• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru di SMPN 106 Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru di SMPN 106 Jakarta"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DI SMPN 106 JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

SITI NAJJMIATUL ULUM RINNIKE

206018200212

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, Cet. Ke-13.

Bafadal, Ibrahim, Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet I.

Handoko, T. Hani, Manajemen, Yogyakarta: BPFE, 1998, Ed.2, Cet. Ke-13.

Khayat, Hubungan antara Persepsi Guru tentang Supervisi Pendidikan dengan Kompetensi Profesional Guru SMP Islam Al-Azhar 6 Jakapermai, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Perpustakaan FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah

Pidarta, Made, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Ed. 2, Cet. 1.

Sagala, Syaiful, Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010, Cet. I.

Sahertian, Piet A., Konsep Dasar dan Teknik supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka cipta 2008.

Sahertian, Piet A. dan Ida Aleida Sahertian, Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Inservice Education, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

SAM Mu’arif, Modul Pendidikan dan Pelatihan profesi Guru: Supervisi Akademik, Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2009.

Subari, Supervisi Pendidikan dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar, Jakarta: bumi Aksara, 1994, Cet. I.

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta, cet.ke-8, 2002.

(3)
(4)

i

HUBUNGAN INTENSITAS PELAKSANAAN SUPERVISI AKADEMIK

KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI KERJA GURU

DI SMPN 106 JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan (S.Pd)

Oleh :

SITI NAJJMIATUL ULUM RINNIKE

206018200212

Di bawah Bimbingan :

FATHI ISMAIL, MM NIP. 19491012197831002

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(5)

ii

Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada 28 Febuari 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.).

Jakarta, 14 Maret 2011

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI) Tanggal Tanda Tangan

Drs. Rusdy Zakaria, M.Ed. M.Phil. ... ... NIP: 19560530 198503 1 002

Sekertaris (Ketua Prodi MP)

Drs. H. Mu’arif SAM., M.Pd. ... ... NIP: 19650717 199403 1 005

Penguji I

Drs. H. Mu’arif SAM., M.Pd. ... ... NIP: 19650717 199403 1 005

Penguji II

Drs. Salman Tumanggor, M.Pd. ... ... NIP: 19570710 197903 1 002

Mengetahui:

Dekan,

Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.

(6)

iii

”HUBUNGAN INTENSITAS PELAKSANAAN SUPERVISI AKADEMIK

KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI KERJA GURU DI SMPN 106

JAKARTA” yang disusun oleh SITI NAJJMIATUL ULUM RINNIKE, NIM

206018200212. Program Studi Manajemen Pendidikan; Jurusan Kependidikan

Islam; Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada tanggal 11

November 2010

Jakarta, 11 November 2010

Dosen Pembimbing Skripsi

Fathi Ismail, MM

(7)

iv Bismillahirrahmanirrahim

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Siti Najjmiatul Ulum Rinnike

NIM : 206018200212

Program Studi : Manajemen Pendidikan

Jurusan : Kependidikan Islam

Fakultas : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 11 November 2010

(8)

v

Islam, Program Studi Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru. Penelitian dilakukan di SMPN 106 Jakarta, metode yang digunakan adalah korelasional dengan menggunakan rumus dari Karl Pearson. Metode korelasional ini digunakan untuk mengetahui hubungan intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru. Adapun yang menjadi sumber data pada penelitian ini yaitu kepala sekolah dan semua guru SMPN 106 Jakarta yang berjumlah 40 orang. Instrumen yang digunakan adalah angket yang terdiri dari 27 item pernyataan pilihan yaitu 15 item untuk intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dan 12 item untuk motivasi kerja guru. Angket disebarkan kepada semua guru, sedangkan instrumen wawancara kepada kepala sekolah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru di SMPN 106 Jakarta dengan nilai korelasi 0,708. Angka tersebut menunjukan nilai korelasi cukup tinggi atau dengan kata lain, variabel X (intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah) memberikan pengaruh sebesar 50,13% terhadap variabel Y (motivasi kerja guru). Sementara sebesar 49,87% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu supervisor (kepala sekolah) lebih mengembangkan program-program yang dapat memotivasi guru, berperan sebagai motivator yaitu mendorong para guru menerapkan kemampuannya, menganalisis faktor-faktor yang dapat memotivasi dan mengatur strateginya, meningkatkan lagi pengawasannya, sehingga aktivitas sekolah terkontrol dengan baik. Sedangkan bagi para guru perlu memperhatikan hasil supervisi agar dapat memperbaiki diri.

(9)

vi

telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Intensitas

Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala Sekolah dengan Motivasi Kerja

Guru di SMPN 106 Jakarta”

Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi

Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir

zaman.

Dalam penyusunan skripsi ini tentunya banyak terjadi kendala dan

hambatan yang tidak dapat dihindari penulis, namun berkat bimbingan dan

kontribusi material, pemikiran, gagasan dari berbagai pihak, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan penelitian ini.

Dengan segala hormat, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga,

kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan.

2. Drs. Rusdy Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam.

3. Drs. H. Mu’arif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen

Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

4. Fathi Ismail, M.M, dosen pembimbing skripsi yang senantiasa

memberikan arahan, waktu dan tenaga serta pikiran untuk memberikan

bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian ini.

5. Drs. H. MS, Siregar, Kepala SMPN 106 Jakarta yang telah

memperkenankan dan membantu penulis melakukan penelitian di sekolah.

6. Dra. Nurmaida. S, Wakil Kepala Sekolah, beserta seluruh guru dan para

staf SMPN 106 Jakarta yang telah banyak membantu dalam melaksanakan

penelitian.

7. Ayahanda dan ibunda tercinta, Sobirin S.Pd dan Suratmi AMd.Pd yang tak

(10)

vii

luar biasa dan terima kasih atas doa yang kalian panjatkan untuk penulis.

9. Sahabat-sahabatku tercinta, Dani Ramdani, Fifi Fitriah, Aminah, Nopi,

Aesya, Chusnul, Amar, Rahmi dan Mima yang selalu ada untuk penulis

baik suka maupun duka, kalian selalu memberikan kekuatan dan motivasi

bagi penulis. Love you all. Kalian adalah anugerah terindah yang pernah ada dalam hidupku.

10.Teman-temanku prodi MP ’06 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terima kasih atas segala bantuan yang kalian berikan.

Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi

penulis dan bagi para pembaca. Semoga Allah Yang Maha Penyayang membalas

semua jasa baik yang turut serta membantu dalam penulisan skripsi ini. Amin…

Jakarta, 11 November 2010

(11)

viii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASYAH ... ii

UJI REFERENSI ... iii

SURAT PERNYATAAN KARYA PENULIS ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Motivasi Kerja Guru 1. Pengertian Motivasi Kerja ... 8

2. Peranan Motivasi Kerja ... 10

3. Teori Motivasi kerja ... 11

B. Supervisi Akademik Kepala Sekolah 1. Pengertian Supervisi Akademik ... 23

2. Tujuan Supervisi Akademik... 26

3. Fungsi Supervisi Akademik ... 28

4. Prinsip Supervisi Akademik... 29

5. Dimensi Supervisi Akademik ... 31

6. Kompetensi Supervisor Akademik ... 33

(12)

ix BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian ... 45

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

C. Metode Penelitian ... 45

D. Populasi dan Sampel ... 46

E. Variable Penelitian ... 46

F. Instrumen Penelitian ... 46

G. Teknik Pengumpulan Data ... 53

H. Teknik Analisa Data dan Teknik Interpretasi Data ... 53

I. Hipotesis Statistik ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ... 56

B. Analisa Data dan Interpretasi Data... 61

C. Keterbatasan Penelitian ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA

(13)

x

Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) ... 35

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Kuesioner Hubungan Intensitas Pelaksanaan

