PENGARUH HUTAN MANGROVE TERHADAP PRODUKSI UDANG
WINDU (Penaeus monodon) PADA TAMBAK SILVOFISHERY
DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG
KABUPATEN LANGKAT
ZAINURI SYAM
090302010
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
WINDU (Penaeus monodon) PADA TAMBAK SILVOFISHERY
DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG
KABUPATEN LANGKAT
ZAINURI SYAM
090302010
Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak SilvofisheryDi Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat
Nama : Zainuri Syam
NIM : 090302010
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si Ir. Maragunung Dalimunte, MAP
Ketua Anggota
Mengetahui
Dr. Ir. Yunasfi, M.Si
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus
monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan
Secanggang Kabupaten Langkat
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Medan, Januari 2014
ABSTRAK
ZAINURI SYAM. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Yunasfi dan Maragunung Dalimunte.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda di dalam tambak terhadap produksi udang windu dan untuk mengetahui kualitas air pada tambak silvofishery udang windu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2013 di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Penelitian ini menggunakan dua lokasi. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang, dan tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai, pancang, dan pohon pada masing-masing tambak. Pengambilan sampel kualitas air dan plankton pada setiap tambak dilakukan pada 2 stasiun yaitu pada bagian inlet dan bagian tengah tambak sebanyak 4 kali ulangan yaitu pada saat benur akan ditebar, dua bulan masa pemeliharaan, empat bulan masa pemeliharaan, dan lima bulan masa pemeliharaan. Pengambilan data produksi udang windu dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian pada saat proses pemanenan.
Hasil penelitian terhadap kerapatan mangrove pada tambak 1 untuk tingkat semai 215 ind/ha, untuk tingkat pancang 120 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 1020 ind/ha. Sedangkan kerapatan mangrove pada tambak 2 untuk tingkat semai 60 ind/ha, untuk tingkat pancang 290 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 50 ind/ha. Hasil penelitian terhadap parameter kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu dibandingkan dengan tambak 2. Hasil penelitian terhadap kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi daripada tambak 1. Hasil produksi udang windu yang diperoleh pada tambak 1 adalah 42 Kg, sedangkan pada tambak 2 adalah 29 Kg.
ABSTRACT
ZAINURI SYAM.The Effect Of Mangrove Forest for Tiger Shrimp Production
(Penaeus monodon) in silvofishery pond in Tanjung ibus village sub-district Secanggang District of Langkat. This Reseach Was Supervised by Yunasfi and Maragunung Dalimunte.
The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forests with different densities in pond to the production of tiger shrimp and to determine water quality silvofishery pond. This study conducted in silvofishery pond in Tanjung Ibus village, Sub-district Secanggang, District of Langkat on Mei – October 2013, by using 2 reseach station. Fist pond was a pond with high density, and second pond was a pond with low density. Mangrove vegetation analysis has been done by measuring the density of seedlings, stake and tree in each reseach station. Water quality and plankton sampling performed at each pond in 2 stasion at the inlet and the center of the pond. sampling has been done 4 times, when the fry will be stocked, two-month preservation period, four-month preservation period and five-month preservation period. tiger shrimp production data obtained from direct observations during the harvesting process.
The result showed mangrove density in ponds 1 for Seedlings was 215 ind/ha. Saplings 120 ind/ha and tree level 1020 ind/ha. Mangrove density in ponds 2 for seedlings was 60 ind/ha, saplings 290 ind/ha and tree level 50 ind/ha. The result showed water quality in pond 1 was better than pond 2 for use as aquaculture. because the value of water quality in ponds 1 meet the criteria. The result showed that abundance of plankton in the pond 2 was higher than the pond 1. Tiger shrimp production in pond 1 was 42 kg, and in pond 2 was 29 kg.
Keyword : Mangrove, Silvofishery, Tiger shrimp, Water quality.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Indrapura pada tanggal 3 Januari 1992.
Merupakan putra dari pasangan Syawal dan Markiah.
Pada tahun 2003 lulus SD Negeri 010231 Desa Aras,
tahun 2006 lulus SMP Negeri 3 Air Putih, kemudian
penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya
yaitu SMA Mitra Inalum Tanjung Gading dan lulus pada
tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara
melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Program Studi Baru,
terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Pertanian. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan
(PKL) di Balai Benih Ikan Dinas Pertanian Dan Perikanan Kota Binjai pada tahun
2012. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas, penulis melaksanakan penelitian
dengan judul “PENGARUH HUTAN MANGROVE TERHADAP
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“PENGARUH HUTAN MANGROVE TERHADAP PRODUKSI UDANG WINDU (Penaeus monodon) PADA TAMBAK SILVOFISHERY DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT”, yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menguucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua
tercinta yaitu Ayahanda Syawal dan Ibunda Markiah, yang telah memberikan
dukungan dan doa kepada penulis selama mengikuti pendidikan hingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Serta keluarga saya yang telah memberikan dukungan
moril maupun material. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan yang telah memberikan
dukungan dan ilmu yang berharga bagi penulis.
2. Bapak Ir. Maragunung Dalimunte, MAP selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dan ilmu yang berharga bagi penulis.
4. Bapak H. Ratal selaku pemilik tambak yang telah membantu penulis dalam
melakukan penelitian.
5. Seluruh Dosen dan staf Fakultas Pertanian khususnya Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan.
6. Teman-teman mahasiswa MSP 2009 yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya Aufa, Arief, Dayat, Dedi, Fathul, Hapiz, Hiras, Ghanang, Khoir,
Rika, Ruri, Santi dan Yudha.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata semoga
skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang
Manajemen Sumberdaya Perairan.
Medan, Januari 2014
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Alat yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air ... 24
2. Kriteria baku kerapatan mangrove ... 26
3. Kriteria kualitas air pemeliharaan untuk budidaya udang windu... 26
4. Jenis-jenis dan kerapatan mangrove pada tambak pengamatan ... 28
5. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada tambak pengamatan ... 29
6. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-1 ... 30
7. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-2 ... 31
8. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-3 ... 32
9. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-4 ... 33
10.Kondisi kualitas air pada tambak pengamatan ... 41
DAFTAR GAMBAR
No. Teks
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5
2. Bentuk tubuh Udang Windu (Penaeus monodon) ... 9
3. Sketsa tambak akua-forestri model parit ... 12
4. Sketsa tambak akua-forestri model komplangan ... 13
5. Tambak akua-forestri model kao-kao ... 13
6. Tambak akua-forestri model parit terbuka ... 14
7. Peta lokasi penelitian ... 22
8. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove tinggi ... 23
9. Tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove rendah ... 23
10.Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada tambak pengamatan ... 28
11.Kelimpahan plankton pada masing-masing tambak pengamatan ... 34
12.Fitoplankton kelas Bacillariophyceae ... 35
13.Fitoplankton kelas Chlorophyceae ... 35
14.Fitoplankton kelas
15.Fitoplankton kelas Cyanophyceae da
16.Fitoplankton kel
17.Zooplankton kelas Kelas
18.Zooplankton kelas
No. Teks
Halaman
1. Data mentah kerapatan mangrove pada tambak pengamatan ... 54
2. Pengambilan sampel kualitas air dan plankton ... 55
3. Kualitas air pada tambak pengamatan ... 56
4. Data mentah kelimpahan plankton ... 57
ABSTRAK
ZAINURI SYAM. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Yunasfi dan Maragunung Dalimunte.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda di dalam tambak terhadap produksi udang windu dan untuk mengetahui kualitas air pada tambak silvofishery udang windu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2013 di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Penelitian ini menggunakan dua lokasi. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang, dan tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang. Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai, pancang, dan pohon pada masing-masing tambak. Pengambilan sampel kualitas air dan plankton pada setiap tambak dilakukan pada 2 stasiun yaitu pada bagian inlet dan bagian tengah tambak sebanyak 4 kali ulangan yaitu pada saat benur akan ditebar, dua bulan masa pemeliharaan, empat bulan masa pemeliharaan, dan lima bulan masa pemeliharaan. Pengambilan data produksi udang windu dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian pada saat proses pemanenan.
