• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH HUTAN MANGROVE TERHADAP PRODUKSI UDANG

WINDU (Penaeus monodon) PADA TAMBAK SILVOFISHERY

DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG

KABUPATEN LANGKAT

ZAINURI SYAM

090302010

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014

(2)

WINDU (Penaeus monodon) PADA TAMBAK SILVOFISHERY

DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG

KABUPATEN LANGKAT

ZAINURI SYAM

090302010

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak SilvofisheryDi Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat

Nama : Zainuri Syam

NIM : 090302010

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Ir. Maragunung Dalimunte, MAP

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus

monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan

Secanggang Kabupaten Langkat

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, Januari 2014

(5)

ABSTRAK

ZAINURI SYAM. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Yunasfi dan Maragunung Dalimunte.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda di dalam tambak terhadap produksi udang windu dan untuk mengetahui kualitas air pada tambak silvofishery udang windu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2013 di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Penelitian ini menggunakan dua lokasi. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang, dan tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai, pancang, dan pohon pada masing-masing tambak. Pengambilan sampel kualitas air dan plankton pada setiap tambak dilakukan pada 2 stasiun yaitu pada bagian inlet dan bagian tengah tambak sebanyak 4 kali ulangan yaitu pada saat benur akan ditebar, dua bulan masa pemeliharaan, empat bulan masa pemeliharaan, dan lima bulan masa pemeliharaan. Pengambilan data produksi udang windu dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian pada saat proses pemanenan.

Hasil penelitian terhadap kerapatan mangrove pada tambak 1 untuk tingkat semai 215 ind/ha, untuk tingkat pancang 120 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 1020 ind/ha. Sedangkan kerapatan mangrove pada tambak 2 untuk tingkat semai 60 ind/ha, untuk tingkat pancang 290 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 50 ind/ha. Hasil penelitian terhadap parameter kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu dibandingkan dengan tambak 2. Hasil penelitian terhadap kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi daripada tambak 1. Hasil produksi udang windu yang diperoleh pada tambak 1 adalah 42 Kg, sedangkan pada tambak 2 adalah 29 Kg.

(6)

ABSTRACT

ZAINURI SYAM.The Effect Of Mangrove Forest for Tiger Shrimp Production

(Penaeus monodon) in silvofishery pond in Tanjung ibus village sub-district Secanggang District of Langkat. This Reseach Was Supervised by Yunasfi and Maragunung Dalimunte.

The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forests with different densities in pond to the production of tiger shrimp and to determine water quality silvofishery pond. This study conducted in silvofishery pond in Tanjung Ibus village, Sub-district Secanggang, District of Langkat on Mei – October 2013, by using 2 reseach station. Fist pond was a pond with high density, and second pond was a pond with low density. Mangrove vegetation analysis has been done by measuring the density of seedlings, stake and tree in each reseach station. Water quality and plankton sampling performed at each pond in 2 stasion at the inlet and the center of the pond. sampling has been done 4 times, when the fry will be stocked, two-month preservation period, four-month preservation period and five-month preservation period. tiger shrimp production data obtained from direct observations during the harvesting process.

The result showed mangrove density in ponds 1 for Seedlings was 215 ind/ha. Saplings 120 ind/ha and tree level 1020 ind/ha. Mangrove density in ponds 2 for seedlings was 60 ind/ha, saplings 290 ind/ha and tree level 50 ind/ha. The result showed water quality in pond 1 was better than pond 2 for use as aquaculture. because the value of water quality in ponds 1 meet the criteria. The result showed that abundance of plankton in the pond 2 was higher than the pond 1. Tiger shrimp production in pond 1 was 42 kg, and in pond 2 was 29 kg.

Keyword : Mangrove, Silvofishery, Tiger shrimp, Water quality.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Indrapura pada tanggal 3 Januari 1992.

Merupakan putra dari pasangan Syawal dan Markiah.

Pada tahun 2003 lulus SD Negeri 010231 Desa Aras,

tahun 2006 lulus SMP Negeri 3 Air Putih, kemudian

penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya

yaitu SMA Mitra Inalum Tanjung Gading dan lulus pada

tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara

melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Program Studi Baru,

terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan, Fakultas Pertanian. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan

(PKL) di Balai Benih Ikan Dinas Pertanian Dan Perikanan Kota Binjai pada tahun

2012. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas, penulis melaksanakan penelitian

dengan judul “PENGARUH HUTAN MANGROVE TERHADAP

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

PENGARUH HUTAN MANGROVE TERHADAP PRODUKSI UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA TAMBAK SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT”, yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas

dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis

menguucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua

tercinta yaitu Ayahanda Syawal dan Ibunda Markiah, yang telah memberikan

dukungan dan doa kepada penulis selama mengikuti pendidikan hingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Serta keluarga saya yang telah memberikan dukungan

moril maupun material. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan yang telah memberikan

dukungan dan ilmu yang berharga bagi penulis.

2. Bapak Ir. Maragunung Dalimunte, MAP selaku anggota komisi pembimbing

yang telah memberikan arahan dan ilmu yang berharga bagi penulis.

(9)

4. Bapak H. Ratal selaku pemilik tambak yang telah membantu penulis dalam

melakukan penelitian.

5. Seluruh Dosen dan staf Fakultas Pertanian khususnya Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan.

6. Teman-teman mahasiswa MSP 2009 yang telah memberikan dukungan dan

bantuannya Aufa, Arief, Dayat, Dedi, Fathul, Hapiz, Hiras, Ghanang, Khoir,

Rika, Ruri, Santi dan Yudha.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah

memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata semoga

skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang

Manajemen Sumberdaya Perairan.

Medan, Januari 2014

(10)
(11)
(12)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Alat yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air ... 24

2. Kriteria baku kerapatan mangrove ... 26

3. Kriteria kualitas air pemeliharaan untuk budidaya udang windu... 26

4. Jenis-jenis dan kerapatan mangrove pada tambak pengamatan ... 28

5. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada tambak pengamatan ... 29

6. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-1 ... 30

7. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-2 ... 31

8. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-3 ... 32

9. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-4 ... 33

10.Kondisi kualitas air pada tambak pengamatan ... 41

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5

2. Bentuk tubuh Udang Windu (Penaeus monodon) ... 9

3. Sketsa tambak akua-forestri model parit ... 12

4. Sketsa tambak akua-forestri model komplangan ... 13

5. Tambak akua-forestri model kao-kao ... 13

6. Tambak akua-forestri model parit terbuka ... 14

7. Peta lokasi penelitian ... 22

8. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove tinggi ... 23

9. Tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove rendah ... 23

10.Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada tambak pengamatan ... 28

11.Kelimpahan plankton pada masing-masing tambak pengamatan ... 34

12.Fitoplankton kelas Bacillariophyceae ... 35

13.Fitoplankton kelas Chlorophyceae ... 35

14.Fitoplankton kelas

15.Fitoplankton kelas Cyanophyceae da

16.Fitoplankton kel

17.Zooplankton kelas Kelas

18.Zooplankton kelas

(14)

