• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KEPATUHAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT

JALAN DALAM PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK

DI RUMAH SAKIT JIWA (RSJ)

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH :

RINA SETIAWATI

NIM 101501129

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

(2)

KEPATUHAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT

JALAN DALAM PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK

DI RUMAH SAKIT JIWA (RSJ)

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

RINA SETIAWATI

NIM 101501129

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

KEPATUHAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT

JALAN DALAM PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK

DI RUMAH SAKIT JIWA (RSJ)

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

OLEH:

RINA SETIAWATI

NIM 101501129

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

PadaTanggal: 29 Nopember 2014 Disetujui oleh:

Medan, Desember 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Pembimbing I,

Khairunnisa, M.Pharm., Ph.D.,Apt. NIP 197802152008122001

Pembimbing II,

dr. Vita Camellia, M.Ked.K.J., Sp.K.J. NIP 197804042005012002

Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap., Apt. NIP 195103261978022001

Khairunnisa, M.Pharm., Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb., M.Si., Apt. NIP 197506102005012003

(4)

KEPATUHAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT JALAN DALAM PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOTIK DI RUMAH SAKIT

JIWA (RSJ) DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA ABSTRAK

Pengobatan yang efektif pada pasien skizofrenia membutuhkan waktu jangka panjang yang berkesinambungan untuk mengobati gejala di bawah kontrol dan mencegah kekambuhan sehingga diperlukan kepatuhan dan ketekunan pasien dalam pengobatan. Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat berdampak negatif pada pengobatan yang mengakibatkan penyakit pasien kambuh, rawat inap kembali, pengobatan yang lebih lama, dan percobaan bunuh diri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan dan hubungan karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik.

Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif dengan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional). Dalam penelitian ini terdapat dua (2) bagian kuesioner yaitu satu bagian untuk mengetahui karakteristik pasien dan satu bagian lagi kuesioner MMAS (Morisky Medication Adherence Scale) untuk menilai tingkat kepatuhan pasiennya. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 100 orang dengan menggunakan teknik consecutive sampling sebagai teknik pengambilan data. Uji statistik yang digunakan adalah chi square.

Hasil yang didapat dari penelitian ini bahwa mayoritas pasien skizofrenia paranoid rawat jalan memiliki kepatuhan yang sedang dan berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan jenis antipsikotik) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik (α > 0,05). Tetapi terdapat hubungan yang signifikan karakteristik pasien (lama sakit dan jenis obat yang dikonsumsi) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik (α < 0,05).

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pasien skizofrenia paranoid rawat jalan memiliki tingkat kepatuhan yang sedang. Tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh lama sakit dan jenis obat yang dikonsumsi dan tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan jenis antipsikotik.

(5)

ADHERENCE OF PARANOID SCHIZOPHRENIA OUTPATIENTS IN THE USE OF ANTIPSYCHOTIC MEDICATIONS IN MENTAL

HOSPITAL OF NORTH SUMATRA ABSTRACT

Effective management of schizophrenia requires continuous long-term treatment in order to keep symptoms under control and to prevent relapse that required compliance and persistence in the treatment of patients. Nonadherence to medication has a negative impact on the course of illness resulting in relapse, rehospitalization, longer time to remission, and attempted suicide.

This study to determine patient adherence and the relationship of patient characteristics (age, gender, education, marital status, employment status, antipsychotic type, disease duration, and drug consumed type) with paranoid schizophrenia patients' adherence in the outpatient use of antipsychotic drugs.

This research was a descriptive survey with a cross-sectional study design. In this study, there were two (2) part of questionnaire, first section to determine the characteristics of the patient and second section, Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) questionnaire to assess the level of patient compliance. The number of samples of 100 people by used consecutive sampling technique as a data collection technique. The statistical test used was chi square.

The results obtained from this study that the majority of paranoid schizophrenia outpatient have medium adherence and based on the analysis showed that there is no significant relationship of patient characteristics (age, gender, education, marital status, employment status, and antipsychotic type) with the level of compliance paranoid schizophrenic outpatient in the use antipsychotic

drug (α > 0.05). But there is a significant relationship of patient characteristics (disease duration and drug consumed type) with with the level of compliance paranoid schizophrenic outpatient in the use antipsychotic drug (α < 0.05).

It can be concluded that the majority of paranoid schizophrenia outpatient have medium adherence. Patients adherence is caused by disease duration and drugs consumed type and not affected by age, gender, education, marital status, employment status, and antipsychotic type.

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta shalawat beriring salam untuk Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Provinsi Sumatera Utara.

(7)

dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan. Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt., selaku kepala Departemen Farmakologi Universitas Sumatera Utara dan Bapak dr. Chandra Syafei, SpOG., selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Riadi dan Ibunda Ramadiana, yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Adik tercinta Muhammad Krismanto serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Sahabat terbaikku Ziha Zia Leonita Fauzi, S.Ked., Fitri Zahara, S.Ked., Selvi Yasra, S.T., dan Iqbal Wahid. Teman seperjuanganku Muza Selvia Lingga, S.Farm., Setia Nurleli, S.Farm., Elvi Tustina Hsb, S.Farm., Dara Fahria, Zukhairi Nazla R., Fadhilaturrahmi, S., Harita Islami, Nadia Puspita Dewi, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Skizofrenia ... 7

2.1.1 Sejarah dan definisi skizofrenia ... 7

2.1.2 Epidemiologi ... 8

2.1.3 Etiologi ... 8

(9)

2.1.5 Diagnosa ... 13

2.1.6 Perjalanan Skizofrenia ... 15

2.1.7 Subtipe Skizofrenia ... 17

2.1.8 Skizofrenia Paranoid ... 17

2.2 Pengobatan ... 19

2.2.1 Antipsikotik ... 19

2.2.2 Fase pengobatan ... 23

2.3 Kepatuhan ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.2 Populasi ... 29

3.3 Sampel ... 30

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.5 Sumber Data ... 32

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.7 Analisis Data ... 33

3.8 Definisi Operasional Variabel ... 34

3.9 Langkah Penelitian ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Data Demografi ... 36

4.2 Penggunaan Obat Antipsikotik ... 38

4.3 Nilai Kepatuhan Pasien ... 40

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik ... 9 Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan .... 19 Tabel 2.3 Efek samping dari antipsikotik ... 22 Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat

jalan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan lama sakit ... 36 Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat

jalan berdasarkan jenis obat antipsikotik dan obat yang dikonsumsi ... 39 Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat

jalan berdasarkan nilai kepatuhan ... 40 Tabel 4.4 Hasil analisis hubungan usia pasien skizofrenia paranoid

rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya ... 41 Tabel 4.5 Hasil analisis hubungan jenis kelamin pasien skizofrenia

paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya ... 42 Tabel 4.6 Hasil analisis hubungan pendidikan pasien skizofrenia

paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya ... 43 Tabel 4.7 Hasil analisis hubungan status perkawinan pasien

skizofrenia paranoidrawat jalan dengan tingkat kepatuhannya …... 44 Tabel 4.8 Hasil analisis hubungan pekerjaan pasien skizofrenia

paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya ... 45 Tabel 4.9 Hasil analisis hubungan lama sakit pasien skizofrenia

paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya ...…... 46 Tabel 4.10 Hasil analisis hubungan jenis obat pasien skizofrenia

paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya ...… 47 Tabel 4.11 Hasil analisis hubungan nama obat yang dikonsumsi

