• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PERIODE KEMERDEKAAN INDONESIA (1945-1949

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB I PERIODE KEMERDEKAAN INDONESIA (1945-1949"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PERIODE KEMERDEKAAN INDONESIA (1945-1949)

A. Makna Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

1. Kelahiran PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)

Sejarah mencatat munculnya pergolakan politik akibat kehadiran Belanda yang membonceng sekutu. Dalam situasi perjuangan melawan sekutu itulah, dilangsungkan Kongres Pendidik Bangsa. Kongres I yang berlangsung tepat 100 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Kongres ini diselenggarakan di Sekolah Guru Putri (SGP) di Surakarta, Jawa Tengah, yang digerakkan dan dipimpin oleh para tokoh guru, Amin Singgih, RH. Koesnan dan kawan-kawan. Kongres selama dua hari, tanggal 24-25 November 1945 tersebut melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah perjuangan kaum guru turut serta menegakkan dan mempertahankan serta mengisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.

Lahirnya PGRI telah menghapus segala bentuk perpecahan di antara kelompok guru akibat perbedaan ijazah di lingkungan pekerjaan dan lingkungan daerah, aliran politik atau perbedaan agama dan suku. Hal itu selaras dengan azas, tujuan dan cita-cita PGRI yang juga selaras dengan Proklamasi Kemerdekaan.

Kongres PGRI I telah merumuskan 4 tujuan mulia PGRI, yaitu: a. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.

b. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran dengan dasar kerakyatan. c. Membela hak dan nasib buruh umumnya, serta hak dan nasib guru khususnya. d. PGRI merupakan organisasi pelopor perjuangan.

2. Perjalanan Sejarah Kelahiran PGRI

Lahirnya PGRI bukanlah hal yang mendadak, lahirnya PGRI merupakan kelanjutan dari perjuangan para guru sejak masa penjajahan Belanda, yaitu PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) dan perjuangan para guru masa pendudukan tentara Jepang, yaitu PGI (Persatuan Guru Indonesia), apalagi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Untuk lebih jelas berikut ini lintasan sejarah bangsa yang mempengaruhi kelahiran PGRI:

 Masa Pergerakan Nasional 1900-1942

Pergerakan Nasional adalah masa lahirnya kesadaran nasional bangsa Indonesia. Sadar sebagai satu bangsa Indonesia tanpa membedakan suku, agama dan keturutan. Masa ini ditandai dengan lahirnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang selalu kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Yang segera diikuti oleh munculnya organisasi-organisasi lain seperti Muhammadiyah, NU, SDI, NIP, Perhimpunan Indonesia, PNI, Parindra dan lain-lain.

 Perang Dunia II 1939-1945

Perang ini mula-mula terjadi di Eropa dan Afrika Selatan, kemudian sejak tanggal 08 Desember 1941 meluas ke Asia pasifik. Pada tanggal 08 Maret 1942 di Kalijati Gubernur jenderal Hindia Belanda menandatangani naskah penyerahan kekuasaan atas Indonesia kepada Panglima Tentara Jepang Jenderal Imamura. Pendudukan tentara Jepang di tanah air kita, berarti berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia.

 Perang Dunia di Asia Pasifik berakhir

(2)

memerintahkan para tentara Jepang untuk meletakkan senjara dan menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu.

 Tentara Pendudukan Sekutu

Setelah tentara Jepang menyatakan menyerah pada sekutu, maka tentara sekutu kemudian mengirimkan tentaranya ke tanah iari yang terdiri dari 3 (tiga) Divisi Tentara Kerajaan Inggris yang diesbut AFNEI (Alied Forces for Nedherland Indien) yang mempunyai tugas:

a) Melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke tanah airnya

b) Mengambil alih kekuasaan tentara Jepang atas Indonesia dan selanjutnya menyerakan kepada tentara Belanda.

c) Mengurus para tawanan perang, yaitu orang-orang yang selama perang Dunia II ditawan oleh Tentara Jepang.

B. Peran PGRI di Masa Kemerdekaan

1. Kongres PGRI I, tanggal 24-25 November 1945

Kongres PGRI I yang berlangsung 100 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan turut membantu membangkitkan semangat para guru. Hal ini sejalan dengan tujuan PGRI ketika didirikan, yaitu memperkuat berdirinya Republik Indonesia. Dengan tujuan tersebut PGRI merupakan salah satu organisasi perjuangan yang ada saat itu. Perjuangan tersebut bukan saja dilakukan melalui bangku sekolah, tetapi para guru juga turut berjuang mengangkat senjata melawan sekutu yang tidak berperan sesuai dengan tujuan kedatangan mereka ke Indonesia. NICA (Nedherland Indis Civil Administration) yang membonceng pada sekutu berusaha kembali menguasai Indonesia, rakyat Indonesia yang tidak mau dijajah kembali bahu membahu bersama Tentara Keamanan (TKR) mengangkat senjata melawan tentara sekutu/Belanda. Demikian pula para guru, mereka rela meninggalkan tugasnya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah mereka miliki.

Kongres PGRI I ini dihadiri oleh lebih kurang 300 orang guru, wakil-wakil dari seluruh pulau Jawa, sedang wakil-wakil dari luar pulau Jawa tidak dapat hadir karena sulitnya transportasi dan komunikasi saat itu. Kongres PGRI I di Surakarta ini merupakan kongres yang melahirkan satu-satunya organisasi profesi bagi guru, yaitu PGRI yang membawa tugas: a) Mempersatukan para guru dalam tugas mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi

sistem pendidikan nasional.

b) Mempersatukan para guru agar tidak terpecah-pecah dan ikut serta dalam perjuangan menegakkan dan memepertahankan kemerdekaan.

2. Bentuk Perjuangan Guru dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Proklamasi membawa perubahan besar, dari kehidupan bangsa yang terjajah menjadi kehidupan bangsa yang merdeka dan berdiri sendiri. Di bidang ekonomi, ekonomi yang hanya untuk kepentingan penjajah harus dirubah menjadi ekonomi nasional untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pertanian tanaman ekspor di masa penjajahan harus diubah menjadi pertanian tanaman pangan, terutama untuk rakyat. Dan pendidikan kolonia harus segera diubah menjadi pendidikan nasional untuk membina dan mendidik anak-anak Indonesia yang berjiwa merdeka, bertanggung jawab kepada bangsa dan tanah airnya sendiri.

(3)

Seperti kita ketahui setelah proklamasi 17 Agustus 1945 di seluruh tanah air di bentuk TKR dan laskar-laskar perjuangan, untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan. BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan selanjutnya TNI (Tentara Nasional Indonesia) beranggotakan eks KNIL, eks Heiho dan juga eks tentara PETA. Sedangkan laskar-laskar perjuangan beranggotakan para pemuda-pemuda Indonesia yang terpanggil untuk ikut membela kemerdekaan 1945-1949. Berikut proses sejarah berdirinya TNI:

Laskar-laskar perjuangan 1945:

 BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia)  TRM (Tentara Rakyat Mataram)

 KRIS (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi)  Hisbullah

 Laswi (Laskar Wanita)  Barisan Bambu Runcing  Batalyon 400

 Barisan Banteng  TP (Tentara Pelajar)

 TRIP (Tentara republik Indonesia Pelajar)  Sabilillah dan laini-lain

BKR (Badan Keamanan

Rakyat)

TKR

(Tentara Keamanan Rakyat)

TKR

(Tentara Keselamatan Rakyat)

TRI (Tentara Republik

Indonesia)

TNI (Tentara Nasional

(4)

BAB II

PERAN PGRI DI MASA PERJUANGAN FISIK (1945-1949)

A. Peran PGRI di Masa Perjuangan Fisik

1. Mengubah Sistem Pendidikan Kolonial Menjadi Sistem Pendidikan Nasional

Mengubah sistem pendidikan tidaklah mudah dan memerlukan pemikiran yang matang. Yang dilakukan oleh para guru di bawah pimpinan PB PGRI adalah menyesuaikan materi-materi pelajaran yang ada, buku-buku pelajaran yang dicetak di masa penjajahan Belanda tentu isinya tidak sesuai lagi dengan keadaan setelah Indonesia merdeka. Khususnya buku bacaan dan pelajaran sejarah, ilmu bumi, ilmu alam dan sebagainya yang secara umum isi pelajaran di masa penjajahan Belanda bersifat untuk merendahkan harkat dan martabat bangsa Indonesia, dengan tujuan untuk menanamkan rasa rendah diri. Dimana waktu itu penduduk Indonesia dibagi menjad 3 golongan:

 Golongan Eropa  Golongan Timur Asing  Golongan Pribumi

 Golongan Eropa adalah golongan penduduk yang berasal dari Belanda, Inggris, Perancis, yang merupakan golongan masyarakat kelas atas.

 Golongan Timur Asing adalah golongan penduduk yang berasal dari Tionghoa, India, Arab, yang merupakan golongan penduduk kelas menengah atau kelas dua.

 Golongan Pribumi adalah golongan penduduk asli Indonesia yang merupakan golongan penduduk kelas terendah di kelasnya dengan hak-hak terbatas.

Buku-buku bacaan yang merendahkan derajat rakyat Indonesa segera diganti, buku-buku pelajaran lain dalam bahasa Belanda harus diterjemahkan atau diganti dengan bahasa Indonesia. Buku-buku sejarah Belanda yang menulis mengenai Pangeran Diponegoro, Untung Surapati, Thomas Matulessy dan lain-lain adalah penjahat dan pemberontak maka harus diluruskan kebenarannya, bahwa beliau-beliau adalah pahlawan pembela kebenaran dan keadilan. Sedangkan Kapten J.P Coen, Kapten Maatsuyker, Kapten de Kock adalah penindas, pemeras dan pembunuh yang semena-mena.

