• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi antibodi monoklonal menggunakan konjugat Fumonisin B1 Ovalbumin sebagai antigen untuk deteksi Fumonisin secara imunoasai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi antibodi monoklonal menggunakan konjugat Fumonisin B1 Ovalbumin sebagai antigen untuk deteksi Fumonisin secara imunoasai"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL MENGGUNAKAN

KONJUGAT FUMONISIN B

1

-OVALBUMIN SEBAGAI

ANTIGEN UNTUK DETEKSI FUMONISIN

SECARA IMUNOASAI

ROMSYAH MARYAM

,

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi yang berjudul:

PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL MENGGUNAKAN KONJUGAT FUMONISIN B1-OVALBUMIN SEBAGAI ANTIGEN UNTUK DETEKSI

FUMONISIN SECARA IMUNOASAI

adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Agustus 2007

(3)

ROMSYAH MARYAM. Production of Monoclonal Antibodies using Fumonisin B1-Ovalbumin Conjugate as the Antigen for the Detection of Fumonisin by

Immunoassay. Under supervision of ANTON APRIYANTONO as the chairman, RIZAL SYARIEF, FRANSISKA R. ZAKARIA and LIES PAREDE as the advisory committee members.

Fumonisins are mycotoxins produced by Fusarium spp. mainly F. verticillioides and F. proliferatum which are commonly found in grains such as corn, rice dan wheat. Fumonisin B1 (FB1) the most abundant and most toxic, is classified as a

possible carcinogen for humans (Group 2B) and one of the five important mycotoxins in the world. The toxicity of FB1 for humans and animals, as well as its economic

impact have been reported worldwide. In order to minimize the risks of FB1

contamination some countries have set the maximum levels of fumonisin in foods and feeds. Although there is no report on mycotoxicoses related to FB1 contamination in

Indonesia, some findings indicated high concentration of fumonisin contamination in agricultural products could affect the national income.

Analytical methods play crucial roles in the detection of fumonisin contamination in foods and feeds. Immunoassay is one of the most reliable, rapid, sensitive, specific, and economical method. This assay based on polyclonal or monoclonal antibodies. The objective of this study was to produce monoclonal antibodies (MAb) against FB1 and to generate direct competitive enzyme-linked

immunosorbent assay (dc-ELISA) for fumonisin analysis. This study includes several activities: (1) Synthesis of fumonisin B1-Ovalbumin antigen (FB1-Ova) and the

enzyme conjugate fumonisin B1-horseraddish peroxidase (FB1-HRP), (2) Production

and characterization of monoclonal antibodies against FB1, (3) Optimization and

validation of the dc-ELISA, (4) Application of dc-ELISA for the detection of fumonisin in foods or feeds.

FB1 used for the synthesis of FB1-Ova and FB1-HRP was isolated from F.

verticillioides and F. nygamai culture in corn which produced FB1 1.54 g/kg and 0.87

g/kg, respectively. The average of protein concentration of the antigen produced from the conjugation of FB1 and Ova via glutaraldehyde reaction was 0.0933 ± 0.0178

mg/ml (n=5). The antigen was proven to be immunogenic to BALB/c mice and could be used for the antibody sreening using indirect competitive ELISA (ic-ELISA). The reaction of FB1 and HRP resulted in the formation of FB1-HRP enzyme conjugate

which could be used as a label in the analysis of FB1 by dc-ELISA.

Monoclonal antibodies were produced by fusion of the splenic lymphocytes from the FB1-Ova immunized BALB/c mice with Sp2/0-Ag 14 myeloma cells using

polyethylene glycol (PEG 4000). Antibodies produced by the hybridoma cells were screened, and eight clones of the hybridomas with high antibody titers were selected for cell cloning. The highest antibody-producing hybridoma (2B2F6) was clonned by

limited dilution. The secreted antibodies from

subclone 2B1F6F7 belonged to the immunoglobulin G1 (IgG1) subclass. The

(4)

(FB2) of 49%. The method sensitivity was 0,5 ng/ml with IC50 of 2,9 ng/ml. The

dc-ELISA of spiked corn samples (40 ng FB1/g) showed good precision (SD=1.5%) and

accuracy (SD=7.7%) with FB1 recovery ranging from 88.2 to 103.1%. FB1 standards in

the concentration range of 1-50 ng/ml gave a linear response (R2= 0.9949) with regression equation Y= 7.1862 Ln(x) + 68.35. However, the linearity was reduced by the corn matrices (R2= 0.9841) at the same concentration range of FB1 standards. The

ELISA method developed in this research had a good agreement with high performance liquid chromatographic method (HPLC) which indicated by the analytical results of FB1 in corn detected by the two methods (R2 = 0.9898).

Analysis of commercial broiler dan layer feeds (n=10) using dc-ELISA revealed the presence of FB1 in the feeds ranging between 46.1 – 482.8 ng/g for the

broiler feeds and 20.7 – 85.5 ng/g for the layer feeds. These levels were lower compared to the FB1 levels in poultry feeds in general. During storage at ambient

temperature for six weeks, the concentration of FB1 in commercial chicken feeds

gradually increased. This indicated that the production of FB1 by Fusarium spp.

continued during the storage. However, the concentration of FB1 in both broiler and

layer feeds were still low to cause mycotoxicoses in poultry.

Direct competitive ELISA (dc-ELISA) is the most common immunoassay method used for the analysis of mycotoxins such as fumonisin. The dc-ELISA developed in this study using monoclonal antibodies showed a good performance when applied for the analysis of FB1 contaminated foods and feeds. The method is suitable

for laboratories in the developing countries such as Indonesia in terms of support for food safety programs and global trade.

Keywords: monoclonal antibody, fumonisin B1-ovalbumin conjugate, fumonisin

(5)

ROMSYAH MARYAM. Produksi Antibodi Monoklonal Menggunakan Konjugat Fumonisin B1-Ovalbumin Sebagai Antigen untuk Deteksi Fumonisin

Secara Imunoasai. Di bawah bimbingan ANTON APRIYANTONO sebagai ketua komisi pembimbing, RIZAL SYARIEF, FRANSISKA R. ZAKARIA dan LIES PAREDE sebagai anggota.

Fumonisin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides dan F. proliferatum yang banyak dijumpai pada komoditas pertanian seperti jagung, beras dan gandum. Fumonisin B 1 (FB1) merupakan jenis

fumonisin yang paling banyak ditemui di alam dan paling toksik, diklasifikasikan sebagai senyawa karsinogen (Grup 2B). FB1 termasuk dalam lima mikotoksin penting

yang menjadi perhatian dunia. Toksisitas FB1 pada manusia dan hewan, serta dampak

ekonomi yang disebabkan mikotoksin ini telah banyak dilaporkan. Oleh karenanya, untuk mengurangi risiko yang disebabkan karena kontaminasi FB1 beberapa negara

telah menetapkan batas maksimum kandungan fumonisin ini dalam bahan pangan dan pakan. Meskipun di Indonesia belum ada laporan mengenai mikotoksikosis yang disebabkan oleh fumonisin dan belum ada laporan mengenai kerugian ekonomi, namun dari beberapa laporan yang mengindikasikan kontaminasi FB1 pada bahan pangan dan

pakan yang cukup tinggi dapat mempengaruhi perekonomian nasional.

Metode analisis memegang peranan penting dalam mendeteksi kontaminasi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Imunoasai adalah salah satu metode yang paling dapat diandalkan karena dengan metode ini proses analisis dapat dilakukan secara cepat dan mudah dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, serta ekonomis. Teknik ini menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal. Tujuan dari penelitian ini yaitu memproduksi antibodi monoklonal (AbMk) spesifik terhadap FB1 dan

mengembangkan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif langsung untuk analisis fumonisin. Penelitian ini terdiri dari beberapa kegiatan: (1) Sintesis antigen fumonisin B1-ovalbumin (FB1-Ova) dan konjugat enzim fumonisin B1

-horse raddish peroxidase (FB1-HRP), (2) Produksi dan karakterisasi antibodi

monoklonal spesifik terhadap FB1, (3) Optimisasi dan validasi ELISA kompetitif

langsung, (4) Aplikasi ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pangan atau pakan.

FB1 yang digunakan untuk sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP diisolasi

dari biakan kapang F. moniliforme dan F. nygamai pada media jagung yang masing-masing menghasilkan FB1 1,54 g/kg dan 0,87 g/kg. Rataan konsentrasi protein dari

antigen yang dihasilkan dari konjugasi FB1 dengan Ova melalui reaksi dengan

glutaraldehida yaitu 0,0933 ± 0,00178 mg/ml (n=5). FB1-Ova yang terbentuk dari

reaksi tersebut bersifat imunogenik, terlihat dengan adanya respon antibodi pada mencit BALB/c yang diimunisasi dengan antigen tersebut, dan dapat digunakan sebagai pereaksi untuk pengujian antibodi secara ELISA kompetitif tidak langsung. Reaksi antara FB1 dan enzim horseraddish peroxidase (HRP) menghasilkan FB1-HRP

enzim konjugat yang dapat digunakan sebagai label pada analisis FB1 secara ELISA

kompetitif langsung.

Antibodi monoklonal dihasilkan melalui fusi sel limfosit mencit yang diimunisasi FB1-Ova dengan sel mieloma Sp2/0-Ag14 menggunakan polietilen glikol

(6)

imunoglobulin G1 (IgG1). Konsentrasi antibodi dari supernatan dan cairan asites

setelah pengendapan dengan ammonium sulfat dan pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP masing-masing 2,81 mg/ml dan 1,62 mg/ml.