(12)

DAFTAR GAMBAR

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian ... 56

Lampiran 2. Lembar persetujuan setelah penjelasan ... 57

Lampiran 3. Kuesioner penelitian ... 58

Lampiran 4. Hasil analisis menggunakan uji Chi square ... 61

Lampiran 5. Nilai rerata, standar deviasi, range, nilai maksimum, dan nilai minimum ... 67

Lampiran 6. Persetujuan komisi etik tentang pelaksaan penelitian bidang kesehatan ... 68

Lampiran 7. Surat izin Penelitian Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 69

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di dunia. Sebuah survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO), peringkat skizofrenia berada diantara sepuluh penyakit yang berkontribusi terhadap beban penyakit global. Skizofrenia adalah bentuk parah dari penyakit mental yang mempengaruhi sekitar 7 per 1000 dari populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15 - 35 tahun. Meskipun insiden rendah, prevalensi skizofrenia tetap tinggi karena penyakit ini merupakan penyakit jangka panjang. Skizofrenia adalah gangguan mental yang berat ditandai dengan gangguan dalam berpikir, bahasa, persepsi, dan kesadaran diri dengan gejala utama psikotik, seperti mendengar suara-suara atau delusi (WHO, 2014).

(15)

Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 - 1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 - 45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11 - 12 tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006). Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik, jumlah pasien skizofrenia rawat jalan di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 berjumlah 12184 jiwa (80,1%) dari jumlah total gangguan jiwa 15205 jiwa.

Antipsikosis (sinonim dengan neurolepsis) adalah obat yang bekerja pada sistem saraf. Antipsikosis digunakan dalam penanganan cepat pada pasien yang terganggu, misalnya skizofrenia, gangguan afektif (misalnya depresi), dan psikosis organik (misalnya dalam penyalahgunaan alkohol). Pada dasarnya, antipsikosis bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin, dan dapat digolongkan sebagai antipsikosis tipikal/FGA (First Generation Antipsyichotic) dan atipikal/SGA (Second Generation Antipsychotic) (Brooker, 2008).

(16)

Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat berdampak negatif pada pengobatan yang mengakibatkan penyakit pasien kambuh, rawat inap kembali, pengobatan yang lebih lama, dan percobaan bunuh diri. Sebuah studi retrospektif basis data terbaru yang menganalisis data dari 861 pasien di Swedia (Boden, 2011), terkait ketidakpatuhan terhadap pengobatan antipsikotik lama setelah diberhentikan maka harus dirawat inap kembali. Konsekuensi dari ketidakpatuhan juga dapat menambah biaya yang cukup tinggi. Dengan demikian, ketidakpatuhan dapat memiliki dampak negatif besar pada kesehatan pasien serta dampak keuangan terhadap masyarakat (Higashi, dkk., 2013).

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa 50% pasien skizofrenia yang masuk ke rumah sakit jiwa kemudian dilakukan rawat jalan malah mengalami masalah ketidakpatuhan (poor adherence). Hal ini dapat mengakibatkan masalah baru pada pasien skizofrenia yaitu pasien lebih mudah jatuh ke dalam kondisi relaps dan kekambuhan fase psikosis yang lebih buruk, keluar masuk rumah sakit

berulang kali, serta meningkatkan beban sosial dan ekonomi bagi keluarga pasien dan negara. Hal ini diakibatkan pasien yang tidak teratur dalam minum obat akan memiliki risiko kekambuhan sebesar 92%. Dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh Davies (1994), hampir 80% pasien skizofrenia mengalami kambuh berulang kali. Kambuh biasanya terjadi bila keluarga hanya menyerahkan perawatan pada rumah sakit jiwa dan obat-obatan antipsikotik tanpa didukung perawatan langsung dari keluarga. Dalam sebuah penelitian yang ditulis dalam The Hongkong Medical Diary bahwa studi naturalistik telah menemukan tingkat kekambuhan atau relaps

(17)

93 pasien skizofrenia masing-masing memiliki potensi relaps 21%, 33%, dan 40% pada tahun pertama, kedua, dan ketiga (Amelia dan Zainul, 2013).

Berdasarkan hal-hal diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang tingkat kepatuhan pasien dalam penggunaan obat antipsikotik berdasarkan karakteristik pasien skizofrenia paranoid rawat jalan di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara. Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Karakteristik Pasien:

− Usia

− Jenis kelamin − Pendidikan

− Status Perkawinan − Pekerjaan

− Jenis antipsikotik − Lama sakit

− Jenis obat yang dikonsumsi Pasien Skizofrenia Paranoid

(18)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam

penggunaan obat antipsikotik adalah tinggi?

b. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik?

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Ho : Tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik adalah tinggi.

H1 : Tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik adalah sedang atau rendah.

b. Ho : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik.

(19)

dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik.

b. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat penelitian ini adalah:

a. Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberi gambaran yang digunakan sebagai informasi atau masukan untuk meningkatkan upaya pelayanan kesehatan terhadap pasien skizofrenia di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara.

b. Dengan mengetahui tingkat kepatuhan pasien skizofrenia, kita bisa menentukan faktor-faktor ketidakpatuhan untuk penelitian lebih lanjut.

c. Sebagai sumber informasi dan pedoman bagi peneliti berikutnya yang membutuhkan data yang ada dalam penelitian ini.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Sejarah dan definisi skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu sindrom klinis dari berbagai keadaan psikopatologi yang sangat mengganggu serta melibatkan proses pikir, emosi, persepsi, dan tingkah laku. Emil Kraepelin (1856 - 1926), dementia praecox sebuah istilah Yunani yang artinya kemunduran fungsi intelektual (dementia) di usia dini (praecox) yang ditandai dengan daya pikir yang makin lama makin memburuk dan disertai gejala berupa delusi (waham) dan halusinasi. Pada tahun 1911, psikiater Swiss Eugen Bleuler mengganti nama dementia praecox menjadi skizofrenia. Ia memilih istilah ini untuk mengungkapkan adanya perpecahan antara pikiran, emosi, dan tingkah laku dengan gangguan pada pasien (Sadock and Sadock, 2007).

