• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Komoditas Unggulan Di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Komoditas Unggulan Di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI WILAYAH

PENGEMBANGAN TUMPANG KABUPATEN MALANG

SHINTA WIDYANING CIPTA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SHINTA WIDYANING CIPTA. Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan DJUARA P. LUBIS

Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi untuk pengembangan sektor pertanian. Mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Malang mencapai 36,40% berada di sektor pertanian (BPS Kabupaten Malang, 2014). Besarnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tersebut mengindikasikan pembangunan di sektor pertanian merupakan pilar utama keberhasilan pembangunan daerah di Kabupaten Malang. Peranan sektor pertanian terhadap kontribusi PDRB di Kabupaten Malang mencapai 35,04%. Hal inilah yang menjadi pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Malang untuk menggerakkan sektor pertanian pedesaan guna peningkatan perekonomian regional.

Tujuan utama penelitian yaitu menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang. Tujuan antara untuk mencapai tujuan antara yaitu : (1) Mengidentifikasi komoditas unggulan; (2) Menganalisis preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan; (3) Menganalisis hirarki wilayah; (4) Menganalisis lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan.

Lokasi penelitian berada di Wilayah Pengembangan Tumpang yang mencakup Kecamatan Tumpang, Jabung, Wajak dan Poncokusumo. Berdasarkan arahan pemanfaatan ruang Wilayah Pengembangan Tumpang diarahkan untuk pertanian, wisata dan industri. Di Wilayah Pengembangan Tumpang terdapat Kawasan Agropolitan yang berada di Kecamatan Poncokusumo.

Penelitian menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara/kuesioner di lapangan. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi terkait Penentuan responden petani, para pakar, dan stakeholders menggunakan metode purposive sampling. Metode analisis yang digunakan adalah analisis ketersediaan dan kesesuaian lahan, Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA), skala likert, skalogram, AHP-TOPSIS dan AHP-SWOT.

(5)

rataan luas panen, persentase perkembangan harga, persentase tingkat konsumsi dan preferensi petani dengan menggunakan MCDM-TOPSIS.

Analisis ketersediaan sarana dan prasarana pertanian penunjang pengembangan komoditas unggulan yang diperoleh dari hasil rataan Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) di Wilayah Pengembangan Tumpang. Wilayah yang tergolong hirarki I adalah Tumpang dan wilayah yang tergolong hirarki III mencakup Poncokusumo, Wajak dan Jabung.

Hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual untuk komoditas padi memiliki kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) seluas 5.340 ha (43%), kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 1.680 ha (13%), kelas lahan N (tidak sesuai) seluas 5.476 ha (44%). Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas jagung yaitu S3(sesuai marjinal) seluas 7.018 ha (56%) dan kelas N (tidak sesuai) seluas 5.478 ha (44%). Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas apel kelas S2 (cukup sesuai) seluas 2.200 ha (18%), kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 4.532 ha (36%) dan kelas N (tidak sesuai) seluas 5.762 ha (46%). Kelas kesesuaian lahan untuk sawi kelas S1 (sesuai) seluas 124 ha (1%), S2 (cukup sesuai) seluas 5.178 ha (41%), kelas S3 (sesuai marjinal) seluas 1.176 ha (14%) dan sisanya kelas N (tidak sesuai) seluas 5.478 ha (44%). Kelas kesesuaian lahan untuk komoditas kubis kelas S1 (sesuai) seluas 3.523 ha (28%), S2 (cukup sesuai) seluas 1.141 ha (9%), S3 (sesuai marjinal) seluas 5.391 ha (43%) dan sisanya kelas N (tidak sesuai) seluas 2.439 ha (20%). Faktor pembatas kelas kesesuaian lahan adalah lereng (e), ketersediaan air (w) dan media perakaran (r).

Arahan pengembangan komoditas unggulan apel di Kecamatan Poncokusumo seluas 682 ha dan komoditas kubis seluas 3.539 ha. Pengembangan komoditas unggulan sawi dan jagung di Kecamatan Wajak seluas 877 ha dan 393 ha. Lahan pengembangan komoditas unggulan Kecamatan Jabung yaitu sawi di seluas 3 ha dan padi seluas 1.312 ha. Pengembangan komoditas unggulan padi dan sawi di Kecamatan Tumpang seluas 1.516 ha dan 10 ha.

Prioritas lokasi pengembangan komoditas unggulan dibagi empat prioritas wilayah yaitu: prioritas 1 Kecamatan Poncokusumo seluas 4.221 ha, prioritas 2 Kecamatan Wajak seluas 1.270 ha prioritas 3 Kecamatan Tumpang seluas 1.526 ha dan prioritas 4 Kecamatan Jabung seluas 1.315 ha. Hasil analisis A’WOT menunjukkan terdapat delapan prioritas strategi pengembangan komoditas unggulan yang dapat diterapkan Pemerintah Kabupaten Malang.

(6)

SUMMARY

SHINTA WIDYANING CIPTA. The Development of Leading Commodities in Tumpang Development Area, Malang Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and DJUARA P. LUBIS

Malang Regency is one of regencies in East Java Province which has the potency for agricultural development. According to the BPS of Malang Regency (2014), 36,40% of local communities work in agriculture sector. The high number of labor absorption in agricultural sector indicates the development of agriculture as main pillar of regional development accomplishment in Malang Regency. Share of agricultural sector in Malang Regency reaches 35.04%. These conditions become an input for government to develop rural agricultural sector in order to increase regional economy

The main objective of the research is compose development direction of leading commodities in Tumpang Development Area, Malang Regency. The specifics objectives are: (1) to identify the leading commodities; (2) to analyze farmer preference towards leading commodities farming; (3) to analyze the region hierarchy; (4) to analyze potential land for development of leading commodities.

The research location is in Tumpang Development Area i.e. Tumpang, Jabung, Wajak and Poncokusumo districts. Based on the spatial use direction, Tumpang Development Area is directed to agriculture, tourism and industry activities. Besides, there is Agropolitan Area in Tumpang Development Area, specifically in Poncokusumo district.

Primary data used is obtained through interviews/questionnaires. Furthermore, secondary data obtained from the relevant agencies i.e. farmers, experts, and stakeholders. A purposive sampling method is used to get respondents. Analysis data used are land availability and suitability analysis, Location Quotient (LQ) and Shift Share Analysis (SSA), likert scale, schallogram, and AHP-TOPSIS and AHP – SWOT.

The results showed that leading commodities in Tumpang Development Area are rice, corn, sweet potato, potatoes, garlic, long bean, cucumber, chili, eggplant, mustard greens, kale, spinach, beans, tomatoes, chili large, cabbage, beans, carrots and apples. Preferences farmers illustrates the interest of farmers on the cultivation of agricultural commodities. Some attribute preferences of farmers in the cultivation of agricultural basic commodities among other advantages, risks, control technology, production costs, suitability of land, infrastructure and ease of marketing. Percentage of leading commodity crops, horticulture and fruit each got a positive responses of 74%, 76% and 72%. This percentage indicates the number of respondents who have a positive responses against the cultivation of the leading commodities. Most attributes get positive response of farmers is the ease of marketing and profit expectations.