No. Teks

Halaman

1. Data mentah kerapatan mangrove pada tambak pengamatan ... 54

2. Pengambilan sampel kualitas air dan plankton ... 55

3. Kualitas air pada tambak pengamatan ... 56

4. Data mentah kelimpahan plankton ... 57

(15)

ABSTRAK

ZAINURI SYAM. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Yunasfi dan Maragunung Dalimunte.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda di dalam tambak terhadap produksi udang windu dan untuk mengetahui kualitas air pada tambak silvofishery udang windu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2013 di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Penelitian ini menggunakan dua lokasi. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang, dan tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai, pancang, dan pohon pada masing-masing tambak. Pengambilan sampel kualitas air dan plankton pada setiap tambak dilakukan pada 2 stasiun yaitu pada bagian inlet dan bagian tengah tambak sebanyak 4 kali ulangan yaitu pada saat benur akan ditebar, dua bulan masa pemeliharaan, empat bulan masa pemeliharaan, dan lima bulan masa pemeliharaan. Pengambilan data produksi udang windu dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian pada saat proses pemanenan.

Hasil penelitian terhadap kerapatan mangrove pada tambak 1 untuk tingkat semai 215 ind/ha, untuk tingkat pancang 120 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 1020 ind/ha. Sedangkan kerapatan mangrove pada tambak 2 untuk tingkat semai 60 ind/ha, untuk tingkat pancang 290 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 50 ind/ha. Hasil penelitian terhadap parameter kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu dibandingkan dengan tambak 2. Hasil penelitian terhadap kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi daripada tambak 1. Hasil produksi udang windu yang diperoleh pada tambak 1 adalah 42 Kg, sedangkan pada tambak 2 adalah 29 Kg.

(16)

ABSTRACT

ZAINURI SYAM.The Effect Of Mangrove Forest for Tiger Shrimp Production

(Penaeus monodon) in silvofishery pond in Tanjung ibus village sub-district Secanggang District of Langkat. This Reseach Was Supervised by Yunasfi and Maragunung Dalimunte.

The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forests with different densities in pond to the production of tiger shrimp and to determine water quality silvofishery pond. This study conducted in silvofishery pond in Tanjung Ibus village, Sub-district Secanggang, District of Langkat on Mei – October 2013, by using 2 reseach station. Fist pond was a pond with high density, and second pond was a pond with low density. Mangrove vegetation analysis has been done by measuring the density of seedlings, stake and tree in each reseach station. Water quality and plankton sampling performed at each pond in 2 stasion at the inlet and the center of the pond. sampling has been done 4 times, when the fry will be stocked, two-month preservation period, four-month preservation period and five-month preservation period. tiger shrimp production data obtained from direct observations during the harvesting process.

The result showed mangrove density in ponds 1 for Seedlings was 215 ind/ha. Saplings 120 ind/ha and tree level 1020 ind/ha. Mangrove density in ponds 2 for seedlings was 60 ind/ha, saplings 290 ind/ha and tree level 50 ind/ha. The result showed water quality in pond 1 was better than pond 2 for use as aquaculture. because the value of water quality in ponds 1 meet the criteria. The result showed that abundance of plankton in the pond 2 was higher than the pond 1. Tiger shrimp production in pond 1 was 42 kg, and in pond 2 was 29 kg.

Keyword : Mangrove, Silvofishery, Tiger shrimp, Water quality.

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan

lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

untuk pertambakan adalah hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove dianggap

paling cocok untuk lokasi pertambakan. Dari berbagai studi, kemudian diusulkan

agar pembukaan hutan mangrove untuk pertambakan tidak melebihi 30 % dari

hutan mangrove yang tersedia (antara 10 – 20 %). Tujuannya adalah untuk

menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai ( Kordi 2012).

Sekitar 25.000 hektar hutan mangrove yang berada di sembilan kecamatan

pasisir pantai timur Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kini kondisinya rusak.

Kerusakan mencapai 25.000 hektar itu, termasuk yang rusak berat dan sedang,

karena alih fungsi lahan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit maupun

tambak. Kerusakan yang berada di Kecamatan Secanggang seluas 1.000 hektar

(Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, 2011).

Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih

(renewable resources), namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan

secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka

kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat,

tetapi juga tidak dapat berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan

tersebut. Secara umum ekosistem mangrove cukup tahan terhadap berbagai

gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian, mangrove tersebut sangat

(18)

pencucian serta tumpahan minyak. Kondisi ini mengakibatkan penurunan kadar

oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan menyebabkan kematian

mangrove.

Akibat dari tekanan berbagai kepentingan tersebut, terjadi kerusakan hutan

mangrove karena melebihi kapasitas daya dukungnya. Lebih dari lima puluh

persen hutan mangrove mengalami kerusakan atau bahkan hilang sama sekali

akibat berbagai faktor berikut : konversi hutan mangrove untuk peruntukan

lainnya, pencemaran pesisir oleh sampah, bahan bakar minyak, industri,

pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pantai (beach city), dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga

kehidupan daratan dan lautan (Kustanti, 2011).

Berdasarkan permasalahan di atas maka akan dilakukan pengembangan

silvo-fishery (silvofishery) yang merupakan salah satu pilihan usaha yang dapat

dikembangkan di ekosistem mangrove. Silvofishery adalah suatu bentuk usaha

terpadu antara hutan mangrove dan budidaya perikanan air payau. Sistem ini

merupakan budidaya perairan yang biayanya relatif rendah. Pendekatan terpadu

terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan

kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan mangrove tetap baik

sementara budidaya air payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomis.

Perumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda di

dalam tambak terhadap produksi udang windu?

(19)

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi udang windu pada

tambak silvofishery?

Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda

di dalam tambak terhadap produksi udang windu.

2. Untuk mengetahui bagaimana kualitas air pada tambak silfvofishey udang

windu.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi udang windu

pada tambak silvofishery.

Manfaat

1. Sebagai bahan masukan bagi petambak dalam menentukan proporsi

pemanfaatan hutan mangrove yang optimal untuk lahan budidaya tambak.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menerapkan

kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan usaha tambak silvofishery

yang berkelanjutan.

Hipotesis

Tambak silvofishery dengan kerapatan mangrove sedang produksinya lebih

tinggi daripada tambak silvofishery dengan kerapatan mangrove jarang.

Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove merupakan mata rantai yang penting dalam memelihara

siklus biologi di suatu perairan. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologi,

diantaranya sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan dan udang.

(20)

mengendalikan intrusi air laut, pengolah limbah organik. Fungsi ekonomi,

diantaranya penghasil kayu, tambak, pariwisata, penelitian dan pendidikan.

Fungsi-fungsi tersebut jika dimanfaatkan dengan baik dapat memberikan

keuntungan dan nilai tambah bagi ekonomi masyarakat. Salah satu pemanfaatan

mangrove adalah sebagai lahan tambak silvofishery. Silvofishery merupakan pola

pemanfaatan hutan mangrove yang dikombinasikan dengan tambak/empang.