(21)

lingkungan. Jadi menurut Bleuler, manifestasi paling jelas dan mencolok pada skizofrenia hanya gejala tambahan (Taminga, 2009).

2.1.2 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) yaitu sekitar 7 dari 1000 orang di dunia menderita skizofrenia, saat ini jumlah penderita skizofrenia mencapai 24.000.000 orang di seluruh dunia. Hasil Riskesdas (2007) prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6%. Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,3 juta jiwa, yang diambil dari data RSJ se-Indonesia. Di Sumatera Utara sendiri terdapat 3 per 1000 penduduk yang mengalami gangguan jiwa.

2.1.3 Etiologi

a. Faktor genetik

(22)

Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik

Populasi Prevalensi (%)

Populasi umum

Saudara kandung menderita skizofrenia

Anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia Kembar dizigotik menderita skizofrenia

Anak dengan kedua orang tua menderita skizofrenia Kembar monozigot menderita skizofrenia

1 8 12 12 40 47

b. Faktor Biologik

Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidak seimbangan dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin, dan lainnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari fungsi otak sebagai pusat pengatur prilaku manusia. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya gangguan pada prilaku maladaptif pasien (Townsend, 2005).

1) Hipotesis Dopamin

Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik. Teori ini berasal dari dua pengamatan. Pertama efikasi dan potensi dari kebanyakkan obat antipsikotik berhubungan dengan kemampuan bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti ampetamin yang merupakan suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktif dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut (Sadock and Sadock, 2007).

2) Hipotesis Norepineprin

(23)

3) Hipotesis Gamma aminobutyric acid (GABA)

Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin dan kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik (Sadock dan Sadock, 2007).

4) Hipotesis Serotonin

Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

5) Hipotesis Glutamat

Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

6) Teori Neurodevelopmental

Dibuktikan dengan adanya migrasi neunoral yang abnormal pada trimester kedua pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin mengarah ke simtom-simtom skizofrenia yang akan muncul pada masa remaja (Sadock and Sadock, 2001).

c. Neuropatologi

(24)

neuropatologi atau abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan batang otak (Sadock and Sadock, 2007).

d. Faktor Psikososial

Menurut Sadock dan Sadock (2007), faktor psikososial meliputi teori psikoanalitik, tori belajar, dan dinamika keluarga.

1) Teori psikoanalitik

Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi (ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan yang terjadi lebih awal dari yang menyebabkan neurosis (ketidakseimbangan mental yang menyebabkan stres) dan juga bahwa adanya efek ego berperan dalam gejala skizofrenia (Sadock and Sadock, 2007).

2) Teori belajar

Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan interpersonal yang buruk karena mengikuti contoh atau model yang buruk selama masa kanak-kanak (Sadock and Sadock, 2007).

3) Dinamika keluarga

(25)

2.1.4 Gejala klinis

Meskipun belum dikenal secara formal sebagai bagian dari kriteria diagnostik skizofrenia, beberapa penelitian membuat sub kategori dari gejala penyakit ini kedalam 5 bagian (Stahl, 2008), yaitu :

a) Gejala positif

Delusi/ waham (keyakinan yang dipegang kuat seseorang namun tidak berdasarkan realitas), halusinasi (khayalan/ persepsi terhadap suatu peristiwa atau objek yang sebenarnya tidak ada), penyimpangan dan pernyataan yang berlebih-lebihan dalam berbahasa dan berkomunikasi, pembicaraan/ perilaku yang tidak beraturan, perilaku katatonik dan agitasi (gelisah yang berlebih).

b) Gejala negatif

Afek tumpul (tidak ada ekspresi), penarikan emosi, rapport yang buruk, ketidakpedulian, menarik diri dari kehidupan sosial, gangguan berfikir abstrak, alogia (tidak mau bicara), avolisi (tidak punya motivasi), anhedonia (tidak ada kemauan untuk melakukan sesuatu), gangguan pemusatan perhatian.

c) Gejala kognitif

Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme (istilah baru yang sengaja dibuat), gangguan pengolahan informasi.

d) Gejala agresif dan permusuhan

(26)

e) Gejala depresi dan atau cemas

Mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah, ketegangan, dan iritabilitas cemas.

2.1.5 Diagnosa

Berdasarkan pedoman diagnostik menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), persyaratan yang normal untuk skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

a. “Thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama namun kualitasnya berbeda. “Thought insertion or withdrawl”, yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya. “Thought broadcasting”, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umum mengetahuinya.

b. “Delusion of control”, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. “ Delusion of influence, yaitu waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekutan tertentu dari luar. “ Delusion of passivity”, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

(27)

yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide yang berlebihan (over-value ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu atau berbulan-bulan terus menerus.

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.

g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

(28)

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan mennurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan depresi atau neuroleptika.

i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan tidak berbuat sesuatu, sikap larut dan dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Pedoman diagnostik:

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus ada sedikitnya satu simtom tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih, apabila simtom tersebut kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang termasuk salah satu dari kelompok (a) sampai dengan (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua simtom dari kelompok (e) sampai dengan (h) yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih (Depkes, 1993).

2.1.6 Perjalanan Skizofrenia

Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang melalui fase-fase:

1. Fase premorbid

Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif. 2. Fase prodromal

(29)

antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan sosial dan rekreasi) dan muncul simtom yang nonspesifik, misal gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit perilaku

misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial. Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati mulai menjadi psikosis.

3. Fase psikotik

Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase stabilisasi dan kemudian fase stabil.

a. Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang kacau. Simtom negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas.

b. Fase stabilisasi berlangsung selama 6 - 18 bulan, setelah dilakukan acute treatment.

(30)

2.1.7 Subtipe skizofrenia

Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition

Text Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik, berdasarkan kumpulan simtom yang paling menonjol (First dan Tasman, 2004). Pembagian subtipe skizofrenia:

1. Tipe katatonik, yang menonjol simtom katatonik.

2. Tipe disorganized, adanya kekacauan dalam bicara dan perilaku, dan afek yang tidak sesuai atau datar.

3. Tipe paranoid, simtom yang menonjol merupakan adanya preokupasi dengan waham atau halusinasi yang sering.

4. Tipe tak terinci (undifferentiated), adanya gambaran simtom fase aktif, tetapi tidak sesuai dengan kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized, atau paranoid. Atau semua kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized, dan paranoid terpenuhi.