Kondisi optimum ELISA tak langsung untuk mendeteksi 50 ng/ml FB1

memerlukan pengenceran antibodi 1:10.000 dan konjugat enzim FB1-HRP 1:400.

Antibodi tersebut memberikan reaksi yang spesifik terhadap FB1 dengan reaksi silang

terhadap fumonisin B2 (FB2) sebesar 49%. Sensitivitas metode ini yaitu 0,5 ng/ml

dengan IC50 2,9 ng/ml. Analisis sampel jagung yang diberi standar FB1 (40 ng/g)

secara ELISA kompetitif langsung menunjukkan presisi (SD=1,5%) dan akurasi (SD=7,7%) yang baik dengan rekoveri berkisar antara 88,2-103,1%. FB1 standar pada

kisaran konsentrasi 1-50 ng/ml menunjukkan garis linear (R2=0,9949) dengan persamaan regresi Y=7,1862 Ln(x) + 68,35. Namun, linearitas menurun dengan adanya matriks jagung (R2= 0,9841) pada kisaran konsentrasi standar FB1 yang sama.

Perbandingan analisis FB1 dalam jagung (n=10) secara ELISA kompetitif langsung

dengan metode KCKT menunjukkan korelasi yang baik di antara kedua metode tersedbut (R2=0,9898).

Analisis pakan ayam komersial (n=10) secara ELISA kompetitif langsung menunjukkan adanya kontaminasi FB1 pada kisaran 46,1–482,8 ng/g untuk pakan

ayam pedaging dan 20,7–85,5 ng/g untuk pakan ayam petelur. Konsentrasi tersebut lebih rendih dibandingkan dengan konsentrasi FB1 pada pakan ayam pada umumnya.

Perlakuan penyimpanan kedua jenis pakan pakan tersebut pada temperatur kamar selama enam minggu menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi FB1. Hal ini

menunjukkan bahwa produksi FB1 oleh Fusarium spp. terus berlangsung selama

penyimpanan.

ELISA kompetitif langsung adalah metode imunoasai yang paling banyak digunakan untuk analisis mikotoksin termasuk fumonisin. Metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan pada penelitian ini dengan menggunakan antibodi monoklonal menunjukkan performan yang baik ketika diaplikasikan untuk menganalisis bahan pangan dan pakan yang terkontaminasi FB1. Metode ini sesuai

untuk digunakan pada laboratorium-laboratorium di negara berkembang seperti Indonesia guna mendukung program keamanan pangan dan perdagangan global.

(7)

©Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari IPB, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetakan, fotokopi, mikrofilm

(8)

PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL MENGGUNAKAN

KONJUGAT FUMONISIN B

1

-OVALBUMIN SEBAGAI

ANTIGEN UNTUK DETEKSI FUMONISIN

SECARA IMUNOASAI

ROMSYAH MARYAM

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed

(10)
(11)

Nama Mahasiswa : Romsyah Maryam

Nomor Pokok : F226014011

Progam Studi : Ilmu Pangan

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Anton Apriyantono, MS Ketua

Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS Prof.Dr. Ir.Fransiska R. Zakaria, MSc

Anggota Anggota

Drh. Lies Parede, MSc, PhD Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof. Dr. Ir. Chairil Anwar Notodiputro, MS

NIP. 130 516 873 NIP. 130 891 386

(12)
(13)

taufik dan hidayahNya penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi berjudul

“Produksi Antibodi Monoklonal Menggunakan Konjugat Fumonisin B1

-Ovalbumin Sebagai Antigen untuk Deteksi Fumonisin Secara Imunoasai” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya selama pendidikan dan penyelesaian studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS., Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc., serta Ibu Drh. Lies Parede, MSc.PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS selaku penguji luar komisi yang bersedia menguji pada ujian tertutup, serta Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed dan Dr. Tri Budhi Murdiati, MSc. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka Program Studi Doktor di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Pembantu Rektor IPB, Dekan Sekolah Pasca Sarjana, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pangan IPB untuk kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S3 di IPB. Kepada Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET), Ketua Kelti Toksikologi dan Virologi, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas, serta dukungan moril bagi penulis untuk melaksanakan penelitian hingga selesainya masa studi. Terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian atas bantuan beasiswa melalui Proyek PAATP.

Terima kasih disertai rasa hormat penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta dan Ayahanda (almarhum) atas segala do’a restu, serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Kepada Kakak dan adik tercinta, terima kasih atas segala cinta kasih dan dorongan semangat yang diberikan selama ini.

Terima kasih kepada Prof. DR. drh. Sjamsul Bahri, MS., drh. Indraningsih, DR. R. Widiastuti, Sri Rachmawati, MSc, drh. Adin Priadi, Dra. Helmy Hamid, MSc. Dra. Masniari,MS., drh. Andriani, MSi. atas segala saran dan dorongan semangatnya, dan Zakiah Muhajan, SS,M.Hum dan seluruh staf perpustakaan BBALITVET dan IPB yang telah membantu penelusuran literatur untuk penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Siti Djuariah dan rekan-rekan di lab. Toksikologi,Virologi dan Bioteknologi BBALITVET atas segala bantuannya selama masa penelitian. Kepada Tati Ariyanti terima kasih atas kesediaannya menjadi proof reader pada penulisan disertasi ini. Kepada rekan-rekan program studi IPN Mbak Mar, Rahma, Ria, Rifda,Yuyun, Bu Asriani dan Mbak Susi, terima kasih untuk persahabatan yang tulus dan kerjasama yang baik selama ini. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian hingga selesainya penulisan ini.

Menyadari akan segala kekurangan yang terdapat pada penulisan disertasi ini, dimohon saran dan masukannya untuk perbaikan. Semoga disertasi ini bermanfaat khususnya bagi perkembangan IPTEK dan masyarakat pada umumnya.

Bogor, Agustus 2007

(14)

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1964 di Bogor sebagai putri ke enam

dari pasangan Bapak Madhari dan Ibu Rosmah. Penulis menempuh pendidikan sarjana

pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Pakuan di Bogor dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1997 penulis mendapat

beasiswa AusAID untuk mengikuti pendidikan program master di School of Medicine Queensland University, Australia dan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya, penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi Progam Doktor pada Program Studi Ilmu

Pangan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 dengan

beasiswa PAATP Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Sejak tahun 1983 penulis bekerja sebagai teknisi di Kelti Toksikologi dan tahun

1991 mendapat promosi menjadi staf peneliti di Kelti yang sama pada Balai Besar

Penelitian Veteriner hingga saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu

bidang toksikologi, khususnya penelitian penanggulangan masalah mikotoksin dan

pengembangan metode deteksi. Sealin melaksanakan penelitian, penulis juga menjadi

anggota Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indonesia dan Ikatan Sarjana Wanita

Indonesia. Selama masa pendidikan program S3 telah dipublikasi 2 karya ilmiah yang

berjudul “ Metode deteksi mikotoksin” dan Produksi fumonisin oleh kapang Fusarium moniliforme dan Fusarium nygamai pada medium jagung” pada jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia tahun 2006. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari

disertasi yang disusun oleh penulis.

(15)

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Hipotesis ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Fumonisin ... 6

Kapang Penghasil Fumonisin ... 6

Sifat Kimia Fisika ... 8

Biosintesis Fumonisin... 9

Jenis-jenis Fumonisin ... 10

Kontaminasi pada pangan/ dan pakan ... 13

Metode analisis fumonisin... 16

Imunoasai ... 19

Peran sistem imun dan antibodi ... 20

Prinsip Imunoasai ... 22

Antigen ... 23

Antibodi ... 24

Produksi Antibodi oleh Sel Limfosit B ... 25

Produksi Antibodi Monoklonal ... 29

Imunisasi ... 29

Produksi dan kultur hibridoma ... 30

Skrining antibodi ... 33

Karakterisasi dan purifikasi antibodi ... 33

Visualisasi Imunoasai ... 34

(16)

Halaman

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ... 36

Disain dan Konfigurasi ELISA ... 37

ELISA kompetitif langsung ... 37

ELISA kompetitif tak langsung ... 38

ELISA penangkap antibodi ... 40

ELISA sandwich antibodi ganda ... 40

Aplikasi ELISA untuk deteki fumonisin ... 40

Daftar Pustaka ... 42

PRODUKSI DAN ISOLASI FUMONISINB1 DARI BIAKAN KAPANG FUSARIUM VERTICILLIOIDES DAN FUSARIUM NYGAMAI PADA MEDIUM JAGUNG Abstrak ... 51

Abstract ... 51

Pendahuluan ... 52

Materi dan Metode ... 53

Hasil dan Pembahasan ... 56

Kesimpulan ... 62

Daftar Pustaka ... 62

SINTESIS ANTIGEN FUMONISIN B1-OVALBUMIN DAN FUMONISIN B1-HORSERADDISH PEROXIDASE ENZIM KONJUGAT Abstrak ... 65

Abstract ... 66

Pendahuluan ... 66

Materi dan Metode ... 68

Hasil dan Pembahasan ... 73

Kesimpulan ... 82

(17)

Halaman

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI ANTIBODI MONOKLONAL TERHADAP FUMONSIN