Silvofishery diterapkan untuk meredam laju konversi ilegal hutan mangrove

menjadi tambak.

Berdasarkan hal di atas tambak silvofishery dapat mengakomodasi

kegiatan rehabilitasi/konservasi ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir secara

luas tanpa mengurangi manfaatnya secara ekonomi. Keberadaan mangrove

dengan tingkat kerapatan yang berbeda di dalam tambak, diduga akan memiliki

nilai atau pengaruh yang berbeda terhadap kondisi lingkungan di dalam tambak.

Sehingga dapat diketahui berapa besar mangrove berpengaruh terhadap produksi

udang windu. Berdasarkan permasalah di atas kerangka pemikiran penelitian

(21)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Hutan Mangrove

1. Perlindungan abrasi pantai 2. Mengendalikan intrusi air laut 3. Pengolah limbah organik Fungsi Biologi:

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan

komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta

dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan

pantai, hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai

adalah pohon-pohonan yang hidup di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang

dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang

dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Pengertian hutan mangrove sebagai hutan

payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada

tanah alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada

umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis jenis tanaman bakau. Oleh

karena itu istilah bakau digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus

Rhizophora. Istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup

disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.

Dengan demikian pada suatu kawasan hutan yang terdiri dari berbagai ragam

tumbuhan atau hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada, maka istilah

mangrove lebih tepat digunakan.

Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem perpaduan antara ekosistem

lautan dan daratan dan berkembang terutama di daerah tropika dan sub tropika

yaitu pada pantai-pantai yang landai, muara sungai dan teluk yang berlindung dari

hempasan gelombang air laut. Dengan demikian hutan mangrove merupakan

(23)

penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan (Harahab,

2010).

Fungsi Hutan Mangrove

Secara ekologi keberadaan habitat hutan mangrove memberikan kontribusi

bagi penyediaan unsur hara dalam ekosistem. Guguran daun mangrove yang jatuh

ke lahan mangrove akan diuraikan oleh mikroorganisme dan berfungsi sebagai

makanan bagi benur udang, kepiting, ikan, yang selanjutnya akan dijadikan

makanan bagi organisme besar, seperti ikan, burung, dan mamalia. Proses seperti

tersebut di atas disebut rantai makanan. Saat air laut pasang, hutan mangrove

menjadi tempat berkumpulnya ikan untuk mencari makan. Kerapatan vegetasi

hutan mangrove menjadi tempat persembunyian bagi benur udang dan anak ikan.

Karena itu, hutan mangrove merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi

satwa-satwa tersebut.

Perlindungan pantai dari proses abrasi/erosi adalah dengan berfungsinya

mangrove untuk menahan energi gelombang abrasi air laut ataupun energi dari

terjadinya erosi. Perluasan lahan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove

adalah terjadinya penjebakan (akresi) lumpur oleh perakaran vegetasi mangrove.

Akibat penjebakan lumpur ini maka terjadi penambahan daratan menjorok ke laut.

Daratan baru akan timbul/terbentuk. Intrusi air laut dapat dikendalikan dengan

adanya hutan mangrove di pinggir pantai dengan berfungsinya perakaran

mangrove yang berfungsi untuk menetralisir kadar garam air laut. Secara fisik,

hutan mangrove mampu melindungi kehidupan penduduk disekitarnya dari

(24)

kencang. Fungsi fisik terakhir adalah sebagai pengolah limbah organik. Ekosistem

hutan mangrove merupakan lahan sebagai tempat untuk mengolah limbah-limbah

organik dengan cara menetralisir zat-zat beracun yang dihasilkan limbah tersebut

(Kustanti, 2011).

Menurut Anwar (1996, diacu oleh Apriani, 2007) ekosistem hutan

mangrove sebagai sistem daerah penyangga mamiliki fungsi ekonomi sebagai

berikut :

1. Sebagai penghasil kayu, baik sebagai kayu bakar, arang maupun bahan

bangunan,

2. Sebagai bahan baku industri : pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan,

alkohol, penyamak kulit, kosmetik, zat pewarna dan lain-lain,

3. Penghasil bibit ikan, nener, udang, kerang, kepiting, telur dan madu,

4. Sebagai tempat pariwisata, tempat penelitian dan pendidikan.

Udang Windu

Menurut Suwignyo (1997, diacu oleh Agustina, 2006) klasifikasi Udang

Windu (Penaeus monodon) adalah sebagai berikut:

Filum : Crustacea

Spesies : Penaeus monodon

Secara morfologi tubuh udang windu terdiri atas dua bagian yaitu bagian

depan yang terdiri atas bagian kepala dan badan yang menyatu (Cepholothorax) dan bagian perut (abdomen) terdapat ekor dibagian belakangnya, seluruh bagian

(25)

tertutup kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan chitin.

Bagian kepala – dada tertutup oleh sebuah kelopak kepala atau cangkang kepala

(carapace), di bagian depan, kelopak kepala memanjang dan meruncing yang

pinggirnya bergigi-gigi (rostum) dan terdapat bagian tubuh yang berpasangan. Di bawah pangkal cucuk kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai dan dapat

digerak-gerakkan, mulut terdapat di bawah bagian kepala antara rahang-rahang

(mandibula), di kanan-kiri sisi kepala tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubung dubur (anus). Pada

umumnya habitat udang windu adalah di perairan pantai berpasir dan berlumpur.

Udang windu terutama pada waktu masih berupa benur sangat tahan terhadap

kadar garam (euryhalin), sifat lain yang menguntungkan adalah memiliki

ketahanan terhadap perubahan suhu (eurythermal) (Mujiman dan Suyanto, 2003 diacu oleh Agustina, 2006). Bentuk udang windu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagian tubuh Udang Windu (Penaeus monodon)

Hubungan Hutan Mangrove dengan Produksi Udang Windu

Ekosistem pantai terutama mangrove mensuplai nutrien atau bahan

organik dalam jumah relatif banyak. Nutrien inilah yang menjadi nutrisi bagi

(26)

konsumen seperti ikan. Mangrove merupakan salah satu sumber nutrisi bagi

organisme di laut. Mangrove juga memiliki peran yang sangat penting bagi

kehidupan organisme di laut. Mangrove berperan dalam siklus hidup jenis-jenis

ikan laut. Fungsi ekologis mangrove sebagai nursery ground, feeding ground dan spawning ground menunjukkan peran ekosistem ini yang sangat penting bagi kehidupan di laut.

Guguran daun, biji, batang dan bagian lainnya dari mangrove sering

disebut serasah. Mangrove mempunyai peran penting bagi ekologi yang

didasarkan atas produktivitas primernya dan produksi bahan organik berupa

serasah, dimana bahan organik ini merupakan dasar rantai makanan. Serasah dari

tumbuhan mangrove ini akan terdeposit pada dasar perairan dan terakumulasi

terus menerus dan akan menjadi sedimen yang kaya akan unsur hara

(Suryaperdana, 2011).

