• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kecemasan Perpisahan Dengan Orang Tua Terhadap Risiko Perilaku Bullying Santri di Pesantren Assanusi Cirebon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kecemasan Perpisahan Dengan Orang Tua Terhadap Risiko Perilaku Bullying Santri di Pesantren Assanusi Cirebon"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh :

Silvia Rahmawati

1111104000002

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

iii Undergraduate Thesis, January 2016

Silvia Rahmawati, NIM 1111104000002

The Correlation Between Separation Anxiety With Parents Against the Risk of

Bullying Behavior of Students in Boarding Assanusi Cirebon xvii + 87 Pages + 11 Tables + 2 Charts + 7 Attachment

ABSTRACT

Separation Anxiety is supposed to be a situation in which individuals become fearful and anxious while being away from their parents. Individuals who experience severe anxiety due to separation with parents at risk to commit acts of bullying.

The purpose of this research was to determine the correlation between separation anxiety with parents against the risk of bullying behavior of students in Boarding Assanusi Cirebon. The sample in this research as many as 123 students aged 12 -15 years. Research stratified random sampling method. This type of research is quantitative descriptive analysis design with approach cross – sectional. Collecting data using questionnaires separation anxiety and the risk of bullying behavior. The test results showed the reliability of research instrument of 0.844 for separation anxiety and 0.940 to the risk of bullying behavior. Results from the study showed that the majority of respondents experiencing high anxiety at 63.4% and has a high risk of bullying behavior amounted to 52.0%. Statistical test results using spearman rank test showed exist a weak relationship between separation anxiety with parents against the risk of bullying behavior of students in boarding assanusi cirebon (P= value = <0.001) with value r = 0.352. It means that the higher an anxiety then the higher risk of bullying behavior. Based on the results of this research can be input for a nanny or caretaker for more attention to students who experience anxiety in order not to happen action of bullying. Key word : Teens, Separation Anxiety, Bullying, Boarding schools

(4)

iv

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Januari 2016

Silvia Rahmawati, NIM : 1111104000002

Hubungan Antara Kecemasan Perpisahan dengan Orang Tua Terhadap Risiko Perilaku Bullying Santri di Pesantren Assanusi Cirebon

xvii + 87 Halaman + 11 Tabel + 2 Bagan + 7 Lampiran

ABSTRAK

Kecemasan berpisah merupakan suatu keadaan dimana individu menjadi takut dan cemas saat berada jauh dari orang tuanya. Individu yang mengalami kecemasan berat akibat berpisah dengan orang tua memiliki risiko untuk melakukan tindakan bullying.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap risiko perilaku bullying santri di Pesantren Assanusi Cirebon. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 123 santri usia 12 – 15 tahun. Metode penelitian stratified random sampling. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain analisis deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Pengumpulan data menggunakan kuesioner kecemasan berpisah dan risiko perilaku bullying. Hasil uji instrumen penelitian didapatkan hasil reliabilitas sebesar 0,844 untuk kecemasan berpisah dan 0,940 untuk risiko perilaku bullying. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami kecemasan tinggi sebesar 63,4 % dan memiliki risiko perilaku bullying tinggi sebesar 52,0 %. Hasil uji statistik menggunakan uji spearman rank menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap risiko perilaku bullying santri di pesantren assanusi cirebon (p value = <0,001) dengan nilai r = 0,352. Ini artinya bahwa semakin tinggi kecemasan maka semakin tinggi risiko perilaku bullying. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pengasuh atau pengurus agar lebih memperhatikan santri yang mengalami kecemasan agar tidak terjadi tindakan bullying. Kata kunci: Remaja, Kecemasan Berpisah, Bullying, Pesantren

(5)
(6)
(7)
(8)

viii

Nama : Silvia Rahmawati

Tempat, Tanggal lahir : Indramayu, 31 Mei 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : JL. Raya Sliyeg No.70 RT/RW 003/001 Desa Sliyeg Kecamatan Sliyeg Kabupaten Indramayu Jawa Barat

No. HP : 085295636516

E-mail : silvia_rahmawati31@yahoo.co.id

Fakultas / Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Ilmu Keperawatan

Riwayat Pendidikan :

1. TK Pipit Sliyeg Indramayu (1997-1999)

2. SD Negri 1 Sliyeg Indramayu (1999-2005)

3. Mts Negri Ciwaringin Cirebon (2005-2008)

4. MAN Model Ciwaringin Cirebon (2008-2011)

(9)

ix Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena

perantara beliaulah kita selaku umatnya saat ini dapat mengetahui yang mana hak dan

bathil. Puji syukur atas nikmat dan kebesaran-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Kecemasan Perpisahan Dengan Orang Tua

Terhadap Risiko Perilaku BullyingSantri Di Pesantren Assanusi Cirebon”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menemukan cukup banyak hambatan dan

kesulitan, sehingga dalam penulisan ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,

baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulisan skripsi dapat

terselesaikan.

Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

yang sedalam – dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr Arief Sumantri S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

(10)

x

motivasi selama proses pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Errnawati, S.Kp,M.Kep, Sp.KMB selaku Sekertaris Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

5. Ibu Ns. Eni Nur’aini Agustini, S.Kep, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing 1 saya yang

telah mencurahkan waktu dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan,

petunjuk, dan nasehat kepada penulis demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.

6. Ibu Ratna Pelawati, S.Kp, M.Biomed sebagai Dosen Pembimbing 2 saya yang tidak

kenal lelah memberikan waktu luang dan masukan-masukan yang berharga demi

terselesaikannya penulisan skripsi ini.

7. Segenap Staf Pengajar dan Karyawan di lingkungan Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada saya selama

duduk dibangku kuliah.

8. K.H Ali Munir, selaku pengasuh Pesantren Assanusi Cirebon yang telah memberikan

izin kepada penulis dalam melakukan proses penelitian kepada santri-santri.

9. Santri putra dan putri yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama yang telah

bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

10.Ucapan terima kasihku yang teristimewa kepada ayahanda H. Zainuddin Dimyati,

(11)

xi

Hariyanto dan Elizia Kanza Setiawan yang selalu memberikan support dan doa.

11.Ns. Ari Nur Husaini, S.Kep, yang selalu memberikan inspirasi, menghibur, memberi

masukan, dan semangat kepada penulis.

12.Sahabatku Nur Triningtyas Putri, S.Kep, Diza Liane Sahputri, S.Kep, Rizka

Nazhriyah, Inayati Salsabila, Widiany, Amanda, Azmi, Devi, Yoyoh

Rokayah,Ahmad Ogi Priadi, S.Kom yang selalu menemani dan memberi dukungan.

13.Seluruh teman-teman angkatan 2011 yang telah banyak membantu selama menjadi

mahasiswa di PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun

penulis berharap hasil karya ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Ciputat, Januari 2016

(12)

xii

C.Pertanyaan Penelitian ... 8

D.Tujuan Penelitian ... 8

E.Manfaat Penelitian ... 9

F.Ruang Lingkup Penulisan ... 9

(13)

xiii

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN OPERASIONAL ... 48

A.Kerangka Konsep ... 48

B.Hipotesis ... 49

C.Definisi Operasional... 50

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN... 53

A.Desain Penelitian ... 53

B.Populasi dan Sampel Penelitian ... 53

C. Waktu dan Tempat ... 56

D. Instrumen Penelitian ... 56

E. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 57

F. Tahap Penelitian ... 60

G. Pengolahan Data ... 61

H. Analisa Data ... 62

I. Etika Penelitian ... 63

BAB V HASIL PENELITIAN ... 65

A.Gambaran Lokasi Penelitian ... 65

B.Hasil Analisa Univariat ... 66

1.Karakteristik Responden ... 66

2.Gambaran Tingkat Kecemasan Perpisahan Santri Assanusi ... 67

3.Gambaran Risiko Perilaku Bullying Santri Assanusi ... 69

C. Hasil Analisa Bivariat ... 71

BAB VI PEMBAHASAN ... 74

A.Karakteristik Responden ... 74

B.Analisa Univariat ... 74

C. Analisa Bivariat ... 79

D. Keterbatasan Penelitian... 83

(14)

xiv DAFTAR PUSTAKA

(15)

xv

(16)

xvi

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... ... 54 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responde menurut Jenis Kelamin di Pesantren

assanusi ... ... 70 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responde menurut Kelas di Pesantren assanus ...71 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kecemasan Perpisahan

dengan Orang Tua pada Santri di Pesantren Assanusi ... ... ... 72 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kecemasan Perpisahan

dengan Orang Tua Setiap Kelas ... ... .. ...73 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden menurut Kecemasan Perpisahan

