• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri Pada Pasangan Commuter Marriage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri Pada Pasangan Commuter Marriage"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN ISTRI PADA

PASANGAN COMMUTER MARRIAGE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

JULINDA

051301002

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya

bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Kepuasan Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2009

JULINDA

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

rahmat dan anugrah yang diberikan kepada penulis sehingga peneliti dapat

menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Gambaran Kepuasan

Pernikahan Istri pada Pasangan Commuter Marriage” yang disusun untuk

memenuhi syarat mata kuliah Seminar di Bidang Psikologi Perkembangan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sehingga

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel Sp.A (K) selaku dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Liza Marini, M.Psi. sebagai dosen pembimbing seminar yang telah

dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan ilmunya

kepada penulis dalam membuat proposal penelitian ini.

3. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi., Psi. dan Ibu Ade Rahmawati Siregar, M.Psi.

selaku Dosen Penguji ketika Sidang Seminar. Terima kasih atas saran,

masukan, dan kritikan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis

dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam proposal

penelitian ini.

4. Kedua orang tua dan adikku serta keluarga penulis atas doa, dukungan dan

(4)

5. Teman-teman seperjuangan dan sahabat terbaikku yang telah mengisi

hari-hari penulis di Psikologi: Margaret, Vera, Mayang, Franda, Eliza, Sofia,

dan Ve dimana kita saling menghibur, memberi semangat, menjadi

contoh, dan tolong-menolong untuk menyelesaikan target skripsi ini

walaupun masing-masing mempunyai masalah.

6. Silvia Zhang, Raja, Said dan Anissa Pohan yang telah berbagi cerita

denganku dan membantuku mengenalkan responden-responden dalam

penelitian ini.

7. Sahabat-sahabatku yang selalu membantu dan menghiburku, Hyeon Jun,

Vincent Botak dan Bang Yandi yang jauh di sana juga, kepada Thomas

dan terakhir kepada semua orang yang telah membantu tetapi tidak bisa

disebutkan satu persatu, penulis sangat berterima kasih atas bantuan yang

telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap agar Tuhan berkenan membalas segala

kebaikan saudara-saudara semua. Penulis menyadari bahwa proposal penelitian

ini masih jauh dari sempurna, dan dengan kerendahan hati penulis mengharapkan

saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak untuk menjadi

masukan bagi perbaikan proposal ini di masa yang akan datang. Semoga proposal

ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Juni 2009

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12

2. Manfaat Praktis ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. Kepuasan Pernikahan ... 14

1. Pengertian Kepuasan Pernikahan... 14

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 14

3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan ... 16

B. Dewasa Awal... 19

1. Pengertian Dewasa Awal ... 19

2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal... 20

3. Karakteristik Masa Dewasa Awal... 25

C. Commuter Marriage... 28

(6)

2. Karakteristik commuter marriage ... 29

3.Karakteristik Pernikahan dan Keluarga ... 30

4. Kelebihan dan Kelemahan pada Pasangan Commuter Marriage ... 31

D. Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Commuter Marriage .. 33

E. Paradigma Penelitian ... 36

BAB III METODE PENELITIAN... 37

A. Pendekatan Kualitatif ... 37

B. Responden Penelitian ... 37

1. Karakteristik Responden Penelitian ... 37

2. Jumlah Responden Penelitian ... 38

3. Prosedur Pengambilan Responden... 39

4. Lokasi Penelitian... 39

C. Metode Pengambilan Data ... 39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 40

1.Alat Perekam (tape recorder) ... 40

2. Pedoman Wawancara ... 41

E. Kredibilitas Penelitian ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 43

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 43

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 44

(7)

G. Metode Analisa Data... 46

1. Koding... 46

2. Organisasi Data ... 46

3. Analisa Tematik ... 47

4. Tahap Intervensi/analisis... 47

5. Pengujian Terhadap Dugaan ... 48

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Pedoman Wawancara ...

LAMPIRAN B

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya, akan mengalami banyak

perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa

kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Diantara

masa-masa tersebut ada masa yang disebut dewasa awal. Individu dewasa awal

adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima

kedudukan dalam masyarakat bersama dengan dewasa lainnya (Hurlock, 1990).

Individu pada masa dewasa awal beranjak dari masa-masa sekolah yang

masih bergantung pada orang tua ke masa mencari pekerjaan dan mandiri secara

financial, selain mencari pekerjaan, individu dewasa awal juga mempunyai tugas

perkembangan lainnya yaitu membentuk kehidupan sosialnya. Individu dewasa

awal dapat memilih untuk tetap single (tidak menikah), tinggal dengan pasangan

dengan pernikahan yang sah atau pernikahan yang tidak sah (cohabitation),

tinggal dan hidup dengan pasangan dari jenis kelamin yang sama (gay dan

lesbian) atau berbeda, bercerai, menikah lagi setelah perceraian, menjadi orang tua

tunggal, atau tinggal tanpa anak; pilihan individu mudah berubah selama periode

masa dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2007).

Individu masa dewasa awal yang telah mendapatkan pekerjaan dan mulai

merancang perekonomian juga perlu memasuki kehidupan pernikahan dan diikuti

dengan rencana memiliki keturunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Havighurst

(10)

mulai memilih pasangan hidup dan mulai menikah (Hurlock, 1990). Hurlock

(1990) juga menyatakan bahwa tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan

kehidupan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting dan

sangat sulit diatasi.

Pernikahan dan keluarga memberikan motivasi serta beban bagi individu

masa dewasa awal untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan agar mampu

memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pendidikan dan perkembangan dunia

pekerjaan yang semakin maju membuat pria dan wanita sama-sama mempunyai

kesempatan untuk mengembangkan karir dan pekerjaan. Sejak semakin banyak

wanita yang bekerja dan mempunyai pendidikan yang tinggi, secara alami juga

menghasilkan pasangan dengan karir yang berbeda (dual-career couples)(Sarah

Muterko, 2007). Kesempatan karir yang sama bagi wanita tampak dari wawancara

yang dilakukan terhadap Ninna (bukan nama sebenarnya), 26 tahun yang bekerja

di salah satu bank di kota Medan yang menyatakan bahwa:

”Zaman sekarang sudah banyak wanita yang bekerja, apalagi yang berpendidikan tinggi, sayang dong kalo pendidikannya ga digunakan.... Meskipun sudah berkeluarga, wanita sekarang juga tetap bisa bekerja, suami saya pun tidak keberatan kok kalo saya tetap bekerja...”

(Komunikasi Personal, 26 Oktober 2008)

Kesempatan bekerja dan berkarir bagi wanita memberikan kemungkinan

untuk menemukan pasangan suami istri yang sama-sama menjalani kehidupan

karir bersamaan dengan kehidupan keluarga. Pria dan wanita pada dewasa awal

(11)

yang lebih baik.

