• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Penggunaan Lahan Di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Penggunaan Lahan Di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

NURMAN HAKIM

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Penggunaan Lahan di Kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

NURMAN HAKIM. Pengelolaan Penggunaan Lahan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan OMO RUSDIANA.

Penggunaan lahan untuk tujuan konservasi dan pembangunan wilayah memiliki nilai penting yang setara. Kenyataan menunjukan kedua tujuan tersebut kerap berbenturan karena masing-masing menggunakan pengetahuan dan nilainya sendiri-sendiri. Konflik tersebut dijumpai di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konflik penggunaan lahan antara konservasi dengan pertanian, permukiman termasuk pertambangan, serta mengidentifikasi isu strategis yang muncul dari konflik yang terjadi. Penelitian dilakukan di kawasan hutan Taman nasional Gunung Halimun salak di Kabupaten Lebak. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Memetakan penggunaan lahan di kawasan TNGHS Kabupaten Lebak yang menyebabkan konflik antara tujuan konservasi, dengan non konservasi (pertanian dan permukiman termasuk pertambangan), (2) Merumuskan isu strategis pengelolaan penggunan kawasan TNGHS di Kabupaten Lebak, dan (3) Menyusun arahan pengelolaan penggunaan kawasan TNGHS di Kabupaten Lebak.

Pemetaan penggunaan lahan menggunakan analisis spasial multikriteria mengadaptasi LUCIS (Land Use Conflict Identification Strategy) yang mendasarkan pada analisis konflik preferensi. Nilai preferensi didasarkan pada pandangan narasumber menggunakan tehnik AHP. Narasumber terdiri dari kelompok Balai TNGHS yang mewakili tujuan konservasi dan kelompok Pemerintah Kabupaten Lebak yang mewakili tujuan non konservasi. Rumusan isu strategis digali berdasarkan pengamatan terhadap hasil pemetaan konflik, kajian rencana strategis parapihak dan wawancara narasumber Balai TNGHS, Pemerintah Kabupaten Lebak dan narasumber pakar. Pengelompokan isu strategis didasarkan pada tingkat agregasi pendapat para narasumber terhadap setiap isu. Perumusan arahan pengelolaan terdiri dari arahan lokasi dan arahan agenda. Arahan lokasi didasarkan pada tipologi konflik preferensi dan tipologi preferensi dominan. Arahan agenda dirumuskan secara deskriptif berdasarkan rumusan isu strategis.

Hasil pemetaan penggunaan lahan menunjukan adanya konflik antara tujuan konservasi dengan tujuan pertanian seluas 22_061.11 ha (49%), dengan tujuan permukiman seluas 1_830.36 Ha (4%), dan dengan tujuan pertambangan seluas 26_007.86 Ha (58 %).

(4)

bukan hutan preferensi non konservasi dominan seluas 17 023.01 Ha (37.71%), (B) Tutupan bukan hutan preferensi konservasi dominan seluas 3 176.25 Ha (7.04%), (C) Tutupan hutan preferensi non konservasi dominan seluas 34.30 Ha (0.08%) dan, (D) Tutupan hutan preferensi konservasi dominan seluas 24 911.03 Ha (55.18%). Arahan agenda pengelolaan konflik terdiri dari: (1) Isu Lingkungan dan tenurial dengan fokus mendorong percepatan penyelesaian persoalan tenurial dan penanganan kerusakan lingkungan, (2) Isu Mitigasi dengan fokus mitigasi bencana, ketahanan pangan dan mitigasi dampak lainnya, dan (3) Isu Pembangunan dengan fokus pengembangan infrastruktur pertanian dan permukiman.

(5)

Park in Lebak Regency. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and OMO RUSDIANA.

Land use for conservation and regional development have equal importance, but often on the same landscape they meet in conflicts because each objective uses their own knowledge and values. The purpose of this study is to: (1) identify land use conflicts between the goals of conservation and regional development in the area of TNHGS Regency of Lebak, (2) analyze strategic issues, and (3) formulate some recommendations for land use conflict management.