Antar Jenis Kelamin ... ... .. ...73 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden menurut Risiko Perilaku Bullying

Santri Assanusi cirebon ... ... .. ...74 Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden menurut Risiko Perilaku Bullying

Antar Jenis Kelamin ... ... .. ...74 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden menurut Risiko Perilaku Bullying

(17)

xvii Lampiran 1 Dokumen Perizinan

Lampiran 2 Penjelasan Penelitian Lampiran 3 Kuesioner Penelitian

Lampiran 4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5 Hasil Uji Univariat

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang, salah satu

pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui oleh manusia adalah masa remaja.

Masa remaja adalah masa transisi yang didalamnya terdapat perubahan yang

terjadi pada dirinya. Masa remaja juga biasa disebut dengan masa puberitas yaitu

suatu masa peralihan dari anak – anak menuju dewasa, remaja banyak mengalami

perubahan baik secara fisik, psikologis dan sosial (Pieter & Lubis, 2010). Masa

remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia atau masa peralihan dari

anak-anak menjadi dewasa dimulai pada usia 10 – 20 tahun dan belum menikah.

Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja ditandai dengan

berkembangnya ciri-ciri seks primer, sekunder dan bertambahnya tinggi badan

(Pieter & Lubis, 2010). Wong (2008) mengatakan, perubahan fisik pada remaja

yang sangat jelas adalah bertambahnya berat badan dan tinggi badan, perubahan

ukuran payudara pada wanita dan perubahan suara pada laki-laki.

Selain perubahan fisik, perubahan psikososial atau pengembangan identitas

diri pada remaja merupakan masa krisis atau suatu titik balik peningkatan

kerentanan dan peningkatan potensial, semakin berhasil individu mengatasi krisis

maka akan semakin sehat perkembangannya. Pada masa ini remaja mulai melihat

dirinya sebagai individu yang berbeda dan terpisah dari orang tua (Wong, 2008).

(19)

hal yang dialami oleh remaja : pertama Identity : mengemukakan dan mengerti siapa diri sebagai individu, kedua Autonomy : menetapkan rasa yang nyaman dalam ketergantungan, ketiga Intimacy : membentuk relasi yang tertutup dan dekat dengan orang lain, keempat Sexuality : mengekspresikan perasaan-perasaan dan merasa senang jika ada kontak fisik dengan orang lain, kelima Achievement : mendapat keberhasilan dan memiliki kemampuan sebagai anggota masyarakat.

Maka masa remaja ini sangat rawan terpengaruh oleh kondisi lingkungannya.

Perubahan lain yang terjadi pada masa remaja adalah perubahan kognitif,

yaitu ciri berpikir konkret sehingga remaja dapat menyesuaikan diri dengan

situasi yang baru. Sebagai contoh dari perkembangan kognitif adalah remaja ingin

mengetahui pendapat orang lain mengenai dirinya dan remaja mampu

membayangkan pikiran orang lain (Wong, 2008). Remaja telah memiliki

kemampuan yang lebih baik dari anak dalam berpikir mengenai situasi secara

hipotesis dan memikirkan sesuatu yang belum terjadi (Agustiani, 2009).

Perubahan kognitif pada masa remaja membuatnya lebih mampu berfikir secara

abstrak.

Perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja akan membuat remaja

mendapatkan peran-peran baru dan terikat pada kegiatan-kegiatan baru, dan hal

ini menyebabkan kecemasan (Agustiani, 2009). Menurut Siregar (2013),

kecemasan merupakan keadaan khawatir atau gelisah yang tidak menentu serta

reaksi ketakutan yang disertai dengan keluhan fisiologis. Menurut Videbeck

(2008), kecemasan dapat menyebabkan respon kognitif, psikomotor dan fisiologis

(20)

Kondisi yang menyebabkan remaja mengalami kecemasan adalah ketika

memasuki sekolah yang baru, beban tugas sekolah yang padat, dan adanya

perasaan malu terhadap lingkungan sosialnya atau penampilan yang buruk (Dewi,

2008). Menurut Aminullah (2013) kecemasan yang dialami oleh remaja siswa

SMP biasanya berkaitan dengan pembelajaran yang diberikan disekolah.

Selain siswa SMP yang bersekolah di sekolah konvensional, kecemasan juga

bisa dialami oleh siswa SMP yang bersekolah di pondok pesantren. Selain

kecemasan timbul karena tugas sekolah, kecemasa juga timbul akibat perpisahan

dengan orang tuanya, terlebih santri yang bersekolah di pesantren atas permintaan

orang tuanya (Aminullah, 2013). Kecemasan akan perpisahan adalah bentuk

kecemasan dan ketakutan anak-anak atau remaja untuk berpisah dengan orang

tuanya. Gangguan ini terjadi sekitar 4% pada anak-anak dan remaja awal,

biasanya gangguan kecemasan ini terjadi saat individu pertama kali masuk

sekolah karena individu tidak mau jauh dari orang tuanya (Amirullah, 2014).

Kecemasan perpisahan biasanya terjadi akibat adanya kejadian traumatik atau

yang sangat menekan kehidupan individu, misalnya pindah ke lingkungan yang

lain seperti pindah rumah atau pindah sekolah (Joseph, 2012). Disini semakin

memungkinkan pada remaja untuk terjadi kecemasan, karena selain kecemasan

yang terjadi akibat perubahan yang dialami, kecemasan juga dialami karena jauh

dari orang tua dan lingkungan baru pesantren.

Kecemasan di pesantren sendiri akan lebih sering terjadi pada santri yang baru

masuk di tahun pertama pendidikannya di pesantren karena lingkungan barunya

(21)

santri yang baru masuk pesantren, yang pada awalnya sebagai anak yang selalu

dekat dengan orang tuanya kini harus tinggal di pesantren sehingga dapat

menimbulkan kecemasan perpisahan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan

oleh Rahmatika (2014) menunjukan bahwa 43,8 % santri tingkat SMP Pondok

Pesantren Asshiddiqiyah Kebun Jeruk Jakarta mengalami kecemasan tinggi akibat

perpisahan dengan orang tua nya.

Kecemasan perpisahan sendiri dapat menimbulkan dampak negatif bagi

individu yaitu persepsi menyempit, mudah tersinggung, dan individu mudah

emosi (Astuti & Resminingsih, 2010). Terlebih santri yang baru masuk pesantren

berada pada rentang usia remaja awal, maka pada masa ini perkembangan

emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap

berbagai peristiwa atau situasi sosial (Mashar, 2011). Hal ini tidak terlepas dari

berbagai macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah,

dan teman-teman sebayanya serta aktifitas-aktifitas yang dilakukannya dalam

kehidupan sehari-hari (Mu’tadin, 2007 dalam Fefriawati, 2010).

Menurut Semiun (2006), individu yang mengalami kecemasan perpisahan

cenderung memiliki sifat mudah tersinggung dan mudah marah. Penelitian yang

dilakukan oleh Utami (2014) terkait Dampak hospitalisasi terhadap

perkembangan anak, menunjukan bahwa individu yang mengalami kecemasan

berat akibat berpisah dengan orang tua dapat menampilkan perilaku agresif dari

menggigit, mengucapkan kata – kata marah, bahkan menendang – nendang.