Abstrak ... 86

Abstract ... 86

Pendahuluan ... 87

Materi dan Metode ... 88

Hasil dan Pembahasan ... 96

Kesimpulan ... 107

Daftar Pustaka ... 108

STANDARDISASI DAN APLIKASI METODE ELISA BERBASIS ANTIBODIMONOKLONAL UNTUK DETEKSI FUMONISIN PADA PANGAN DAN PAKAN Abstrak ... 110

Abstract ... 111

Pendahuluan ... 111

Materi dan Metode ... 112

Hasil dan Pembahasan ... 115

Kesimpulan ... 123

Daftar Pustaka ... 123

PEMBAHASAN UMUM Produksi dan Isolasi Fumonisin ... 127

Sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat ... 128

Produksi hibridoma melalui fusi menggunakan polietilen glikol ... 129

Produksi dan karakterisasi antibodi monoklonal ... 130

Standardisasi dan aplikasi ELISA berbasis antibodi monoklonal untuk untuk deteksi fumonisin pada bahan pangan dan pakan ... 130

(18)

Halaman

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 134

Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 137

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spesies Fusarium spp. penghasil fumonisin dan pengelompokannya……. 7

2 Jenis-jenis fumonsin dan gugus fungsinya ………... 10

3 Kontaminasi fumonisin pada berbagai jenis komoditas pertanian

yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan di Indonesia ... 15

4 Perbedaan sifat antara sistem imun no spesifik dan spesifik ... 21

5 Perbedaaan sifat antara antibodi poliklonal dan monoklonal ... 29

6 Galur-galur mieloma dan limfoblastoid yang dapat digunakan untuk

produksi hibridoma ... 31

7 Perlakuan pada produksi fumonisin dengan menggunakan media jagung . 55

8 Jadual imunisasi mencit BALB/c untuk pembuatan antiserum ... 70

9 Komposisi gel elektroforesis yang digunakan untuk konfirmasi

pembentukan antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat... 72

10 Pengukuran protein dari antigen FB1-Ova dengan spektrofotometer ... 78

11 Pengukuran protein dari FB1-HRP enzim konjugat dengan

spektrofotometer... ... 81

12 Program imunisasi mencit BALB/c dangan FB1-Ova secara intra vena .. 90

13 Respon antibodi yang terdeteksi pada serum mencit yang diimunisasi

Dengan FB1-Ova pada pengenceran 1:5.000 ... 97

14 Pengukuran protein dari antibodi dalam supernatan setelah pemurnian

melalui kolom HiTrap Protein A HP dengan spektrofotometer ... 102

15 Pengukuran protein dari antibodi dalam cairan asites mencit

setelah pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP pada

spektrofotometer ... 103

16 Rekoveri FB1 pada sampel jagung yang dideteksi menggunakan

metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal ... 116

17 Analisis FB1 pada jagung dengan ELISA kompetitif langsung dan

KCKT ... 126

18 Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam pedaging selama penyimpanan …… 121

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kontaminasi kapang Fusarium spp. pada jagung hibrida lokal,

morfologi F. verticillioides dan F. nygamai koleksi Bbalitvet

Culture Collection (BCC) ... 8

2. Struktur dasar fumonisin (Rheeder et al. 2002) ... 8

3 Bosintesis fumonisin (Abbas et a.l 1996) ... 9

4 Struktur kimia fumonisin B1 (EHC 2000) ... 10

5 Perbandingan struktur fumonisin dan sfingosin ... 12

6 Struktur dasar imunoglobulin (Ig) ... 25

7 Kinetika respons antibodi: Pembentukan IgM sebagai respon primer dan pembentukan IgG pada respon sekunder ... 26

8 Antigen dengan berbagai epitop ... 26

9 Produksi antibodi poliklonal oleh sel B ... 27

10 Produksi antibodi monoklonal oleh sel B ... 28

11 Struktur kimia polietilen glikol (PEG) ... 32

12 Sistem seleksi dengan medium HAT ... 33

13 Tahapan pada ELISA kompetitif langsung (Rittenberg 1990) ... 38

14 Tahapan pada ELISA kompetitif tidak langsung (Rittenberg 1990)... 39

15 Kontaminasi alami kapang Fusarium spp. pada jagung lokal ... 54

16 Pertumbuhan kapang F. moniliforme dan F. nygamai pada media PDA setelah inkubasi 7 hari pada suhu 25oC dan 37oC ... 57

17 Pertumbuhan kapang F. moniliforme dan F. nygamai pada media jagung setelah inkubasi 7 hari ... 57

18 Pola produksi FB1 oleh F. Moniliforme dan F. nygamai pada media jagung dengan suhu penyimpanan 25oC dan 37oC ... 59

19 Konsentrasi FB1 pada tiap fraksi ekstrak biakan F. verticillioides ... 60

20 Fumonisin B1 pada ekstrak biakan F. moniliforme setelah pemurnian melalui XAD-2 dan deteksi dengan HPLC ... 61

(21)

Halaman

22 Konfigurasi antigen FB1-Ova, antiserum, goat anti-mouse IgG-HRP enzim

konjugat pada dot blot immunoassay dan ELISA tidak langsung ... 76 23 Konfirmasi hasil sintesis antigen FB1-Ova ............... 77

24 Konfirmasi pembentukan FB1-HRP dan ELISA kompetitif langsung ... 79

25 Konfigurasi antibodi/antiserum, antigen, FB1-HRP enzim konjugat

pada ELISA kompetitif langsung ... 80

26 Konfirmasi pembentukan FB1-Ova dan FB1-HRP dengan

SDS-PAGE ... 82

27 Pertumbuhan sel mieloma Sp2/0-Ag14 pada fasa logaritmik dalam

medium RPMI mengandung 10% FBS ... 98

28 Proses fusi antara sel mieloma dengan sel limfosit ... 99

29 Klon-klon dari sel hibridoma yang tumbuh 6 minggu setelah fusi ... 99

30 Proses kloning dari sel hibridoma dan kultur sel dari klon 2B1F6

dalam medium RPMI mengandung 10% FBS ... 100

31 Grafik pertumbuhan sel hibridoma klon 2B1F6 yang dikultur kembali

dalam medium RPMI setelah penyimpanan dalam nitrogen cair selama

satu bulan ... 101

32 Pola grafik fraksinasi imunoglobulin G (IgG) dari supernatan pada

kolom HiTrap Protein A HP ... 102

33 Pola grafik fraksinasi imunoglobulin G1 (IgGi) dari cairan asites

pada kolom HiTrap Protein A HP ... 104

34 Uji sub kelas imunoglobulin (Ig) yang disekresikan sel hibridoma

subklon 2B1F6F7 pada supernatan dengan ELISA penangkap

menggunakan kit identifikasi subkelas imunoglobulin (Sigma) ... 105

35 Konfigurasi ELISA pada pengujian subkelas imunoglubulin dari

Antibodi monoklonal (AbMk) yang dihasilkan oleh sel hibridoma subklon

2B1F6F7 ... 105

36 Analisis imunoglobulin dalam supernatan dan asites mencit setelah

(22)

Halaman

37 Performan standar FB1 dan FB2 yang dideteksi secara ELISA

kompetitif lansung menggunakan antibodi monoklonal (supernatan)

dari subklon 2B1F6F7 ... 118

38 Pola grafik ELISA kompetitif langsung dan linearitas FB1

menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari klon 2B1F6 ... 118

39 Kurva kalibrasi standar FB1 dalam matriks jagung pada pengujian

FB1 secara ELISA kompetitif langsung ... 119

40 Korelasi metode ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan

AbMk dari klon 2B1F6 dan kromatografi cair kinerja tinggi

(KCKT) ... 120

41 Pengaruh penyimapanan terhadap konsentrasi FB1 pada pakan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pembuatan pereaksi ... 150

2 Medium dan pereaksi yang digunakan untuk pembiakan sel ... 153

3 Prosedur ELISA tidak langsung untuk uji antibodi pada serum, supernatan

atau cairan asites ... 154

4 Prosedur ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi fumonisin... 155

5 Titer antibodi serum (antiserum) dari mencit yang diimunisasi dengan

antigen FB1-Ova ... 156

6 Pengujian antibodi yang disekresikan oleh sel hibridoma ... 157

7 Pengujian antibodi yang dihailkan oleh subklon 2B1F6F7 dalam

supernatan dan cairan asites ... 158

8 Penentuan kondisi optimum antigen, antibodi dan enzim konjugat untuk

pengujian antibodi secara ELISA tidak langsung ... 159

9 Skrining antibodi dari kultur sel hibridoma ... 160

10 Uji linieritas, sensitivitas dan IC50 secara ELISA kompetiti langsung .... 162

11 Analisis FB1 dalam pakan ayam pedaging secara ELISA kompetitif

langsung ... 163

12 Analisis FB1 dalam pakan ayam petelur secara\ ELISA kompetitif

langsung .. ... 164

13 Analisis varian (ANOVA) perlakuan penyimpanan pakan ayam pedaging

(24)

Latar Belakang

Kondisi iklim di Indonesia dengan suhu, kelembaban, dan curah hujan

yang tinggi sangat kondusif bagi pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin.

Kontaminasi mikotoksin seringkali dijumpai pada bahan pangan dan pakan

terutama yang berasal dari produk pertanian. Hal ini perlu mendapat perhatian

karena selain berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi

mikotoksin juga menurunkan kualitas dan kuantitas produk pertanian sehingga

berdampak bagi perekonomian.