Supervisi Akademik Kepala Sekolah dengan Motivasi Kerja Guru di

SMPN 106 Jakarta ... 47

Tabel 3. Perhitungan Nomor Item Valid dan Drop ... 50

Tabel 4. Tingkat Motivasi Kerja Guru ... 54

Tabel 5. Tingkat Intensitas Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala

Sekolah ... 54

Tabel 6. Jumlah Skor Hasil Angket Motivasi Kerja Guru ... 56

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Guru ... 58

Tabel 8. Jumlah Skor Hasil Angket Intensitas Pelaksanaan Supervisi Akademik

Kepala Sekolah ... 59

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Intensitas Pelaksanaan Supervisi Akademik

Kepala Sekolah ... 60

[image:13.612.112.506.160.550.2]
(14)

xi

Gambar 2. Hierarki Motivasi Kerja ... 14

Gambar 3. Tiga Tujuan Supervisi Akademik ... 27

[image:14.612.113.502.133.543.2]
(15)

xii Lampiran 2. Blangko Supervisi Kelas

Lampiran 3. Surat Pengajuan Proposal

Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 5. Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Observasi

Lampiran 7. Surat Permohonan Riset/Wawancara

Lampiran 8. Surat Keterangan Penelitian

Lampiran 9. Lembar Kuesioner

Lampiran 10. Skor Hasil Angket

Lampiran 11. Tabel Uji Validitas Instrumen

Lampiran 12. Tabel Penolong Uji Realibilitas

Lampiran 13. Nukilan Tabel Nilai-nilai r-Product Moment

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjadi negara yang maju merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh

setiap negara di belahan dunia mana pun. Suatu negara dikatakan maju atau

tidaknya dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikan merupakan bagian

terpenting bagi suatu negara dalam membangun sumberdaya manusia yang

berkualitas, baik dari segi spiritual, intelegensi, maupun keterampilan.

Guru merupakan salah satu komponen utama dalam tujuan pendidikan,

mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan pendidikan yang bermutu.

Peran guru dalam proses pembelajaran tidak dapat digantikan dengan

teknologi tercanggih apapun, karena dalam proses pembelajaran terdapat

unsur-unsur manusiawi seperti sikap, prilaku, moral dan lain sebagainya yang

tidak dapat diperoleh dari teknologi. Oleh sebab itu hendaknya guru harus

senantiasa mengembangkan potensi serta kreativitas yang dimiliki. Selain itu,

guru harus selalu memperbaiki dirinya melalui belajar.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

Dosen, pada pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”Guru

adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik

pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan

(17)

pendidikan menengah”. Dan pada pasal 6 yang berbunyi “Kedudukan guru

dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem

pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan

bertanggung jawab”. Serta pada pasal 10 ayat 1 ditegaskan pula bahwa

”Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sebagai agen pembelajaran

pada jenjang pendidikan dasar menengah serta pendidikan usia dini meliputi

kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan

kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.1

Aktivitas proses pembelajaran merupakan inti dari pendidikan, Proses

pembelajaran tersebut akan berhasil atau mencapai tujuan jika aktivitas

pembelajaran di kelas dapat dikendalikan dengan baik oleh guru. Oleh karena

itu guru sebagai pemegang peranan utama dituntut untuk meningkatkan

kompetensi mereka demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.

Glickman dalam uraiannya mengenai paradigma kategori guru,

merumuskan pendapatnya, sebagai berikut:2

“Walaupun orang dilatih dalam kemampuan dan keterampilan yang

terlatih, tetapi persoalan pokok yaitu kemampuan berfikir kreatif dan tingkat

komitmennya rendah, maka guru tersebut tidak akan berhasil dalam

melakukan tugasnya”

Pernyataan tersebut melukiskan bahwa selama sikap personal dan

profesional masih dibelenggu oleh berbagai problema, maka gairah kerja dan

kualitas kerja akan berkurang. Problem itu menyangkut problem pribadi

maupun profesional yang berhubungan dengan profesi mengajar.

1

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

2

(18)

Pada studi lain George E. Hill dalam risetnya yang berjudul “Teacher’ Instructional Dificulties - A Review of Research” yang dikutip oleh Hennry P. Smith, mengajukan 18 kesulitan yang sering dilaporkan guru seperti berikut:3

“(1) Kesulitan dalam memperlengkapi perbedaan individu di antara murid-murid; (2) Kesulitan dalam metode mengajar; (3) Kesulitan dalam disiplin, pengawasan, perkembangan sosial tiap siswa; (4) Kesulitan dalam motivasi, menumbuhkan minat siswa, dan membina kerjasama; (5) Kesulitan dalam membimbing cara belajar siswa; (6) Kesulitan mengorganisir dan mengadministrasi kelas; (7) Kesulitan dalam memilih materi pelajaran yang tepat; (8) Kurangnya waktu selama jam pelajaran untuk melakukan apa yang harus dikerjakan; (9) Kesulitan dalam mengorganisir pelajaran; (10) Kesulitan dalam merencanakan dan mengerjakan tugas-tugas; (11) Kesulitan dalam promosi dan kenaikan; (12) Ketidakcukupan suplai (13) Kesulitan dalam tes dan evaluasi; (14) Kesulitan pribadi dari guru-guru; (15) Kesulitan yang timbul dari kondisi kerja; (16) Kesulitan dalam diagnosa dan memperbaiki para siswa; (17) Kesulitan dalam mengajar membaca; (18) Kesulitan dalam merancang rencana pembelajaran.”

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru di atas ternyata bukan saja

kesulitan yang menyangkut kegiatan pembelajaran tetapi juga terdapat

kesulitan dalam aktualisasi diri untuk promosi dan kenaikan, serta kesulitan

pribadi yang dihadapi oleh guru. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat menjadi

salah satu pemicu guru menjadi tidak fokus terhadap tugas-tugasnya karena

tuntutan berbagai kesulitan yang harus segera diselesaikan. Maka perlu

dilakukan sesuatu hal, untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan bantuan

supervisor, yaitu orang atau instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi

terhadap guru.

Dalam hal ini, kepala sekolah mempunyai tanggung jawab untuk

melaksanakan kegiatan supervisi yaitu dalam bentuk supervisi akademik.

Maka, kepala sekolah perlu menguasai kompetensi supervisi yang tertuang

dalam Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala

Sekolah/Madrasah sehingga kegiatan supervisi dapat berjalan dengan baik.

3

(19)

Usaha-usaha yang dilakukan dengan bantuan supervisor bukan hanya

melakukan pembinaan untuk meningkatkan profesionalisme guru saja tetapi

perlu memperhatikan dari segi yang lain seperti pemberian motivasi.

Pemberian motivasi yang dilakukan oleh supervisor dapat berupa

pengembangan potensi melalui workshop, seminar dan sebagainya; memberi

kesempatan mengembangkan kreativitas mereka; menghargai

penemuan-penemuan mereka; mengikut sertakan mereka dalam menentukan kebijakan

sekolah; pemberian insentif; menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan;

memberikan konsultasi; dan lain sebagainya.

Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Herzberg menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang dapat berhasil memotivasi individu ialah prestasi

yang dicapai, penambahan pengetahuan, pekerjaan itu sendiri (yang

menantang), tanggung jawab, dan kemajuan-kemajuan yang diperoleh (Hoy,

1979, h 102).4

Menurut Briggs sebagaimana dikutip oleh Piet Sahertian dalam bukunya

Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan, mengungkapkan bahwa

fungsi utama supervisi bukan hanya perbaikan pembelajaran saja, tapi untuk

mengkoordinasi, menstimulasi, dan mendorong ke arah pertumbuhan profesi

guru.5 Oleh karena itu fungsi supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah

yaitu memberikan bimbingan terhadap guru-guru dalam mengatasi

permasalahan pendidikan termasuk permasalahan yang dihadapi guru secara

bersama-sama. Karena seperti yang dijelaskan dalam buku Administrasi dan

Supervisi Pendidikan bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang

direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam

melakukan pekerjaan mereka secara efektif.6 Dan jika saran atau nasihat yang

diberikan oleh supervisor tidak diperhatikan dan dijalankan dengan baik maka

akan berdampak kurang baik pada pekerjaan.

4

Made Pidarta, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992, h. 8.

5

Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka cipta, 2008), h. 21.

6

(20)

Guru menjadi seorang pendidik karena adanya motivasi untuk mendidik.

Motivasi merupakan hal yang penting dalam diri seseorang karena motivasi

merupakan penggerak/pendorong seseorang melakukan sesuatu dengan penuh

kerelaan. T. Hani Handoko dalam bukunya Manajemen, menjelaskan istilah

motivasi yaitu motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang

yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan

tertentu guna mencapai tujuan.7 Suatu pekerjaan guru dalam aktivitas

pembelajaran akan tercapai jika guru mempunyai motivasi yang kuat, sedang

guru yang kurang termotivasi maka akan bekerja dengan setengah hati.

Atas dasar uraian di atas, selain menekankan pada pembinaan guru atau

pembinaan profesional guru, supervisi juga sebagai usaha untuk

membangkitkan motivasi atau semangat kerja guru dalam menjalankan

tugasnya dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya semangat kerja tersebut,

guru lebih fokus dalam mendidik. Dengan demikian, akan mewujudkan proses

pembelajaran yang berkembang, sehingga meningkatkan prestasi peserta

didik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khayat, menjelaskan bahwa

hubungan antara persepsi guru tentang supervisi pendidikan dengan

kompetensi profesional guru SMP Islam Al-Azhar 6 Jakapermai memiliki

koefisien korelasi sebesar 0,57 yang berarti terdapat korelasi positif dalam

kategori sedang, sedangkan kontribusi persepsi guru tentang supervisi

pendidikan terhadap kompetensi profesional guru SMP Islam Al-Azhar 6

Jakapermai berdasarkan angka koefisien determinasi sebesar 32,49%,

sedangkan sisanya 67,51% merupakan kontribusi variabel lain yang tidak

termasuk dalam penelitian.8

Berdasarkan observasi pada bulan Juli, dalam proses pembelajaran di

SMPN 106 Jakarta, masih terdapat permasalahan dalam pemakaian metode

belajar yaitu terdapat beberapa guru yang masih memakai metode lama seperti

7

T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1998), Cet. XIII, h. 252.

8

(21)

ceramah atau hanya memakai satu metode secara terus menerus dalam

pembelajaran. Bukankah hal tersebut dapat membuat para anak didik menjadi

jenuh dan pasif dalam proses pembelajaran, yang nanti dapat berdampak pada

kualitas pembelajaran yang rendah. Selain itu hendaknya dalam pembelajaran,

guru memakai metode belajar lebih dari satu, sehingga kekurangan yang

terdapat pada metode satu dapat tertutup oleh kelebihan metode yang lain.

Hal tersebut boleh jadi disebabkan oleh guru yang tidak fokus karena

berbagai permasalahan yang sering dihadapi, baik masalah pribadi maupun

masalah di sekolah, atau lebih disebabkan karena semangat kerja guru yang

rendah/rangsangan motivasi yang kurang, sehingga guru mengajar dengan

setengah hati dan tidak memperhatikan langkah-langkah dalam menciptakan

proses pembelajaran yang efektif. Selain itu, seseorang guru mengungkapkan

bahwa terdapat beberapa guru ketika disupervisi mereka sungguh-sungguh

dalam menciptakan pembelajaran yang aktif tetapi ketika mereka tidak

disupervisi mereka kembali kekebiasaan awalnya dalam mengajar. Dalam hal

ini diketahui bahwa beberapa orang guru tersebut termasuk kedalam tipe

orang-orang yang perlu diawasi. Tipe orang ini sangat cocok diberikan sangsi

hukuman sehingga menimbulkan efek jera, namun sekolah tidak menerapkan

hukuman bagi guru yang melakukan kesalahan.

Dari fenomena tersebut, maka peneliti akan meneliti lebih jauh terkait

permasalahan tersebut. Dari latar belakang inilah, maka penulis memberi

penelitian ini dengan judul “HUBUNGAN INTENSITAS PELAKSANAAN

SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI

KERJA GURU DI SMPN 106 JAKARTA”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah yang perlu untuk dikemukakan, antara lain:

1. Semangat bekerja/rangsangan motivasi yang kurang.

2. Guru tidak fokus dalam mengajar, karena berbagai permasalahan yang

(22)

3. Terdapat beberapa guru yang termasuk kedalam tipe yang perlu diawasi

saat bekerja.

4. Sekolah tidak menerapkan sangsi/hukuman bagi guru yang melakukan

kesalahan.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Untuk memfokuskan pembahasan pada titik permasalahan, maka penulis

membatasi masalah yaitu intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala

sekolah yang dimaksud adalah dilihat dari segi pembinaan/pengembangan

kurikulum, perbaikan proses belajar, pengembangan/pembinaan sumberdaya

guru, dan pemberian reward dan punishment. Sedangkan motivasi kerja yang

dimaksud yaitu dari segi fisiologi, keamanan, sosial, penghargaan dan

aktualisasi diri. Serta guru yang dimaksud yaitu seluruh guru SMPN 106

Jakarta.

b. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan

masalah yang akan diteliti adalah bagaimana hubungan intensitas pelaksanaan

supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru?

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Peneliti, menambah wawasan pengetahuan peneliti mengenai hubungan

intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi

kerja guru.

2. Lembaga Pendidikan, menjadi bahan masukan tentang intensitas

pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi kerja guru.

3. Pihak lain yaitu masyarakat, memberikan sumbangan pemikiran dan

sebagai referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian

(23)

BAB II

KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERFIKIR DAN

PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Motivasi Kerja Guru

1. Pengertian Motivasi Kerja Guru

Ada berbagai macam definisi yang muncul terkait istilah motivasi.

Istilah motivasi (motivation) berasal dari kata latin, yaitu movere yang berarti menggerakkan atau to move. Menurut beberapa pendapat para ahli tentang pengertian motivasi, sebagaimana dikutip oleh J. Winardi dalam

bukunya yang berjudul Motivasi dan pemotivasian dalam manajemen:1

a. Mitchell, (1982: 81) mengemukakan rumusan motivasi yaitu ”... motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan ke arah tujuan tertentu”.

b. Stephen P. Robbins dan mary Coulter dalam karya mereka yang berjudul Management. Kata mereka : ”... apakah yang kiranya dimaksud dengan motivasi karyawan (Employee Motivation)?”. Kita akan merumuskannya sebagai : ”Kesedian untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisi oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu”. (Robbins et al, 1999: 50).

1

J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 1-2.