Spatial multicriteria analysis, AHP and LUCIS (Land Use Conflict Identification Strategy) were employed to determine landuse conflict. There were two interest group involved, representing each interest and become expert judgement for their respective criteria. Group Balai TNGHS rate for conservation preferences and Group Lebak regency government for regional development preferences. This technic was applied to maximize the contrast among interest. Strategic issues derived from three sources: observing landuse conflict map,

discussion with the expert and stakeholder’s strategic planing document. The

number of issues is classifyed based on level of agreement among experts. The proposed recomendation comprise of target areas and common agendas. Target areas were based on 2 typologi namely conflict of preference’s and dominance

preference. Common agendas was synthesized from strategic issues analysis. The result showed that conflict occur between conservation and agriculture of 22_061.11 ha (49%), between conservation and settlement of 1_830.36 Ha (4%), and between conservation and mining of 26_007.86 Ha (58 %). Analysis of strategic issues lead to 11 issues were divided to three groups follow the level of agreement. The issues on Group A was consist of deforestation and forest degradation, harmonizing between TNGHS spatial zone and the other spatial planing concept, tenurial and illegal mining. The issues on Group B was consist of mitigation and food security. The issues on Group C was consist of forest fragmentation, geothermal utilization plan in Gunung Endut, build or rehabilitate the office or other building for public service, road network and irrigation for ricefield farming

There were 4 typologies as proposed location to managed: (A) Non forest cover with preferences for non conservation 17 023.01 Ha (37.71%), (B) Non forest cover with preferences for conservation 3 176.25 Ha (7.04%), (C) forest cover and with preferences for non conservation 34.30 Ha (0.08%) dan, (D) forest cover with preferences for non conservation 24 911.03 Ha (55.18%). Common agenda proposed as alternative solution to managed landuse conflict are: (1) Environmental and tenure Issue with focus on encouraging the acceleration of the completion of tenure and the handling of environmental damage, (2) Mitigation issue with a focus on disaster mitigation, food security and other mitigate impacts, and (3) Development Issue with focus on infrastructure development for agriculture and settlement.

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

NURMAN HAKIM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NRP : A156130134

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS. Dr. Ir. Omo Rusdiana, MSc.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(10)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan ini berhasil diselesaikan. Pengelolaan penggunaan lahan dan kebijakan ruang di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Kabupaten Lebak sejak tahun 2003 menjadi latar belakang penulisan ini. Penelitian dilakukan antara Agustus 2015 hingga Februari 2016. Judul tesis ini adalah Pengelolaan Penggunaan Lahan di Kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, MSc. Forest. Trop. selaku anggota komisi pembimbing yang telah mendorong penulis untuk melihat permasalahan dari perspektif yang berbeda, memberikan arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr. Sofyan Sjaf, SPt, MSi. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

5. Ibunda Icah Naffisah dan Gunartiningsih, Ayahanda Ending Affandi dan Bari untuk do’a sepanjang masa.

6. Peggy Awanti, Kay Mahesa Muhammad, Ayuning Fathimah Wohingati, untuk segala doa, dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya.

7. Suer Suryadi, Inung Wiratno, Dian Permata, Ahmad Yamani, Wahyu Murdyatmaka, HA Wahyudi untuk informasi dan diskusi pendalaman materi. 8. Para narasumber dan penyusun zonasi TNGHS: Nurfaizin, Wardi Septiana,

Misbah Satria Giri, Iwan Ridwan. RTRW Kabupaten Lebak: Helmi Arief Gunawan, Dasep Novian, Nurul Hakim, Suhendro, Idat Hadiat, Iman Nurzaman Fasa.

9. Para Narasumber Pakar: Suer Suryadi, Wiratno, Nia Ramdhaniaty, Herwasono Soedjito, Charis Kaddafi dan Gamma Galudra, dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(11)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

Kebijakan Ruang di TNGHS 8

Penggunaan Lahan di TNGHS 10

Konflik Kebijakan Ruang dan Penggunaan Lahan di TNGHS 11

Konsep Penggunaan Lahan 13

Analisis Multi Kriteria Spasial 14

Land Use Conflict Identification Strategy (LUCIS) 14

Analytical Hierarchy Process (AHP) 17

Pengukuran Agregasi Pendapat 18

3 METODE 20

Waktu dan Tempat Penelitian 20

Bahan dan Alat 21

Bahan 21

Alat 21

Tehnik Pengumpulan Data 22

Kelompok Narasumber 22

Tehnik Analisis Data 25

Memetakan Konflik Penggunaan Lahan untuk Tujuan konservasi dan Tujuan Pengembangan Wilayah di TNGHS

Kabupaten Lebak 25

Analisis Tutupan dan Penggunaan Lahan 25

Menyusun Kriteria Indikator untuk Tujuan Konservasi,

Pertanian, Permukiman dan Pertambangan 25

Menentukan Bobot Kriteria dan Indikator 27

Mengidentifikasi Konflik Penggunaan Lahan untuk

Tujuan Konservasi dan Tujuan Pengembangan wilayah 29 Merumuskan Isu Strategis Pengelolaan Konflik Penggunaan