(22)

Berperilaku agresif pada remaja umumnya merupakan bagian dari

pengendalian emosi yang masih rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Yuliani (2013), mengungkapkan bahwa emosi remaja masih labil,

sehingga remaja mudah dipengaruhi oleh teman sebayanya bahkan remaja mudah

terjerumus kedalam tindakan yang tidak bermoral seperti tawuran dan mengejek –

ejek temannya. Bentuk - bentuk kenakalan remaja seperti tawuran dan mengejek

– ejek temannya juga termasuk perilaku bullying.

Kenakalan remaja merupakan perilaku menyimpang yang dilakukan

seseorang usia 14 – 19 tahun yang menimbulkan masalah dalam masyarakat

(Kusmiyati, 2013). Kusmiyati (2013), mengungkapkan bahwa anak yang sudah

merasa tidak nyaman dalam rumah maka mudah terpengaruh lingkungan

misalnya ajakan teman yang membuatnya melakukan hal – hal negatif. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Semai Jiwa Amini (2008) tentang

kekerasan bullying di kota Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta menunjukkan

bahwa terjadinya tingkat kekerasan pada tingkat Sekolah Menengah Pertama

(SMP) sebanyak 66,1 %. Kategori kekerasan yang dilakukan oleh siswa Sekolah

Menengah Pertama (SMP) yang tertinggi adalah kekerasan psikologis berupa

pengucilan, yang kedua kekerasan verbal seperti mengejek – ejek, dan yang

ketiga adalah kekerasan fisik berupa memukul.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2014

(23)

Perilaku bullying sendiri adalah salah satu kenakalan remaja yang terjadi di berbagai lingkungan termasuk sekolah, perilaku bullying merupakan aktivitas sadar, disengaja, dan bertujuan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui

ancaman agresi lebih lanjut, dan niat untuk mencederai (Coloroso, 2007 dalam

Adilla, 2009). Perilaku bullying dilakukan dari orang yang merasa lebih kuat kepada orang yang lebih lemah.

Faktor-faktor terjadinya bullying antara lain perbedaan kelas, senioritas, keluarga yang tidak harmonis, situasi sekolah yang tidak harmonis, karakter

individu atau kelompok, persepsi nilai yang salah atas perilaku korban (Astuti,

2008). Basyirudin (2010), menyebutkan bahwa tindakan kekerasan pada remaja

tidak hanya terjadi pada institusi pendidikan formal saja, namun terjadi juga di

dunia pesantren.

Bentuk perilaku bullying yang dilakukan biasanya adalah secara verbal contohnya mengejek, menghina, mengolok-olok. Kedua dalam bentuk fisik

contohnya adalah menonjok, menampar, memukul, mendorong dan menendang.

Ketiga secara psikologis contohnya adalah mengucilkan, menjauhkan,

mendiamkan, memfitna, dan memandang dengan hina (Yayasan Semai Jiwa

Amini, 2008).

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada November 2014 pada 10

orang santri usia remaja di pondok pesantren assanusi cirebon mengatakan bahwa

(24)

yang bukan nama asli dan tidak jarang ada juga yang dipukul, dan 3 orang

mengatakan ada juga yang dikucilkan orang lain yang dianggap tidak sesuai

dengan dirinya atau kelompoknya dan tidak mau menemaninya. Selain itu 7 dari

10 orang mengatakan pernah memiliki nama panggilan yang buruk yang

diberikan oleh teman-temannya, seperti botak, gembul, dan karet.

Akibat bullying bagi korban akan menimbulkan perasaan tertekan karena pelaku menguasai korban, mengalami kesakitan fisik dan psikologis, kepercayaan

diri yang menurun, malu, trauma, merasa sendiri, takut sekolah, merasa tidak ada

yang menolong dirinya, bahkan cenderung ingin bunuh diri (Astuti, 2008).

Melihat fenomena bullying banyak terjadi dan dapat menimbulkan dampak negatif, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang

hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap risiko perilaku

bullying santri di pesantren Assanusi Cirebon. Pesantren di pilih karena peneliti belum menemukan penelitian serupa terkait bullying di pesantren dan pesantren cirebon dipilih karena dekat dengan tempat tinggal peneliti dan sudah dilakukan

studi pendahuluan yang menunjukan adanya bullying. B. Rumusan Masalah

Perilaku bullying merupakan salah satu kenakalan remaja yang terjadi di berbagai lingkungan termasuk sekolah (Adilla, 2009). Penelitian sebelumnya

menunjukan bahwa tindakan kekerasan pada remaja tidak hanya terjadi pada

institusi pendidikan formal saja, namun terjadi juga di dunia pesantren

(25)

(2014), menunjukan bahwa peningkatan emosi pada remaja yang mengalami

perpisahan dengan orang tua merupakan salah satu respon dari kecemasan.

Melihat hasil penelitian terdahulu dan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di

pesantren assanusi cirebon, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada

hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap risiko perilaku

bullying santri di pesantren assanusi cirebon. C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran tingkat kecemasan remaja saat berpisah dengan

orang tua nya?

2. Bagaimana gambaran risiko perilaku bullying pada santri di Pesantren Assanusi Cirebon?

3. Apakah ada hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua

terhadap risiko perilaku bullying santri di pesantren Assanusi Cirebon? D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap risiko perilaku

bullying santri di Pesantren Assanusi Cirebon. 2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan remaja pada saat berpisah

dengan orang tua nya.

(26)

c. Mengidentifikasi hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua

terhadap risiko perilaku bullying santri di Pesantren Assanusi Cirebon. E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi pengalaman baru dan dapat menambah

pengetahuan, serta menerapkan ilmu yang didapatkan seperti penulisan ilmiah,

ilmu keperawatan jiwa, ilmu keperawatan anak, ilmu keperawatan keluarga.

2. Bagi Pondok Pesantren

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai gambaran bagi para pengasuh dan

pengurus pondok pesantren bahwa tingkat kecemasan perpisahan dengan orang

tua dapat mempengaruhi risiko perilaku bullying di Pondok Pesantren. Sehingga nantinya dapat meminimalisir dampak bullying.

3. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan dalam bidang ilmu

keperawatan terutama keperawatan jiwa, keperawatan anak, maupun

keperawatan keluarga.

4. Bagi peneliti lain

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, dan bahan acuan

untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kecemasan

perpisahan dengan orang tua, dan risiko perilaku bullying. F. Ruang Lingkup Penelitian

(27)

santri putra dan putri usia remaja. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah

ada hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap risiko

(28)

11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Adolescence (remaja) adalah perubahan dari masa kanak-kanak

menuju dewasa. Periode ini dimulai sekitar usia 10 atau 12 tahun sampai ke

usia 18 atau 20 tahun. Pada masa ini remaja mengalami perubahan fisik yang

cepat, termasuk bertambahnya tinggi dan berat badan, dan perkembangan

fungsi seksual (Santrock, 2007). Masa remaja adalah masa perubahan dari

masa kanak-kanan menuju dewasa, disebut remaja apabila seorang anak

berusia 11-20 tahun (Wong dkk, 2008). Masa remaja merupakan masa transisi

perkembangan individu dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana

pada saat tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat baik

fisik, psikologis dan sosial (Potter & Perry, 2005).

Batasan seorang remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai usia 21

tahun, dan masa remaja dibagi dalam tiga bagian yaitu remaja awal mulai usia

13-15 tahun, remaja tengah mulai usia 16-18 tahun, dan remaja akhir dimulai

usia 19-21 tahun (Dariyo, 2011). Masa puber atau permulaan remaja adalah

masa perkembangan fisik dan intelektual secara pesat (Djiwandono, 2006).

Sedangkan menurut Valentini & Nisfiannoor (2006), usia remaja berkisar

(29)

Jadi dapat disimpulkan, masa remaja adalah masa perlihan dari

anak-anak menuju dewasa yakni pada usia 10 – 21 tahun yang mana didalamnya

terjadi perubahan-perubahan pada dirinya.