Fumonisin merupakan salah satu mikotoksin yang ditemukan di sebagian

besar negara-negara di dunia, terutama di negara beriklim tropis dan subtropis.

Fumonisin dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides (= F. moniliforme) dan F. proliferatum. Fumonisin semakin menjadi perhatian dunia dan termasuk lima mikotoksin penting yang dijadikan persyaratan mutu produk

pertanian dan hasil olahannya pada perdagangan dunia.

Fumonisin B1 (FB1) adalah jenis fumonisin yang paling toksik dan banyak

ditemukan di alam. IARC (1993) mengklasifikasikan FB1 sebagai karsinogen

golongan 2B, yaitu senyawa yang mungkin dapat menyebabkan kanker pada

manusia. Berbagai penyakit seperti kanker esofagus dan kerusakan ginjal

dilaporkan berkaitan erat dengan konsumsi bahan pangan yang terkontaminasi

FB1.

FB1 ditemukan pada berbagai komoditi pertanian, seperti jagung, beras,

gandum, sorgum, dan hasil olahannya. Selain itu, FB1 juga ditemukan pada

komoditi lainnya seperti tanaman obat dan teh hitam. Kontaminasi FB1 pada

pakan ternak menimbulkan sindroma yang disebut ”leukoencephalomalacia” (LEM) pada kuda, pembengkakan paru-paru pada babi, kanker hati dan ginjal

pada tikus, serta imunosupresi pada ayam. Selain itu juga menyebabkan adanya

residu pada daging, hati dan ginjal (Smith & Thakur 1996), serta susu (Spotti et al. 2001).

Pada umumnya konsentrasi FB1 yang terdeteksi pada jagung di atas 300

(25)

Afrika Selatan konsentrasi FB1 tertinggi 118 mg/kg pada jagung, sedangkan di

Cina berkisar antara 0,5-16 mg/kg. Ali et al. (1998) mendeteksi FB1 pada jagung

asal Jawa Tengah pada kisaran konsentrasi 0,02-2,44 mg/kg. Sedangkan

Yamashita et al. (1995) melaporkan bahwa kontaminasi FB1 pada jagung di

provinsi yang sama berkisaran antara 0,05-1,8 mg/kg. Sementara itu, rataan FB1

pada jagung yang digunakan sebagai bahan baku pakan di Jawa Barat sebesar 12,9

mg/kg (Maryam et al. 2000b).

FB1 stabil terhadap panas dan tidak rusak selama proses produksi, oleh

karena itu pemaparannya pada manusia cukup tinggi. Menurut laporan EHC

(2000) pemaparan FB1 di Kanada berkisar antara 0,017-0,089 µg/kg BB/hari,

USA 0,08 µg/kg BB/hari, Eropa 0,006-7,1 µg/kg BB/hari, dan tertinggi di Afrika

Selatan yaitu 14-440 µg/kg BB/hari. Berdasarkan data tersebut pada pertemuan

Joint FAO/WHO Expert committe on Food Additives (JECFA) tahun 2001 ditentukan batas konsumsi FB1 yaitu 2 µg/kg BB/hari.

Selain efeknya pada kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi fumonisin

berdampak terhadap perekonomian suatu negara. Kerugian ekonomi yang dialami

Amerika mencapai US $40 juta, sedangkan kerugian yang lebih besar dilaporkan

di alami Cina, Argentina, dan negara-negara di Afrika. Hal ini disebabkan karena

semakin ketatnya standar yang diterapkan oleh negara-negara di dunia (Wu 2006).

Meskipun di Indonesia belum ada laporan mengenai kerugian ekonomi dan

mikotoksikosis pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun

data penelitian yang mengindikasikan adanya kontaminasi FB1 pada produk

pertanian dengan konsentrasi yang tinggi akan berdampak terhadap perekonomian

nasional.

Untuk mengetahui adanya kontaminasi fumonisin pada suatu komoditi

dibutuhkan metode analisis yang dapat diandalkan. Metode analisis memiliki

peranan penting dalam menentukan kualitas produk pertanian dan hasil

olahannya. Analisis fumonisin umumnya menggunakan metode khromatografi,

seperti khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau khromatografi gas / cair

-spektroskopi massa (GC/LC-MS) yang membutuhkan peralatan dan pereaksi

yang mahal, serta waktu analisis yang lama. Metode lain seperti biosensor,

(26)

PCR-ELISA juga telah dikembangkan untuk deteksi fumonisin dan kapang Fusarium

spp. penghasil fumonisin, namun metode-metode tersebut masih jarang digunakan

karena membutuhkan ketrampilan yang tinggi.

Di antara metode analisis, imunoasai merupakan metode yang paling

mudah diaplikasikan, cepat, sensitif, spesifik dan tidak membutuhkan pereaksi

atau peralatan yang mahal (Chu 1996). Salah satu metode imunoasai yang banyak

dikembangkan yaitu enzyme-linked immunoassay (ELISA) dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal. Penggunaan antibodi poliklonal tidak

spesifik karena dapat bereaksi positif dengan senyawa yang memiliki struktur

mirip fumonisin sehingga menyebabkan kesalahan dalam pengukuran dan kurang

sensitif. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dikembangkan teknik ELISA

dengan menggunakan antibodi monoklonal.

Produksi antibodi monoklonal untuk deteksi fumonisin dikembangkan

dengan menggunakan imunogen FB1-KLH (Barna-Vetro et al. 2000), fumonisin

B1-cholera toxin (FB1-CT) dan anti-idiotipe. Namun, untuk proses konjugasi

dengan KLH dibutuhkan FB1 yang banyak (>700 molar). Konjugasi FB1 dengan

CT menghasilkan titer antibodi dengan sensitivitas yang rendah sehingga perlu

ditingkatkan melalui kompleks avidin dan streptavidin (Yeung & Newsome,

1995), begitu pula dengan FB1-BSA (Azcona-Olivera et al. 1992a). Oleh

karenanya diperlukan suatu protein pembawa yang dapat berkonjugasi dengan

FB1 secara mudah, aman dan ekonomis. Ovalbumin (Ova) dapat dijadikan sebagai

protein pembawa untuk membuat antigen.. Sejauh ini, FB1-Ova umumnya

digunakan sebagai antigen pelapis pada pelat ELISA (Azcona-Olivera et al. 1992) sehingga dapat diasumsikan bahwa FB1-Ova dapat menstimulasi respon imun

untuk memproduksi antibodi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada

penelitian ini digunakan FB1-Ova sebagai antigen untuk menghasilkan antibodi

monoklonal melalui produksi sel hibridoma.

Perumusan Masalah

Teknik deteksi yang cepat, sensitif dan spesifik mempunyai peranan

penting dalam mencegah dan mengurangi efek fumonisin terhadap kesehatan

(27)

yang memenuhi kriteria tersebut. Dengan deteksi cepat, kerugian dan bahaya yang

ditimbulkan oleh adanya fumonisin pada bahan pangan dan pakan dapat dimonitor

sehingga mutu dan keamanannya dapat terjaga. Pengembangan imunoasai untuk

deteksi fumonisin dapat dilakukan dengan menggunakan antibodi poliklonal

maupun monoklonal, namun ditinjau dari spesifitas dan sensitivitasnya antibodi

monoklonal lebih baik daripada antibodi poliklonal.

Untuk menghasilkan antibodi monoklonal dibutuhkan imunogen. Oleh

karena fumonisin merupakan senyawa dengan bobot molekul rendah, maka

dibutuhkan suatu protein pembawa untuk menjadikannya senyawa imunogenik

yang dapat menstimulasi pembentukan antibodi. Protein pembawa yang sering

digunakan adalah KLH dan CT. Meskipun kedua protein tersebut memberikan

respon antibodi yang baik, namun KLH sulit diperoleh dan harganya mahal

sedangkan CT bersifat toksik dan berbahaya. Ovalbumin (Ova) mempunyai

prospek yang baik untuk digunakan sebagai protein pembawa alternatif karena

dapat dikonjugasikan dengan FB1 secara mudah, ekonomis dan aman.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu produksi antibodi monoklonal

dengan menggunakan FB1-Ova sebagai imunogen untuk mendeteksi fumonisin

pada bahan pangan atau pakan secara ELISA.

Untuk deteksi fumonisin secara ELISA tak langsung dibutuhkan antibodi

spesifik dan FB1-HRP enzim konjugat, maka tujuan khusus dari penelitian ini

adalah: (1) Sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat, (2) Produksi

antibodi monoklonal menggunakan FB1-Ova sebagai antigen, (3) Penentuan

kondisi optimum dan standardisasi ELISA kompetitif langsung yang

dikembangkan untuk mendeteksi fumonisin melalui pengukuran presisi, akurasi,

sensitivitas, spesifitas, linieritas, pengaruh matriks sampel dan perbandingan

(28)

Manfaat Penelitian

Diharapkan metode imunoasai yang dikembangkan pada penelitian ini

dapat diaplikasikan untuk deteksi kontaminasi fumonisin pada bahan pangan dan

pakan. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh

laboratorium-laboratorium pengujian, para peneliti, produsen pangan dan pakan.