Lahan di TNGHS Kabupaten Lebak 34

Identifikasi Isu 34

Perumusan Isu Strategis 34

Menyusun Arahan Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan di

(12)

Geologi 39

Tanah 39

Geomorfologi 40

Hidrologi dan DAS 40

Masyarakat 40

Keanekaragaman Hayati 41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 43

Tutupan dan Penggunaan Lahan TNGHS Kabupaten Lebak 43 Preferensi Penggunaan Lahan TNGHS Kabupaten Lebak 46

Penggunaan Lahan untuk Tujuan Konservasi 46

Penggunaan Lahan untuk Tujuan Pertanian 50

Penggunaan Lahan untuk Tujuan Permukiman 55

Penggunaan Lahan untuk Tujuan Pertambangan 58 Konflik Preferensi Penggunaan Lahan untuk Tujuan

konservasi dan Tujuan Pengembangan Wilayah di

TNGHS Kabupaten Lebak 64

Konsep Penggunaan Lahan dan Perbedaan Pandangan

Terhadap Sumber Daya Lahan 67

Konsep Penggunaan Lahan 67

Perbedaan Pandangan Terhadap Sumber Daya Lahan 69

Skala Peta 70

Isu Strategis Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan di

TNGHS Kabupaten Lebak 71

Identifikasi Isu 71

Isu Kerusakan Sumberdaya Hutan dan Lingkungan 71

Isu Kebutuhan Ruang untuk Pembangunan 76

Isu Kebijakan Perluasan Kawasan TNGHS 82

Perumusan Isu Strategis 84

Arahan Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan TNGHS

Lebak 89

Arahan Lokasi Pengelolaan 90

Arahan Agenda Pengelolaan 96

Perkembangan Selama Penelitian 100

6 SIMPULAN DAN SARAN 104

Simpulan 104

Saran 105

DAFTAR PUSTAKA 106

LAMPIRAN 112

(13)

pada kecamatan di Sekitar TNGHS 4 2 Tujuan dan sasaran menurut metode LUCIS (Carr dan Zwick

2005) 16

3 Klasifikasi konflik area menurut preferensi tujuan penggunaan lahan untuk konservasi, permukiman dan pertanian (Carr dan

Zwick 2005) 16

4 Jenis data, sumber, teknik dan keluaran penelitian 23

5 Daftar kelompok narasumber 24

6 Kriteria dan indikator penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten

Lebak 26

7 Skala pembobotan kepentingan matriks perbandingan

berpasangan 28

8 Nilai random Index/RI untuk nilai n 29

9 16 tipologi konflik penggunaan lahan antara konservasi dan pengembangan wilayah berdasarkan tingkat preferensi (adaptasi

LUCIS, Carr dan Zwick 2007) 31

10 Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan 32

11 Kuesioner penilaian isu pengelolaan di TNGHS Lebak 35 12 Letak TNGHS Kabupaten Lebak menurut lokasi kecamatan dan

desa 38

13 Luas tutupan/penggunaan lahan kawasan di TNGHS Kabupaten

Lebak tahun 2014 43

14 Luas tutupan dan penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak

berdasarkan fungsi kawasan sebelumnya 44

15 Luas tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak

berdasarkan penataan Zonasi (Ha) 45

16 Luas tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak

berdasarkan RTRW Kabupaten Lebak (Ha) 45

17 Luas tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak 46 18 Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan

konservasi di TNGHS Kabupaten Lebak 49

19 Luas sawah dan pertanian lahan kering di TNGHS Kabupaten

Lebak termasuk enclave menurut kelas lereng 52

20 Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan pertanian

di TNGHS Kabupaten Lebak 53

21 Tutupan permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak menurut

kecamatan tahun 2014 58

22 Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan

permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak 58

23 Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan

pertambangan di TNGHS Kabupaten Lebak 62

24 Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan antara konservasi

dan pertanian di TNGHS Kabupaten Lebak 64

25 Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan antara konservasi

(14)

di TNGHS Kabupaten Lebak 66 28 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang

berhubungan dengan isu kerusakan sumber daya alam dan

lingkungan 76

29 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang berhubungan dengan isu kebutuhan ruang pembangunan

permukiman 79

30 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang

berhubungan dengan isu kebutuhan ruang pembangunan pertanian 80

31 Kronologi kebijakan ruang TNGHS 83

32 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang berhubungan dengan isu kebijakan perluasan kawasan TNGHS