5. Tipe residual, merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi simtom fase aktif tidak lagi dijumpai.

2.1.8 Skizofrenia paranoid

(31)

a) Waham kejaran , rujukan (reference), “exalted birth” (merasa dirinya tinggi, istimewa), misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan.

b) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

c) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol. Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan yang akut, tetapi sekalipun demikian kelainan atau tidak menghambat diberikannnya deskripsi secara jelas mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif biasanya kurang menumpul dibandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang ringan mengenai ketidakserasian (incongruity) umum dijumpai seperti gangguan iritabilitas, kemarahan yang tiba-tiba, ketakutan dan kecurigaan. Gejala “negatif” seperti pendataran afektif, hendaya dalam dorongan kehendak (volition) sering dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya (Depkes, 1993).

(32)

2.2 Pengobatan 2.2.1 Antipsikotik

Farmakoterapi dengan antipsikotik merupakan dasar pengobatan skizofrenia. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin)/ FGA dan antipsikotik atipikal (antagonis serotonin-dopamin)/SGA. Pemilihan antipsikotik umumnya berdasarkan efikasi dan keamanannya (Tamminga, 2009). Menurut Dipiro, dkk., (2008), obat antipsikotik yang biasa digunakan terdapat pada Tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan

Obat Antipsikotik

Rentang dosis yang dianjurkan

(33)

Tujuan pengobatan pada episode pertama:

a. Meminimalkan stres pada pasien dan memberikan dukungan untuk meminimalkan kemungkinan kambuh.

b. Meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan di masyarakat.

c. Mengurangi gejala, peningkatan remisi, dan membantu proses pemulihan.

Gambar 2.1 Algoritma farmakoterapi untuk skizofrenia

Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008). Tahap 1: Psikosis episode pertama

Mencoba satu antipsikotik

Antipsikotik generasi kedua (SGA) disarankan sebagai first-line. Banyak yang kurang setuju menggunakan antipsikotik generasi pertama (FGA) sebagai pilihan pertama. Pasien episode pertama selalu memerlukan antipsikotik dengan dosis rendah dan seharusnya selalu

dimonitor karena sangat sensitif terhadap efek samping obat.

FGA = First generation antipsychotic (contoh:

loxapin, perfenazin, quetiapin, risperidon, or

ziprasidon)

Tidak Patuh Jika pasien kurang patuh dalam tahap apapun, disediakan antipsikotik long-acting,

seperti risperidon microspheres, haloperidol dekanoat, or

fluphenazin dekanoat.

Tahap 2

Gunakan salah satu SGA or FGA (yang tidak digunakan pada

tahap 1) riwayat bunuh diri (Level A), kekerasan

(Level B), or penyalahgunaan obat

(Level B/C). Pasien yang berada dalam fase stabil, aktif mengkonsumsi obat

secara tekun, akan menghilangkan gejala lebih dari 2

tahun setelah pendapat para ahli dan laporan kasus, tidak berdasarkan fakta dari penelitian Tahap 5

Gunakan salah satu SGA or FGA (yang tidak digunakan pada

tahap 1 dan 2)

Tahap 6

Terapi kombinasi, misalnya: SGA + FGA, kombinasikan dengan SGA, (FGA/ SGA) + ECT, (FGA/ SGA) + other agen

(34)

Dapat dilihat pada Gambar 2.1 menguraikan algoritma farmakoterapi yang disarankan untuk skizofrenia. Tahap 1 dari algoritma pengobatan hanya berlaku untuk pasien yang mengalami episode pertama. Pada pasien ini, mayoritas ahli skizofrenia merasa bahwa SGA harus digunakan pertama kali karena risiko tardive diskinesia yang lebih rendah dibandingkan dengan FGA. Pasien yang belum pernah diobati akan lebih sensitif terhadap terjadinya efek samping ekstrapiramidal, sehingga harus menggunakan dosis yang lebih rendah dari dosis yang dianjurkan (Dipiro, dkk., 2008).

Jika pasien telah mencapai respon terapi dengan efek samping yang minimal, maka harus selalu dimonitor obat dan dosis yang sama untuk 6 bulan ke depan. Diskusikan tentang risiko tinggi kambuh dan faktor-faktor yang mungkin meminimalkan risiko kambuh (APA, 2004). Dalam episode pertama skizofrenia, pengobatan farmakologis antipsikotik harus digunakan dengan hati-hati karena risiko lebih tinggi pada gejala ekstrapiramidal (EPS). Strategi yang tepat meliputi penggunaan bertahap obat antipsikotik dengan dosis efektif sekecil mungkin dengan memberikan penjelasan yang cermat. Antipsikotik harus dipilih secara individual, melihat kondisi mental, dan somatik pasien yang berbeda pada efek samping. Namun, efek samping ekstrapiramidal pada SGA lebih rendah sehingga sebaiknya digunakan pada tahap pertama pasien skizofrenia (Dipiro, dkk., 2008).

(35)

harus dikontrol ketat selama pengobatan antipsikotik. Efek samping dari penggunaan antipsikotik dapat dilihat pada Tabel 2.3 dibawah ini (Dipiro, dkk., 2008).

Tabel 2.3 Efek samping dari antipsikotik

Antipsikotik Sedasi EPS Anti

Kolinergik Ortostasis

Penambahan

Berat Badan Prolaktin Aripiprazol

EPS: Extrapyramidal side effects

Resiko: rendah (+), sedang (++), sedang tinggi (+++), tinggi (++++)

Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008).

(36)

2.2.2 Fase pengobatan

Fase pengobatan skizofrenia terbagi tiga yaitu: fase akut, fase stabilisasi, dan fase stabil/pemeliharaan (Marder, dkk., 2009).

a. Fase akut

Tujuan pengobatan selama fase akut adalah untuk mengontrol perilaku terganggu, mengurangi keparahan psikosis ,dan gejala tambahan (misalnya: agitasi, agresi, gejala negatif, dan gejala afektif), serta mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya episode akut (APA, 2004). Akut biasanya berlangsung 4 - 8 minggu, dosis efektif harian sebesar 4 - 6 mg sehari (Marder, dkk., 2009).

b. Fase stabilisasi

Tujuan pengobatan fase ini adalah pengurangan gejala yang ada di fase akut serta mencegah relaps. Fase stabilisasi dimana peningkatan kesembuhan selalu lambat namun harus tetap digunakan selama 6 - 12 minggu. Selama 2 - 3 minggu pertama pengobatan, seharusnya terapi ini dapat meningkatkan sosialisasi, meningkatkan kebiasaan merawat diri, dan mood (Dipiro, dkk., 2008). Pengobatan ini harus dipertahankan selama minimal 6 bulan dengan jenis obat yang sama pada fase akut, setelah 6 bulan dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan sampai ditemukan dosis efektif terendah (dosis pemeliharaan) (Marder, dkk., 2009). c. Fase pemeliharaan

(37)

(termasuk pasien yang tidak patuh) dibandingkan dengan plasebo 60 - 80% (Dipiro, dkk., 2008).