2. Tahap Perkembangan Remaja

Perkembangan adalah proses spontan dengan cakupan luas yang

berakibat pada gejala pertambahan secara terus-menerus, modifikasi, dan

penyusunan ulang struktur-struktur psikologis (Piaget, 1970 dalam Salkind,

2009).

Menurut Pieter & Lubis (2010), masa remaja dibagi menjadi tiga

bagian, yaitu:

2.1Remaja Awal

Masa remaja awal kurang lebih berlangsung di masa sekolah

menengah pertama atau sekolah menengah akhir dan perubahan pubertas

terbesar terjadi di masa ini (Santrock, 2007).

Ciri – ciri dinamika remaja awal yaitu (Pieter & Lubis, 2010) :

2.1.1 mulai menerima kondisi dirinya

2.1.2 berkembang cara berpikir

2.1.3 menyadari bahwa setiap manusia memiliki perbedaan potensial

2.1.4 bersikap overestimate, seperti meremehkan segala masalah,

meremehkan kemampuan orang lain dan terkesan sombong

2.1.5 akibat sombong menjadikan dia gegabah dan kurang waspada

2.1.6 proporsi tubuh semakin proporsional

(30)

2.1.8 sikap dan moralitasnya masih bersifat egosentris

2.1.9 banyak perubahan dalam kecerdasan dan kemampuan mental

2.1.10 selalu merasa kebingungan dalam status

2.1.11 periode yang sulit dan kritis

2.2Remaja Tengah

Ciri –ciri dinamika remaja tengah yaitu (Pieter & Lubis, 2010) :

2.2.1 Bentuk fisik makin sempurna dan mirip dengan orang dewasa

2.2.2 Perkembangan sosial dan intelektual lebih sempurna

2.2.3 Semakin berkembang keinginan untuk mendapatkan status

2.2.4 Ingin mendapatkan kebebasan sikap, pendapat, dan minat

2.2.5 Keinginan untuk menolong dan ditolong orang lain

2.2.6 Pergaulan sudah mengarah pada heteroseksual

2.2.7 Belajar bertanggung jawab

2.2.8 Apatis akibat selalu ditentang sehingga malas mengulanginya

2.2.9 Perilaku agresif akibat diperlakukan seperti kanak - kanak

2.3Remaja Akhir

Masa remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa

yang kedua dari kehidupan. Minat karir, pacaran, dan eksplorasi identitas

sering kali lebih menonjol di masa remaja akhir di banding di masa remaja

awal (Santrock, 2007).

Ciri – ciri dinamika remaja akhir yaitu (Pieter & Lubis, 2010) :

2.3.1 Disebut dewasa muda dan meninggalkan dunia kanak – kanak

(31)

2.3.3 Kematangan emosional dan belajar mengendalikan emosi

2.3.4 Dapat berpikir objektif sehingga mampu bersikap sesuai situasi

2.3.5 Belajar menyesuaikan diri dengan norma – norma yang berlaku

2.3.6 Membina hubungan sosial secara heteroseksual

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja

Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang

kehidupan manusia yang memiliki beberapa keunikan. Keunikan tersebut

bersumber dari kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara

masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa remaja terjadi

perubahan-perubahan yang dapat dikatakan sebagai ciri umum yang menonjol pada masa

remaja (Agustiani, 2009).

Pada masa remaja terjadi beberapa perubahan, seperti perubahan

biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007).

3.1Perubahan biologis

Pada perubahan biologis terjadi perubahan fisik dalam tubuh remaja.

Gen-gen yang diwariskan dari orang tua, perkembangan otak, tinggi badan

dan berat badan, perubahan dalam keterampilan motorik, dan perubahan

hormonal di masa pubertas.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik yaitu :

3.1.1 Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri

(32)

3.1.1.1Sifat jasmaniah yang diwariskan oleh orang tuanya. Anak yang

orang tuanya bertumbuh tinggi cenderung lebih cepat menjadi

tinggi dari pada anak dengan orang tua bertumbuh pendek, hal

ini dapat dikatakan sebagai faktor genetik.

3.1.1.2Kematangan

Faktor kematangan dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik,

contohnya anak yang berumur tiga bulan walaupun makanan

bergizi supaya menunjukan otot kakinya agar bisa berjalan,

tidak mungkin berhasil jika usianya sebelum lebih dari sepuluh

bulan.

3.1.2 Faktor eksternal

3.1.2.1Kesehatan

Anak yang sering sakit – sakitan pertumbuhan fisiknya akan

terhambat.

3.1.2.2Makanan

Makanan yang bergizi akan membuat anak tumbuh dengan

pesat dibandingkan anak yang tidak mendapat makanan yang

bergizi.

3.1.2.3Stimulasi lingkungan

3.1.2.4Individu yang tubuhnya sering dilatih oleh lingkungannya untuk

meningkatkan percepatan pertumbuhannya, akan berbeda

dengan yang tidak mendapatkan latihan.

(33)

3.2Perubahan kognitif

Menurut Piaget remaja termotivasi untuk memahami dunianya

karena hal ini merupakan suatu bentuk adaptasi biologis (Santrock,

2007). Ali (2010), menambahkan bahwa remaja secara aktif

mengkontruksi dunia kognitifnya sendiri, mereka juga melibatkan

gagasan-gagasan baru karena informasi ini dapat meningkatkan

pemahaman mereka.

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2007), individu berkembang

melalui empat tahap kognitif, yaitu sensorimotor, praoperasional,

operasi konkret, dan operasi formal.

3.2.1 Pemikiran sensorimotor dan praoperasional sensorimotor

berlangsung mulai dari lahir hingga usia 2 tahun. Dalam tahap ini,

bayi mengonstruksi suatu pemahaman mengenai dunia dengan cara

mengordinasikan pengalaman – pengalaman sensoris (seperti

melihat dan mendengar) melalui tindakan – tindakan fisik –

motorik.

3.2.2 Tahap praoperasional, yang berlangsung antara usia 2 tahun sampai

7 tahun. Dalam tahap ini, anak-anak mulai merepresentasikan

dunianya dalam bentuk kata-kata, bayangan, dan gambar.

3.2.3 Tahap pemikiran operasi konkret, berlangsung antara usia sekita 7

hingga 11 tahun, penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif

selama penalaran dapat di terapkan ke contoh – contoh yang

(34)

3.2.4 Tahap pemikiran operasi formal, tahap ini muncul di usia antara 11

hingga 15 tahun. Karakteristik yang paling menonjol dari pemikiran

operasi formal adalah sifatnya yang lebih abstrak dibandingkan

pemikiran operasi konkret.

3.3Perubahan sosio – emosional

Perubahan yang terjadi adalah perubahan dalam hal emosi,

kepribadian, relasi dengan orang lain, dan konteks sosial. Contoh

perubahan sosio-emosional yaitu menanggapi perkataan orang lain,

agresi terhadap teman sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial

seperti di pesta dansa senior dan orientasi peran gender (Santrock,

2007).

Dalam hal ini emosi memiliki peranan penting dalam tingkah

laku individu termasuk dalam masalah sosial ini saling berkaitan.

Adapun ciri utama pikiran emosional tersebut adalah respon yang

cepat tetapi ceroboh, mendahulukan perasaan kemudian pemikiran,

memperlakukan realitas sebagai realitas simbolik, masa lampau

diposisikan sebagai masa sekarang, realitas yang ditentukan oleh

keadaan (Ali, 2010).

4. Tugas Perkembangan Remaja

Masa remaja sebagai masa transisi perkembangan antara masa

kanak-kanak menuju dewasa. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan

(35)

Pada setiap tahapan perkembangan manusia terdapat tugas-tugas yang berasal

dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu, dan ini disebut

sebagai tugas-tugas perkembangan. Pada masa remaja terdapat tugas-tugas

perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu, yaitu :

4.1Menerima bentuk tubuh orang dewasa yang dimiliki dan hal – hal yang

berkaitan dengan fisiknya.