Hasil penelitian terhadap kerapatan mangrove pada tambak 1 untuk tingkat semai 215 ind/ha, untuk tingkat pancang 120 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 1020 ind/ha. Sedangkan kerapatan mangrove pada tambak 2 untuk tingkat semai 60 ind/ha, untuk tingkat pancang 290 ind/ha, dan untuk tingkat pohon 50 ind/ha. Hasil penelitian terhadap parameter kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu dibandingkan dengan tambak 2. Hasil penelitian terhadap kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi daripada tambak 1. Hasil produksi udang windu yang diperoleh pada tambak 1 adalah 42 Kg, sedangkan pada tambak 2 adalah 29 Kg.
ABSTRACT
ZAINURI SYAM.The Effect Of Mangrove Forest for Tiger Shrimp Production
(Penaeus monodon) in silvofishery pond in Tanjung ibus village sub-district Secanggang District of Langkat. This Reseach Was Supervised by Yunasfi and Maragunung Dalimunte.
The purpose of this research was to determine the effect of mangrove forests with different densities in pond to the production of tiger shrimp and to determine water quality silvofishery pond. This study conducted in silvofishery pond in Tanjung Ibus village, Sub-district Secanggang, District of Langkat on Mei – October 2013, by using 2 reseach station. Fist pond was a pond with high density, and second pond was a pond with low density. Mangrove vegetation analysis has been done by measuring the density of seedlings, stake and tree in each reseach station. Water quality and plankton sampling performed at each pond in 2 stasion at the inlet and the center of the pond. sampling has been done 4 times, when the fry will be stocked, two-month preservation period, four-month preservation period and five-month preservation period. tiger shrimp production data obtained from direct observations during the harvesting process.
The result showed mangrove density in ponds 1 for Seedlings was 215 ind/ha. Saplings 120 ind/ha and tree level 1020 ind/ha. Mangrove density in ponds 2 for seedlings was 60 ind/ha, saplings 290 ind/ha and tree level 50 ind/ha. The result showed water quality in pond 1 was better than pond 2 for use as aquaculture. because the value of water quality in ponds 1 meet the criteria. The result showed that abundance of plankton in the pond 2 was higher than the pond 1. Tiger shrimp production in pond 1 was 42 kg, and in pond 2 was 29 kg.
Keyword : Mangrove, Silvofishery, Tiger shrimp, Water quality.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan
lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi
untuk pertambakan adalah hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove dianggap
paling cocok untuk lokasi pertambakan. Dari berbagai studi, kemudian diusulkan
agar pembukaan hutan mangrove untuk pertambakan tidak melebihi 30 % dari
hutan mangrove yang tersedia (antara 10 – 20 %). Tujuannya adalah untuk
menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai ( Kordi 2012).
Sekitar 25.000 hektar hutan mangrove yang berada di sembilan kecamatan
pasisir pantai timur Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, kini kondisinya rusak.
Kerusakan mencapai 25.000 hektar itu, termasuk yang rusak berat dan sedang,
karena alih fungsi lahan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit maupun
tambak. Kerusakan yang berada di Kecamatan Secanggang seluas 1.000 hektar
(Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, 2011).
Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources), namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan
secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka
kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat,
tetapi juga tidak dapat berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan
tersebut. Secara umum ekosistem mangrove cukup tahan terhadap berbagai
gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian, mangrove tersebut sangat
pencucian serta tumpahan minyak. Kondisi ini mengakibatkan penurunan kadar
oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi dan menyebabkan kematian
mangrove.
Akibat dari tekanan berbagai kepentingan tersebut, terjadi kerusakan hutan
mangrove karena melebihi kapasitas daya dukungnya. Lebih dari lima puluh
persen hutan mangrove mengalami kerusakan atau bahkan hilang sama sekali
akibat berbagai faktor berikut : konversi hutan mangrove untuk peruntukan
lainnya, pencemaran pesisir oleh sampah, bahan bakar minyak, industri,
pertumbuhan dan perkembangan kota-kota pantai (beach city), dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga
kehidupan daratan dan lautan (Kustanti, 2011).
Berdasarkan permasalahan di atas maka akan dilakukan pengembangan
silvo-fishery (silvofishery) yang merupakan salah satu pilihan usaha yang dapat
dikembangkan di ekosistem mangrove. Silvofishery adalah suatu bentuk usaha
terpadu antara hutan mangrove dan budidaya perikanan air payau. Sistem ini
merupakan budidaya perairan yang biayanya relatif rendah. Pendekatan terpadu
terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan
kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan mangrove tetap baik
sementara budidaya air payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomis.
Perumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda di
dalam tambak terhadap produksi udang windu?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi udang windu pada
tambak silvofishery?
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh hutan mangrove dengan kerapatan yang berbeda
di dalam tambak terhadap produksi udang windu.
2. Untuk mengetahui bagaimana kualitas air pada tambak silfvofishey udang
windu.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi udang windu
pada tambak silvofishery.
Manfaat
1. Sebagai bahan masukan bagi petambak dalam menentukan proporsi
pemanfaatan hutan mangrove yang optimal untuk lahan budidaya tambak.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menerapkan
kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan usaha tambak silvofishery
yang berkelanjutan.
Hipotesis
Tambak silvofishery dengan kerapatan mangrove sedang produksinya lebih
tinggi daripada tambak silvofishery dengan kerapatan mangrove jarang.
Kerangka Pemikiran
Hutan mangrove merupakan mata rantai yang penting dalam memelihara
siklus biologi di suatu perairan. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologi,
diantaranya sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan dan udang.
mengendalikan intrusi air laut, pengolah limbah organik. Fungsi ekonomi,
diantaranya penghasil kayu, tambak, pariwisata, penelitian dan pendidikan.