Setelah pengobatan episode pertama psikotik pada pasien skizofrenia, pengobatan seharusnya dilanjutkan paling tidak 12 bulan setelah remisi. Beberapa pasien skizofrenia yang terampil dalam pengobatannya menjadi sehat sedikitnya setelah 5 tahun. Pasien kronik, pengobatan perlu dilanjutkan atau dikonsumsi seumur hidup untuk mencegah kekambuhan (Dipiro, dkk., 2008).

2.3 Kepatuhan

Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan bagaimana pasien mengikuti petunjuk dan rekomendasi terapi dari tenaga kesehatan. Kepatuhan merupakan keputusan yang diambil oleh pasien setelah membandingkan risiko yang dirasakan jika tidak patuh dan keuntungan dari pengobatan. Dampak yang paling berat dan harus diwaspadai adalah perilaku bunuh diri (30% pasien skizofrenia pernah berusaha bunuh diri dan 10% meninggal karena bunuh diri). Dampak ini dapat dikurangi melalui pengobatan yang efektif serta kepatuhan pasien melaksanakan pengobatan(APA, 2006).

Menurut Fleischhacker, dkk., (2007), kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor :

a. Pengaruh yang berkaitan dengan pasien

(38)

banyaknya aktivitas yang harus dilakukan pada usia produktifnya. Sedangkan pada orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhannya. Selain itu pada orangtua sering mendapat berbagai macam obat-obatan sehubungan dengan komorbiditas fisik (Fleischhacker, dkk., 2007).

Sikap pasien dalam pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam pengaruhnya terhadap kepatuhan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi, dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simptom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan (Fleischhacker, dkk., 2007).

Model kepercayaan pasien tentang kesehatannya yang menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia dalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit lain seperti diabetes, kanker, dan lain-lain sehingga mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi (Fleischhacker, dkk., 2007).

Permasalahan yang lain adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat menjadi penghalang (Fleischhacker, dkk., 2007).

b. Pengaruh yang berkaitan penyakit

(39)

khawatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan (Tattan dan Creed, 2001).

c. Pengaruh yang berkaitan dengan dokter

Hubungan terapi yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Dokter yang memiliki perhatian kepada pasien, mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan pasien, serta memberikan informasi adalah penting agar terciptanya suatu hubungan yang baik. Informasi dapat diberikan pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk mendiskusikan perencaan pengobatan baik kepada pasien atau keluarga dimana pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya (Fleischhacker, dkk., 2007).

Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat tercipta hubungan terapi yang baik sehingga dapat meningkatkan kepatuhan (Sadock dan Sadock, 2007).

d. Pengaruh terkait dengan pengobatan

(40)

dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan seksual, dan penambahan berat badan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal lebih mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional (Lauriello, dkk., 2005).

Sebagian besar obat antipsikotik memiliki masa pencapaian efek terapi yang lebih lama, sehingga pasien tidak segera merasakan efek positif dari obat. Sebaliknya pasien terkadang justru merasakan efek samping terlebih dahulu dibanding efek terapi. Pasien skizofrenia juga tidak segera merasakan kekambuhan setelah putus obat cukup lama. Kekambuhan dapat terjadi berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan sejak pasien putus dari obat. Ini menyebabkan kebanyakkan pasien biasanya tidak menghubungkan kekambuhan dengan putus obat. Sehingga putus obat harus selalu ditekankan pada pasien (Fleischhacker, dkk., 2007). Namun pasien dengan pengalaman yang tidak nyaman di masa lalu dapat mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap antipsikotik jika saat ini pengobatannya tanpa efek samping (Hasan, dkk., 2012). e. Lingkungan psikososial pasien

(41)

Sehubungan dengan skizofrenia, Leff dan Vaughn melaporkan bahwa bentuk empati merupakan bagian dari sekumpulan sikap dengan pengekspresian emosi yang rendah. Sikap dari keluarga merupakan salah satu prediktor yang kuat terhadap relaps pada skizofrenia (Giron dan Beneyto, 1998).

Menurut Kinon, dkk., (2003), kriteria ketidak patuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini:

d. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan ≥ dua episode dari:

1) Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.

2) Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang diberikan.

3) Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.

e. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

f. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei deskriptif yang menggunakan rancangan potong lintang (cross sectional), yaitu pengumpulan data yang mana variabel bebas dan variabel terikat dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus (Notoatmodjo, 2010). Pengumpulan data diperoleh dengan memberikan kuesioner demografi pasien dan kuesioner MMAS (Morisky Medication Adherence Scale) untuk mengetahui kepatuhan pasien skizofrenia

paranoid rawat jalan di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara.

3.2 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia paranoid rawat jalan di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara. Populasi yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusinya adalah sebagai berikut:

a. Pasien skizofrenia paranoid rawat jalan yang berada dalam fase stabilisasi. b. Pasien yang bisa kooperatif dan mampu memberikan informasi.

c. Pasien berusia >18 tahun.

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Adapun kriteria eksklusi yang dimaksud adalah: a. Pasien yang tidak mengisi kuesioner secara lengkap.

(43)

c. Pasien yang mempunyai riwayat gangguan mental organik atau yang menggunakan zat psikoaktif (kecuali tembakau dan kopi).

3.3 Sampel

Pengambilan subjek penelitian adalah non probability sampling dengan teknik consecutive sampling, yaitu pasien yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien terpenuhi (Notoatmojo, 2010).

