DI SMPN 106 JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
SITI NAJJMIATUL ULUM RINNIKE
206018200212
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, Cet. Ke-13.
Bafadal, Ibrahim, Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Cet I.
Handoko, T. Hani, Manajemen, Yogyakarta: BPFE, 1998, Ed.2, Cet. Ke-13.
Khayat, Hubungan antara Persepsi Guru tentang Supervisi Pendidikan dengan Kompetensi Profesional Guru SMP Islam Al-Azhar 6 Jakapermai, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Perpustakaan FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2006.
Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
Pidarta, Made, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Ed. 2, Cet. 1.
Sagala, Syaiful, Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010, Cet. I.
Sahertian, Piet A., Konsep Dasar dan Teknik supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka cipta 2008.
Sahertian, Piet A. dan Ida Aleida Sahertian, Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Inservice Education, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
SAM Mu’arif, Modul Pendidikan dan Pelatihan profesi Guru: Supervisi Akademik, Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2009.
Subari, Supervisi Pendidikan dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar, Jakarta: bumi Aksara, 1994, Cet. I.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta, cet.ke-8, 2002.
i
HUBUNGAN INTENSITAS PELAKSANAAN SUPERVISI AKADEMIK
KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI KERJA GURU
DI SMPN 106 JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
SITI NAJJMIATUL ULUM RINNIKE
206018200212
Di bawah Bimbingan :
FATHI ISMAIL, MM NIP. 19491012197831002
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ii
Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada 28 Febuari 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.).
Jakarta, 14 Maret 2011
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI) Tanggal Tanda Tangan
Drs. Rusdy Zakaria, M.Ed. M.Phil. ... ... NIP: 19560530 198503 1 002
Sekertaris (Ketua Prodi MP)
Drs. H. Mu’arif SAM., M.Pd. ... ... NIP: 19650717 199403 1 005
Penguji I
Drs. H. Mu’arif SAM., M.Pd. ... ... NIP: 19650717 199403 1 005
Penguji II
Drs. Salman Tumanggor, M.Pd. ... ... NIP: 19570710 197903 1 002
Mengetahui:
Dekan,
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.
iii
”HUBUNGAN INTENSITAS PELAKSANAAN SUPERVISI AKADEMIK
KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI KERJA GURU DI SMPN 106
JAKARTA” yang disusun oleh SITI NAJJMIATUL ULUM RINNIKE, NIM
206018200212. Program Studi Manajemen Pendidikan; Jurusan Kependidikan
Islam; Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada tanggal 11
November 2010
Jakarta, 11 November 2010
Dosen Pembimbing Skripsi
Fathi Ismail, MM
iv Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Siti Najjmiatul Ulum Rinnike
NIM : 206018200212
Program Studi : Manajemen Pendidikan
Jurusan : Kependidikan Islam
Fakultas : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 11 November 2010
v
Islam, Program Studi Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru. Penelitian dilakukan di SMPN 106 Jakarta, metode yang digunakan adalah korelasional dengan menggunakan rumus dari Karl Pearson. Metode korelasional ini digunakan untuk mengetahui hubungan intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru. Adapun yang menjadi sumber data pada penelitian ini yaitu kepala sekolah dan semua guru SMPN 106 Jakarta yang berjumlah 40 orang. Instrumen yang digunakan adalah angket yang terdiri dari 27 item pernyataan pilihan yaitu 15 item untuk intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dan 12 item untuk motivasi kerja guru. Angket disebarkan kepada semua guru, sedangkan instrumen wawancara kepada kepala sekolah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru di SMPN 106 Jakarta dengan nilai korelasi 0,708. Angka tersebut menunjukan nilai korelasi cukup tinggi atau dengan kata lain, variabel X (intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah) memberikan pengaruh sebesar 50,13% terhadap variabel Y (motivasi kerja guru). Sementara sebesar 49,87% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu supervisor (kepala sekolah) lebih mengembangkan program-program yang dapat memotivasi guru, berperan sebagai motivator yaitu mendorong para guru menerapkan kemampuannya, menganalisis faktor-faktor yang dapat memotivasi dan mengatur strateginya, meningkatkan lagi pengawasannya, sehingga aktivitas sekolah terkontrol dengan baik. Sedangkan bagi para guru perlu memperhatikan hasil supervisi agar dapat memperbaiki diri.
vi
telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Intensitas
Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala Sekolah dengan Motivasi Kerja
Guru di SMPN 106 Jakarta”
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.
Dalam penyusunan skripsi ini tentunya banyak terjadi kendala dan
hambatan yang tidak dapat dihindari penulis, namun berkat bimbingan dan
kontribusi material, pemikiran, gagasan dari berbagai pihak, akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini.
Dengan segala hormat, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga,
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
2. Drs. Rusdy Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam.
3. Drs. H. Mu’arif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen
Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
4. Fathi Ismail, M.M, dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
memberikan arahan, waktu dan tenaga serta pikiran untuk memberikan
bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini.
5. Drs. H. MS, Siregar, Kepala SMPN 106 Jakarta yang telah
memperkenankan dan membantu penulis melakukan penelitian di sekolah.
6. Dra. Nurmaida. S, Wakil Kepala Sekolah, beserta seluruh guru dan para
staf SMPN 106 Jakarta yang telah banyak membantu dalam melaksanakan
penelitian.
7. Ayahanda dan ibunda tercinta, Sobirin S.Pd dan Suratmi AMd.Pd yang tak
vii
luar biasa dan terima kasih atas doa yang kalian panjatkan untuk penulis.
9. Sahabat-sahabatku tercinta, Dani Ramdani, Fifi Fitriah, Aminah, Nopi,
Aesya, Chusnul, Amar, Rahmi dan Mima yang selalu ada untuk penulis
baik suka maupun duka, kalian selalu memberikan kekuatan dan motivasi
bagi penulis. Love you all. Kalian adalah anugerah terindah yang pernah ada dalam hidupku.
10.Teman-temanku prodi MP ’06 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terima kasih atas segala bantuan yang kalian berikan.