Pekerjaan dan penghasilan mempengaruhi kehidupan keluarga sehingga

memunculkan beberapa bentuk kehidupan keluarga dengan pasangan yang

bekerja misalnya pasangan yang lebih mementingkan karir, sehingga tidak begitu

memperhatikan kehidupan keluarga, akhirnya kehidupan keluarga pun menjadi

terancam kemudian berakhir pada perceraian. Ada pasangan yang mementingkan

kehidupan keluarga, sehingga salah satu dari pasangan itu, baik suami atau istri

rela meninggalkan pekerjaan untuk mengurusi kehidupan keluarga. Ada juga

pasangan yang sama-sama mementingkan kehidupan karir dan keluarganya,

dimana suami dan istri sama-sama mempunyai pekerjaan, namun tetap

memperhatikan keluarganya. Pasangan suami istri yang mengembangkan karir

mereka pada saat yang bersamaan dalam suatu pernikahan disebut sebagai

dual-career couples.

Ada beberapa hal yang menguntungkan dalam kehidupan pasangan

dual-career misalnya dukungan emosional dari pasangan ketika salah satu pasangan

mempunyai masalah, karir istri dan suami sama-sama membantu menguatkan

keuangan keluarga. Selain menguntungkan, kehidupan keluarga dual-career juga

mempunyai kerugian misalnya kurang fleksibelnya waktu bekerja sehingga

mengganggu acara keluarga ataupun kadang-kadang acara keluarga mengganggu

waktu kerja.

Ada juga beberapa hal yang sekaligus memberikan keuntungan dan

(12)

rumah dan letak geografis. Pembagian pekerjaan rumah dirasakan sebagai

keuntungan ketika pembagian tugas yang sama dalam menyelesaikan pekerjaan

rumah sehingga pasangan tidak merasa memiliki pekerjaan yang lebih berat dari

pasangan lainnya karena harus mengurusi rumah selain pekerjaan. Pembagian

tugas pekerjaan rumah dirasakan sebagai hal yang merugikan yaitu pembagian

tugas rumah yang tidak merata sehingga menyebabkan salah satu pasangan

umumnya istri merasa bahwa suami menghambat perkembangan karirnya dengan

tidak bersedia membantu menyelesaikan pekerjaan rumah.

Letak geografis penempatan pekerjaan juga dapat mendukung atau bahkan

mempersulit keadaan pasangan dual-career. Dunia pekerjaan saat ini semakin

dipengaruhi oleh proses globalisasi dan berbagai aktivitas pekerjaan yang tidak

dibatasi oleh letak geografis suatu wilayah (Gustafson, 2006). Beberapa pekerjaan

menempatkan individu dekat dengan tempat tinggal dan keluarganya, namun ada

juga pekerjaan yang menempatkan individu jauh dari tempat tinggal dan keluarga.

Kesempatan karir bagi wanita yang semakin tinggi dan adanya kesulitan untuk

mendapatkan pekerjaan di satu daerah geografis menyebabkan munculnya konflik

untuk memilih karir mana yang harus didahulukan (Anderson,1992 dalam

Rhodes, 2002). Konflik karena penempatan kerja di lokasi berbeda dirasakan oleh

Desi (bukan nama sebenarnya), 24 tahun seorang pegawai swasta yang tengah

memasuki masa pra-nikah dengan calon suaminya yang bekerja di salah satu

perusahaan swata di Pekan Baru menyatakan bahwa:

(13)

saya berpacaran jarak jauh, kami sudah bosan dengan keadaan seperti ini, jadi saya akhirnya juga setuju aja kalo sudah nikah saya akan pindah ke tempat dia....”

(Komunikasi Personal, 27 Oktober, 2008)

Bagi individu yang sedang mengejar karir, konflik untuk memilih karir

atau keluarga mungkin menjadi tantangan yang berat, apakah berhenti dari

pekerjaan, atau mengambil kesempatan tersebut untuk memperoleh tingkatan

karir yang lebih tinggi. Idealnya, tentu saja mencari pekerjaan yang menempatkan

kedua pasangan pada satu wilayah, namun kenyataannya belum tentu pasangan

dual-career dapat memilih penempatan pekerjaan jika penempatan kerja di

wilayah lain memberikan keuntungan bagi karir pasangan.

Salah satu solusi tradisional adalah salah satu pasangan, khususnya istri,

atau bahkan kedua pasangan untuk memilih dan mencari pekerjaan yang kurang

menarik supaya dapat tetap tinggal dalam satu rumah (Anderson & Spruill,1993

dalam Rhodes, 2002). Pada keluarga yang menganut peran yang tradisional,

biasanya karir suami dianggap lebih penting daripada karir istri sehingga istri

harus mengikuti suami untuk pindah ke wilayah lain. Hal ini seperti yang

terungkap dalam wawancara yang dilakukan dengan Desi (bukan nama

sebenarnya), 24 tahun seorang pegawai swasta yang tengah memasuki masa

pra-nikah dengan calon suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan swata di

Pekan Baru menyatakan bahwa:

(14)

pindah ke tempat dia....”

(Komunikasi Personal, 27 Oktober, 2008)

Pasangan dual-career mungkin dapat berusaha menghindari perpisahan

dengan ikut berpindah, namun kenyataannya sangat sulit bagi pasangan untuk

mendapatkan posisi karir yang sama atau lebih baik dalam satu lokasi yang sama.

Solusi lain yang lebih modern yaitu dengan mengadopsi pola hidup pernikahan

jarak jauh dan tinggal di dua daerah yang terpisah (Taylor & Lounsbury, 1988

dalam Rhodes, 2002). Salah satu dari pasangan meninggalkan rumah, pindah ke

tempat yang cukup jauh dari rumah dan bekerja. Pekerjaan mereka membuat

mereka harus meninggalkan keluarga dan mencari tempat tinggal sementar di

tempat lain.

Fenomena commuter marriage yang tampak di masyarakat adalah

kebanyakan suami yang meninggalkan daerah asal dan berpisah dengan keluarga.

Seperti yang terungkap pada wawancara dengan Mina (bukan nama sebenarnya),

30 tahun seorang pegawai swasta yang mempunyai keluarga dengan seorang putri

berusia 2 tahun, Mina dan anaknya tinggal di Medan, namun suami Mina yang

bekerja di suatu perusahaan IT di Singapura:

“Saya dan suami setuju jika suami pindah ke Singapura..., karena suami mendapatkan pekerjaan, gaji yang lebih baik. Kami yakin karir suami saya akan lebih baik di Singapura.”

(Komunikasi Personal, 2 November 2008)

Kehidupan pernikahan yang tinggal berjauhan merupakan salah satu

(15)

kelangsungan hidup dengan tinggal di tempat yang berbeda ketika melakukan

perjalanan dinas yang disebabkan karir masing-masing (Gerstel & Gross, 1982).

Beberapa ahli yang disebutkan dalam disertasi Scoot, 2002 menyebutkan

beberapa istilah dari kehidupan yang muncul akibat dari pekerjaan yang

mempengaruhi kehidupan pernikahan antara lain geographically separated

married couples (Rohlfing, 1995; Stephen, 1986), separated dual-career couples

(Douvan & Pleck, 1978), dan commuter marriages (Anderson & Spruill, 1993;

Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1982, 1984; Gross, 1980, 1981; Groves &

Horm-Wingerd, 1991; Guldner & Swensen, 1995; Taylor & Lounsbury, 1988; Winfield,

1985).