2.3.1 Perhitungan jumlah sampel

a. Deskriptif pasien skizofrenia paranoid rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara digunakan rumus:

n = d2

Zα2 PQ

n =

(0,1)2

(1,96)2 x 0,81 x 0,19

n = 59,12 ~ 60 dimana:

Zα : Derivat baku α (1,96 untuk uji dua arah pada α= 0,05)

P : Proporsi pasien skizofrenia yang sudah diketahui nilainya = 0,81 Q : 1- P2 = 1- 0,81 = 0,19

d : derajat akurasi/presisi mutlak (10%)

b. Untuk melihat hubungan tiap variabel yang diteliti (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi) dan kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan digunakan rumus:

n1= n2 =

(���2��+����1�1+�2�2)2

�1−�2

n1= n2 =

(1,96 �2(0,65)(0,35)+0,84�(0,5)(0,5)+(0,81)(0,19)2

0,3

=

38,27 ~ 39

(44)

n : jumlah sampel

Zα : Derivat baku α ( 1,96 untuk uji dua arah pada α= 0,05) Zβ : Derivat baku β (0,84 untuk kuasa sebesar 80%)

P2 : Proporsi pasien skizofrenia yang sudah diketahui nilainya = 0,81 Q2 : 1- P2 = 1- 0,81 = 0,19

P1 : Proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti = 0,5

Q1 : 1- P1 = 1- 0,5 = 0,5

P1 – P2 : Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna P : Proporsi total = (P1+P2)/2 = (0,5+0,81)/2 = 0,65 Q : 1- P = 1 - 0,65 = 0,35

Rumus ini digunakan luas pada berbagai desain penelitian seperti potong lintang, kasus kontrol, kohort, dan uji klinis (Dahlan, 2010).

c. Untuk melihat hubungan usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, jenis obat yang dikonsumsi, dan tingkat kepatuhan pada pasien skizofrenia paranoid rawat jalan digunakan rumus Rule of thumb dengan koreksi:

n = i

10 x Vi n =

0,81 10 x 8 n = 98,7 ~ 99 dimana:

Vi : jumlah variabel yang diteliti i : insidensi = 0,81

(45)

n=(����0(1−�0) +�����(1−��)

2

(�−�0)2

n=(1,96 �0,81(1−0,81)+0,84 �0,65(1−0,65)

2

(0,81−0,65)2

n= 62,37 ~ 63

Zα : Derivat baku α ( 1,96 untuk uji dua arah pada α= 0,05) Zβ : Derivat baku β (0,842 untuk kuasa sebesar 80%)

0

:

Proporsi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan = 0,81

:

Perkiraan proporsi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan 0,65

Perhitungan besar sampel yang memberikan jumlah terbanyak adalah 99. Dengan demikian, besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 sampel.

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Mei 2014.

3.5 Sumber Data

(46)

3.6 Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian ini cara pengumpulan data didapat melalui penyebaran kuesioner dalam dua bagian yaitu kuesioner demografi pasien dan kuesioner MMAS yang diberikan ke pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Kuesioner demografi pasien yang diisi oleh peneliti didapat dari rekam medik pasien dan kuesioner MMAS langsung diisi oleh pasien.

3.7 Analisis Data

Pengolahan dan analisis statistik dari data yang diperoleh dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan alat bantu program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) yaitu:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Dimana gambaran masing-masing variabel meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi untuk mengetahui gambaran tentang kepatuhan pasien dalam penggunaan obat antipsikotik. Analisis yang akan dilihat adalah berupa distribusi frekuensi dari semua variabel yang hasil analisisnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis Bivariat

(47)

menggunakan uji chi-square dalam uji ini ditentukan tingkat kepercayaan 95%

dengan nilai (α) = 0,05. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis

secara deskriptif. Data kuantitatif akan disajikan dalan bentuk tabel sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian.

3.8 Definisi Operasional Variabel

1. Usia adalah total lama waktu sampel sejak tanggal kelahiran hingga saat dilakukan pemeriksaan dalam penelitian. Usia dibagi dalam beberapa kelompok yaitu: 18 - 28 tahun, 29 - 38 tahun, 39 - 48 tahun, dan > 49 tahun. 2. Jenis kelamin adalah perbedaan gender responden yang dibedakan atas

perempuan dan laki-laki.

3. Pendidikan adalah jenjang sekolah formil terakhir yang diselesaikan sampel penelitian. Pendidikan dibagi atas: SD, SMP, SMA, Diploma/Perguruan Tinggi (PT).

4. Status perkawinan adalah status pernikahan yang sah yang dibedakan atas kawin atau tidak kawin (belum kawin, janda/duda).

5. Pekerjaan adalah aktivitas sehari-hari yang dilakukan untuk menghasilkan uang terbagi atas bekerja dan tidak bekerja.

6. Jenis antipsikotik adalah golongan obat yang digunakan terbagi atas tipikal, atipikal, dan kombinasi.

7. Lama sakit adalah total lama waktu sampel sejak didiagnosa skizofrenia paranoid hingga saat dilakukan pemeriksaan dalam penelitian.

(48)

9. Jenis obat yang dikonsumsi adalah obat yang dikonsumsi pasien dalam pengobatannya.

10. Fase stabilisasi adalah fase dimana pasien menjalani terapi obat antipsikotik dalam masa rawatan ≥ 6 - 8 minggu.

11. Kepatuhan adalah tingkat perilaku sampel dalam mengkonsumsi antipsikotik dari anjuran dokter yang mengobati.

12. Kepatuhan terbagi atas: patuh (kepatuhan tinggi) dan tidak patuh (kepatuhan sedang dan rendah). Dimana dari kuesioner MMAS kepatuhan tinggi

memiliki nilai 0, kepatuhan sedang memiliki nilai 1 - 2, dan kepatuhan rendah memiliki nilai > 2.

3.9 Langkah Penelitian

1. Meminta surat permohonan ke Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara.

2. Menghubungi Direktur utama RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dengan membawa surat

rekomendasi dari Fakultas Farmasi USU.

3. Meminta persetujuan Komisi Etik tentang pelaksanaan penelitian bidang kesehatan ke Fakultas Kedokteran USU.

4. Mengumpulkan data berupa kuesioner dan rekam medik pasien skizofrenia paranoid rawat jalan selama bulan Mei 2014.

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil dan pembahasan tentang hubungan karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, jenis antipsikotik, lama sakit, dan jenis obat yang dikonsumsi) dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik. Dimana pasien diberikan 2 bentuk kuesioner yaitu kuesioner demografi dan kuesioner MMAS untuk mengetahui tingkat kepatuhannya. Adapun hasil penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:

4.1 Data demografi

Data demografi pasien terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan lama sakit. Sebelum mengetahui hubungan antara demografi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya dalam mengkonsumsi obat antipsikotik, sebaiknya mengetahui gambaran tentang demografi pasien terlebih dahulu (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan lama sakit

Demografi pasien n orang Persentase (%)

(50)

Demografi pasien n orang Persentase (%) Pendidikan

a. SD b. SMP c. SMA

d. Diploma/ Perguran tinggi

3 b. Tidak bekerja

46

Tabel 4.1 menunjukkan frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan yang terbanyak pada kelompok usia 29 - 38 tahun sebanyak 51 orang (51%), jenis kelamin laki-laki sebanyak 77 orang (77%), pendidikan SMA sebanyak 61orang (61%), berstatus kawin sebanyak 63 orang (63%), tidak bekerja 54 orang (54%), dan lama sakit 1 - 5 tahun sebanyak 62 orang (62%).