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi para pembaca. Semoga Allah Yang Maha Penyayang membalas
semua jasa baik yang turut serta membantu dalam penulisan skripsi ini. Amin…
Jakarta, 11 November 2010
viii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASYAH ... ii
UJI REFERENSI ... iii
SURAT PERNYATAAN KARYA PENULIS ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 7
D. Manfaat Penelitian... 7
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Motivasi Kerja Guru 1. Pengertian Motivasi Kerja ... 8
2. Peranan Motivasi Kerja ... 10
3. Teori Motivasi kerja ... 11
B. Supervisi Akademik Kepala Sekolah 1. Pengertian Supervisi Akademik ... 23
2. Tujuan Supervisi Akademik... 26
3. Fungsi Supervisi Akademik ... 28
4. Prinsip Supervisi Akademik... 29
5. Dimensi Supervisi Akademik ... 31
6. Kompetensi Supervisor Akademik ... 33
ix BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian ... 45
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45
C. Metode Penelitian ... 45
D. Populasi dan Sampel ... 46
E. Variable Penelitian ... 46
F. Instrumen Penelitian ... 46
G. Teknik Pengumpulan Data ... 53
H. Teknik Analisa Data dan Teknik Interpretasi Data ... 53
I. Hipotesis Statistik ... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ... 56
B. Analisa Data dan Interpretasi Data... 61
C. Keterbatasan Penelitian ... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA
x
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) ... 35
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Kuesioner Hubungan Intensitas Pelaksanaan
Supervisi Akademik Kepala Sekolah dengan Motivasi Kerja Guru di
SMPN 106 Jakarta ... 47
Tabel 3. Perhitungan Nomor Item Valid dan Drop ... 50
Tabel 4. Tingkat Motivasi Kerja Guru ... 54
Tabel 5. Tingkat Intensitas Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala
Sekolah ... 54
Tabel 6. Jumlah Skor Hasil Angket Motivasi Kerja Guru ... 56
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Motivasi Kerja Guru ... 58
Tabel 8. Jumlah Skor Hasil Angket Intensitas Pelaksanaan Supervisi Akademik
Kepala Sekolah ... 59
Tabel 9. Distribusi Frekuensi Intensitas Pelaksanaan Supervisi Akademik
Kepala Sekolah ... 60
[image:13.612.112.506.160.550.2]xi
Gambar 2. Hierarki Motivasi Kerja ... 14
Gambar 3. Tiga Tujuan Supervisi Akademik ... 27
[image:14.612.113.502.133.543.2]xii Lampiran 2. Blangko Supervisi Kelas
Lampiran 3. Surat Pengajuan Proposal
Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 5. Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Observasi
Lampiran 7. Surat Permohonan Riset/Wawancara
Lampiran 8. Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 9. Lembar Kuesioner
Lampiran 10. Skor Hasil Angket
Lampiran 11. Tabel Uji Validitas Instrumen
Lampiran 12. Tabel Penolong Uji Realibilitas
Lampiran 13. Nukilan Tabel Nilai-nilai r-Product Moment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjadi negara yang maju merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh
setiap negara di belahan dunia mana pun. Suatu negara dikatakan maju atau
tidaknya dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikan merupakan bagian
terpenting bagi suatu negara dalam membangun sumberdaya manusia yang
berkualitas, baik dari segi spiritual, intelegensi, maupun keterampilan.
Guru merupakan salah satu komponen utama dalam tujuan pendidikan,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Peran guru dalam proses pembelajaran tidak dapat digantikan dengan
teknologi tercanggih apapun, karena dalam proses pembelajaran terdapat
unsur-unsur manusiawi seperti sikap, prilaku, moral dan lain sebagainya yang
tidak dapat diperoleh dari teknologi. Oleh sebab itu hendaknya guru harus
senantiasa mengembangkan potensi serta kreativitas yang dimiliki. Selain itu,
guru harus selalu memperbaiki dirinya melalui belajar.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pada pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ”Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah”. Dan pada pasal 6 yang berbunyi “Kedudukan guru
dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab”. Serta pada pasal 10 ayat 1 ditegaskan pula bahwa
”Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sebagai agen pembelajaran
pada jenjang pendidikan dasar menengah serta pendidikan usia dini meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.1
Aktivitas proses pembelajaran merupakan inti dari pendidikan, Proses
pembelajaran tersebut akan berhasil atau mencapai tujuan jika aktivitas
pembelajaran di kelas dapat dikendalikan dengan baik oleh guru. Oleh karena
itu guru sebagai pemegang peranan utama dituntut untuk meningkatkan
kompetensi mereka demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.
Glickman dalam uraiannya mengenai paradigma kategori guru,
merumuskan pendapatnya, sebagai berikut:2
“Walaupun orang dilatih dalam kemampuan dan keterampilan yang
terlatih, tetapi persoalan pokok yaitu kemampuan berfikir kreatif dan tingkat
komitmennya rendah, maka guru tersebut tidak akan berhasil dalam
melakukan tugasnya”
Pernyataan tersebut melukiskan bahwa selama sikap personal dan
profesional masih dibelenggu oleh berbagai problema, maka gairah kerja dan
kualitas kerja akan berkurang. Problem itu menyangkut problem pribadi
maupun profesional yang berhubungan dengan profesi mengajar.
1
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
2
Pada studi lain George E. Hill dalam risetnya yang berjudul “Teacher’ Instructional Dificulties - A Review of Research” yang dikutip oleh Hennry P. Smith, mengajukan 18 kesulitan yang sering dilaporkan guru seperti berikut:3
“(1) Kesulitan dalam memperlengkapi perbedaan individu di antara murid-murid; (2) Kesulitan dalam metode mengajar; (3) Kesulitan dalam disiplin, pengawasan, perkembangan sosial tiap siswa; (4) Kesulitan dalam motivasi, menumbuhkan minat siswa, dan membina kerjasama; (5) Kesulitan dalam membimbing cara belajar siswa; (6) Kesulitan mengorganisir dan mengadministrasi kelas; (7) Kesulitan dalam memilih materi pelajaran yang tepat; (8) Kurangnya waktu selama jam pelajaran untuk melakukan apa yang harus dikerjakan; (9) Kesulitan dalam mengorganisir pelajaran; (10) Kesulitan dalam merencanakan dan mengerjakan tugas-tugas; (11) Kesulitan dalam promosi dan kenaikan; (12) Ketidakcukupan suplai (13) Kesulitan dalam tes dan evaluasi; (14) Kesulitan pribadi dari guru-guru; (15) Kesulitan yang timbul dari kondisi kerja; (16) Kesulitan dalam diagnosa dan memperbaiki para siswa; (17) Kesulitan dalam mengajar membaca; (18) Kesulitan dalam merancang rencana pembelajaran.”
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru di atas ternyata bukan saja
kesulitan yang menyangkut kegiatan pembelajaran tetapi juga terdapat
kesulitan dalam aktualisasi diri untuk promosi dan kenaikan, serta kesulitan
pribadi yang dihadapi oleh guru. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat menjadi
salah satu pemicu guru menjadi tidak fokus terhadap tugas-tugasnya karena
tuntutan berbagai kesulitan yang harus segera diselesaikan. Maka perlu
dilakukan sesuatu hal, untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan bantuan
supervisor, yaitu orang atau instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi
terhadap guru.
Dalam hal ini, kepala sekolah mempunyai tanggung jawab untuk
melaksanakan kegiatan supervisi yaitu dalam bentuk supervisi akademik.
Maka, kepala sekolah perlu menguasai kompetensi supervisi yang tertuang
dalam Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah sehingga kegiatan supervisi dapat berjalan dengan baik.
3
Usaha-usaha yang dilakukan dengan bantuan supervisor bukan hanya
melakukan pembinaan untuk meningkatkan profesionalisme guru saja tetapi
perlu memperhatikan dari segi yang lain seperti pemberian motivasi.
Pemberian motivasi yang dilakukan oleh supervisor dapat berupa
pengembangan potensi melalui workshop, seminar dan sebagainya; memberi
kesempatan mengembangkan kreativitas mereka; menghargai
penemuan-penemuan mereka; mengikut sertakan mereka dalam menentukan kebijakan
sekolah; pemberian insentif; menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan;
memberikan konsultasi; dan lain sebagainya.
Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Herzberg menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang dapat berhasil memotivasi individu ialah prestasi
yang dicapai, penambahan pengetahuan, pekerjaan itu sendiri (yang
menantang), tanggung jawab, dan kemajuan-kemajuan yang diperoleh (Hoy,
1979, h 102).4
Menurut Briggs sebagaimana dikutip oleh Piet Sahertian dalam bukunya
Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan, mengungkapkan bahwa
fungsi utama supervisi bukan hanya perbaikan pembelajaran saja, tapi untuk
mengkoordinasi, menstimulasi, dan mendorong ke arah pertumbuhan profesi
guru.5 Oleh karena itu fungsi supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah
yaitu memberikan bimbingan terhadap guru-guru dalam mengatasi
permasalahan pendidikan termasuk permasalahan yang dihadapi guru secara
bersama-sama. Karena seperti yang dijelaskan dalam buku Administrasi dan
Supervisi Pendidikan bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang
direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam
melakukan pekerjaan mereka secara efektif.6 Dan jika saran atau nasihat yang
diberikan oleh supervisor tidak diperhatikan dan dijalankan dengan baik maka
akan berdampak kurang baik pada pekerjaan.
