa dan
Gambaran Umum Desa & Kecamatan
gambaran skematisnya.
gambaran Sumedang yang lebih komprehensif dan kontekstual. Sekaligus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penulisan laporan akhir ini adalah membuat sistem informasi e-learning pada SMA Negeri 4 Palembang yang meliputi proses pengolahan data kelas, data mata pelajaran,

Hal ini dikarenakan produk sabun antiseptik kompetitor memiliki efek berbahaya bagi kulit tubuh manusia karena menggunakan bahan aktif dari senyawa kimiawi yaitu triclosan,

Metode Pembelajaran role playing dan demonstrasi dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada materi ajar Munakahat,

Dua penelitian besar menemukan bahwa orang yang menerima akupunktur memiliki lebih sedikit hari dengan ketegangan sakit kepala dibandingkan mereka yang

Pada penelitian ini akan dibandingkan aplikasi dari metode Lagrange dan Constriction Factor Particle Swarm Optimization (CFPSO) untuk mendapatkan biaya pembangkitan yang

Dan orang-orang yang memberikan apa yang t elah mereka berikan, dengan hat i yang t akut , (karena mereka t ahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka..

Isi dari jual beli tanah juga harus rasional atau adil sesuai dengan konteks itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, Kedua, para hakim dalam

Usut saldo utang lancar dan jangka panjang yang tercantum dalam neraca ke buku besar dan buku pembantu piutang.. Usut posting pendebiten dan pengkreditan atas