Menurut Odum (1971, diacu oleh Nur, 2002) hutan mangrove dengan

vegetasinya yang khas, memiliki mata rantai makanan yang mendukung

kehidupan berbagai jenis makhluk dari tingkat yang paling sederhana hingga ke

tingkat yang paling kompleks. Serasah mangrove yang tertimbun pada dasar

mengalami dekomposisi oleh berbagai jenis jasad renik, untuk menghasilkan

detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta sumber bagi kehidupan

fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen primer. Zooplankton, ikan, dan

krustasea memanfaatkan fitoplankton dan detritus sebagai sumber energi dalam

kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus makanan, sebelum manusia

(27)

Tambak Silvofishery

Menurut Sualia dkk (2010) Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan

wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo’ yang berarti hutan/pepohonan (wana)

dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola

pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan

budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan

upaya pelestarian hutan mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh

dengan menerapkan silvofishery, yaitu:

a. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang

akar-akar mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang

tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan

ditutupi oleh tajuk tanaman mangrove.

b. Meningkatkan populasi ikan dan udang di tambak.

c. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan

sumber air tawar dapat dipertahankan.

d. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung

program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan

mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman

dari kecenderungan naiknya muka air laut.

e. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan

gelombang air pasang.

Menurut Kordi (2012) pada perkembangan selanjutnya, tambak

(28)

disesuaikan dengan upaya rehabilitasi mangrove. Karena itu kemudian dikenallah

empat model tambak silvofishery, sebagai berikut:

1) Tambak parit atau empang parit. Tambak parit atau empang parit merupakan

model umum dan paling awal dikembangkan, sehingga dikenal juga tambak

parit tradisional. Pada model ini, tanaman mangrove berada di dalam tambak,

sedangkan petak budidaya (ikan, udang, dan lain-lain) berupa parit yang

mengelilingi tanaman mangrove. Bentuk tambak silvofishery parit atau

empang parit dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Sketsa tambak silvofishery model parit (Kordi, 2012)

2) Tambak komplangan. Pada tambak ini tanaman mangrove bersebelahan

dengan tambak, dengan perbandingan 60% tanaman mangrove dan 40% petak

budidaya, atau 80% tanaman mangrove dan 20% petak budidaya. Bentuk

(29)

Gambar 4. Sketsa tambak silvofishery model komplangan

a1 = pintu pemasukan air ke petak pemeliharaan; a2 = pintu pemasukan air ke

petak tanaman mangrove;

b = pematang antara/pembatas; c = tumbuhan mangrove; d = petak pemeliharaan

(Kordi, 2012).

3) Tambak Kao-kao. Pada tambak ini, tumbuhan mangrove ditanam

berjejer-berbaris di dalam petak tambak, petak budidaya berada di antara tanaman

mangrove tersebut. Bentuk tambak silvofishery kao-kao dapat dilihat pada

Gambar 5.

(30)

4) Tambak parit terbuka. Pada tambak ini, tanaman mangrove hanya berada di

pinggir bagian dalam tambak. Jadi tanaman mangrove ditanam di bagian

dalam pematang. Bentuk tambak silvofishery parit terbuka dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Tambak silvofishery model parit terbuka(Kordi, 2012)

Kerapatan mangrove yang ditanam atau yang tumbuh secara alami di

tengah tambak bervariasi antara 1 pohon sampai 3 pohon per meter persegi.

Kerapatan pohon yang sedemikian ini merupakan kerapatan yang sesuai untuk

kapasitas produksi tambak yang bersangkutan. Kerapatan pohon mempengaruhi

banyaknya sampah organik yang masuk ke dalam tambak (Harahab, 2010).

Menurut Kordi (2012) dalam pembuatan tambak akua-forestri ada

beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Kondisi pasang surut, yakni kisaran pasang surut air laut yang dianggap

memenuhi syarat untuk dipilih sebagai lokasi adalah 1,7 – 2,5 m.

2. Kualitas air (kesuburan fisik dan kimia air dalam tambak dan sekitarnya)

berupa oksigen minimal 3 ppt (part per million), pH 6 – 9, suhu 23 – 32 0C

(31)

masalah, karena hutan mangrove sendiri merupakan indikator

tinggi-rendahnya salinitas.

3. Tanah bertekstur liat berlumpur sehingga dapat digunakan untuk pembuatan

pematang serta cukup mengandung unsur hara.

4. Lokasi yang dipilih tidak tercemar.

5. Tersedia bibit mangrove untuk penanaman kembali.

Sistem pemeliharaan organisme perairan di tambak silvofishery pada

hutan mangrove dapat dilakukan secara monokultur (satu jenis) atau polikultur

(lebih dari 1 jenis). Ikan bandeng dapat dipolikultur dangan udang windu, udang

putih, kepiting, dan beronang. Dalam penerapan sistem polikultur perlu

diperhatikan adalah jenis organisme yang dipolikultur. Ikan-ikan karnivora

(pemangsa/pemakan hewan) tidak boleh dicampur baik dengan ikan karnivora lain

maupun ikan herbivora (pemakan tumbuhan) dan omnivora (pemakan tumbuhan

dan hewan), misalnya antara kerapu dan bandeng, karena bandeng akan dimangsa

oleh kerapu. Sedangkan kepiting yang bersifat karnivor-scavanger (pemakan

hewan dan bangkai) dan udang windu yang bersifat omnivora dapat dipelihara

dengan bandeng, beronang dan nila, karena udang dan kepiting sangat sulit

menangkap ikan-ikan tersebut, sebaliknya ikan-ikan tersebut juga tidak memangsa

udang dan kepiting (Kordi, 2012).

Input produksi tambak sivofishery yang utama adalah benih ikan dan atau

udang, kebanyakan dikombinasi udang dan bandeng. Sebelum benih tersebut

ditebar di tambak, terlebih dahulu perairan tambak disiapkan dengan baik, oleh

karena itu perlu tambahan beberapa input, yaitu: pengolahan lahan dasar tambak

(32)

perairan. Memasukan air laut yang berasal dari kawasan hutan mangrove, air laut

dari kawasan hutan mangrove lebih banyak mengandung nutrien, plankton dan

benih udang, di samping kualitasnya juga lebih baik karena tanaman mangrove

mampu mengabsorpsi beberapa polutan. Out put yang dihasilkan dari tambak

silvofishery adalah udang dan bandeng. Selain udang yang ditebar biasanya

dihasilkan juga udang putih dan udang werus. Produksi udang putih dan udang

werus tersebut merupakan salah satu keunggulan dari perpaduan antara tambak

dengan hutan mangrove (Harahab, 2010).

Kualitas Air Parameter Fisika Suhu

Dalam penelitian pada ekosisteem air, pengukuran temperatur (suhu) air

merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan

berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis-fisiologis di dalam

ekosistem air sangat dipengaruhi oleh suhu. Menurut hokum VAN’T HOFFS, kenaikan suhu sebesar 10 0C (hanya pada kisaran temperatur yang masih bisa

ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2 – 3 kali

lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi

oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya suhu akan

menyebabkan kelarutan dalam oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat

menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi

(Barus, 2004).