Bagi PGRI pada waktu itu yang paling penting adalah mengajak para guru untuk mengubah sikap anggotanya. Mengubah sikap memperlakukan siswa sebagai tunas-tunas bangsa, bukan lagi sebagai anak-anak tanah jajahan. Anak-anak didik harus diberi bimbingan ke arah perkembangan yang seluas-luasnya dan didorong untuk mengejar cita-cita yang setinggi-tingginya. Tidak seperti pada masa penjajahan Belanda yang dibimbing sekedar asal membaca, menulis dan berhitung dengan sedikit pengetahuan, juga dibina kepada sifat pasrah dan patuh sampai mati sebagai rakyat jajahan. Disinilah letak peran penting bagi para guru di masa kemerdekaan dibandingkan pada masa penjajahan.

2. Kongres PGRI II di Surakarta tanggal 21-23 November 1946

Perang kemerdekaan yang berlangsung sejak 1945-1949 ini merupakan masa sulit yang turut menguji kebulatan tekad anak bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannya, termasuk para guru. Di tengah situasi politik dan keamanan yang bergejolak, PGRI melakukan kongres II pada tanggal 21-23 November 1946 di Surakarta. Kongres II ini menghasilkan 3 tuntutan yang diajukan kepada pemerintah, yaitu:

a) Sistem pendidikan agar dilakukan atas dasar kepentingan nasional b) Gaji guru supaya jangan dihentikan

(5)

3. Kongres III PGRI di Madiun

Sedangkan kongres PGRI III diselenggarakan di tengah berkecamuknya perang kemerdekaan, yaitu pada tanggal 27-29 Februari 1948 di Madiun. Kongres yang berlangsung dalam suasana darurat menghasilkan keputusan:

a) Menghapus Sekolah Guru C, yaitu pendidikan guru 2 tahun setelah Sekolah Rakyat. b) Membentuk komisariat-komisariat daerah pada setiap karesidenan.

c) Menerbitkan majalah Sasana Guru (Suara Guru) B. Perjuangan Diplomasi dalam Mengakhiri Kekuasaan Belanda

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak hanya menggunakan kekuatan senjata dalam melawan penjajah Belanda tetapi juga perjuangan dalam bentuk Diplomasi atau perundingan-perundingan dengan Belanda.

1. Perjanjian Linggarjati

Jarak antara Kongres PGRI I, II, dan III terasa amat dekat, ini membuktikan semangat para guru yang ingin mewujudkan persatuan diantara para guru, sesuai dengan tuntutan yang mendesak dari perjuangan bangsa saat berkonfrontasi dengan Belanda. Seperti kita ketahui Kongres PGRI II berlangsung dalam suasana perpecahan nasional akibat dari hasil Perundingan Linggarjati tanggal 10-15 November 1946, ternyata mendapat reaksi keras dari tokoh-tokoh pemimpin Indonesia lainnya. Mereka menganggap isi keputusan Linggarjati merupakan kekalahan dan kemunduran pemerintah dalam menegakkan dan mempertahankan keerdekaan negara Kesatuan republik Indonesia, karena wilayah Indonesia menjadi sempit.

Isi dari perundingan Linggarjati tersebut yaitu:

a) Belanda mengakui secara de fakto Republik Indonesia atas wilayah pulau Jawa, Madura dan Sumatera.

b) RI dan Belanda sepakat akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama RIS yang salah satu Negara bagiannya adalah Negara RI.

c) Negara RIS dan Kerajaan Belanda akan menjadi Uni Indonesia-Belanda (Comoonwealth) dengan mahkota Kerajaan Belanda sebagai Kepala Uni.

Kongres PGRI III tanggal 27-29 Februari 1948 juga diselenggarakan dalam situasi kemelut akibat tuntutan dari pihak Belanda agar Republik Indonesia mengakui garis Demarkasi Van Mook dan agar TNI ditarik dari kantong-kantong pertahanan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke ibukota RI Yogyakarta. Sebagai realisasi dari Perundingan Linggarjati maka Belanda segera mendirikan negara-negara boneka, yaitu:

 Negara Indonesia Timur  Negara Madura

 Negara Sumatera Timur  Negara Pasundan  Negara jawa Timur  Negara Jawa Tengah

Negara-negara boneka ini dimaksudkan untuk memecah belah perjuangan bangsa Indonesia, kepala-kepala pemerintahannya sudah tentu boneka-boneka atau pengikut Belanda. Dengan negara-negara boneka ini Belanda bermaksud memperkecil pengaruh kekuasaan RI dan juga untuk mengelabui dunia bahwa seolah-olah Belanda hendak memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

2. Perundingan Renville

(6)

PBB memerintahkan kepada kedua belah pihak, RI-Belanda segera mengadakan gencatan senjata dan maju ke meja perundingan. Untuk mengawasi jalannya gencatan senjata dan perundingan maka tanggal 6 September 1947 PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia (Richard Kerby), Belgia (Paul Van Zuland) dan Amerika Serikat (Dr. Frank Graham). Setibanya di Jakarta kemudian KTN mengadakan pendekatan-pendekatan kepada kedua belah pihak agar segera melaksanakan perundingan, atas usul KTN perundingan RI-Belanda dilakukan di atas sebuah kapal milik Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu USS Renville di pelabuhan Teluk Jakarta.

Dalam perundingan Renville delegasi RI diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifoeddin, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh R. Abdoelkadir Widjojoatmodjo (seorang Indonesia yang memihak Belanda). Belanda sengaja menggunakan orang Indonesia agar dapat memenangkan perundingan tersebut. Setelah melalui perdebatan yang sengit akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani.

Isi dari Perjanjian Renville adalah sebagai berikut: a) Sepuluh pasal persetujuan gencatan senjata

b) Enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian konflik, antara lain:

 Belanda memegang kedaulatan atas Indonesia sampai pengakuan kedaulatannya kepada Negara RIS yang merdeka

 RI menjadi bagia dari RIS

 Sebelum pemerintah federal terbentuk, maka RI harus mempunyai wakil-wakil yang layak dalam tiap-tiap Pemerintahan Federal Sementara

 Akan diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura dan Sumatera untuk menentukan masuk RI atau RIS

Setelah perjanjian Renville ditandatangani terjadi pro dan kontra pada bangsa Indonesia, sebab hasil perjajian Renville ternyata sangat merugikan pihak Indonesia, karena kedudukan Indonesia semakin terdesak, wilayahnya sempit dan memberi peluang kepada meluasnya kekuasaan Belanda.

3. Perundingan Roem-Roijen

Untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB maka pada tanggal 17 April 1949 Belanda dan RI mengadakan pertemuan di Hotel Des Indes (sekarang Hotel Duta Merlin, Jakarta). Dalam pertemuan tersebut delegasi RI dipimpin oleh Mr. Moh. Roem dan delegasi Belanda oleh Dr. J.H. Van Roijen, sehingga dikenal dengan Perundingan Roem-Roijen di bawah pengawasan UNCI (United Nation Commission for Indonesia) yang dipimpin oleh Merle Cochran. Setelah melalui perdebatan sengit, maka akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan Roem-Roijen, yang isinya sebagai berikut:

a) Belanda harus meninggalkan Yogyakarta b) TNI memasuki kota Yogyakarta

c) Presiden dan Wakil Presiden kembali ke ibukota Yogyakarta

d) Panglima Besar Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta dari persembunyiannya e) PDRI mengembalikan mandatnya kepada pemerintah di Yogyakarta

4. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Sebagai tindak lanjut dari perundingan-perundingan antara RI-Belanda, seperti perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, Resolusi DK PBB dan perjanjian Roem-Roijen membawa keduanya ke Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949 di Den Haag Belanda. Delegasi yang akan menghadiri KMB yaitu:

a) RI di bawah pimpinan Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta

(7)

c) Belanda dipimpin oleh J.H. Maaeseveen. d) UNCI diwakili oleh H.M. Cochran dan Romanos.

Konferensi Meja Bundar akhirnya menghasilkan keputusan sebagai berikut:

a) Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh dan tanpa syarat kepada RIS.

b) Masalah Irian Barat ditunda dan akan diadakan perundingan lagi dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan kepada RIS.

c) Status RIS dengan Kerajaan Belanda terikat dalam suatu Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda.

d) Tentara Belanda akan ditarik dari Belanda dan akan dilakukan pembubaran KNIL (Tentara Hindia Belanda) yang akan digabungkan ke dalam Angkatan Perang RIS.

Sebagai realisasi dari hasil keputusan KMB maka dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang mencakup 15 negara bagian yang tergabung dalam BFO dan Negara RI. Secara aklamasi Ir. Soekarno terpilih menjadi Presiden RIS yang beribukota di Jakarta dan Drs. Moh. Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS. Sedangkan Mr. Asaaát, SH terpilih menjadi pejabat Presiden RI yang berkedudukan di ibukota RI Yogyakarta.

Negara RIS secara resmi berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 yang terdiri dari Negara-negara bagian, yaitu:

a) Negara bagian yang meliputi Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dan Republik Indonesia.

b) Satuan-satuan kenegaraan, yang meliputi Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Timur, Daerah Istimewa dan Kalimantan Barat.

(8)

BAB 3

PERIODE DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)

A. Masa Demokrasi Liberal

1. Penyimpangan pemerintah pada masa demokrasi liberal

Penyimpangan ini terbukti dengan sering jatuh bangunnya kabinet pada demokrasi liberal (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959). Dalam kurun waktu 9 tahun terjadi 7 kali pergantian kabinet yang dijatuhkan oleh parlemen. Pada masa demokrasi liberal ini ditandai oleh ketidakstabilan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan negara. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat buruk dan tidak menentu. Sementara kaum politisi sibuk dengan kepentingannya sendiri, berebut kursi dan jabatan dalam pemerintahan. Pembangunan nasional sulit untuk dilaksanakan karena negara tidak stabil.

