• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN OTON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ASPEK ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN OTON"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK-ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN OTONOMI DAERAH

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Hukum Pemerintah Daerah kelas E

Oleh:

Nanda Dwi Haryanto E0014288

FAKULTAS HUKUM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas yang berbentuk kepulauan, sehingga untuk mengatur antar daerah atau antar pulau dengan pemerintahan terpusat kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat membagi daerah di Indonesia sebagai daerah-daerah sendiri yang didalamnya terdapat pemerintahan yang berhak mengatur dan membangun daerah kekuasaannya sendiri dan pusat kekuasaannya berada di tangan Pemerintah Pusat. Hal ini dilakukan agar pembangunan di Indonesia lebih merata karena dilakukan tiap-tiap daerah dan tidak terpusat.

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan Daerah dalam pasal 18 UUD 1945 telah mengakui adanya keragaman dan hak asal-usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial,ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan/kewenangan dari pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom.1 Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan

bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil , dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Penjelasan Pasal 18 UUD 1945

(3)

meneragkan bahwa karena negara Indonesia adalah negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang juga berbentuk negara. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat administratif belaka, semuanya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan perwakilan daerah, karena daerah pun pemerintah akan bersendikan permusyawaratan.2

Otonomi daerah sebagaimana kita ketahui merupakan wewenang daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita lihat otonomi daerah merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas, seperti bagaimana kewenangan pemerintah pusat dalam mengatur suatu daerah karena dalam otonomi daerah, setiap daerah memiliki hak untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas tentang otonomi daerah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan sejarah pemerintah daerah di Indonesia? 2. Bagaimana kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat dalam

otonomi daerah?

3. Apa saja prinsip-prinsip yang terdapat dalam penyelenggaraan otonomi daerah?

4. Asas-asas apa saja yang ada dalam penyelenggaraan otonomi daerah? 5. Bagaimana prospek mendatang dalam menyelenggarakan otonomi daerah?

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Daerah di Indonesia

Sejarah perkembangan Pemerintahan Daerah di Indonesia pada masa penjajahan secara umum dapat dikategorikan dalam tiga fase, yakni masa penjajahan Belanda dengan dua fase, dan satu fase sisanya dalam masa penjajahan Jepang. Tujuh fase lainnya berada dalam masa pasca kemerdekaan, yang terbagi atas empat fase dalam masa orde lama, satu fase pada masa orde baru, dan dua fase terakhir dalam masa reformasi.

Fase pertama, berawal dari dikeluarkannya Decentralisatie Wet 1903 yang juga disebut ‘desentralisasi lama’ dalam masa penjajahan Belanda. Faktor pendorong dikeluarkannya UU ini adalah semakin beratnya beban Pemerintah Belanda dalam menjalankan etik politik karena penyelenggaraan pemerintahan secara sentralistis atas daerah yang sangat luas dan beraneka ragam kondisinya (Koesoeatmadja, 1978). Ciri utama kebijakan ini adalah terbukanya kemungkinan pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai keuangan sendiri yang diurus oleh sebuah raad. Daerah ini disebut sebagai locale resort. Sementara itu dewannya disebut locale raad yang terdiri atas Gewestelijke raad,

Platselijke raad, dan Gementeraad. Bagi daerah yang dianggap memenuhi syarat maka bersamaan dengan ordonantie pembentukannya maka dipisahkanlah sejumlah uang dari setiap tahun dari kas negara untuk diserahkan kepada daerah tersebut serta dibentuklah raad-nya. Pada umumnya, jabatan ketua raad dipegang oleh pejabat pusat yang menjadi kepala administratif. Para anggota locale raad

(5)

sepanjang belum diatur dalam perundang-undangan pusat. Pengawasan terhadap daerah dilakukan oleh Gouverneur-General Hindia Belanda dengan cara daerah wajib meminta pengesahan bagi keputusannya dan hak menunda sekaligus membatalkan keputusan daerah serta hak untuk mengatur hal-hal yang dilalaikan oleh locale raad.3