(24)

c. Definisi lain tentang motivasi dinyatakan oleh Gray et al (1984 : 69), bahwa ”... motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu

dorongan yang membuat seseorang melakukan aktivitas tertentu melalui

potensi yang dimiliki, mengarah kepada pencapaian suatu tujuan. Motivasi

diberikan untuk menambah gairah seseorang agar mau bekerja lebih giat.

Untuk memotivasi seseorang maka harus mengetahui motif atau

kebutuhan-kebutuhan apa yang mereka inginkan.

Maka yang dimaksud dengan motivasi kerja guru adalah dorongan

yang membuat seorang guru melakukan pekerjaannya. Seorang guru yang

memiliki motivasi tinggi akan mempunyai kemauan lebih kuat dalam

melaksanakan pekerjaan, dibandingkan guru yang memiliki motivasi

rendah.

Hal demikian ini juga ditegaskan oleh Hoy dan Miskel (1987) dan

Sergivanni (1987). Motivasi kerja seorang guru bisa tinggi bisa rendah.

Tinggi rendahnya motivasi kerja seorang guru sangat mempengaruhi

performansinya dalam mengerjakan tugas-tugasnya (Wiles, 1955).

Menurut Sergiovanni (1987), motivasi kerja adalah keinginan (desire) dan kemauan (willingness) seseorang untuk mengambil keputusan, bertindak, dan menggunakan seluruh kemampuan psikis, sosial, dan kekuatan

fisiknya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.2

Sedangkan Pandangan lain tentang motivasi kerja dikemukakan oleh

John R. Schermerhorn Jr. C.s. katanya ”... motivasi untuk bekerja,

merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang prilaku

keorganisasian (Organizational Behavior = OB), guna menerangkan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang

2

(25)

menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang

dilaksanakan dalam hal bekerja.” 3

Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa motivasi kerja guru

adalah dorongan yang membuat guru u melakukan pekerjaan yaitu sebagai

pendidik agar tercapai tujuan pekerjaan sesuai dengan rencana. Suatu

pekerjaan guru dalam kegiatan pembelajaran akan tercapai jika guru

mempunyai motivasi yang kuat, sedang guru yang kurang termotivasi

maka keinginan/minatnya pada pekerjaan akan kurang.

2. Peranan Motivasi Kerja

Tugas pihak manajemen adalah menyalurkan motif-motif para

bawahan secara efektif, ke arah tujuan-tujuan keorganisasian. Para

manajer makin banyak menaruh perhatian terhadap syarat-syarat

behavioral organisasi-organisasi mereka. Dan setiap organisasi perlu

memenuhi tiga macam syarat behavioral sebagai berikut: 4

a. Orang tidak hanya harus tertarik, untuk berpartisipasi dengan suatu

organisasi, tetapi tetap berada di sana.

b. Orang-orang harus melaksanakan tugas-tugas, untuk apa mereka

dipekerjakan.

c. Orang-orang harus melampaui kinerja rutin, dan melibatkan diri dalam

perilaku yang bersifat kreatif dan inovatif dalam pekerjaan mereka.

(Katz, et all.: 1978).

Dengan perkataan lain, agar suatu organisasi menjadi efektif, maka

organisasi tersebut perlu menangani masalah-masalah motivasional, antara

lain:5

Pertama, untuk merangsang orang-orang agar mereka bersedia turut serta dengan perusahaan yang bersangkutan, dan tetap berada di sana.

Misalnya menyediakan: rencana-rencana pensiun yang memadai, asuransi

3

J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen..., h. 2.

4

J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen..., h. 131.

5

(26)

jiwa kelompok, dan penggantian biaya-biaya pengobatan yang

meyakinkan. Kedua, untuk memastikan para karyawan melaksanakan tugas-tugasnya, maka para calon karyawan diseleksi secara hati-hati, untuk

mengetahui apakah mereka memiliki keterampilan yang diperlukan setelah

mereka dipekerjakan, maka kinerja mereka dinilai secara rutin. Ketiga,

perusahan-perusahaan yang menghadapi masalah-masalah baru,

memerlukan perilaku kreatif dan inovatif dari karyawan mereka.

Dapat disimpulkan bahwa persoalan motivasi perlu diperhatikan oleh

berbagai lembaga atau organisasi apa pun termasuk lembaga pendidikan.

Dalam lembaga pendidikan hal ini pun dapat membantu kepala sekolah

dalam upaya mempertahankan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan

terbaik yang dimiliki dan dapat merangsang semangat kerja mereka untuk

melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, serta dapat meningkatkan

kreativitas dan potensi yang dimiliki para guru.

3. Teori Motivasi Kerja

Motivasi berawal dari adanya kekurangan dalam diri seseorang atau

kebutuhan yang belum terpenuhi. Seseorang dalam melakukan suatu

aktivitas tertentu selalu didorong oleh motif-motif tertentu, yaitu

merupakan upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins,

Sprintahall dan Sprinthall yang dikutip oleh ibrahim bafadal dalam

bukunya supervisi pengajaran bahwa kebutuhan merupakan

kekurangan-kekurangan (deficiency) yang dimiliki seseorang. Kekurangan-kekurangan ini bukan hanya pada aspek fisiologi melainkan juga pada aspek

psikologis.6

Timbullah sebuah pertanyaan. Kebutuhan-kebutuhan apasaja yang

dapat mendorong seseorang untuk bekerja?. Pertanyaan tersebut dapat

6

(27)

dijawab melalui teori-teori kebutuhan dasar manusia. Teori-teori tersebut

antara lain sebagai berikut:

a. Hierarki Kebutuhan Maslow.

Teori motivasi manusia yang dikembangkan oleh Abraham

Maslow telah mendapat banyak perhatian pada masa lalu. Maslow

mendasarkan konsep hierarki kebutuhan pada dua prinsip. Prinsip

tersebut antara lain:7

1.) Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat disusun dalam suatu hierarki

dari kebutuhan yang terendah hingga kebutuhan yang tertinggi.

2.) Suatu kebutuhan yang telah terpuaskan berhenti menjadi motivator

utama dari perilaku.

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut dalam

hirarki kebutuhan, yaitu motivasi manusia berhubungan dengan lima

[image:27.612.111.505.147.632.2]

kebutuhan, sebagimana dilihat pada gambar di bawah ini:8

Gambar 1.

Hierarki kebutuhan-kebutuhan dari Maslow

7

T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1998), Ed. 2, Cet. Ke-13, h. 256.

8

(28)

1) Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal yang merupakan kebutuhan

terendah dalam hierarki kebutuhan manusia. Kebutuhan ini perlu

dipenuhi untuk mempertahankan hidup. Adapun yang termasuk

dalam kebutuhan ini seperti oksigen, pangan, minuman, eliminasi,

istirahat, aktivitas, dan pengaturan suhu.

2) Kebutuhan-kebutuhan akan keamanan yang sering dinyatakan

dalam wujud keinginan akan proteksi terhadap bahaya fisikal, yaitu

seperti bahaya kebakaran, atau serangan kriminal; keinginan untuk

mendapatkan kepastian ekonomi; preferensi terhadap hal-hal yang

dikenal, dan menjauhi hal-hal yang tidak dikenal; dan keinginan

atau dambaan orang akan dunia yang teratur serta yang dapat

diprediksi.

3) Kebutuhan sosial, kebutuhan ketiga ini akan muncul jika

kebutuhan pertama dan kedua telah terpuaskan yaitu kebutuhan

sosial. Seorang individu, ingin tergolong pada kelompok-kelompok

tertentu, ia ingin berasosiasi dengan pihak lain, ia ingin diterima

oleh rekan-rekannya, dan ia ingin berbagi dan menerima sikap

berkawan.

4) Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (kebutuhan egoistik)

terdiri dari kebutuhan penghargaan untuk penghargaan diri, dan

untuk penghargaan dari pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan

mencakup kebutuhan untuk mencapai kepercayaan diri, prestasi,

kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri dan kebebasan serta

independensi (ketidakketergantungan). Kelompok kedua

kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan mencakup kebutuhan

yang berkaitan dengan reputasi seseorang individu atau

penghargaan dari pihak lain; kebutuhan akan status; pengakuan,

appresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan oleh pihak

lain.

5) Kebutuhan untuk merealisasi diri ini merupakan kebutuhan pada

(29)

Kebutuhan-kebutuhan tersebut berupa kebutuhan individu untuk

merealisasikan potensi yang ada pada dirinya, untuk mencapai

pengembangan diri secara berkelanjutan, untuk menjadi kreatif,

dalam arti kata seluas-luasnya.

Maslow tidak bermaksud, hierarki kebutuhannya itu secara

langsung diterapkan dalam motivasi kerja. Dia tidak menggali

aspek-aspek motivasi manusia dalam suatu organisasi sampai pada sekitar 20

tahun, setelah ia menyampaikan teori aslinya itu, Douglas Mc Gregor

dalam bukunya The Human Side of Enterprise mencoba mempopulerkan teori maslow dalam literatur manajemen. Dengan

demikian hierarki kebutuhan dari Maslow dapat diubah ke dalam

tatanan model motivasi kerja seperti yang dilukiskan pada gambar

[image:29.612.114.498.137.668.2]

berikut:9

Gambar 2.

Hierarki Motivasi Kerja

9

Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 228-229.

Fisik, misalnya gaji, upah tunjangan, honorium, bantuan pakaian, sewa perumahan, uang transport dan lain-lain.

Keamana, misalnya: jaminan masa pension, santunan kecelakaan, jaminan asuransi

kesehatan dan sebagainya Sosial atau afiliasi misalnya: kelompok formal atau informal,

menjadi ketua yayasan, ketua organisasi olahraga, dan sebagainya.

Penghargaan misalnya: status, titel,

simbol-simbol, promosi, perjamuan dan

(30)

Dengan demikian, kebutuhan yang paling dasar harus dipenuhi

terlebih dahulu, setelah kebutuhan paling dasar terpenuhi maka

kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya akan menjadi kebutuhan

utama. Kebutuhan ketiga akan muncul jika kebutuhan kedua tersebut

telah terpenuhi. Begitu seterusnya sampai terpenuhinya kebutuhan

aktualisasi diri. Sebagaimana telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa

suatu kebutuhan yang telah terpenuhi tidaklah menjadi motivator

utama lagi dalam bertindak.

b. Teori Higiene-motivasi tentang kepuasan kerja dari Frederick

Herzberg.

Frederick Herzberg, seorang ilmuwan behavioral terkenal,

mengembangkan teori higiene-motivator pada akhir tahun 1960.

Herzberg menyatakan pendapatnya bahwa motivasi merupakan sebuah

dampak langsung dari kepuasan kerja. Dalam studinya, Herzberg

rekan-rekannya mewawancarai sejumlah 203 orang akuntan dan

insinyur.

Herzberg telah menemukan dua kelompok faktor-faktor yang

mempengaruhi kerja seseorang dalam organisasi, yaitu kepuasan kerja

dan faktor pemeliharan. Kepuasan kerja lebih dihubungkan dengan

prestasi, rekognisi, karakteristik-karakteristik pekerjaan, tanggung

jawab dan kemajuan. Faktor-faktor tersebut semuanya berhubungan

dengan hasil-hasil, yang berkaitan dengan isi (contens) tugas yang dilaksanakan. Herzberg menemukan gejala bahwa ketidakpuasan

dengan pekerjaan, terutama berhubungan dengan faktor-faktor dalam

konteks kerja, atau lingkungan. Khususnya kebijakan perusahaan dan

administrasi, supervisi teknikal, gaji, hubungan antar perorangan

dengan supervisor langsung, dan kondisi-kondisi kerja. Faktor yang

terakhir ini disebut faktor pemeliharaan.10

10

(31)

Jadi, manajer perlu memahami faktor-faktor apa saja yang dapat

memotivasi karyawannya. Faktor-faktor kepuasan kerja mempunyai

pengaruh pendorong semangat bekerja. Sedangkan faktor

pemeliharaan dapat mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan

kerja tetapi tidak dapat digunakan untuk memotivasi karyawan.

c. Teori Motivasi Alderfer (Alderfer’s ERG Theory)

Perluasan lebih lanjut dari teori Herzberg dan Maslow datang dari

Clayton Alderfer. Dia merumuskan suatu model penggolongan

kebutuhan segaris dengan bukti-bukti empiris yang telah ada. Sama

halnya seperti Maslow dan Herzberg, dia merasakan ada nilai tertentu

dalam menggolongkan kebutuhan-kebutuhan, dan terdapat perbedaan

antara kebutuhan-kebutuhan dalam tatanan yang paling bawah dengan

kebutuhan-kebutuhan pada tatanan paling atas.

Alderfer mengenalkan tiga kelompok inti dari

kebutuhan-kebutuhan itu, antara lain: 11

1.) Kebutuhan keberadaan (existence need)

Kebutuhan keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetapi bisa

hidup. Kebutuhan ini kira-kira sama artinya dengan

kebutuhan-kebutuhan fisiologinya Maslow dan sama pula dengan faktor

higienisnya Herzberg.

2.) Kebutuhan berhubungan (relatedness need)

Kebutuhan berhubungan adalah suatu kebutuhan untuk

menjalin hubungan sesamanya melakukan hubungan sosial dan

bekerja sama dengan orang lain. Kebutuhan ini sama halnya

dengan kebutuhan sosial dari maslow dan higienisnya Herzberg.

3.) Kebutuhan untuk berkembang (growth need)

Kebutuhan untuk berkembang adalah suatu kebutuhan yang

berhubungan dengan keinginan intrinsik dari seseorang untuk

mengembangkan dirinya. Hubungan ini searti dengan kebutuhan

11

(32)

penghargaan dan aktualisasi diri dari Maslow dan kebutuhan

motivatornya Herzberg.

Teori ERG berasal dari kepanjangan Existence, Relatedness, dan

Growth.

d. Teori Prestasi dari McClelland

Tokoh motivasi lain yang mengemukakan bahwa manusia pada

hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas

kemampuan orang lain adalah David McClelland. Kemampuan

seseorang untuk berprestasi ini membuat McClelland melakukan

penelitian tentang desakan untuk berprestasi ini.12

Orang yang berprestasi tinggi memiliki beberapa karakteristik yang

dapat dikembangkan, antara lain:13

1.) menyukai pengambilan risiko yang layak (moderat) sebagai fungsi

keterampilan, bukan kesempatan; menyukai suatu tantangan; dan

menginginkan tanggungjawab; pribadi bagi hasil yang dicapai.

2.) Mempunyai kecendrungan untuk menetapkan tujuan-tujuan

prestasi yang layak dan menghadapi resiko yang sudah

diperhitungkan. Salah satu alasan mengapa banyak perusahaan

pindah ke program management by objectives (MBO) adalah karena adanya korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat

prestasi.

3.) Mempunyai kebutuhan yang kuat akan umpan balik tentang apa

yang telah dikerjakan.