4
Made Pidarta, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992, h. 8.
5
Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rineka cipta, 2008), h. 21.
6
Guru menjadi seorang pendidik karena adanya motivasi untuk mendidik.
Motivasi merupakan hal yang penting dalam diri seseorang karena motivasi
merupakan penggerak/pendorong seseorang melakukan sesuatu dengan penuh
kerelaan. T. Hani Handoko dalam bukunya Manajemen, menjelaskan istilah
motivasi yaitu motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang
yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu guna mencapai tujuan.7 Suatu pekerjaan guru dalam aktivitas
pembelajaran akan tercapai jika guru mempunyai motivasi yang kuat, sedang
guru yang kurang termotivasi maka akan bekerja dengan setengah hati.
Atas dasar uraian di atas, selain menekankan pada pembinaan guru atau
pembinaan profesional guru, supervisi juga sebagai usaha untuk
membangkitkan motivasi atau semangat kerja guru dalam menjalankan
tugasnya dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya semangat kerja tersebut,
guru lebih fokus dalam mendidik. Dengan demikian, akan mewujudkan proses
pembelajaran yang berkembang, sehingga meningkatkan prestasi peserta
didik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khayat, menjelaskan bahwa
hubungan antara persepsi guru tentang supervisi pendidikan dengan
kompetensi profesional guru SMP Islam Al-Azhar 6 Jakapermai memiliki
koefisien korelasi sebesar 0,57 yang berarti terdapat korelasi positif dalam
kategori sedang, sedangkan kontribusi persepsi guru tentang supervisi
pendidikan terhadap kompetensi profesional guru SMP Islam Al-Azhar 6
Jakapermai berdasarkan angka koefisien determinasi sebesar 32,49%,
sedangkan sisanya 67,51% merupakan kontribusi variabel lain yang tidak
termasuk dalam penelitian.8
Berdasarkan observasi pada bulan Juli, dalam proses pembelajaran di
SMPN 106 Jakarta, masih terdapat permasalahan dalam pemakaian metode
belajar yaitu terdapat beberapa guru yang masih memakai metode lama seperti
7
T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1998), Cet. XIII, h. 252.
8
ceramah atau hanya memakai satu metode secara terus menerus dalam
pembelajaran. Bukankah hal tersebut dapat membuat para anak didik menjadi
jenuh dan pasif dalam proses pembelajaran, yang nanti dapat berdampak pada
kualitas pembelajaran yang rendah. Selain itu hendaknya dalam pembelajaran,
guru memakai metode belajar lebih dari satu, sehingga kekurangan yang
terdapat pada metode satu dapat tertutup oleh kelebihan metode yang lain.
Hal tersebut boleh jadi disebabkan oleh guru yang tidak fokus karena
berbagai permasalahan yang sering dihadapi, baik masalah pribadi maupun
masalah di sekolah, atau lebih disebabkan karena semangat kerja guru yang
rendah/rangsangan motivasi yang kurang, sehingga guru mengajar dengan
setengah hati dan tidak memperhatikan langkah-langkah dalam menciptakan
proses pembelajaran yang efektif. Selain itu, seseorang guru mengungkapkan
bahwa terdapat beberapa guru ketika disupervisi mereka sungguh-sungguh
dalam menciptakan pembelajaran yang aktif tetapi ketika mereka tidak
disupervisi mereka kembali kekebiasaan awalnya dalam mengajar. Dalam hal
ini diketahui bahwa beberapa orang guru tersebut termasuk kedalam tipe
orang-orang yang perlu diawasi. Tipe orang ini sangat cocok diberikan sangsi
hukuman sehingga menimbulkan efek jera, namun sekolah tidak menerapkan
hukuman bagi guru yang melakukan kesalahan.
Dari fenomena tersebut, maka peneliti akan meneliti lebih jauh terkait
permasalahan tersebut. Dari latar belakang inilah, maka penulis memberi
penelitian ini dengan judul “HUBUNGAN INTENSITAS PELAKSANAAN
SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DENGAN MOTIVASI
KERJA GURU DI SMPN 106 JAKARTA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
masalah yang perlu untuk dikemukakan, antara lain:
1. Semangat bekerja/rangsangan motivasi yang kurang.
2. Guru tidak fokus dalam mengajar, karena berbagai permasalahan yang
3. Terdapat beberapa guru yang termasuk kedalam tipe yang perlu diawasi
saat bekerja.
4. Sekolah tidak menerapkan sangsi/hukuman bagi guru yang melakukan
kesalahan.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan pada titik permasalahan, maka penulis
membatasi masalah yaitu intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala
sekolah yang dimaksud adalah dilihat dari segi pembinaan/pengembangan
kurikulum, perbaikan proses belajar, pengembangan/pembinaan sumberdaya
guru, dan pemberian reward dan punishment. Sedangkan motivasi kerja yang
dimaksud yaitu dari segi fisiologi, keamanan, sosial, penghargaan dan
aktualisasi diri. Serta guru yang dimaksud yaitu seluruh guru SMPN 106
Jakarta.
b. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan
masalah yang akan diteliti adalah bagaimana hubungan intensitas pelaksanaan
supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi kerja guru?
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Peneliti, menambah wawasan pengetahuan peneliti mengenai hubungan
intensitas pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dengan motivasi
kerja guru.
2. Lembaga Pendidikan, menjadi bahan masukan tentang intensitas
pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah dan motivasi kerja guru.
3. Pihak lain yaitu masyarakat, memberikan sumbangan pemikiran dan
sebagai referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
BAB II
KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERFIKIR DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Motivasi Kerja Guru
1. Pengertian Motivasi Kerja Guru
Ada berbagai macam definisi yang muncul terkait istilah motivasi.
Istilah motivasi (motivation) berasal dari kata latin, yaitu movere yang berarti menggerakkan atau to move. Menurut beberapa pendapat para ahli tentang pengertian motivasi, sebagaimana dikutip oleh J. Winardi dalam
bukunya yang berjudul Motivasi dan pemotivasian dalam manajemen:1
a. Mitchell, (1982: 81) mengemukakan rumusan motivasi yaitu ”... motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan ke arah tujuan tertentu”.
b. Stephen P. Robbins dan mary Coulter dalam karya mereka yang berjudul Management. Kata mereka : ”... apakah yang kiranya dimaksud dengan motivasi karyawan (Employee Motivation)?”. Kita akan merumuskannya sebagai : ”Kesedian untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisi oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu”. (Robbins et al, 1999: 50).
1
J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 1-2.
c. Definisi lain tentang motivasi dinyatakan oleh Gray et al (1984 : 69), bahwa ”... motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seseorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu
dorongan yang membuat seseorang melakukan aktivitas tertentu melalui
potensi yang dimiliki, mengarah kepada pencapaian suatu tujuan. Motivasi
diberikan untuk menambah gairah seseorang agar mau bekerja lebih giat.
Untuk memotivasi seseorang maka harus mengetahui motif atau
kebutuhan-kebutuhan apa yang mereka inginkan.