Banyaknya istilah untuk pasangan yang tinggal berpisah karena pekerjaan

mereka, salah satu diantaranya adalah commuter marriage, dimana menurut

Rhodes (2002), commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan

yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk

mempertahankan pernikahan namun secara sukarela juga memilih untuk menjaga

karir sehingga pasangan tersebut merasakan adanya komitmen yang kuat. Rhodes

(2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda

juga disebut commuter marriage. Pasangan yang memilih pola hidup seperti ini

menyadari bahwa karir dan pernikahan mereka berada pada prioritas utama

(Gerstel & Gross, 1983; Winfield, 1985 dalam Scoot, 2002).

Bagaimana kedua pasangan commuter marriage mempertahankan prioritas

pekerjaan dan kehidupan keluarga? Dari beberapa pasangan yang diwawancarai

(16)

memilih pola hidup seperti ini karena dalam kehidupan mereka, mereka

memfokuskan diri hanya semata-mata pada setiap prioritas pada waktunya

masing-masing. Ketika berpisah satu sama lain, mereka berfokus pada karir

mereka. Namun sepanjang reuni atau saling bertemu, mereka berfokus pada

bagaimana memperkuat hubungan mereka. Diantara reuni, mereka menggunakan

beberapa media seperti e-mail, dan telepon untuk menjaga hubungan mereka

(Scoot, 2002).

Pasangan dengan commuter marriage tentu saja menghadapi masalah yang

lebih terutama pada masalah komunikasi antar pasangan dibandingkan dengan

pasangan yang tinggal serumah. Masalah pada komunikasi tampak ketika pesan

nonverbal tidak dapat disampaikan melalui media komunikasi seperti telepon dan

email yang akhirnya mempengaruhi hubungan pasangan. Beberapa masalah lain

seperti kurangnya dukungan ketika membuat suatu keputusan yang besar (Groves

& Horm-Wingerd, 1991 dalam ), kelelahan terhadap peran (Anderson & Spruill,

1993; Gerstel & Gross, 1982, 1983, 1984; Winfield, 1985), pekerjaan yang

menggangu waktu untuk bersama (Gerstel & Gross, 1984; Winfield, 1985), durasi

perpisahan ( Gerstel & Gross, 1984), kurangnya kebersamaan (Winfield, 1985),

kurangnya kekuatan ego (Winfield, 1985) dan penurunan kompetensi sebagai

profesional (Gerstel & Gross, 1984; Winfield, 1985).

Ada beberapa kelebihan yang dirasakan oleh pasangan commuter

marriage misalnya, wanita nampaknya lebih nyaman daripada pria ketika

(17)

selain itu dapat meningkatkan keinginan untuk aktualisasi diri, hidup yang

berjalan dengan fleksibel, kemampuan komunikasi yang semakin meningkat dan

fleksibel tanpa harus bertemu dan hanya menggunakan media komunikasi seperti

telepon dan email (Winfield, 1985 dalam Hendrik & Hendrik, 1992).

Pernikahan commuter marriage dirasakan memberikan keuntungan bagi

pasangan yang tidak tinggal dengan keluarga, seperti yang terungkap dalam

wawancara dengan Adi (bukan nama sebenarnya), suami Mina (bukan nama

sebenarnya) yang bekerja di Singapura dalam menjalani kehidupan commuter

marriage:

“Meskipun harus berpisah dari keluarga, tapi saya mempunyai waktu kerja yang lebih fleksibel... saya bisa bekerja sampai larut malam, mau pulang jam brapa pun ga ada yang nungguin di rumah...”

(Komunikasi Personal, 15 Desember 2008)

Kehidupan pasangan commuter marriage tidak hanya memiliki

keuntungan dan kelemahan, kehadiran anak dalam keluarga commuter marriage

menyebabkan kehidupan keluarga menjadi lebih kompleks. Pada keluarga yang

memiliki anak, biasanya anak tinggal bersama dengan istri di daerah asal

sedangkan suami bekerja di daerah lain.

Kehidupan istri menjadi lebih kompleks di mana di satu sisi istri harus

bekerja namun di sisi lain istri harus memperhatikan dan menjaga anak. Istri pada

pasangan commuter marriage sering merasa mempunyai peran orang tua tunggal

dan konflik peran meskipun pasangan commuter marriage kebanyakan menganut

(18)

dalam keluarga, namun ketika salah satu pasangan meninggalkan keluarga,

pasangan tersebut akan menyerahkan perannya dalam keluarga kepada pasangan

yang tinggal dengan keluarga. Kompleksitas kehidupan istri pasangan commuter

marriage yang mempunyai anak tampak dalam wawancara dengan Mina (bukan

nama sebenarnya):

”Setelah mempunyai anak, saya tidak bisa bekerja senyaman dulu, kalo dulu kan mau jam brapa pulang juga bisa, kalo ini da punya anak, sudah agak susah... memang sih ada yang bantu jagain, tapi kan kadang-kadang anak lebih membutuhkan orangtuanya daripada orang lain. Kadang-kadang saya juga merasa saya harus berperan sebagai suami.”

(Komunikasi Personal, 15 Desember 2008)

Bagi kebanyakan individu dewasa, kebahagiaan hidup lebih banyak

dipengaruhi oleh kepuasan pernikahan daripada hal lain dalam kehidupan dewasa,

seperti pekerjaan, persahabatan, hobi, dan aktivitas komunikasi (Newman &

Newman, 2006). Kehidupan pada pasangan commuter marriage memberikan

kepuasan pernikahan tersendiri dengan banyaknya keuntungan dan kerugian serta

masalah-masalah yang muncul.

Kepuasan pernikahan adalah penilaian subjektif dan bersifat dinamis oleh

pasangan suami istri mengenai kehidupan pernikahan mereka. Kepuasan

pernikahan pasangan suami istri dapat digali dengan mengunakan aspek-aspek

kepuasan pernikahan oleh Fowers & Olson (1993). Adapun kesepuluh aspek yang

mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah communication, religious orientation,

conflict resolution, financial management, sexual orientation, family and friends,

(19)

Kehidupan pernikahan commuter marriage yang muncul di masyarakat

modern saat ini dan kepuasan pernikahan yang bersifat subjektif dan dinamis

membuat peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran mengenai kepuasan

pernikahan istri pada pasangan commuter marriage.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana

gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan commuter marriage dengan

merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. apa alasan yang menyebabkan pasangan suami istri memilih pernikahan

commuter marriage?