Hipotesis

FB1-Ova dapat digunakan sebagai antigen untuk memproduksi sel

hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang digunakan sebagai pereaksi

(29)

Fumonisin

Fumonisin adalah kelompok mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang

Fusarium spp. yang pertama kali diisolasi oleh Gelderbloom et al. pada tahun 1988 dari biakan F. verticillioides (F.moniliforme). Kontaminasi fumonisin tersebar luas di berbagai negara di dunia, terutama negara beriklim tropis dan sub

tropis. Fumonisin terdiri dari 4 kelompok utama, yaitu grup A, B, C, dan P. Grup

B paling banyak ditemukan di alam dan paling beracun dibandingkan kelompok

lainnya (Rheeder et al. 2002).

Kapang Penghasil Fumonisin

Fumonisin umumnya dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides dan F. proliferatum. Selain Fusarium spp. kapang lainnya seperti

Alternaria alternata juga dilaporkan dapat memproduksi fumonisin selama proses metabolismenya (Abbas & Riley 1996, Mirocha et al. 1996).

Fusarium spp. merupakan kapang tidak sempurna yang hidup sebagai saprofit atau parasit terhadap inangnya. Sebagai saprofit, spora kapang ini dapat

bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun (soil born pathogen), membentuk konidia berwarna putih, kuning, orange, atau merah sebagai ciri dari

masing-masing spesiesnya (Pitt dan Hocking, 1997).

Infeksi Fusarium spp. biasanya dimulai sejak masa tanam (field fungi) dan menghasilkan fumonisin serta mikotoksin fusarium lainnya. Produksi

fumonisin ini terus berlanjut hingga masa penyimpanan terutama jika manajemen

pada pra-panen dan pasca-panen kurang baik. Sebagai contoh, pengendalian

kapang dan proses pengeringan yang kurang memadai merupakan faktor utama

penyebab kontaminasi fumonisin. Infeksi F. verticillioides menyebabkan busuk batang dan tongkol pada jagung (Kommedahl & Windells 1989, De Leon &

(30)

terlihat bahwa F. verticillioides, F. proliferatum, dan F. nygamai menghasilkan empat kelompok utama fumonisin, yaitu grup A, B, C, dan P.

Tabel 1 Spesies Fusarium spp. penghasil fumonisin dan pengelompokannya

Kelompok Fusarium spp. Fumonisin yang dihasilkan

Liseola

F. verticolloides FA1-3, FB1-5, iso-FB1, FAK1, FBK1, FC1,4,

FP1-3, PH1a-b

F. sacchari FB1

F. fujikoroi FB1

F. proliferatum FA1-3, FB1-5, FAK1, FBK1, FC1, FP1-3,

PH1a-b

F. subglutinans FB1

F. thapsinum FB1-3

F. anthophilum FB1-2

F. globosum FB1-3

Dlaminia

F. nygamai FA1-3, FB1-5, FAK1, FBK1, FC1, FP1,

PH1a-b

F. dlamini FB1

F. napiforme FB1

F. pseudonygamai FB1-2

F. andiyazi FB1

Elogans

F. oxysporum FA1,3-4, N-asetil- FC1, iso-FC1,

N-asetil-iso-PC1, OH-FC1, N-asetil-OH-FC1

F. oxysporum var.

redulens

FB1-j

Arthrosporiella F. polyphialidicum FB1

Sumber: Rheeder et al. 2002

Spesies kapang Fusarium yang sering ditemukan di Indonesia adalah F. verticillioides yang berpotensi menghasilkan fumonisin (Miller et al. 1993, 1996, Dharmaputera et al. 1996, Ali et al. 1998, Trisiwi 1996). Kapang F. verticillioides

dan F. nygamai yang diisolasi dari jagung asal Jawa Barat dan dibiakan pada medium jagung dapat menghasilkan fumonisin B1 masing-masing sebesar 12,80

(31)

tersebut merupakan kapang yang sangat potensil sebagai penghasil FB1, sehingga

baik untuk digunakan untuk produksi FB1. Kontaminasi kapang Fusarium spp.

pada jagung hibrida lokal, morfologi kapang F. verticillioides dan F. nygamai

terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kontaminasi kapang Fusarium spp. pada jagung lokal, morfologi

F. verticillioides dan F. nygamai dari BBALITVET Culture Collection (BCC)

Sifat Kimia Fisika

Fumonisin merupakan senyawa yang memiliki struktur kimia serupa

dengan sfingosin, yaitu senyawa yang berperan penting dalam proses metabolisme

sel. Karena kemiripan struktur keduanya, sintesis fumonisin dianalogikan melalui

jalur yang sama dengan sfingosin. Struktur inti dari senyawa fumonisin terlihat

pada Gambar 2. Senyawa-senyawa fumonisin bersifat polar, sehingga mudah larut

dalam air dan pelarut organik polar seperti metanol dan campuran asetonitril-air

(EHC 2000).

CH3 R 2 R 1

CH3 R 3

R 4

R 6 R 5

OH

[image:31.612.162.457.153.378.2]

R 7

(32)

Biosintesis Fumonisin

Biosintesis fumonisin terjadi melalui proses kondensasi

heksadekanoil-koenzim A (palmitat KoA, C16) dengan serin atau alanin. Karena adanya

kemiripan struktur yang dimiliki fumonisin dan sfingosine, biosintesis fumonisin

pada tanaman terjadi melalui proses yang sama dengan sfingolipid yang terbentuk

melalui proses kondensasi heksadekanoil-koenzim A (palmitat, C16) dengan serin

atau alanin menghasilkan 1-hidroksi-2D-amino-3-okso oktadekana. Reduksi

gugus keton menghasilkan dihidrosfinganin dan sfinganin yang merupakan analog

fumonisin. Kemudian gugus amino terasetilasi dan membentuk ikatan rangkap

[image:32.612.81.511.301.697.2]

pada karbon yang mengikat gugus hidroksil (Gambar 3).

Gambar 3 Biosintesis Fumonisin (Abbas et al. 1996)

CH3 (CH2)16 C

O S CoA

Stearoyl CoA

+ HO C CH3

O CH

NH2

Alanine

CoASH+CO2

(CH2)16

CH3 C

O

NH2

CH

1deoxy 3 ketosphinganine

NADPH+H+

NADP+

CH NH2

C CH3 (CH2)16

OH CH3

1deoxysphinganine

2[H]

CH3

CH3 C

NH2

CH (CH2)14

H CH OH

1 deoxysphingosine

H

2

O

OH CH (CH2)14 CH

NH2

C

CH3 CH3

OH

C

CH2

methylation steps S adenosylmethionine and2hydroxylation steps

2

AP2

hydroxylation AP

1

CoA PTAC

CoASH CoASH PTAC CoA

CH3

O PTCA

PTCA

O CH3 OH

OH OH

NH2

Fumonisin B1

Palmitoil-KoA

hidroksilasi 2 tahap metilasi

S- adenosilmetionin

2 tahap hidroksilasi

1-deoksisfinganin 1-deoksisfingosin

1-deoksi-3-ketosfinganin

(33)

Jenis-jenis fumonisin

Hingga saat ini telah diketahui 28 jenis fumonisin yang terbagi dalam 4

kelompok utama, yaitu fumonisin group A, B, C dan P (Rheeder et al. 2002). Tabel 2 menunjukkan jenis-jenis fumonisin yang telah diketahui dengan gugus

fungsinya. Setiap jenis fumonisin memiliki gugus fungsi dan aktivitas biologis

yang berbeda. Fumonisin grup B terdiri dari fumonisin B1 (FB1), B2 (FB2), B3

(FB3), dan B4 (FB4) yang memiliki gugus amina dan paling banyak ditemukan di

alam.

Fumonisin B1

FB1 merupakan senyawa diester dari propana-1,2,3-asam trikarboksilat

dengan gugus 2-amino-12,16-dimetil-3,5,10,14,15-pentahidroksi ikosana dimana

gugus hidroksil pada C14 dan C15 teresterifikasi oleh gugus terminal dari asam

karboksilat. FB1 mempunyai bobot molekul 721 dengan rumus molekul

C34H59NO15 (Gambar 4). Di antara grup B, FB1 adalah senyawa yang paling

beracun dan dikenal dengan nama makrofusin. Hal ini disebabkan oleh gugus

hidroksil pada FB1 lebih banyak dari grup B lainnya.