Maka yang dimaksud dengan motivasi kerja guru adalah dorongan
yang membuat seorang guru melakukan pekerjaannya. Seorang guru yang
memiliki motivasi tinggi akan mempunyai kemauan lebih kuat dalam
melaksanakan pekerjaan, dibandingkan guru yang memiliki motivasi
rendah.
Hal demikian ini juga ditegaskan oleh Hoy dan Miskel (1987) dan
Sergivanni (1987). Motivasi kerja seorang guru bisa tinggi bisa rendah.
Tinggi rendahnya motivasi kerja seorang guru sangat mempengaruhi
performansinya dalam mengerjakan tugas-tugasnya (Wiles, 1955).
Menurut Sergiovanni (1987), motivasi kerja adalah keinginan (desire) dan kemauan (willingness) seseorang untuk mengambil keputusan, bertindak, dan menggunakan seluruh kemampuan psikis, sosial, dan kekuatan
fisiknya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.2
Sedangkan Pandangan lain tentang motivasi kerja dikemukakan oleh
John R. Schermerhorn Jr. C.s. katanya ”... motivasi untuk bekerja,
merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam bidang prilaku
keorganisasian (Organizational Behavior = OB), guna menerangkan kekuatan-kekuatan yang terdapat pada diri seseorang individu, yang
2
menjadi penyebab timbulnya tingkat, arah, dan persistensi upaya yang
dilaksanakan dalam hal bekerja.” 3
Dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa motivasi kerja guru
adalah dorongan yang membuat guru u melakukan pekerjaan yaitu sebagai
pendidik agar tercapai tujuan pekerjaan sesuai dengan rencana. Suatu
pekerjaan guru dalam kegiatan pembelajaran akan tercapai jika guru
mempunyai motivasi yang kuat, sedang guru yang kurang termotivasi
maka keinginan/minatnya pada pekerjaan akan kurang.
2. Peranan Motivasi Kerja
Tugas pihak manajemen adalah menyalurkan motif-motif para
bawahan secara efektif, ke arah tujuan-tujuan keorganisasian. Para
manajer makin banyak menaruh perhatian terhadap syarat-syarat
behavioral organisasi-organisasi mereka. Dan setiap organisasi perlu
memenuhi tiga macam syarat behavioral sebagai berikut: 4
a. Orang tidak hanya harus tertarik, untuk berpartisipasi dengan suatu
organisasi, tetapi tetap berada di sana.
b. Orang-orang harus melaksanakan tugas-tugas, untuk apa mereka
dipekerjakan.
c. Orang-orang harus melampaui kinerja rutin, dan melibatkan diri dalam
perilaku yang bersifat kreatif dan inovatif dalam pekerjaan mereka.
(Katz, et all.: 1978).
Dengan perkataan lain, agar suatu organisasi menjadi efektif, maka
organisasi tersebut perlu menangani masalah-masalah motivasional, antara
lain:5
Pertama, untuk merangsang orang-orang agar mereka bersedia turut serta dengan perusahaan yang bersangkutan, dan tetap berada di sana.
Misalnya menyediakan: rencana-rencana pensiun yang memadai, asuransi
3
J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen..., h. 2.
4
J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen..., h. 131.
5
jiwa kelompok, dan penggantian biaya-biaya pengobatan yang
meyakinkan. Kedua, untuk memastikan para karyawan melaksanakan tugas-tugasnya, maka para calon karyawan diseleksi secara hati-hati, untuk
mengetahui apakah mereka memiliki keterampilan yang diperlukan setelah
mereka dipekerjakan, maka kinerja mereka dinilai secara rutin. Ketiga,
perusahan-perusahaan yang menghadapi masalah-masalah baru,
memerlukan perilaku kreatif dan inovatif dari karyawan mereka.
Dapat disimpulkan bahwa persoalan motivasi perlu diperhatikan oleh
berbagai lembaga atau organisasi apa pun termasuk lembaga pendidikan.
Dalam lembaga pendidikan hal ini pun dapat membantu kepala sekolah
dalam upaya mempertahankan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
terbaik yang dimiliki dan dapat merangsang semangat kerja mereka untuk
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, serta dapat meningkatkan
kreativitas dan potensi yang dimiliki para guru.
3. Teori Motivasi Kerja
Motivasi berawal dari adanya kekurangan dalam diri seseorang atau
kebutuhan yang belum terpenuhi. Seseorang dalam melakukan suatu
aktivitas tertentu selalu didorong oleh motif-motif tertentu, yaitu
merupakan upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Robbins,
Sprintahall dan Sprinthall yang dikutip oleh ibrahim bafadal dalam
bukunya supervisi pengajaran bahwa kebutuhan merupakan
kekurangan-kekurangan (deficiency) yang dimiliki seseorang. Kekurangan-kekurangan ini bukan hanya pada aspek fisiologi melainkan juga pada aspek
psikologis.6
Timbullah sebuah pertanyaan. Kebutuhan-kebutuhan apasaja yang
dapat mendorong seseorang untuk bekerja?. Pertanyaan tersebut dapat
6
dijawab melalui teori-teori kebutuhan dasar manusia. Teori-teori tersebut
antara lain sebagai berikut:
a. Hierarki Kebutuhan Maslow.
Teori motivasi manusia yang dikembangkan oleh Abraham
Maslow telah mendapat banyak perhatian pada masa lalu. Maslow
mendasarkan konsep hierarki kebutuhan pada dua prinsip. Prinsip
tersebut antara lain:7
1.) Kebutuhan-kebutuhan manusia dapat disusun dalam suatu hierarki
dari kebutuhan yang terendah hingga kebutuhan yang tertinggi.
2.) Suatu kebutuhan yang telah terpuaskan berhenti menjadi motivator
utama dari perilaku.
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut dalam
hirarki kebutuhan, yaitu motivasi manusia berhubungan dengan lima
[image:27.612.111.505.147.632.2]kebutuhan, sebagimana dilihat pada gambar di bawah ini:8
Gambar 1.
Hierarki kebutuhan-kebutuhan dari Maslow
7
T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1998), Ed. 2, Cet. Ke-13, h. 256.
8
1) Kebutuhan-kebutuhan fisiologikal yang merupakan kebutuhan
terendah dalam hierarki kebutuhan manusia. Kebutuhan ini perlu
dipenuhi untuk mempertahankan hidup. Adapun yang termasuk
dalam kebutuhan ini seperti oksigen, pangan, minuman, eliminasi,
istirahat, aktivitas, dan pengaturan suhu.
2) Kebutuhan-kebutuhan akan keamanan yang sering dinyatakan
dalam wujud keinginan akan proteksi terhadap bahaya fisikal, yaitu
seperti bahaya kebakaran, atau serangan kriminal; keinginan untuk
mendapatkan kepastian ekonomi; preferensi terhadap hal-hal yang
dikenal, dan menjauhi hal-hal yang tidak dikenal; dan keinginan
atau dambaan orang akan dunia yang teratur serta yang dapat
diprediksi.
3) Kebutuhan sosial, kebutuhan ketiga ini akan muncul jika
kebutuhan pertama dan kedua telah terpuaskan yaitu kebutuhan
sosial. Seorang individu, ingin tergolong pada kelompok-kelompok
tertentu, ia ingin berasosiasi dengan pihak lain, ia ingin diterima
oleh rekan-rekannya, dan ia ingin berbagi dan menerima sikap
berkawan.
4) Kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (kebutuhan egoistik)
terdiri dari kebutuhan penghargaan untuk penghargaan diri, dan
untuk penghargaan dari pihak lain. Kebutuhan akan penghargaan
mencakup kebutuhan untuk mencapai kepercayaan diri, prestasi,
kompetensi, pengetahuan, penghargaan diri dan kebebasan serta
independensi (ketidakketergantungan). Kelompok kedua
kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan mencakup kebutuhan
yang berkaitan dengan reputasi seseorang individu atau
penghargaan dari pihak lain; kebutuhan akan status; pengakuan,
appresiasi terhadap dirinya, dan respek yang diberikan oleh pihak
lain.
5) Kebutuhan untuk merealisasi diri ini merupakan kebutuhan pada
Kebutuhan-kebutuhan tersebut berupa kebutuhan individu untuk
merealisasikan potensi yang ada pada dirinya, untuk mencapai
pengembangan diri secara berkelanjutan, untuk menjadi kreatif,
dalam arti kata seluas-luasnya.
Maslow tidak bermaksud, hierarki kebutuhannya itu secara
langsung diterapkan dalam motivasi kerja. Dia tidak menggali
aspek-aspek motivasi manusia dalam suatu organisasi sampai pada sekitar 20
tahun, setelah ia menyampaikan teori aslinya itu, Douglas Mc Gregor
dalam bukunya The Human Side of Enterprise mencoba mempopulerkan teori maslow dalam literatur manajemen. Dengan
demikian hierarki kebutuhan dari Maslow dapat diubah ke dalam
tatanan model motivasi kerja seperti yang dilukiskan pada gambar
[image:29.612.114.498.137.668.2]berikut:9
Gambar 2.
Hierarki Motivasi Kerja
9
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 228-229.
Fisik, misalnya gaji, upah tunjangan, honorium, bantuan pakaian, sewa perumahan, uang transport dan lain-lain.
Keamana, misalnya: jaminan masa pension, santunan kecelakaan, jaminan asuransi
kesehatan dan sebagainya Sosial atau afiliasi misalnya: kelompok formal atau informal,
menjadi ketua yayasan, ketua organisasi olahraga, dan sebagainya.
Penghargaan misalnya: status, titel,
simbol-simbol, promosi, perjamuan dan
Dengan demikian, kebutuhan yang paling dasar harus dipenuhi
terlebih dahulu, setelah kebutuhan paling dasar terpenuhi maka
kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya akan menjadi kebutuhan
utama. Kebutuhan ketiga akan muncul jika kebutuhan kedua tersebut
telah terpenuhi. Begitu seterusnya sampai terpenuhinya kebutuhan
aktualisasi diri. Sebagaimana telah diuraikan, dapat dikatakan bahwa
suatu kebutuhan yang telah terpenuhi tidaklah menjadi motivator
utama lagi dalam bertindak.
b. Teori Higiene-motivasi tentang kepuasan kerja dari Frederick
Herzberg.
Frederick Herzberg, seorang ilmuwan behavioral terkenal,
mengembangkan teori higiene-motivator pada akhir tahun 1960.
Herzberg menyatakan pendapatnya bahwa motivasi merupakan sebuah
dampak langsung dari kepuasan kerja. Dalam studinya, Herzberg
rekan-rekannya mewawancarai sejumlah 203 orang akuntan dan
insinyur.
Herzberg telah menemukan dua kelompok faktor-faktor yang
mempengaruhi kerja seseorang dalam organisasi, yaitu kepuasan kerja
dan faktor pemeliharan. Kepuasan kerja lebih dihubungkan dengan
prestasi, rekognisi, karakteristik-karakteristik pekerjaan, tanggung
jawab dan kemajuan. Faktor-faktor tersebut semuanya berhubungan
dengan hasil-hasil, yang berkaitan dengan isi (contens) tugas yang dilaksanakan. Herzberg menemukan gejala bahwa ketidakpuasan
dengan pekerjaan, terutama berhubungan dengan faktor-faktor dalam
konteks kerja, atau lingkungan. Khususnya kebijakan perusahaan dan
administrasi, supervisi teknikal, gaji, hubungan antar perorangan
dengan supervisor langsung, dan kondisi-kondisi kerja. Faktor yang
terakhir ini disebut faktor pemeliharaan.10
10
Jadi, manajer perlu memahami faktor-faktor apa saja yang dapat
memotivasi karyawannya. Faktor-faktor kepuasan kerja mempunyai
pengaruh pendorong semangat bekerja. Sedangkan faktor
pemeliharaan dapat mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan
kerja tetapi tidak dapat digunakan untuk memotivasi karyawan.
c. Teori Motivasi Alderfer (Alderfer’s ERG Theory)
Perluasan lebih lanjut dari teori Herzberg dan Maslow datang dari
Clayton Alderfer. Dia merumuskan suatu model penggolongan
kebutuhan segaris dengan bukti-bukti empiris yang telah ada. Sama
halnya seperti Maslow dan Herzberg, dia merasakan ada nilai tertentu
dalam menggolongkan kebutuhan-kebutuhan, dan terdapat perbedaan
antara kebutuhan-kebutuhan dalam tatanan yang paling bawah dengan
kebutuhan-kebutuhan pada tatanan paling atas.
Alderfer mengenalkan tiga kelompok inti dari
kebutuhan-kebutuhan itu, antara lain: 11
1.) Kebutuhan keberadaan (existence need)
Kebutuhan keberadaan adalah suatu kebutuhan akan tetapi bisa
hidup. Kebutuhan ini kira-kira sama artinya dengan
kebutuhan-kebutuhan fisiologinya Maslow dan sama pula dengan faktor
higienisnya Herzberg.
2.) Kebutuhan berhubungan (relatedness need)
Kebutuhan berhubungan adalah suatu kebutuhan untuk
menjalin hubungan sesamanya melakukan hubungan sosial dan
bekerja sama dengan orang lain. Kebutuhan ini sama halnya
dengan kebutuhan sosial dari maslow dan higienisnya Herzberg.
3.) Kebutuhan untuk berkembang (growth need)
Kebutuhan untuk berkembang adalah suatu kebutuhan yang
berhubungan dengan keinginan intrinsik dari seseorang untuk
mengembangkan dirinya. Hubungan ini searti dengan kebutuhan
11
penghargaan dan aktualisasi diri dari Maslow dan kebutuhan
motivatornya Herzberg.
Teori ERG berasal dari kepanjangan Existence, Relatedness, dan
Growth.
d. Teori Prestasi dari McClelland
Tokoh motivasi lain yang mengemukakan bahwa manusia pada
hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas
kemampuan orang lain adalah David McClelland. Kemampuan
seseorang untuk berprestasi ini membuat McClelland melakukan
penelitian tentang desakan untuk berprestasi ini.12
Orang yang berprestasi tinggi memiliki beberapa karakteristik yang
dapat dikembangkan, antara lain:13
1.) menyukai pengambilan risiko yang layak (moderat) sebagai fungsi
keterampilan, bukan kesempatan; menyukai suatu tantangan; dan
menginginkan tanggungjawab; pribadi bagi hasil yang dicapai.
2.) Mempunyai kecendrungan untuk menetapkan tujuan-tujuan
prestasi yang layak dan menghadapi resiko yang sudah
diperhitungkan. Salah satu alasan mengapa banyak perusahaan
pindah ke program management by objectives (MBO) adalah karena adanya korelasi positif antara penetapan tujuan dan tingkat
prestasi.
3.) Mempunyai kebutuhan yang kuat akan umpan balik tentang apa
yang telah dikerjakan.
4.) Mempunyai keterampilan dalam perencanaan jangka panjang dan
memiliki kemampuan-kemampuan organisasional.