Berikut ini ciri-ciri pemerintahan pada masa demokrasi parlementer (1950 – 1959), yaitu:

a) Kabinet pemerintahan yang sering berganti. Selama 9 tahun telah terjadi 7 kali pergantian kabinet.

b) Pemerintahan tidak stabil dan diwarnai oleh perebutan pengaruh antar partai politik. c) Presiden hanya bertindak sebagai kepala Negara, sedangkan kekuasaan pemerintahan di

tangan kabinet atau menteri.

d) Masa dimana kepentingan rakyat terabaikan, pembangunan tidak ada, demikian pula dengan perbaikan ekonomi.

Ketidakstabilan politik pada masa demokrasi liberal tampak jelas dari jatuh bangunnya kabinet parlementer. Dalam kurun waktu 9 tahun (1950 – 1959) terjadi pergantian kabinet, yaitu:

a) Kabinet Natsir dari partai Masyumi (27 April 1950 – 21 Maret 1951).

b) Kabinet Soekirman koalisi dari partai Masyumi dan PNI (27 April 1951 – 23 Februari 1952).

c) Kabinet Wilopo dari partai PNI (3 April 1952 – 3 Juni 1953).

d) Kabinet Ali Wongso koalisi dari PNI dan NU (1 Agustus 1953 – 24 Juli1955). e) Kabinet Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi (12 Agustus 1955). f) Kabinet Ali Sastroamodjojo II dari PNI (24 Maret 1956).

g) Kabinet Djuanda yang bersifat non partai (9 April 1957 – 10 Juli 1959).

Masalah lain yang menonjol dalam penyelenggaraan kehidupan rakyat pada masa demokrasi liberal adalah munculnya gangguan-gangguan keamanan akibat pemberontakan-pemberontakan daerah sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.

Pemberontakan tersebut, antara lain:

a) Pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Kartosoewiryo di Jawa Barat.

b) Pemberontakan APRA di Bandung, di bawah pimpinan Raymond Westerling pada tahun 1950.

c) Pembentokan Abdul Aziz yang berusaha untuk mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur di Ujung Pandang.

d) Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) di Ambon di bawah pimpinan Dr. Soumokil pada tanggal 25 April 1950.

(9)

a) Untuk pertama kalinya RI diterima menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1950.

b) Keberhasilan RI dalam mempelopori kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika setelah pelaksanaan Konferensi Pancanegara di Bogor (28 September 1954) dan Konferensi Asia-Afrika di Bandung (18 April 1955).

c) Pengiriman misi Pasukan Garuda sebagai pasukan perdamaian PBB di berbagai kawasan dunia.

2. Upaya pemerintah dalam mengakhiri Demokrasi Liberal

Keadaan politik, sosial , ekonomi dan pertahanan keamanan yang tidak menentu dalam masa demokrasi liberal, mendorong Presiden Soukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya sebagai berikut:

a) Pembubaran badan konstituante

b) Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945 c) Pembentukan MPRS dan DPAS.

Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia karena merupakan dasar hukum penataan kembali pemerintahan dan ketatanegaraan menurut Pancasila dan UUD 1945. Karena itu Dekrit Presiden tersebut mendapat dukungan dari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Namun, sangat disayangkan karena kepercayaan rakyat kepada Presiden Soekarno yang berlebihan telah menyeretnya kepada pemerintahan yang menggunakan Demokrasi Terpimpin.

B. PGRI mempersatukan gurudii seluruh nusantara 1. Kongres PGRI IV di Yogyakarta

Kongres PGRI IV di Yogyakarta ini diselenggarakan pada tanggal 28 Februari 1950. Dalam kongres ini Pejabat Presiden RI Mr. Asaát, SH memuji PGRI. Menurutnya PGRI merupakan pencerminan semangat juang para guru sebagai pendidik rakyat dan bangsa. Kongres ini juga dihadiri oleh beberapa utusan dari luar daerah Renville, yaitu Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya bahkan ada yang datang dari Sumatera, yaitu Singli, Bukittinggi dan Lampung. Mereka datang dengan tekad bulat untuk mempersatukan diri dan bernaung di bawah panji PGRI.

Kongres PGRI IV menghasilkan keputusan sebagai berikut:

a) Mempersatukan guru-guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi kesatuan, yaitu PGRI.

b) Menyingkirkan segala rasa curiga dan semangat kedaerahan yang mengjangkiti para guru akibat pengaruh politik yang memecah belah wilayah RI.

c) Mengeluarkan “Maklumat Persatuan” yang berisi seruan kepada seluruh masyarakat, khususnya guru untuk membantu menghilangkan suasana yang membahayakan antara golongan yang pro-Republik dan golongan yang kontra-Republik, serta menggalang persatuan dan kesatuan.

Beberapa persitiwa penting yang terjadi setelah kongres PGRI IV adalah sebagai berikut: a) Tiga puluh cabang SGI menyatakan bergabung dengan PGRI.

b) Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1950 yang antara lain berisi tentang penyesuaian gaji guru-guru menurut HBBL (Herdziende Bezoldingingsregeling der Burgelijke Landsdienaren).

(10)

2. Kongres PGRI V di Bandung

Kongres V di selenggarakan di Bandung pada tanggal 19-24 Desember 1950. Kongres V diadakan 10 bulan setelah kongres IV di Yogyakarta, selain untuk menyongsong Lustrum I PGRI, juga untuk merayakan peleburan SGI/PGI ke dalam PGRI dan dapat dikatakan sebagai “Kongres Persatuan”. Untuk pertama kalinya cabang-cabang yang belum pernah hadir sebelumnya pada akhirnya datang.

Kongres PGRI V ini menghasilkan keputusan, sebagai berikut: a) Menegaskan kembali Pancasila sebagai asas organisasi

b) Menugaskan kepada PB PGRI agar dalam waktu singkat melakukan segala usaha untuk menghilangkan perbedaan gaji antara golongan yang pro dan kontra republik.

c) Melakukan konsolidasi organisasi dengan membentuk pengusu komisariat-komisariat daerah.

d) PGRI menjadi anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia (SBSI) Peristiwa penting yang terjadi pasca kongres V adalah:

a) Masuknya 47 cabang di Kalimantan dan Sulawesi ke dalam PGRI yang mengakibatkan 2.500 orang guru yang gajinya berbeda-beda menurut ketentuan mendapatkan gaji sesuai dengan standar dari pusat.

b) PGRI berhasil memperjuangkan nasib para guru di sekolah-sekolah lanjutan, jumlah honorariumnya meningkat dan maksimum jam mengajar dikurangi.

3. Kongres PGRI VI di Malang

Kongres PGRI VI diselenggarakan pada tanggal 24-26 November 1952 di Malang, Jawa Timur. Dalam kongres ini PGRI telah mencapai banyak kemajuan yang pesat, hal ini mengakibatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap organisasi PGRI, tetapi dipihak lain telah menarik perhatian dan keinginan sementara partai politik untuk menguasai PGRI guna kepentingan politiknya. Pada saat itu, surat kabar tertentu mulai mencoba mempengaruhi suasana kongres dengan jalan menjagokan calon-calonnya melalui berbagai cara, kadang-kadang dengan cara intrik dan fitnah. Tidak heran bila dalam susunan kepengurusan PB PGRI yang baru ini hampir 50% duduk orang atau simpatisan PKI.

Kongres PGRI VI di Malang ini menghasilkan keputusan sebagai berikut: a) Dalam bidang organisasi;

 Asas PGRI adalah keadilan, dasar PGRI adalah komunikasi  PGRI tetap berada dalam GBSI

b) Dalam bidang perburuhan, memperjuangkan kendaraan bermotor bai Penilik Sekolah, Instruktur Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Masyarakat.

c) Dalam bidang Pendidikan;

 Dibahas untuk pertama kalinya, konsep “Pendidikan Nasional”

 Kursus Persamaan Kewajiban Belajar (KPKB) ditiadakan dan diubah menjadi Sekolah Rakyat 6 tahun.

 Kursus B-I/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya.  Diadakannya hari Pendidikan Nasional.

d) Dalam bidang hukum;

 Disepakati memperjuangkan peningkatan anggaran belanja Kementrian PP&K menjadi 25% dari seluruh APBN.

 Disahkan Mars PGRI ciptaan Basoeki Endropranoto.

Peristiwa penting pasca kongres PGRI VI adalah sebagai berikut:

a) PB PGRI membentuk Panitia Konsepsi Nasional yang diketuai oleh F. Warchendorff. b) Diangkat wakil PGRI dalam bidang Kongres Pendidikan Indonesia (BKPI).

(11)

d) Adanya wakil PGRI dalam Panitia Sensor Film dan dalam Panitia Nasional UNESCO pada tahun 1953.

e) Adanya tunjangan hari raya sebesar 25% dari pendapatan bersih sebulan. 4. Kongres PGRI VII di Semarang

Kongres VII diselenggarakan pada tanggal 24 November – 1 Desember 1954 di Semarang. Kongres ini dihadiri pula oleh wakil dari FISE yang berkedudukan di Paris, wakil dari World Confederation of Organization of The Teaching Profession (WCOTP), wakil dari Serikat Buruh Pendidikan RRC dan wakil Organisasi Guru dari Malaysia.