Fungsi-fungsi tersebut jika dimanfaatkan dengan baik dapat memberikan
keuntungan dan nilai tambah bagi ekonomi masyarakat. Salah satu pemanfaatan
mangrove adalah sebagai lahan tambak silvofishery. Silvofishery merupakan pola
pemanfaatan hutan mangrove yang dikombinasikan dengan tambak/empang.
Silvofishery diterapkan untuk meredam laju konversi ilegal hutan mangrove
menjadi tambak.
Berdasarkan hal di atas tambak silvofishery dapat mengakomodasi
kegiatan rehabilitasi/konservasi ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir secara
luas tanpa mengurangi manfaatnya secara ekonomi. Keberadaan mangrove
dengan tingkat kerapatan yang berbeda di dalam tambak, diduga akan memiliki
nilai atau pengaruh yang berbeda terhadap kondisi lingkungan di dalam tambak.
Sehingga dapat diketahui berapa besar mangrove berpengaruh terhadap produksi
udang windu. Berdasarkan permasalah di atas kerangka pemikiran penelitian
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Hutan Mangrove
1. Perlindungan abrasi pantai 2. Mengendalikan intrusi air laut 3. Pengolah limbah organik Fungsi Biologi:
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan
komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan
pantai, hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai
adalah pohon-pohonan yang hidup di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang
dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang
dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Pengertian hutan mangrove sebagai hutan
payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada
tanah alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada
umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis jenis tanaman bakau. Oleh
karena itu istilah bakau digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus
Rhizophora. Istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup
disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Dengan demikian pada suatu kawasan hutan yang terdiri dari berbagai ragam
tumbuhan atau hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada, maka istilah
mangrove lebih tepat digunakan.
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem perpaduan antara ekosistem
lautan dan daratan dan berkembang terutama di daerah tropika dan sub tropika
yaitu pada pantai-pantai yang landai, muara sungai dan teluk yang berlindung dari
hempasan gelombang air laut. Dengan demikian hutan mangrove merupakan
penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan (Harahab,
2010).
Fungsi Hutan Mangrove
Secara ekologi keberadaan habitat hutan mangrove memberikan kontribusi
bagi penyediaan unsur hara dalam ekosistem. Guguran daun mangrove yang jatuh
ke lahan mangrove akan diuraikan oleh mikroorganisme dan berfungsi sebagai
makanan bagi benur udang, kepiting, ikan, yang selanjutnya akan dijadikan
makanan bagi organisme besar, seperti ikan, burung, dan mamalia. Proses seperti
tersebut di atas disebut rantai makanan. Saat air laut pasang, hutan mangrove
menjadi tempat berkumpulnya ikan untuk mencari makan. Kerapatan vegetasi
hutan mangrove menjadi tempat persembunyian bagi benur udang dan anak ikan.
Karena itu, hutan mangrove merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi
satwa-satwa tersebut.
Perlindungan pantai dari proses abrasi/erosi adalah dengan berfungsinya
mangrove untuk menahan energi gelombang abrasi air laut ataupun energi dari
terjadinya erosi. Perluasan lahan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove
adalah terjadinya penjebakan (akresi) lumpur oleh perakaran vegetasi mangrove.
Akibat penjebakan lumpur ini maka terjadi penambahan daratan menjorok ke laut.
Daratan baru akan timbul/terbentuk. Intrusi air laut dapat dikendalikan dengan
adanya hutan mangrove di pinggir pantai dengan berfungsinya perakaran
mangrove yang berfungsi untuk menetralisir kadar garam air laut. Secara fisik,
hutan mangrove mampu melindungi kehidupan penduduk disekitarnya dari
kencang. Fungsi fisik terakhir adalah sebagai pengolah limbah organik. Ekosistem
hutan mangrove merupakan lahan sebagai tempat untuk mengolah limbah-limbah
organik dengan cara menetralisir zat-zat beracun yang dihasilkan limbah tersebut
(Kustanti, 2011).
Menurut Anwar (1996, diacu oleh Apriani, 2007) ekosistem hutan
mangrove sebagai sistem daerah penyangga mamiliki fungsi ekonomi sebagai
berikut :
1. Sebagai penghasil kayu, baik sebagai kayu bakar, arang maupun bahan
bangunan,
2. Sebagai bahan baku industri : pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan,
alkohol, penyamak kulit, kosmetik, zat pewarna dan lain-lain,
3. Penghasil bibit ikan, nener, udang, kerang, kepiting, telur dan madu,
4. Sebagai tempat pariwisata, tempat penelitian dan pendidikan.
Udang Windu
Menurut Suwignyo (1997, diacu oleh Agustina, 2006) klasifikasi Udang
Windu (Penaeus monodon) adalah sebagai berikut:
Filum : Crustacea
Spesies : Penaeus monodon
Secara morfologi tubuh udang windu terdiri atas dua bagian yaitu bagian
depan yang terdiri atas bagian kepala dan badan yang menyatu (Cepholothorax) dan bagian perut (abdomen) terdapat ekor dibagian belakangnya, seluruh bagian
tertutup kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan chitin.
Bagian kepala – dada tertutup oleh sebuah kelopak kepala atau cangkang kepala
(carapace), di bagian depan, kelopak kepala memanjang dan meruncing yang
pinggirnya bergigi-gigi (rostum) dan terdapat bagian tubuh yang berpasangan. Di bawah pangkal cucuk kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai dan dapat
digerak-gerakkan, mulut terdapat di bawah bagian kepala antara rahang-rahang
(mandibula), di kanan-kiri sisi kepala tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubung dubur (anus). Pada
umumnya habitat udang windu adalah di perairan pantai berpasir dan berlumpur.
Udang windu terutama pada waktu masih berupa benur sangat tahan terhadap
kadar garam (euryhalin), sifat lain yang menguntungkan adalah memiliki
ketahanan terhadap perubahan suhu (eurythermal) (Mujiman dan Suyanto, 2003 diacu oleh Agustina, 2006). Bentuk udang windu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagian tubuh Udang Windu (Penaeus monodon)
Hubungan Hutan Mangrove dengan Produksi Udang Windu
Ekosistem pantai terutama mangrove mensuplai nutrien atau bahan
organik dalam jumah relatif banyak. Nutrien inilah yang menjadi nutrisi bagi
konsumen seperti ikan. Mangrove merupakan salah satu sumber nutrisi bagi
organisme di laut. Mangrove juga memiliki peran yang sangat penting bagi
kehidupan organisme di laut. Mangrove berperan dalam siklus hidup jenis-jenis
ikan laut. Fungsi ekologis mangrove sebagai nursery ground, feeding ground dan spawning ground menunjukkan peran ekosistem ini yang sangat penting bagi kehidupan di laut.