OH

CH3 O

O

CH3

CCH2CHCH2COOH

O COOH

CCH2CHCH2COOH

O COOH

OH

OH

NH2

Gambar 4 Struktur kimia fumonisin B1 (EHC 2000)

FB1 merupakan serbuk higroskopik, mudah larut dalam air, campuran

metanol-air atau asetonitril-air. Kelarutannya dalam pelarut polar ini disebabkan

oleh adanya 4 gugus karboksil bebas, gugus hidroksil dan gugus amino. Dua

gugus hidroksil teresterifikasi menjadi asam propane-1,2,3-trikarboksilat. FB1 dan

FB2 stabil dalam metanol pada penyimpanan –18oC, namun mudah terdegradasi

pada suhu 25oC atau lebih. Penyimpanan yang lebih lama pada suhu 25oC dapat

(34)
[image:34.612.119.512.96.659.2]

Tabel 2 Jenis-jenis fumonisin dan gugus fungsinya

Jenis

Fumonisin R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7

FA1 TCA TCA OH OH H NHCOCH3 CH3

FA2 TCA TCA H OH H NHCOCH3 CH3

FA3 TCA TCA OH H H NHCOCH3 CH3

PHFA3a TCA OH OH H H NHCOCH3 CH3

PHFA3b OH TCA OH H H NHCOCH3 CH3

H FA1 OH OH OH H H NHCOCH3 CH3

FAK1 =O TCA OH OH H NHCOCH3 CH3

FK1 =O TCA OH OH H NH2 CH3

FB1 TCA TCA OH OH H NH2 CH3

Iso-FB1 TCA TCA OH H OH NH2 CH3

PHFB1a TCA OH OH OH H NH2 CH3

PHFB1b OH TCA OH OH H NH2 CH3

HFB1 OH OH OH OH H NH2 CH3

FB2 TCA TCA H OH H NH2 CH3

FB3 TCA TCA OH H H NH2 CH3

FB4 TCA TCA H H H NH2 CH3

FB5 Belum diketahui secara pasti

FC1 TCA TCA OH OH H NH2 CH3

N-asetil-FC1 TCA TCA OH OH H NHCOCH3 CH3

Iso-FC1 TCA TCA OH H OH NH2 H

N-asetil-iso-FC1 TCA TCA OH H OH NHCOCH3 H

OH-FC1 TCA TCA OH OH OH NH2 H

N-asetil-OH-FC1 TCA TCA OH OH OH NHCOCH3 H

FC3 TCA TCA OH H H NH2 H

FC4 TCA TCA H H H NH2 H

FP1 TCA TCA OH OH H 3HP CH3

FP2 TCA TCA H OH H 3HP CH3

FP3 TCA TCA OH H H 3HP CH3

(35)

Toksisitas Fumonisin B1

Informasi mengenai toksikokinetik FB1 pada hewan masih sangat terbatas

dan belum jelas. Pada tubuh hewan penyerapan FB1 sangat rendah, namun

distribusi dan elminasinya pada beberapa spesies sangat cepat seperti pada ayam

petelur, babi, sapi, tikus dan primata (EHC 2000). Toksisitas fumonisin

disebabkan oleh struktur kimianya yang menyerupai sfingosin, yaitu enzim yang

berperanan penting dalam proses metabolisme sel. Gambar 5 memperlihatkan

persamaan struktur inti antara fumonisin dan sfingosin.

OH

CH3 O

O

CH3

CCH2CHCH2COOH

O COOH

CCH2CHCH2COOH

O COOH

R1

R2

NHR3

Fumonisin

Gambar 5 Perbandingan Struktur Fumonisin dan Sfingosin

Karena kemiripan struktur tersebut, fumonisin berkompetisi dengan

sfingosin dan mempengaruhi pembentukan sfingolipid melalui penghambatan

kerja sfinganin-N-asiltransferase (seramid sintase). Sfingolipid merupakan

senyawa pemberi sinyal yang dapat dikenali oleh sel-sel imun dan tempat

menempelnya mikroba penyebab penyakit dan racun-racun mikroba (Schroeder et al. 1994, Merril et al. 1997b).

Dengan terhambatnya pembentukan sfingolipid menakibatkan terjadinya

penurunan kekebalan terhadap penyakit infeksius dan penimbunan sfingosin yang

mengakibatkan berbagai penyakit diantaranya kanker esofagus dan radang ginjal

pada manusia seperti di Afrika Selatan dan Cina (Marasas 1995, Zhang et al. NH2

OH OH

(36)

1997). Penyakit pada hewan yang ditimbulkan oleh fumonisin diantaranya

leukoencephalomalacia (LEM) pada kuda (Uhlinger 1997), pembengkakan paru-paru pada babi (porcine pulmonary edema, PPE) (Smith et al. 1999), kanker hati pada tikus (Gelderblom 1996b), dan penurunan sistem kekebalan pada ayam

(Merril et al. 1997b; Martinova et al. 1998; Eriksen & Alexander, 1998). Oleh karena itu peningkatan rasio sfinganin / sfingosin (Sa/So) dalam serum dan

jaringan dapat dijadikan sebagai bioindikator mikotoksikosis yang disebabkan

oleh FB1 (Tang et al. 2005).

Toksisitas FB1 dapat terjadi karena adanya pemaparan dosis tunggal

maupun atau dengan pemaparan berulang karena adanya kontaminasi pada bahan

pangan/pakan. Dosis tunggal FB1 1,25 mg/kg yang diberikan secara intra vena

pada tikus jantan (Sprague-Dowley) menunjukkan adanya lesi yang parah pada

ginjal, peningkatan proliferasi sel esofagus, dan peningkatan mitosis baik pada

esofagus maupun pada hati (Lim et al. 1996).

Pada pemaparan berulang, kerusakan pada organ hati (hepatotoksik) dan

ginjal (nefrotoksik) terlihat pada tikus yang diberi FB1 50 mg/kg bobot badan

selama lebih dari 11 hari (Gelderblom et al. 1994). Sementara itu, efek imunosupresi terlihat pada ayam pedaging yang diberi ransum dari biakan F. verticillioides (MRC 826) mengandung FB1 30-300 mg/kg, dimana terjadi

penurunan bobot limpa dan bursa, serta meningkatnya parameter-parameter

hematologi (Espada et al. 1997). Pada babi, efek imunosupresi juga terjadi setelah pemberian ransum terdiri dari biakan kapang yang sama dengan konsentrasi FB1

sebanyak 1 mg/kg, dimana terlihat penurunan kemampuan eliminasi

Pseudomonas aeruginosa dan penghambatan fungsi sel-sel makrofag pada intravaskuler paru-paru (Rotter et al. 1996, Smith et al. 1996). Penghambatan fungsi sel-sel makrofag ini dapat meningkatkan kepekaan terhadap penyakit

mikrobial (Smith et al. 1996c).

Kontaminasi Fumonisin pada Bahan Pangan dan Pakan

Kontaminasi FB1 banyak dijumpai pada jagung (Gutema et al. 2000,

Hennigen et al. 2000, Shephard et al. 2000), beras (Desjardin et al. 2000, Abbas

(37)

2000), serta hasil olahannya (Sugita-Konishi et al. 2006). Selain itu, FB1 juga

ditemukan pada tanaman obat, teh hitam (Martins et al. 2001), dan bir yang dihasilkan dari fermentasi gandum terkontaminasi FB1 (Torres et al. 1998).

Kontaminasi FB1 juga terdapat pada pakan (Labuda et al., 2005). Sebagai akibat

dari pemberian pakan yang terkontaminasi fumonisin ditemukan adanya residu

pada produk peternakan seperti susu (Spotti et al. 2001) dan daging, hati dan ginjal (Smith & Thakur 1996). Umumnya residu FB1 pada produk peternakan

rendah, namun hasil hidrolisisnya yaitu HFB1 memiliki toksisitas yang lebih

tinggi sehingga perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap kesehatan (Maragos et al. 1996).

Kontaminasi fumonisin pada jagung dan produk olahannya telah

dilaporkan di berbagai negara di dunia. Di USA, konsentrasi FB1 pada produk

pangan asal jagung (corn-based products) berkisar antara 0,075-5,916 mg/kg (Castelo et al. 1998), Amerika Latin 0,07-38,5 mg/kg, dan Amerika Utara 0,004-330 mg/kg. Sedangkan di Asia kontaminasi FB1 berkisar 0,01-153 mg/kg dan

Eropa 0,007-250 mg/kg (EHC 2000). Di Australia, cemaran fumonisin pada

jagung berkisar antara 1–40 mg/kg dan hasil olahannya 0,85-5,8 (Maryam 1999),

sedangkan jagung dari kasus ELEM di New South Wales konserntrasi FB1

mencapai 164 mg/kg (Bryden et al. 1995).

Diperkirakan pemaparan FB1 di USA 0,08 µg/kg BB/hari, Kanada berkisar

antara 0,017-0,089 µg/kg BB/hari, Eropa 0,006-7,1 µg/kg BB/hari, dan yang

tertinggi di Afrika Selatan yaitu 14-440 µg/kg BB/hari (EHC 2000).

Di Indonesia meskipun belum ada laporan mengenai mikotoksikosis pada

manusia dan hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun Ali et al. (1998) telah berhasil mengisolasi kapang F. verticillioides dan mendeteksi FB1 pada

jagung asal Yogyakarta, Purworejo, dan Surakarta dengan konsentrasi FB1

0,016-2,44 mg/kg. Demikian pula Yamashita et al. (1995) telah mendeteksi FB1 pada

jagung dari Jawa Tengah dengan kisaran konsentrasi 0,05-1,8 mg/kg. Secara

umum, kontaminasi fumonisin pada berbagai bahan pangan dan pakan di Pulau

Jawa dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa FB1 tertinggi

ditemukan pada jagung asal Jawa Barat (54,54 g/kg) yang digunakan sebagai

(38)

Fusarium sp. berwarna merah muda keunguan (Maryam et al. 2000). Sedangkan konsentrasi tertinggi FB1 pada jagung yang digunakan sebagai bahan dasar pangan

[image:38.612.122.509.195.684.2]

sebesar 2,97 g/kg (Ali et al. 1998).