Fase kedua sesudah Perang Dunia I ditandai dengan munculnya ketidakpuasan atas penyelenggaraan desentralisasi lama tersebut karena dianggap terlalu sedikit dan terbatas maka keuangan dan kewenangan diserahkan kepada daerah. Masyarakat golongan Bumi-Putera dan Eropa menyuarakan ketidakpuasan tersebut. Akhirnya dikeluarkanlah pembaharuan dalam bentuk Wet op de Bestuurshervorming pada tahun 1922. Ciri kebijakan ini adalah pemberian hak otonomi yang lebih luas dan tegas kepada daerah otonom yang memungkinkan pembentukan daerah otonom yang lebih luas dari “Gewest” lama (karisidenan) dengan nama “Provincie” (provinsi), dan dapat dibentuk daerah otonom yang tingkatannya lebih rendah yakni regentschap (kabupaten) dan

staadsgemeente (kotapraja). Susunan pemerintah daerah pada umumnya terdiri dari tiga organ, yakni raad (dewan), college (menjalankan pemerintahan sehari-hari), dan kepala daerah (gouverneur, regent, burgemeester) yang merupakan kepala daerah administratif.4

Fase ketiga terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Jepang menerapkan pemerintahan militer dengan membagi wilayah Indonesia menjadi tiga bagian, yakni pemerintahan militer angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan Madura, serta berkedudukan di Bukittinggi untuk wilayah Sumatera, serta pemerintahan militer angkatan laut berkedudukan di Makassar untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat. Pada masa penjajahan Jepang, kedudukan provinsi dihapus dan diganti dengan Syuu (setingkat karesidenan) sebagai daerah tingkat teratas dan terpenting dalam pemerintahan daerah. Syuu membawahi Ken dan Si

dalam wilayahnya. Selain itu dibentuk Tokubetu Si yang mempunyai kedudukan

3 M. R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hlm. 130.

(6)

setingkat Syuu. Raad dan college dihapuskan dan wewenangnya sekaligus dijalankan oleh kepala daerah (Kentyoo dan Setyoo) sehingga membentuk sistem pemerintahan tunggal. Pelaksanaan pengawasan terhadap daerah otonom dilakukan oleh Gunseikan (Panglima Besar Militer Jepang).5

Fase keempat terjadi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia dengan dikeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1945 sebagai pelaksanaan atas pasal 18 UUD 1945. Pada prinsipnya, UU ini bertujuan untuk mengadakan penyeragaman di dalam pemerintah daerah seluruh Indonesia dan penyederhanaan jenjang pemerintahan sampai maksimum tiga tingkatan, yakni provinsi, kabupaten (kota besar), dan kota kecil. Tujuan lainnya adalah menghapuskan dualisme pemerintahan karena kepala daerah juga memiliki pemerintahan sendiri seperti pada masa penjajahan Belanda dan mengembalikannya kepada kedaulatan rakyat. Tujuan berikutnya adalah untuk memberikan hak otonomi dan medebewind

kepada badan pemerintahan daerah yang disusun secara demokratis.6

Fase kelima adalah masa berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1948 yang dianggap sebagai peraturan pelaksana Pasal 18 UUD 1945 yang bisa berlaku efektif. Ada tiga tingkatan daerah otonom yakni provinsi, kabupaten atau kota besar, dan desa atu kota kecil. Pemerintah daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Daerah otonom memiliki dua fungsi yakni mengatur dan mengurus otonominya. Maksud dari UU ini secara umum adalah untuk mengadakan penyeragaman pemerintahan daerah seluruh Indonesia, penghapusan sistem “sluitpost” (menutup kekurangan anggaran pemerintah daerah yang seluruhnya dibebankan kepada pemerintah pusat), dan kepala daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD serta berhak menangguhkan pelaksanaan keputusan DPRD dan DPD.7

Fase keenam terjadi setelah diberlakukanya UU Nomor 1 Tahun 1957 yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 dan 132 UUDS 1950. Ada tiga tingkatan daerah otonom, yakni Daerah Tingkat I (provinsi, termasuk Kotapraja Jakarta Raya), Daerah Tingkat II (kabupaten/kota besar), Daerah Tingkat III

(7)

(desa/kota kecil). Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD. Perubahan penting dalam UU ini adalah dihapuskannya dualisme pemerintahan daerah dengan ketentuan kepala daerah hanya menjalankan tugas-tugas yang menjadi urusn daerah otonomnya dengan tugas pengawasan yang selama ini diembannya diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri.8