Guguran daun, biji, batang dan bagian lainnya dari mangrove sering
disebut serasah. Mangrove mempunyai peran penting bagi ekologi yang
didasarkan atas produktivitas primernya dan produksi bahan organik berupa
serasah, dimana bahan organik ini merupakan dasar rantai makanan. Serasah dari
tumbuhan mangrove ini akan terdeposit pada dasar perairan dan terakumulasi
terus menerus dan akan menjadi sedimen yang kaya akan unsur hara
(Suryaperdana, 2011).
Menurut Odum (1971, diacu oleh Nur, 2002) hutan mangrove dengan
vegetasinya yang khas, memiliki mata rantai makanan yang mendukung
kehidupan berbagai jenis makhluk dari tingkat yang paling sederhana hingga ke
tingkat yang paling kompleks. Serasah mangrove yang tertimbun pada dasar
mengalami dekomposisi oleh berbagai jenis jasad renik, untuk menghasilkan
detritus dan mineral bagi kesuburan tanah, serta sumber bagi kehidupan
fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen primer. Zooplankton, ikan, dan
krustasea memanfaatkan fitoplankton dan detritus sebagai sumber energi dalam
kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus makanan, sebelum manusia
Tambak Silvofishery
Menurut Sualia dkk (2010) Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan
wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo’ yang berarti hutan/pepohonan (wana)
dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola
pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan
budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan
upaya pelestarian hutan mangrove. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh
dengan menerapkan silvofishery, yaitu:
a. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang
akar-akar mangrove dari pohon mangrove yang ditanam di sepanjang pematang
tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan
ditutupi oleh tajuk tanaman mangrove.
b. Meningkatkan populasi ikan dan udang di tambak.
c. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan
sumber air tawar dapat dipertahankan.
d. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung
program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan
mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman
dari kecenderungan naiknya muka air laut.
e. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan
gelombang air pasang.
Menurut Kordi (2012) pada perkembangan selanjutnya, tambak
disesuaikan dengan upaya rehabilitasi mangrove. Karena itu kemudian dikenallah
empat model tambak silvofishery, sebagai berikut:
1) Tambak parit atau empang parit. Tambak parit atau empang parit merupakan
model umum dan paling awal dikembangkan, sehingga dikenal juga tambak
parit tradisional. Pada model ini, tanaman mangrove berada di dalam tambak,
sedangkan petak budidaya (ikan, udang, dan lain-lain) berupa parit yang
mengelilingi tanaman mangrove. Bentuk tambak silvofishery parit atau
empang parit dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Sketsa tambak silvofishery model parit (Kordi, 2012)
2) Tambak komplangan. Pada tambak ini tanaman mangrove bersebelahan
dengan tambak, dengan perbandingan 60% tanaman mangrove dan 40% petak
budidaya, atau 80% tanaman mangrove dan 20% petak budidaya. Bentuk
Gambar 4. Sketsa tambak silvofishery model komplangan
a1 = pintu pemasukan air ke petak pemeliharaan; a2 = pintu pemasukan air ke
petak tanaman mangrove;
b = pematang antara/pembatas; c = tumbuhan mangrove; d = petak pemeliharaan
(Kordi, 2012).
3) Tambak Kao-kao. Pada tambak ini, tumbuhan mangrove ditanam
berjejer-berbaris di dalam petak tambak, petak budidaya berada di antara tanaman
mangrove tersebut. Bentuk tambak silvofishery kao-kao dapat dilihat pada
Gambar 5.
4) Tambak parit terbuka. Pada tambak ini, tanaman mangrove hanya berada di
pinggir bagian dalam tambak. Jadi tanaman mangrove ditanam di bagian
dalam pematang. Bentuk tambak silvofishery parit terbuka dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6. Tambak silvofishery model parit terbuka(Kordi, 2012)
Kerapatan mangrove yang ditanam atau yang tumbuh secara alami di
tengah tambak bervariasi antara 1 pohon sampai 3 pohon per meter persegi.
Kerapatan pohon yang sedemikian ini merupakan kerapatan yang sesuai untuk
kapasitas produksi tambak yang bersangkutan. Kerapatan pohon mempengaruhi
banyaknya sampah organik yang masuk ke dalam tambak (Harahab, 2010).
Menurut Kordi (2012) dalam pembuatan tambak akua-forestri ada
beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Kondisi pasang surut, yakni kisaran pasang surut air laut yang dianggap
memenuhi syarat untuk dipilih sebagai lokasi adalah 1,7 – 2,5 m.
2. Kualitas air (kesuburan fisik dan kimia air dalam tambak dan sekitarnya)
berupa oksigen minimal 3 ppt (part per million), pH 6 – 9, suhu 23 – 32 0C
masalah, karena hutan mangrove sendiri merupakan indikator
tinggi-rendahnya salinitas.
3. Tanah bertekstur liat berlumpur sehingga dapat digunakan untuk pembuatan
pematang serta cukup mengandung unsur hara.
4. Lokasi yang dipilih tidak tercemar.
5. Tersedia bibit mangrove untuk penanaman kembali.
Sistem pemeliharaan organisme perairan di tambak silvofishery pada
hutan mangrove dapat dilakukan secara monokultur (satu jenis) atau polikultur
(lebih dari 1 jenis). Ikan bandeng dapat dipolikultur dangan udang windu, udang
putih, kepiting, dan beronang. Dalam penerapan sistem polikultur perlu
diperhatikan adalah jenis organisme yang dipolikultur. Ikan-ikan karnivora
(pemangsa/pemakan hewan) tidak boleh dicampur baik dengan ikan karnivora lain
maupun ikan herbivora (pemakan tumbuhan) dan omnivora (pemakan tumbuhan
dan hewan), misalnya antara kerapu dan bandeng, karena bandeng akan dimangsa
oleh kerapu. Sedangkan kepiting yang bersifat karnivor-scavanger (pemakan
hewan dan bangkai) dan udang windu yang bersifat omnivora dapat dipelihara
dengan bandeng, beronang dan nila, karena udang dan kepiting sangat sulit
menangkap ikan-ikan tersebut, sebaliknya ikan-ikan tersebut juga tidak memangsa
udang dan kepiting (Kordi, 2012).
Input produksi tambak sivofishery yang utama adalah benih ikan dan atau
udang, kebanyakan dikombinasi udang dan bandeng. Sebelum benih tersebut
ditebar di tambak, terlebih dahulu perairan tambak disiapkan dengan baik, oleh
karena itu perlu tambahan beberapa input, yaitu: pengolahan lahan dasar tambak
perairan. Memasukan air laut yang berasal dari kawasan hutan mangrove, air laut
dari kawasan hutan mangrove lebih banyak mengandung nutrien, plankton dan
benih udang, di samping kualitasnya juga lebih baik karena tanaman mangrove
mampu mengabsorpsi beberapa polutan. Out put yang dihasilkan dari tambak
silvofishery adalah udang dan bandeng. Selain udang yang ditebar biasanya
dihasilkan juga udang putih dan udang werus. Produksi udang putih dan udang
werus tersebut merupakan salah satu keunggulan dari perpaduan antara tambak
dengan hutan mangrove (Harahab, 2010).