Kabupaten Lebak 84

33 Hasil kuesioner perumusan isu strategis pengelolaan konflik

penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak 85

34 Agregasi pendapat narasumber terhadap isu pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak menurut nilai

CVR 86

35 Isu strategis pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS

Kabupaten Lebak menurut kelompok narasumber 87

36 Pembagian nilai kelompok isu berdasarkanequal interval 87 37 Rumusan kelompok isu strategis pengelolaan konflik penggunaan

lahan TNGHS Kabupaten Lebak 89

38 Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak berdasarkan tipologi preferensi penggunaan

lahan dan tutupan hutan 92

39 Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan tipologi preferensi penggunaan lahan dan tutupan hutan menurut Zonasi TNGHS di

Kabupaten Lebak (Ha) 93

40 Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan tipologi preferensi penggunaan lahan dan tutupan hutan menurut pola ruang RTRW

Kabupaten Lebak (Ha) 94

41 Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan berdasarkan tipologi tutupan hutan dan preferensi penggunaan lahan menurut

wilayah kerja resort TNGHS dan administasi kecamatan (Ha) 96 42 Sebaran tipologi arahan agenda menurut fungsi kawasan hutan

setelah pengurangan luas TNGHS Kabupaten Lebak (Ha) 102

DAFTAR GAMBAR

1. Peta taman nasional gunung halimun salak sebelum dan sesudah

perluasan dari 40 000 ha menjadi 113 357 Ha 2

2. Tutupan/penggunaan lahan TNGHS Kabupaten Lebak 1989-2008. Sumber data diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006) dan

(15)

5. (a) Model kompartemen ruang berdasarkan kebutuhan dasar manusia menurut Odum (1969). (b) Model LUCIS yang

dikembangkan Carr dan Zwick (2005) berdasarkan Odum 15

6. Lokasi penelitian di TNGHS Kabupaten Lebak 20

7. Struktur multi kriteria identifikasi konflik penggunaan lahan

lahan di TNGHS Kabupaten Lebak 30

8. ArcGIS model builder pembuatan peta preferensi penggunaan

lahan konservasi di TNGHS Kabupaten Lebak 32

9. Klasifikasi peta preferensi penggunaan lahan kedalam tiga kelas preferensi Tinggi (T), Sedang (S) dan Rendah (R) di TNGHS

Lebak 33

10. Diagram alir merumuskan isu strategis pengelolaan konflik

penggunaan lahan TNGHS di Kabupaten Lebak 36

11. Sebaran DAS sekitar TNGHS di Kabupaten Lebak 41

12. Peta tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak

tahun 2014 44

13. peta koridor habitat satwa di TNGHS Kabupaten Lebak 48 14. Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan konservasi di

Kabupaten Lebak 49

15. Kebijakan penggunaan lahan untuk tujuan pertanian di kawasan TNGHS berdasarkan Pola Ruang dalam RTRW Kabupaten

Lebak 51

16. Gambaran posisi lahan pertanian terhadap jaringan jalan di

sekitar TNGHS Kabupaten Lebak 52

17. Gambaran lahan pertanian di sekitar TNGHS Kabupaten Lebak

yang berada pada kelerengan di atas 15% 53

18. Pola spasial sawah di kawasan TNGHS Kabupaten Lebak

mengikuti lembah atau alur sungai 54

19. Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan pertanian di TNGHS

Kabupaten Lebak 54

20. Kebijakan penggunaan lahan untuk tujuan permukiman di

kawasan TNGHS berdasarkan RTRW Kabupaten Lebak 55 21. Kesesuaian lahan permukiman di kawasan TNGHS Kabupaten

Lebak 56

22. Tutupan lahan permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak tahun

2014 57

23. Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan permukiman di

TNGHS Kabupaten Lebak 59

24. Lokasi pertambangan di kawasan TNGHS berdasarkan Pola

Ruang RTRW Kabupaten Lebak. 60

25. Kesesuaian lahan pertambangan di kawasan TNGHS Kabupaten

Lebak 60

26. (a) Sebaran ijin pertambangan sebelum terbitnya Keputusan Menteri ESDM (b) penetapan TNGHS sebagai Wilayah

(16)

29. Preferensi konservasi, pertanian, permukiman dan pertambangan

dalam kawasan TNGHS Kabupaten Lebak 63

30. Konflik preferensi penggunaan lahan tujuan konservasi dengan pertanian, permukiman dan pertambangan di TNGHS Kabupaten

Lebak 66

31. Elemen penggunaan lahan dalam memetakan preferensi kelompok kepentingan terhadap sumber daya lahan di TNGHS

Kabupaten Lebak 69

32. (a) Kegiatan kominusi (peremukan atau penggerusan bijih) dengan ballmill (Gulundung) di belakang rumah salah satu warga di Citorek (b) Tumpukan ballmill yang dijual di sekitar

Cinangneng Bogor 73

33. Patch permukiman di Lebakgedong, Sobang, Citorek dan Tegalumbu terhubung melalui koridor jalan, dan memotong patch hutan Gunung Endut, Halimun dan Gunung Luhur (No.