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas pasien skizofrenia adalah berumur produktif. Usia remaja dan dewasa muda memang beresiko tinggi menderita skizofrenia karena tahap kehidupan ini penuh stresor (Sadock dan Sadock, 2007).

(51)

mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja dan juga menurut Smet setiap kerja mempunyai stress agents yang potensial, tetapi masing-masing bervariasi dalam tingkatan pengalaman stresnya. Yang biasanya terjadi adalah kombinasi dari faktor stres yang kemudian menjadi tidak sehat (Erlina, dkk., 2010).

Stress pekerjaan misalnya seseorang yang kehilangan pekerjaan, pensiun, pekerjaan yang terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, dan jabatan. Adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia menimbulkan beban berupa beban subjektif maupun objektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi penderita hal tersebut menjadi halangan baginya untuk mendapatkan perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan, dan sebagainya.

4.2 Penggunaan obat antipsikotik

(52)

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan berdasarkan jenis antipsikotik dan jenis obat yang dikonsumsi

Obat antipsikotik n orang Persentase (%)

Jenis antipsikotik

Jenis obat yang dikonsumsi a. Haloperidol

b. Risperidon

c. Haloperidol - Klozapin d. Risperidon - Klozapin e. Risperidon - Klorpromazin f. Haloperidol - Klorpromazin g. Haloperidol - Flufenazin h. Risperidon - Flufenazin i. Risperidon - Haloperidol

19

Berdasarkan kategori pengobatan dapat dilihat bahwa pengobatan dengan antipsikotik jenis atipikal lebih banyak digunakan daripada antipsikotik jenis tipikal dan kombinasi tipikal-atipikal. Pengobatan dengan antipsikotik jenis atipikal sebanyak 50 orang (50%). Sedangkan nama obat yang paling banyak dikonsumsi adalah risperidon sebanyak 35 orang (35%).

(53)

4.3 Nilai Kepatuhan Pasien

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa mayoritas pasien skizofrenia paranoid rawat jalan memiliki tingkat kepatuhan sedang yaitu 63 orang (63%) ditunjukkan dengan nilai rerata sebesar 1,72 dengan standar deviasi 1,326 (Lampiran 4). Hasil ini memberi gambaran bahwa masih banyak pasien yang tidak patuh terhadap pengobatannya yaitu 85% sehingga ini memungkinkan untuk terjadinya kekambuhan. Sebuah penelitian yang dilakukan di palestina membuktikan bahwa lebih dari 70% pasien skizofrenia mengalami ketidakpatuhan minum obat (Sweileh, 2012). Hasil penelitian lain juga menyebutkan bahwa 74% pasien skizofrenia tidak patuh dalam pengobatannya (Mustofa, dkk., 2013).

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan berdasarkan nilai kepatuhan

Kategori n orang Persentase (%)

a. patuh tinggi b. patuh sedang c. patuh rendah

15 63 22

15 63 22

Total 100 100

4.4 Hubungan karakteristik pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya dalam mengkonsumsi obat antipsikotik Hasil analisis ini akan menunjukkan ada tidaknya hubungan antara setiap karakteristik pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya dalam mengkonsumsi obat antipsikotik. Untuk mengetahuinya dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi square. Hasilnya dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.

a. Hubungan usia dengan kepatuhan

(54)

(68,6%), pada usia 39 - 48 tahun pasien juga memiliki kepatuhan sedang yaitu 16 orang (66,7%), dan pada usia > 48 tahun semua pasien memiliki tingkat kepatuhan yang sama.

Tabel 4.4 Hasil analisis hubungan usia pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. 18 - 28

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,580 yang berarti p value lebih besar dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2012), bahwa usia bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi.

(55)

b. Hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan

Dari Tabel 4.5 di bawah ini didapatkan bahwa pada jenis kelamin laki-laki sebagian besar pasien memiliki kepatuhan yang sedang yaitu 48 orang (62,3%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebagian besar juga memiliki tingkat kepatuhan yang sedang yaitu 15 orang (65,2%).

Tabel 4.5 Hasil analisis hubungan jenis kelamin pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. Laki-laki

b. Perempuan

11 (14,3) 4 (17,4)

48 (62,3) 15 (65,2)

18 (23,4) 4 (17,4)

0,840

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,840 yang berarti p value lebih besar dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2012) dan Mostafa, dkk., (2013), yang menyatakan jenis kelamin bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi. Namun ini berbeda seperti yang dinyatakan oleh Fleischhacker, dkk., (2007), wanita cenderung lebih patuh terhadap pengobatan dari pengobatan dibandingkan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan yang tua.

c. Hubungan pendidikan dengan kepatuhan

(56)

yaitu 17 orang (65,4%), pada tingkat SMA pasien juga memiliki kepatuhan sedang yaitu 36 orang (62,3%), dan pada PT pasien memiliki tingkat kepatuhan yang sedang yaitu 5 orang (50%).

Tabel 4.6 Hasil analisis hubungan pendidikan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. SD

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,630 yang berarti p value lebih besar dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2012), yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi. Ini disebabkan pasien gangguan jiwa dengan latar belakang pendidikan apapun telah mengalami gangguan kognitif dalam menerima proses informasi saat belajar perilaku kepatuhan (Iswanti, 2012). Ini bertolak belakang seperti yang dilakukan Mostafa, dkk., (2013), bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi.

d. Hubungan status perkawinan dengan kepatuhan

(57)

dan yang status tidak kawin sebagian besar juga memiliki tingkat kepatuhan yang sedang yaitu 20 orang (31,7%).

Tabel 4.7 Hasil analisis hubungan status perkawinan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. Kawin

b. Tidak Kawin

9 (14,3) 6 (16,2)

43 (68,3) 20 (54,1)

11 (17,5) 11 (29,7)

0,330

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,330 yang berarti p value lebih besar dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2012) dan Mostafa, dkk., (2013), bahwa status perkawinan bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi.

Kepatuhan minum obat antara pasien yang berstatus kawin maupun yang tidak kawin menunjukkan tingkat kepatuhan yang sama. Ini artinya walaupun pasien yang berstatus tidak kawin tidak memiliki dukungan sosial, namun tinggal bersama keluarga dan tetap mendapatkan dukungan sosial dari keluarga terhadap perawatannya dan keputusan mematuhi program pengobatan. Seperti yang dikemukakan Samalin bahwa tingkat dukungan sosial merupakan faktor yang paling baik dari kepatuhan (Iswanti, 2012).

e. Hubungan pekerjaan dengan kepatuhan

(58)

tidak bekerja sebagian besar juga memiliki tingkat kepatuhan yang sedang yaitu 32 orang (59,3%).