Kualitas Air Parameter Fisika Suhu
Dalam penelitian pada ekosisteem air, pengukuran temperatur (suhu) air
merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan
berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktifitas biologis-fisiologis di dalam
ekosistem air sangat dipengaruhi oleh suhu. Menurut hokum VAN’T HOFFS, kenaikan suhu sebesar 10 0C (hanya pada kisaran temperatur yang masih bisa
ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2 – 3 kali
lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi
oksigen meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya suhu akan
menyebabkan kelarutan dalam oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat
menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi
(Barus, 2004).
Menurut Kordi (2010) suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme
tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap
kehidupan dan pertumbuhan biota air. Secara umum laju pertumbuhan meningkat
sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan budidaya bahkan
menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim (drastis).
Pertumbuhan dan kehidupan udang sangat dipengaruhi suhu air.
Kecerahan
Kecerahan yang baik bagi usaha budidaya udang windu berkisar 30-40 cm
yang diukur dengan menggunakan pinggan secchi. Bila kecerahan sudah
mencapai kedalaman kurang dari 25 cm, pergantian air sebaiknya segera
dilakukan sebelum fitoplankton mati beurutan yang diikuti penurunan oksigen
terlarut secara drastis. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat
mengetahui sampai di mana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi
dalam air. Lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan yang
paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik
untuk kehidupan udang windu (Kordi, 2010).
Parameter Kimia Salinitas
Menurut Barus (2004) secara alami kandungan garam terlarut dalam air
dapat meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi
karena melalui aktifitas respirasi dari hewan dan bakteri akan meningkatkan
proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam
tersebut meningkat kadar garamnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh
fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Toleransi dari
organisma yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap fluktuasi
salinitas, sedangkan euryhalin adalah organisma air yang mempunyai toleransi yang luas/lebar terhadap fluktuasi salinitas.
Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Semakin tinggi
salinitas, akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Udang yang hidup di air
asin harus mampu menyesuaikan dirinya terhadap tekanan osmotik dari
lingkungannya. Penyesuaian ini memerlukan banyak energi yang diperoleh udang
dari makanan dan digunakan untuk keperluan tersebut (Kordi, 2010).
Derajat Keasaman (pH)
Menurut Barus (2004) nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisma air
pada umumnya terdapat antara 7 – 8.5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam
maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena
akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisma dan respirasi. Disamping itu
pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam
berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya
akan mengancam kelangsungan hidup organisma air. Sedangkan pH yang tinggi
akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan
terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak
yang juga bersifat sangat toksik bagi organisma.
pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi
kehidupan jasad renik. Perairan asam kurang produktif, malah dapat membunuh
hewan budidaya. Pada pH rendah, kandungan oksigen terlarut akan berkurang,
akibatnya konsumsi oksigen akan menurun, aktifitas pernafasan naik dan selera
Oksigen Terlarut (DO)
DO (Disolved Oxygen) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam
ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat
dipengaruhi oleh faktor suhu. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan
konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah
akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut
dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga
dari proses fotosintesis (Barus, 2004). Di tambak, oksigen berfungsi sebagai
pengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak. Jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk proses pernafasan udang windu bergantung pada suhu (Kordi,
2010).
Parameter Biologi Plankton
Plankton dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisma plankton yang
bersifat tumbuhan dan zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan.
Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan sangat penting dalam
ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu
melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan
oleh fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok
organisma air lainnya yang berperan sebagai konsumen, dimulai dengan
zooplankton dan diikuti oleh kelompok organisma air lainnya yang membentuk
fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai produktivitas
primer. Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada
materi organik, baik berupa fitoplankton maupun detritus (Barus, 2004).
Warna air hijau kecoklatan disebabkan oleh Diatom dari kelas Baciilariophyta dan beberapa fitoplankton lain. Berdasar pengalaman, warna air hijau kecoklatan paling cocok untuk pembesaran udang windu karena banyak
mengandung fitoplankton yang dapat dimanfaatkan zooplankton karena
zooplankton merupakan sumber pakan bagi benur udang. Berarti, warna ini
menjadi indikasi adanya pakan alami dalam tambak. Jenis fitoplankton yang dapat
dimakan udang windu adalah Skeletonema, Tetraseslsmis, Oscillatoria dan
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2013 di tambak
silvofishery Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat,
Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi plankton dilakukan di Laboratorium
Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah plankton net, ember plastik volume 10 liter,
botol film, Sedgewick Rafter dengan ukuran panjang 50 mm, lebar 20 mm, dan tinggi 1 mm, pipet tetes, tisu, cover glass, object glass, buku identifikasi plankton,
mikroskop cahaya, thermometer, refraktometer, secchi disc, pH meter, DO meter, jaring, bambu, buku identifikasi mangrove, kamera, GPS, dan alat tulis. Bahan
yang digunakan dalam penelitian adalah benur udang windu pada masing-masing
tambak sebanyak 21.000 ekor ukuran PL 15, larutan lugol 4 %, dan kertas label.
Metode Pengumpulan Data 1. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung
(observasi) di lokasi penelitian. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan
dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil penelitian atau studi dan
data pendukung lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun
2. Lokasi Titik Sampling
Penentuan lokasi sampel berdasarkan perbedaan kerapatan mangrove yang
ada di dalam tambak. Ditetapkan dua lokasi tambak dengan kerapatan seperti
yang terlihat pada deskripsi area. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar
7.
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
3. Deskripsi Area
Tambak 1, yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang dengan luas
2.000 m2, terletak pada 03°55’43.886″ LU dan 098°31’34.345″ BT. Kondisi
Gambar 8. Tambak 1 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove sedang
Tambak 2, yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang dengan luas
2.000 m2, terletak pada 03055’38.630” LU dan 098031’44.837” BT. Kondisi
tambak 2 dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Tambak 2 yaitu tambak dengan kerapatan mangrove jarang
4. Pengambilan Data
A. Data Vegetasi Mangrove
Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan cara mengamati
vegetasi mangrove yang terdapat di dalam area tambak. Parameter yang diamati
adalah jenis dan kerapatan vegetasi mangrove tersebut. Kerapatan mangrove
B. Data Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur di setiap lokasi pengambilan sampel
kualitas air adalah suhu, kecerahan, salinitas, pH, dan DO. Pengambilan sampel
kualitas air dilakukan pada setiap tambak sebanyak 2 stasiun yaitu pada bagian
inlet dan bagian tengah tambak. Pengukuran kualitas air dilakukan sebanyak 4 kali pengamatan. Pengamatan ke-1 yaitu pada saat benur akan ditebar,
pengamatan ke-2 yaitu dua bulan masa pemeliharaan, pengamatan ke-3 yaitu
empat bulan masa pemeliharaan, dan pengamatan ke-4 yaitu lima bulan masa
pemeliharaan. Waktu pengambilan sampel air dilakukan pada saat pagi hari pada
jam 08.00 – 09.00 WIB. Pengumpulan data suhu, kecerahan, salinitas, pH dan DO
dilakukan secara insitu. Parameter dan alat yang digunakan dalam pengambilan
data kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter dan alat yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air
No. Parameter Satuan Alat Tempat pengukuran Fisika
1 Suhu 0C Thermometer Insitu
2 Kecerahan Cm Keping Secchi Insitu
Kimia
3 Salinitas ‰ Refraktometer Insitu
4 pH - pH meter Insitu
5 DO Mg/l DO meter Insitu
C. Data Kelimpahan Plankton
Pengumpulan data plankton dilakukan pada setiap tambak dengan
mengambil air sebanyak 25 liter kemudian dimasukkan kedalam ember plastik
dan disaring dengan menggunakan plankton net No. 25. Volume yang tersaring
adalah 50 ml dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Pengambilan sampel
plankton pada setiap tambak dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel
tersebut diawetkan dengan larutan lugol 4 % sebanyak 3 tetes pada setiap botol
sampel, kemudian masing-masing botol sampel diberi label.