Fase ketujuh adalah diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 1965 yang dipicu oleh lemahnya posisi Kepala Daerah dalam UU Nomor 1/1957, terutama berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 1959. Dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 1965 merupakan pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, dengan tetap ada tiga tingkatan daerah otonom namun berubah menjadi provinsi/kotaraya, kabupaten/kotamadya, dan kecamatan/kotapraja. Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri serta memegang kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan daerah. DPRD menetapkan peraturan daerah yang harus ditandatangani oleh kepala daerah. Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan dengan pemerintah daerah, mengadakan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah, dan menjalankan perintah pemerintah pusat. Sebagai alat Pemerintah Daerah, ia memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintah daerah di bidang ekonomi dan medebewind.9

Fase kedelapan dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang diganti oleh Orde Baru. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No. 18/1965 relatif baru diberlakukan. Ada beberapa faktor yang mendorong Orde Baru mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1974, yakni sejak awal ia menyusun strategi untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan stabilitas politik dengan formula setengah resmi dalam strategi pembangunan berupa para ahli ekonomi sebagai pembuat kebijakan, ABRI sebagai stabilisator, dan birokrat sipil sebagai pelaksana. UU Nomor 5/1974 ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan

(8)

medebewind untuk mencapai prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, bukan lagi otonomi nyata yang seluas-luasnya. Daerah otonom lalu disederhanakan menjadi dua tingkatan, yakni Daerah Tingkat I (setingkat provinsi) dan Daerah Tingkat II (setingkat kabupaten/kotamadya).10

Fase kesembilan pemerintahan daerah di Indonesia terjadi dalam era reformasi yang ditandai dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan terjadi beberapa perubahan mendasar yang terkandung dalam UU ini. Penyerahan urusan yang semula mempergunakan prinsip ultra vires doctrine berubah menjadi

general competence. Selain itu, UU ini lebih memberdayakan DPRD dengan tiga fungsi, yakni pengaturan, penganggaran, dan pengawasan. Kepala daerah kini tidak lagi berfungsi ganda sebagai alat pemerintah pusat melainkan hanya sebagai perangkat pemerintah daerah, ia dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD dalam tiga jenis pertanggung jawaban setiap taun anggaran, mengenai hal tertentu atas permintaan DPRD dan pada masa akhir jabatan. Kini DPRD memiliki hak untuk mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Perbedaannya dalam fase pemerintahan daerah ini adalah berubahnya jenis bantuan keuangan pemerintah pusat dari bentuk spesific grant menjadi block grant.11

Fase kesepuluh melihat beberapa kelemahan yang terjadi dalam fase kesembilan, untuk itu UU Nomor 22 Tahun 1999 akhirnya disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan penting yang terkandung dalam kebijakan baru ini menyangkut semangat memasukkan kembali pertimbangan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang partisipatif. Perubahan penting lainnya adalah penentuan kepala daerah yang dilakukan melalui cara pemilihan langsung oleh masyarakat tidak lagi melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD. Selain itu, pembagian urusan kepada provinsi kini lebih dipertegas daripada yang diatur dalam UU sebelumnya.12

B. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Dari perspektif hubungan struktur kelembagaan pemerintahan, implikasi politik dari kewenangan urusan pemerintahan adalah adanya divergensi atau

(9)

pembagian urusan, yang kemudian setiap urusan dibagi ini menjadi kewenangan dari setiap struktur pemerintahan. Filosofi yang mendasari diperlukan adanya pembagian urusan pemerintahan adalah karenaa wilayah yang terlalu luas untuk diurus oleh Pemerintah Pusat saja; oleh karena itu diperlukan desentralisasi dengan pembentukan daerah otonom dan pembagian urusan.13

Eksistensi pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan nasional, dalam konteks kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Sebagaimana dalam Pasal 18 (a) UUD 1945 yang memberikan makna bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman serta kesejahteraan masyarakat.14

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembagian urusan pemeriintahan diatur secara rinci (pasal 10-18)

1. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menurut Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal, agama)

2. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan.