Kongres PGRI VII menghasilkan keputusan sebagai berikut: a) Di bidang hukum;

 Pernyataan mengenai Irian Barat  Pernyataan mengenai korupsi

 Resolusi mengenai desentralisasi sekolah

 Resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh Kementrian PP&K  Resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja Kementrian PP&K b) Di bidang Pendidikan

 Resolusi mengenai anggaran belanja PP&K yang harus mencapai 25% dari seluruh anggaran belanja negara

 Resolusi mengenai UU SR dan UU Kewajiban Belajar  Resolusi mengenai film, lektur, gambar dan radio  Pembentukan Dewan Bahasa Indonesia

 Pelajaran agama diajarkan di luar sekolah (keputusan ini kemudian diralat karena bertentangan dengan UUDS Pasa 41 ayat (3)

c) Di bidang perburuhan

 Resolusi tentang UU Pokok Kepegawaian  Pelaksanaan Peraturan Gaji Pegawai Baru

 Tunjangan khusus bagi pegawai yang bertugas di daerah yang tidak sama, ongkos perjalanan cuti besar, ongkos perjalanan berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 1954  Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negeri tetap

 Penyelesaian kepegawaian

d) Di bidang organisasi ; pernyataan PGRI keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisasi Non Vaksentral.

Peristiwa penting yang terjadi selama paska kongres PGRI VII adalah sebagai berikut: a) Bergabungnya kembali ikatan Guru lulusan CVO dan ikatan Guru SR ke dalam PGRI. b) Terselenggaranya konferda di sejumlah wilayah.

c) Meningkatkan usaha PKI mempengaruhi anggota-anggota PGRI, dengan cara melumpuhkan kegiatan-kegiatan PGRI dan menghalangi kelancaran iuran anggota PGRI di daerah-daerah.

d) Munculnya organisasi-organisasi non PGRI yang didirikan oleh golongan yang anti PKI, PERGUNU, IGM dan PERGUKRI.

5. Kongres PGRI VIII di Bandung

Kongres PGRI VIII diselenggarakan pada bulan Oktober 1956 di Bandung. Kongres ini dihadiri hampir oleh semua cabang PGRI Indonesia. Suasana kongres ini sangat meriah, namun sewaktu diadakan pemilihan Ketua Umum PB PGRI keadaan menjadi tegang. Pihak Soebandri menambahkan kartu pemilihan (kartu palsu) sehingga pemilihan tersebut di batalkan dan diulang kembali menggunakan kartu yang baru.

(12)

oleh para anggotanya. Untuk meningkatkan daya juang organisasi, maka untuk pertama kalinya diadakan Kursus Kader tingkat pusat, yang diselenggarakan di gedung SMA 3 Setiabudi, Jakarta pada tanggal 23 Desember- 8 Januari 1958. Kongres PGRI VIII ini juga menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Pendidikan.

Peristiwa yang terjadi pasca Kongres VIII adalah sebagai berikut:

1. Terbentuknya Komisariat Daerah Kalimantan Timur pada bulan Maret 1957.

2. Diadakannya Kursus Kader di tingkat pusat pada tanggal 23 Desember 1957 – 8 Januari 1958 di Jakarta.

3. Mengadakan dialog segitiga antara PB PGRI, Menteri PP&K dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 2 September di Kantor Menteri PP&K tentang tuntutan PGRI untuk menaikan anggaran belanja Kementrian PP&K hingga 25%.

4. Sosialisasi tuntutan PGRI untuk menaikan anggaran belanja Kementrian PP&K hingga 5% kepada anggota parlemen pada tanggal 13 Februari 1958.

5. Mendesak pemerintah untuk segera mengubah sistem pendidikan yang mengandung unsur-unsur pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan yang lebih bersifat nasional, membiasakan anak-anak Indonesia untuk menghormati bendera nasionalnya, memberikan pelajaran sejarah dan ilmu bumi yang materinya lebih menekankan pada sejarah dan wilayah nasional Indonesia dan Negara-negara tetangganya.

6. Dikembangkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) akibat dari usulan PGRI kepada pemerintah agar lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan murid dan guru dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan atau memfasilitasi pemeriksaan murid dan guru oleh dokter ke sekolah-sekolah dan menyediakan obat-obatan di sekolah. 7. Menjadi pemrasarana dalam Simposium Badan Musyawarah Nasional (BMN) di

Denpasar Bali pada bulan Juli 1957.

8. Dibentuknya Panitia Amandemen PGPN dan ME. Subiandinata duduk dalam panitia sebagai wakil PGRI.

9. Diperhitungkan masa kerja bagi guru SR di sekolah-sekolah swasta.

6. Kongres PGRI IX di Surabaya

Kongres IX ini diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober – 4 November 1959 di Surabaya.

C. Asas-asas Perjuangan PGRI

Asas-asas itulah yang sejak dulu sampai sekarang telah menyelamatkan PGRI dari berbagai pertentangan dan perpecahan, dengan tetap mempersatukan para guru dalam kesatuan organisasi.

 Asas Unitaris, artinya PGRI adalah satu-satunya organisasi profesi untuk guru di seluruh Indonesia. Unitaris juga mengandung makna PGRI adalah satu-satunya organisasi bagi semua jenis guru, yang tidak membedakan pangkat, tempat kerja, agama, ijazah dan jenis kelamin. Semua jenis guru bersatu dalam organisasi PGRI demi tugasnya dan demi persatuan nasional.  Asas independent, artinya sebagai organisasi PGRI tidak bernaung, menginduk atau bergantung kepada organisasi lain. PGRI berdiri sendiri, mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sendiri dan mempunyai pengurus sendiri. Namun PGRI membantu pemerintah dalam membina pelaksanaan tugas guru dan meningkatkan kemampuan guru dalam tugasnya.

(13)

dengan suatu partai politik. Ini berarti bahwa seorang guru sebagai anggota PGRI, tidak boleh berpolitik atau menjadi anggota suatu partai politik.

BAB 4

(14)

(1959-1965) A. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang intinya kembali ke UUD 1945, Pembubaran Konstituante dan Pembentukan MPRS dan DPAS, maka kekuasaan atas pemerintahan dan negara berada sepenuhnya di tangan Presiden Soekarno. Sejak saat itu pula Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin, yaitu pelaksanaan demokrasi yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Hal ini nampak dari tindakan dan kebijaksanaan Presiden dalam bentuk alat-alat kelengkapan negara, seperti DPR, MPR, MA, Front Nasional melalui Penetapan Presiden. Bahkan Presiden Soekarno dengan kewenangannya yang mutlak membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum.

Presiden Soekarno cenderung memerintah secara diktator, seperti memaksakan konsepsinya Manipol USDEK agar dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan (GBHN), mengeluarkan Dwikora untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia, mengarahkan garis politik luar negeri yang berkiblat ke Blok Timur dan memusuhi negara-negara Blok Barat. Semua kebijakan pemerintah tersebut tentu saja banyak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.

1. Pembentukan Kabinet Kerja Pertama

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, maka Kabinet Djuanda dinyatakan demisioner dan dibubarkan mulai tanggal 10 Juni 1959. Kemudian dibentuk Kabinet Presidensial dengan Presiden Soekarno menjadi Perdana Menterinya. Kabinet yang dibentuk diberi nama Kabinet Kerja. Program Kabinet Kerja disebut dengan Triprogram, yaitu:

a. Sandang pangan b. Keamanan c. Irian Barat

2. Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol USDEK

Pada HUT Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut kemudian diberi sebutan Manifestasi Politik Republik Indonesia (Manipol). Isi pidato Presiden tersebut mendapat sambutan dari kalangan tokoh-tokoh negara. Pada tanggal 23 September 1959 DPA Sementara mengusulkan agar Manipol dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol tersebut kemudian dikukuhkan dengan Perpres No. 1 Tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960.

Pada waktu berpidato dalam Pembukaan Kongres Pemuda di Bandung, bulan Februari 1960 Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari dari manipol ada lima, yaitu:

a. Undang-undang Dasar 1945 b. Sosialisme Indonesia c. Demokrasi Terpimpin d. Ekonomi Terpimpin e. Kepribadian Indonesia

Lima intisari Manipol tersebut disingkat ÜSDEK”. 3. Pembentukan Front Nasional

Dalam rangka melaksanakan Manipol USDEK yang telah menjadi GBHN, maka Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959 membentuk Front Nasional yang tujuan pokoknya adalah sebagai berikut:

a. Menyesuaikan revolusi nasional

b. Melaksanakan pembangunan semesta nasional

(15)

Dalam prakteknya Front Nasional dimanfaatkan oleh PKI serta simpatisannya sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya. Hal ini terbukti dari kegiatan-kegiatan PKI untuk mempersiapkan diri dalam melakukan pemberontakan kepada pemerintah RI, seperti melatih para sukarelawan/wati di Lubang Buaya, meminta agar kaum buruh dan tani dipersenjatai dan lain-lain.

4. Pemberontakan DPR Gotong Royong (DPRGR)

Dengan kekuasaannya yang tidak terbatas Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1956 melalui Perpres No. 3 tahun 1960 membubarkan DPR hasil Pemilu, akibat perselisihan pendapat antara DPR dengan pemerintah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun 1961. Sebagai penggantinya dengan Perpres No 4 Tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960, Presiden Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR).

Susunan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, adalah sebagai berikut:  Wakil-wakil dari semua partai Politik termasuk PKI

 Wakil-wakil dari TNI/ABRI

 Wakil-wakil dari Golongan dan Utusan Daerah

Yang dimaksud dengan golongan disini umumnya adalah golongan profesi, antara lain golongan petani, golongan buruh, golongan seniman dan lain-lain. Sifat ikut sertanya semua pihak dalam pemerintahan ini sesuai dengan pengertian “Gotong Royong”yang oleh Soekarno sering disebut dengan “Samen aan tafel en samen aan ‘t werk”. Ikut sertanya orang-orang komunis dan TNI/ABRI dalam pemerintahan, membawa segi positif dan negatif.  Segi positif, yaitu ikut berperannya kembali TNI/ABRI dalam pemerintahan telah

menempati posisinya sebagai kekuatan HANKAMNAS (Pertahanan Keamanan Nasional) atau dwi fungsi ABRI.