Tabel 3 Kontaminasi Fumonisin pada berbagai komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan di Indonesia

Jenis sampel (N) Asal sampel Jumlah & % positif Rataan konsentrasi dan kisaran (mg/kg) Pustaka

Jagung (8)* Jatim 8 (100 %) 514,25 (64-1672) Maryam

et al., 2000

Bekatul (5) Jatim 5 (100 %) 700,4 (288-1467) Idem

Konsentrat (4) Jatim 4 (100 %) 637,5 (372-1055) Idem

Pakan (19) Jatim 19 (100 %) 631,5 (22-1816) Idem

Jagung (12)* Jatim 7 (58,3 %) (50-1800) Idem

Jagung (11)** Bandung,

Jabar

8 (73 %) 11540 (470-35000) Maryam,

2000b

Dedak (1) Idem 1 11200 Idem

Pakan jadi Idem 1 6450 Idem

Jagung (6)** Cianjur,

Jabar

6 (100 %) 8150 (240-24220) Idem

Dedak (2) Idem 2 (100 %) 6830 (4300-9370) Idem

Pakan jadi (3) Idem 3 (100 %) 11240 (1070-30160) Idem

Jagung (7)** Sukabumi,

Jabar

7 (100 %) 28380 (1240-54540) Idem

Jagung (8) Bogor,

Jabar

8 (100 %) 3540 (2120-5750) Idem

Dedak (2) Idem 2 (100 %) 9560 (7720-11390) Idem

Pakan jadi (1) Idem 1 (100%) 16530 Idem

Jagung (16)* Jateng 16(100 %) 895 (tertinggi 2970) Ali, et al. 1998

Sumber: Bahri dan Maryam (2003)

(39)

Kontaminasi fumonisin seringkali ditemukan bersama-sama dengan

aflatoksin (Johansson dan Whitaker, 2006; Abbas et al. 2002, Li et al. 2001, Maryam et al. 2000) dan mikotoksin lain seperti okratoksin, zearalenon, dan deoksinivalenol (Sugita-Konishi et al. 2006, Park et al. 2002). Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena adanya beberapa mikotoksin secara bersamaan dalam

suatu komoditi dapat saling bersinergi sehingga memperkuat efek toksik.

Metode Analisis Fumonisin

Metode analisis mempunyai peranan yang penting untuk mengetahui

secara kualitatif dan kuantitatif adanya kontaminasi fumonisin dalam bahan

pangan dan pakan, serta membantu diagnosis penyakit yang ditimbulkannya.

Secara umum metode analisis meliputi ekstraksi dan deteksi dengan menggunakan

instrumen atau peralatan tertentu.

Ekstraksi

Karena tingkat polaritasnya yang tinggi, ekstraksi fumonisin umumnya

dilakukan dengan menggunakan campuran metanol-air atau asetonitril-air

terutama untuk analisis secara khromatografi. Gutema et al. (2000) dan Desjardin

et al. (2000) menggunakan campuran pelarut asetonitril-air (1:1) untuk mengekstrak fumonisin dari jagung yang diikuti pemurnian melalui kolom solid phase extraction (SPE) C18. Sedangkan Shephard et al. (2000), Martins et al.

(2001), dan Sugita-Konishi et al. (2006) menggunakan campuran methanol-air (3:1) yang diikuti dengan pemurnian melalui kolom SPE penukar anion kuat

(SAX).

Deteksi

Deteksi fumonisin umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik

khromatografi seperti kromatografi lapis tipis (KLT), khromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT) dan khromatografi gas/cair yang dihubungkan dengan

spektroskopi massa (GC/LC-MS). Selain untuk analisis kuantitatif LC-MS dapat

(40)

Teknik khromatografi ini merupakan metode yang umum digunakan untuk

mendeteksi fumonisin. Meskipun metode ini dapat memberikan hasil secara

kualitatif dan kuantitatif dari tiap jenis fumonisin, namun membutuhkan pereaksi

dan peralatan yang mahal, serta waktu analisis yang lama.

Metode lain seperti biosensor (van der Gaag et al. 2003), imunosensor (Maragos & Thompson 1999), imunohistokimia (Buim et al. 1999), polymerase chain reaction (PCR)(Bluhm et al. 2002, Patino et al. 2004) atau PCR-ELISA (Grimm & Geisen 1998) telah dikembangkan untuk deteksi fumonisin dan kapang

Fusarium spp. penghasil fumonisin, namun metode tersebut jarang digunakan karena membutuhkan ketrampilan dan pengalaman yang tinggi.

Di antara metode analisis, imunoasai merupakan metode yang paling

menguntungkan karena mudah diaplikasikan, cepat, sensitif, spesifik, dan tidak

membutuhkan pereaksi atau peralatan yang mahal (Chu 1996). Salah satu metode

imunoasai yang banyak dikembangkan yaitu enzyme-linked immunoassay

(ELISA) dengan menggunakan antibodi poliloklonal atau monoklonal.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

KLT merupakan teknik kromatografi yang paling mudah diaplikasikan

untuk mendeteksi fumonisin. Teknik ini umumnya digunakan untuk analisis

kualitatif dan semi kuantitatif. Pemisahan pada KLT didasarkan pada distribusi

komponen pada lempeng KLT dengan pelarut, yang diindikasikan dengan faktor

hambatan (Rf). Lempeng KLT yang digunakan dapat berupa lempeng KLT fasa

normal (Silika gel 60) atau fasa terbalik (C18). Untuk visualisasi, digunakan

p-anisaldehida (Sydenham et al. 1990) jika menggunakan KLT fasa normal, atau fluoresamin untuk menambah fluoresensi pada pengamatan di bawah sinar ultra

violet jika menggunakan lempeng KLT fasa terbalik (Shephard & Sewram 2004).

Khromatografi gas

Deteksi fumonisin dengan kromatografi gas dilakukan menggunakan

kolom fused-silica capillary yang melibatkan hidrolisis asam dari fumonisin untuk melepas ikatan esternya yang dilanjutkan dengan deteksi TCA yang

(41)

mendeteksi fumonisin dengan melakukan isolasi inti fumonisin (aminopoliol)

yang diperoleh melalui hidrolisis alkalis pada resin XAD-2, dan kemudian

mengubahnya menjadi derivatif trimetilsilil untuk dianalisis dengan kromatografi

gas. Metode ini tidak dapat digunakan untuk mendeteksi inti FB2 dan FB3 sebagai

derivatif sililnya.

Khromatografi cair kinerj tinggi (KCKT)

KCKT atau yang lebih dikenal dengan high performance liquid

chromatography (HPLC) merupakan metode analisis yang berdasarkan pada perbedaan distribusi senyawa yang disebabkan oleh adanya interaksi senyawa

pada fasa gerak (mobile phase) dan fasa diam (stationary phase). Deteksi fumonisin dengan KCKT meskipun dapat memberikan hasil yang sangat

memuaskan, namun teknik ini membutuhkan proses preparasi yang panjang

dengan pereaksi dan peralatan yang mahal. Karena fumonisin tidak memiliki

serapan pada gelombang ultra violet, deteksinya dengan KCKT dilakukan melalui

proses derivatisasi menggunakan fluorescamine (Shephard et al. 1990, Sydenham

et al. 1990) atau o-ftaldialdehida (Hopmans & Murphy 1993) untuk meningkatkan daya fluoresensi pada detektor fluoresensi. Dengan menggunakan

naftalen-2,3-dikarboksaldehida dengan KCN sebagai bahan penderivatisasi sensitivitas dapat

ditingkatkan hingga 50 pg (Shephard et al. 1990), namun reaksi menggunakan KCN tidak dianjurkan karena bersifat sangat toksik. Selain menggunakan detektor

fluoresensi, deteksi fumonisin dapat juga dilakukan dengan menggunakan

detektor ultraviolet (UV) melalui proses derivatisasi yang melibatkan reaksi

amina primer sebelum dipisahkan dalam kolom. Derivat maleil yang terbentuk

dideteksi dan dikuantifikasi pada detektor UV dengan limit deteksi 10 μg/kg.

Metode ini kurang sensitif sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis

fumonisin pada sampel yang terkontaminasi fumonisin secara alami (Gelderblom

et al. 1988).

Khromatografi cair-spektroskopi massa

Pada umumnya, deteksi fumonisin dengan menggunakan KLT dan KCKT

(42)

menggunakan interface MS pada KCKT, deteksi fumonisin dapat dilakukan tanpa derivatisasi (Shephard 1998, Masayo et al. 2006). Selain untuk analisis kuantitatif, LC-MS juga digunakan untuk konfirmasi struktur fumonisin.

Salah satu metode LC-MS yang digunakan untuk analisis fumonisin

adalah fast atom bombardment (FAB-MS). Dengan menggunakan metode ini limit deteksi fumonisin pada jagung yang terkontaminasi secara alami melalui

SAX clean up sekitar 100 ng/g (Plattner & Branham 1994). Korfmacher et al. (1991) membandingkan teknik thermospray (TS) dan electronspray (ES) untuk mendeteksi fumonisin. Berdasarkan studi tersebut terlihat bahwa ES-MS dapat

mendeteksi FB1 hingga level nanogram dengan memberikan sinyal ion molekul

dan fragmentasi yang sedikit. Sebaliknya, dengan TS-MS terbentuk fragmen yang

banyak dan sensitifitasnya hanya mencapai level sub-mikrogram. Namun dengan

menggunakan mode ion negatif dan campuran ammonium asetat-asetonitril

sebagai fasa bergerak, limit deteksi TS-MS dapat diperkecil menjadi 2 ng (Thakur

& Smith 1994). Metode ES-MS yang telah divalidasi mampu mendeteksi

fumonisin hingga level nanogram dan juga dapat mengkonfirmasi identitas

fumonisin yang terdeteksi dalam sampel yang dianalisis (Musser et al. 2002). Pada proses produksi pangan asal jagung, fumonisin bereaksi dengan

komponen pangan seperti gula dan protein sehingga tidak dapat terdeteksi dengan

metode KCKT. Dall’Asta et al. (2006) mengembangkan metode LC/ESI/MS/MS untuk mendeteksi fumonisin dalam produk pangan asal jagung seperti corn-flakes, tortilla chips dan corn chips.