Tabel 4.8 Hasil analisis hubungan pekerjaan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. Bekerja

b. Tidak Bekerja

6 (13) 9 (16,7)

31 (67,4) 32 (59,3)

9 (19,6) 13 (24,1)

0,770

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,770 yang berarti p value lebih besar dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mostafa, dkk., (2013), bahwa pekerjaan bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi.

Hal ini bertolak belakang dengan Fleischhacker, dkk., (2007), bahwa salah satu variabel demografi yang mempengaruhi kepatuhan adalah pekerjaan (status sosial). Pasien yang bekerja merasa lebih baik dan lebih mungkin untuk menghentikan pengobatan karena hilangnya gejala. Penghentian pengobatan ini dapat menyebabkan kekambuhan karena pasien secara tidak teratur minum obat. f. Hubungan lama sakit dengan kepatuhan

(59)

pada > 20 tahun pasien memiliki kepatuhan yang tinggi dan sedang yaitu masing-masing 2 orang (50% dan 50%).

Tabel 4.9 Hasil analisis hubungan lama sakit pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. 1 - 5

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,000 yang berarti p value lebih kecil dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama sakit dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2012), yang menyatakan bahwa lama sakit bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi. Menurutnya, seseorang yang mengalami sakit dalam kurun waktu yang lama akan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan dalam menjalankan program terapi. Faktor kebosanan, putus asa terhadap manfaat terapi, dan biaya yang harus dikeluarkan secara terus-menerus untuk mendapatkan obat menurunkan motivasi untuk patuh terhadap program terapi.

g. Hubungan jenis antipsikotik dengan kepatuhan

(60)

Tabel 4.10 Hasil analisis hubungan jenis antipsikotik pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh tinggi Patuh sedang Patuh rendah a. Tipikal

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,050 yang berarti p value sama besar dengan nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis obat dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswanti (2012), yang menunjukkan jenis obat tidak mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penatalaksanaan regimen terapi.

Secara umum, hasil monoterapi pada kepatuhan pasien lebih baik dari polifarmasi. Kepatuhan juga dapat dipengaruhi oleh dosis, kemasan atau bentuk obat, dan juga jenis obat. Pasien yang mendapatkan regimen terapi kompleks (yang harus mengkonsumsi dua atau lebih jenis obat beberapa kali sehari) memiliki tingkat kepatuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang hanya mengkonsumsi satu jenis obat satu kali sehari. Rejimen dosis sekali sehari juga memiliki tingkat kepatuhan lebih baik untuk beberapa dosis harian (Fleischhacker, dkk., 2007).

(61)

h. Hubungan jenis obat yang dikonsumsi dengan kepatuhan

Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien yang mengkonsumsi obat haloperidol memiliki kepatuhan yang sedang yaitu 12 orang (63,2%), sebagian besar pasien yang mengkonsumsi obat risperidon juga memiliki kepatuhan yang sedang yaitu 24 orang (68,6%), obat kombinasi haloperidol - klozapin memiliki kepatuhan tinggi dan rendah yaitu masing - masingnya 1 orang (50% dan 50%), obat kombinasi risperidon - klozapin memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi yaitu 6 orang (54,5%), obat kombinasi haloperidol - klorpromazin memiliki tingkat kepatuhan yang sedang dan rendah yaitu masing - masingnya 2 orang (50% dan 50%), obat kombinasi risperidon - klorpromazin memiliki tingkat kepatuhan sedang yaitu 9 orang (69,2%), obat kombinasi haloperidol - flufenazin memiliki tingkat yang sedang yaitu 3 orang (60%), obat kombinasi risperidon - flufenazin memiliki tingkat kepatuhan sedang yaitu 7 orang (87,5%), dan obat kombinasi haloperidol - risperidon memiliki tingkat kepatuhan yang sedang yaitu 2 orang (66,7%).

Tabel 4.11 Hasil analisis hubungan nama obat yang dikonsumsi pasien skizofrenia rawat jalan dengan tingkat kepatuhannya

Kategori Jumlah/ persentase (%) p value

Patuh a. Haloperidol

b. Risperidon

c. Haloperidol - Klozapin d. Risperidon - Klozapin e. Risperidon - Klorpromazin f. Haloperidol - Klorpromazin g. Haloperidol - Flufenazin h. Risperidon - Flufenazin i. Risperidon - Haloperidol

(62)

Dari hasil uji statistik chi square di dapatkan p value adalah 0,020 yang berarti p value lebih kecil dari nilai α (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara nama obat yang dikonsumsi dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan.

(63)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien dan hubungan karakterisktik pasien dengan tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dalam penggunaan obat antipsikotik. Berdasarkan hasil analisis univariat dan bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan :

a. Distribusi frekuensi pasien skizofrenia paranoid rawat jalan yang paling banyak berdasarkan masing-masing karakteristik yaitu pada kelompok usia 29 - 38 tahun sebanyak 51 (51%), jenis kelamin laki-laki sebanyak 77 (77%), pendidikan SMA sebanyak 61 (61%), berstatus kawin sebanyak 63 (63%), tidak bekerja 54 orang (54%), lama sakit 1 - 5 tahun sebanyak 62 (62%), antipsikotik jenis atipikal sebanyak 50 orang (50%), dan jenis obat yang paling banyak dikonsumsi adalah risperidon sebanyak 35 orang (35%). Berdasarkan tingkat kepatuhan menunjukkan bahwa mayoritas pasien memiliki kepatuhan yang sedang sebanyak 63 (63%).

b. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien skizofrenia paranoid rawat jalan dipengaruhi oleh lama sakit dan jenis obat yang dikonsumsi. Dan tingkat kepatuhan pasien tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, dan jenis

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik
Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan
Gambar 2.1 Algoritma farmakoterapi untuk skizofrenia Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Berdasarkan penelitian ditemukan dari 88 pasien skizofrenia rawat jalan yang berpotensi mengalami interaksi obat adalah sebanyak 74 pasien (85,09%). Golongan obat antipsikotik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien skizofrenia adalah faktor terkait pasien/caregiver. Kata kunci :

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien hipertensi rawat jalan memiliki kepatuhan yang rendah, terdapat pengaruh yang signifikan antara faktor- faktor usia,

Berdasarkan penelitian mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pengobatan pasien rawat jalan skizofrenia di RSUD Banyumas secara keseluruhan

Hubungan antara Tingkat Kepatuhan Minum Obat dan Kualitas Tidur 56 Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan Jiwa RSUD

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa skizofrenia paranoid sebagian besar adalah kecemasan sedang sebanyak 39

Hubungan antara Tingkat Kepatuhan Minum Obat dan Kualitas Tidur 56 Pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan Jiwa RSUD Dr.Soetomo