(7)

Analysis of the availability of agricultural infrastructure supporting development of leading commodities are obtained from the average of district Development Index (IPK) in the Tumpang Development Area. The territory is located on the hierarchy I is Tumpang and hirarchy III includes Poncokusumo, Wajak and Jabung districts.

The results show that Tumpang Development Area has suitable and available land divide into three classes actual for paddy have suitability class S2 (Moderately Suitable) of 5.340 ha (43%), the class S3 (Marginally Suitable) of 1,680 ha (13%), class of soil N (Not Suitable) area of 5.476 ha (44%). Class of land suitability for maize is S3 (Marginally Suitable) area of 7.018 ha (56%) and class N (Not Suitable) area of 5.478 ha (44%). Class of land suitability for apple commodity class S2 (Moderately Suitable) covering 2.200 ha (18%), the class S3 (Marginally Suitable) area of 4.532 ha (36%) and class N (Not Suitable) area of 5.762 ha (46%). Class of land suitability for mustard class S1 (Highly Suitable) area of 124 ha (1%), S2 (Moderately Suitable) area of 5.178 ha (41%), the class S3 (Marginally Suitable) area of 1,176 ha (14%) and the rest of the class N (Not Suitable) area of 5,478 ha (44%). Suitability classes commodity cabbage land suitability classes S1 (Higly Suitable) area of 3.523 ha (28%), S2 (Moderately Suitable) area of 1.141 ha (9%), S3 (Marginally Suitable) area of 5.391 (43%) and the rest of the class N (Not Suitable) area of 2.438 ha (20%). The limiting factor of the land suitability class are slope (e), water supply (w) and the rooting medium (r).

Development direction of leading commodities apples in Poncokusumo area of 682 ha and cabbage commodities of 3.539 ha. Development of leading commodities mustard and corn in Wajak area of 877 ha and 393 ha. Development leading commodities mustard and corn in Jabung area of 3 ha and 1.312 ha. Development of leading commodities rice and mustard in Tumpang area of 1.516 ha and 10 ha.

The location of priority development of leading commodities divided into four priority areas, namely: priority 1 is Poncokusumo an area of 4.221 ha, priority 2 is Wajak an area of 1.270 ha, priority 3 is Tumpang an area of 1.526 ha and priority 4 is Jabung an area of 1.315 ha . Results of the A'WOT analysis are eight priorities of leading commodities development strategies that can be implemented by the government of Malang Regency

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN DI WILAYAH

PENGEMBANGAN TUMPANG KABUPATEN MALANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus sebagai ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr Ir Djuara P. Lubis, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Dr.Ir Widiatmaka, DEA sebagai penguji luar komisi atas masukan dan

sarannya.

4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi.

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Bapak Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Pertanian dan Pertanian Kabupaten Malang yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil unuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

7. Ayah bunda terkasih serta Suami Anak tercinta yang telah memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis.

8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Wilayah 7

Pengembangan Kawasan Agropolitan 9

Pembangunan Berbasis Komoditas Unggulan 10

Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian 12 3 BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Jenis dan Sumber Data 15

Bahan dan Alat 15

Metode Pengumpulan Data 16

Metode Analisis Data 17

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak dan Wilayah Administrasi 32

Kawasan Pengembangan Utama 33

Pusat Agropolitan (Agropolis) 34

Keadaan Fisik dan Penggunaan Lahan 35

Kemiringan Lahan 35

Tanah 36

Kondisi Iklim 36

Penggunaan Lahan 37

Pola Pemanfaatan Ruang 38

Kondisi Demografi 39

Sarana dan Prasarana Pertanian 40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Komoditas Unggulan 41

Analisis Preferensi Petani Terhadap Komoditas Unggulan 45

Analisis Hirarki Wilayah 51

Analisis Kesesuaian Lahan dan Ketersediaan Lahan 53 Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan

(14)

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 78

Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN 84

(15)

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi Data Penelitian 16

2 Preferensi Petani Terhadap Komoditas Unggulan yang Diminati 21

3 Contoh Tabel Skalogram 23

4 Matriks Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW dan Penggunaan

Lahan Eksisting 24

5 Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan 25

6 Skala Perbandingan Berpasangan 29

7 Jumlah Desa dan Luas Wilayah Masing-Masing Kecamatan 34 8 Rata-Rata Ketinggian dan Kemiringan Lereng Masing-Masing

Kecamatan 35

9 Jenis Tanah di Wilayah Pengembangan Tumpang 36

10 Luas Penggunaan di Wilayah Pengembangan Tumpang 38 11 Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Masing-Masing Kecamatan 39 12 Jumlah Tenaga Kerja dan Mata Pencaharian di Masing-Masing

Kecamatan Kabupaten Malang 39

13 Nilai LQ Komoditas Tanaman Pangan tiap Kecamatan Tahun 2013 41 14 Nilai DS Komoditas Tanaman Pangan tiap Kecamatan Tahun 2013 42 15 Hasil Kompilasi Nilai LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share

Analysis) Tanaman Pangan Pada Lokasi Studi 43

16 Hasil Kompilasi Nilai LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share

Analysis) Hortikultura Pada Lokasi Studi 43

17 Hasil Kompilasi Nilai LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share

Analysis) Buah Pada Lokasi Studi 44

18 Identifikasi Responden Petani 46

19 Hasil Analisis Preferensi Petani Terhadap Komoditas Unggulan 49 20 Hasil Penetapan Rencana Pengembangan Komoditas Unggulan di

Masing-Masing Kecamatan 50

21 Hirarki Wilayah Berdasarkan Analisis Skalogram 53 22 Luas Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW Kabupaten Malang 54

23 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Padi 55

24 Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Untuk Komoditas Padi 55 25 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Apel 56 26 Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Untuk Komoditas Apel 57

27 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Sawi 57

28 Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Komoditas Sawi 57 29 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Jagung 58 30 Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Komoditas Jagung 59 31 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Kubis 60 32 Luas Lahan Sesuai dan Tersedia Untuk Komoditas Kubis 60 33 Hasil Pembobotan Kriteria dan Nilai CR Berdasarkan analisis AHP 63 34 Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah

Pengembangan Tumpang 64

35 Prediksi Peningkatan Produksi Komoditas Unggulan Utama 66 36 Faktor Internal dan Eksternal Pengembangan Komoditas Unggulan 68

(16)

38 Hasil Pembobotan Komponen SWOT 72 39 Peringkat Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan 74

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir penelitian 18

2 Struktur Hirarki Pemilihan Wilayah Untuk Pengembangan

Komoditas Unggulan 28

3 Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur 32 4 Peta Lokasi Penelitian Wilayah Pengembangan Tumpang 33

5 Peta Lereng Wilayah Pengembangan Tumpang 35

6 Peta Jenis Tanah di Wilayah Pengembangan Tumpang 36 7 Peta Curah Hujan Tahun 2013 di Wilayah Pengembangan Tumpang 37 8 Peta Penggunaan Lahan Eksisting di Wilayah Pengembangan