4.2Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur – figur otoritas.

4.3Mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar

membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara

individu maupun dalam kelompok.

4.4Menemukan model untuk identifikasi.

4.5Menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan dan sumber –

sumber yang ada pada dirinya.

4.6Memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai – nilai dan prinsip – prinsip

yang ada.

4.7Meninggalkan bentuk – bentuk reaksi dan penyesuaian yang kekanak –

kanakan (Agustiani, 2009).

Sedangkan menurut Pieter & Lubis (2010), semua tugas perkembangan masa

pubertas berfokus pada usaha mempersiapkan diri menuju masa dewasa

dengan cara :

4.1 Mencapai relasi yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin

(36)

4.2 Mencapai peran sosial feminin dan maskulin.

4.3 Menerima bentuk perubahan fisik dan menggunakannya.

4.4 Meminta, menerima, dan mencapai perilaku yang bertanggung jawab

secara sosial dan mencapai kemandirian secara emosional dari orang tua

ataupun orang dewasa lainnya.

4.5 Mempersiapkan diri dalam penyesuaian diri pada norma – norma

lingkungan sosial.

5. Masalah – masalah yang Terjadi pada Remaja

Seorang remaja bisa saja mengalami masalah yang berat dan

memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikannya (Santrock, 2007).

Ada beberapa masalah yang terjadi pada remaja yaitu :

5.1 Penggunaan obat terlarang, alkohol, dan merokok

Remaja tertarik menggunakan obat-obatan karena mereka yakin bahwa

obat-obatan dapat membantu mereka beradaptasi terhadap lingkungan yang

selalu berubah. Para remaja menganggap dengan merokok dan

minum-minuman keras dapat mengurangi stress, tidak bosan, dan dalam beberapa

situasi dapat membantu remaja untuk melahirkan diri dari kenyataan dunia.

Remaja dapat merasakan perasaan tenang, gembira, rileks saat memakai

obat. Namun penggunaan obat untuk memperoleh kepuasan pribadi dapat

(37)

5.2Kenakalan remaja

Kenakalan remaja mengarah pada berbagai perilaku, mulai dari

perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial, pelanggaran, sampai

tindakan kriminal. Biasanya kenakalan ini dilakukan oleh remaja yang

gagal dalam menjalani tugas perkembangannya.

5.3Gangguan depresif dan bunuh diri

Pada masa remaja, gejala-gejala depresif dapat dilihat dalam

berbagai cara, seperti menuliskan kata-kata yang mengerikan, atau

senang mendengarkan lagu-lagu yang bertema sedih. Gangguan tidur

juga dapat muncul seperti sulit tidur di malam hari. Dengan timbulnya

perasaan depresi akan membuat remaja menjadi bosan dan enggan untuk

melanjutkan hidupnya, sehingga muncul ide-ide untuk bunuh diri dan

usaha bunuh diri di masa remaja.

6. Kenakalan Remaja

6.1Pengertian kenakalan remaja

Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku

remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan

kriminal (Santrock, 2007). Sedangkan menurut Sudarsono (2012),

kenakalan remaja adalah perbuatan atau kejahatan yang dilakukan oleh

anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti susila, dan menyalahi

(38)

6.2Jenis – jenis kenakalan remaja

Jensen (1985) dalam Sarwono (2012), kenakalan remaja dibagi

menjadi 4 jenis, yaitu :

6.2.1 Kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain.

Misalnya perkelahian, pembunuhan, perampokan, dan lain – lain.

6.2.2 Kenakalan yang menimbulkan korban materi. Misalnya : pencurian,

perusakan, pemerasan, dan lain – lain.

6.2.3 Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang

lain. Misalnya : pelacuran, penyalahgunaan obat, dan lain – lain.

6.2.4 Kenakalan yang melawan status. Misalnya : mengingkari status

sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang

tua dengan cara pergi dari rumah, dan lain – lain.

B. Bullying

1. Pengertian Bullying

Bullying adalah suatu situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok (Yayasan

Sejiwa, 2008). Sedangkan menurut Astuti (2008), bullying adalah suatu tindakan untuk menyakiti seseorang dan menyebabkan seseorang menderita,

tindakan ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang

lebih kuat, biasanya dilakukan dengan perasaan senang.

Bullying adalah tindakan yang menimbulkan rasa sakit atau menyakiti orang lain untuk kepentingan sendiri (Wharton, 2005). Menurut Flynt dan

(39)

bebas dengan tujuan melukai orang lain secara penuh dan dilakukan secara

berulang-ulang.

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa bullying adalah suatu tindakan untuk menyakiti dan menyebabkan seseorang

menderita, biasanya tindakan ini dilakukan secara terus-menerus dan

dilakukan dengan perasaan senang.

2. Bentuk – bentuk Bullying

Bullying dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : 2.1 Bullying fisik

Jenis bullying ini jelas terlihat oleh mata, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contohnya adalah memukul, menendang, menampar, memalak, dan melempar

dengan barang.

2.2 Bullying verbal

Jenis bullying ini juga bisa terdeteksi karena bisa tertangkap indra pendengaran. Contohnya adalah membentak, meledek, mencela, memaki,

menghina, dan memfitnah.

2.3 Bullying mental atau psikologis

Jenis bullying ini paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau teling, bullying ini terjadi secara diam-diam dan diluar radar pemantauan kita. Contohnya adalah memandang sinis, memandang penuh ancaman,

mempermalukan di depan umum, mengucilkan, memandang yang

(40)

Sedangkan menurut Astuti (2008), bentuk – bentuk bullying yaitu :

2.1 Fisik

Menganiaya secara fisik seperti memukul, menendang, menonjong,

mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan lain-lain.

2.2 Non fisik

2.2.1 Verbal

Berkata-kata yang menyakiti korban, mengancam, menghasut,

berkata jorok pada korban, dan menyebarkan kejelekan korban.

2.2.2 Non verbal

2.2.2.1 Langsung

Tindakan kasar dan membahayakan, menatap dengan sinis,

dan menakuti.

2.2.2.2 Tidak langsung

Memanipulasi pertemanan, mengasingkan, dan mencurigai.

3. Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Bullying

Anak-anak tidak dilahirkan untuk menjadi seorang pembuli, perilaku

bullying juga tidak diajarkan secara langsung kepada anak-anak. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi anak menjadi seorang pelaku tindakan

(41)

3.1Faktor individu

Faktor utama yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu pelaku tindakan bullying dan korban bullying.

3.1.1 Pelaku tindakan bullying

Pelaku tindakan bullying cenderung menganggap dirinya senantiasa diancam dan berada dalam bahaya. Biasanya pembuli

memiliki kekuatan secara fisik, namun tidak memiliki perasaan

bertanggung jawab terhadap tindakan yang telah dilakukan.

3.1.2 Korban bullying

Korban buli adalah seseorang yang menjadi sasaran berbagai

tingkah laku agresif. Anak-anak yang sering menjadi korban buli

biasanya menonjolkan ciri-ciri tingkah laku internal seperti bersikap

pasif, sensitif, pendiam, dan tidak membalas jika diserang

musuhnya.

3.2Faktor keluarga

Latar belakang keluarga memiliki peranan yang penting dalam

membentuk perilaku bullying. Orang tua yang sering bertengkar cenderung membentuk anak-anak yang berisiko untuk menjadi lebih agresif.