4.) Mempunyai keterampilan dalam perencanaan jangka panjang dan

memiliki kemampuan-kemampuan organisasional.

12

Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya..., h. 235.

13

(33)

Dengan demikian, teori prestasi dari McClelland, dapat dijadikan

dasar para manajer dalam meningkatkan prestasi kerja para karyawan,

karena motivasi berprestasi dapat diajarkan melalui berbagai bentuk

pelatihan.

e. Teori X dan Teori Y McGregor

Menurut McGregor organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang

sentralisasi dalam pengambilan keputusan, hubungan piramida antara

atasan dan bawahan, dan pengendalian kerja eksternal adalah pada

hakikatnya berdasarkan atas asumsi-asumsi mengenai sifat-sifat

manusia dan motivasinya.

Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih

suka diperintah, dan tidak mempunyai tanggung jawab serta

menginginkan keamanan atas segalanya. Atas dasar hal itu maka

orang-orang ini hendaknya dimotivasi melalui uang, gaji, honorium,

dan diperlakukan dengan sangsi hukuman. Manajer berusaha

mempolakan, mengontrol dan mengawasi secara langsung

pegawai-pegawai yang termasuk pada tipe ini. Lebih jauh menurut asumsi teori

X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakikatnya adalah

tidak menyukai bekerja, tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk

bertanggung jawab, dan lebih menyukai di arahkan atau diperintah,

mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi

masalah-masalah organisasi, hanya membutuhkan motivasi fisiologis

dan keamanan saja, dan harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa

untuk mencapai tujuan organisasi.14

Teori X ini akan tidak tepat jika diterapkan secara menyeluruh bagi

setiap orang dalam organisasi. Manajemen yang diterapkan secara

ketat terus menerus tidak akan banyak berhasil. Karena mungkin hal

tersebut hanya dapat memuaskan kebutuhan fisiologis dan keamanan

14

(34)

saja, sedangkan orang-orang yang mempunyai kebutuhan sosial tidak

bisa terpuaskan.

Menyadari akan kelemahan tersebut, dari asumsi teori X, maka

McGregor memberikan alternatif lain yaitu teori Y. Asumsi teori Y,

menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat

dipercaya, tidak seperti asumsi pada teori X. Lebih jelas lagi, asumsi

teori Y mengenai manusia dijabarkan sebagai berikut: 15

(1)Pekerjaan itu pada hakikatnya seperti bermain dapat memberikan

kepuasan kepada orang lain. Keduanya, bekerja dan bermain

merupakan aktivitas-aktivitas fisik dan mental. Sehingga di antara

keduanya tidak ada perbedaan, jika keadaan sama-sama

menyenangkan.

(2)Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa

dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.

(3) Kemampuan untuk berkreatifitas di dalam memecahkan

persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh

karyawan.

(4) Motivasi tidak berlaku saja pada semua kebutuhan-kebutuhan

sosial, penghargaan, aktualisasi diri, tetapi juga pada tingkat

kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan keamanan.

(5) Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja

jika dimotivasi secara tepat.

Dalam teori Y ini, hendaknya para manajer akan bersikap

membantu, mendukung, dan mempermudah orang-orang dalam

mengembangkan kreativitas pada tugas-tugasnya. Serta memberikan

kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing

individu.

15

(35)

Konsisten dengan konsep motivasi dan teori kebutuhan yang telah

diuraikan di atas, seorang guru akan memiliki motivasi kerja yang tinggi

apabila ia merasa bahwa segala kebutuhannya dapat terpenuhi melalui

kerjanya. Apabila ia merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak

dapat menuhi kebutuhannya maka semangatnya akan berkurang. Dan bisa

jadi ia akan mencari pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Menurut Huse dan Bowditch (1973), ada tiga model memotivasi kerja

seseorang, yaitu:16

1. Model Kekuatan dan Ancaman

Model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model) ini merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami atau

memandang manusia. Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa

seseorang akan bekerja dengan baik apabila disudutkan pada sebuah

situasi, di mana ia hanya bisa memilih bekerja ataukah dihukum (Huse

dan Bowditch, 1973). Asumsi ini sama dengan asumsi yang mendasari

teori X. McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu suka

menghindari tugas dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi

dan diancam oleh atasa, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar

seseorang mau bekerja ia harus dipaksa (Carver dan Sergiovanni,

1969).

Sekilas, model ini memang tampak sangat efektif dalam

memotivasi kerja guru. Dengan ancaman-ancaman tertentu, semua

guru akan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan

oleh atasan. Namun model ini akan merusak kepribadian guru. Dengan

adanya ancaman terus menerus, guru-guru akan merasa tidak bisa

berkembang dan tertekan sehingga mereka akan mengalami

ketegangan jiwa (stress).

16

(36)

2. Model Ekonomik/Mesin

Model ekonomik/mesin (economic/machine model) ini didasarkan pada pandangan manajemen klasik mengenai motivasi bahwa manusia

hanya membutuhkan uang. Dalam model ini, manusia dipandang

sebagai makhluk organisasi yang bekerja semata-mata untuk mengejar

uang atau kekayaan. Ia dipandang sebagai mesin yang tidak memiliki

perasaan sosial, dan tidak memiliki kebutuhan lain kecuali uang (Huse

dan Bowditch, 1973). Oleh sebab itu, menurut model ini, apabila

seseorang digaji dengan memuaskan, maka seseorang tersebut akan

bekerja dengan baik. Selanjutnya, apabila terjadi

permasalahan-permasalahan, seperti adanya pegawai yang malas, menyia-nyiakan

waktu (goofing off), performansi kerja yang rendah, maka paling baik dipecahkan dengan cara memikirkan cara pembayaran yang

menyediakan insentif yang mendorong pegawai berperformansi dengan

baik (Owens, 1987). Berdasarkan asumsi dasar tersebut, dalam model

ekonomik/mesin ini dikembangkan satu sistem pembayaran gaji

berdasarkan bukan pada waktu yang dihabiskan, melainkan apa yang

dihasilkan (Huse dan Bowditch, 1973; dan Tosi dan Carroll, 1976).

Apabila dikaitkan dengan teori hierarki kebutuhan Maslow dan

teori kebutuhan ERG Alderfer, maka sebenarnya model ini

semata-mata mampu memenuhi kebutuhan tingkat rendah, yaitu fisiologis.

Sesuai dengan teori dua faktor Herzberg, uang atau gaji

merupakan salah satu faktor penyehat. Keberadaannya mampu

menimbulkan tidak adanya ketidakpuasan, tetapi tidak akan

menimbulkan kepuasan sehingga tidak akan mampu meningkatkan

motivasi. Keberadaannya dapat memelihara prestasi, tetapi tidak akan

mampu meningkatkan prestasi. Itulah sebabnya Herzberg (1959)

memberikan nama lain dari faktor penyehat itu dengan sebutan faktor

pemeliharaan (maintenance factor). Sedangkan menurut Owens (1987), seseorang yang sebagian besar kebutuhannya terpenuhi oleh

(37)

kerjanya dan menunjukkan perhatian kecil pula terhadap bagaimana ia

seharusnya mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.

3. Model Pertumbuhan – Sistem Terbuka

Sebagai model ketiga dalam memotivasi kerja guru adalah model

pertumbuhan sistem terbuka (growth-open system model). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia bukanlah menjadi obyek

belaka dari lingkungan, ia diciptakan untuk melakukan perubahan pada

dirinya dan lingkungannya, ia memiliki potensi untuk bertumbuh,

bertanggungjawab, dan berprestasi, dan manusia memiliki motif-motif

yang jauh lebih kompleks daripada yang diasumsikan pada kedua

model motivasi sebelumnya (Huse dan Bowditch, 1973).