Kegiatan analisis laboratorium meliputi pengamatan sampel dibawah
mikroskop dan diidentifikasi. Sampel yang akan diamati terlebih dahulu dikocok
sampai homogen, kemudian dengan menggunakan pipet tetes diambil sebanyak 1
ml dan diletakkan di Sedgewick Rafter, kemudian ditutup dengan cover glass dan
diletakkan di atas preparat lalu diamati di bawah mikroskop sebanyak tiga kali
ulangan untuk menghitung kelimpahan plankton.
D. Data Teknik Budidaya Udang Windu
Data tentang teknik budidaya udang windu didapat dengan pengamatan
secara langsung di lokasi penelitian.
5. Analisis Data
A. Data Vegetasi Mangrove
Analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan mengukur kerapatan semai
(permudaan pohon mulai dari kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang
(permudaan pohon dengan tinggi > 1,5 m dengan diameter < 10 cm), dan pohon
(tumbuhan berkayu berdiameter > 10 cm) pada masing-masing tambak. Menurut
Kordi (2012) kerapatan atau densitas adalah jumlah induvidu per unit luas atau
per unit volume. Dengan kata lain, kerapatan atau densitas merupakan jumlah
induvidu organisme per satuan ruang. Menurut Bengen (2000, diacu oleh
Suryaperdana, 2011) untuk menganalisa data kerapatan vegetasi mangrove
menggunakan rumus:
K =N
Keterangan:
K = Kerapatan vegetasi mangrove (ind./ha) N = Jumlah total individu (ind.)
A = Satuan unit area yang diukur (ha)
Untuk menentukan kerapatan mangrove dilakukan dengan menggunakan
kriteria baku kerapatan mangrove. Kriteria baku kerapatan mangrove dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria baku kerapatan mangrove Kriteria Baku Kerapatan (pohon/ha)
Sangat Padat > 1500 Sedang > 1000 – < 1500
Jarang < 1000
Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004
B. Data Kualitas Air
Analisis data untuk mengetahui kelayakan kondisi kualitas air untuk
budidaya udang windu adalah dengan membandingkan parameter fisika dan kimia
pada setiap petak tambak berdasarkan kriteria pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria kualitas air pemeliharaan untuk budidaya udang windu
Sumber : Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004
C. Data Kelimpahan Plankton
Penentuan kelimpahan plankton dihitung dengan menggunakan rumus
Sachlan dan Effendie (1972, diacu oleh Dianthani, 2003), sebagai berikut :
N = n + Vr
Vo+
1
Keterangan:
N = jumlah sel per liter n = jumlah sel yang diamati Vr = volume air tersaring (ml)
Vo = volume air yang diamati (pada Sedgwick Rafter) (ml) Vs = volume air yang disaring (l)
D. Data Teknik Budidaya Udang Windu
Data tentang teknik budidaya udang windu yang didapat dengan
pengamatan secara langsung di lokasi penelitian kemudian dianalisis secara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Vegetasi Mangrove
Jenis-jenis dan kerapatan mangrove yang ditemukan berdasarkan hasil
analisis vegetasi mangrove pada masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis-jenis dan kerapatan mangrove pada masing-masing tambak pengamatan
Rhizhopora apiculata 165 60
Total 215 60
Nypa fruticans 25 -
Rhizophora apiculata 70 58
Sonneratia alba 25 -
Total 120 290
Rhizophora apiculata 870 -
Sonneratia alba 150 50
Total 1020 50
Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang
Bentuk dari jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada tambak
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.
(c) (d)
Gambar 10. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada tambak pengamatan Keterangan : (a) Acanthus ilicifiolus (b) Nypa fruticans (c) Rhizophora apiculata
(d) Sonneratia alba
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kerapatan mangrove
pada tambak 1 untuk tingkat semai 215 ind/ha, untuk tingkat pancang 120 ind/ha,
dan untuk tingkat pohon 1020 ind/ha. Sedangkan kerapatan mangrove pada
tambak 2 untuk tingkat semai 60 ind/ha, untuk tingkat pancang 290 ind/ha, dan
untuk tingkat pohon 50 ind/ha.
Parameter Kualitas Air
Hasil pengukuran parameter kualitas air pada masing-masing tambak
pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada tambak pengamatan No. Parameter Satuan Nilai
Kelimpahan Plankton
Berdasarkan hasil pengamatan ke-1 diperoleh jenis dan kelimpahan
plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-1 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Cocconeis 24.707 110.707
2 Gyrosigma - 20.707
3 Melosira - 22.707
2 Chlorophyceae 4 Pandorina 17.707 -
3 5 Isthmia 21.707 22.707
4 Cyanophyceae 6 Oscillatoria 20.707 60.707
5 7 Synedra 17.707 30.707
Plankton 47.707 392.707
Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan
Kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1.
Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 47.707 ind/l dan pada tambak 2
adalah 392.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 36.707 ind/l
sedangkan zooplankton adalah 27.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada
Berdasarkan hasil pengamatan ke-2 diperoleh jenis dan kelimpahan
plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-2 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Bacteriastrum 18.707 -
2 Cocconeis 33.707 -
4 Cyanophyceae 9 Oscillatoria 51.707 1959.707
5 10 Closterium - 19.707
Plankton 193.707 2070.707
Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan
Kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1.
Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 193.707 ind/l dan pada tambak 2
adalah 2070.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 95.707
ind/l sedangkan zooplankton adalah 114.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada
Berdasarkan hasil pengamatan ke-3 diperoleh jenis dan kelimpahan
plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-3 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Cocconeis - 17.707
2 Melosira - 23.707
3 Navicula 22.707 -
3 7 Isthmia 40.707 38.707
4 Cyanophyceae 9 Oscillatoria 320.707 20.707
7 Synedra - 17.707
Plankton 362.707 59.707
Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan
Kelimpahan plankton pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2.
Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 362.707 ind/l dan pada tambak 2
adalah 59.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 350.707 ind/l
sedangkan zooplankton adalah 114.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada
Berdasarkan hasil pengamatan ke-4 diperoleh jenis dan kelimpahan
plankton pada masing-masing tambak seperti pada Tabel 9.
Tabel 9. Jenis dan kelimpahan plankton pada pengamatan ke-4 Plankton No. Kelas No. Genus Fitoplankton 1 Bacillariophyceae 1 Cocconeis 31.707 35.707
2 Gyrosigma 45.707 -
2 Coscinodiscophyceae 8 Coscinodiscus 32.707 -
9 Isthmia 54.707 53.707
10 Thalassiosira 23.707 - 3 Cyanophyceae 11 Oscillatoria 58.707 36.707
4 12 Synedra 28.707 21.707
Plankton 235.707 138.707
Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan
Kelimpahan plankton pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2.
Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 235.707 ind/l dan pada tambak 2
adalah 138.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 220.707
ind/l sedangkan zooplankton adalah 31.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada
tambak 2 adalah 115.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 39.707 ind/l.
Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih
657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan
fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah
344.707 ind/l. Kelimpahan plankton pada pada masing-masing tambak
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kelimpahan plankton pada masing-masing tambak pengamatan
Bentuk fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dapat dilihat pada
Gambar 12, bentuk fitoplankton dari kelas Chlorophyceae dapat dilihat pada
Gambar 13, bentuk fitoplankton dari kel
Gambar 14, bentuk fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dan
dapat dilihat pada Gambar 15, bentuk fitoplankton dari kel
dapat dilihat pada Gambar 16. Sedangkan bentuk zooplankton dari kelas
Crustacea, dan dapat dilihat pada Gambar 17,
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h) (i)
Gambar 12. Fitoplankton kelas Bacillariophyceae (a) Bacteriastrum (b) Coconeis (c) Gyrosigma (d) Melosira (e) Navicula (f) Nitzchia (g) Surirella (h) Terpsinoe (i) Triceratium
(a) (b)
(a) (b) (c)
Gambar 14. Fitoplankton kelas (a) Coscinodiscus (b) Isthmia (c) Thalassiosira
(a) (b)
Gambar 15. Fitoplankton kelas Cyanophyceae da Oscillatoria (b) Synedra
(a) (b)
(a) (b) (c)
Gambar 17. Zooplankton kelas KelasCrustacea,da
(a) Daphnia (b) Nauplius (c) Brachionus
(a) (b)
Gambar 18. Zooplankton kelas(a) Diacyclops (b) Diaptomus
Teknik Budidaya Udang Windu
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, teknik budidaya udang
windu meliputi proses persiapan tambak, penebaran benur, pemeliharaan, dan
pemanenan.
Pembahasan
Analisis Vegetasi Mangrove
Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove yang telah dilakukan, jenis
Rhizhopora apiculata pada tambak 1 cenderung lebih dominan, baik untuk tingkat semai, pancang maupun pohon. Pada tambak 2 jenis Rhizophora apiculata cenderung dominan untuk tingkat pancang, sedangkan untuk tingkat pohon hanya
Jenis Rhizhopora apiculata yang ditemukan pada tambak 1 banyak
ditemukan pada bagian tengah tambak dan pada tambak 2 banyak ditemukan pada
bagian tanggul tambak. Mangrove jenis Rhizhopora apiculata sering digunakan
oleh petambak untuk ditanam pada areal tambak silvofishery, hal ini dikarenakan
akar jenis Rhizhopora apiculata yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pada bagian tanggul tambak. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh
Harahab, 2010) jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul dan di
tengah/pelataran tambak adalah Rhizhopora sp.
Kerapatan mangrove pada tambak 1 lebih besar daripada tambak 2.
Kerapatan yang lebih besar dapat meningkatkan jumlah pakan alami yang masuk
kedalam tambak yang berasal dari serasah daun, batang maupun biji mangrove
yang dapat dimanfaatkan oleh udang. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh
Harahab, 2010) kerapatan pohon mempengaruhi banyaknya sampah organik yang
masuk kedalam tambak. Kerapatan yang lebih kecil sesuai untuk budidaya ikan,
sedangkan kerapatan yang lebih besar sesuai untuk budidaya udang atau kepiting
bakau. Berdasarkan hal tersebut, maka kerapatan mangrove pada tambak 1 sesuai
untuk budidaya udang windu.
Parameter Kualitas Air
Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air.
Suhu perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 29 – 31 0C dan
pada tambak 2 yaitu 29 – 32 0C. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, suhu perairan yang optimum untuk budidaya
udang windu adalah 28.5 – 31.5 0C. Dengan demikian, suhu perairan pada tambak
Kecerahan merupakan faktor fisika yang menentukan jauhnya penetrasi
cahaya yang masuk kedalam perairan. Kecerahan perairan saat dilakukan
pengukuran pada tambak 1 yaitu 57 – 62.5 cm dan pada tambak 2 yaitu 29.5 – 36
cm. Kecerahan perairan pada tambak 1 lebih tinggi karena pada tambak 1
kedalamannya lebih tinggi dibandingkan pada tambak 2. Menurut Yuliana dan
Asriana (2012) ketersediaan cahaya dalam badan air sangat tergantung pada
waktu, tempat (kedalaman).
Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun
2004, kecerahan perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 30 –
40 cm. Selain itu menurut Boyd (1990, diacu oleh Herman, 2000), nilai kisaran
kecerahan yang optimum bagi udang windu adalah 30 – 40 cm. Dengan demikian,
kecerahan perairan pada tambak 1 kurang optimum dan pada tambak 2 cukup
optimum untuk budidaya udang windu.
Salinitas perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 7 – 10
‰ dan pada tambak 2 yaitu 7 – 9.5 ‰. Salinitas pada masing-masing tambak
tergolong rendah. Rendahnya salinitas pada masing-masing tambak disebabkan
jauhnya jarak antara tambak dengan laut sehingga perairan pada masing-masing
tambak lebih banyak tercampur dengan air tawar. Menurut Herman (2000)
salinitas di tambak dipengaruhi oleh percampuran antara air laut dan air tawar,
selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun
2004, Salinitas perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 15 –
25 ‰. Menurut Poernomo (1989, diacu oleh Saladin, 1995), pada salinitas 35 – 40
permil. Selain itu menurut Kordi (2010) untuk pertumbuhan optimal udang windu
di dalam tambak kisaran salinitas terletak antara 15 – 25 ‰. Dengan demikian,
salinitas perairan pada tambak 1 dan tambak 2 kurang optimum untuk budidaya
udang windu.
pH digunakan untuk menggambarkan kondisi asam atau basa suatu
perairan. pH perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.8 – 7.5
dan pada tambak 2 yaitu 6.6 – 7.7. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, pH perairan yang optimum untuk budidaya
udang windu adalah 7.5 – 8.5. Selain itu menurut Sualia, dkk (2010) pH normal
untuk pemeliharaan udang windu di dalam tambak adalah 7.5 – 8.5. Dengan
demikian, pH perairan pada tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk
budidaya udang windu.