Anak-anak yang mendapatkan kasih sayang yang kurang, didikan yang tidak

sempurn, berpotensi untuk menjadi pelaku tindakan bullying. 3.3Faktor teman sebaya

Teman sebaya juga memainkan peranan yang penting terhadap

(42)

dikalangan remaja. Kehadiran teman sebaya sebagai pengamat, secara tidak

langsung membantu pelaku tindakan bullying memperoleh dukungan kekuasaan dan popularitas. Saksi atau teman sebaya yang melihat kejadian

bullying, cenderung mengambil sikap diam dan tidak mau ikut campur. 3.4Faktor media

Tingkah laku kekerasan yang sering ditayangkan di televisi dan media

elektronik akan mempengaruhi tingkah laku kekerasan anak-anak dan

remaja. Misalnya acara smack down, acara tersebut dikatakan telah mempengaruhi perilaku kekerasan pada anak-anak dan remaja.

3.5Faktor self – control

Kontrol diri dapat mempengaruhi korban bullying melalui interaksi dengan jenis kelamin dan ukuran berat badan, serta kekuatan.

(Verlinden dkk, 2000 dalam Yusuf & Fahrudin, 2012)

Sedangkan menurut Hoover, et al (1998) dalam Simbolon (2012),

faktor – faktor penyebab terjadinya bullying adalah faktor internal dan eksternal.

1.1Faktor internal, yaitu :

1.1.1 Karakteristik kepribadian

1.1.2 Kekerasan yang dialami sebagai pengalaman masa lalu

1.1.3 Sikap keluarga yang memanjakan anak sehingga tidak membentuk

(43)

1.2Faktor eksternal, yaitu :

1.2.1 Lingkungan

1.2.2 Budaya

Menurut Astuti (2008), penyebab terjadinya bullying disebabkan oleh :

3.1 Perbedaan kelas

Perbedaan kelas menjadi penyebab terjadinya bullying, perbedaan kelas disini termasuk perbedaan gender, agama, dan ekonomi. Sebagai

contoh perbedaan kelas ekonomi yaitu individu yang ekonominya lebih

rendah cenderung menjadi korban bullying.

3.2 Tradisi senioritas

Tradisi yang diwariskan oleh seniornya dahulu seringkali dijadikan

alasan untuk melakukan tindakan bullying. 1.3Senioritas

Penyebab senioritas muncul dari diri individu sendiri dengan alasan

untuk menunjukkan kekuasaannya.

1.4Keluarga yang tidak rukun

Masalah-masalah pada keluarga seperti perceraian orang tua,

kurangnya komunikasi, ketidak harmonisan orang tua, dan lain-lain dapat

(44)

1.5Situasi sekolah yang tidak harmonis

Situasi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat juga menyebabkan

terjadinya perilaku bullying.

1.6Karakter individu atau kelompok, seperti ;

Dendam atau iri hati, adanya semangat ingin menguasai korban

dengan kekuatan fisik, untuk meningkatkan popularitas pelaku dikalangan

teman sepermainannya dapat menjadi penyebab terjadinya perilaku

bullying.

1.7Persepsi nilai yang salah atas perilaku korban

Korban merasa bahwa dirinya pantas di bully, sehingga korban tidak

berani untuk melawan pelaku.

4. Dampak Bullying

Menurut Astuti (2008), dampak bullying pada diri korban timbul perasaan tertekan oleh karena pelaku menguasai korban. Bagi korban, kondisi

ini menyebabkan dirinya mengalami kesakitan fisik dan psikologis,

kepercayaan diri yang menurun, malu, trauma, tak mampu menyerang balik,

merasa sendiri, dan merasa takut ke sekolah. Sedangkan menurut Levianti

(2008), beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bahkan dampak fisik bisa

mengakibatkan kematian. Dampak lain yang kurang terlihat namun berefek

jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis dan penyesuaian

(45)

Dampak buruk yang dapat terjadi pada korban bullying, antara lain : 4.1Kecemasan

4.2Merasa kesepian

4.3Rendah diri

4.4Depresi

4.5Penarikan sosial

4.6Keluhan pada kesehatan fisik

4.7Penggunaan alkohol dan obat – obatan (Priyatna, 2010)

5. Penanggulangan Bullying

Strategi untuk mengatasi bullying antara lain :

5.1Strategi yang menekankan pada bukti nyata (factual evidence) dan rationale untuk perubahan (empirical-rational)

5.2Strategi yang melibatkan re-edukasi dan kesepakatan pada norma-norma

baru (normative-re-educative).

5.3Strategi yang menekan orang untuk berubah (power-coercive). (Astuti, 2008)

6. Kuesioner perilaku Bullying

Beberapa kuesioner yang banyak digunakan untuk perilaku bullying antara lain The Bullying Prevalence Questionnaire (BPQ) yang dibuat oleh

Ken Rigby dan Phillip Slee (1994), dengan pilihan jawaban tidak pernah,

sekali, jarang, dan selalu. Terdapat 20 pernyataan dengan arah favorable dan

unfavorable. The Handling Bully Quitionnaire (HBQ) dibuat oleh Bauman S,

(46)

terdiri dari 5 pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, mungkin setuju, tidak

setuju, sangat tidak setuju. Kuesioner ini dapat digunakan untuk menentukan

tindakan apa yang paling tepat untuk menangani bullying karena kuesioner ini diisi langsung oleh siswa dan hasilnya dapat di diskusikan untuk menentukan

penanganan bullying yang paling tepat. Kuesioner Bullying yang dibuat oleh Atfiyanah (2013), digunakan untuk mengetahui risiko remaja dalam

melakukan bullying. Kuesioner ini terdiri dari 28 pernyataan dan dibuat dalam pertanyaan favorable dan unfavorable. Setiap pertanyaan disediakan empat pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Setuju), dan

STS (Sangat Tidak Setuju), dan penilaian menggunakan skala Likert. Untuk

pertanyaan favorable skor yang diberikan adalah 4 = SS (Sangat Sesuai), 3 =

S (Sesuai), 2 = TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Sedangkan

untuk pertanyaan unfavorable skor yang diberikan adalah 4 = STS (Sangat

Tidak Sesuai), 3 = TS (Tidak Sesuai), 2 = S (Sesuai), 1 = SS (Sangat Sesuai).

Dari ketiga kuesioner diatas, peneliti memilih menggunakan kuesioner

bullying yang dibuat oleh Atfiyanah (2013). Kuesioner ini digunakan karena peneliti ingin mengetahui risiko remaja dalam melakukan tindakan bullying, dengan hasil akhir yaitu perilaku bullying rendah atau perilaku bullying tinggi. C. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Ansietas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan

dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan dalam

(47)

(2009), ansietas merupakan perasaan tidak tenang (ketakutan) yang dialami

individu/kelompok dan aktivasi sistem sarap otonom dalam merespon

ancaman yang tidak spesifik dan tidak jelas. Kecemasan juga di definisikan

sebagai perubahan yang berseberangan dengan ketenangan yang Allah

gambarkan dalam firman-Nya dalam surat Al-Fajr ayat 27-30 yaitu “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di

ridhai-Nya: Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan

masuklah ke dalam surga-Ku” (Az-zahrani, 2005).

Sedangkan menurut Astuti & Resminingsih (2010), kecemasan

merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya

rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu

jelas.

2. Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan menurut Astuti & Resminingsih (2010), tingkat

kecemasan dibagi menjadi empat, yaitu :

2.1Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar

dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Manifestasi yang muncul

pada tingkat ini adalah kelelahan, persepsi meningkat, kesadaran tinggi,

(48)

2.2Kecemasan sedang

Memungkinkan seseorang memusatkan pada masalah yang penting

dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian

yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi

yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut

jantung, pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat

dengan volume tinggi, persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun

tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, mudah tersinggung,

perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah

stress.

2.3Kecemasan berat

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan

pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal

lain. Seseorang yang mengalami kecemasan berat memerlukan banyak

pengarahan untuk dapat memusatkan perhatiannya. Manifestasi yang

muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, insomnia,

sering kencing, diare, persepsi menyempit, tidak bisa belajar secara efektif,

berfokus pada dirinya sendiri, dan keinginan untuk menghilangkan

kecemasan tinggi.