Berdasarkan asumsi tersebut, model ini lebih menekankan

bagaimana mendorong guru untuk tumbuh dan berkembang dalam

kerjanya. Model ini berhubungan langsung dengan teori aktualisasi diri

(self actualizing man) oleh Maslow dan teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg.

Sergiovanni, pada akhir tahun 1960 pernah melakukan replikasi

penelitian terhadapa apa yang telah dilakukan Herzberg. Ia menemukan

bahwa prestasi dan pengakuan merupakan faktor pendorong yang

sangat penting bagi guru-guru, menyusul faktorfaktor lain, seperti kerja

itu sendiri, tanggung jawab, dan kemungkinan untuk bertumbuh.

Begitu pula penelitian aplikasi teori Herzberg di Jawa Timur, yang

dilakukan oleh Mataheru (1984) dalam rangka penulisan disertasi,

menunjukkan hasil yang sama.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pada model pertama tidak dapat

memenuhi kebutuhan guru-guru, melainkan sebaliknya yaitu menimbulkan

rasa ketidakpuasan. Dengan adanya ancaman-ancaman dari atasan guru

merasa stress dan tertekan. Lain halnya dengan model kedua, model ini

tampak lebih manusiawi daripada model pertama. Bukan saja karena

(38)

memotivasi kerja, melainkan juga setiap orang membutuhkan uang.

Namun, guru bukanlah makhluk yang bekerja semata-mata untuk

mendapatkan uang. Ia adalah makhluk sosial yang sepanjang hidupnya

bukan hanya membutuhkan uang untuk mempertahankan eksistensi

hidupnya, melainkan juga membutuhkan aspek-aspek lain, seperti

hubungan sosial, harga diri, pengakuan, dan pertumbuhan. Sedangkan

pada model yang ketiga, lebih mementingkan faktor-faktor psikologis dari

pada fisiologis yaitu mendorong guru untuk tumbuh dan berkembang

dalam bekerja. Dengan demikian memotivasi kerja guru seharusnya

dilakukan dengan berupaya memenuhi faktor-faktor yang dapat

menimbulkan kepuasan psikologis guru, misalnya melalui pengakuan,

membina pertumbuhan guru, promosi guru, pemberian tanggung jawab,

prestasi.

B. Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala Sekolah

1. Pengertian Supervisi Akademik

Istilah supervisi berasal dari kata ”super” dan ”vision” yang

masing-masing kata itu adalah atas dan penglihatan. Jadi secara etimologis, supervisi berarti penglihatan dari atas. Pengertian tersebut merupakan arti kiasan yang

menggambarkan suatu posisi yang melihat berkedudukan lebih tinggi dari

pada yang dilihat.17

Istilah melihat dalam pengertian tersebut, searti dengan mengontrol,

menilik atau mengawasi. Dari uraian tersebut maka, dalam hal ini yang

diawasi yaitu tugas serta tanggung jawab yang telah diberikan oleh atasan.

Apakah para bawahan (guru) telah melaksanakan tugas serta tanggung jawab

tersebut, sesuai standar/ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak. Jika

terdapat masalah maka akan dimusyawarahkan untuk memecahkan

permasalahan tersebut, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai

dengan maksimal.

17

(39)

Pada dasarnya supervisi diarahkan pada dua aspek yaitu supervisi

akademik yang berhubungan dengan pelaksanaan proses pembelajaran dan

supervisi manajerial yang berhubungan dengan pengelolaan dan administrasi

sekolah.

Sebagaimana dikemukakan oleh Made Pidarta bahwa supervisi ditinjau

dari segi keahliannya dibedakan menjadi dua yaitu supervisor umum dan

supervisor spesialis. Tugas supervisor umum berkaitan dengan pemantauan

pelaksanaan kurikulum dan upaya perbaikannya. Selain itu kewajiban

supervisor umum yang lebih penting yaitu memotivasi guru sehingga lebih

bergairah dalam bekerja. Sedangkan supervisor spesialis menangani hal-hal

yang berkaitan dengan perbaikan proses belajar mengajar yang meliputi

menyeleksi materi, pengembangan materi, pengembangan alat/media

pembelajaran, perencanaan program dan pelaksanaannya, menilai program

dan pelaksanaannya dan lain sebagainya. Seperti halnya supervisor umum,

supervisor spesialis juga berkewajiban meningkatkan motivasi guru dalam

bekerja.18

Suharsimi arikunto dalam bukunya yang berjudul dasar-dasar supervisi

menjelaskan bahwa supervisi Akademik adalah supervisi yang

menitikberatkan pengamatan pada masalah akademik, yaitu yang langsung

berada dalam lingkup kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk

membantu siswa ketika sedang dalam proses belajar.19 Sedangkan Glickman

(1981), menegaskan bahwa supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan

membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses

pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Lebih lanjut, Daresh

(1989) menjelaskan bahwa supervisi akademik merupakan upaya membantu

guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran.20

18

Made Pidarta, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 84.

19

Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Supervisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet I, h. 5.

20

(40)

Dari pendapat para ahli tersebut, maka nampak jelas bahwa, esensi

supervisi akademik yaitu membantu guru dalam mengembangkan kemampuan

profesionalismenya bukan menilai performansi guru dalam mengelola proses

pembelajaran.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Syaiful Sagala mengemukakan bahwa

pengawasan akademik adalah bantuan professional kesejawatan yang

dilakukan pengawas sekolah melalui dialog kajian masalah pendidikan

menggunakan teknik-teknik supervisi atau pengembangan untuk menemukan

solusi, atau berbagai alternatif pengembangan dalam upaya peningkatan

kemampuan profesional, dan komitmen guru, kepala sekolah, dan staf sekolah

lainnya guna mempertinggi prestasi belajar siswa, dan kinerja sekolah dalam

rangka meningkatkan mutu, relevansi, efisiensi dan akuntabilitas pendidikan.21

Selanjutnya menurut pendapat Harris sebagaimana dikutip Piet A.

Sahertian dan Ida Aleida Sahertian mengemukakan supervisi akademik adalah

apa yang dilakukan oleh petugas sekolah terhadap stafnya untuk memelihara

(maintain) atau mengubah pelaksanaan kegiatan di sekolah yang langsung

berpengaruh terhadap proses mengajar guru dalam usaha meningkatkan hasil

belajar siswa.22

Dengan demikian, dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan

bahwa supervisi akademik merupakan kegiatan bimbingan/bantuan terhadap

guru-guru dalam memperbaiki, mengembangkan atau meningkatkan situasi

pembelajaran.

Dalam pelaksanaanya, hendaknya supervisor tidak mencari-cari kesalahan

yang diperbuat oleh guru tetapi membimbing para guru-guru dan

bersama-sama membicarakan permasalahan yang dihadapi guru dalam kegiatan

pembelajaran. Dalam hal ini para guru dijadikan sebagai partner kerja, mereka

akan merasa lebih dihargai dan lebih semangat untuk bekerja.

21

Syaiful Sagala, Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. I, h. 157.