Menurut Kordi (2010) suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme

(33)

tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap

kehidupan dan pertumbuhan biota air. Secara umum laju pertumbuhan meningkat

sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan budidaya bahkan

menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim (drastis).

Pertumbuhan dan kehidupan udang sangat dipengaruhi suhu air.

Kecerahan

Kecerahan yang baik bagi usaha budidaya udang windu berkisar 30-40 cm

yang diukur dengan menggunakan pinggan secchi. Bila kecerahan sudah

mencapai kedalaman kurang dari 25 cm, pergantian air sebaiknya segera

dilakukan sebelum fitoplankton mati beurutan yang diikuti penurunan oksigen

terlarut secara drastis. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat

mengetahui sampai di mana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi

dalam air. Lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang

paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik

untuk kehidupan udang windu (Kordi, 2010).

Parameter Kimia Salinitas

Menurut Barus (2004) secara alami kandungan garam terlarut dalam air

dapat meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi

karena melalui aktifitas respirasi dari hewan dan bakteri akan meningkatkan

proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam

tersebut meningkat kadar garamnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh

fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Toleransi dari

(34)

organisma yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap fluktuasi

salinitas, sedangkan euryhalin adalah organisma air yang mempunyai toleransi yang luas/lebar terhadap fluktuasi salinitas.

Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Semakin tinggi

salinitas, akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Udang yang hidup di air

asin harus mampu menyesuaikan dirinya terhadap tekanan osmotik dari

lingkungannya. Penyesuaian ini memerlukan banyak energi yang diperoleh udang

dari makanan dan digunakan untuk keperluan tersebut (Kordi, 2010).

Derajat Keasaman (pH)

Menurut Barus (2004) nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisma air

pada umumnya terdapat antara 7 – 8.5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam

maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena

akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisma dan respirasi. Disamping itu

pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam

berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya

akan mengancam kelangsungan hidup organisma air. Sedangkan pH yang tinggi

akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan

terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak

yang juga bersifat sangat toksik bagi organisma.

pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi

kehidupan jasad renik. Perairan asam kurang produktif, malah dapat membunuh

hewan budidaya. Pada pH rendah, kandungan oksigen terlarut akan berkurang,

akibatnya konsumsi oksigen akan menurun, aktifitas pernafasan naik dan selera

(35)

Oksigen Terlarut (DO)

DO (Disolved Oxygen) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam

ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi

sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat

dipengaruhi oleh faktor suhu. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan

konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah

akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut

dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga

dari proses fotosintesis (Barus, 2004). Di tambak, oksigen berfungsi sebagai

pengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak. Jumlah oksigen yang

dibutuhkan untuk proses pernafasan udang windu bergantung pada suhu (Kordi,

2010).

Parameter Biologi Plankton

Plankton dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisma plankton yang

bersifat tumbuhan dan zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan.

Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam

ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu

melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan

oleh fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok

organisma air lainnya yang berperan sebagai konsumen, dimulai dengan

zooplankton dan diikuti oleh kelompok organisma air lainnya yang membentuk

(36)

fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai produktivitas

primer. Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada

materi organik, baik berupa fitoplankton maupun detritus (Barus, 2004).

Warna air hijau kecoklatan disebabkan oleh Diatom dari kelas Baciilariophyta dan beberapa fitoplankton lain. Berdasar pengalaman, warna air hijau kecoklatan paling cocok untuk pembesaran udang windu karena banyak

mengandung fitoplankton yang dapat dimanfaatkan zooplankton karena

zooplankton merupakan sumber pakan bagi benur udang. Berarti, warna ini

menjadi indikasi adanya pakan alami dalam tambak. Jenis fitoplankton yang dapat

dimakan udang windu adalah Skeletonema, Tetraseslsmis, Oscillatoria dan

(37)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2013 di tambak

silvofishery Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat,

Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi plankton dilakukan di Laboratorium

Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah plankton net, ember plastik volume 10 liter,

botol film, Sedgewick Rafter dengan ukuran panjang 50 mm, lebar 20 mm, dan tinggi 1 mm, pipet tetes, tisu, cover glass, object glass, buku identifikasi plankton,

mikroskop cahaya, thermometer, refraktometer, secchi disc, pH meter, DO meter, jaring, bambu, buku identifikasi mangrove, kamera, GPS, dan alat tulis. Bahan

yang digunakan dalam penelitian adalah benur udang windu pada masing-masing

tambak sebanyak 21.000 ekor ukuran PL 15, larutan lugol 4 %, dan kertas label.

Metode Pengumpulan Data 1. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan

sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung

(observasi) di lokasi penelitian. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan

dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil penelitian atau studi dan

data pendukung lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun

(38)

2. Lokasi Titik Sampling

Penentuan lokasi sampel berdasarkan perbedaan kerapatan mangrove yang

ada di dalam tambak. Ditetapkan dua lokasi tambak dengan kerapatan seperti

yang terlihat pada deskripsi area. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar

7.

Gambar 7. Peta lokasi penelitian

3. Deskripsi Area

Tambak 1, yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang dengan luas

2.000 m2, terletak pada 03°55’43.886″ LU dan 098°31’34.345″ BT. Kondisi

(39)

Gambar 8. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang

Tambak 2, yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang dengan luas

2.000 m2, terletak pada 03055’38.630” LU dan 098031’44.837” BT. Kondisi

tambak 2 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang

4. Pengambilan Data

A. Data Vegetasi Mangrove

Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan cara mengamati

vegetasi mangrove yang terdapat di dalam area tambak. Parameter yang diamati

adalah jenis dan kerapatan vegetasi mangrove tersebut. Kerapatan mangrove

(40)

B. Data Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur di setiap lokasi pengambilan sampel

kualitas air adalah suhu, kecerahan, salinitas, pH, dan DO. Pengambilan sampel

kualitas air dilakukan pada setiap tambak sebanyak 2 stasiun yaitu pada bagian

inlet dan bagian tengah tambak. Pengukuran kualitas air dilakukan sebanyak 4 kali pengamatan. Pengamatan ke-1 yaitu pada saat benur akan ditebar,

pengamatan ke-2 yaitu dua bulan masa pemeliharaan, pengamatan ke-3 yaitu

empat bulan masa pemeliharaan, dan pengamatan ke-4 yaitu lima bulan masa

pemeliharaan. Waktu pengambilan sampel air dilakukan pada saat pagi hari pada

jam 08.00 – 09.00 WIB. Pengumpulan data suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO

dilakukan secara insitu. Parameter dan alat yang digunakan dalam pengambilan

data kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter dan alat yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air

No. Parameter Satuan Alat Tempat pengukuran Fisika

1 Suhu 0C Thermometer Insitu

2 Kecerahan Cm Keping Secchi Insitu

Kimia

3 Salinitas ‰ Refraktometer Insitu

4 pH - pH meter Insitu

5 DO Mg/l DO meter Insitu

C. Data Kelimpahan Plankton

Pengumpulan data plankton dilakukan pada setiap tambak dengan

mengambil air sebanyak 25 liter kemudian dimasukkan kedalam ember plastik

dan disaring dengan menggunakan plankton net No. 25. Volume yang tersaring

adalah 50 ml dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Pengambilan sampel

plankton pada setiap tambak dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel

(41)

tersebut diawetkan dengan larutan lugol 4 % sebanyak 3 tetes pada setiap botol

sampel, kemudian masing-masing botol sampel diberi label.