12
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya..., h. 235.
13
Dengan demikian, teori prestasi dari McClelland, dapat dijadikan
dasar para manajer dalam meningkatkan prestasi kerja para karyawan,
karena motivasi berprestasi dapat diajarkan melalui berbagai bentuk
pelatihan.
e. Teori X dan Teori Y McGregor
Menurut McGregor organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang
sentralisasi dalam pengambilan keputusan, hubungan piramida antara
atasan dan bawahan, dan pengendalian kerja eksternal adalah pada
hakikatnya berdasarkan atas asumsi-asumsi mengenai sifat-sifat
manusia dan motivasinya.
Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih
suka diperintah, dan tidak mempunyai tanggung jawab serta
menginginkan keamanan atas segalanya. Atas dasar hal itu maka
orang-orang ini hendaknya dimotivasi melalui uang, gaji, honorium,
dan diperlakukan dengan sangsi hukuman. Manajer berusaha
mempolakan, mengontrol dan mengawasi secara langsung
pegawai-pegawai yang termasuk pada tipe ini. Lebih jauh menurut asumsi teori
X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakikatnya adalah
tidak menyukai bekerja, tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk
bertanggung jawab, dan lebih menyukai di arahkan atau diperintah,
mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi
masalah-masalah organisasi, hanya membutuhkan motivasi fisiologis
dan keamanan saja, dan harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa
untuk mencapai tujuan organisasi.14
Teori X ini akan tidak tepat jika diterapkan secara menyeluruh bagi
setiap orang dalam organisasi. Manajemen yang diterapkan secara
ketat terus menerus tidak akan banyak berhasil. Karena mungkin hal
tersebut hanya dapat memuaskan kebutuhan fisiologis dan keamanan
14
saja, sedangkan orang-orang yang mempunyai kebutuhan sosial tidak
bisa terpuaskan.
Menyadari akan kelemahan tersebut, dari asumsi teori X, maka
McGregor memberikan alternatif lain yaitu teori Y. Asumsi teori Y,
menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat
dipercaya, tidak seperti asumsi pada teori X. Lebih jelas lagi, asumsi
teori Y mengenai manusia dijabarkan sebagai berikut: 15
(1)Pekerjaan itu pada hakikatnya seperti bermain dapat memberikan
kepuasan kepada orang lain. Keduanya, bekerja dan bermain
merupakan aktivitas-aktivitas fisik dan mental. Sehingga di antara
keduanya tidak ada perbedaan, jika keadaan sama-sama
menyenangkan.
(2)Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa
dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
(3) Kemampuan untuk berkreatifitas di dalam memecahkan
persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh
karyawan.
(4) Motivasi tidak berlaku saja pada semua kebutuhan-kebutuhan
sosial, penghargaan, aktualisasi diri, tetapi juga pada tingkat
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan keamanan.
(5) Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja
jika dimotivasi secara tepat.
Dalam teori Y ini, hendaknya para manajer akan bersikap
membantu, mendukung, dan mempermudah orang-orang dalam
mengembangkan kreativitas pada tugas-tugasnya. Serta memberikan
kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing
individu.
15
Konsisten dengan konsep motivasi dan teori kebutuhan yang telah
diuraikan di atas, seorang guru akan memiliki motivasi kerja yang tinggi
apabila ia merasa bahwa segala kebutuhannya dapat terpenuhi melalui
kerjanya. Apabila ia merasa bahwa pekerjaan yang dilakukannya tidak
dapat menuhi kebutuhannya maka semangatnya akan berkurang. Dan bisa
jadi ia akan mencari pekerjaan lain yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Menurut Huse dan Bowditch (1973), ada tiga model memotivasi kerja
seseorang, yaitu:16
1. Model Kekuatan dan Ancaman
Model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model) ini merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami atau
memandang manusia. Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa
seseorang akan bekerja dengan baik apabila disudutkan pada sebuah
situasi, di mana ia hanya bisa memilih bekerja ataukah dihukum (Huse
dan Bowditch, 1973). Asumsi ini sama dengan asumsi yang mendasari
teori X. McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu suka
menghindari tugas dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi
dan diancam oleh atasa, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar
seseorang mau bekerja ia harus dipaksa (Carver dan Sergiovanni,
1969).
Sekilas, model ini memang tampak sangat efektif dalam
memotivasi kerja guru. Dengan ancaman-ancaman tertentu, semua
guru akan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh atasan. Namun model ini akan merusak kepribadian guru. Dengan
adanya ancaman terus menerus, guru-guru akan merasa tidak bisa
berkembang dan tertekan sehingga mereka akan mengalami
ketegangan jiwa (stress).
16
2. Model Ekonomik/Mesin
Model ekonomik/mesin (economic/machine model) ini didasarkan pada pandangan manajemen klasik mengenai motivasi bahwa manusia
hanya membutuhkan uang. Dalam model ini, manusia dipandang
sebagai makhluk organisasi yang bekerja semata-mata untuk mengejar
uang atau kekayaan. Ia dipandang sebagai mesin yang tidak memiliki
perasaan sosial, dan tidak memiliki kebutuhan lain kecuali uang (Huse
dan Bowditch, 1973). Oleh sebab itu, menurut model ini, apabila
seseorang digaji dengan memuaskan, maka seseorang tersebut akan
bekerja dengan baik. Selanjutnya, apabila terjadi
permasalahan-permasalahan, seperti adanya pegawai yang malas, menyia-nyiakan
waktu (goofing off), performansi kerja yang rendah, maka paling baik dipecahkan dengan cara memikirkan cara pembayaran yang
menyediakan insentif yang mendorong pegawai berperformansi dengan
baik (Owens, 1987). Berdasarkan asumsi dasar tersebut, dalam model
ekonomik/mesin ini dikembangkan satu sistem pembayaran gaji
berdasarkan bukan pada waktu yang dihabiskan, melainkan apa yang
dihasilkan (Huse dan Bowditch, 1973; dan Tosi dan Carroll, 1976).
Apabila dikaitkan dengan teori hierarki kebutuhan Maslow dan
teori kebutuhan ERG Alderfer, maka sebenarnya model ini
semata-mata mampu memenuhi kebutuhan tingkat rendah, yaitu fisiologis.
Sesuai dengan teori dua faktor Herzberg, uang atau gaji
merupakan salah satu faktor penyehat. Keberadaannya mampu
menimbulkan tidak adanya ketidakpuasan, tetapi tidak akan
menimbulkan kepuasan sehingga tidak akan mampu meningkatkan
motivasi. Keberadaannya dapat memelihara prestasi, tetapi tidak akan
mampu meningkatkan prestasi. Itulah sebabnya Herzberg (1959)
memberikan nama lain dari faktor penyehat itu dengan sebutan faktor
pemeliharaan (maintenance factor). Sedangkan menurut Owens (1987), seseorang yang sebagian besar kebutuhannya terpenuhi oleh
kerjanya dan menunjukkan perhatian kecil pula terhadap bagaimana ia
seharusnya mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik.
3. Model Pertumbuhan – Sistem Terbuka
Sebagai model ketiga dalam memotivasi kerja guru adalah model
pertumbuhan sistem terbuka (growth-open system model). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia bukanlah menjadi obyek
belaka dari lingkungan, ia diciptakan untuk melakukan perubahan pada
dirinya dan lingkungannya, ia memiliki potensi untuk bertumbuh,
bertanggungjawab, dan berprestasi, dan manusia memiliki motif-motif
yang jauh lebih kompleks daripada yang diasumsikan pada kedua
model motivasi sebelumnya (Huse dan Bowditch, 1973).