2. bagaimana gambaran kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter

marriage berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan menurut Fowers

dan Olson?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan

pernikahan istri pada pasangan commuter marriage.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang

psikologi khususnya psikologi perkembangan, terutama yang berkaitan dengan

(20)

2. Manfaat Praktis

a. Memberi informasi kepada masyarakat dan individu dewasa awal yang

mempunyai karir dan belum menikah, mengenai gambaran kepuasan

pernikahan pada pasangan commuter marriage, sehingga penelitian ini

dapat menjadi masukan bagi mereka dalam menentukan pola hidup

pernikahan mereka nantinya.

b. Memberi informasi kepada pasangan commuter marriage mengenai

aspek-aspek apa saja yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan pada

pasangan commuter marriage.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Latar Belakang

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai

landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi kepuasan

pernikahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

pernikahan, aspek-aspek yang mempengaruhi kepuasan

(21)

dewasa awal, tugas perkembangan dan karakteristik individu pada

masa dewasa awal, definisi commuter marriage, karakteristik

pasangan, pernikahan dan keluarga dengan pola hidup commuter

marriage serta kelebihan dan kelemahan yang dialami oleh

pasangan commuter marriage.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi

tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik

pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu

pengumpulan data serta prosedur penelitian.

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan

data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan

pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V Kesimpulan, Saran dan Diskusi

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran

mengenai kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KEPUASAN PERNIKAHAN 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri

terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan

pernikahan itu sendiri.

Kepuasan pernikahan dapat merujuk pada bagaimana pasangan suami istri

mengevaluasi hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan

(Hendrick & Hendrick, 1992).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan

adalah penilaian suami dan istri yang bersifat subjektif dan dinamis mengenai

kehidupan pernikahan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Menurut Hendrick & Hendrick (1992), ada dua faktor yang dapat

mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu:

a. Premarital Factors

1) Latar Belakang Ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak

sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan

(23)

2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang

rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih

banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat

penghasilan rendah.

3) Hubungan dengan orangtua yang akan mempengaruhi sikap anak

terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian.

b. Postmarital Factors

1) Kehadiran anak, sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan

pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, 1984). Penelitian

menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa menambah stress

pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick &

Hendrick, 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan

pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak

tersebut.

2) Lama Pernikahan, dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat

kepuasan pernikahan tinggi di awal pernikahan, kemudian menurun

setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak

mandiri.

Holahan dan Levenson (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa pria

lebih puas dengan pernikahannya daripada wanita. Pada umumnya wanita lebih

sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya.

(24)

O’Leary, Unger & Wallstone, 1985) menemukan bahwa suami menunjukkan

kepuasaan pernikahan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita.

Cole menyatakan bahwa pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang

tinggi pada awal tahun kehadiran anak dalam pernikahan, kepuasan pernikahan

yang menurun sepanjang tahun-tahun mengasuh anak dan meningkat kembali

pada tahun selanjutnya (dalam Lefrancois, 1993). Hal ini sejalan dengan Miller et

al., 1997 (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006) yang menyatakan bahwa

kepuasan pernikahan yang paling tinggi pada awal pernikahan, menurun sampai

anak mulai meninggalkan rumah dan meningkat kembali pada tahun selanjutnya.

Tahun pertama pernikahan biasanya diisi dengan eksplorasi dan evaluasi.

Pasangan akan mulai untuk menyesuaikan harapan-harapan dan fantasi-fantasi

mereka mengenai pernikahan dan menghubungkannya dengan kenyataan.

Pasangan yang baru menikah tidak hanya akan mengetahui peran-peran baru

dalam pernikahan mereka, namun juga mengembangkan penyesuaian diri mereka

ke dalam pekerjaan mereka (Belsky, 1997).

3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam

perkawinan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fower (1989; 1993).

Adapun aspek-aspek tersebut antara lain:

a. Communication

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap

(25)

berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam

membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (1991)

membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu:

keterbukaan diantara pasangan (opennes), kejujuran terhadap pasangan

(honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust),

sikap empati terhadap pasangan (empathy) dan kemampuan menjadi

pendengar yang baik (listening skill).

b. Leisure Activity

Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk

menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial

versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan

harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan.

c. Religious Orientation

Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan prakteknya dalam

pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian yang

penting dalam pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas

pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan

dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam

pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan

(Christiano, 2000; Wilcox, 2004 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008).

Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan terhadap suatu

(26)

psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan

(Ellison, 1994; Gottman, 1998; Amato & Booth, 1997 dalam Wolfinger &

Wilcox, 2008).

d. Conflict Resolution

Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi

terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada

keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian dan

strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argumen serta saling

mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun

kepercayaan satu sama lain.

e. Financial Management

Aspek ini berfokus pada sikap dan berhubungan dengan bagaimana cara

pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola

bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka

terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu

harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk

memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock,

1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas

terhadap pasangannya juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan

(27)

f. Sexual Orientation

Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan

seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isu-isu seksual,

perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan. Penyesuaian seksual

dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak

dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus

meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua

pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama

lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca

tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan

bagi pasangan suami istri.

g. Family and Friends

Aspek ini menunjukan perasaan-perasan dan berhubungan dengan

hubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, dan

teman-teman. Aspek menunjukan harapan-harapan untuk dan kenyamanan

dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman.

h. Children and Parenting

Aspek ini mengukur sikap-sikap dan perasaan-perasaan mengenai

mempunyai dan membesarkan anak. Aspek ini berfokus pada

keputusan-keputusan yang berhubungan dengan disiplin, tujuan-tujuan untuk

anak-anak dan pengaruh anak-anak-anak-anak terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan

(28)

dalam pernikahan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap

anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.

i. Personality Issues

Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam

menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan

terhadap masalah-masalah itu.

j. Equalitarian Role

Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai

peran-peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan,

pekerjaan rumah, seks, dan peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai

ini menunjukan bahwa pasangan memilih peran-peran egalitarian.

4. Kriteria Kepuasan Pernikahan

Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari

pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain:

a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan,

dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan

menerima antar sesama anggota dalam keluarga.

b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga.

Setiap anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam

keluarga.

(29)

Pola orangtua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak

mereka. Hal ini bisa memberntuk keharmonisan dalam keluarga.

d. Penerimaan terhadap konflik-konflik

Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak

dihindari melainkan berusaha untuk diselesaikan dengan baik dan

menguntungkan bagi semua anggota keluarga.

e. Kepribadian yang sesuai

Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama

lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat

menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling

melengkapi satu sama lain.

f. Mampu memecahkan konflik

Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan

pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh

pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung

kepuasan pernikahan pasangan tersebut.

B. DEWASA AWAL

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari bentuk lampau kata kerja adultus yang berarti

telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna, atau telah menjadi

(30)

menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat

bersama dengan individu dewasa lainnya (Hurlock, 1990).

Rosdahl & Kowalski (2007) mengatakan bahwa masa dewasa awal

dimulai pada usia 20 sampai 40 tahun. Individu pada masa dewasa awal akan

menghadapi berbagai pilihan dalam hidupnya, seperti pekerjaan, pendidikan,

hubungan dengan pasangan, lingkungan tempat tinggal dan kemandirian.