3. Daerah yang memiliki laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya wilayah laut (pasal 18 ayat (1)).15

Distribusi urusan pemerintahan di antara tingkat pemerintahan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu:

1. Eksternalitas (spill-over)

Siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi

13J. Kaloh, Op. Cit., hlm. 168. 14 Ibid.

(10)

urusan kabupaten/kota. Apabila regional, menjadi urusan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan pusat.

2. Akuntanbilitas

Yang berwenang mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak tersebut (sesuai dengan prinsip demokrassi). Pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian dari urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntanbilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. 3. Efisiensi

Otonomi daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy. Efisiensi dapat dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik. Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan yang lebih optimal. Pendekatan ini dengan pertimbangan bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan dalam suatu strata pemerintahan, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk menangani urusan pemeritahan yang dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat diukur dari proses yang lebih cepat, tepat dan mura, serta manfaatnya lebih besar, luas dan dengan resiko yang minimal.16

Bagian urusan pemerintahan yang dilaksanakan masing-masing tingkatan pemerintahan berdasarkan tiga kriteria tadi adalah sebagai berikut:

1. Pusat berwenang membuat norma, standar, prosedur, keuangan, supervisi, fasilitas, dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional. 2. Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan

dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota)

3. Kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu kabupaten/kota)17

C. Prinsip-Prinsip Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

(11)

Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertagung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Kewenangan otonomi luas adalah kekuasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu, kekuasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepala Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya.18

Atas dasar pemikiran diatas, berdasarkan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah:

(12)

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas. 4. Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap

terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.

7. Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.19

Perbandingan prinsip otonomi yang dianut oleh Indonesia: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Otonomi nyata dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum Romawi I huruf e).

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum angka 1 huruf h).

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

(13)

Otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini (Penjelasan Umum angka 1 huruf b).20

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi daerah, yaitu:

a. Prinsip otonomi seluas-luasnya, artinya daerah berwenang mengatur semua urusan pemerintahan yang ditetapkan Undang-undang (misalnya selain bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama).

b. Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk menangani urusan pemerintahan, berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembangsesuai potensi serta kekhasan daerah.

Prinsip otonomi bertanggung jawab adalah otonomi yang penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi. 21

D. Asas-Asas Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Pada dasarnya prinsip penyelenggaraan otonomi daerah mencakup: 1. Asas desentralisasi

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).22

Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan

20B.N. Marbun, Op. cit., hlm. 59-60

21Dewi Aniaty, Aviani Santi, dan Dadang Sundawa, Pendidikan Kewarganegaraan 3 SMP dan MTs Kelas IX, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.42-43

(14)

pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.23

2. Asas dekonsentrasi

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 , dekonsentrasi adalah sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah/dan atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu.24

Tanggung jawab tetap ada pada Peerintah Pusat. Baik perencanaannya maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Unsure pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Latar belakang diadakannya system dekonsentralisasi ialah bahwa tidak semua urusan Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi.25

3. Asas tugas pembantuan

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari kebupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.26

Misalnya, Kotamdya menarik pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan yang sebenarnya menjadi hak da n urusan Pemerintah Pusat. Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, jelaslah bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administrasi.

Daerah otonom atau daerah swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah dibentuk berdasarkan asas desengtralisasi.

23 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op. cit, hlm.3 24J. Kaloh, Op. cit, hlm. 259.

(15)

Wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah. Wilayah ini dibentuk berdasarkan asas dekonsentralisasi.

Syarat-syarat dibentuknya suatu daerah, antara lain:

a. Mampu membiayai kehidupannya (kemampuan ekonomi); b. Jumlah penduduk yang ditentukan;

c. Luas daerah;

d. Memperhatikan pertahanan dan keamanan nasional; e. Pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa; f. Dapat melaksanakan pembangunan untuk daerahnya.27

E. Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang

Kebijakan otonomi daerah pada hakikatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah. Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan otonomi daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari otonomi daerah tersebut. Untuk dapat mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Aspek ideologi, sudah jelas bahwa Pancasila merupakan daar falsafah negara dan sekaligus ideologi nasional. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui otonomi daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.28

27 S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op. cit, hlm.4

(16)

Aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan pusat kepada daerah. Pengakuan pusat terhadap eksistensi daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara pusat dan daerah. Selaanjutnya kondisi tersebut akan mendorong tumbuhnya dukungan daerah terhadap pusat dimana akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan otonomi daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di daerah.29

Aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai kondisi, kebutuhan, dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional, maupun global.30

Aspek sosial budaya, kebijakan otonomi daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yag terkandung di daerah. Pengakuan pusat terhadap keberagaman daerah merupakan suatu nilai penting bagi eksistensi daerah. Dengan pengakuan tersebut daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.31

(17)

Aspek pertahanan keamanan, kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada masing-masing daerah untuk memantapkan kondisi ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada daerah akan menumbuhkan kepercayaan daerah terhadap pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan daerah terhadap pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.32

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan otonomi daerah mempunyai prospek yang sangat bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.33

Namun demikian propek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk mewujudkan prospek otonomi daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu:

1. Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan otonomi daerah.

2. Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan otonomi daerah.

3. Kepercayaan dan dukunngan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam mewujudkan cita-cita otonomi daerah.34

32 Ibid. 33 Ibid.

(18)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Fase terbentuknya otonomi daerah dimulai pada fase keenam, dimulai dengan adanya tiga tingkatan daerah otonom. Selanjutnya pada masa orde baru dirubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 daerah otonom disederhanakan menjadi 2 tingkatan dan prinsipnya menjadi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembagian urusan pemerintahan diatur secara rinci (pasal 10-18):

a. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menurut Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal, agama)

b. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan.

c. Daerah yang memiliki laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya wilayah laut (pasal 18 ayat (1)).

3. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi daerah, yaitu:

a. Prinsip otonomi seluas-luasnya, artinya daerah berwenang mengatur semua urusan pemerintahan yang ditetapkan Undang-undang (misalnya selain bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta agama).

(19)

senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembangsesuai potensi serta kekhasan daerah.

4. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah: 1. Asas desentralisasi

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Asas dekonsentrasi

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 , dekonsentrasi adalah sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah/dan atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu

3. Asas tugas pembantuan

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari kebupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

4. Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan otonomi daerah mempunyai prospek yang sangat bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

B. Saran

(20)
(21)

DAFTAR PUSTAKA

Aniaty, Dewi, Aviani Santi dan Dadang Sundawa. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan 3 SMP dan MTS Kelas IX. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya.

Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin. 2004. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil. 2002. Pemerintahan Daerah di Indonesia, Hukum Administrasi Daerah 1903-2001. Jakarta: Sinar Grafika.

J. Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Putra, I Gede Wisnu Satria Chandra. 2013. Prinsip Otonomi Daerah. http://oto-watcher.blogspot.co.id/2013/06/prinsip-otonomi-daerah.html. Diakses pada Jum’at 1 April 2016 pukul 19.06.

Suryono, Hasan, dkk. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Surakarta: UNS Press.

Referensi

Dokumen terkait

Percobaan pertama yaitu perlakuan berupa pemberian ekstrak segar teripang yang baru diformulasikan pada media pemeliharaan larva udang galah dan percobaan kedua yaitu

Mitra yang dilibatkan pada Ipteks bagi masyarakat (IbM) berdomisili di Kelurahan yang berbeda yakni Kelompok Sumber Jaya berdomisili di Kelurahan/desa Cempaka

Sikap ke hati-hatian salah satu prinsip untuk memenuhi kelangsungan agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan atau seperti kecurangan, kekeliruan, maka di dalam

Merujuk dari hasil validasi oleh validator, respon siswa, guru serta observasi di dalam kegiatan pembelajaran, modul penggunaan alat ukur yang dihasilkan pada penelitian ini

Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B yang salah satu penularannya dapat melalui darah. Deteksi virus Hepatitis B dalam tubuh pasien dapat

Pada fase ini diterapkan alat analisis dalam bentuk peta kendali MEWMA (Multivariate Exponential Weighted Moving Avarage) dan grafik berupa pareto chart dan diagram

Menurut Arikunto (2008: 16) dalam penelitian secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan

Berdasarkan pengukuran dengan alat ukur PQA ataupun melalui hasil simulasi ETAP dapat diketahui bahwa THD arus lebih tinggi dibandingkan dengan besar THD