Berdasarkan asumsi tersebut, model ini lebih menekankan
bagaimana mendorong guru untuk tumbuh dan berkembang dalam
kerjanya. Model ini berhubungan langsung dengan teori aktualisasi diri
(self actualizing man) oleh Maslow dan teori dua faktor yang dikemukakan Herzberg.
Sergiovanni, pada akhir tahun 1960 pernah melakukan replikasi
penelitian terhadapa apa yang telah dilakukan Herzberg. Ia menemukan
bahwa prestasi dan pengakuan merupakan faktor pendorong yang
sangat penting bagi guru-guru, menyusul faktorfaktor lain, seperti kerja
itu sendiri, tanggung jawab, dan kemungkinan untuk bertumbuh.
Begitu pula penelitian aplikasi teori Herzberg di Jawa Timur, yang
dilakukan oleh Mataheru (1984) dalam rangka penulisan disertasi,
menunjukkan hasil yang sama.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pada model pertama tidak dapat
memenuhi kebutuhan guru-guru, melainkan sebaliknya yaitu menimbulkan
rasa ketidakpuasan. Dengan adanya ancaman-ancaman dari atasan guru
merasa stress dan tertekan. Lain halnya dengan model kedua, model ini
tampak lebih manusiawi daripada model pertama. Bukan saja karena
memotivasi kerja, melainkan juga setiap orang membutuhkan uang.
Namun, guru bukanlah makhluk yang bekerja semata-mata untuk
mendapatkan uang. Ia adalah makhluk sosial yang sepanjang hidupnya
bukan hanya membutuhkan uang untuk mempertahankan eksistensi
hidupnya, melainkan juga membutuhkan aspek-aspek lain, seperti
hubungan sosial, harga diri, pengakuan, dan pertumbuhan. Sedangkan
pada model yang ketiga, lebih mementingkan faktor-faktor psikologis dari
pada fisiologis yaitu mendorong guru untuk tumbuh dan berkembang
dalam bekerja. Dengan demikian memotivasi kerja guru seharusnya
dilakukan dengan berupaya memenuhi faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kepuasan psikologis guru, misalnya melalui pengakuan,
membina pertumbuhan guru, promosi guru, pemberian tanggung jawab,
prestasi.
B. Pelaksanaan Supervisi Akademik Kepala Sekolah
1. Pengertian Supervisi Akademik
Istilah supervisi berasal dari kata ”super” dan ”vision” yang
masing-masing kata itu adalah atas dan penglihatan. Jadi secara etimologis, supervisi berarti penglihatan dari atas. Pengertian tersebut merupakan arti kiasan yang
menggambarkan suatu posisi yang melihat berkedudukan lebih tinggi dari
pada yang dilihat.17
Istilah melihat dalam pengertian tersebut, searti dengan mengontrol,
menilik atau mengawasi. Dari uraian tersebut maka, dalam hal ini yang
diawasi yaitu tugas serta tanggung jawab yang telah diberikan oleh atasan.
Apakah para bawahan (guru) telah melaksanakan tugas serta tanggung jawab
tersebut, sesuai standar/ketentuan yang telah ditetapkan atau tidak. Jika
terdapat masalah maka akan dimusyawarahkan untuk memecahkan
permasalahan tersebut, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai
dengan maksimal.
17
Pada dasarnya supervisi diarahkan pada dua aspek yaitu supervisi
akademik yang berhubungan dengan pelaksanaan proses pembelajaran dan
supervisi manajerial yang berhubungan dengan pengelolaan dan administrasi
sekolah.
Sebagaimana dikemukakan oleh Made Pidarta bahwa supervisi ditinjau
dari segi keahliannya dibedakan menjadi dua yaitu supervisor umum dan
supervisor spesialis. Tugas supervisor umum berkaitan dengan pemantauan
pelaksanaan kurikulum dan upaya perbaikannya. Selain itu kewajiban
supervisor umum yang lebih penting yaitu memotivasi guru sehingga lebih
bergairah dalam bekerja. Sedangkan supervisor spesialis menangani hal-hal
yang berkaitan dengan perbaikan proses belajar mengajar yang meliputi
menyeleksi materi, pengembangan materi, pengembangan alat/media
pembelajaran, perencanaan program dan pelaksanaannya, menilai program
dan pelaksanaannya dan lain sebagainya. Seperti halnya supervisor umum,
supervisor spesialis juga berkewajiban meningkatkan motivasi guru dalam
bekerja.18
Suharsimi arikunto dalam bukunya yang berjudul dasar-dasar supervisi
menjelaskan bahwa supervisi Akademik adalah supervisi yang
menitikberatkan pengamatan pada masalah akademik, yaitu yang langsung
berada dalam lingkup kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk
membantu siswa ketika sedang dalam proses belajar.19 Sedangkan Glickman
(1981), menegaskan bahwa supervisi akademik adalah serangkaian kegiatan
membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola proses
pembelajaran demi pencapaian tujuan pembelajaran. Lebih lanjut, Daresh
(1989) menjelaskan bahwa supervisi akademik merupakan upaya membantu
guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran.20
18
Made Pidarta, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 84.
19
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Supervisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Cet I, h. 5.
20
Dari pendapat para ahli tersebut, maka nampak jelas bahwa, esensi
supervisi akademik yaitu membantu guru dalam mengembangkan kemampuan
profesionalismenya bukan menilai performansi guru dalam mengelola proses
pembelajaran.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Syaiful Sagala mengemukakan bahwa
pengawasan akademik adalah bantuan professional kesejawatan yang
dilakukan pengawas sekolah melalui dialog kajian masalah pendidikan
menggunakan teknik-teknik supervisi atau pengembangan untuk menemukan
solusi, atau berbagai alternatif pengembangan dalam upaya peningkatan
kemampuan profesional, dan komitmen guru, kepala sekolah, dan staf sekolah
lainnya guna mempertinggi prestasi belajar siswa, dan kinerja sekolah dalam
rangka meningkatkan mutu, relevansi, efisiensi dan akuntabilitas pendidikan.21
Selanjutnya menurut pendapat Harris sebagaimana dikutip Piet A.
Sahertian dan Ida Aleida Sahertian mengemukakan supervisi akademik adalah
apa yang dilakukan oleh petugas sekolah terhadap stafnya untuk memelihara
(maintain) atau mengubah pelaksanaan kegiatan di sekolah yang langsung
berpengaruh terhadap proses mengajar guru dalam usaha meningkatkan hasil
belajar siswa.22
Dengan demikian, dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa supervisi akademik merupakan kegiatan bimbingan/bantuan terhadap
guru-guru dalam memperbaiki, mengembangkan atau meningkatkan situasi
pembelajaran.
Dalam pelaksanaanya, hendaknya supervisor tidak mencari-cari kesalahan
yang diperbuat oleh guru tetapi membimbing para guru-guru dan
bersama-sama membicarakan permasalahan yang dihadapi guru dalam kegiatan
pembelajaran. Dalam hal ini para guru dijadikan sebagai partner kerja, mereka
akan merasa lebih dihargai dan lebih semangat untuk bekerja.
21
Syaiful Sagala, Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. I, h. 157.