2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Dewasa Awal

Rosdahl & Kowalski 2007 membagi tugas-tugas perkembangan pada masa

dewasa awal menjadi 2 yaitu:

a. Individu pada usia 20-30 tahun

Individu pada usia 20-30 tahun biasanya akan menghadapi

berbagai pilihan seperti memilih tempat tinggal, karir, mengembangkan

identifikasi diri, mengembangkan hubungan dengan orang lain dan mulai

membentuk keluarga.

Individu masa dewasa awal memilih untuk tetap tinggal dengan

orang tua atau tidak. Beberapa individu mungkin mengalami kesulitan

untuk ekonomi yang akhirnya memaksa mereka kembali ke rumah orang

tua untuk sementara waktu.

Keputusan lain yang harus dipilih adalah mengenai pemilihan karir

yang berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan dan karir berhubungan

dengan situasi ekonomi, tujuan, kemampuan dan minat individu. Individu

(31)

apa yang mereka lakukan dengan kemampuan mereka dan merasa bahwa

mereka turut memberikan kontribusi kepada lingkungan

Sheehy (dalam Rosdahl & Kowalski, 2007) menyebutkan bahwa

individu yang berusia 20-30 tahun sebagai individu yang sedang

mengembangkan “akar”. Individu dewasa awal sering merasa bahwa

mereka harus melakukan beberapa hal untuk hidup mereka. Keluarga,

teman dan perilaku budaya di sekitarnya mempengaruhi individu tersebut.

Individu dewasa awal akan menghadapi dilema ketika mereka merasa

bahwa pilihan mereka tidak dapat berubah di masa mendatang atau bahwa

keputusan mereka akan menghasilkan keadaan yang akan berlangsung

selamanya misalnya keputusan untuk menikah dan memilih pekerjaan.

Individu dewasa awal ingin membangun struktur untuk masa depan dan

memiliki komitmen dan keamanan, namun mereka juga ingin tetap

mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi, bereksperimen dan menjaga

supaya struktur tersebut tetap fleksibel. Kemampuan individu untuk

menjaga keseimbangan antara dua keinginan yang bertolak belakang

mempengaruhi kecepatan dan kemudahan individu untuk melewati masa

ini.

Tugas perkembangan lainnya pada usia 20-30 tahun adalah

mengembangkan hubungan dengan orang lain. Individu pada masa remaja

akhir dan masa dewasa awal biasanya dikelilingi oleh teman-teman

kampus yang mempunyai usia yang sama, namun setelah menyelesaikan

(32)

akan merasakan kesepian dalam diri. Individu dewasa awal akan mulai

membentuk persahabatan baru dan hubungan yang intim dengan orang

lain yang mampu memberikan dukungan dan pengertian yang kemudian

mengarahkan ke jenjang pernikahan. Pria umumnya menikah di usia akhir

20-an, namun wanita biasanya menikah di pertengahan usia 20-an.

Tugas perkembangan terakhir adalah memulai keluarga.

Lingkungan umumnya mengharapkan individu dewasa untuk menikah dan

membentuk keluarga. Banyak individu dewasa yang menunda pernikahan

dan kehadiran anak sampai usia 30-an. Individu pada usia 20-30 tahun

biasanya lebih memilih untuk mengembangkan karir dan memperoleh

keadaan ekonomi yang aman.

Pada usia 28 sampai 32, individu dewasa awal umumnya membuat

keputusan baru dan mempertimbangkan kembali keputusan-keputusan

yang pernah diambil sebelumnya. Individu dewasa yang telah menikah

mungkin akan mempertanyakan untuk tetap tinggal dengan pasangan atau

tidak, mereka juga mungkin akan mempertanyakan diri mereka mengenai

perubahan karir mereka. Pada masa inilah, individu dewasa awal

menyadari bahwa mereka dapat membuat keputusan sesuai dengan

keinginan dan perasaan mereka, bukan didasarkan atau kepercayaan akan

hal lain.

(33)

Pada awal usia 30-an, individu dewasa mulai menetapkan pilihan

dalam hal mengembangkan karir, beberapa diantaranya memutuskan untuk

membeli rumah dan merasa lebih nyaman dengan pasangan mereka.

Kehidupan menjadi lebih rasional dan tersusun rapi.

Topik topik mengenai karir menjadi topik yang penting. Pasangan

pada usia 30-40 tahun mungkin bekerja dengan waktu yang berbeda satu

sama lain yang akhirnya dapat mempengaruhi waktu interaksi dengan

pasangan, waktu keluarga, dan tanggung jawab dalam merawat anak.

Individu yang menginginkan peningkatan karir harus mengikuti

peraturan-peraturan yang ada dalam dunia pekerjaannya.

Perusahaan-perusahaan mungkin saja menetapkan pekerja dari satu tempat ke tempat

lain. Transfer dalam pekerjaan biasanya dapat menjadi konflik bagi

pasangan dual-career, misalnya jika salah satu pasangan memperoleh

pekerjaan yang lebih baik di daerah lain, pasangan lainnya harus memilih

apakah tetap ingin tinggal bersama dengan pekerjaan sebelumnya, atau

pasangan lainnya harus ikut pindah dan mencari pekerjaan baru di tempat

lain atau pasangan dapat memilih untuk tinggal berjauhan namun tetap

menjaga hubungan mereka. Beberapa topik yang berhubungan dengan

karir adalah beberapa individu pada masa 30-40 tahun juga memutuskan

untuk memulai jenjang karir yang baru atau kembali ke sekolah untuk

meningkatkan pendidikan mereka. Perubahan dalam karir, baik atas

keinginan sendiri maupun karena kebutuhan ekonomi dapat memberikan

(34)

Reinke, et al. (dalam Granrose & Kaplan, 1996) menjelaskan

bahwa wanita memulai periode transisi psikologis utama diantara usia 27

sampai 30-an. Masa transisi ini ditandai dengan perpecahan dalam diri ,

dilanjutkan dengan menilai ulang dan mencari perkembangan diri dan

akhirnya mengembangkan konsep diri dan kesejahterahan psikologis.

Untuk wanita yang bekerja dan mempunyai karir akan menghadapi

pemikiran untuk mempunyai anak, dimana mengharuskan wanita untuk

tinggal di dalam rumah ataupun tetap melanjutkan pekerjaan dan karir.

Wanita pada usia 30-an harus membuat keputusan mengenai kelahiran

anak. Mereka menyadari bahwa mereka harus melahirkan anak sekarang

atau tidak ada kesempatan lagi nantinya. Tujuan karir dan menjadi orang

tua dapat menjadi konflik bagi wanita pada usia 30-an. Wanita pada usia

30-an yang belum menikah merasakan tekanan yang lebih untuk mencari

pasangan yang sesuai dengan mereka untuk membentuk keluarga. Adopsi

dapat menjadi pilihan bagi wanita yang tidak menikah, namun wanita yang

memilih untuk memiliki anak di luar hubungan dengan komitmen dapat

menghadapi tanggung jawab dan tantangan menjadi orang tua tunggal.

Wanita yang mempunyai pasangan dan menunda untuk memiliki anak

mungkin akan menghadapi keputusan yang sulit mengenai pekerjaan,

penempatan anak dan tanggung jawab.