Tumpang 37

9 Peta Rencana Penggunaan Lahan di Wilayah Pengembangan

Tumpang 38

10 Frekuensi Respons Petani Terhadap Komoditas Tanaman Pangan di

Masing-Masing Kecamatan 46

11 Frekuensi Respons Petani Terhadap Komoditas Tanaman

Hortikultura di Masing-Masing Kecamatan 47

12 Frekuensi Respons Petani Terhadap Komoditas Tanaman Buah di

Masing-Masing Kecamatan 48

13 Peta Hirarki Wilayah Pengembangan Tumpang 52

14 Peta Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW Kabupaten Malang 54 15 Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Padi 55 16 Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Apel 56 17 Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Sawi 58 18 Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Jagung 59 19 Peta Kesesuaian dan Ketersediaan Komoditas Kubis 60 20 Grafik Prioritas Wilayah Pengembangan Komoditas Unggulan di

Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang 64 21 Lokasi Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah

Pengembangan Tumpang 65

22 Rekapitulasi Penerbitan Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT)

tahun 2010-2014 70

23 Realisasi Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Kabupaten Malang 73

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

4 Rata-Rata Luas Panen Komoditas Unggulan Tahun 2008-2013 Di

Masing-Masing Kecamatan 89

5 Kuesioner Untuk input data preferensi petani terhadap budidaya

komoditas unggulan 91

6 Distribusi Frekuensi Respons Petani Terhadap Budidaya Tanaman

Pangan, Hortikultura dan Buah 96

7 Hasil Analisis Komoditas Unggulan di Kecamatan dengan MCDM

TOPSIS 99

8 Hasil Analisis Skalogram Sarana Prasarana Kecamatan 101 9 Kriteria Kesesuaian Lahan Padi Sawah yang Digunakan dalam

Evaluasi 103

10 Kriteria Kesesuaian Lahan Apel yang Digunakan dalam Evaluasi 104 11 Kriteria Kesesuaian Lahan Sawi yang Digunakan dalam Evaluasi 105 12 Kriteria Kesesuaian Lahan Jagung yang Digunakan dalam Evaluasi 106 13 Kriteria Kesesuaian Lahan Kubis yang Digunakan dalam Evaluasi 107 14 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi 108 15 Hasil Penilaian Kesesuian Lahan untuk Komoditas Apel 109 16 Hasil Penilaian Kesesuiaan Lahan untuk Komoditas Sawi 110 17 Hasil Penilaian Kesesuiaan Lahan untuk Komoditas Jagung 111 18 Hasil Penilaian Kesesuiaan Lahan untuk Komoditas Kubis 112 19 Peta Ketersediaan Lahan Untuk Komoditas Unggulan Kecamatan 113 20 Kuesioner untuk input data pada metode AHP-TOPSIS 117 21 Hasil analisis prioritas wilayah pengembangan komoditas unggulan

menggunakan TOPSIS 121

22 Hasil analisis pembobotan komponen SWOT menggunakan

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara sedang berkembang, pada awal proses pembangunan cenderung mengarah pada strategi pembangunan sektoral. Strategi pembangunan ini lebih menonjolkan sektor-sektor strategis untuk dikembangkan menjadi motor penggerak ekonomi. Strategi pembangunan tersebut dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang mendorong sektor industri menjadi sektor pemimpin (leading sector), dengan harapan leading sector tersebut dapat memacu pertumbuhan sektor-sekor lainnya. Pembangunan tersebut secara spasial (ruang) menciptakan daerah-daerah orientasi sebagai pusat pertumbuhan. Pemilihan daerah-daerah pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan pertimbangan ketersediaan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Hal ini mengakibatkan dampak negatif bagi daerah yang bukan pusat pertumbuhan, yaitu terserapnya sumberdaya pembangunan baik modal, sumberdaya alam maupun tenaga kerja ahli ke daerah pusat pertumbuhan. Dampak lain yang ditimbulkan dari strategi pembangunan ini adalah terkonsentrasinya kegiatan ekonomi (aglomerasi) di daerah perkotaan (pusat pertumbuhan), sehingga trickle down effect yang diharapkan melalui pembangunan tidak tercapai (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Fenomena tersebut mengindikasikan tidak ada pergerakan pertumbuhan ekonomi dari pusat pertumbuhan (kota) ke daerah bukan pusat pertumbuhan (desa), bahkan justru meningkatkan kesenjangan ekonomi antar daerah. Dengan kata lain, kebijakan pembangunan regional kita telah membentuk daerah-daerah nodal. Daerah nodal adalah areal-areal yang strukturalnya terdiri dari atas areal inti dengan areal-areal sekitarnya yang melengkapi, dalam arti ekonomi yang terpadu dengan areal inti itu (Soepono, 1999).

Hubungan antara wilayah perdesaan dan perkotaan yang tidak seimbang telah menimbulkan berbagai permasalahan baik di perdesaan dan perkotaan. Kondisi pembangunan ideal yaitu antara wilayah perdesaan dan perkotaan terjadi mekanisme pertukaran sumberdaya yang saling menguntungkan sehingga hubungan fungsional saling memperkuat ini akan mampu mewujudkan keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan. Upaya pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu terserapnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumberdaya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1989).

(20)

2

manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi dan (5) aliran kekuasaan (power).

Fenomena di atas salah satunya terjadi pada daerah Malang Raya, dimana wilayah Kota Malang sebagai pusat kegiatan ekonomi (perkotaan), karena hampir semua infrastruktur yang menunjang kegiatan ekonomi (mulai dari pasar input sampai pasar output) ada di wilayah Kota Malang. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi Kota Malang menjadi lebih tinggi dibanding Kabupaten Malang. Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan melalui indikator PDRB per kapita dari tahun 2010-2013 Kota Malang memiliki rata-rata pertumbuhan yang lebih tinggi yaitu 8,5% dibanding rata-rata pertumbuhan Kabupaten Malang sebesar 4,7% (BPS Kota Malang dan Kabupaten Malang, 2014).

Salah satu realitas pembangunan adalah terciptanya kesenjangan pembangunan antardaerah. Menyadari hal tersebut, pemerintah mencoba melakukan perubahan konsep pembangunan dari pendekatan sektoral kepada pendekatan regional sejak Repelita VI. “Pendekatan pengembangan wilayah tersebut dilakukan melalui penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang bertujuan untuk mengembangkan pola dan struktur ruang nasional melalui pendekatan kawasan, dan dilaksanakan melalui penetapan kawasan andalan” (Witoelar, 2000). Kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang No 32 Tahun 2004 terkait otonomi daerah diharapkan tercipta keterpaduan pendekatan sektoral dan regional dalam perencanaan pembangunan daerah. Hal ini artinya program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.

Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi untuk pengembangan sektor pertanian. Berdasarkan data BPS Kabupaten Malang (2013) masyarakat di Kabupaten Malang mencapai 36,40% mata pencahariannya di sektor pertanian. Besarnya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tersebut mengindikasikan pembangunan di sektor pertanian merupakan pilar utama keberhasilan pembangunan daerah di Kabupaten Malang. Peranan sektor pertanian terhadap kontribusi PDRB di Kabupaten Malang mencapai 35,04%. Sub sektor pertanian yang menopang sektor pertanian antara lain tanaman pangan berada di tingkat tertinggi dengan kontribusi rata-rata sebesar 57,77% diikuti tanaman perkebunan dengan 23,01%, peternakan dengan 14,92%, kehutanan dengan 1,06% dan perikanan dengan 3,24%.

Persentase penggunaan lahan di Kabupaten Malang berdasarkan data BPS Tahun 2013 yaitu sebesar 31% tegal/kebun, 16% lahan sawah, 6% perkebunan, 20% hutan negara, 3% hutan, 0,02% tambak, 2% untuk pemukiman dan 22% peruntukan lainnya. Beberapa potensi yang dimiliki inilah yang menjadi input bagi pemerintah Kabupaten Malang untuk menggerakkan sektor pertanian pedesaan guna peningkatan perekonomian regional.

(21)

3 berdasarkan keterkaitan antara perkembangan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, potensi sumberdaya alam, serta ketersediaan sarana dan prasarana wilayah dalam mendukung aktivitas perekonomian di wilayah tersebut. Salah satu tujuan penelitian ini adalah menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan untuk mendukung pengembangan kawasan pertanian di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang

Berkaitan dengan pengembangan kawasan pertanian, ketersediaan dan kesesuaian lahan merupakan hal penting untuk diperhatikan. Karena setiap jenis tanaman membutuhkan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Djaenudin et al., 2002). Keragaman sifat lahan sebagai dasar pertimbangan manajemen pengelolaan lahan dan penentuan wilayah komoditas pertanian untuk mencapai produktivitas yang optimal.

Mengacu pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Malang yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Malang terkait pemanfaatan ruang bahwa Wilayah Pengembangan Tumpang diarahkan untuk pengembangan sektor pertanian, wisata, peternakan dan industri. Wilayah Pengembangan Tumpang ini meliputi Kecamatan Tumpang, Jabung, Wajak dan Poncokusumo. Wilayah Poncokusumo ini juga merupakan pusat Kawasan Agropolitan melalui penetapan Surat Keputusan Bupati Malang Nomor 180/1146/KEP/421.013/2007 tentang Penetapan Kecamatan Poncokusumo sebagai Sentra Kawasan Agropolitan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi terkait studi penetapan Kawasan Agropolitan Poncokusumo yang telah dilakukan.

Perumusan Masalah

Ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi (Kota Malang) dengan wilayah perdesaan (Kabupaten Malang) sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal perlu diminimalisasi, sehingga terjadi interaksi antara perkotaan dengan perdesaan yang saling menunjang. Proses interaksi kedua wilayah selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah (eksploitatif). Salah satu solusi dari masalah tersebut adalah pengembangan wilayah untuk menciptakan interaksi saling memperkuat.

Perencanaan pembangunan melalui pendekatan sektoral dan regional diharapkan dapat meningkatkan pendapatan wilayah serta mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kawasan pertanian pada wilayah-wilayah yang kurang berkembang sesuai dengan Permentan No 50 Tahun 2012. Pengembangan kawasan pertanian dapat dilakukan melalui pengembangan komoditas unggulan wilayah. Hal ini didasari dari kontribusi sektor pertanian yang cenderung dominan sebesar 35,04% dan persentase mata pencaharian masyarakat sebesar 36,40% di sektor pertanian. Persentase kontibusi sub sektor pertanian yang didominasi tanaman pangan sebesar 57,77%. Berdasarkan potensi inilah pengembangan kawasan pertanian berbasis komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang menjadi langkah awal perencanaan pengembangan wilayah untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah.

(22)

4

1. Belum diketahuinya komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang 2. Belum diketahui preferensi petani dalam membudidayakan komoditas

unggulan

3. Belum diketahuinya hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan Tumpang 4. Belum diketahuinya lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas

unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang.

5. Belum diketahuinya arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang.

Penelitian ini dilakukan pada Wilayah Pengembangan Tumpang yang terdiri dari Kecamatan Poncokusumo, Kecamatan Wajak, Kecamatan Jabung dan Kecamatan Tumpang. Rencana pengembangan komoditas unggulan ini diharapkan mampu meningkatkan interaksi antar wilayah pusat pertumbuhan dan wilayah pengembangan serta meningkatkan perekonomian wilayah di pedesaan. Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian:

1. Apa yang menjadi komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang?

2. Bagaimana preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan? 3. Bagaimana hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan Tumpang

Kabupaten Malang?

4. Berapa luas dan distribusi spasial lahan yang berpotensi pengembangan unggulan?

5. Bagaimana arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dirumuskan tujuan penelitian utama yaitu menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang. Untuk mencapai tujuan utama maka disusunlah tujuan antara terdiri atas:

1. Mengidentifikasi komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang

2. Menganalisis preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan 3. Menganalisis hirarki wilayah di Wilayah Pengembangan Tumpang

Kabupaten Malang.

4. Menganalisis lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Malang sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan dalam penyusunan pengalokasian anggaran pembangunan baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam pengembangan wilayah.

(23)

5 pertumbuhan wilayah akan semakin cepat berkembang dan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Kerangka Pemikiran

Ketimpangan pembangunan antar wilayah yang terjadi membutuhkan strategi perencanaan melalui pendekatan sektoral dan regional. Keterpaduan pendekatan perencanaan sektoral dan regional diharapkan dapat mengurangi ketimpangan wilayah. Salah satu kebijakan yang sejalan dengan pendekatan sektoral dan regional adalah pengembangan kawasan pertanian berbasis komoditas unggulan. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengidentifikasi potensi pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang. Hal ini diperlukan karena setiap wilayah kecamatan memiliki karakteristik sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia, dan sumberdaya sosial yang khas. Pewilayahan pengembangan komoditas unggulan didasarkan pada potensi wilayah yang mengacu pada tiga aspek yaitu spasial, biofisik, dan sosial ekonomi. Aspek spasial adalah bahwa lahan/areal yang diprioritaskan untuk pengembangan komoditas unggulan sesuai dengan RTRW Kabupaten Malang. Aspek biofisik adalah bahwa lahan pengembangan komoditas unggulan merupakan areal yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Aspek sosial ekonomi terkait dengan input maupun sarana prasarana pertanian.

Pada tahap awal penelitian ini dilakukan identifikasi potensi komoditas unggulan di Kawasan Agropolitan Poncokusumo dan Wilayah Pengembangan Tumpang. Metode yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk melihat komoditas basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi komoditas unggulan atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Shift Share Analysis (SSA) adalah komponen yang menggambarkan dinamika (keuunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain. Komoditas unggulan yang dipilih adalah komoditas yang memiliki nilai LQ>1 dan SSA >0.

Kajian terkait preferensi petani terhadap komoditas unggulan ini menggunakan skala likert yang dilakukan pada tahun2015. Analisis ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dengan responden petani. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi melalui analisis distribusi frekuensi (%, nisbah, rata-rata) (Singarimbun dan Effendi, 2015; Sukartawi et al., 1984).