 Segi negatif, yaitu ikut sertanya orang-orang komunis/PKI dalam pemerintahan telah menyebabkan gejala perpecahan, sebab PKI bukanlah partai yang bersifat nasional, tetapi PKI merupakan partai yang bersifat internasional. Oleh karena itu PKI sulit bahkan tidak mau diajak kerjasama dengan partai-partai lain dalam pemerintahan.

5. Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden

Sebagai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno kembali membentuk MPRS melalui Penpres No. 2 Tahun 1959. MPRS yang baru terbentuk kemudian segera mengadakan sidang-sidang Umum MPRS, yaitu sebagai berikut:

 Sidang Umum MPRS I tahun 1961 di Bandung, menetapkan: a. Manipol sebagai GBHN

b. Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan mandataris MPRS  Sidang Umum MPRS II tahun 1963 di Bandung

Menetapkan : Presiden Soekarno sebagai Penguasa Tunggal Pemerintahan dan Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.

 Sidang Umum MPRS III tahun 1965 di Bandung

Menetapkan: Pola Pembangunan Semesta Berencana 8 tahun. B. Trikora, Dwikora dan resimen Guru

1. Tri Komando Rakyat (Trikora)

(16)

tanggal 27 Desember 1949 dalam perjanjian KMB kekuasaan atas Irian Barat tidak ikut diserahkan kepada pemerintah RIS.

Dalam pidato di depan rapat raksasa di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno dalam rangka pembebasan Irian Barat mengeluarkan suatu komando, yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora).

Isi dari Trikora:

1) Gagalkan pembentukan Negara Papua buatan Belanda 2) Kibarkan Sang Merah Putih di seluruh Irian Barat

3) Bersiap untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa

Langkah yang dilakukan oleh pemerintah RI dalam rangka pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian Barat, adalah:

a. Pembentukan Komando Mandala

Langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan komando operasi militer yang diberi nama Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 2 Januari 1962. Dalam operasi pembebasan Irian Barat direncakanakn operasi gabungan dengan nama sandi “Öperasi Jaya Wijaya”.

Rencana operasi militer pembebasan Irian Barat diatur dalam 3 fase, yaitu:

1) Fase infiltrasi, yaitu memasukkan 10 kompi disekitar sasaran tertentu untuk menciptakan daerah de facto.

2) Fase eksploitasi, yaitu mengadakan serangan terbuka ke induk-induk pertahanan lawan.

3) Fase konsolidasi, yaitu menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh wilayah Irian Barat.

b. Peristiwa Aru

Pada tanggal 12 Januari 1962, tiga buah Motor Torpedo Boat (MTB) yang tergabung dalam Satuan Patroli Cepat (Fast Patrol Unit), yaitu RI Macan Tutul, RI Harimau dan RI Macan Kumbang mengadakan patroli rutin di Laut Arafuru. Pemegang komando satuan MTB adalah Kapten Wiratno, yang juga komandan RI Macan Tutul. Dalam patroli tersebut terdapat pula pejabat-pejabat tinggi dari Markas Besar Angkatan Laut (MBAL), yaitu Komodor Yos Soedarso (deputy KSAL), Kolonel Soedomo (Kepala Direktorat Operasi MBAL) dan Kolonel Moersidi (Asisten II KSAD).

Pada tanggal 12 Januari 1965 sekitar pukul 12.15 WIT, Satuan Patroli Cepat bertemu dengan dua kapal perusak Belanda jenis Neptune dan Firefly. Menghadapi situasi yang membahayakan tersebut komodor Yos Soedarso kemudian memerintahkan untuk menghadapi kapal Belanda tersebut. Komodor Yos Soedarso kemudian memerintahkan KRI Macan Tutul untuk melakukan manuver sedemikian rupa, sehingga menjadi sasaran tembakan musuh untuk menyelamatkan MTB lainnya. Siasat tersebut berhasil, namun KRI Macan Tutul terbakar dan tenggelam bersama seluruh awak kapalnya, termasuk Komodor Yos Soedarso dan Kapten Wiratno.

c. Gadis Peniti Emas

Seorang gadis yang mendapat gelar Gadis Peniti Emas adalah Herlina seorang siswa SMU dari Malang, Jawa Timur yang ikut diterjunkan sebagai pasukan relawan Trikora di pedalaman Irian Barat. Untuk penghargaan atas keberanian dan kepahlawanannya Presiden Soekarno menghadiahkan sebuah peniti yang terbuat dari emas kepada Herlina.

2. Dwikora (Dwi Komando Rakyat)

(17)

Manila, akhirnya presiden RI dan presiden Filipina menyetujui dibentuknya Negara federasi Malaysia dengan syarat harus melalui plebisit di Sabah, Serawak dan Brunei. Seorang diplomat PBB Michel More ditunjuk mengawasi pelaksanaan pemungutan suara, namun plebisit belum selesai dihitung pada tanggal 16 September 1963 tiba-tiba Perdana Menteri Malaya Tengku Abdurahman dari London mengumumkan berdirinya Negara Federasi Malaysia.

Presiden Soekarno menyatakan berkonfrontasi dengan Malaysia dan mengumumkan Dwikora, yang isinya:

a. Perkuat Ketahanan Rakyat

b. Bantu perjuangan rakyat Malaya, Sabah dan Serawak untuk menggagalkan pembentukan Negara boneka Malaysia.

Untuk perjuangan Dwikora ini dibentuklah KOLAGA (Komando Siaga) dengan panglimanya Laksamana Udara Oemar Dhani dan Wakil Komando Brigjen Supardjo.

3. Resimen Guru di Jawa Barat

Tujuan dari kelahiran Resimen Guru adalah atas prakarsa Kepala Perwakilan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat (R. Abdur Raksanegara), Gubernur Jawa Barat waktu itu (Brigjen Mashudi) dan ketua PD PGRI Tingkat I Jawa Barat (Basyuni Suriamihardja) adalah:

a. Untuk menggertak dan meredam aksi PKI dan ormas-ormasnya di Jawa Barat agar jangan coba-coba untuk mempengaruhi dan menyusup ke tubuh PGRI dan Pendidikan.

b. Untuk menggalang kekuatan fisik dan moral menghadapi aksi PKI dan ormas-ormasnya yang akan pendidikan Pancasila.

c. Untuk menyalurkan hasrat pada guru dalam menunjukkan kesetiaan kepada bangsa dan negara atas dasar makin merajalelanya aksi PKI dan ormas-ormasnya.

Wujud unjuk kekuatan yang diselenggarakan oleh Resimen Guru, yaitu:  24 November 1964

Apel resimen Guru dengan tujuan Show of Force di alun-alun Kota Bandung. Dengan Irup. Brigjen Mashudi dan Danup. Maman Sumantri. Apel ini bertujuan untuk memperingatkan PKI yang sudah mulai kasak kusuk dan memproses Menteri P dan K yang telah memecat 28 orang pejabat dan anggota PB PGRI Jawa Barat.

 24 November 1965

Diadakan upacara peresmian Korsat. Hansip resimen Guru Jawa Barat di Alun-alun Kota Bandung, Resimen Guru ini disyahkan oleh Gubernur Jawa Barat sebagai KMDA Hansip dengan SK Gub. No. Kpts. 28/A.1/VIII 1965 pada tanggal 24 November 1965.

 24 November 1967

Apel Resimen Guru Jawa Barat yang bertempat di Jalan Talaga Bodas No. 56 Bandung yang sekaligus sebagai upacara peresmian Wisma Gur/PGRI.

PGRI Jawa Barat juga membentuk KAP3 (Kesatuan Aksi Penyelamat Pendidikan Pancasila).

Fungsi Hansip adalah:

a. Hansip adalah pertahanan Nasional Non Militer

b. Hansip merupakan bagian integral dari sistem pertahanan nasional c. Hansip merupakan komplemen yang tidak terpisahkan dari TNI/ABRI

d. Hansip merupakan kekuatan pertahanan rakyat non konvensional aktif maupun tidak aktif.

(18)

PENGHIANATAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

A. Latarbelakang Penghianatan G-30-S/PKI 1965

Pada masa demokrasi terpimpin yang lebih berorientasi kepada Manipol USDEK, ternyata telah menyeret Indonesia ke dalam situasi politik, ekonomi dan pertahanan keamanan yang kacau. Selain itu, kebijaksanaan yang diambil pemerintah ternyata telah memberikan peluang yang cukup luas kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Dibentuknya Front Nasional, Trikora, Dwikora dan politik luar negeri yang berkiblat ke blok timur semakin memperkokoh PKI dalam mempersiapkan diri untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah dengan melalui Gerakan 30 September (G-30-S/PKI).

1. Aksi sepihak PKI

Pada bulan November 1961 di Kediri terjadi suatu peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa Jengkol, yang menyangkut persoalan tanah milik Pemerintah (Perusahaan Perkebunan Negara) yang digarap secara liar oleh para petani. Untuk menyelesaikan masalah tersebut para petani diberikan ganti rugi, di samping uang pesangon. Pada waktu pentraktoran sedang dilakukan, tiba-tiba muncul 3000 orang Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat dan Gerwani dari desa-desa sambil menghunus senjata dan menyerang petugas, sehingga beberapa petugas rakyat yang tidak berdosa luka-luka, ternyata peristiwa tersebut di dalangi oleh PKI.