22
2. Tujuan Supervisi Akademik
Para ahli pendidikan mempunyai pandangan masing-masing mengenai
tujuan supervisi pendidikan sesuai sudut pandang masing-masing, namun
mereka sepakat tujuan inti dari supervisi akademik adalah membantu guru
meningkatkan kualitas profesionalnya dalam mengajar. Di bawah ini penulis
cantumkan tujuan supervisi akademik menurut pendapat para ahli:
a. Hariwung (1989) mengemukakan tujuan supervisi akademik adalah membantu guru untuk bertumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup mengajar dan kehidupan kelas, memperbaiki keterampilan mengajar, dalam memperluas pengetahuan mereka serta menggunakan persiapan mengajar.23
b. Glickman (1985) mengatakan tujuan supervisi akademik untuk membantu guru-guru belajar bagaimana meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya, agar murid-muridnya dapat mewujudkan tujuan belajar yang telah ditetapkan.24
c. Neagle (1980) mengatakan bahwa melalui supervisi akademik diharapkan kualitas akademik yang dilakukan oleh guru semakin meningkat.25
Pengembangan kemampuan dalam konteks ini janganlah ditafsirkan secara
sempit, semata-mata ditekankan pada peningkatan kemampuan dan
keterampilan mengajar guru, melainkan juga pada peningkatan komitmen
(commitmen) atau kemampuan (willingness) atau motivasi (motivation) guru. Sebab dengan meningkatkan kemampuan dan motivasi kerja guru, kualitas
pembelajaran akan meningkat.
Sedangkan menurut Sergiovanni (1987) dijelaskan lebih lengkap lagi
tujuan supervisi akademik, sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:
23
Syaiful Sagala, Supervisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan..., h. 104.
24
Ibrahim Bafadal, Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru..., h. 4.
25
Gambar 3.
Tiga Tujuan Supervisi Akademik
1. Supervisi akademik diselenggarakan dengan maksud untuk memonitor
kegiatan proses belajar mengajar di sekolah. Kegiatan monitor ini bisa
dilakukan dengan melalui kunjungan kepala sekolah ke kelas-kelas di saat
guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya,
maupun dengan sebagian murid-muridnya.
2. Supervisi akademik diselenggarakan dengan maksud membantu guru
mengembangkan kemampuannya profesionalnnya dalam memahami
akademik, kehidupan kelas, mengembangkan keterampilan mengajarnya
dan menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu.
3. Supervisi akademik diselenggarakan untuk mendorong guru menerapkan
kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas mengajarnya,
mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri, serta
mendorong guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh
(commitment) terhadap tugas dan tanggung jawabnya.26
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan supervisi akademik yang
diuraikan di atas, maka pada intinya tujuan supervisi akademik yaitu untuk
26
membantu para guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, agar
dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Pada akhirnya
akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Jika supervisi akademik sudah
tertuju pada keberhasilan siswa dalam memperoleh kualitas pembelajaran
yang lebih baik artinya supervisi akademik tersebut sesuai dengan tujuannya.
3. Fungsi Supervisi Akademik
Menurut Alfonso, Firth, dan Neville (1981) Supervisi akademik yang baik
adalah supervisi akademik yang mampu berfungsi mencapai multitujuan
tersebut di atas. Tidak ada keberhasilan bagi supervisi akademik jika hanya
memperhatikan salah satu tujuan tertentu dengan mengesampingkan tujuan
lainnya. Hanya dengan merefleksi ketiga tujuan yang telah dikemukakan,
supervisi akademik akan berfungsi mengubah perilaku mengajar guru. Pada
gilirannya nanti perubahan perilaku guru ke arah yang lebih berkualitas akan
menimbulkan perilaku belajar murid yang lebih baik.
Alfonso, Firth, dan Neville (1981) menggambarkan sistem pengaruh
[image:43.612.114.514.98.554.2]perilaku supervisi akademik sebagaimana gambar berikut:27
Gambar 4.
Sistem Fungsi Supervisi Akademik
Gambar tersebut memperjelas kita dalam memahami sistem pengaruh
perilaku supervisi akademik. Perilaku supervisi akademik secara langsung
berhubungan dan berpengaruh terhadap perilaku guru. Ini berarti, melalui
27
supervisi akademik, supervisor mempengaruhi perilaku mengajar guru
sehingga perilakunya semakin baik dalam mengelola proses belajar mengajar.
Selanjutnya perilaku mengajar guru yang baik itu akan mempengaruhi
perilaku belajar murid. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tujuan
akhir supervisi akademik adalah terbinanya perilaku belajar murid yang lebih
baik.
Jadi, pada intinya fungsi supervisi akademik yaitu memberikan pelayanan
supervisi untuk menumbuhkan proses belajar mengajar yang menyenangkan,
aktif, inovatif dan berkualitas. Artinya, supervisi akademik harus menjalankan
fungsi-fungsinya agar tujuan dapat tercapai secara optimal.
4. Prinsip Supervisi Akademik
Para kepala sekolah baik suka maupun tidak suka harus siap menghadapi
problema dan kendala dalam melaksanakan supervisi akademik. Adanya
problema dan kendala tersebut sedikit banyak bisa diatasi apabila dalam
pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah menerapkan prinsip-prinsip
supervisi akademik.
Akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan teori
supervisi akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi akademik.
Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic), kerja kelompok (team effort), dan proses kelompok (group process) telah banyak dibahas dan dihubungkan dengan konsep supervisi akademik. Pembahasannya
semata-mata untuk menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu
harus menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan
dan guru sebagai bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan,
keseluruhan anggota (guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya
sebagai prakarsa, dalam proses supervisi akademik, sedangkan supervisor
Selain itu, terdapat beberapa prinsip lain dalam melaksanakan supervisi
akademik, yaitu sebagai berikut:28
1. Supervisi akademik harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal. Hubungan demikian ini bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara supervisor dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi akademik. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat, seperti sikap membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg, sabar, antusias, dan penuh humor (Dodd, 1972).
2. Supervisi akademik harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi akademik bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami bahwa supervisi akademik merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan program sekolah (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973). Apabila guru telah berhasil mengembangkan dirinya tidaklah berarti selesailah tugas supervisor, melainkan harus tetap dibina secara berkesinambungan. Hal ini logis, mengingat problema proses pembelajaran selalu muncul dan berkembang.
3. Supervisi akademik harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi akademiknya. Titik tekan supervisi akademik yang demokratis adalah aktif dan kooperatif. Supervisor harus melibatkan secara aktif guru yang dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program akademik bukan hanya pada supervisor melainkan juga pada guru. Oleh sebab itu, program supervisi akademik sebaiknya direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan bersama secara kooperatif dengan guru, kepala sekolah, dan pihak lain yang terkait di bawah koordinasi supervisor.
4. Program supervisi akademik harus integral dengan program pendidikan. Di dalam setiap organisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan. Sistem perilaku tersebut antara lain berupa sistem perilaku administratif, sistem perilaku akademik, sistem perilaku kesiswaan, sistem perilaku pengembangan konseling, sistem perilaku supervisi akademik (Alfonso, dkk., 1981). Antara satu sistem dengan sistem lainnya harus dilaksanakan secara integral. Dengan demikian, maka program supervisi akademik integral dengan program pendidikan secara keseluruhan. Dalam upaya perwujudan prinsip ini diperlukan hubungan yang baik dan harmonis antara supervisor dengan semua pihak pelaksana program pendidikan (Dodd, 1972).
5. Supervisi akademik harus komprehensif. Program supervisi akademik harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan akademik,
28
walaupun mungkin saja ada penekanan pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan akademik sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah untuk memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi akademik, berupa pengawasan kualitas, pengembanga