Imunoasai

Imunoasai yaitu teknik analisis dengan menggunakan pereaksi yang

dihasilkan oleh sistem imun, yaitu antibodi. Aplikasi imunoasai sangat luas

terutama di bidang kedokteran, baik untuk diagnosis maupun terapi suatu

penyakit. Namun, selama dua dekade terakhir teknik imunoasai telah

dikembangkan untuk analisis forensik, veteriner, cemaran pangan, dan produk

pertanian (Rittenburg 1990, Grothaus et al. 2006).

Dibandingkan dengan metode analisis lainnya, imunoasai memiliki

(43)

memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Metode imunoasai dikembangkan

dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal.

Peran Sistem Imun dan Produksi Antibodi

Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan yang terdiri dari sel, molekul,

dan jaringan yang berperan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan oleh

berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbagi atas sistem imun

nonspesifik (natural/innate/native) dan spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun nonspesifik merupakan sistem pertahanan tubuh terdepan yang dapat memberi

respon secara langsung terhadap masuknya molekul asing atau mikroorganisme.

Sedangkan sistem imun spesifik terbentuk karena proses adaptasi molekuler oleh

sel-sel imun terhadap bahan asing yang masuk (Baratawidjaja 2004). Tabel 4

menunjukkan perbedaan sifat antara sistem imun nonspesifik dengan sistem imun

spesifik.

Di dalam tubuh terdapat tiga jenis sel yang berperan penting dalam sistem

imun yaitu limfosit, sel plasma dan makrofag yang berasal dari sel progeni dalam

sumsum tulang, bersirkulasi dalam darah dan masuk ke dalam organ ketika

diperlukan. Limfosit memiliki kemampuan mengenali setiap antigen melalui

permukaan reseptornya yang spesifik. Ada dua jenis limfosit, yaitu limfosit B

yang dapat mensekresi antibodi spesifik dan limfosit T yang tidak menghasilkan

antibodi namun dapat berproliferasi dan berdiferensiasi jika ada antigen dengan

melepas senyawa yang disebut limfokin. Dalam hal ini, fungsi sel T adalah

membantu sel B untuk mensintesis antibodi dengan mengatur respon imun.

Sementara itu, peran makrofag sangat penting dalam sistem imun spesifik. Sel ini

menelan antigen dan mentransfer materi antigen tersebut pada sel T sehingga

terjadi aktivasi sel T yang kemudian diteruskan dengan aktivasi sel B

(44)
[image:44.612.133.509.99.415.2]

Tabel 4 Perbedaan sifat antara sistem imun nonspesifik dan spesifik

Sistem imum nonspesifik Sistem imun spesifik

Resistensi Tidak berubah karena

infeksi

Membaik dengan infeksi

berulang (adanya memori).

Spesifitas Efektif terhadap semua

mikroba

Spesifik terhadap mikroba yang

pernah mensensitisasi.

Sel yang terlibat Fagosit

Sel natural killer (NK) Sel mastosit

Eosinofil

Th, Tdth, Tc, Ts

Sel B

Molekul

penting

Lisozim

Komplemen

Protein fasa akut

Interferon

C-reactive protein (CRP) Kolektin

Molekul adhesi

Antibodi

Sitokin

Medium

Molekul adhesi

Sumber: Baratawidjaja (2004)

Sistem imun spesifik terdiri atas humoral dan seluler. Sistem imun spesifik

humoral dihasilkan oleh sel B yang berproliferasi jika bertemu dengan antigen dan

berkembang menjadi sel plasma penghasil antibodi yang banyak dijumpai dalam

serum. Antibodi ini berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap virus,

bakteri ekstraseluler dan menetralisir toksin yang dihasilkannya. Sistem imun

spesifik seluler diperankan oleh sel T yang dihasilkan oleh sel asal di dalam

sumsum tulang yang berproliferasi dan berdiferensiasi di dalam kelenjar timus.

Sel T yang telah dewasa ke luar dari timus dan masuk ke dalam peredaran darah.

Jika bertemu dengan antigen, sel T akan tersensitisasi, berproliferasi dan memberi

sinyal pada sel B untuk memproduksi antibodi. Sistem imun spesifik seluler ini

berfungsi sebagai pertahanan terhadap bakteri intraseluler, virus, jamur dan parasit

(45)

Prinsip Imunoasai

Sifat antibodi yang dapat mengikat antigen spesifik di dalam tubuh

merupakan dasar dari metode analisis secara imunoasai karena reaksi ini juga

dapat terjadi di luar tubuh. Dalam hal ini, antigen dapat merupakan agen penyakit,

cemaran mikroba, senyawa kimia atau kontaminan alami seperti mikotoksin.

Antibodi yang digunakan dapat berupa antibodi poliklonal atau monoklonal.

Prinsip analisis secara imunoasai berdasarkan reaksi antigen dengan

antibodi spesifik terhadap antigen tersebut yang membentuk kompleks

antigen-antibodi (Barna-Vetro 2002). Dinamika reaksi pengikatan antigen-antibodi-antigen pada

antigen sederhana yang hanya mempunyai satu determinan antigen mengikuti

persamaan reaksi sebagai berikut:

[Ab] + [Ag] [AbAg]

dimana [Ab] adalah konsentrasi antibodi bebas (mol/L), [Ag] adalah konsentrasi

antigen antigen bebas, dan [AbAg] merupakan konsentrasi kompleks

antibodi-antigen, sedangkan Ka dan Kd adalah konstanta asosiasi dan disosiasi. Rasio

Ka/Kd merupakan konstanta keseimbangan atau konstanta affinitas (K) dengan nilai yang diturunkan melalui persamaan:

Ka [AbAg]

Kd [Ab][Ag]

Nilai K berkisar antara 103-107 liter/mol dan konstanta antibodi yang baik untuk

pengukuran secara imunoasai berkisar antara 106-108 liter/mol. Konstanta affinitas ini berhubungan langsung dengan spesifitas dan sensitivitas (Roitt 1991,

Rittenburg 1990). Ikatan antigen-antibodi dalam imunoasai terjadi karena adanya

kekuatan intermolekuler seperti elektrostatik, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik,

dan gaya Van der Waals (Roitt 1991).

Berdasarkan interaksi antigen-antibodi, imunoasai dapat dibagi menjadi

dua kategori yaitu berdasarkan interaksi primer dan interaksi sekunder.

Pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi primer dapat dilakukan secara

langsung, sedangkan yang berdasar pada interaksi sekunder, dilakukan secara

tidak langsung. Pada umumnya, pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi Ka

Kd

(46)

primer, contohnya pengukuran melalui presipitasi, aglutinasi, radioimunoasai

(RIA) dan ELISA (Rittenburg 1990).

Antigen

Antigen atau imunogen adalah bahan yang dapat memicu pembentukan

respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Secara fungsional,

antigen dibedakan menjadi imunogen dan hapten. Imunogen umumnya

merupakan suatu protein yang memiliki ukuran molekul yang besar, sedangkan

hapten merupakan senyawa kimia dengan ukuran kecil, tidak bersifat imunogenik

sehingga tidak dapat mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Agar dapat

memicu pembentukan antibodi, suatu hapten harus dikonjugasikan dengan

molekul besar yang disebut molekul pembawa. Molekul pembawa umumnya

protein yang bersifat multivalen dan imunogenik, contohnya keyhole limpet hemocyanin (KLH), tiroglobulin, ovalbumin dan imunoglobulin ayam (Rittenburg 1990). Hapten dikenal oleh sel B sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Hapten

membentuk epitop pada permukaan molekul pembawa yang dikenali oleh sistem

imun sehingga merangsang pembentukan antibodi. Daerah ini dapat bereaksi

secara spesifik dengan reseptor antigen (Baratawidjaja 2004). Di antara senyawa

hapten yaitu kontaminan pada bahan pangan dan pakan seperti mikotoksin,

pestisida, antibiotik dan senyawa lain dengan bobot molekul rendah.

Berdasarkan epitopnya antigen terbagi atas empat jenis, yaitu (1)

Unideterminan univalen, antigen yang hanya memiliki satu jenis epitop pada tiap

molekulnya (hapten); (2) Unideterminan multivalen, antigen yang memiliki lebih

dari dua epitop yang sama pada satu molekulnya ; (3) Multideterminan univalen:

antigen yang memiliki beberapa epitop yang berbeda, tetapi masing-masing hanya

satu pada tiap molekul

Gambar

Gambar 2  Struktur dasar fumonisin (Rheeder et al. 2002)
Gambar 3  Biosintesis Fumonisin (Abbas et al. 1996)
Tabel  2  Jenis-jenis fumonisin dan gugus fungsinya
Tabel 3 Kontaminasi Fumonisin pada berbagai komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan di Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena pentingnya penggunaan masker pada saat pandemik COVID-19 penelitian ini akan menerapkan metode Convolutional Neural Network untuk mendeteksi pengguna masker dan suhu