Aksi sepihak PKI dalam rangka memanaskan situasi ternyata terjadi pula di beberapa daerah lainnya seperti Peristiwa Indramayu di Jawa Barat, pada bulan Oktober 1964, Peristiwa Boyolali di Jawa Tengah pada bulan November 1964, Peristiwa Bandar Betsi di Sumatera pada bulan Mei 1965 dan banyak lagi.

2. PKI menuntut agar kaum buruh dan tani dipersenjatai

Pada tanggal 14 Januari 1965 Ketua CC PKI, D.N Aidit memberikan keterangan kepada wartawan, bahwa partainya menuntut agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Tuntutan PKI tersebut ditampung oleh Front Nasional, sehingga tuntutan itu seolah-olah datang dari semua kekuatan politik. PKI menyatakan Kebulatan Tekad melalui Instruksi Bersama antara Pengurus Besar Front Nasional, dengan Pimpinan Partai politik, Pengurus Organisasi Masa dan Golongan Karya pada tanggal 17 Januari 1965.

Sebagai kelanjutannya PKI menyerukan agar dibentuk Angkatan Ke-5 disamping ke empat angkatan TNI yang ada. Untuk itu senjata sebanyak 100.000 pucuk yang dijanjikan secara Cuma-Cuma oleh Perdana Menteri RRC Chou En Lai. Gagasan pembentukan Angkatan ke-5 secara tegas ditentang oleh para Perwira TNI-AD.

3. Isu (Fitnah) Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist

Pada tanggal 15 Mei 1965 melalui Pos Jakarta, Dr. Subandrio menerima sebuah konsep surat ketikan tanpa ada tanda tangan maupun paraf si pembuat surat, tetapi tertulis disitu adalah Gilchrist, yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Gilchrist. Gilchrist adalah Duta Besar Inggris di Jakarta. Dalam surat pengantarnya dituliskan, bahwa apa yang disebut surat Gilchrist itu diperoleh dari rumah peristirahatan William (Bill) Palmer di Puncak ketika dilakukan mengobrak-abrik oleh massa atas rumah tersebut. Dokumen Gilchrist itu adalah dokumen yang seolah-olah menginsyaratkan adanya Dewan Jenderal di lingkungan TNI-AD, yang bertugas menilai kebijaksanaan politik Presiden Soekarno.

Dr. Subandrio dalam pidatonya pada resepsi Hari Ulang Tahun PKI ke-45 menyatakan, bahwa “Dokumen Imperialis/CIA telah jatuh ke tangan kita dan sekarang berada di tangan Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno. Oleh Dr. Subandrio salinan Dokumen Gilchrist disebarluaskan oleh Badan Intelejen Pusat (BIP) ke seluruh wilayah Indonesia.

4. Pendidikan Kader Kilat NASAKOM

(19)

politik tersebut sebagai porosnya. Ajaran Nasakom ini oleh PKI diusahakan diterapkan secara struktural, yaitu bahwa dalam setiap badan dan kegiatan Negara termasuk ABRI maka golongan komunis harus diikutsertakan di dalamnya.

Mulai tanggal 1-10 Juni 1965 di berbagai tempat di seluruh Indonesia diadakan Pendidikan Kilat Kader Nasakom, pendidikan itu diikuti oleh ribuan peserta dari partai-partai politik, organisasi massa, pegawai negeri, anggota ABRI, lingkungan universitas dan Front Nasional bertindak sebagai penyelenggaranya.

5. Gerakan 30 September PKI (G-30-S/PKI)

Pada hari Kamis dini hari tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 02.00 WIB, PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan, dengan nama Gerakan 30 September PKI (G-30-S/PKI). Gerakan ini secara militer dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I resimen Cakrabirawa, yaitu Pasukan Pengawal Presiden yang telah terpengaruh dan bersimpati kepada PKI.

Pada dini hari itu enam orang Perwira Tinggi dan seorang Perwira Menengah Pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh secara kejam oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani dan ormas PKI lainnya yang telah siap menunggu di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Ke tujuh orang Perwira TNI-AD yang menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan PKI, antara lain:

a. Jenderal A.H. Nasution (Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata) b. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat)

c. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Menpangad) d. Mayor Jenderal Haryono (Deputy III Menpangad)

e. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Menpangad)

f. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Menpangad)

g. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman dan Oditur Jenderal) Jenderal A.H. Nasution yang menjadi sasaran utama penculikan dan pembunuhan PKI berhasil meloloskan diri, namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution meninggal akibat terkena tembakan penculik PKI. Ajudan Jenderal Nasution Letnan Satu Pierre Andreas Tendean gugur dalam peristiwa tersebut.

Pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965, G-30-S/PKI telah berhasil menguasai dua buah sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI dan Kantor PN Telkom. Melalui RRI sekitar pukul 07.20 WIB diumumkan Gerakan 30 September ditujukan kepada Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta terhadap Presiden Soekarno.

Siang harinya pukul 13.00 WIB kembali disiarkan sebuah dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi di pusat dan di daerah serta pendemisioneran Kabinet Dwikora. Diumumkan pula bahwa Dewan Revolusi adalah sumber dari segala kekuasaan dalam pemerintahan Republik Indonesia dan kegiatan sehari-hari diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri dari Komandan dan Wakil Komandan G 30 S/PKI.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto setelah mengetahui segala sesuatu yang terjadi segera bertindak. Oleh karena pimpinan Angkatan Darat berhalangan maka Panglima Kostrad yang mewakilinya, sehingga untuk sementara pimpinan Angkatan Darat di pegang oleh Mayor Jenderal Soeharto.

Setelah menerima laporan lengkap dari Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, segera mengambil langkah-langkah mengkoordinasikan Panglima-Panglima ABRI, kecuali Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani yang menyatakan berada dibelakang G 30 S/PKI.

Berdasarkan penilaian keadaan pada waktu itu, Panglima Kostrad sampai pada kesimpulan, yaitu:

(20)

2) Pimpinan Angkatan Udara membantu usaha tersebut

3) Pasukan-pasukan Batalyon 454 Diponegoro dan Batalyon 530 Brawijaya yang berada di Lapangan Merdeka berdiri di pihak G 30 S/PKI

Sekitar pukul 19.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah komandannya Kolonel Sarwo Edi Wibowo diperintahkan Pangkostrad untuk bergerak merebut kembali studio RRI Jakarta dan Kantor Pusat Telkom. Beberapa saat kemudian Mayor Jenderal Soeharto mengumumkan tentang terjadinya Gerakan 30 September yang telah melakukan pemberontakan dan menculik 6 perwira TNI-AD, diumumkan pula bahwa Presiden Soekarno dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat, serta seluruh rakyat diminta agar tenang dan waspada.

Operasi militer berikutnya adalah membebaskan pangkalan udara Halim Perdanakusumah dari kekuasaan G 30 S/PKI, menjelang sore tanggal 2 Oktober 1965 pukul 15.00 WIB pangkalan udara Halim telah dapat direbut dari G 30 S/PKI. Sementara untuk menanggulangi keadaan, Pangdam V/Jaya menyatakan daerah hukum Kodam V/Jaya dalam keadaan perang, mulai tanggal 1 Oktober 1965 dan jam malam dinyatakan berlaku mulai pukul 18.00 hingga pukul 06.00 pagi.

Pemberontakan PKI ternyata tidak hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi juga terjadi di beberapa daerah penting lainnya. Pada tanggal 1 Oktober 1965 melalui RRI diumumkan pula berdirinya Dewan Revolusi yang diketuai oleh Mayor Muljono, Kepala Seksi Teritorium Korem 072/Yogyakarta. Akibatnya Komandan Korem 072 Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem 072 Kolonel Sugijono masing-masing diculik dan dibunuh dengan keji di Markas Batalyon di Desa Kentungan, sebelah utara Yogyakarta oleh gerombolan PKI

B. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pasca G-30-S/PKI

Setelah ibukota Jakarta berhasil dikuasai dan diamankan dari G 30 S/PKI, Mayor Jenderal Soeharto segera menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno memutuskan secara langsung memegang tampuk pimpinan Angkatan Darat, untuk pelaksana harian menunjuk Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban. Keputusan tersebut disiarkan secara langsung melalui pidato radio dini hari pukul 01.30 WIB tanggal 30 Oktober 1965.

Pengangkatan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan serta pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) memiliki tugas pokok, yaitu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30 September serta menegakkan kembali kewibawaan pemerintah. Operasi pemulihan segera dilakukan, antara lain:

1) Pencarian, Penggalian dan Pemakaman Jenazah para Perwira TNI-AD

Setelah semua kubu-kubu Gerakan 30 September dapat dilumpuhkan Mayor Jenderal Soeharto segera memerintahkan satuan-satuan RPKAD untuk melakukan pencarian jejak korban penculikan. Berkat informasi dari Brigadir Polisi Sukitman yang lolos dari pembunuhan PKI, sumur tempat para Perwira Tinggi TNI-AD korban pembunuhan PKI berhasil ditemukan di sekitar markas gerombolan PKI di daerah Lubang Buaya.

Dengan dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Soeharto sekitar pukul 17.00 WIB tanggal 03 Oktober 1965 penggalian dilakukan, karena kekurangan peralatan maka penggalian dilanjutkan pada tanggal 4 Oktober 1965, penggalian jenazah dilakukan oleh pasukan Para Amphibi KKO AL. Sekitar pukul 15.00 WIB semua jenazah dibawa ke RSAD Gatot Subroto dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat Jakarta.

(21)

Oktober 1965 keenam Perwira Tinggi dan seorang Perwira Pertama TNI AD korban G 30 S/PKI dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi dan diberikan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi secara anumerta.