Analisis ini bertujuan menggambarkan preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan pada wilayah mereka melalui beberapa pernyataan.

Penetapan komoditas unggulan utama dan komoditas unggulan penunjang di masing-masing kecamatan dilakukan dengan menggunakan metode TOPSIS. Beberapa yang menjadi kriteria pemilihan antara lain nilai LQ, nilai SSA, rataan luas panen, persentase perkembangan harga, persentase tingkat konsumsi komoditas serta prioritas komoditas unggulan berdasarkan preferensi petani. Output dari penetapan ini adalah komoditas unggulan utama yang akan direncanakan areal pengembangannya di masing-masing kecamatan.

(24)

6

dalam satu tabel. Metode skalogram ini digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki setiap wilayah, atau menuliskan ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah dengan memperhatikan jumlah/kuantitasnya. Hirarki wilayah menunjukkan ketersediaan sarana prasarana pertanian terhadap luas lahan pertanian yang harus dilayani dalam wilayah.

Analisis potensi lahan dilakukan untuk pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang. Analisis ketersediaan lahan bertujuan untuk mendapatkan lahan yang tersedia berdasarkan RTRW Kabupaten Malang, rencana kawasan dan penggunaan lahan eksisting. Metode yang digunakan adalah evaluasi kesesuaian lahan dengan membandingkan karakteristik lahan dengan landuse requirement. Lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan adalah lahan yang sesuai dan tersedia. Lahan yang tersedia berdasarkan RTRW dan rencana kawasan serta penggunaan lahan eksisting kemudian di evaluasi kesesuaian lahannya. Kriteria kesesuaian lahan yang digunakan untuk komoditas unggulan menggunakan kriteria Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian (BBSDLP) Tahun 2011. Output pada tahap ini adalah luasan lahan yang berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang.

(25)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Wilayah

Konsep wilayah yang paling klasik mengenai tipologi wilayah terdiri dari tiga kategori, yaitu: 1) wilayah homogen (uniform atau homogenous region), 2) wilayah nodal (nodal region) dan 3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen) (Hagget et al., 1977 dalam Rustiadi et al., 2011). Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok wilayah secara terkait. Pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya. (Riyadi, 2002).

Konsep pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan. Pembangunan sektoral dan regional berbeda dalam orientasi tetapi saling melengkapi. Pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral, sebaliknya pembangunan sektoral tanpa pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri (Riyadi, 2002).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri. (Direktoret Jendral Penataan Ruang, 2003). Menurut Departemen Pekerjaan Umum, pada saat itu (tahun 2002) masih bernama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, ditetapkan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah:

1. Sebagai growth center

Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

(26)

8

4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur- unsur strategis. Unsur-unsur strategis yang dimaksud berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi. Ketiga unsur tersebut dapat dikembangkan secara optimal secara sinergis. (Direktorat Pengembangan Kawasan, 2002). Pengembangan wilayah pada kawasan perdesaan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kawasan perkotaan. Pemahaman yang menyeluruh dan tidak dikotomis ini menjadi penting dan mendasar dalam penyusunan peraturan. Hal ini bertujuan terciptanya sinergi dan keseimbangan perlakuan wilayah, khususnya oleh pelaku pembangunan (Rahardjo, 2007). Sasaran utama pembangunan oleh pemerintah daerah maupun pusat yaitu pengembangan wilayah. Pengembangn wilayah dilakukan melalui peningkatan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), pemerataan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development). (Alkadri dan Djajaningrat, 2002)

Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk mengembangkan kapasitas masyarakat pertanian, khususnya memberdayakan petani, peternak dan nelayan agar mampu melaksanakan kegiatan ekonomi produktif secara mandiri dan selanjutnya mampu memperbaiki kehidupannya sendiri (Solahuddin, 2009). Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting. Pembangunan sektor pertanian memiliki pengaruh bagi pembangunan nasional baik itu jangka panjang maupun jangka menengah. Dampak negatif lambatnya pembangunan sektor pertanian berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Kesenjangan antar wilayah menciptakan ketidakstabilan (instabillity) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat terjadi secara berulang ulang. (Anwar dan Rustiadi, 1999)

Arahan kebijakan pengembangan wilayah yang tepat dibutuhkan untuk meminimalisasi kesenjangan pembangunan di wilayah. Secara spasial arahan pengembangan sektor unggulan wilayah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah. Perumusan arahan dilakukan melalui analisis perkembangan wilayah dengan metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis skalogram (aspek sarana prasarana wilayah). Hasilnya pengembangan wilayah diarahkan pada wilayah yang diversitas ekonomi rendah dan indeks hierarki yang kurang berkembang (Pahlevi et al., 2014).

(27)

9

Pengembangan Kawasan Agropolitan

Pengembangan Kawasan Agropolitan menurut Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan dan Tata Perdesaan (2005) adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis. Pembangunan ini dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Pembangunan ini digerakan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah.

Berkaitan dengan permasalahan ketimpangan desa kota di atas maka salah satu ide yang dikemukakan adalah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Friedmann dan Douglass (1976) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang menjadi mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di perdesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri.

Konsep Agropolitan sebenarnya lahir sebagai respons dari munculnya ketimpangan desa-kota dan kebijakan pembangunan yang bersifat urban bias yang dalam jangka pendek merugikan bagi perkembangan kawasan perdesaan dan dalam jangka panjang merugikan tatanan kehidupan bangsa secara nasional. Agropolitan adalah suatu konsep yang berbasis pada pengembangan suatu sistem kewilayahan yang mampu memfasilitasi berkembangnya kawasan perdesaan dalam suatu hubungan desa-kota yang saling memperkuat (Rustiadi dan Hadi, 2006).

Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 pasal 1 ayat 24 tentang Penataan Ruang, kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirakhi keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) agropolitan adalah kawasan yang merupakan sistem fungsional yang terdiri dari satu atau lebih kota-kota pertanian (agropolis). Wilayah produksi pertanian ini ditunjukkan oleh adanya sistem keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan-satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Keterkaitan ini terwujud baik melalui maupun tanpa melalui perencanaan. Agropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian.

(28)

10

keterkaitan dengan komunitas yang lebih luas. Karena itu dalam pengembangan agropolitan sebenarnya keterkaitan dengan perekonomian kota tidak perlu diminimalkan (Rustiadi et al., 2011).

Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil dan menengah, serta mendorong keberagaman aktivitas ekonomi di perdesaan (Rustiadi et al., 2011). Peran pusat agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian disekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberi kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan dan lainnya), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi) serta sarana pemasaran (pasar, terminal, sarana transportasi dan lainnya). Hal ini bertujuan menekan biaya produksi dan biaya pemasaran dengan meningkatnya faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan di pusat agropolitan (Harun, 2006).

Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk mengembangkan agribisnis pertanian tanaman pangan guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing, meningkatkan pendapatan masyarakat agribisnis di sekitar kawasan, serta meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (Martadona et al., 2014). Menurut penelitian yang telah dilakukan Pranoto et al. (2006) pendapatan petani di desa pusat pertumbuhan kawasan agropolitan yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan desa yang berada jauh dari pusat pertumbuhan dan relatif belum tersentuh program pengembangan agropolitan. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung pertanian, seperti jalan usahatani dan pasar (terminal agribisnis), dan peningkatan produktivitas komoditas unggulan yang menjadi fokus program pengembangan agropolitan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani.

Hasil penelitian Suroyo dan Handayani (2014) bahwa pembangunan kawasan agropolitan belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan pedesaan di Kabupaten Kulonprogo. Hal ini digambarkan melalui tingkat kesejahteraan petani masih dibawah rata-rata. Faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis hulu-hilir seperti bahan baku, alat mesin pertanian, irigasi, pemasaran dan kondisi jalan sehingga menjadi hambatan utama petani dalam peningkatan produktivitas serta daya beli petani. Terdapat tiga indikator utama sebagai representasi dari sasaran/target yang mengindikasikan keberhasilan pengembangan PAP (Program Agropolitan), yaitu pengembangan infrastruktur, sistem dan usaha agribisnis, dan pengembangan SDM (Rusastra et al., 2005). Terkait dengan sarana prasarana, hasil penelitian Martadona et al. (2014) menyatakan pembangunan sarana dan prasarana pertanian dan penguatan kelembagaan permodalan untuk pengembangan komoditas unggulan merupakan strategi yang paling tepat untuk pengembangan kawasan agropolitan di Kota Padang.

Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan

(29)

11 pada wilayah tersebut mendorong pengembangan sektor lainnya yang terkait sehingga membentuk suatu sistem keterkaitan antar sektor. Pengembangan sektor inilah yang menjadi salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan wilayah (Djakapermana, 2010).

Sektor basis yaitu sektor yang produksinya diekspor ke luar wilayahnya dan pendapatannya merupakan sumber pendapatan wilayah bersangkutan. Sektor non basis merupakan sektor yang kegiatannya melayani kebutuhan hidup penduduk di wilayahnya saja (Setiono, 2011). Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor-sektor dalam memacu menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum berkembang (Rustiadi et al., 2011).

Menurut Suwandi (2005) komoditas unggulan adalah komoditas yang diminta pasar yang produknya memberikan multiplier yang tinggi dan mampu menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakatnya. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur dan kondisi sosial budaya setempat), untuk dikembangkan di suatu wilayah (Yulianti, 2011). Kriteria komoditas unggul menurut Daryanto (2010) yang disesuaikan dengan analisis dalam penelitian ini yaitu:

1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan konstribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran.

2. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lainnya (competitiveness) di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan.

3. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas intensif dan lain-lain.

(30)

12

Mewujudkan ketahanan pangan dan menjamin keamanan dan mutu pangan, (2) Mewujudkan kehidupan petani yang sejahtera, (3) Menyediakan bahan baku yang prima untuk industri pangan, dll, (4) Menjadikan produk pertanian pangan berdaya saing di tingkat global, (5) mengelola sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan.

Alat ukur kuantitatif untuk menganalisis potensi daerah salah satunya adalah Location Quotient (LQ). Location Quotient (LQ) adalah sebuah indeks yang mengukur over specialization atau under specialization dari sektor tertentu dalam suatu daerah. Dengan kata lain, LQ mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu daerah di dalam aktivitas sektor perekonomian tertentu (Alkadri dan Djajaningrat, 2002). Metode analisis ini bersifat dasar yang dapat memberikan gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor basis. Selain itu perlu analisis lanjutan untuk mendapatkan komoditas unggulan daerah antara lain dengan analisis rataan luas panen, tren produksi dan analisis permintaan.

Pengembangan wilayah membutuhkan fokus pengembangan komoditas/sektor unggulan agar tepat sasaran pada komoditas/sektor yang berpotensi untuk dikembangkan. Tahapan identifikasi komoditas unggulan merupakan salah satu tahapan awal dalam pengembangan wilayah. Identifikasi komoditas unggulan tersebut dilakukan melalui langkah analisis LQ dan DLQ. DLQ atau Dinamic Location Quotient (DLQ) adalah analisis LQ yang dilakukan dalam bentuk time series/trend. Dalam hal ini, perkembangan LQ bisa dilihat untuk suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda apakah mengalami penurunan atau kenaikan. Analisis LQ dan DLQ bertujuan untuk mengidentifikasi pemusatan aktivitas dan mengidentifikasi keunggulan komparatif dan kompetitif suatu aktivitas. Hal ini seperti studi dilakukan oleh Oksatriasandhi dan Santoso (2011), Sapratama dan Erli (2013), Yulianto dan Santoso (2013), Hati dan Sardjito (2014), Hidayat dan Supriharjo (2014). Metode DLQ ini hampir sama tujuannya dengan metode SSA (Shift Share Analysis).

Pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan membutuhkan strategi dan arahan berupa pengembangan sub sistem agribisnis sesuai komoditas unggulan, arahan tata ruang kawasan agropolitan, pengembangan sistem usahatani, pengembangan infrastruktur pendukung agropolitan serta pengembangan sumberdaya manusia (Manik et al., 2013). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rusastra et al. (2005) analisis kinerja komoditas unggulan menunjukkan beberapa perspektif antara lain (a) keterbatasan penguasaan lahan, pengembangan agropolitan memberikan sumbangan peningkatan pendapatan yang memadai (30 – 55%), kecuali pada usahatani hortikultura karena faktor penurunan harga output; (b) Pengembangan agropolitan memberikan dukungan dan dampak positif terhadap pengembangan produk hortikultura dalam bentuk keripik, jus, dan instant wortel; (c) Masih dibutuhkan pemantapan eksistensi dan kinerja pengembangan tata-ruang agribisnis di ketiga lokasi pengembangan agropolitan; (d) Perlu pemantapan kebijakan pendukung yang terkait dengan kebijakan perdagangan/pemasaran dan penguatan kelembagaan kelompok dan pemasaran bersama.

Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

(31)

13 menentukan sektor dan komoditas unggulan dan mengetahui persepsi dan tingkat partisipasi masyarakat terhadap program pengambangan kawasan agropolitan Bungakondang serta faktor yang mempengaruhi. Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian antara lain : analisis spasial dengan SIG, analisis skalogram, analisis SSA, analisis LQ, R/C Ratio dan analisis statistik non parametrik chi-square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk arahan penataan ruang kawasan agropolitan Bungkondang dibagi zona yaitu zona pusat pertumbuhan dan pelayanan, zona kawasan transisi dan kawasan hinterland. Tingkat persepsi masyarakat terhadap program agropolitan relatif buruk.