Oksigen terlarut (DO) merupakan jumlah oksigen yang ditemukan terlarut
di dalam air. DO perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.3 –
6.9 mg/l dan pada tambak 2 yaitu 6.4 – 9.0 mg/l. Oksigen terlarut (DO) pada
tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1 karena jumlah fitoplankton yang ada
pada tambak 2 lebih banyak dari pada tambak 1. Menurut Herman (2000) sumber
oksigen terlarut di tambak tradisional berasal dari proses fotosintesis fitoplankton.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004,
DO perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 3.0 – 7.5 mg/l.
Dengan demikian, DO perairan pada tambak 1 optimum dan pada tambak 2
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kondisi kualtas air pada
masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kondisi kualitas air pada masing-masing tambak pengamatan No. Parameter Tambak 1 Tambak 2
Fisika
1 Suhu Optimum Cukup optimum
2 Kecerahan Kurang optimum Cukup optimum
Kimia
3 Salinitas Kurang optimum Kurang optimum
4 pH Cukup optimum Cukup optimum
5 DO Optimum Cukup optimum
Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang
Berdasarkan hasil penelitian, kondisi kualitas air pada tambak 1 terdapat
dua kondisi optimum, satu kondisi cukup optimum, dan dua kondisi kurang
optimum. Pada tambak 2 terdapat empat kondisi cukup optimum, dan satu kondisi
kurang optimum. Berdasarkan kondisi tersebut, maka kualitas air pada tambak 1
lebih sesuai untuk pemeliharaan udang windu daripada tambak 2 karena kondisi
kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya
udang windu daripada tambak 2.
Kelimpahan Plankton
Pada pengamatan ke-1 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak
2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Bacillariophyceae yaitu genus
Cocconeis. Pengamatan ke-1 adalah ketika benur udang windu ditebar yaitu ketika
fase post larva. Kelas Bacillariophyceae merupakan makanan bagi benur udang
windu. Menurut Saladin (1995) bahwa kelas Bacillariophyceae merupakan pakan
utama udang pada periode larva dan post larva. Selain itu menurut Boyd (1990,
dari kelas Bacillariophyceae karena kelas ini dapat dijadikan sebagai pakan alami
bagi udang windu.
Pada pengamatan ke-1 kelimpahan zooplankton pada tambak 1 diperoleh
kelimpahan tertinggi dari kelas. Kelimpahan
zooplankton pada tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Crustacea
yaitu genus Nauplius. Menurut Setyaningsih (1989, diacu oleh Saladin, 1995)
bahwa zooplankton dari genus Nauplius ditemukan dalam lambung udang windu.
Hal ini mengindikasikan bahwa genus Nauplius merupakan sumber pakan alami
bagi udang windu.
Pada pengamatan ke-2 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak
2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Cyanophyceae yaitu genus
Oscillatoria. Menurut kordi (2010) fitoplankton yang dapat dimakan udang windu
adalah Oscillatoria, Skeletonema, Tetrasesimis dan Chlorella. Kelimpahan
zooplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari
kelas Maxillopoda yaitu genus Diacyclops.
Pada pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-4 kelimpahan fitoplankton pada
tambak 1 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Cyanophyceae yaitu genus
Oscillatoria yang merupakan fitoplankton yang dapat dimakan oleh udang windu.
Pada tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Coscinodiscophyceae
yaitu genus Isthmia. Pada pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-4 kelimpahan
zooplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari
kelas Crustacea yaitu genus Nauplius yang merupakan sumber pakan alami bagi
Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih
tinggi dari pada tambak 1. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah
657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan
fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah
344.707 ind/l. Hal ini diduga disebabkan oleh vegetasi mangrove yang terdapat
pada tambak 1 lebih banyak daripada tambak 2, sehingga adanya persaingan
perolehan cahaya yang lebih banyak antara fitoplankton dengan vegetasi
mangrove.
Menurut Murachman (2010) kelimpahan fitoplankton yang optimal untuk
tambak udang windu adalah 3.628–11.533 ind/l, sedangkan zooplankton adalah
243–699 ind/l. Berdasarkan hal tersebut maka kelimpahan fitoplankton pada
tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu, sedangkan
kelimpahan zooplankton pada tambak 1 cukup optimum dan pada tambak 2
optimum untuk budidaya udang windu.
Teknik Budidaya Udang Windu Persiapan Tambak
Persiapan tambak dilakukan dengan cara menangkap ikan dan biota
lainnya yang berada di dalam tambak dengan menggunakan jaring hingga tidak
ada lagi ikan dan biota lainnya yang tertangkap. Hal ini dilakukan agar ikan tidak
memangsa udang yang akan di tebar. Setelah itu, di dalam tambak dipasang hapa
sebagai tempat pemeliharaan benur atau biasa disebut pendederan. Hapa adalah
tempat pendederan benur yang terbuat dari jaring nilon atau disebut waring. Hapa
dipasang di dalam tambak dengan cara mengikatnya pada tiang yang ditancapkan
Penebaran Benur
Benur yang ditebar berukuran PL 15, masing-masing tambak sebanyak
21.000 ekor. Benur yang ditebar tergololng masih kecil, oleh karena itu dilakukan
pendederan dengan menggunakan hapa selama 30 hari agar benur tersebut cukup
kuat dan tahan terhadap kondisi tambak yang luas serta mampu menghindar dari
berbagai predator yang akan memangsa. Sebelum ditebar, benur di aklimatisasi
terlebih dahulu. Menurut Kordi (2010) aklimatisasi adalah adaptasi atau
penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Aklimatisasi dilakukan
untuk menjegah terjadinya stres pada benur yang dipindahkan dari satu
lingkungan ke lingkungan lain yang berbeda kondisinya. Tahap aklimatisasi
ketika penelitian dilakukan sebagai berikut :
1. Benur yang terdapat pada kemasan kantong plastik diapungkan di dalam
tambak. Biarkan sekitar 30 menit agar suhu air di dalam kantong plastik sama
dengan suhu air di tambak.
2. Setelah 30 menit, kantong plastik yang berisi benur tersebut dibuka satu per
satu. Tambahkan air dari tambak ke dalam kantong plastik sebanyak 1 4 dari
volume air yang ada di dalam kantong plastik. Penambahan air dari tambak ke
kantong plastik untuk penyesuaian salinitas dan pH. Lalu biarkan selama 30
menit.
3. Setelah 30 menit, miringkan kantong plastik yang berisi benur sampai benur