2) Pembekuan PKI dan Ormas-ormasnya di Jakarta

Berdasarkan hasil rapat Sad Tunggal, Panglima Koda V/Jaya pada tanggal 16 Oktober 1965 menetapkan pembekuan sementara semua kegiatan PKI dan ketujuh ormasnya dalam daerah hukum Jakarta Raya dan sekitarnya. Ketujuh ormas PKI itu adalah Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perehimi), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HIS) dan SDBSI.

Sad Tunggal, artinya enam bersama-sama menjadi satu gabungan keenam pejabat tinggi tingkat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pangdam V/Jaya, Panglima Komadno Daerah Maritim III, Panglima Komando Daerah Kepolisian VII/Jaya, Panglima Komando Wilayah Udara V dan Kepala Kejaksaan Tinggi.

3) Penertiban/Pembersihan Personalia Sipil/Militer dari Unsur-unsur G 30S/PKI

Dengan Istruksi Presidium Kabinet No. 48/D/Instr/1965 tanggal 20 Oktober 1965 kepada para Menteri Koordinator Kompartemen dan Menteri yang membawahkan, mengurus, dan menguasai perusahaan-perusahaan, unit-unit vital agar memberhentikan oknum-oknum yang terlibat dalam G 30 S/PKI. Instruksi tersebut kemudian disempurnakan dengan Instruksi Presiden No. 3/3/1965 tentang peningkatan penertiban/pembersihan personalia di semua instansi dari unsur-unsur G 30 S/PKI dan ini dipertegas lagi dengan Instruksi Kodam No. 09/KODAM/1965 tanggal 15 Mei 1965.

Kebijakan adanya instruksi-instruksi penertiban/pembersihan PKI tersebut, tentu saja membuat para tokoh-tokoh PKI yang sedang melarikan diri menjadi semakin tidak mempunyai ruang gerak yang leluasa. Gembong teror G 30 S/PKI Letkol Untung Sutopo berhasil ditangkap oleh hansip dan rakyat di daerah Tegal Jawa Tengah, demikian pula dengan tokoh utama PKI D.N. Aidit yang ditembak mati pada tanggal 24 November 1965. Selain itu juga berhasil ditangkap Nyono, Sudisman, Syam Komaruzaman, Oetomo Ramlan, Mayor Mulyono dan sebagainya.

4) Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) Mengadili Tokoh-tokoh G 30 S/PKI

Dalam usaha penyelesaian dari segi hukum terhadap tokoh-tokoh G 30 S/PKI maka diselenggarakan sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sidang dimulai pada tanggal 14 Februari 1966 dengan mengajukan tokoh-tokoh G 30 S/PKI di Gedung Bappenas Jalan Taman Suropati No 2 Jakarta. Dari hasil pemeriksaan sidang Mahmilub terungkap bahwa PKI mendalangi Gerakan 30 September 1965 dan terbukti pula bahwa masalah Dewan Jenderal hanyalah semata-mata isu yang dibuat dan disebarkan oleh PKI dalam rangka sebagai dalih untuk merebut kekuasaan dan mengadu domba ABRI.

BAB 6

(22)

A. Tantangan PGRI di Masa Orde Lama

Dinamika perguliran PGRI sebagai organisasi yang kian dewasa terus mengalami ujian berat. Periode Orde Lama menjadi salah satu batu sandungan dalam meneruskan semangat tujuan memperbaiki nasib anggotanya. Pada periode ini sungguh menjadi ujian berat, tidak sedikit para guru yang terhasut oleh konstelasi politik yang dipropagandakan oleh kepentingan politik PKI. PGRI sangggup melewati fase ini melalui berbagai perjuangan yang berat.

Sejarah telah mencatat hal ini secara nyata dalam lintasan pergulatan menuju perbaikan nasib, PGRI telah diguncang oleh penyusupan politik adu domba. Seperti pada kongres sebelumnya, pada kongres PGRI IX di Surabaya pada tanggal 31 Oktober-4 November 1959, Soebandri dan kawan-kawan melancarkan politik adu domba di antara para peserta kongres, terutama pada waktu pemilihan Ketua Umum PB PGRI. Kali inipun, usaha tersebut tidak berhasil dan M.E. Subiandinata terpilih kembali sebagai Ketua Umum PGRI.

Politik adu domba kembali terjadi pada kongres PGRI X di Gelora Bung Karno, Jakarta 1962. Soebandri dan kawan-kawan melancarkan usaha keji dengan mengedarkan selebaran memfitnah M.E. Subiandinata dengan menyatakan, bahwa ia anti-Manipol dan lain sebagainya. Akibat surat selebaran ini, maka dilakukan penyelidikan dan penahanan oleh aparat keamanan terhadap 14 orang penandatangan surat fitnah tersebut.M.E. Subiandinata dengan jiwa besar berusaha membebaskan mereka untuk pulang ke tempatnya masing-masing. Terpengaruh oleh suasana selama Kongres X berlangsung, akhirnya disepakati untuk memasukkan Pancasila/Manipol USDEK sebagai dasar PGRI.

1. Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI

Periode tahun 1959-1965 merupakan periode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu pun bukan demi kepentingan guru atau profesi guru secara keseluruhan, melainkan ambisi politik dari luar dengan dalih machvorming en machtsaanweding (pembentukan dan penggunaan kekuatan) yang diterapkan melalui berbagai macam organisasi masyarakat (ormas).

Kubu komunis berhasil menunjuk Soepardi dan Goldfried “macan” menjadi Ketua dan Wakil Ketua pemilihan PB PGRI. Ternyata Goldfried termasuk salah seorang penandatangan “surat selebaran fitnah”, sehingga timbul protes dari sidang pleno, sehingga Goldfried dikeluarkan dari panitia. Dengan demikian, pemilihan Ketua Umum dan susunan Pengurus PB PGRI berjalan lancar dengan memilih kembali M.E. Subiandinata sebagai Ketua Umum PB PGRI.

Pada bulan-bulan pertama sesudah Kongres X, PGRI menghadapi kesulitan besar terutama karena kekurangan dana. Bukan karena jumlah iuran anggota yang kecil (Rp. 150), melainkan pemasukan dana dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat seret. Iuran beberapa cabang yang setia pada PB PGRI di kedua propinsi tersebut disabotase oleh pengurus daerah yang pro-PKI. Meskipun demikian, kegiatan PGRi tetap berjalan dalam upaya untuk memperjuangkan nasib para guru.

Suasana tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam musyarah Penegasan Pancasila dan Dasar Pendidikan Nasional yang dilangsungkan pada tanggal 17 Juli 1963 di Jakarta. Musyawarah diadakan oleh lima partai politik dengan 40 ormasnya sebagai reaksi terhadap “Seminar Pendidikan Mengabdi Manipol” yang diadakan pada bulan Februari 1963 di Jakarta, oleh Lembaga Pendidikan Nasional (LPN) yang dibentuk PKI. Maka menjadi jelas siapa yang memihak Musyarawah Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional dan siapa yang memihak Seminar Pendidikan Mengabdi Manipol.

(23)

sangat hati-hati dan tidak tampak, bahwa mereka menempatkan orang-orang dalam posisi penting. Usaha mereka lama kelamaan diketahui dan dirasakan pula pengaruhnya oleh orang-orang di Departemen PP&K, mulai dari yang bertugas dalam perencanaan anggaran pendidikan sampai pada pelaksana pendidikan dilapangan. Hal ini mengakibatkan suasana kerja semakin tidak kondusif.

2. Pemecatan Masal Pejabat Departemen PP&K (1964)

Pidato inagurasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama di Majelis Pendidikan Nasional (Mapenas) dalam kedudukannya sebagai salah satu wakil ketua, menyarankan agar Pancawardhana diisi dengan moral “Panca Cinta”. Sistem pendidikan Pancawardhana dilandasi dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan;

b) Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir dan batin; c) Perkembangan kecerdasan;

d) Perkembangan keprigelan atau kerajinan tangan; e) Perkembangan jasmani

Moral Panca Cinta meliputi: a) Cinta nusa dan bangsa b) Cinta ilmu pengetahuan

c) Cinta kerja dan rakyat yang bekerja

d) Cinta perdamaian dan persahabatan antar bangsa-bangsa e) Cinta orang tua

Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan di kalangan pendidik. Polemik tentang dasar dan isi moral pendidikan nasional menjadi perhatian banyak orang termasuk lingkungan PGRI, karena dirasakan sangat berkaitan langsung dengan tanggungjawab setiap orang yang berkecimpung dalam pendidikan. Di lingkungan Departemen PP&K polemik itu makin meruncing ketika dalam Rapat Dinas tanggal 23 Juli 1964 Menteri PP&K Prof. Prijono memancing kembali suasana polemik tersebut. Akibatnya pembantu menteri Tartib Prawirodiharjo meninggalkan rapat karena dituduh menghianati menterinya.

Keputusan Presiden No. 187/1964 dan No. 188/1964 tanggal 4 Agustus 1964 yang diambil atas usul Menteri PP&K tanggal 29 Juli 1964 No. 17985/S tentang Reorganisasi Departemen PP&K yang mengubah jumlah Pembantu Menteri PP&K dari 3 menjadi 2 orang. Hal ini membuat gelisah sejumlah pejabat di lingkungan Departemen PP&K, karena dirasakan tidak ada jaminan hukum (rechtzekerheid) bagi pegawai dan karier mereka.

Maka sebanyak 28 pegawai tinggi Departemen PP&K (seorang kemudian menarik diri) mengirim surat kepada Menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kembali suasana Departemen PP&K. Surat ini ditanggapi dengan memberhentikan ke-27 pejabat tersebut dengan alasan “ätas dasar permintaan sendiri”.

(24)

tersebut ditampung oleh Markas Besar TNI Angkatan Darat dan nasibnya diurus oleh Letkol. Amir Murtopo, SH. Tiga pejabat lainnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri : 2 orang sebagai Pembantu Khusus Menteri dan seorang lagi sebagai Ketua PMI Pusat.

Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi Moral Pendidikan Pancawardhana, akhirnya Presiden membentuk sendiri panitia dengan nama “Panitia Negara Penyempurnaan sistem Pendidikan Pancawardhana”. Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang “pemecatan masal” tersebut. Oleh Panitia Negara, ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah. Namun demikian, untuk menyelamatkan muka Menteri PP&K akhirnya pada bulan Agustus 1966, mereka direhabilitasi dan dikembalikan lagi ke Departemen PP&K oleh Pemerintah Orde Baru. B. Kedudukan PGRI Pasca peristiwa G-30-S/PKI

Bagi PGRI, periode tahun 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan Orde Baru, maka konsolidasi dan penataan kembali organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan nasional yang baru. Untuk itu, organisasi memerlukan pimpinan yang memiliki dedikasi yang tinggi, kemampuan manajerial yang mantap dan pengalaman yang mendukung. Hal ini dipenuhi dengan jalan kaderisasi yang dimulai pada tahun 1957 di Bandung, Yogyakarta dan Pandaan, Jawa Timur.

Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan semenjak Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung mulai dibina kembali, suatu hal yang penting dicatat disini adalah PGRI tidak mau menyebut dirinya “Serikat Buruh”. Hal ini disebabkan jabatan guru secara hakiki berbeda dan tidak dapat disamakan dengan jabatan guru murni. Namun demikian, sejak awal kelahirannya PGRI melaksanakan kerjasama dengan berbagai organisasi buruh.

1. Kedudukan PGRI secara Nasional

Mengenai kedudukan PGRI sendiri, sejak kongres VII di Semarang tahun 1954 ditegaskan, bahwa PGRI adalah organisasi Non-Vaksentral yang kemudian dipakai kembali oleh PKI dengan arti yang dimanipulasi ketika mendirikan PGRI Non-Vaksenstral tahun 1964 yang berbeda-beda dengan PGRI-Kongres. PGRI mencoba turut dalam memprakarsai dan menghimpun organisasi-organisasi pegawai negeri dalam bentuk Rapat Kerja Sama (RKS), kemudian PGRI keluar setelah lembaga tersebut dimasuki dan dikuasai PKI.

Selanjutnya PGRI memprakarsai berdirinya Persatuan Serikat Pekerja Pegawai Negeri (PSPN) yang ketua umumnya M.E. Subiandinata. Pada tahun 1967 PGRI juga memprakarsai berdirinya MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) dan FBSI (Federal Buruh Seluruh Indonesia).

Kelahiran FBSI disambut gembira oleh para buruh, karena mereka merasa mendapat tempat dalam bentuk organisasi yang jelas. Akan tetapi federasi tersebut karena berbagai amcam perbedaan diantaranya:

a) FBSI beranggotakan unsur buruh murni, sedangkan jabatan guru tidak dapat digolongkan sebagai buruh murni;

b) Anggota FBSI harus buruh swasta, sedangkan anggota PGRI adalah guru-guru sekolah negeri dan swasta;

c) FBSI berprinsip trade unionisme, sedangkan PGRI berprinsip Profesional;

d) FBSI berada di bawah pembinaan Departemen Tenaga Kerja, sedangkan PGRI berada di bawah pembinaan Departemen P&K.

(25)

Hal ini ditandai dengan berkembangnya aneka ragam organisasi massa dengan berbagai macam bentuk, sifat dan jenisnya, bahkan organisasi-organisasi pelajar pun sengaja dibentuk dengan berafiliasi kepada organisasi partai politik.

Sebagai contoh di dunia pendidikan dikenal dengan adanya Ikatan Guru Marhaenis, PERGUNU (Persatuan Guru NU), Ikatan Guru Muhammadiyah, PERGUKRI (Persatuan Guru Kristen Indonesia), PGII (Persatuan Guru Islam Indonesia), IGK (Ikatan Guru Katolik), Persatuan Guru PERTI dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut banyak berkiprah dalam pembinaan ideologi golongannya daripada menangani masalah-masalah profesi keguruan. Dapat dikatakan bahwa PGRI yang sejak berdirinya secara konsisten memperjuangkan perbaikan nasib guru serta memfasilitasi peningkatan profesionalitasnya.

Perjuangan PGRI dipengaruhi oleh berbagai kepentingan golongan politik dari luar. Berbagai organisasi politik berusaha untuk memanfaatkan pelebaran pengaruh PGRI untuk kepentingan politiknya. PGRI menjadi rebutan berbagai partai politik besar waktu itu, dengan menggunakan anggota-anggotanya yang duduk dalam kepengurusan PGRI. Dalam setiap kongres, terutama saat pemilihan ketua PB PGRI banyak partai politik yang ikut campur. Hal ini memang tidak dapat dihindari dan sangat menyulitkan PGRI.

Benar bahwa identitas PGRI adalah unitaristik, independen dan non partai politik, namun sejak PGRI berdiri, bahkan hingga sekarang tidak mungkin dibuat larangan kepada siapapun untuk menjadi anggota suatu partai politik. Kebanyakan anggota PGRI sendiri adalah guru-guru, paling tidak simpatisan berbagai macam partai politik.

Sesungguhnya prinsip unitaristik, independen dan non partai politik dimaksudkan agar PGRI lebih terarah dalam memusatkan usahanya pada kegiatan yang secara langsung menunjang perbaikan pendidikan nasional pada umumnya dan nasib guru pada khususnya. Namun, prinsip-prinsip tersebut kenyataanya sulit dilaksanakan senuhnya, sehingga adanya perpecahan dalam tubuh PGRI pada massa-massa tertentu sangat mudah dimengerti. Kelak pada masa Orde Baru, PGRI berusaha untuk mengemban misi sebagai suatu organisasi profesi guru Indonesia terlepas dari adanya “ämanat-amanat sisipan”.

2. Usaha PGRI melawan PGRI Non Vaksentral

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian disusul dengan Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 1 Agustus 1959 merupakan kebijaksanaan yang diterima dengan penuh penghargaan dan harapan oleh segenap bangsa Indonesia, yang telah lama mengalami penderitaan sebagai akibat dari kebijaksanaan politik. Akan tetapi, sungguh dalam prakteknya Dekrit tersebut salah arah, sehingga tercipta pemerintahan diktator. Setiap kegiatan masyarakat, termasuk kebijaksanaan pemerintah, didasari pada keyakinan bahwa “Politik adalah Panglima”. Orang-orang dipaksa untuk dapat “menarik garis yang tegas tentang siapa lawan dan siapa kawan”, dan persaingan antara kelompok dan individu dalam masyarakat terjadi dengan cara yang berlebihan. Orang-orang yang berbeda pendapat, apalagi bila dianggap bertentangan dengan pandangan pemerintah dengan mudah dituduh “Kontev” (Konta Revolusioner), anti manipol, agen subversi asing dan sebagainya.

(26)

Seperti halnya organisasi-organisasi lain yang sejenis, PGRI tidak luput dari ancaman tersebut, pada Kongres IX PGRI di Surabaya (Oktober 1959) infiltrasi PKI ke dalam tubuh PGRI benar-benar terasa dan lebih jelas lagi dalam Kongres X di Jakarta (November 1962). Kiranya prinsip ‘Siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI. “Kawan” adalah semua golongan Pancasilais anti-PKI yang dalam pendidikan berusaha mengamankan Pancasila dan “lawan” adalah PKI yang berusaha melaksanakan pendidikan “Panca Cinta” dan “Panca Tinggi”. Akan tetapi, kekuatan golongan Pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu menghadapi tantangan tersebut.

Setelah PKI diwakili guru-guru berorientasi ideologi komunis tidak mampu lagi melakukan taktik-taktik terhadap penyusupan PGRI, mereka mengubah siasast dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI, mereka membentuk organisasi yang menyebutkan dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV) pada bulan Juni 1964. PGRI NV dibentuk dimana-mana, kadang-kadang di tempat-tempat tertentu hanya di atas kertas sementara anggota-anggotanya pun kadang-kadang bukan guru, melainkan Pegawai Jawatan Kereta Api, buruh perkebunan dan lain-lain.

Pergolakan hebat yang ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa di daerah, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini tergantung pada sedikit banyaknya guru yang menjadi anggota PKI atau simpatisannya, situasi bertambah genting setelah Menteri PP&K, Prof. Dr. Prijono memecat 27 orang pejabat tinggi Departemen PP&K tahun 1964 yang justru orang-orang yang PKI.

Referensi

Dokumen terkait

〔商法四八五〕新株が著しく不公正な方法により発行されたもので

dan Bapak Yudhiansyah Ahmadin, S.T, M.T.I yang telah membantu serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan, memberikan masukan dan pengetahuan

Individu sebagai produsen sekaligus konsumen atas simbol tidak hanya merespon simbol secara pasif, tetapi juga secara aktif menciptakan dan menciptakan kembali

Nickel Prices on the LME Exchange Freefall in March 2021 Harga Nikel di Bursa LME Terjun Bebas pada Maret 2021 Silkroad to supply 2.7 mln T Indonesian nickel ore to China's

Untuk mengukur tingkat keberhasilan sasaran strategis ini, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karanganyar telah menetapkan 4 (empat) indikator kinerja, yaitu :

Representasi melalui mediator ini terdiri dari 3 pihak yaitu: (a) masyarak.rt sipil (asosiasi masyaiakat sipil) yang didefinisikan sebagai asosiasi yang dibentuk

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan dengan menggunakan pengujian t menentukan bahwa variabel insider ownership menunjukan pengaruh yang tidak signifikan, tetapi menunjukan