Kegiatan analisis laboratorium meliputi pengamatan sampel dibawah

mikroskop dan diidentifikasi. Sampel yang akan diamati terlebih dahulu dikocok

sampai homogen, kemudian dengan menggunakan pipet tetes diambil sebanyak 1

ml dan diletakkan di Sedgewick Rafter, kemudian ditutup dengan cover glass dan

diletakkan di atas preparat lalu diamati di bawah mikroskop sebanyak tiga kali

ulangan untuk menghitung kelimpahan plankton.

D. Data Teknik Budidaya Udang Windu

Data tentang teknik budidaya udang windu didapat dengan pengamatan

secara langsung di lokasi penelitian.

5. Analisis Data

A. Data Vegetasi Mangrove

Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai

(permudaan pohon mulai dari kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang

(permudaan pohon dengan tinggi > 1,5 m dengan diameter < 10 cm), dan pohon

(tumbuhan berkayu berdiameter > 10 cm) pada masing-masing tambak. Menurut

Kordi (2012) kerapatan atau densitas adalah jumlah induvidu per unit luas atau

per unit volume. Dengan kata lain, kerapatan atau densitas merupakan jumlah

induvidu organisme per satuan ruang. Menurut Bengen (2000, diacu oleh

Suryaperdana, 2011) untuk menganalisa data kerapatan vegetasi mangrove

menggunakan rumus:

K =N

(42)

Keterangan:

K = Kerapatan vegetasi mangrove (ind./ha) N = Jumlah total individu (ind.)

A = Satuan unit area yang diukur (ha)

Untuk menentukan kerapatan mangrove dilakukan dengan menggunakan

kriteria baku kerapatan mangrove. Kriteria baku kerapatan mangrove dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria baku kerapatan mangrove Kriteria Baku Kerapatan (pohon/ha)

Sangat Padat > 1500 Sedang > 1000 – < 1500

Jarang < 1000

Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004

B. Data Kualitas Air

Analisis data untuk mengetahui kelayakan kondisi kualitas air untuk

budidaya udang windu adalah dengan membandingkan parameter fisika dan kimia

pada setiap petak tambak berdasarkan kriteria pada Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria kualitas air pemeliharaan untuk budidaya udang windu

Sumber : Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004

C. Data Kelimpahan Plankton

Penentuan kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan rumus

Sachlan dan Effendie (1972, diacu oleh Dianthani, 2003), sebagai berikut :

N = n + Vr

Vo+

1

(43)

Keterangan:

N = jumlah sel per liter n = jumlah sel yang diamati Vr = volume air tersaring (ml)

Vo = volume air yang diamati (pada Sedgwick Rafter) (ml) Vs = volume air yang disaring (l)

D. Data Teknik Budidaya Udang Windu

Data tentang teknik budidaya udang windu yang didapat dengan

pengamatan secara langsung di lokasi penelitian kemudian dianalisis secara

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Analisis Vegetasi Mangrove

Jenis-jenis dan kerapatan mangrove yang ditemukan berdasarkan hasil

analisis vegetasi mangrove pada masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis-jenis dan kerapatan mangrove pada masing-masing tambak pengamatan

Rhizhopora apiculata 165 60

Total 215 60

Nypa fruticans 25 -

Rhizophora apiculata 70 58

Sonneratia alba 25 -

Total 120 290

Rhizophora apiculata 870 -

Sonneratia alba 150 50

Total 1020 50

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang

Bentuk dari jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada tambak

pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.

(45)

(c) (d)

Gambar 10. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada tambak pengamatan Keterangan : (a) Acanthus ilicifiolus (b) Nypa fruticans (c) Rhizophora apiculata

(d) Sonneratia alba

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kerapatan mangrove

pada tambak 1 untuk tingkat semai 215 ind/ha, untuk tingkat pancang 120 ind/ha,

dan untuk tingkat pohon 1020 ind/ha. Sedangkan kerapatan mangrove pada

tambak 2 untuk tingkat semai 60 ind/ha, untuk tingkat pancang 290 ind/ha, dan

untuk tingkat pohon 50 ind/ha.

Parameter Kualitas Air

Hasil pengukuran parameter kualitas air pada masing-masing tambak

pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada tambak pengamatan No. Parameter Satuan Nilai

(46)

Kelimpahan Plankton

Berdasarkan hasil pengamatan ke-1 diperoleh jenis dan kelimpahan

plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-1 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Cocconeis 24.707 110.707

2 Gyrosigma - 20.707

3 Melosira - 22.707

2 Chlorophyceae 4 Pandorina 17.707 -

3 5 Isthmia 21.707 22.707

4 Cyanophyceae 6 Oscillatoria 20.707 60.707

5 7 Synedra 17.707 30.707

Plankton 47.707 392.707

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan

Kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1.

Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 47.707 ind/l dan pada tambak 2

adalah 392.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 36.707 ind/l

sedangkan zooplankton adalah 27.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada

(47)

Berdasarkan hasil pengamatan ke-2 diperoleh jenis dan kelimpahan

plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-2 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Bacteriastrum 18.707 -

2 Cocconeis 33.707 -

4 Cyanophyceae 9 Oscillatoria 51.707 1959.707

5 10 Closterium - 19.707

Plankton 193.707 2070.707

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan

Kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1.

Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 193.707 ind/l dan pada tambak 2

adalah 2070.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 95.707

ind/l sedangkan zooplankton adalah 114.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada

(48)

Berdasarkan hasil pengamatan ke-3 diperoleh jenis dan kelimpahan

plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-3 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Cocconeis - 17.707

2 Melosira - 23.707

3 Navicula 22.707 -

3 7 Isthmia 40.707 38.707

4 Cyanophyceae 9 Oscillatoria 320.707 20.707

7 Synedra - 17.707

Plankton 362.707 59.707

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan

Kelimpahan plankton pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2.

Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 362.707 ind/l dan pada tambak 2

adalah 59.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 350.707 ind/l

sedangkan zooplankton adalah 114.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada

(49)

Berdasarkan hasil pengamatan ke-4 diperoleh jenis dan kelimpahan

plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-4 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Cocconeis 31.707 35.707

2 Gyrosigma 45.707 -

2 Coscinodiscophyceae 8 Coscinodiscus 32.707 -

9 Isthmia 54.707 53.707

10 Thalassiosira 23.707 - 3 Cyanophyceae 11 Oscillatoria 58.707 36.707

4 12 Synedra 28.707 21.707

Plankton 235.707 138.707

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan

Kelimpahan plankton pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2.

Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 235.707 ind/l dan pada tambak 2

adalah 138.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 220.707

ind/l sedangkan zooplankton adalah 31.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada

tambak 2 adalah 115.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 39.707 ind/l.

Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih

(50)

657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan

fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah

344.707 ind/l. Kelimpahan plankton pada pada masing-masing tambak

pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Kelimpahan plankton pada masing-masing tambak pengamatan

Bentuk fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dapat dilihat pada

Gambar 12, bentuk fitoplankton dari kelas Chlorophyceae dapat dilihat pada

Gambar 13, bentuk fitoplankton dari kel

Gambar 14, bentuk fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dan

dapat dilihat pada Gambar 15, bentuk fitoplankton dari kel

dapat dilihat pada Gambar 16. Sedangkan bentuk zooplankton dari kelas

Crustacea, dan dapat dilihat pada Gambar 17,

(51)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

Gambar 12. Fitoplankton kelas Bacillariophyceae (a) Bacteriastrum (b) Coconeis (c) Gyrosigma (d) Melosira (e) Navicula (f) Nitzchia (g) Surirella (h) Terpsinoe (i) Triceratium

(a) (b)

(52)

(a) (b) (c)

Gambar 14. Fitoplankton kelas (a) Coscinodiscus (b) Isthmia (c) Thalassiosira

(a) (b)

Gambar 15. Fitoplankton kelas Cyanophyceae da Oscillatoria (b) Synedra

(a) (b)

(53)

(a) (b) (c)

Gambar 17. Zooplankton kelas KelasCrustacea,da

(a) Daphnia (b) Nauplius (c) Brachionus

(a) (b)

Gambar 18. Zooplankton kelas(a) Diacyclops (b) Diaptomus

Teknik Budidaya Udang Windu

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, teknik budidaya udang

windu meliputi proses persiapan tambak, penebaran benur, pemeliharaan, dan

pemanenan.

Pembahasan

Analisis Vegetasi Mangrove

Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove yang telah dilakukan, jenis

Rhizhopora apiculata pada tambak 1 cenderung lebih dominan, baik untuk tingkat semai, pancang maupun pohon. Pada tambak 2 jenis Rhizophora apiculata cenderung dominan untuk tingkat pancang, sedangkan untuk tingkat pohon hanya

(54)

Jenis Rhizhopora apiculata yang ditemukan pada tambak 1 banyak

ditemukan pada bagian tengah tambak dan pada tambak 2 banyak ditemukan pada

bagian tanggul tambak. Mangrove jenis Rhizhopora apiculata sering digunakan

oleh petambak untuk ditanam pada areal tambak silvofishery, hal ini dikarenakan

akar jenis Rhizhopora apiculata yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pada bagian tanggul tambak. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh

Harahab, 2010) jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul dan di

tengah/pelataran tambak adalah Rhizhopora sp.

Kerapatan mangrove pada tambak 1 lebih besar daripada tambak 2.

Kerapatan yang lebih besar dapat meningkatkan jumlah pakan alami yang masuk

kedalam tambak yang berasal dari serasah daun, batang maupun biji mangrove

yang dapat dimanfaatkan oleh udang. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh

Harahab, 2010) kerapatan pohon mempengaruhi banyaknya sampah organik yang

masuk kedalam tambak. Kerapatan yang lebih kecil sesuai untuk budidaya ikan,

sedangkan kerapatan yang lebih besar sesuai untuk budidaya udang atau kepiting

bakau. Berdasarkan hal tersebut, maka kerapatan mangrove pada tambak 1 sesuai

untuk budidaya udang windu.

Parameter Kualitas Air

Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air.

Suhu perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 29 – 31 0C dan

pada tambak 2 yaitu 29 – 32 0C. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan

Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, suhu perairan yang optimum untuk budidaya

udang windu adalah 28.5 – 31.5 0C. Dengan demikian, suhu perairan pada tambak

(55)

Kecerahan merupakan faktor fisika yang menentukan jauhnya penetrasi

cahaya yang masuk kedalam perairan. Kecerahan perairan saat dilakukan

pengukuran pada tambak 1 yaitu 57 – 62.5 cm dan pada tambak 2 yaitu 29.5 – 36

cm. Kecerahan perairan pada tambak 1 lebih tinggi karena pada tambak 1

kedalamannya lebih tinggi dibandingkan pada tambak 2. Menurut Yuliana dan

Asriana (2012) ketersediaan cahaya dalam badan air sangat tergantung pada

waktu, tempat (kedalaman).

Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun

2004, kecerahan perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 30 –

40 cm. Selain itu menurut Boyd (1990, diacu oleh Herman, 2000), nilai kisaran

kecerahan yang optimum bagi udang windu adalah 30 – 40 cm. Dengan demikian,

kecerahan perairan pada tambak 1 kurang optimum dan pada tambak 2 cukup

optimum untuk budidaya udang windu.

Salinitas perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 7 – 10

‰ dan pada tambak 2 yaitu 7 – 9.5 ‰. Salinitas pada masing-masing tambak

tergolong rendah. Rendahnya salinitas pada masing-masing tambak disebabkan

jauhnya jarak antara tambak dengan laut sehingga perairan pada masing-masing

tambak lebih banyak tercampur dengan air tawar. Menurut Herman (2000)

salinitas di tambak dipengaruhi oleh percampuran antara air laut dan air tawar,

selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun

2004, Salinitas perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 15 –

25 ‰. Menurut Poernomo (1989, diacu oleh Saladin, 1995), pada salinitas 35 – 40

(56)

permil. Selain itu menurut Kordi (2010) untuk pertumbuhan optimal udang windu

di dalam tambak kisaran salinitas terletak antara 15 – 25 ‰. Dengan demikian,

salinitas perairan pada tambak 1 dan tambak 2 kurang optimum untuk budidaya

udang windu.

pH digunakan untuk menggambarkan kondisi asam atau basa suatu

perairan. pH perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.8 – 7.5

dan pada tambak 2 yaitu 6.6 – 7.7. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan

Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, pH perairan yang optimum untuk budidaya

udang windu adalah 7.5 – 8.5. Selain itu menurut Sualia, dkk (2010) pH normal

untuk pemeliharaan udang windu di dalam tambak adalah 7.5 – 8.5. Dengan

demikian, pH perairan pada tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk

budidaya udang windu.

Oksigen terlarut (DO) merupakan jumlah oksigen yang ditemukan terlarut

di dalam air. DO perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.3 –

6.9 mg/l dan pada tambak 2 yaitu 6.4 – 9.0 mg/l. Oksigen terlarut (DO) pada

tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1 karena jumlah fitoplankton yang ada

pada tambak 2 lebih banyak dari pada tambak 1. Menurut Herman (2000) sumber

oksigen terlarut di tambak tradisional berasal dari proses fotosintesis fitoplankton.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004,

DO perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 3.0 – 7.5 mg/l.