Individu pada usia 30-40 tahun juga akan menghadapi berbagai

perubahan dalam hidup mereka, diantaranya pada anak-anak yang mulai

(35)

teman-teman sebaya dibandingkan bersama orang tua. Orang tua yang biasanya

menjaga anak-anak akan merasakan kehilangan dan kesepian, sehingga

orang tua perlu untuk mencari minat pada hal lain. Ketika anak-anak

meninggalkan rumah, para orang tua mulai memperbaiki hubungan

dengan pasangan mereka. Mereka dapat mengembangkan hubungan intim

yang lebih mendalam atau dapat memutuskan untuk kehilangan keintiman

mereka dengan pasangan mereka dan berakhir pada perceraian. Perubahan

karir dan perpindahan ke kota lain dapat membuat kehidupan keluarga dan

keintiman hubungan dengan pasangan menjadi kurang stabil. Perceraian

dapat muncul dan individu perlu melakukan penyesuaian yang

berhubungan dengan perceraian. Invidu dewasa yang bercerai akan

menghadapi tantangan dalam mencari pasangan baru dan keadaan

ekonomi yang tidak stabil, ataupun masih berusaha memahami hubungan

mereka dengan mantan pasangan mereka.

3. Karakteristik Masa Dewasa Awal

Menurut Hurlock (1990), karakteristik individu dewasa awal adalah:

a. Masa pengaturan

Individu dewasa awal mulai mencoba-coba untuk menemukan

pekerjaan dan pasangan yang tepat. sekali individu menemukan pola

hidup yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka

(36)

nilai-nilai yang akan cenderung akan menjadi kekhasan selama sisa

hidupnya.

b. Usia reproduktif

Individu dewasa awal yang menikah akan berperan pada sebagai orang

tua pada usia 20 atau 30-an.

c. Masa bermasalah

Masalah-masalah yang dihadapi individu masa dewasa awal

berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama

kehidupan masa dewasa awal diantaranya penyesuaian diri dalam

kehidupan perkawinan dan karir.

d. Masa ketegangan emosional

Sekitar awal atau pertengahan usia 30-an, kebanyakan individu dewasa

awal telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan

cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional.

Emosi yang menggelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal

kedewasaan masih tetap kuat pada usia 30-an, hal ini merupakan tanda

bahwa penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum

terlaksana secara memuaskan.

e. Masa keterasingan

Masa keterasingan merupakan masa individu dewasa merasakan

keterpencilan sosial atau yang disebut Erikson sebagai krisis

keterasingan. Krisis keterasingan dapat terjadi karena pada masa

(37)

orang tua, namun pada masa dewasa awal dihadapkan pada keadaan

untuk bersaing dan hasrat yang kuat untuk mencapai karir.

f. Masa komitmen

Individu dewasa awal akan mengalami perubahan tanggung jawab dari

remaja yang sepenuhnya bergantung pada orang tua menjadi invidu

dewasa yang mandiri. Individu dewasa awal perlu menentukan pola

hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat

komitmen-komitmen baru. Pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen-komitmen-komitmen

baru mungkin dapat berubah, namun pola-pola ini dapat menjadi

landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan

komitmen baru di masa mendatang.

g. Masa ketergantungan

Beberapa individu pada masa dewasa awal yang sudah mandiri dan

tidak bergantung pada orang lain, namun beberapa diantaranya masih

menemui kesulitan ekonomi sehingga harus bergantung pada orang tua

atau bergantung pada beasiswa dari perguruan tinggi untuk dapat

melanjutkan pendidikannya.

h. Masa perubahan nilai

Individu masa dewasa awal harus dapat menerima perubahan nilai

yang terjadi di masyarakat supaya dapat diterima dalam kelompok

orang dewasa termasuk perubahan nilai ketika mereka menjadi orang

tua.

(38)

Individu masa dewasa awal dihadapkan pada tugas untuk

menyesuaikan diri pada kehidupan pekerjaan dan kehidupan

pernikahan.

j. Masa kreatif

Bentuk kreatifitas yang akan terlihat pada masa dewasa awal adalah

kreatifitas yang bergantung pada minat dan kemampuan individual,

kemampuan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang

memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada individu yang

menyalurkan kreatifitas melalui hobi, ada yang menyalurkannya

melalui pekerjaan yang memungkinkan untuk menyalurkan ekspresi

kreatifitasnya.

C. COMMUTER MARRIAGE

1. Pengertian Commuter Marriage

Commuter marriage adalah kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela

oleh pasangan suami istri yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda

dengan pekerjaan masing-masing dan dipisahkan setidaknya tiga malam dalam

satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan (Gerstel dan Gross, 1982).

Istilah lain commuter marriage yang digunakan Stafford (2005) adalah

dual career dual residence (DCDR), yang didefinisikan sebagai

individu-individu yang menikah, dengan atau tanpa anak, yang secara sukarela

(39)

dengan maksud untuk mempertahankan pernikahan, dan keduanya berkomitmen

terhadap karir mereka.

Rhodes (2002) menyatakan bahwa dalam beberapa referensi, commuter

marriage didefinisikan sebagai:

a. pasangan yang melanjutkan karir dengan melibatkan pekerjaan yang

membutuhkan komitmen yang tinggi dan pelatihan khusus dengan tanggung

jawab yang besar (ini mencakup mahasiswa yang melanjutkan tingkat

pendidikan lanjutan).

b. pasangan memutuskan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan rumah

tangga pada lokasi yang terpisah secara geografis dengan tujuan untuk

meningkatkan karir pada pasangan tersebut.

Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa dengan demikian, sales, pekerja

dengan pekerjaan yang berhubungan dengan perjalanan, personel militer, migran

yang menjadi pekerja, pekerja konstruktif dan pramugari yang meninggalkan

rumah untuk waktu tertentu bukan termasuk dalam definisi commuter marriage.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa commuter marriage

adalah pasangan suami istri dengan atau tanpa anak yang tinggal terpisah secara

geografis karena adanya komitmen yang tinggi terhadap karir dan

mempertahankan pernikahan.

2. Karakteristik Commuter Marriage

Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage

(40)

a. Lama pasangan tinggal di rumah yang berbeda bervariasi, mulai dari tiga

bulan sampai 14 tahun.

b. Jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil

c. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan tersebut

menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan

di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain di tempat lain).

d. Pasangan biasanya melakukan reuni dengan variasi periode waktu yang

berbeda-beda. Beberapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pekan

tanpa mempertanyakan kapan akan melakukan reuni selanjutnya.