Penelitian yang dilakukan oleh Rositadevy (2007) bertujuan mengidentifikasi komoditas basis di kawasan agropolitan Kabupaten OKU, melakukan analisis kelayakan finansial komoditas basis di kawasan agropolitan Kabupaten OKU, melakukan analisis marjin tataniaga komoditas basis di kawasan agropolitan Kabupaten OKU, mengkaji hirarki pusat pertumbuhan di kawasan agropolitan Kabupaten OKU dan arahan pengembangan komoditas unggulan di kawasan agropolitan Kabupaten OKU. Hasil penelitian menunjukkan komoditas unggulan karet menghasilkan nilai LQ>1 dan SSA>0. Selain itu komoditas unggulan karet ini memiliki nilai manfaat terbesar dan marjin terbesar yang diperoleh petani. Arahan pengembangan menghasilkan karet merupakan komoditas unggulan yang diprioritaskan di kawasan agropolitan Batumarta.

Penelitian Oksatriandhi dan Santoso (2014) dilakukan melalui tahapan identifikasi komoditas unggulan merupakan salah satu tahapan awal dalam pengembangan kawasan agropolitan. Kawasan agropolitan Kabupaten Pasaman memiliki potensi pertanian yang cukup besar, kemudian untuk mengidentifikasi komoditas unggulan tersebut dilakukan dengan langkah analisis LQ dan DLQ. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan agar pengembangan komoditas tepat sasaran pada komoditas yang berpotensial untuk dikembangkan. Input data yang digunakan pada perhitungannya adalah nilai produksi tiap komoditas pada masing-masing kecamatan dan nilai produksi komoditas total. Komoditas unggulan dipilih berdasarkan hasil perhitungan LQ dan DLQ yang benilai >1, yang diidentifikasikan sebagai komoditas yang dengan laju pertumbuhan besar dan memiliki potensi pengembangan yang lebih cepat. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil komoditas unggulan kawasan agropolitan Kabupaten Pasaman antara lain : padi sawah, padi ladang, kacang tanah, pisang, mangga, cabe, bayam, karet, coklat dan kelapa sawit.

Penelitian Hati dan Sardjito (2014) bertujuan untuk merumuskan arahan pengembangan komoditas unggulan subsektor perkebunan di Kabupaten Muara Enim. Untuk mencapai tujuan tersebut, hal yang dilakukan adalah mengidentifikasi komoditas unggulan dengan analisis Location Quotient (LQ) dan shift share (SS), serta menentukan faktor-faktor pengembangan komoditas unggulan dengan analisis delphi dan expert judgement. Perumusan arahan pengembangan komoditas unggulan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang menunjang pengembangan komoditas unggulan subsektor perkebunan antara lain : Sumberdaya Alam (SDA), Sumberdaya Manusia (SDM), Teknologi, Modal, Infrastruktur.

(32)

14

melalui ketersediaan sarana dan prasarana di wilayah sentra produksi komoditas unggulan, dan (3) Merumuskan strategi-strategi pengembangan kawasan agropolitan di Kota Padang. Penelitian ini menggunakan empat alat analisis antara lain analisis LQ, analisis skalogram, analisis Diamond Porter, dan analisis

A’WOT. Analisis Diamond Porter digunakan untuk menganalisis keunggulan bersaing dengan beberapa faktor : 1) Kondisi faktor, 2) Kondisi permintaan, 3) Industri terkait dan pendukung, 4) Strategi, struktur, persaingan. Hasil penelitian ini menunjukkan padi merupakan komoditas unggulan untuk dikembangkan dalam pelaksanaan agropolitan di Kota Padang dengan nilai LQ>1, sedangkan jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah, masih belum berpotensi untuk dikembangkan atau belum basis dimana nilai untuk komoditas tersebut lebih kecil daripada satu. Pemilihan Kecamatan Kuranji sebagai pusat pertumbuhan atau pusat pelayanan dalam pengembangan kawasan agropolitan di Kota Padang karena mempunyai jenis dan jumlah fasilitas pendukung yang lebih lengkap, serta mempunyai keunggulan bersaing untuk menjadi kawasan agropolitan yang baru di Provinsi Sumatera Barat. Pembangunan sarana dan prasarana pertanian dan penguatan kelembagaan permodalan untuk pengembangan komoditas unggulan merupakan strategi yang paling tepat untuk pengembangan kawasan agropolitan di Kota Padang.

Berdasarkan studi pengembangan Kawasan Agropolitan Poncokusumo melalui penyusunan rencana tata ruang Kawasan Agropolitan Poncokusumo (Bappeda Kabupaten Malang, 2010) didapatkan bahwa Kecamatan Poncokusumo menjadi kawasan pusat agropolitan. Beberapa hasil analisis komoditas unggulan pertanian yang ada di Kawasan Agropolitan Poncokusumo antara lain sayuran, bunga krisan dan apel. Beberapa hal yang belum dilakukan dalam studi ini adalah evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas unggulan dan preferensi petani terhadap budidaya komoditas unggulan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Bappeda Kabupaten Malang maka diperlukan lanjutan penelitian untuk menambah informasi yang mendukung kebijakan pengembangan komoditas unggulan. Penelitian yang dilakukan ini dengan menambah ruang lingkup penelitian dalam Wilayah Pengembangan Tumpang. Output yang diharapkan pada penelitian ini adalah arahan pengembangan komoditas unggulan untuk mendukung pengembangan kawasan pertanian di Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang.

(33)

15

3

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Poncokusumo, Kecamatan Tumpang, Kecamatan Wajak dan Kecamatan Jabung yang terhimpun dalam Wilayah Pengembangan Tumpang Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di dalam Wilayah Pengembangan Tumpang ini terdapat Kawasan Agropolitan Poncokusumo yang berada di Kecamatan Poncokusumo. Pemilihan lokasi pengembangan komoditas unggulan pertanian ini berdasarkan arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW bahwa Wilayah Pengembangan Tumpang ini diarahkan untuk pengembangan pertanian, wisata, peternakan dan industri. Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan yaitu dari bulan April sampai dengan Oktober 2015

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder untuk memperoleh informasi tentang aspek sosial dan ekonomi yang diperoleh melalui wawancara dengan responden yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang berkaitan langsung yaitu Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Malang. Hubungan antara tujuan penelitian, teknik analisis data, variabel, sumber data dan output yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1.

Bahan dan Alat

(34)

16

Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian

No Tujuan Jenis Data Sumber Data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara: a. Studi Literatur

(35)

17 dan Prasarana Pertanian Kabupaten Malang dari BPS Kabupaten Malang dan Dinas Pertanian dan Perkebunan; (4) Peta Satuan Peta Tanah dari BBSDLP Tahun 2011 (skala 1:250.000), Peta RTRW Tahun 2010 (skala 1:25.000), Peta Curah Hujan (skala 1:250.000) dan Peta Lereng (skala 1:25.000), Peta landuse eksisting (1:25.000) dari Bappeda Kabupaten Malang; (5) Data perkembangan harga 2008-2012, data tingkat konsumsi komoditas unggulan.

b. Wawancara

Wawancara terhadap responden dilakukan dengan dua tujuan antara lain:

1. Wawancara dilakukan untuk menganalisis preferensi petani dalam mengusahakan komoditas unggulan di wilayahnya. Proses wawancara menggunakan pernyataan kuesioner kepada petani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, sedangkan teknik pengambilan sampel dengan cara non probability sampling. Teknik penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling, sampel yang dipilih adalah 2 desa pada setiap kecamatan yang paling banyak membudidayakan komoditas unggulan. Tiap desa dipilih 15 petani, sehingga total jumlah responden petani yang diwawancara sebanyak 120 petani untuk 4 kecamatan. Persentase sampel adalah 30% dari jumlah anggota kelompok tani.