2.4Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan karena mengalami

kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu

(49)

panik yaitu susah bernapas, pucat, pembicaraan inkoheren, tidak dapat

merespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, mengalami

halusinasi dan delusi.

Sedangkan menurut Videbeck (2008), tingkat kecemasan dibagi menjadi

tiga, yaitu :

2.1 Kecemasan ringan

Perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan

perhatian khusus, stimulasi sensori meningkat dan membantu individu

memfokuskan perhatian untuk belajar, menyelesaikan masalah, berpikir,

bertindak, merasakan, dan melindungi dirinya sendiri.

2.2 Kecemasan sedang

Perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benar-benar

berbeda, individu menjadi gugup atau agitasi.

2.3 Kecemasan berat

Kecemasan berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatu

yang berbeda dan ada ancaman, dan memperlihatkan respon takut dan

distres.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan (Stuart, 2006) :

3.1Faktor predisposisi

3.1.1 Teori psikoanalitik

Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kecemasan timbul

(50)

super ego (nurani). Id mewakili dorongan insting dan impuls

primitif seseorang sedangkan superego mencerminkan hati nurani

seseorang dan dikendalikan norma budayanya. Ego berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi

kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

3.1.2 Teori interpersonal

Menurut teori ini kecemasan timbul dari perasaan takut

terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan juga berhubungan dengan perpisahan dan kehilangan

yang menimbulkan kelemahan spesifik.

3.1.3 Teori behavior

Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu

yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan

yang diinginkan.

3.1.4 Teori perspektif keluarga

Kecemasan dapat timbul karena pola interaksi yang tidak

adaptif dalam keluarga.

3.1.5 Teori perspektif biologi

Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepam. Obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA). Yang berperan penting

dalam mekanisme biologis yang berhubungan dengan ansietas.

(51)

keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi ansietas. Cemas

mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya

menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor.

3.2Faktor presipitasi

Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

3.2.1 Ancaman terhadap integritas seseorang yang meliputi

ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kemampuan untuk

melakukan aktivitas hidup sehari – hari.

3.2.2 Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan

identitas harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi dari

seseorang.

4. Respon Terhadap Kecemasan

Menurut Stuart & Sundeen (2006), respon individu terhadap kecemasan

yaitu :

4.1Respon fisiologi

4.1.1 Kardiovaskular

Respon dari kardiovaskular berupa jantung berdebar,

peningkatan tekanan darah atau penurunan tekanan darah, denyut

nadi menurun.

4.1.2 Pernafasan

Respon dari pernafasan berupa nafas cepat, nafas pendek,

tekanan pada dada, pembengkakan pada tenggorokan, dan

(52)

4.1.3 Neuromuskuler

Respon dari neuromuskular berupa refleks meningkat, reaksi

kejutan, mata berkedip-kedip, tremor, gelisah, wajah tegang, dan

gerakan yang jangkal.

4.1.4 Gastrointestinal

Respon dari gastrointestinal berupa kehilangan nafsu makan,

menolak makan, mual, diare, dan rasa tidak nyaman pada

abdomen.

4.1.5 Traktus urinarius

Respon traktus urinarius berupa sering berkemih dan tidak

dapat menahan BAK.

4.1.6 Kulit

Respon dari kulit berupa wajah kemerahan, berkeringat di

telapak tangan, gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah

pucat, dan berkeringat seluruh tubuh.

4.2Respon perilaku

Respon perilaku berupa gelisah, tegang, tremor, bicara cepat, menarik

diri dari hubungan interpersonal, dan menghindar dari masalah.

4.3Respon kognitif

Respon kognitif yaitu konsentrasi terganggu, pelupa, hambatan

berfikir, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, takut cidera

(53)

4.4Respon afektif

Responnya yaitu mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang,

ketakutan, dan gugup.

5. Gejala Kecemasan

Menurut Carpenito (2009), gejala – gejala kecemasan dibagi menjadi

dua, yaitu :

5.1Gejala fisiologis

5.1.1 Kegelisahan

5.1.2 Tangan atau anggota tubuh bergetar

5.1.3 Banyak berkeringat

5.1.4 Sulit berbicara atau suara bergetar

5.1.5 Jantung berdebar

5.1.6 Sakit kepala

5.1.7 Nafas pendek

5.2Gejala kognitif

5.2.1 Khawatir tentang sesuatu

5.2.2 Keyakinan – keyakinan bahwa akan terjadi sesuatu yang

mengerikan akan terjadi tanpa ada alasan yang jelas

5.2.3 Merasa terancam

5.2.4 Ketakutan akan ketidakmampuan menghadapi masalah

5.2.5 Sulit berkonsentrasi

(54)

5.3Gejala emosional

5.3.1 Kurang percaya diri

5.3.2 Marah yang berlebihan

5.3.3 Menangis

5.3.4 Mencela diri sendiri

6. Kecemasan Perpisahan

6.1Pengertian kecemasan perpisahan

Kecemasan perpisahan adalah kecemasan dan kekhawatiran yang tidak

realistik pada anak tentang apa yang akan terjadi bila berpisah dengan

orang-orang yang berperan penting dalam hidupnya, misalnya orang tua.

Ketakutan itu mungkin berpusat pada apa yang mungkin terjadi dengan

individu yang berpisah dengan anak itu (misalnya orang tua akan

meninggal atau tidak kembali karena suatu alasan lain) atau apa yang

terjadi dengan anak itu bila terjadi perpisahan (ia akan hilang, diculik,

disakiti atau dibunuh) (Semiun, 2006).

Sedangkan menurut Joseph (2012), gangguan kecemasan berpisah

adalah suatu keadaan dimana individu menjadi takut dan cemas saat berada

jauh dari orang yang disayang. Karena alasan tersebut, anak itu enggan

untuk dipisahkan dari orang lain, dan mungkin karena itulah anak tidak

mau tidur sendirian tanpa ditemani atau didampingi oleh orang

kesayangannya atau tidak mampu meninggalkan rumah tanpa disertai oleh

(55)

6.2Penyebab kecemasan perpisahan

Gangguan kecemasan perpisahan seringkali terjadi setelah adanya

suatu kejadian traumatik atau yang sangat menekan kehidupan individu,

misalnya dirawat di rumah sakit, kematian orang yang disayangi, atau

pindah ke lingkungan yang lain seperti pindah rumah atau pindah sekolah

(Joseph, 2012).

6.3Tanda dan gejala kecemasan perpisahan Gejala spesifik kecemasan perpisahan yaitu :

6.3.1 Distress berlebihan berulang – ulang saat berpisah dari orang tua

6.3.2 Khawatir yang berlebihan bahwa suatu peristiwa yang tidak

diinginkan akan terjadi

6.3.3 Penolakan untuk pergi ke sekolah atau tempat lain karena

perpisahan dengan orang – orang penting

6.3.4 Takut yang berlebihan dan enggan untuk sendiri

6.3.5 Penolakan untuk tidur sendirian

6.3.6 Mimpi buruk berulang

6.3.7 Keluhan fisik yang berulang, seperti sakit kepala, sakit perut, mual

dan muntah (Grohol, 2014)

Sedangkan menurut Kaneshiro & Zieve (2013), gejala kecemasan

perpisahan yaitu :

(56)

6.3.2 Mimpi buruk

6.3.3 Keluhan fisik yang berulang – ulang

6.3.4 Khawatir kehilangan orang tua

6.3.5 Keengganan untuk tidur sendirian

6.4Dampak kecemasan perpisahan

Semiun (2006), membagi beberapa dampak dari kecemasan kedalam

beberapa simtom, yaitu :

6.4.1 Simtom suasana hati

Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan

adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber

tertentu yang tidak diketahui. Individu yang mengalami kecemasan

tidak bisa tidur, dan dengan demikian dapat menyebabkan sifat

mudah marah.