1,2,3) menghasilkan fragmentasi hutan 75

34. Sebaran kampung dan tutupan permukiman di sekitar kawasan

TNGHS Kabupaten Lebak 77

35. Perpindahan kampung gede Masyarakat Banten Kidul 78 36. Para petugas kantor desa di bank jabar banten untuk pencairan

Alokasi Dana Desa (Foto diambil pada 30 Desember 2015) 78 37. Peta rencana pemanfaatan energi panas Bumi Gunung Endut 81 38. Dendogram analisis klaster untuk menentukan jumlah kelompok

isu 88

39. (a) Alokasi lahan berdasarkan LUCIS dan (b) gambaran tutupan

lahan di TNGHS Kabupaten Lebak tahun 2014 90

40. Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak berdasarkan tipologi preferensi dominan dan

tutupan hutan 91

41. Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan tipologi preferensi penggunaan lahan dan tutupan hutan menurut Zonasi

TNGHS di Kabupaten Lebak 92

42. Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan Pola Ruang

RTRW Kabupaten Lebak 93

43. Faktor utama yang mempengaruhi pencapaian tujuan

pengelolaan hutan menurut FAO (2011) 97

44. Kerangka umum pengelolaan konflik penggunaan lahan TNGHS

di Kabupaten Lebak 99

45. Sebaran wilayah adat masyarakat kasepuhan Banten Kidul di sekitar TNGHS Kabupaten Lebak (Nia Ramdhaniaty, S.Hut,

(17)

2 Bobot nilai strategis isu pengelolaan konflik penggunaan lahan di

TNGHS Kabupaten Lebak 113

3 Tabel Nilai Minimal Content Validity Ratio 115

4 Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan berdasarkan tipologi tutupan hutan dan preferensi penggunaan lahan menurut

wilayah kerja resort TNGHS dan administasi desa (Ha) 115 5 Identifikasi isu awal, kelompok isu strategis dan arahan agenda

pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten

Lebak 118

6 Harmonisasi pengelolaan kawasan TNGHS dengan pembangunan

(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah kawasan konservasi yang berada di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten serta Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa barat. TNGHS didirikan dengan tujuan perlindungan keanekaragaman hayati ekosistem hutan hujan pegunungan, perlindungan spesies kharismatik (macan tutul, elang jawa, owa jawa, surili, lutung), dan perlindungan mata air. Kawasan ini menjadi hulu DAS Ciujung, Bayah, Cidurian-Cimanceuri, Cisadane dan Cimandiri dengan total 117 sungai dan anak sungai (TNGHS 2007). Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan ini pada 1865 untuk penyediaan air irigasi dan penyediaan kayu (Zwart 1924 dalam Galudraet al. 2005).

Kawasan ini pada awalnya merupakan wildhoutbosch (kawasan hutan rimba non jati). Pada tahun 1979 seluas 40_000 Ha dirubah menjadi cagar alam dan pada tahun 1992 menjadi Taman Nasional. Pada tahun 2003 Pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya menjadi hutan konservasi dan menggabungkannya menjadi TNGHS. Keputusan ini dikeluarkan tanpa melalui rekomendasi pemerintah daerah membuat luas TNGHS berubah dari yang tadinya 40_000 Ha menjadi seluas 113_357 Ha (Gambar 1). Pemerintah Kabupaten Lebak yang menerima dampak meminta agar kebijakan perluasan ini ditinjau kembali. Salah satu proses proses komunikasinya tertuang dalam surat Bupati nomor S.522/777-Hutbun/2011 tanggal 20 Mei 2011 yang disusuli dengan surat nomor 522/985.A/Hutbun tertanggal 4 April 2012 perihal permohonan perubahan fungsi kawasan hutan (Arsip dinas PHKA 2011). Sejak tahun 2003 hingga saat ini, polemik perluasan TNGHS ini belum tuntas.

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Balai TNGHS) telah menata ruang TNGHS yang disahkan melalui SK Dirjen PHKA N.142/IV-SET/2013 tanggal 9 April 2013. Berdasarkan dokumen zonasi TNGHS, kawasan TNGHS terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona khusus dan zona budaya. Luasan yang digunakan dalam menata zonasi adalah 113_357 Ha dengan distribusi luas di Kabupaten Lebak 45_170.5 Ha (43%), di Kabupaten Bogor 29_092.2 Ha (28%) dan di Kabupaten Sukabumi 30_911.5 Ha (29%).