22

(41)

2. Tujuan Supervisi Akademik

Para ahli pendidikan mempunyai pandangan masing-masing mengenai

tujuan supervisi pendidikan sesuai sudut pandang masing-masing, namun

mereka sepakat tujuan inti dari supervisi akademik adalah membantu guru

meningkatkan kualitas profesionalnya dalam mengajar. Di bawah ini penulis

cantumkan tujuan supervisi akademik menurut pendapat para ahli:

a. Hariwung (1989) mengemukakan tujuan supervisi akademik adalah membantu guru untuk bertumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup mengajar dan kehidupan kelas, memperbaiki keterampilan mengajar, dalam memperluas pengetahuan mereka serta menggunakan persiapan mengajar.23

b. Glickman (1985) mengatakan tujuan supervisi akademik untuk membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya, agar murid-muridnya dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah ditetapkan.24

c. Neagle (1980) mengatakan bahwa melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh guru semakin meningkat.25

Pengembangan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan secara

sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan kemampuan dan

keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen

(commitmen) atau kemampuan (willingness) atau motivasi (motivation) guru. Sebab dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja guru, kualitas

pembelajaran akan meningkat.

Sedangkan menurut Sergiovanni (1987) dijelaskan lebih lengkap lagi

tujuan supervisi akademik, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:

23

Syaiful Sagala, Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan..., h. 104.

24

Ibrahim Bafadal, Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru..., h. 4.

25

(42)
[image:42.612.114.508.103.657.2]

Gambar 3.

Tiga Tujuan Supervisi Akademik

1. Supervisi akademik diselenggarakan dengan maksud untuk memonitor

kegiatan proses belajar mengajar di sekolah. Kegiatan monitor ini bisa

dilakukan dengan melalui kunjungan kepala sekolah ke kelas-kelas di saat

guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya,

maupun dengan sebagian murid-muridnya.

2. Supervisi akademik diselenggarakan dengan maksud membantu guru

mengembangkan kemampuannya profesionalnnya dalam memahami

akademik, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan mengajarnya

dan menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu.

3. Supervisi akademik diselenggarakan untuk mendorong guru menerapkan

kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas mengajarnya,

mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri, serta

mendorong guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh

(commitment) terhadap tugas dan tanggung jawabnya.26

Dari beberapa pendapat mengenai tujuan supervisi akademik yang

diuraikan di atas, maka pada intinya tujuan supervisi akademik yaitu untuk

26

(43)

membantu para guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, agar

dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Pada akhirnya

akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Jika supervisi akademik sudah

tertuju pada keberhasilan siswa dalam memperoleh kualitas pembelajaran

yang lebih baik artinya supervisi akademik tersebut sesuai dengan tujuannya.

3. Fungsi Supervisi Akademik

Menurut Alfonso, Firth, dan Neville (1981) Supervisi akademik yang baik

adalah supervisi akademik yang mampu berfungsi mencapai multitujuan

tersebut di atas. Tidak ada keberhasilan bagi supervisi akademik jika hanya

memperhatikan salah satu tujuan tertentu dengan mengesampingkan tujuan

lainnya. Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan yang telah dikemukakan,

supervisi akademik akan berfungsi mengubah perilaku mengajar guru. Pada

gilirannya nanti perubahan perilaku guru ke arah yang lebih berkualitas akan

menimbulkan perilaku belajar murid yang lebih baik.

Alfonso, Firth, dan Neville (1981) menggambarkan sistem pengaruh

[image:43.612.114.514.98.554.2]

perilaku supervisi akademik sebagaimana gambar berikut:27

Gambar 4.

Sistem Fungsi Supervisi Akademik

Gambar tersebut memperjelas kita dalam memahami sistem pengaruh

perilaku supervisi akademik. Perilaku supervisi akademik secara langsung

berhubungan dan berpengaruh terhadap perilaku guru. Ini berarti, melalui

27

(44)

supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku mengajar guru

sehingga perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar mengajar.

Selanjutnya perilaku mengajar guru yang baik itu akan mempengaruhi

perilaku belajar murid. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan

akhir supervisi akademik adalah terbinanya perilaku belajar murid yang lebih

baik.

Jadi, pada intinya fungsi supervisi akademik yaitu memberikan pelayanan

supervisi untuk menumbuhkan proses belajar mengajar yang menyenangkan,

aktif, inovatif dan berkualitas. Artinya, supervisi akademik harus menjalankan

fungsi-fungsinya agar tujuan dapat tercapai secara optimal.

4. Prinsip Supervisi Akademik

Para kepala sekolah baik suka maupun tidak suka harus siap menghadapi

problema dan kendala dalam melaksanakan supervisi akademik. Adanya

problema dan kendala tersebut sedikit banyak bisa diatasi apabila dalam

pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah menerapkan prinsip-prinsip

supervisi akademik.

Akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan teori

supervisi akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi akademik.

Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic), kerja kelompok (team effort), dan proses kelompok (group process) telah banyak dibahas dan dihubungkan dengan konsep supervisi akademik. Pembahasannya

semata-mata untuk menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu

harus menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan

dan guru sebagai bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan,

keseluruhan anggota (guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya

sebagai prakarsa, dalam proses supervisi akademik, sedangkan supervisor

(45)

Selain itu, terdapat beberapa prinsip lain dalam melaksanakan supervisi

akademik, yaitu sebagai berikut:28

1. Supervisi akademik harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan demikian ini bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara supervisor dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi akademik. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat, seperti sikap membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan penuh humor (Dodd, 1972).

2. Supervisi akademik harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi akademik bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami bahwa supervisi akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor, melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.

3. Supervisi akademik harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademiknya. Titik tekan supervisi akademik yang demokratis adalah aktif dan kooperatif. Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program akademik bukan hanya pada supervisor melainkan juga pada guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik sebaiknya direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara kooperatif dengan guru, kepala sekolah, dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi supervisor.

4. Program supervisi akademik harus integral dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan. Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku administratif, sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem perilaku pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso, dkk., 1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).

5. Supervisi akademik harus komprehensif. Program supervisi akademik harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan akademik,

28

(46)

walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan akademik sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembanga

Gambar

Tabel 2.  Kisi-kisi Instrumen Kuesioner Hubungan Intensitas Pelaksanaan
Gambar 1. Hierarki kebutuhan-kebutuhan dari Maslow ..................................   12
Gambar 1. Hierarki kebutuhan-kebutuhan dari Maslow
Gambar 2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar jamaah haji di Kabupaten Jepara merasakan sangat puas terhadap pelayanan KBH, terutama dalam pelayanan bimbingan manasik di tanah

Penelitian ini merupakan penelitian ( library research ) atau kajian pustaka yang mengumpulkan data dari literatur dan sumber- sumber lain yang mendukung dan mempunyai

Abstrak: kajian ini bertujuan untuk mengetahui konsep kelembagaan keamanan laut di Indonesia saat ini dan mengkonsepkan kembali kelembagaan keamanan laut yang ideal

Penutupan ruangan akibat premature loss gigi sulung ini dapat terjadi selama 6 bulan setelahnya, tetapi dapat juga terjadi dalam hitungan minggu; (2) Apabila gigi anterior

Rencana pemantauan terhadap kegiatan pengadaan tanah dan pemukiman kembali oleh instansi pelaksana, yang didukung oleh para pemantau independen sesuai peraturan

Pada PT Federal International Finance Cabang Palembang dalam proses penempatannya tetap harus ditingkatkan lagi untuk mendapatkan kinerja karyawan yang benar-benar

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi untuk mengungkap mitos yang selama ini dijaga oleh masyarakat desa adat Piliana serta

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan dan sistem informasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri akan memberikan pengaruh yang signifikan