6.4.2 Simtom kognitif

Kecemasan dapat menyebabkan kekhawatiran dan keprihatinan

pada individu mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan yang

mungkin terjadi. Individu tersebut tidak memperhatikan

masalah-masalah yang ada, sehingga individu sering tidak bekerja atau

belajar secara efektif, dan akhirnya dia akan menjadi lebih merasa

(57)

6.4.3 Simtom motorik

Individu yang mengalami kecemasan sering merasa tidak

tenang, gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tujuan,

misalnya jari-jari tangan atau kaki mengetuk-ngetuk, dan sangat

kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba.

7. Kuesioner Kecemasan Perpisahan

Beberapa kuesioner yang dapat digunakan untuk melihat kecemasan

perpisahan yaitu Separation Anxiety Disorder Self Assessment Tool,

kuesioner ini dikembangkan oleh Hartford Hospital, kuesioner ini terdiri dari

12 pernyataan dengan pilihan jawaban YA atau TIDAK. Kuesioner ini

bertujuan untuk melihat apakah seorang anak atau seorang orang tua

mengalami kecemasan ketika berpisah dengan orang tua. Jika 12 pernyataan

dijawab “Ya” maka menunjukkan kecemasan perpisahan dengan orang tua

dan harus dilakukan konseling. Adult Separation Anxiety Questionnaire yang

dibuat oleh Manicavasagar V, Silove D, Wagner R, Drobny J pada tahun

2012. Kuesioner ini untuk mengukur tingkat kecemasan perpisahan untuk

masa dewasa atau yang dialami diatas usia 18 tahun, kuesioner ini

menggunakan pilihan dengan skala likert yaitu tidak pernah, kadang-kadang,

jarang, dan sering. Kelemahan kuesioner ini tidak dapat digunakan pada usia

remaja awal. Screen for Child Anxiety Related Disorder (SCARED),

kuesioner ini dikembangkan oleh Boris Birmaher, Suneeta Khetarpal, Marlane

Cully dkk. Kuesioner ini berjumlah 11 pernyataan dan dibuat dalam

(58)

penilaian 4 – 1. Kuesioner ini dibuat dengan tujuan untuk mengidentifikasi

tingkat kecemasan perpisahan dengan orang tua saat memasuki lingkungan

atau tempat baru. Setiap pernyataan disediakan empat pilihan jawaban, yaitu

SS (Sangat Sering), S (Sering), J (Jarang), dan TP (Tidak Pernah), dan

penilaian menggunakan skala Likert. Untuk pertanyaan favorable skor yang

diberikan adalah 4 = SS (Sangat Sering), 3 = S (Sering), 2 = J (Jarang), 1 = TP

(Tidak Pernah). Sedangkan untuk pertanyaan unfavorable skor yang diberikan

adalah 4 = TP (Tidak Pernah), 3 = J (Jarang), 2 = S (Sering), 1 = SS (Sangat

Sering).

Dari ketiga kuesioner diatas, peneliti memilih untuk menggunakan

kuesioner Screen for Child Anxiety Related Disorder (SCARED), karena

peneliti ingin mengetahui tingkat kecemasan perpisahan dengan orang tua saat

remaja memasuki pesantren. Dengan hasil individu mengalami kecemasan

rendah atau kecemasan tinggi.

D. Teman Sebaya

Teman sebaya adalah anak pada usia yang sama atau pada level

kedewasaan yang sama (Santrock, 2007). Teman sebaya adalah sekelompok

orang yang memiliki usia yang sama dan memiliki kelompok sosial yang

sama pula, misalnya teman sekolah (Mu’tadin, 2002).

Interaksi teman sebaya memainkan peran khusus dalam perkembangan

sosioemosional anak-anak, salah satu fungsi yang paling penting dari

kelompok teman sebaya adalah untuk memberika sumber informasi dan

(59)

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa teman sebaya adalah sekelompok orang yang memiliki usia yang sama dan biasanya terjadi

pertukaran informasi yang dapat mempengaruhi perilaku dari anggota lainnya.

Relasi dengan teman sebaya dapat berdampak positif ataupun negatif.

Sisi positifnya antara lain adalah anak-anak mengeksplorasi prinsip-prinsip

kesehatan dan keadilan melalui pengalaman ketika mereka mgalami

perbedaan pendapat dengan teman sebayanya (Piaget, 1932, Sullivan, 1953

dalam Santrock, 2007).

Selain itu para ahli juga mengungkapkan dampak negatif teman sebaya

bagi perilaku individu. Teman sebaya memiliki pengaruh besar dalam tingkah

laku individu, remaja yang memiliki perilaku buruk akan memberikan

pengaruh negatif kepada teman sebayanya. Salah satu pengaruh buruknya

yaitu dapat menjadikan individu sebagai pelaku tindakan bullying, karena salah satu faktor penyebab terjadinya bullying adalah faktor teman sebaya. Tindakan bullying dilakukan oleh remaja karena adanya teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara menyebarkan ide (baik secara aktif

maupun pasif), remaja menganggap bahwa perilaku bullying bukanlah suatu masalah besar dan merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Remaja

memiliki keinginan untuk tidak lagi bergantung pada keluarganya dan mulai

mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya, untuk

mendapatkan rasa aman tersebut, remaja mengikuti perilaku- perilaku yang

teman sebayanya lakukan (Kupersmidt & Derosier, 2004 dalam Santrock,

(60)

E. Pesantren

1. Pengertian Pesantren

Kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan

akhiran “an”, yang artinya tempat tinggal santri. Pesantren adalah tempat para

santri menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya (Efendi & Makhfudli,

2009). Pesantren adalah institusi yang memfokuskan pengajaran agama

dengan menggunakan metode pengajaran tradisional dan mempunyai

aturan-aturan (Khuluq, 2008). Sedangkan menurut Wahid (2001) dalam Indonesian

institute for society empowerment / INSEP (2011), pesantren merupakan

kehidupan yang unik yang menunjukkan ciri-ciri subkultur. Pondok pesantren

merupakan salah satu lembaga pendidikan agama islam berupa asrama yang

terpisah antara santri putra dan santri putri (Siregar, 2013).

2. Jenis Pesantren

Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren-pesantren berusaha

mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Berdasarkan kegiatan

yang berlangsung di dalam pesantren, pesantren dapat di klasifikasikan

menjadi 2 macam, yaitu :

2.1Pesantren salafi atau salafiah (tradisional)

Pesantren salafi merupakan pondok pesantren yang hanya

mengajarkan kitab klasik dan agama islam. Umumnya, lebih

mendahulukan dan mempertahankan hal-hal yang bersifat tradisional

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ...............................................................
Tabel  3.1  Definisi Operasional .....................................................................
gambarkan dalam firman-Nya dalam surat Al-Fajr ayat 27-30 yaitu “Hai jiwa
Tabel 5.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Keduang Wonogiri, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Laboratorium Biologi dan Bioteknologi Tanah, Laboratorium Fisika dan

Masing- masing subyek atau unit populasi memiliki peluang yang sama dan independen untuk terpilih ke dalam sampel (Murti, 2006).. Dari penelitian sebelumnya yang serupa belum

Dari Gambar 7 terlihat bahwa penurunan kadar hemoglobin pada semua pelakuan pemaparan insektisida malathion sampai pada pengukuran hari ke-30, dimana makin tinggi

pada angka IPM ini pun disebabkan karena terjadinya peningkatan pada semua komponen yang termasuk kedalam komponen Indeks Pembangunan Manusia yaitu terjadinya

Gambar 4.14 Grafik pengaruh suhu hydrothermal terhadap %kritallinitas pada zeolit (a) sodalit (b) zeolit A yang

Pengaruh Current Ratio, Debt to Equity Ratio dan Debt to Assets Ratio Terhadap Return on Equity Pada Perusahaan OtomotifdanKomponen Yang Terdaftar Di Bursa Efek

Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat. Bidang Fasilitasi

hubungan negatif atau tidak searah antara variabel regulasi emosi dan perilaku bullying, artinya hipotesis diterima berarti semakin buruk regulasi emosi santri