(19)
(20)

Perbedaan antara Balai TNGHS dan Pemerintah Kabupaten Lebak terhadap kawasan Gunung Halimun Salak mengemuka sebagai konflik kebijakan tata ruang karena masing-masing pihak mengacu dokumen resmi. Perbedaan ini tidak terjadi dalam RTRW Kabupaten Sukabumi 2012-2032 dan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Kedua kabupaten ini telah mengadopsi perluasan TNGHS (Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003) ke dalam kebijakan ruangnya sebagai kawasan lindung.

Kawasan Gunung Halimun Salak bukanlah ruang hampa tanpa manusia. Studi yang dilakukan RMI tahun 2004 menjelaskan pembentukan masyarakat Halimun Salak dari abad 14 berasal dari berbagai asal usul yang berangkat dari sejarah konflik antar kerajaan Sunda Pajajaran, Banten, Mataram hingga kehadiran VOC. Mereka telah membangun tatanan kebudayaannya sebagai masyarakat hukum adat termasuk konsep kelola ruangnya (Hanafi et al. 2004). Berdasarkan Peraturan Daerah kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan terdapat 6Pupuhu Kasepuhan dengan 308Sesepuh Kampungdan 208 Gurumulan/Rendangan.

Galudra (2003) mencatat 11 jenis pemanfaatan sumber daya alam TNGHS yang dilakukan oleh masyarakat sekitar antara lain kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, lahan pertanian dan emas. Yatap (2008) menyatakan bahwa faktor peubah ekonomi dominan yang mendorong perubahan penutupan dan penggunaan lahan TNGHS adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian. Penelitian Sawitri dan Soebiandono (2011) di Kecamatan Cibeber menunjukan bahwa pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ini lebih besar dibanding dari hasil pertanian. Masyarakat dengan mata pencaharian bidang pertanian dengan luas sawah ≥ 0.5 Ha rata-rata pendapatannya Rp 1.350.000,- per KK per bulan. Sementara di bidang pertambangan Rp 1.500.000,- per KK per bulan.

(21)

Tabel 1. Pertumbuhan penduduk kabupaten lebak tahun 2000 dan 2010 pada kecamatan di sekitar TNGHS

No Kecamatan Tahun 2000 Tahun 2010 Laju pertumbuhan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Bayah Cibeber Cigemblong Cipanas Lebakgedong Muncang Panggarangan Sajira Sobang 34 856 47 048 18 640 39 647 17 097 30 565 31 463 40 421 24 959 40 716 54 228 19 527 45 388 21 537 31 615 35 242 46 627 28 361 1.57 1.43 0.47 1.36 2.34 0.34 1.14 1.44 1.29

Jumlah 284 696 323 241 1.28

Sumber: RTRW Kabupaten Lebak Tahun 2014-2034

Gambar 2. Tutupan/penggunaan lahan TNGHS Kabupaten Lebak 1989-2008. Sumber data diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006) dan Balai TNGHS (2009).

Perumusan Masalah

Pembangunan selalu membutuhkan ruang. Pembangunan untuk tujuan konservasi dan tujuan pengembangan wilayah memiliki nilai penting yang setara. Dalam prakteknya seringkali terjadi perbenturan. Masing-masing kepentingan akan berusaha memaksimalkan manfaat lahan dalam memenuhi kepentingannya. Persoalan ini membawa kepada sebuah pertanyaan klasik yang diajukan Odum (1969) “how do we determine when we are getting too much of good thing?”

(22)

pembangunan konservasi, pertanian atau permukiman. Perbedaan perspektif ini bersumber dari cara memahami fakta yang sama namun: (1) dengan pengetahuan yang berbeda sehingga melahirkan kriteria yang berbeda, dan (2) dengan nilai yang berbeda sehingga melahirkan kepentingan yang berbeda. Perbedaan perspektif antara Balai TNGHS dan Pemerintah Kabupaten Lebak telah berkembang menjadi konflik kebijakan ruang ketika masing-masing menyusun kebijakan pengelolaan ruangnya dengan luas kawasan TNGHS yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini disusun dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana peta penggunaan lahan berdasarkan tujuan konservasi dan pengembangan wilayah (pertanian, permukiman dan pertambangan) yang menghasilkan konflik penggunaan lahan di TNGHS di Kabupaten Lebak? 2. Isu strategis apa saja dalam pengelolaan penggunaan lahan TNGHS di

Kabupaten Lebak?