3. Karakteristik Pernikahan dan Keluarga

Rhodes (2002) menjelaskan karakteristik pernikahan dan keluarga

commuter, antara lain:

a. Adanya atau tidak-adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah dalam

keluarga. Rotter, Barnett, & Fawcett (dalam Rhodes, 2002) setuju bahwa

pasangan commuter marriage akan mengalami pola hidup yang lebih

menyulitkan dengan adanya kehadiran anak yang tinggal di rumah.

b. Ketika pasangan setuju untuk melakukan tipe pernikahan seperti ini, salah

satu orang tua biasanya tinggal di rumah bersama dengan anak-anak,

sehingga akan mengemban tanggung jawab, stress, dan jumlah pekerjaan

yang lebih besar, dan orang tua lainnya biasanya akan pindah ke lokasi

(41)

c. Orang tua yang melakukan perpisahan dengan keluarga dapat lebih fokus

dengan pekerjaannya, namun orang tua yang tinggal dengan anak-anak

biasanya mengambil peran sebagai orangtua tunggal (single parent).

Biasanya orang tua yang tidak melakukan perpisahan akan merasa kecil

hati dengan perubahan dalam tanggung jawab dan pengaturan hidup

(Carter, 1992).

d. Banyak orang tua yang melakukan perpisahan merasakan rasa bersalah

telah berpisah dengan keluarga dan melewatkan bagian-bagian penting

dalam perkembangan anak-anak mereka (Johnson, 1987, Rotter et al.,

1998).

e. Untuk menutupi rasa bersalah mereka, umumnya orang tua tersebut

mengambil langkah-langkah seperti memberikan perhatian secara kualitas

ketika menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka, memberikan

model peran alternatif untuk anak-anak dan memberikan kesempatan pada

anak-anak dalam memilih dua tempat tinggal yang berbeda (Jackson et al.,

2000; Rotter et al., 1998).

4. Kelebihan dan Kelemahan pada Pasangan Commuter Marriage

Scoot (2002) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa pasangan dengan

dua karir memutuskan untuk memisahkan tempat tinggal mereka. Adapun

kelebihan dari pernikahan dengan tipe ini adalah:

a. Memiliki karir dan pernikahan dalam persamaan hak dalam pernikahan

(42)

b. Memperkuat pernikahan. Beberapa pasangan percaya bahwa perpisahan

dapat memperkuat pernikahan mereka karena perpisahan memberikan

perasaaan akan kesuksesan (Rapoport et al., 1978; Gross, 1980, 1981).

c. Ketika pasangan berpisah, mereka dapat belajar untuk mengadaptasikan

jadwal mereka sesuai dengan kebutuhan mereka.

d. Memberikan waktu kerja yang lebih panjang bagi pasangan.

e. Selama perpisahan, masing-masing pasangan dapat memfokuskan diri

pada pekerjaan mereka, namun pada saat melakukan reuni, mereka

memfokuskan pada penguatan hubungannya dengan pasangan.

f. Pola hidup seperti ini menghasilkan kemampuan baru dan meningkatkan

rasa percaya diri mengenai kemampuan individu (Gerstel & Gross, 1982;

Jackson et al, 2000; Winfield, 1985).

Selain memberikan kelebihan, pola pernikahan ini juga memberikan

beberapa kelemahan, antara lain:

a. Pasangan jarak jauh mempunyai jadwal yang disesuaikan dengan

kebutuhan mereka, yaitu jadwal yang sibuk, bahkan ketika pasangan

saling menjenguk, mereka tetap tidak terlepas dari jadwal yang sibuk. Hal

ini menyebabkan pasangan tidak mampu memperkuat hubungan mereka

bahkan saat mereka sedang berkumpul. Jadwal yang sibuk menyebabkan

rendahnya kepuasan hubungan dan kehidupan keluarga (Bunker, Zubek,

Vanderslice, & Rice, 1992; Govaerts & Dixon, 1988).

b. Biaya yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh pasangan ini (Farris,

(43)

karena hubungan jarak jauh, biaya perjalanan ketika saling mengunjungi

dan biaya-biaya kebutuhan kedua rumah yang ditempati masing-masing

pasangan.

c. Kurangnya kehadiran pasangan, terhambatnya kontak nonverbal

mempengaruhi keintiman dalam hubungan pernikahan jarak jauh.

d. Munculnya kecemasan dan kekhawatiran pada pasangan termasuk

ketakutan untuk hidup terpisah, perceraian dan perselingkuhan (Farrris,

1978). Kekhawatiran ini umumnya muncul pada pasangan yang lebih

muda, namun pada pasangan yang lebih tua lebih banyak mengalami

pengalaman takut akan hidup terpisah dan sedikit cemas mengenai

perceraian dan perselingkuhan (Gerstel & Gross, 1984).

D. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PASANGAN COMMUTER MARRIAGE

Layaknya pasangan suami istri umumnya, pasangan commuter marriage

juga mengharapkan kepuasan dalam pernikahan dan mempunyai penilaian

terhadap kepuasan pernikahan. Pasangan commuter marriage umumnya menganut

peran gender yang lebih egalitarian dibandingkan yang tradisional dalam

pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan commuter marriage yang

sukses dalam pernikahan adalah pasangan yang menganut peran gender yang

sedikit tradisional dan lebih egalitarian, mereka umumnya mempunyai pendidikan

yang baik, dan terikat dalam rencana dan keputusan bersama dalam membuat

(44)

2005). Perilaku peran gender yang non-tradisional yang biasanya dianut oleh

pasangan commuter marriage adalah suami maupun istri saling berbagi perhatian

terhadap keluarga dan rumah, suami dan istri sepakat bahwa tidak ada pekerjaan

mana yang lebih penting dari pekerjaan lainnya.

Pasangan commuter marriage menyatakan bahwa perjalanan yang

merupakan bagian dari pekerjaan dapat menciptakan stress tambahan untuk

pasangan mereka, khususnya dengan adanya kehadiran anak dalam keluarga

(Roehling & Bultman, 2002). Kehadiran anak mengurangi peran egalitarian yang

biasanya dianut oleh pasangan commuter marriage (Stafford, 2005). Peran

non-tradisional ini tidak berlaku ketika salah satu pasangan melakukan perjalanan,

pasangan yang melakukan perjalanan biasanya akan menyerahkan peran mereka

yang berhubungan dengan keluarga kepada pasangan lain yang tinggal di rumah.

Pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir,

namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran

sebagai orang tua tunggal. Roehling dan Bultman (2002) menambahkan bahwa

istri biasanya mengurangi perjalanan yang berhubungan dengan karir jika adanya

kehadiran anak dalam keluarga. Kehadiran anak meningkatkan tanggung jawab

dan pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran

dengan waktu yang intensif dari orang tua. Hal ini dapat menyebabkan peran yang

berlebihan dan konflik peran (Barnett & Hyde, 2001 dalam Roehling & Bultman,

2002) serta dapat mempengaruhi performansi di tempat kerja dan di rumah pada

(45)

Gerstel dan Gross (dalam Scoot, 2002) yang menyatakan bahwa usia

pernikahan, kehadiran anak, dan durasi perpisahan dan pertemuan kembali karena

pekerjaan memberikan pengaruh yang besar dalam pengalaman menghadapi

perpisahan pada pasangan commuter marriage. Penelitian yang dilakukan oleh

Gerstel dan Gross menunjukan bahwa pasangan yang baru menikah (tanpa

menjelaskan usia pernikahan yang dimaksud), pasangan dengan anak-anak dan

pasangan yang mengunjungi kurang dari dua kali dalam sebulan mengalami

kesulitan menangani perpisahan mereka. Semakin lama usia suatu pernikahan,

semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul

ketika pasangan tidak tinggal bersama (Gerstel dan Gross, 1981, 1982, 1984;

Gross, 1980, 1981 dalam Scott, 2002).

Pasangan commuter marriage yang lebih muda dengan anak yang masih

muda dan pengalaman akan perpisahan yang tidak banyak merupakan pasangan

yang paling rapuh, namun kebanyakan pasangan yang lebih tua dan mempunyai

banyak pengalaman akan perpisahan dengan pasangan, dapat mencoba untuk

beradaptasi terhadap perjalanan dinas karena pekerjaan dan bahkan merasakan

periode yang berturut-turut antara perpisahan dan reuni kembali sebagai suatu hal

yang sangat menarik (Espino et al., 2002; Morrice et al., 1985 dalam Gustafson,

2006). Jadwal pekerjaan yang lebih fleksibel dan sumber penghasilan yang lebih

besar membuat pasangan commuter marriage merasakan kesulitan yang lebih

sedikit (Anderson, 1992 dalam Stafford, 2005). Pasangan yang merasakan

(46)

tidak puas dengan pola hidup seperti itu (Groves & Horm-Wingered, 1991 dalam

Stafford 2005).

(47)

Membentuk keluarga Mencari pekerjaan

Commuter Marriage

Suami atau istri yang bekerja di

daerah yang terpisah karena

penempatan pekerjaan

Kelebihan Kelemahan

Suami atau istri yang bekerja di daerah yang

sama

Kehadiran anak

suami istri

Suami melakukan perjalanan karena pekerjaan (tinggal terpisah)

Istri tinggal dengan anak dan meniti karir Pasangan dual-career

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana

gambaran kepuasan pernikahan istri pada pasangan commuter marriage.

Kepuasan pernikahan merupakan pengalaman subjektif dan dinamis untuk

masing-masing pasangan. Jumlah responden yang mempunyai karakteristik

sebagai pasangan commuter marriage juga tidak banyak, untuk itu, pendekatan

kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui hal ini. Melalui penelitian

kualitatif, diharapkan peneliti memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan

utuh tentang fenomena yang diteliti dan akan dapat melihat permasalahan ini

dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif,

alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian

(Poerwandari, 2007).

B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan peneliti ini, maka karakteristik responden yang

dipilih adalah:

(49)

Pada usia 27-39 tahun, wanita dewasa awal umumnya menghadapi

konflik untuk mencapai karir atau menjadi orang tua (Rosdahl &

Kowalski, 2007; Reinke, et al. dalam Granrose & Kaplan, 1996).

b. Wanita yang telah menikah dengan bentuk pernikahan:

1) baik istri maupun suami mempunyai karir masing-masing

2) penempatan karir di daerah lain menyebabkan pasangan suami istri

tidak tinggal di rumah yang sama setidaknya tiga malam dalam

satu minggu selama sesedikitnya tiga bulan.

3) suami dan istri mempunyai tempat tinggal masing-masing

dikarenakan perpisahan mereka dapat berlangsung lama

4) mempunyai anak yang berusia kurang dari 12 tahun yang tinggal

dengan istri.

2. Jumlah Responden Penelitian

Penelitian ini mengambil sampel 3 (tiga) orang wanita yang merupakan

pasangan commuter marriage. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena dalam

penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik (a) diarahkan tidak pada

jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan

masalah penelitian, (b) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat

berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan

pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (c) tidak diarahkan

pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada

(50)

dikarenakan keterbatasan dari peneliti sendiri baik waktu, biaya maupun

kemampuan peneliti.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Dalam Poerwandari (2007) dijelaskan bahwa teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini adalah berdasarkan konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu,

berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau

sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh

mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Binjai dan Medan.

Pemilihan kota Binjai dan Medan yang merupakan domisili para responden dari

peneliti. Selain itu, berkaitan dengan pendekatan kualitatif yang memerlukan lebih

dari satu kali pertemuan dan wawancara, pemilihan lokasi akan memudahkan

proses penelitian.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan

metode wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa

(51)

wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur tetapi

juga memungkinkan untuk mengembangkan topik baru yang lebih mendalam.

Adapun penggunaan pedoman wawancara berfungsi semata-mata untuk memuat

pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yaitu open-ended questions, yang

bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian

(Poerwandari, 2007).

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Menurut Poerwandari (2007) bahwa yang menjadi alat terpenting dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan

pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape

recorder), pedoman wawancara.

1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2007) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu

direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak

bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu

digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman

wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila ada hal yang masih

belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan

(52)

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar

arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori kepuasan pernikahan yang

mencakup aspek-aspek dalam kepuasan pernikahan.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti

mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek

(check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana

pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus

menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung

(Poerwandari, 2007).

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak

menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat

bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap

analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi

juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin

dijawab (Poerwandari, 2007).

E. KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif

untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian

(53)

masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi

yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan

(kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan

interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian

kualitatif.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas

penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik pasangan commuter

marriage.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kepuasan

pernikahan menurut teori Olson & Fowers (1989; 1993), untuk

menggambarkan kepuasan pernikahan dan pemasalahan-permasalahan

yang dihadapi responden dalam pernikahannya.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk

mendapatkan data yang akurat.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang

diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut:

(54)

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang

berhubungan dengan kepuasan pernikahan, khususnya yang berkaitan

dengan pasangan commuter marriage.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian,

peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori aspek

kepuasan pernikahan untuk menjadi pedoman dalam wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian.

Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden

untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan

kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti

membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun

rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden

penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan

selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki

beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

(55)

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan

tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.

Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan

dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak

berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk

menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan

bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab

pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari

penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah

rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu,

peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman

wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa

kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip

verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil

wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil

wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan

koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh.

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi

data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan

Gambar

Gambaran Umum Responden Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Johnson & Scholes dalam bukunya Exploring Corporate Strategy (Johnson & Scholes, 1993) proses manajemen strategi dapat digambarkan dalam suatu model yang

Pekerja bebas adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian baik berupa

Oleh karena itu diperlukan perencanaan dan perancangan sebuah fasilitas olahraga yang berupa Gedung Olahraga dan Wisma Atlet di kawasan sport center Kabupaten Merangin dengan

Dalam pengadministrasian digunakan istilah barang untuk menyatakan benda yang merupakan fasilitas umum laboratorium dan istilah zat untuk menyatakan bahan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan..

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan dan corporate social responsibility (CSR) terhadap

Mengetahui dan menganalisis kesenjangan antara persepsi manajemen tentang harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas jasa yang telah ditetapkan oleh bengkel service mobil

527 Belanja Barang untuk Diserahkan kepada Kode Akun dan Uraian Mantan Presiden danjatau Mantan Wakil Akun