2. Wawancara dilakukan untuk menyusun arahan pengembangan komoditas unggulan dengan informan-informan kunci secara purposive sampling, yaitu dengan pihak-pihak terkait terdiri dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang (1 orang), Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (1 orang), Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (1 orang), Balai Penelitian Teknologi Pertanian (1 orang) dan pelaku usaha (1 orang).

3. Wawancara dilakukan untuk menyusun strategi pengembangan komoditas unggulan dengan stakeholder secara purposive sampling, yaitu dengan pihak-pihak terkait terdiri dari Badan Perencanaan Daerah (1 orang), Dinas Pertanian dan Perkebunan ( 1 orang) dan Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (1 orang)

Metode Analisis Data

(36)

18

Gambar 1. Bagan alir penelitian Peta Kesesuaian

Lahan untuk Komoditas Unggulan

Overlay

Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan di Wilayah Pengembangan Tumpang

Karakteristik Sosek

- Sarana Prasarana Pertanian - Data Produksi

- Luas Panen

- Harga Produk Pertanian - Konsumsi Bahan Pertanian

- Analisis LQ - Analisis SSA

- Analisis Rataan Panen - MCDM - TOPSIS

Komoditas Unggulan

Peta Lereng Peta Tanah Peta Curah Hujan

Analisis Skalogram

Peta Administrasi Peta RTRW Peta Landuse

Overlay

Peta Ketersediaan

Lahan Matching

Persyaratan Tumbuh Tanaman

Peta Lahan Tersedia & Sesuai untuk Komoditas Unggulan

Penilaian Stakeholder

AHP-TOPSIS dan AHP-SWOT

(37)

19

Identifikasi Komoditas Unggulan

Analisis Location Quotient (LQ)

Analisis dengan model LQ ini digunakan untuk mengetahui komoditas basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan. Metode analisis LQ pada penelitian ini digunakan untuk menggambarkan komoditas basis di empat kecamatan. Data yang dianalisis adalah produksi komoditas yang dibudidayakan di empat kecamatan yang bersumber dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang tahun 2013 dan BPS Kabupaten Malang.

Menurut Rustiadi et al. (2011) metode Location Quotient (LQ) merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas. Analisis ini dapat mengidentifikasi keunggulan komparatif suatu wilayah dengan asumsi (1) kondisi geografis relatif sama, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama.

Analisis Location Quotient (LQ) dapat dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut (Rustiadi et al., 2011) :

Dimana :

LQij : Location Quotiont lokasi kecamatan i untuk komoditas j, XIJ : Nilai produksi masing-masing komoditas j di kecamatan i, Xi. : Nilai produksi total di kecamatan i,

X.j : Nilai produksi total komoditas j di Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang.

X.. : Nilai produksi seluruh komoditas wilayah di Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang.

Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis adalah jika nilai indeks LQ lebih besar atau sama dengan satu (LQ≥1), maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis, sedangkan apabila nilainya kurang dari satu (LQ<1), berarti sektor yang dimaksud termasuk ke dalam komoditas non basis.

Analisis Shift Share Analysis (SSA)

Shift Share Analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Hasil analisis SSA diperoleh gambaran kinerja aktivitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu :

a) Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share).

Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

(38)

20

Komponen ini menyatakan pertumbuhan total produksi komoditas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika produksi komoditas total dalam wilayah.

c) Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift).

Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu komoditas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total produksi komoditas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu komoditas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap komoditas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan analisis SSA adalah sebagai berikut (Rustiadi et al. 2011) :

Dimana: Xij = Nilai produksi komoditas tertentu (i) di suatu kecamatan (j)

Xi = Nilai produksi komoditas tertentu (i) di Kabupaten Malang

t1 = titik tahun akhir (2013) t0 = titik tahun awal (2009)

Metode analisis SSA pada penelitian ini menggunakan data produksi tahun 2009 dan 2013 komoditas pertanian yang dibudidayakan di empat kecamatan. Data yang digunakan bersumber dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang. Nilai Differential Shift yang positif menggambarkan perkembangan suatu komoditas tertentu pada suatu wilayah terhadap dua titik waktu. Hasil analisis tersebut diinterpretasikan;

1. Jika nilai > 0, maka komoditas ke-j di kecamatan ke-i mempunyai tingkat pertumbuhan diatas tingkat pertumbuhan rata-rata komoditas ke-j di Kabupaten Malang. Hal itu juga menunjukkan bahwa komoditas tersebut mempunyai nilai persaingan yang tinggi (competitivenes)

2. Jika nilai < 0, maka hal tersebut menunjukkan bahwa komoditas yang dimaksud mempunyai tingkat persaingan yang rendah dibandingkan dengan komoditas yang lain. Komoditas di kecamatan ke-i yang mempunyai nilai negatif berarti bahwa komoditas tersebut tingkat pertumbuhannya di bawah komoditas yang sama secara umum di Kabupaten Malang. Oleh karenanya pengembangan komoditas tersebut di kecamatan ke-i tidak akan menguntungkan karena tidak mampu bersaing dengan kecamatan lain dalam kabupaten.

Analisis Rataan Luas Panen

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian
Gambar 1. Bagan alir penelitian
Tabel 5. Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan
Tabel 6. Skala perbandingan berpasangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada evaluasi lahan yang didasarkan pada sumberdaya fisik, empat faktor/sub-model telah dipertimbangkan sebagai kriteria kesesuaian lahan untuk budidaya tambak yaitu: topografi

Untuk mengidentifikasi potensi lahan padi digunakan analisis kesesuaian lahan metode FAO (1976) yang berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah (LREP II,

Hasil dari evaluasi yang berupa kelas kesesuaian lahan dan factor pembatas, dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk zonasi kawasan area budidaya lada

Terdapat berbagai penelitian dengan metode yang sama antara lain : (Tufaila dkk. , 2014) evaluasi kesesuaian lahan dengan metode pencocokan karakteristik lahan dan

TATU RIZKIA. Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Unggulan dan Arahan Pengembangan Pertanian di Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS

Hasil ini ditinjau dari tujuan mendapatkan komoditas perkebunan unggulan di Kabupaten Kolaka Timur, pentingnya tolok ukur berpasangan kriteria Kesesuaian Lahan (KL)

Penyusunan Atlas Peta Kesesuaian Lahan Skala 1:50.000 untuk pengembangan Komoditas Strategis Kementerian Pertanian di seluruh Indonesia ( dan. optimalisasi lahan pertanian

Strategi Revitalisasi Apel Berdasarkan pembahasan diatas dan informasi di lapangan, secara umum produktivitas apel di wilayah Kabupaten Malang semakin terancam keberlangsungannya yang