3. Bagaimana arahan pengelolaan konflik penggunaan lahan TNGHS di Kabupaten Lebak?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Memetakan penggunaan lahan untuk tujuan konservasi dengan tujuan pengembangan wilayah (pertanian, permukiman dan pertambangan) yang menghasilkan konflik penggunaan lahan di TNGHS Lebak.

2. Merumuskan isu strategis pengelolaan penggunan lahan TNGHS di Kabupaten Lebak

3. Menyusun arahan pengelolaan konflik penggunan lahan TNGHS di Kabupaten Lebak.

Manfaat Penelitian

Sebagaimana kontribusi penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya mengenai konflik kawasan konservasi, khususnya di kawasan TNGHS, diharapkan penelitian ini dapat:

1. Melengkapi data dan informasi yang telah dilakukan sebelumnya baik oleh pihak Balai TNGHS, Pemerintah Kabupaten Lebak atau pihak lainnya mengenai konflik penggunaan lahan.

2. Memperkaya alternatif pendekatan dalam mengidentifikasi konflik penggunaan lahan di kawasan TNGHS atau kawasan konservasi lainnya yang memiliki karakteristik yang sama.

Kerangka Pemikiran

Perencanaan wilayah telah berkembang semakin kompleks. Para perencana ruang dihadapkan kepada persoalan kompleks peggunaan lahan. Mereka ditantang untuk mampu mengintegrasikan berbagai tujuan penggunaan lahan dengan tetap memelihara sistem ekologi, berkontribusi kepada pembangunan ekonomi dan menciptakan lingkungan yang berkualitas bagi permukiman.

(23)

dikembangkan Margaret H. Carr dan Paul Zwick. LUCIS berangkat dari premis dasar bahwa konflik penggunaan lahan diwakili oleh tiga kategori tujuan penggunaan lahan yakni konservasi, pertanian, dan urban industrial. LUCIS menggunakan analisis multi kriteria spasial untuk memetakan konflik penggunaan lahan dengan membandingkan preferensi para pemangku kawasan terhadap ketiga tujuan penggunaan lahan. Preferensi adalah ukuran sejauh mana kategori penggunaan lahan disukai atau dipilih. Preferensi tidak ditujukan untuk menentukan suatu lokasi berdasarkan kesesuaian lahan melainkan menangkap nilai atau pandangan pemilik kepentingan terhadap suatu lahan.“Rather than asking what is most suitable, to determine preference the question becomes, "Which of the contributing suitability criteria are most important?” (Carr dan Zwick 2007).

Tahapan pertama penelitian adalah memetakan konflik preferensi penggunaan lahan di kawasan TNGHS Kabupaten Lebak berdasarkan tujuan konservasi dan pengembangan wilayah. Pembagian tujuan penggunaan lahan ini diadaptasi dari model kompartemen dari Odum (1969) dan praktek penataan ruang di Indonesia yang membagi wilayah secara fungsional ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya. Penggunaan lahan dengan tujuan konservasi adalah penyediaan lahan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan hidrologi, mitigasi bencana (longsor dan banjir), dan perlindungan sejarah/budaya. Penggunaan lahan untuk pengembangan wilayah terdiri dari (1) pertanian, (2) permukiman (3) pertambangan. Penggunaan lahan dengan tujuan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk sawah, kebun, hutan tanaman atau peternakan. Penggunaan lahan permukiman adalah penggunaan lahan untuk tempat tinggal dan lahan terbangun lainnya seperti pasar, kantor pelayanan, dan jalan. Penggunaan lahan pertambangan adalah lahan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan. Dalam penelitian ini, energi panas bumi dimasukkan kedalam kelompok pertambangan.

Terdapat 2 kelompok narasumber dari Balai TNGHS yang mewakili kepentingan kosnervasi dan Pemkab Lebak yang mewakili pengembangan wilayah. Identifikasi kriteria dan indikator penggunaan lahan disusun berdasarkan wawancara narasumber dan kajian dokumen perencanaan dari Balai TNGHS dan Pemkab Lebak. Agar lebih mendekati pengetahuan dan nilai dari masing-masing pihak. Masing-masing kelompok narasumber memberikan pembobotan berdasarkan kepentingan yang diwakilinya. Nilai bobot diolah dengan tehnik AHP dan analisis multi kriteria spasial menghasilkan peta preferensi penggunaan lahan. Selanjutnya diperbandingkan untuk mengidentifikasi konflik penggunaan lahan.