Dengan demikian, DO perairan pada tambak 1 optimum dan pada tambak 2

(57)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kondisi kualtas air pada

masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kondisi kualitas air pada masing-masing tambak pengamatan No. Parameter Tambak 1 Tambak 2

Fisika

1 Suhu Optimum Cukup optimum

2 Kecerahan Kurang optimum Cukup optimum

Kimia

3 Salinitas Kurang optimum Kurang optimum

4 pH Cukup optimum Cukup optimum

5 DO Optimum Cukup optimum

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi kualitas air pada tambak 1 terdapat

dua kondisi optimum, satu kondisi cukup optimum, dan dua kondisi kurang

optimum. Pada tambak 2 terdapat empat kondisi cukup optimum, dan satu kondisi

kurang optimum. Berdasarkan kondisi tersebut, maka kualitas air pada tambak 1

lebih sesuai untuk pemeliharaan udang windu daripada tambak 2 karena kondisi

kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya

udang windu daripada tambak 2.

Kelimpahan Plankton

Pada pengamatan ke-1 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak

2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Bacillariophyceae yaitu genus

Cocconeis. Pengamatan ke-1 adalah ketika benur udang windu ditebar yaitu ketika

fase post larva. Kelas Bacillariophyceae merupakan makanan bagi benur udang

windu. Menurut Saladin (1995) bahwa kelas Bacillariophyceae merupakan pakan

utama udang pada periode larva dan post larva. Selain itu menurut Boyd (1990,

(58)

dari kelas Bacillariophyceae karena kelas ini dapat dijadikan sebagai pakan alami

bagi udang windu.

Pada pengamatan ke-1 kelimpahan zooplankton pada tambak 1 diperoleh

kelimpahan tertinggi dari kelas. Kelimpahan

zooplankton pada tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Crustacea

yaitu genus Nauplius. Menurut Setyaningsih (1989, diacu oleh Saladin, 1995)

bahwa zooplankton dari genus Nauplius ditemukan dalam lambung udang windu.

Hal ini mengindikasikan bahwa genus Nauplius merupakan sumber pakan alami

bagi udang windu.

Pada pengamatan ke-2 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak

2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Cyanophyceae yaitu genus

Oscillatoria. Menurut kordi (2010) fitoplankton yang dapat dimakan udang windu

adalah Oscillatoria, Skeletonema, Tetrasesimis dan Chlorella. Kelimpahan

zooplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari

kelas Maxillopoda yaitu genus Diacyclops.

Pada pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-4 kelimpahan fitoplankton pada

tambak 1 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Cyanophyceae yaitu genus

Oscillatoria yang merupakan fitoplankton yang dapat dimakan oleh udang windu.

Pada tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Coscinodiscophyceae

yaitu genus Isthmia. Pada pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-4 kelimpahan

zooplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari

kelas Crustacea yaitu genus Nauplius yang merupakan sumber pakan alami bagi

(59)

Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih

tinggi dari pada tambak 1. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah

657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan

fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah

344.707 ind/l. Hal ini diduga disebabkan oleh vegetasi mangrove yang terdapat

pada tambak 1 lebih banyak daripada tambak 2, sehingga adanya persaingan

perolehan cahaya yang lebih banyak antara fitoplankton dengan vegetasi

mangrove.

Menurut Murachman (2010) kelimpahan fitoplankton yang optimal untuk

tambak udang windu adalah 3.628–11.533 ind/l, sedangkan zooplankton adalah

243–699 ind/l. Berdasarkan hal tersebut maka kelimpahan fitoplankton pada

tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu, sedangkan

kelimpahan zooplankton pada tambak 1 cukup optimum dan pada tambak 2

optimum untuk budidaya udang windu.

Teknik Budidaya Udang Windu Persiapan Tambak

Persiapan tambak dilakukan dengan cara menangkap ikan dan biota

lainnya yang berada di dalam tambak dengan menggunakan jaring hingga tidak

ada lagi ikan dan biota lainnya yang tertangkap. Hal ini dilakukan agar ikan tidak

memangsa udang yang akan di tebar. Setelah itu, di dalam tambak dipasang hapa

sebagai tempat pemeliharaan benur atau biasa disebut pendederan. Hapa adalah

tempat pendederan benur yang terbuat dari jaring nilon atau disebut waring. Hapa

dipasang di dalam tambak dengan cara mengikatnya pada tiang yang ditancapkan

(60)

Penebaran Benur

Benur yang ditebar berukuran PL 15, masing-masing tambak sebanyak

21.000 ekor. Benur yang ditebar tergololng masih kecil, oleh karena itu dilakukan

pendederan dengan menggunakan hapa selama 30 hari agar benur tersebut cukup

kuat dan tahan terhadap kondisi tambak yang luas serta mampu menghindar dari

berbagai predator yang akan memangsa. Sebelum ditebar, benur di aklimatisasi

terlebih dahulu. Menurut Kordi (2010) aklimatisasi adalah adaptasi atau

penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Aklimatisasi dilakukan

untuk menjegah terjadinya stres pada benur yang dipindahkan dari satu

lingkungan ke lingkungan lain yang berbeda kondisinya. Tahap aklimatisasi

ketika penelitian dilakukan sebagai berikut :

1. Benur yang terdapat pada kemasan kantong plastik diapungkan di dalam

tambak. Biarkan sekitar 30 menit agar suhu air di dalam kantong plastik sama

dengan suhu air di tambak.

2. Setelah 30 menit, kantong plastik yang berisi benur tersebut dibuka satu per

satu. Tambahkan air dari tambak ke dalam kantong plastik sebanyak 1 4 dari

volume air yang ada di dalam kantong plastik. Penambahan air dari tambak ke

kantong plastik untuk penyesuaian salinitas dan pH. Lalu biarkan selama 30

menit.

3. Setelah 30 menit, miringkan kantong plastik yang berisi benur sampai benur

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2. Bagian tubuh Udang Windu (Penaeus monodon)
              Gambar 5. Gambar 5. Tambak silvofishery model kao-kao
Gambar 6.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beliau menolak ‘Malaysian Malaysia’ kerana konsep itu mencadangkan bahawa Malaysia yang diperintah oleh rejim tunku adalah buruk dan bahawa semua keistemewaan dan

Sehingga akan didapatkan gambaran umum mengenai hubungan durasi bermain game online dengan tingkat stres pada siswa SMPN yang berada di kecamatan Sungai Raya

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan model diskriminan untuk menganalisis perumusan strategi pemasaran berdasarkan perilaku konsumen, maka dilihat dari ketepatan

Menurut Gubernur BoE, Mark Carney, BoE tetap harus menaikkan tingkat suku bunga tanpa harus dibatasi dengan kondisi Brexit, dan kondisi Brexit bukan berarti BoE harus

Naskah Tengul karya Arifin C. Noer tidak memberikan penjelasan tentang usia dari tokoh Korep. Akan tetapi, dari jalinan cerita.. menunjukkan usianya adalah separuh

(Study Deskriptif Motif Pelajar Sma Sekolah Islam Di Gresik Dalam Menonton Tayangan Progam Acara “Islam KTP” Di

(2) Instansi Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk pendidikan yang mengarahkan pada tumbuh kembang anak. Pada anak usia dini, anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat