FUNGSI LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA DALAM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Sarjana (S1)
pada program sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh:
CHRISTY ADELINA PURBA 070906025
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
Abstract ………...………… i
Abstrak ………...………… ii
Halaman Persetujuan ………...……….. iii
Halaman Pengesahan ... iv
Kata Pengantar ………. ... v
Daftar Isi ………...…………... vi
Daftar Tabel ………... …. vii
BAB I PENDAHULUAN ………..………. 1
1.1 Latar Belakang ………. 1
1.2 Perumusan Masalah ……….. 5
1.3 Batasan Masalah ……… 5
1.4 Tujuan Penelitian ………...………. 5
1.5 Manfaat Penelitian ………. 6
1.6 Kerangka Teori ………. 6
1.6.1 Teori Kedaulatan Rakyat ……….. 6
1.6.2 Trias politica ……… 10
1.6.3 Teori Perwakilan Politik ……… 13
1.6.4 Lembaga Legislatif di Indonesia ………. 18
1.7 Metode Penelitian ……….………. 23
1.7.1. Jenis Penelitian ……….……….. 23
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data ………. 24
1.7.4. Teknik Analisa data ……….….. 24
1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ……… 25
BAB II LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945………. 27
2.1.Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ….……… 27
2.2.Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ….………....……….. 38
2.3. Senat (Utusan Daerah) ….……… 61
BAB III LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA SETELAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ……….….. 62
3.1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ……….…….. 62
3.2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ………... 72
3.3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ….………. 78
BAB IV ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA DALAM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ……….. 88
4.1. Perubahan Fungsi Lembaga Legislatif terhadap Lembaga Eksekutif ………... ………… 88
4.2. Perubahan Fungsi Lembaga Legislatif terhadap Lembaga Yudikatif ………... ………… 93
4.3.1. Pengaruh Perubahan UUD 1945 terhadap Fungsi
Majelis Permusyawaratan Rakyat ……… 95
4.3.2. Pengaruh Perubahan UUD 1945 terhadap Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat ……… 100
4.3.3. Pengaruh Perubahan UUD 1945 terhadap Fungsi Dewan Perwakilan Daerah ………...… 102
BAB V PENUTUP ……… 106
5.1. Kesimpulan ………... ……….. 106
5.2. Saran ………...………. 111
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Susunan Keanggotaan Volksraad…………... 41
Tabel 2.2. Susunan Keanggotaan DPR Gotong Royong
Tahun 1968 ………...……….. 51
Tabel 2.3. Produk Undang-Undang DPR tahun 1972-1997.. …… 60
Tabel 2.4. Perbandingan Jumlah Kursi DPR 1971-1977….. …… 61
Tabel 3.1. Komposisi Anggota DPR RI 2009-2014…………. 77
Tabel 4.1. Pelaksanaan Hak DPR periode 2004-2009……… 71
Tabel 4.2. Rekapitulasi Pelaksanaan Tugas DPD yang
Telah Disampaikan kepada DPR……… 105
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
THE FUNCTION OF INDONESIA’S LEGISLATIVE INSTITUTION IN 1945 CONSTITUTIONAL AMENDMENTS
ABSTRACT
This study tried to describe the influence of Indonesia’s legislative
institution in 1945 constitutional amendments (UUD 1945). Legislative institution
as a part from Indonesia’s government shows Indonesia’s civil supremacy to
decide and to legislate common publicy become constitution. Legislative
institution have many change if we see from the history of Indonesia’s
government.
After 1945 Constitutional Amendments has made, the representation of
legislative have more impact to excecutive and judicial institution. The other
change of it institution is the expunged of people’s consultative assembly as the
highest constitutional position and gave more duties to people’s representative
council to contrive some publicies. Another change is establishing regional
representative council. Altough this three legislative institution have role to watch
each other they have dominant function in Indonesia’s government, especially for
people’s representative council.
This study used qualitative descriptive method to describe legislative
institution’s progress in Indonesia before amendment and after amendment. The
result of this study is there are adjusments of legislative institution that regulated
in UUD 1945. The change can we see from the performance of legislative
institution at a period whether in making common publicy, using their rights, and
the connection with other institution.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
CHRISTY ADELINA PURBA (070906025)
FUNGSI LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA DALAM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ABSTRAK
Skripsi ini membahas bagaimana pengaruh perubahan lembaga legislatif Indonesia dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Lembaga legislatif sebagai salah satu cabang kekuasaan pertama pemerintahan Indonesia yang mencerminkan kedaulatan rakyat untuk menentukan dan mengesahkan kebijakan umum menjadi undang-undang. Dalam proses sejarah pemerintahan Indonesia, lembaga legislatif menghadapi banyak perubahan.
Amandemen UUD 1945 menjadikan keterwakilan lembaga legislatif semakin berpengaruh terhadap lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Perubahan lain terhadap lembaga legislatif itu sendiri adalah menghapus status MPR sebagai lembaga tertinggi, dan menambah fungsi DPR dalam membentuk suatu kebijakan serta membentuk DPD sebagai wakil dari daerah. Meskipun ketiga lembaga tersebut memiliki peranan untuk mengawasi satu sama lainnya, tetapi lembaga legislatif memiliki pengaruh lebih dominan, khususnya fungsi DPR.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif terhadap perkembangan lembaga legislatif Indonesia yaitu MPR, DPR, dan DPD dari awal terbentuk sampai kepada terjadinya amandemen UUD 1945. Dalam pemaparan ditemukan adanya perubahan besar fungsi lembaga legislatif yang diatur dalam UUD 1945. Hasil tersebut dapat dilihat dari kinerja lembaga legislatif tiap periode baik dalam menghasilkan undang-undang, menggunakan hak, dan hubungan dengan lembaga lainnya.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatNya saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
sebagai syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu Politik FISIP USU.
Adapun judul skripsi ini adalah Fungsi Lembaga Legislatif Indonesia dalam
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Skripsi ini menjelaskan perkembangan fungsi lembaga legislatif di
Indonesia dan pengaruhnya dalam pemerintahan, khususnya terhadap lembaga
eksekutif, yudikatif, dan legislatif sendiri. Tanpa adanya amandemen UUD 1945,
peran dan fungsi lembaga legislatif tidak dapat berjalan dengan baik dan terbatas.
Dalam penulisan skripsi penulis juga mendapat peran dan bantuan yang diterima
dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Zakaria,MSP selaku dosen pembimbing dan Bapak Husnul Isa
Harahap,S.Sos.,M.Si selaku dosen pembaca yang telah banyak membantu
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya saya juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Badaruddin, selaku dekan FISIP USU.
2. Ibu T. Irmayani,M.Si., selaku kepala jurusan Ilmu Politik FISIP USU.
3. Kedua orang tua saya, St. Prof. Dr. Ir. Edison Purba Sidadolog dan
Maryetta Saragih, yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian
skripsi. Ayah angkat saya, Gordon Tattershall, thank you very much for
your support for me even we far apart.
5. Seluruh staff pegawai FISIP USU.
6. Kakak dan kedua abang saya (Wanda, Elvoumar, Garry), terima kasih
untuk semangat dan saran kepada adikmu ini. Semoga saya juga dapat
berhasil seperti kalian.
7. Sahabat-sahabat saya, Grace, Shinta,Eka, Ika, Kezia, Andika, Desmar.
Terima kasih untuk dukungannya dan menjadi tempat keluh kesah saya
selama ini.
8. Teman-teman di Departemen Ilmu Politik, Bang Surya, Kak Jojor, Kak
Putri, dan masih banyak yang lainnya. Sukses untuk kita semua.
Akhir kata, saya selaku penulis merasa masih memiliki banyak
kekurangan dalam pengerjaan dan penulisan skripsi. Oleh karenanya, penulis
menerima dengan senang hati setiap kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan skripsi ini.
Medan, 28 Agustus 2014
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
THE FUNCTION OF INDONESIA’S LEGISLATIVE INSTITUTION IN 1945 CONSTITUTIONAL AMENDMENTS
ABSTRACT
This study tried to describe the influence of Indonesia’s legislative
institution in 1945 constitutional amendments (UUD 1945). Legislative institution
as a part from Indonesia’s government shows Indonesia’s civil supremacy to
decide and to legislate common publicy become constitution. Legislative
institution have many change if we see from the history of Indonesia’s
government.
After 1945 Constitutional Amendments has made, the representation of
legislative have more impact to excecutive and judicial institution. The other
change of it institution is the expunged of people’s consultative assembly as the
highest constitutional position and gave more duties to people’s representative
council to contrive some publicies. Another change is establishing regional
representative council. Altough this three legislative institution have role to watch
each other they have dominant function in Indonesia’s government, especially for
people’s representative council.
This study used qualitative descriptive method to describe legislative
institution’s progress in Indonesia before amendment and after amendment. The
result of this study is there are adjusments of legislative institution that regulated
in UUD 1945. The change can we see from the performance of legislative
institution at a period whether in making common publicy, using their rights, and
the connection with other institution.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
CHRISTY ADELINA PURBA (070906025)
FUNGSI LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA DALAM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ABSTRAK
Skripsi ini membahas bagaimana pengaruh perubahan lembaga legislatif Indonesia dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Lembaga legislatif sebagai salah satu cabang kekuasaan pertama pemerintahan Indonesia yang mencerminkan kedaulatan rakyat untuk menentukan dan mengesahkan kebijakan umum menjadi undang-undang. Dalam proses sejarah pemerintahan Indonesia, lembaga legislatif menghadapi banyak perubahan.
Amandemen UUD 1945 menjadikan keterwakilan lembaga legislatif semakin berpengaruh terhadap lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Perubahan lain terhadap lembaga legislatif itu sendiri adalah menghapus status MPR sebagai lembaga tertinggi, dan menambah fungsi DPR dalam membentuk suatu kebijakan serta membentuk DPD sebagai wakil dari daerah. Meskipun ketiga lembaga tersebut memiliki peranan untuk mengawasi satu sama lainnya, tetapi lembaga legislatif memiliki pengaruh lebih dominan, khususnya fungsi DPR.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif terhadap perkembangan lembaga legislatif Indonesia yaitu MPR, DPR, dan DPD dari awal terbentuk sampai kepada terjadinya amandemen UUD 1945. Dalam pemaparan ditemukan adanya perubahan besar fungsi lembaga legislatif yang diatur dalam UUD 1945. Hasil tersebut dapat dilihat dari kinerja lembaga legislatif tiap periode baik dalam menghasilkan undang-undang, menggunakan hak, dan hubungan dengan lembaga lainnya.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skripsi ini akan membahas tentang lembaga kekuasaan dalam
pemerintahan negara, yang dalam hal ini adalah fungsi lembaga legislatif dalam
sistem pemerintahan Indonesia dalam perubahan amandemen Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Pada awalnya negara merupakan
suatu organisasi yang dibentuk dalam kehidupan bermasyarakat untuk mencapai
tujuan yang telah disepakati bersama1
Dalam proses perkembangannya, satu lembaga negara tidak memiliki satu
kekuasaan penuh karena dapat disalahgunakan dan bertentangan dengan tujuan
bernegara. Muncul anggapan bahwa satu lembaga negara harus diawasi dan
diimbangi oleh lembaga lain. Kekuasaan negara pada awalnya dibagi menjadi tiga
cabang, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun bersamaan dengan
semakin besarnya negara dan menghadapi banyaknya permasalahan, pencabangan
kekuasaan negara juga mengalami perkembangan.
. Sebagaimana layaknya organisasi, negara
memiliki organ-organ yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu
untuk mencapai tujuan negara. Organ-organ inilah yang disebut sebagai
lembaga-lembaga negara. Lembaga negara beserta fungsinya mengalami perubahan seiring
dengan sistem pemerintahan yang ada pada suatu negara dan selalu mengalami
perkembangan yang mempengaruhi setiap lembaga negara.
1
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga legislatif merupakan
perangkat kenegaraaan yang sangat penting disamping perangkat-perangkat
kenegaraan yang lain, baik yang bersifat infra struktur maupun supra struktur
politik. Lembaga legislatif merupakan cabang kekuasaan pertama yang
mencerminkan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. Melalui lembaga legislatif
akan muncul kebijakan sebagai dasar bagi lembaga eksekutif untuk menjalankan
pemerintahan dan diawasi secara langsung olleh lembaga ini sendiri. Dalam
sistem demokrasi tidak ada kekuasaan mutlak, tetapi rakyatlah yang membuat
undang-undang melalui lembaga legislatif.
Setiap pemerintahan yang menganut sistem demokrasi selalu didasari
suatu ide bahwa warga negara seharusnya dilibatkan dalam setiap proses
pengambilan keputusan politik.2 Dalam sistem pemerintahan yang demokratis,
konsep kedaulatan sangat menentukan untuk dijadikan sebagai tolak ukur apakah
demokrasi berjalan atau tidak. Semua keputusan politik harus mendapatkan
persetujuan dari rakyat secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem
perwakilan.3 Dengan berkembangnya kedaulatan berada di tangan rakyat maka
badan legislatif menjadi lembaga yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu
dengan jalan menentukan kebijakan umum dan mengesahkannya dalam bentuk
undang-undang. Pada negara-negara modern adanya wakil-wakil rakyat yang
dipilih secara berkala dianggap lebih praktis dan akan memudahkan menghasilkan
suatu kebijakan.
2
Arbi Sanit, Perwakilan Politik: Suatu Stdi Awal Dalam Pencarian Analisa Sistem Perwakilan politik di Indonesia, Imu dan Budaya, Edisi 2, tahun V, Jakarta : Penerbit Universitas Nasional1982 , hal. 82.
3
Struktur lembaga legislatif di Indonesia terdiri dari atas MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPRD I, DPRD
II), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Ketiga badan ini adalah badan
legislatif yang diakui negara. Badan-badan ini memiliki fungsi dan wilayah
kewenangan yang berbeda-beda. Semua fungsi dan kewenangan legislatif diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Berdasarkan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensial. Namun dalam prakteknya banyak bagian-bagian dari sistem
pemerintahan parlementer yang masuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia
sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang berjalan di Indonesia
adal
sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemerintahan parlementer.
Sistem pemerintahan Indonesia dalam sejarahnya mengalami beberapa kali
perubahan. Indonesia pernah menggunakan sistem kabinet parlementer pada tahun
1945 - 1949. Kemudian pada rentang waktu tahun 1949 - 1950, Indonesia
menganut sistem pemerintahan parlementer yang semu. Tahun 1950 - 1959,
Indonesia masih menganut sistem pemerintahan parlementer dengan demokrasi
liberal yang masih bersifat semu. Sedangkan pada tahun 1959 - 1966, Indonesia
menganut sistem pemerintahan secara demokrasi terpimpin.4
4
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 127.
Perubahan dalam
sistem pemerintahan tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Kelembagaan di
Indonesia juga mengalami perkembangan yang sama sejak masa reformasi. UUD
1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi
amandemen terhadap UUD 1945 mempertegas pemisahan kekuasaan dan
mekanisme checks and balances.5
Amandemen UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar
mengenai tatanan negara, kedaulatan rakyat, Hak Asasi Manusia (HAM),
pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan
negara hukum, serta hal-hal lain sesuai dengan perkembangan aspirasi dan
kebutuhan bangsa. Amandemen UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali
pada masa sidang MPR, yaitu pertama pada sidang umum MPR 1999 tanggal
14-21 Oktober 1999, kedua pada sidang tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus
2000, ketiga pada sidang tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 Nopember 2001, dan
yang keempat pada sidang tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Tetapi kenyataannya checks and balances sulit
terjadi karena adanya ketimpangan fungsi lembaga legislatif dalam menjalankan
pemerintahan. Legislatif sebagai salah satu badan yang mewakili rakyat tidak
memiliki peran banyak dibandingkan dengan eksekutif. Kekuasaan presiden yang
sangat besar dan struktur ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru dikuasai
oleh MPR. Dominasi pemerintahan menyebabkan tidak ada checks and balances
dalam lembaga-lembaga negara, adanya pasal-pasal yang tidak kaku, dan banyak
terjadi kewenangan presiden mengatur hal-hal yang penting dalam
undang-undang. Dengan melihat hal tersebut muncullah tuntutan rakyat untuk dilakukan
amandemen terhadap UUD 1945.
6
5
Gaffar, Op. Cit., hal. 111.
Dengan dilakukannya amandemen, perubahan terjadi dalam sistem pemerintahan
Indonesia, di antaranya terjadi pergerseran kewenangan dari presiden ke lembaga
6
Rizki Fahrian, Latar Belakang Perubahan UUD 1945,
legislatif yaitu DPR dalam membuat undang-undang, MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi negara dan beberapa kewenangan dicabut. Hasil lain dari
perubahan amandemen adalah muncul Dewan Perwakilan Daerah. Seiring dengan
berkembangnya lembaga legislatif di Indonesia berkembang pula perannya dalam
pemerintahan terhadap lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif, bahkan dalam
lembaga legislatif sendiri. Oleh karena itu Penulis melihat ada beberapa hal
menarik yang perlu diteliti dalam masalah ini dan mengangkat masalah ini
menjadi penelitian dengan judul ‘Fungsi Lembaga Legislatif dalam
Amandemen Undang-Undang 1945”.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana pengaruh pergeseran fungsi legislatif dalam amandemen
Undang-Undang Dasar 1945?”
1.3. Batasan Masalah
Adapun dalam penelitian ini banyak menjelaskan perkembangan ketiga
lembaga legislatif yaitu MPR, DPR, dan DPD dari awal terbentuk sampai kepada
perubahan sistem pemerintahan Indonesia era reformasi dengan dilakukannya
amandemen UUD 1945 dan kemudian membandingkan fungsi yang dijalankan
legislatif terhadap lembaga eksekutif dan yudikatif, maupun legislatif sendiri
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini
adalah:
1. Untuk melihat perkembangan pengaruh lembaga legislatif dalam
sistem pemerintahan Indonesia.
2. Untuk membandingkan fungsi lembaga legislatif sebelum dan setelah
amandemen UUD 1945.
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan lembaga legislatif dengan
lembaga eksekutif dan yudikatif, maupun antar lembaga legislatif itu
sendiri sebelum dan setelah ada amandemen UUD 1945.
1.5. Manfaat Penelitian
Selain beberapa tujuan, sebuah penelitian juga diarahkan agar berdaya
guna dan memiliki manfaat. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Sebagai input yang berguna untuk memberikan suatu pemahaman
khusus terhadap fungsi lembaga legislatif dalam pemerintahan
Indonesia.
2. Bagi para akademisi khususnya mahasiswa, untuk menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai fungsi legislatif dan pengaruhnya
1.6. Kerangka Teori
1.6.1.Teori Kedaulatan Rakyat
Jacques Rousseau (1712-1778) merupakan penggagas teori kedaulatan.
Teori kedaulatan rakyat lahir dari reaksi pada kedaulatan raja. Jean Teori tersebut
kemudian menjadi inspirasi terjadinya Revolusi Perancis. Dalam kedaulatan
rakyat menurut Rosseau, raja memerintah hanya sebagai wakil rakyat, sedangkan
kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan pemerintah.7 Teori
ini berdasarkan pada anggapan bahwa kedaulatan yang dipegang raja atau
penguasa itu berasal dari rakyat. Kekuasaaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Teori kedaulatan rakyat adalah cikal bakal dari ajaran demokrasi. Teori ini
menjadi inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia. 8
7
King Faisal Sulaiman, SH, LLM, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, hal. 18-19.
8
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara; Pengembangan Teori Negara dan Suplemen, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 53
Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan
kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi beberapa
kekuasaan yang diberikan pada pemerintah, ataupun lembaga perwakilan. Tetapi
karena pada saat teori kedaulatan tersebut muncul banyak negara yang masih
menganut sistem monarki, maka yang berkuasa adalah raja atau pemerintah. Bila
pemerintah melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka
rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini,
didasarkan pada kehendak umum yang disebut volonte generale oleh Rousseau.
Dapat disimpulkan kedaulatan rakyat mempunyai dua makna, pertama kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat, kedua pemerintah atau pengusa bertanggung
Sumber ajaran kedaulatan rakyat adalah demokrasi. Teori ini
memunculkan timbulnya suatu teori pembagian kekuasaan seperti dalam ajaran
trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu. Suatu negara yang menganut
teori kedaulatan rakyat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :9
1. Negara memiliki lembaga perwakilan rakyat sebagai badan/majelis
yang mewakili atau mencerminkan kehendak rakyat.
2. Pelaksanaan pemilu untuk mengangkat dan menetapkan anggota
lembaga perwakilan diatur oleh undang-undang.
3. Kekuasaan atau kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh badan atau majelis
yang bertugas mengawasi pemerintah.
4. Susunan kekuasaan badan atau majelis itu ditetapkan dalam
undang-undang dasar.
Kedaulatan yang dijalankan Indonesia terdapat dalam konstitusi sebagai
dokumen hukum tertinggi di republik yaitu Undang-Undang Dasar 1945, yang
telah diamandemen dalam pasal 1 ayat 2 yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia menganut
teori kedaulatan rakyat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini
menegaskan kita menganut demokrasi yang berdasarkan konstitusi.10
9
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Pustaka Gramedia Utama, 2008, hal.159
10
Nurtjahjo, Op. Cit., hal. 55.
Sehingga
kedaulatan juga harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi. Menurut pemahaman
tersebut muncul anggapan bahwa kedaulatan harus dijalankan berdasarkan
pembagian kekuasaan yang ada dalam konstitusi secara fungsional. artinya adalah
masing-masing lembaga negara yang diatur oleh UUD menjalankan kedaualatan
pada satu lembaga tertinggi, melainkan berada secara plural pada
lembaga-lembaga yang dibentuk UUD. Penafsiran ini kemudian memunculkan teori
kedaulatan pluralis11, di mana kekuasan tertinggi dibentuk menurut fungsi
kelembagaan masing-masing agar mekanisme hubungan tata kerja antar lembaga
dapat berjalan dengan demokratis.12
Sebagian pakar menganggap bahwa di samping menjalankan teori
kedaulatan rakyat Indonesia tetap menganut teori kedaulatan tuhan dan juga
kedaulatan hukum sekaligus. Pendapat ini juga memiliki argumentasi kuat.
Kedaulatan tuhan diakui karena kemerdekaan Indonesia dapat disebut sebagai
berkat rahmat Tuhan dan sejak awal hingga sesudah amandemen UUD 45
menyebutkan bahwa negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa.
Pada teori pluralis dijalankan fungsionalisasi
kekuasaan.
13
Pernyataan bahwa menganut kedaulatan hukum ada dalam penjelasan
UUD45 sbeelum amandemen bahwa negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan sebatas kekuasaan
(machtsstaat).
Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh aspek kehidupan negara harus mengacu pada
keputusan politik dan tidak boleh menyimpang dari nilai ketuhanan yang diakui
bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan sila pertama
sebagai sila yang menyinari sila-sila lainnya.
14
11
Ibid
12
Mekanisme demokrasi suatu negara dapat terlihat dari adanya mekanisme hubungan tata kerja antara lembaga negara. Untuk mengetahui secara partial atau incremental prinsip checks and balances dijalankan, dapat dilihat dalam tatanan mekanisme yang dikontruksi oleh konstitusi.
13
Hendra, Ibid, hal. 55.
14
Ibid, hal. 56
Hal ini ditegaskan kembali bahkan menjadi ayat tersendiri dalam
Kesimpulannya negara Indonesia menganut teori kedaulatan Tuhan, rakyat dan
hukum sekaligus. Dalam operasionalissasi kedaulatan itu, kita menganut
kedaulatan pluralis karena masing-masing lembaga berdaulat atas fungsi-fungsi
yang telah diberikan konstitusi. Disebut pluralis karena tidak ada lagi lembaga
tunggal yang memegang kendali kedaulatan sebagaimana dipegang oleh MPR
sebagai lembaga tertinggi Negara. Kedaulatan dijalankan menurut fungsi-fungsi
yang telah dikontruksikan oleh UUD 1945.
1.6.2.Trias politica
bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu
banyak. Menurut Ananda B. Kusuma, prinsip trias politica dilaksanakan dengan
sistem checks and balances yang pengertiannya,adalah:15
Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh
pemerintahan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif,
eksekutif dan yudikatif
System that ensure that for every power in government there is an equal and opposite power placed in separate branch to restrain that force … checks and balances are the constitutional controls whereby separate branches of government have limitng powers over each others so that no branch will become supreme.
16
15
Ananda B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945. Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2005, Hal. 25.
. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip
normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada
16
Wikipedia, Pemisahan Kekuasaan,
orang yang sama, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa.
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politica ada di dalam Magnum
Opus yang ia tulis berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun
1690.17
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang.
Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat
ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi yang aman tersebut perlu
terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat
yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum
bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang
dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum
bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris. Eksekutif adalah
kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan
Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak Dalam karyanya tersebut, Locke menyebutkan bahwa fitrah dasar manusia
adalah bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri) dan memiliki milik
(properti). Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari
serangan individu lain. Negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang
bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil
pekerjaannya sehingga untuk memenuhi tujuan tersebut perlu adanya kekuasaan
terpisah, kekuasaan yang tidak selalu berada di tangan seorang raja/ratu. Menurut
Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah legislatif, eksekutif dan
federatif.
17
melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke
tangan raja/ratu. Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan
negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar
Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang,
aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta
besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan
kepada raja/ratu Inggris.18
Baron Secondat de Montesquieue menuangkan pemikiran politiknya
setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam
magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Pemikiran politik Locke dapat ditarik satu kesimpulan,
bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di
tangan kaum bangsawan. Tetapi pemikiran Locke belum sepenuhnya sesuai
dengan pengertian Trias politica di masa kini. Pemikiran Locke kemudian
disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
19
18
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000, hal. 126-127.
19
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta, Gramedia, 2007, hal. 214.
Montesquieue
menuliskan bahwa setiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan
legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan
hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang
bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau
magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua,
ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan
keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan
individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan
eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep trias politica yang banyak diacu oleh
negara-negara di dunia saat ini adalah konsep yang berasal dari Montesquieu. Namun,
konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep
kekuasaan lain seperti Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran),
Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba). Di Indonesia, para penyusun UUD
1945 (sebelum amandemen) tidak menganut trias politica. Mereka memahami
bahwa pemerintahan yang demokratis dapat diselenggarakan dengan trias
politica, dalam pemahaman separation of powers, seperti di Amerika Serikat atau
dalam arti menggabungkan kekuasaan eksekutif dan legislative seperti di Inggris.
1.6.3.Teori Perwakilan Politik
Untuk melaksanakan gagasan teori kedaulatan20 ke dalam tatanan sistem
bernegara, diperlukan lembaga perwakilan rakyat. Rakyat seluruhnya diwakili
dalam suatu lembaga. Terkadang rakyat tidak hanya diwakili melalui satu
lembaga saja, melainkan dapat direpresentasikan ke dalam beberapa lembaga.
Konsep perwakilan (representation) adalah konsep yang memberikan
kewenangan atau kemampuan kepada seseorang atau suatu kelompok untuk bicara
dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.21
20
Negara Republik Indonesia juga menganut kedaulatan Tuhan dan kedaulatan hukum, di samping teori kedaulatan rakyat. Bahkan kedaulatan rakyat yang dianut Indonesia pun harus menganut pada kedaulatan rakyat. Artinya adalah keputusan wakil rakyat tidak boleh melanggar nilai-nilai ketuhanan yang diluhurkan.
21
Praktik lembaga perwakilan rakyat dapat ditelusuri sejak masa Yunani
Kuno dalam Dewan Palis atau Ekklesia yang mempunyai tugas memberi
pertimbangan kepada eksekutif. Di samping memberikan pertimbangan, dewan ini
juga menetapkan hukum melalui perdebatan anggota. Selama 20 abad mulai dari
abad kelima Sebelum Masehi di Yunani Kuno dan Romawi sampai akhir abad
ke-14 di Inggris, keberadaan lembaga perwakilan rakyat mendapat dukungan dari
masyarakat.22 Ide-idenya selalu berkembang seiring dengan dinamika peradaban
manusia itu sendiri. Sejak abad kelima Sebelum Masehi di dalam kekaisaran
Romawi terdapat satu lembaga bernama senat yang memiliki kewenangan sebagai
badan perimbangan. Di pertengahan abad keempat Sebelum Masehi badan
tersebut diberi wewenang unntuk secara legal formal mengukuhkan keputusan
Comitia Centuriata, suatu badan semi-militer yang terdiri atas 100 orang. Mulai
dari penghujung abad ketiga Sebelum Masehi dan seterusnya semua keputusan
lembaga Plebeian (Concilium Plebis) diberlakukan di semua negara
taklukannya.23
Parlemen yang ada suatu negara saat ini dalam sejarahnya berawal di
Inggris pada penghujung abad 12. Ada sebuah lembaga bernama Magnu
Concilium yang dibentuk oleh Raja Henry III yang terdiri dari para tokoh gereja
dan para tuan tanah atau baron. Mereka sering diundang oleh raja untuk
membicarakan berbagai persoalan kerajaan. Di penghujung abad 14 parlemen
kemudian dimanfaatkan oleh para raja Inggris sebagai badan perwakilan rakyat.
22
DR. Paimin Napitupulu, M.Si, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Bandung, PT Alumni, 2007, hal. 18.
23
Parlemen sebagai badan pembuat hukum dan badan perwakilan yang dipilih
melalui pemilihan dijalankan di Inggris pada abad 18.24
Hingga kini lembaga perwakilan rakyat dianggap sebagai himpunan wakil
rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebenarnya lembaga perwakilan
rakyat tidak hanya meliputi legislatif atau parlemen, tetapi juga termasuk badan
eksekutif dan yudikatif. Lembaga perwakilan rakyat dalam arti khusus yakni
parlemen adalah suatu institusi yang mewakili masyarakat pemilih secara resmi
dalam sistem pemerintahan perwakilan (representative government) yang
terbentuk melalui sistem pemilihan umum25
Di Indonesia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat mewakili rakyat melalui
partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political
representation). Menurut Hannah Pitkin, perwakilan politik adalah satu atau
sejumlah orang yang berwenang membuat keputusan atas nama seseorang, . Bangkitnya lembaga khusus pembuat
hukum sejalan dengan pertumbuhan hukum Romawi dari periode yang sederhana.
Embrio perwakilan sudah mulai ada pada zaman Romawi Kuno. Sayangnya,
kaisar Romawi beserta penguasa yang ditunjuk dengan satu dengan yang lain cara
berusaha untuk memperkokoh kekuasaan mereka sehingga melemahkan peran
lembaga perwakilan tersebut. Semakin kuatnya cengkraman agama atas negara
beserta pertumbuhan feodalisme di Eropa, telah memperkecil peran lembaga
perwakilan dalam proses pembuatan hukum dan perundingan. Kedua hal ini,
agama dan kaum feudal dengan cara sendiri telah melemahkan peran lembaga
perwakilan
24
Ibid, hal. 20
25
sekelompok orang ataupun keseluruhan anggota masyarakat.26
Kehadiran konsep ini dipelopori oleh negara-negara yang menganut sistem
demokrasi liberal yang memiliki asumsi bahwa yang paling mengetahui mengenai
keadaan rakyat adalah rakyat itu sendiri sehingga aspirasi dan kehendak rakyat
harus diwakili oleh rakyat. Asumsi ini mendorong lahirnya sistem perwakilan
dalam kehidupan rakyat suatu negara yang perwujudannya dilakukan melalui
suatu partai politik dalam pemilihan umum.
Dalam pengertian
tersebut dalam keterwakilan politik menggambarkan adanya kepentingan
masyarakat yang terwakili oleh wakilnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
perwakilan politik mencakup kepuasan pihak terwakili dalam arti kepentingan dan
kebutuhan terlayani atau dapat diwujudkan oleh wakilnya melalui tanggapan yang
diberikan oleh sang wakil lewat sikap, tindakannya dalam membuat keputusan
atau kebijakan terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Secara umum sistem perwakilan dibagi dua, yaitu27
a. Sistem perwakilan langsung yaitu sistem pengangkatan wakil rakyat
secara langsung melalui pemilu oleh rakyat tanpa perantara DPR/MPR. :
b. Sistem perwakilan tidak langsung, yaitu sistem pengangkatan wakil
rakyat yang memberikan kepercayaan kepada partai politik untuk
menentukan calon legislatif yang akan mewakili rakyat dan juga
mengangkat anggota DPR/MPR melalui pengangkatan dari unsur-unsur
atau golongan oleh pemerintah.
26
Prof. DR. Kacung Maridjan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 39.
27
Sistem perwakilan rakyat kemudian berkembang dalam praktik
kenegaraan di seluruh dunia. Ada yang memakai sistem unicameral, ada sistem
bikameral, bahkan ada yang mengontruksikan perwakilan rakyat ke dalam
perwakilan tiga kamar (trikameral)28
Perkembangan konsep demokrasi mengenai teori perwakilan modern
melahirkan adanya tiga karakter yang dapat secara penuh mewujudkan rakyat . Hal tersebut bergantung pada pilihan politik
mana yang dipakai untuk menjelmakan rakyat seutuhnya dalam konstruksi
penyelenggaraan Negara yang etis.
29
a. Perwakilan geografis. Secara umum badan perwakilan mengandung arti
bahwa setiap anggotanya merupakan perwakilan dari seluruh bangsa.
Dengan demikian, wajar jika masyarakat luas mengharapkan agar
parlemen mewakili kepentingan mereka. Namun, dalam kenyataannya
setiap anggota parlemen hanya bersedia mewakili kelompok yang
diwakilinya, yakni masyarakat di wilayah geografis tertentu, dan
mengesampingkan kepentingan kelompok lain.
,
yaitu:
b. Perwakilan partai. Dalam sistem parlemen, partai politik merupakan
jenis perwakilan paling terkemuka, khususnya dalam sistem-sistem
politik, disiplin terhadap partai politik sangat tinggi. Dalam sistem
sejenis ini partai politiklah jenis perwakilan paling pokok. Partai politik
mengendalikan proses rekrutmen anggota beserta kegiatan legislatif di
parlemen. Di beberapa Negara, termasuk Indonesia saat ini, menjadi
anggota parlemen berarti di satu sisi harus mampu menunjukkan
28
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara; Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, Jakarta, PT Grafindo Persada, 2005, hal.68
29
loyalitas terhadap partai, dan di pihak lain harus dipilih oleh masyarakat
di wilayah tertentu. Namun, dalam banyak kasus kesetiaan terhadap
partai jauh lebih menonjol dibandingkan kesetiaan terhadap kelompok
masyarakat yang diwakilinya. Bahkan, lebih ekstrim lagi banyak
anggota parlemen yang mengesampingkan hubungan dengan para
pemilh dan memusatkan kesetiaan mereka pada partai.
c. Perwakilan kelompok kepentingan khusus. Keterkaitan kelompok
khusus dengan sendirinya mendorong anggota untuk lebih memusatkan
perhatian kepada kepentingan yang mereka wakili. Sebaliknya,
keterikatan kepentingan timbal balik yang berkembang memperkuat
posisi perwakilan kelompok kepentingan dalam tubuh parlemen.
1.6.4. Lembaga Legislatif di Indonesia A. Pengertian Legislatif
Menurut John M. Carey, legislatif adalah institusi pembuat kebijakan yang
penting dalam negara demokrasi modern. Semua putusan kebijakan paling
mendasar (budget, perjanjian dan persetujuan perdagangan, ekonomi, lingkungan,
dan regulasi sosial, elaborasi hak-hak individu dan kolektif) haruslah disetujui
lembaga legislatif.30
Kekuasaan legislatif menurut David Olson berbeda dengan cabang
kekuasaan lainnya. Pertama, perbedaan dari sifat dasar atribut yang dimilikinya,
yaitu parlemen adalah institusi perwakilan yang primer dalam sebuah masyarakat
yang demokratik. Kedua, parlemen juga berbeda dari fungsinya, yaitu menjadi
30
instrument utama dalam demokrasi yang menentukan dan menetapkan UU dan
kebijakan publik lainnya. Ketiga, legislatif juga berbeda dilihat dari karakteristik
prosedur dan organisasinya.31
Lembaga legislatif adalah badan yang bersifat plural dengan keanggotaan
lebih banyak daripada lembaga eksekutif, dan menawarkan kemungkinan baik
perwakilan sekaligus sejumlah keberagaman dalam politik, dan untuk
menjembatani hubungan yang lebih dekat antara wakil dan pemilihnya.
Keberagaman yang diwakili dalam lembaga legislatif mungkin didefinisikan
sepanjang garis kolektif, perwakilan mengoperasikan melalui
kelompok-kelompok politisi yangdipiliih dalam tim untuk merepresentasikan sejumlah
rangkaian kepentingan. Aturan yang berkaitan dengan perwakilan kolektif yang
dipilih, pada gilirannya, harus mengidentifikasi seperangkat prinsip yang
mendefinisikan kepentingan, seperti lokasi geografis, partisanship, ras, etnisitas,
gender, bahasa, agama, dan lainnya.32
Format lembaga legislatif secara garis besar terdiri dari dua jenis33
31
Efriza, Studi Parlemen, Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia, Malang, Setara Press, 2014, hal. 37.
32
Darmawan, Ibid, hal. 74.
33
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Pustaka Gramedia Utama, 2008, hal. 319.
.
Pertama adalah sistem satu majelis atau unikameral. Artinya di negara tersebut
hanya terdiri dari satu majelis saja dan umumnya merupakan Majelis Rendah
(lower house). Para penganjur sistem satu kamar berpendapat bahwa satu majelis
menjcerminkan mayoritas dari kehendak rakyat karena biasanya dipilih secara
langsung oleh masyarakat. Prosedur pengambilan keputusan juga dapat berjalan
Kedua adalah sistem dua kamar atau bikameral, adalah terdapat dua
majelis dalam lembaganya. Para penganut sistem dua majelis yakin bahwa
kekuasaan sistem majelis perlu dibatasi karena member peluang untuk
menyalahgunakan wewenang itu, Anggota-anggotanya mudah dipengaruhi oleh
fluktuasi situasi politik, karena dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem
bikameral, senat (untuk contoh kasus di Amerika Serikat) sedikit banyak dapat
menetralisir kecenderungan itu melalui pembahasan tambahan yang lebih
moderat. Alasan lainnya adalah sistem bicameral memberi kesempatan kepada
provinsi atau negara bagian untuk memajukan kepentingan-kepentingannya, yang
khusus tambahan biasanya disusun sedemikian rupa sehingga wewenangnya
kurang daripada badan yang mewakili rakyat.
Menurut Austin Ranney, dua pertiga negara demokrasi modern
menggunakan sistem dua kamar dan sepertiga lainnya menggunakan sistem satu
kamar.34
Jimly Asshiddiqie memaparkan, ada dua alasan utama yang sering
digunakan dalam menerapkan dalam menerapkan sistem bikameral35
a.Adanya kebutuhan untuk keseimbangan yang lebih stabil antara pihak
eksekutif dan legislatif
, yaitu:
b.Keinginan untuk menjalankan sistem pemerintahan benar-benar efisien
dan setidaknya lebih lancar.
34
Darmawan, Op.Cit., hal. 80
35
B. Fungsi dan Wewenang Legislatif
Muchtar Pakpahan membagi fungsi DPR secara garis besar kedalam tiga
fungsi yaitu36
a. Fungsi legislasi (legislative function), yaitu fungsi dalam pembuatan
undang-undang. Fungsi legislasi merupakan perwujudan dari
kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Dalam negara hukum, setiap penyelenggaraan negara dan
pemerintahan, baik berupa kebijakan maupun tindakan, harus dilakukan
berdasarkan aturan hukum. Setiap kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga atau pejabat publik bersumber pada aturan hukum, dan harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum. ,
37
b. Fungsi anggaran (budgeting function), yang dilaksanakan untuk
membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan, terhadap Rancangan Undang-Undang APBN yang
diajukan oleh presiden. APBN merupakan dokumen yang berisi
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam waktu satu tahun
serta alokasi anggaran yang akan dibelanjakandan diperoleh sebagai
penerimaan negara. Walaupun RAPBN diajukan oleh presiden, tetapi
juga meliputi program dan anggaran yang dikelola oleh cabang
kekuasaan yang lain, termasuk legislatif dan yudikatif. Melalui Fungsi legislasi dapat
dikatakan merupakan fungsi utama dari lembaga perwakilan. Melalui
fungsi tersebut, para wakil rakyat menentukan bagaimana kehidupan
berbangsa dan bernegara dijalankan sesuai dengan konstitusi.
36
Muchtar Pakapahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan , 1994, hal. 18
37
pembahasan APBN, anggota legislatif ikut menentukan dan menjaga
agar setiap lembaga dan instansi benar-benar diarahkan untuk
kepentingan rakyat sesuai dengan amanat dan aspirasi rakyat yang
diwakili.
c. Fungsi pengawasan (controlling function). Pengawasan yang dilakukan
adalah terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN, dari sudut
politik ketatanegaraan, fungsi pengawasan adalah untuk menjaga agar
tidak terjadi konsentrasi kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Fungsi pengawasan diperlukan untuk menjamin berjalannya prinsip
saling mengawasi dan mengimbangi antarcabang kekuasaan. Di sisi
lain, pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa undang-undang
dan APBN telah dibuat DPR dan presiden benar-benar dilaksanakan
dengan baik oleh semua lembaga negara dan instansi pemerintahan.
Dengan demikian pelaksanaan pengawasan DPR tidak selalu berarti
berhadap-hadapan dengan pemerintah, khususnya presiden.
Pengawasan DPR juga harus dilihat sebagai upaya bersama untuk
memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan benar-benar untuk
kepentingan rakyat sesuai dengan aturan hukum yang ditetapkan.
Fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui:38
a. Hak bertanya, yaitu hak yang dimiliki oleh parlemen untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada eksekutif mengenai suatu
masalah.
38
b. Hak interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pihak
eksekutif mengenai suatu kebijakan di suatu bidang. Eksekutif wajib
untuk memberikan penjelasan dalam sidang pleno yang mana
dibahas oleh anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara apakah
keterangan tersebut memuaskan atau tidak. Interpelasi dapat
dijadikan sebagai batu loncatan untuk menuju mosi tidak percaya
kepada eksekutif (pemerintah).
c. Hak angket, yaitu hak anggota legislatif untuk mengadakan
penyelidikan sendiri. Dalam hal ini legislatif dapat membentuk
panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikan kepada anggota
legislatif lainnya yang selanjutnya merumuskan pendapatnya
mengenai suatu masalah dengan harapan mendapat perhatian dari
pemerintah.
d. Mosi tidak percaya, yaitu hak yang paling ampuh. Jika lembaga
legislatif menerima mosi tidak percaya, maka dalam sistem
pemerintahan, kabinet harus mengundurkan diri dan dapat terjadi
krisis kabinet.
Di samping ketiga fungsi yang dikemukakan Muchtar Pakpahan, Miriam
Budiardjo mempunyai beberapa fungsi lainnya, yaitu fungsi edukasi dalam
konteks sebagai fórum kerja sama antara berbagai golongan dan juga fungsi
rekruitmen politik.39
39
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta, Pustaka Gramedia Utama, 2008, hal. 323.
Menurut B.N. Marbun, ada empat fungsi utama legislatif,
pertama fungsi legislasi atau pembuat undang-undang, kedua fungsi kontrol atau
persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta
keempat penampung dan penyalur aspirasi masyarakat.40
1.7.Metode Penelitian
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah dengan :
1.7.1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat
diartikan pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang
didapat dari apa yang diamati.41
Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian ini diajukan untuk mempelajari
kasus atau fenomena yang terjadi pada lembaga legislatif sebagai salah satu unsur
pemerintah yang mewakili aspirasi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Penelitian deskriptif digunakan untuk
menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang diteliti dan berusaha untuk
memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang diteliti dan
yang menjadi pokok permasalahan.
1.7.2. Jenis data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Penelitian ini berusaha menggambarkan perkembangan legislatif dalam
sistem pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama, Orde Baru, Reformasi
sampai pada saat ini sesuai dan sesuai dengan perubahan UUD 1945. Selain itu,
penelitian kualitatif deskriptif memberikan gambaran yang sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, hubungan dan dampak dari penelitian yang diteliti.
40
B.N Marbun, DPR RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Edisi Revisi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 29.
41
1.7.3. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data dengan menggunakan teknik
penelitian kepustakaan (library research). Sumber-sumber data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui
berbagai sumber penerbitan yang antara lain dari berbagai buku, dokumen ,
tulisan-tulisan ilmiah, surat kabar, internet.
1.7.4. Teknik Analisa data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
dan deskriptif komparatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara melihat
beberapa variabel yang berhubungan dengan inti permasalahan penelitian ini.
Analisis dekriptis komparatif dilakukan untuk menemukan persamaan dan
perbedaan suatu variabel dalam waktu berbeda.
1.8.Sistematika Penulisan Penelitian
Susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan dan pengantar dari
keseluruhan skripsi. Pada bab ini akan dijelaskan dan
diuraikan tentang latar belakang penulisan, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika
BAB II : LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Bab ini membahas tentang perkembangan lembaga
legislatif muncul di Indonesia sebelum dilakukan
amandemen UUD 1945.
BAB III : LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA SETELAH AMANDEMEN UUD 1945
Dalam bab ketiga akan membahas bagaimana dan apa saja
perubahan yang terjadi dalam lembaga legislatif setelah
terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
BAB IV : FUNGSI LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA DALAM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dalam bab ini penulis akan membahas perbedaan fungsi
yang terjadi dalam legislatif setelah adanya amandemen
UUD 1945 dan menganalisis dampak yang terjadi pada
legislatif dan hubungannya terhadap lembaga lainnya
dengan menggunakan teori yang telah dipaparkan di bab
sebelumnya.
BAB V : PENUTUP
Bab kelima adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi
yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
BAB II
LEMBAGA LEGISLATIF INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
2.3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Pembahasan mengenai badan legislatif di Indonesia dalam masa
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 akan diawali dengan membahas Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) terlebih dahulu. Lembaga MPR hanya ada di
Indonesia, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1, 2, dan
3. Yang membedakan lembaga ini dengan lembaga legislatif lainnya adalah
anggota-anggotanya yang terdiri dari anggota DPR RI ditambah dengan
utusan-utusan daerah dari setiap provinsi di Indonesia.42
Sebelum terbentuk MPR, seperti diketahui UUD 1945 berlaku sejak
tanggal 18 Agustus 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Ketentuan UUD 1945 yang terkait dengan keberadaan MPR
terdapat dalam rumusan Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, dan Pasal 3.
43
Akan tetapi,
ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak dilaksanakan sepenuhnya. Melihat
kenyataan tersebut, beberapa lembaga negara yang sudah diatur dalam beberapa
Pasal UUD 195 belum dapat dibentuk termasuk di dalamnya adalah MPR. Salah
satu jalan keluar yang berhasil dirumuskan oleh PPKI adalah ditetapkannya Pasal
IV Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi:44
42
Drs. H. Inu Kencana Syafie, M.Si.,dkk, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2002, hal.53.
43
A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada 2004, hal. 37.
44
Sebelum Majelis Permusyawaratan Raktarm Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional
Adanya ketentuan dalam Aturan Peralihan memang dibutuhkan mengingat
Indonesia masih berada pada zaman revolusi yang segala sesuatunya masih
bersifat darurat sehingga tidak ada ketentuan yang mengatur pembentukan
lembaga legislatif. Dijalankan. Dengan berdasarkan pasal tersebut, maka seluruh
kegiatan legislatif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). KNIP dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29
Agustus 1945 dengan beranggotakan sekitar 60 orang dan kemudian berkembang
menjadi 539 orang pada tahun 1949.45
Tugas dan wewenang KNP dirumuskan dan ditetapkan oleh PPKI pada
tanggal 22 Agustus 1945. Secara rinci PPKI merumuskan tugas KNIP sebagai
berikut:
46
a. Menyatakan kemauan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa
yang merdeka.
b. Mempersatukan rakyat dari segala tempat di seluruh Indonesia,
persatuan kebangsaan yang bulat dan erat
c. Membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan uum.
d. Membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita bangsa
Indonesia dan di daerah untuk kepentingan umum.
e. Komite Nasional Pusat memipin dan member petunjuk kepada Komite
Seiring perkembangannya, fungsi dan wewenang KNIP menjadi lebih luas
dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X.47 Maklumat Wakil
Presiden menjadikan KNP semakin kuat karena memiliki tugas dan wewenang
yang besar. Isi Maklumat Wakil Presiden Nomor X adalah sebagai berikut48
a. Sebelum terbentuk MPR dan DPR, KNP diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
:
b. Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari KNP
dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang anggotanya dipilih dari dan
oleh anggota KNP dan bertanggung jawab kepada KNP.
Mengingat tugas dan wewenangnya yang ikut menetapkan GBHN, maka
KNP dapat disebut sebagai “embrio” MPR karena memiliki tugas dan wewenang
yang kemudian menjadi tugas dan wewenang MPR sesuai Pasal 3 UUD 1945.
Namun sejak berlakunya UUD 1945, Indonesia memusatkan kekuatannya untuk
mempertahankan dan membela kemerdekaannya, sehingga UUD 1945 belum
dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan KNIP kemudian berhenti setelah
dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959.49
2.3.1.Konstituante masa Konstitusi RIS dan UUD 1950 (1949-1959)
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah diadakan Konferensi
Meja Bundar karena Belanda masih berusaha untuk menduduki beberapa wilayah
Indonesia. Status Konstitusi RIS masih bersifat sementara sampai disusunnya
konstitusi yang permanen. Terkait dengan lembaga permusyawaratan rakyat pada
masa itu, dalam konstitusi RIS dikenal lembaga Konstituante yang memiliki tugas
dan wewenang MPR yaitu menetapkan UUD. Sistem pemerintahan Konstitusi
RIS adalah parlementer dan pemegang kedaulatan menurut Konstitusi RIS
Lembaga Konstituante merupakan gabungan dari DPR dan Senat.50 Kondisi
Negara RIS yang berada di bawah tekanan Belanda menyebabkan penolakan dan
gugatan di beberapa daerah yang mengakibatkan pembubaran Negara RIS
menjadi Negara Kesatuan. Konstitusi RIS juga tidak berlaku lagi diganti
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.51
UUDS mengatur lembaga permusyawaratan dengan nama yang sama
dengan Konstitusi RIS yaitu Konstituante. Tugas Konstituante diatur dalam Pasal
134 UUDS 1950 yang isinya sama dengan Pasal 187 Konstitusi RIS. Anggota
Konstituante dipilih oleh rakyat dengan ketentuan seorang anggota mewakili 150
ribu jiwa penduduk.52 Pada tahun 1955 diselenggarakan pemilu untuk pertama
kali dalam sejarah Indonesia. Jumlah seluruh anggota Konstituante yang terpilih
adalah 514 orang dengan tambahan 30 orang yang mewakili golongan minoritas
(Cina, Eropa, dan wilayah yang masih dikuasai Belanda yaitu Irian Jaya).
Anggota Konstituante dilantik pada tanggal 10 November 1956 dengan masa
kerja selama hampir tiga tahun. Selama masa kerjanya, Konstituante telah
mengadakan tujuh kali sidang pleno, dua di antaranya adalah rapat alat
kelengkapan Konstituante untuk membahas rancangan Undang-Undang Dasar.53
50
Samsul Wahidin, MPR RI dari Masa ke Masa, Jakarta, Bina Aksara, 1986, Hal. 93.
51
Konstituante menghasilkan 12 keputusan tentang materi-materi konstitusi dengan
Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.54
2.3.2.MPRS masa Demokrasi Terpimpin pada tahun 1960-1965
Bersamaan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden,
UUD 1945 diberlakukan kembali dan kemudian dibentuk MPR Sementara
(MPRS) dan DPA Sementara.
MPRS dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959 sebagai
pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Julli 1959 yang menetapkan empat hal yaitu,
pertama pembubaran konstituante, kedua menetapkan Undang-Undang Dasar
1945 agar berlaku kembali, ketiga pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara, dan keempat pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.55
Susunan keanggotaan Majelis ditetapkan dengan Peraturan Presiden
Nomor 12 tahun 1959 dengan ketentuan anggota DPR Gotong Royong sebanyak
94 orang dan utusan Golongan Karya sebanyak 232 orang56
Golongan Karya pada masa ini bukanlah Golongan Karya yang dibentuk pada tahun 1964 dan menjadi peserta Pemilu 1971 dst dan juga bukan Partai Golkar yang menjadi peserta Pemilu 1999 sampai saat ini. Budiardjo, Op. Cit., hal. 202.
. Pimpinan MPRS
bersifat melembaga tetapi tidak terlepas dari pengaruh presiden karena pimpinan
diberi predikat menteri yang berarti pembantu Presiden. Menteri pada masa ini
diartikan sebagai pembantu presiden dan Ketua MPR sendiri berpredikat sebagai
Wakil Perdana Menteri. Cara mengambil keputusan pada Sidang Umum MPR
adalah berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan kemungkinan
campur tangan Presiden sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No.
VIII/MPRS/1965. Dalam ketetapan ini disebutkan bahwa apabila setelah
diserahkan kepada Pimpinan MPRS. Dengan demikian tidak ada kemungkinan
untuk mengambil keputusan dengan persetujuan suara terbanyak.57
MPRS tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya seperti
dinyatakan UUD 1945 karena anggota MPRS yang berasal dari DPR tidak dipilih
langsung oleh rakyat, tetapi diangkat Presiden. MPRS hanya dapat menetapkan
GBHN tetapi tidak dapat mengubah UUD 1945.
58
MPRS pada masa Demokrasi Terpimpin telah melaksanakan sidang
sebanyak tiga kali. Dalam tiga kali Sidang Umum telah dihasilkan delapan
ketetapan, yaitu Ketetapan Nomor I sampai dengan VIII dengan perincian dua
ketetapan pada Sidang Umum I ( tanggal 19 November-3 Desember 1960), dua
ketetapan pada Sidang Umum II (tanggal 15-22 Mei 1963), dan empat ketetapan
pada Sidang Umum III (11-16 April 1965). Hal yang penting dalam ketetapan
tersebut adalah Ketetapan Nomor I/MPRS/1960 mengenai Manifesto Politik RI
sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Ketetapan Nomor
VIII/MPS/1965 perihal prinsip musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi
Terpimpin sebagai pedoman bagi lembaga permusyawaratan/perwakilan. Di
samping itu Majelis juga telah menghasilkan beberapa resolusi, keputusan, dan
nota.59
Terkait dengan MPR, MPRS menetapkan tugas dan wewenang MPR yang
diatur dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut60
a. Melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2))
:
b. Menetapkan/mengubah UUD (Pasal 3)
57
Ibid.
58
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977, hal. 229.
59
Ibid.
60
c. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
d. Memilih dan mengangkat Presiden maupun Wakil Presiden. (Pasal 6
dan Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara ayat
3).
2.1.2. MPRS masa Demokrasi Pancasila pada tahun 1966-1971
Keberadaan MPR pada awal periode ini masih bersifat sementara karena
susunan keanggotaannya masih belum mengacu pada UUD 1945. Hal tersebut
disebabkan belum terselenggarannya Pemilihan Umum. Banyak perubahan yang
terjadi pada susunan keanggotaan, di mana semua anggota MPRS yang terlibat
keanggotaan PKI dan yang dianggap pendukung Soeharto digantikan. Selain itu
diadakan penambahan anggota MPRS sehingga jumlahnya menjadi 828 orang61
(dua kali lipat jumlah anggota DPR Gotong Royong).62 Sidang Umum pada masa
Demokrasi Pancasila dilaksanakan sebanyak tiga kali dan Sidang Istimewa
dilaksanakan sekali. Perinciannya adalah sebagai berikut63
a. Sidang Umum IV, tanggal 20 Juni-5 Juli 1966 di Jakarta. Jumlah
anggotanya adalah 545 orang, terdiri atas 241 anggota DPR, DPD
sebanyak 110 orang, dan Golongan Karya sebanyak 194 orang. Karena
merupakan masa transisi dari Orde Baru, banyak anggota Majelis yang
mengalami pemecatan karena dianggap terlibat dalam Gerakan 30
September PKI. Sidang Umum IV diketuai oleh Jend. A. H. Nasution :
61
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 92/1968 yang ditetapkan pada tanggal 12 Maret 1968, di mana terjadi penggantian keanggotan MPR sejumlah 32 orang. Mohammad Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 346
62
Ibid, hal. 347.
63
dan menghasilkan 24 Ketetapan (Ketetapan Nomor IX sampai dengan
XXXII/MPRS/1966).
b. Sidang Umum V dilaksanakan pada tanggal 21-27 Maret 1968, dengan
jumlah anggota yang mengikuti adalah 828 orang. Sidang umum ini
menghasilkan delapan ketetapan (Ketetapan Nomor XXXVII sampai
dengan XLIV/MPRS/1968).
c. Sidang Istimewa dilaksanakan tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta
diikuti anggota sebanyak 660 orang dan menghasilkan empat ketetapan
(Ketetapan Nomor XXXIII sampai dengan XIIIVI/MPRS/1967).
Dalam mengadakan penambahan dan hal lain yang menyangkut MPRS,
melalui UU No. 10 tahun 1966, fungsi MPRS seperti fungsi MPR hasil pemilihan
umum sampai terbentuknya MPR yang bersifat permanen.64 Pimpinan MPR
bersifat melembaga tetapi terlepas dari pengaruh Presiden karena menurut
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1966 mengenai kedudukan MPR dan DPR
Gotong Royong Pasal 19, Pimpinan MPR tidak dapat dirangkap dengan
jabatan-jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Jaksa Agung, Ketua, Hakim-Hakim
Anggota Mahkamah Agung, Ketua dan Anggota BPK, Ketua dan Anggota DPA,
dan jabatan-jabatan lain.65 Faktor lainnya adalah semua fungsi lembaga negara
telah dikembalikan menurut posisi dan fungsi sebagaimana yang diatur dalam
UUD 1945. Dengan demikian kedudukan dan fungsi MPRS pada masa
Demokrasi Pancasila luas sekali.66
64
Yuhana, Op. Cit., hal. 82.
65
Ibid
66
Di samping fungsi yang bersifat protokoler, Pimpinan MPRS juga bertugas
memimpin dan mewakili MPRS, mengikuti dan mengawasi pelaksanaan
ketetapan-ketetapan MPRS. Oleh karena itu Pimpinan MPRS berhak
mengeluarkan keputusan-keputusan yang disebut Keputusan Pimpinan MPRS,
Instuksi Pimpinan MPRS, Memorandum Pimpinan MPRS, dan Nota Pimpinan
MPRS. Badan Pekerja MPRS juga bertugas untuk mengikuti dan mengawasi
pelaksanaan ketetapan MPRS sehingga dapat merupakan kompetitor DPR Gotong
Royong pada masa tersebut.67
Cara menentukan Pimpinan MPRS juga berbeda dengan masa
sebelumnya, yaitu dipilih dari antara anggota MPR itu sendiri. Cara mengambil
keputusan dalam majelis masa Demokrasi Pancasila sama dengan majelis
sebelumnya, yaitu musyawarah untuk mufakat tetapi tidak ada campur tangan
Presiden walaupun kemungkinan untuk mengambil keputusan berdasarkan
persetujuan suara terbanyak juga telah diatur dalam Ketetapan MPRS itu sendiri.68
MPRS ini bersidang 3 kali yaitu 2 kali Sidang Umum dan 1 kali
Sidang Istimewa. MPRS ini juga menghasilkan beberapa keputusan, keputusan
pimpinan dan nota pimpinan.69
67
Budiardjo, Op. Cit., hal. 347.
68
Ibid.
69