(24)

terdapat kelompok narasumber ahli yang berasal dari peneliti dan praktisi yang memiliki pengalaman berinteraksi langsung dengan kawasan TNGHS.

Tahapan ketiga penelitian adalah menyusun arahan pengelolaan konflik penggunaan lahan dengan pendekatan analisis deskriptif terhadap hasil penelitian tahap 1 dan tahap 2. Tahapan ini menghasilkan arahan lokasi dan arahan agenda. Adapun kerangka penelitian disajikan dalam diagram alir sebagaimana Gambar 3.

(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Ruang di TNGHS

Berdasarkan studi Galudra (2005) kebijakan penguasa terhadap pengelolaan ruang di kawasan Halimun dan Salak mengalami berbagai perubahan orientasi. Tahun 1700-1865 merupakan Kawasan perkebunan (terutama kopi) yang dilakukan oleh VOC melalui sistim preanger stelsel. Pada periode 1865-1942 kawasan Halimun-Salak berubah menjadi kawasan kehutanan. Pada saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan hutan di atas ketinggian 1570 mdpl sebagai kawasan hutan rimba (wildhoutbosch) untuk tujuan persediaan air untuk irigasi dan dan persediaan kayu (Zwart 1924 dalam Galudra 2005). Selanjutnya pada tahun 1942-1945 kawasan Halimun-Salak menjadi kawasan Pertanian. Masyarakat menjadikan kawasan ini sebagai lahan pertanian akibat ketidakpastian wewenang pada masa peralihan penguasaan oleh Hindia Belanda kepada Jepang. Pada periode 1945 sampai sekarang, kawasan Halimun Salak kembali menjadi kawasan Kehutanan (Galudra 2005). Pada periode ini pengelola yang diberi tugas oleh Pemerintah Indonesia mengalami pergantian. Pertama dilakukan oleh pemerintah Swatantra Tingkat I. Pada tahun 1935-1961 oleh Jawatan Kehutanan. 1961-1978 oleh Perusahaan Negara Perum Perhutani. Pada tahun 1979 seluas 40.000 ha dari kawasan ini ditunjuk menjadi Cagar Alam (CA) dan pengelolaan beralih kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam III hingga tahun 1992. Kawasan yang tidak menjadi Cagar Alam dikelola oleh Perum Perhutani sebagai Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Pada tahun 1992, CA Gunung Halimun berubah statusnya menjadi Taman Nasional. Pengelolaan TN Gunung Halimun dijalankan oleh Balai TN Gunung Gede Pangrango sampai tahun 1997 seiring berdirinya organisasi pengelola Balai TN Gunung Halimun Salak (BTNGHS 2007).

Pada tahun 2003 Departemen Kehutanan memutuskan untuk merubah kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung disekitarnya menjadi taman nasional dan menggabungkannya menjadi TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas total 113 357 ha. Keputusan ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat yang meresponnya dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat-Banten (FKMHJBB) dan menuntut kejelasan status lahan pertanian yang mereka garap selama ini (RMI 2003 dalam Galudra 2005). Pemerintah Kabupaten Lebak memberikan respon yang sama dengan meminta Kementerian Kehutanan untuk meninjau ulang keputusan perluasan kawsan TNGHS (Arsip dinas PHKA 2011).

(26)

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Ga

m

ba

r

4

.

P

er

ba

ndi

ng

an

Zona

si

TNGHS

da

n

R

T

R

W

Ka

bup

at

en

L

eb

(27)

Aturan penataan ruang dalam taman nasional terdapat dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Penataan ruang taman nasional diwujudkan dalam pembagian zona yang terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lain yakni tradisional, rehabilitasi, religi/budaya/ budaya, dan khusus. Penentuan zona didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Penataan ruang taman nasional bersifat dinamis dan dievaluasi secara reguler 3 tahun sekali. Zonasi kawasan TNGHS telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHKA N.142/IV-SET/2013 tanggal 9 April 2013.

Penataan ruang harus dilakukan pemerintah, termasuk pemerintah kabupaten sebagaimana mandat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Acuan yang digunakan untuk menyusun tata ruang wilayah kabupaten terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten. Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Keberadaan TNGHS dalam RTRW Kabupaten Taman Nasional merupakan bagian dari kawasan lindung strategis berdasarkan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup yang harus diakomodir dalam dokumen RTRW. Pemerintah Kabupaten Lebak telah menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2014-2034 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2014. Gambaran perbandingan penataan kawasan TNGHS di Kab. Lebak antara RTRW dan zonasi Balai TNGHS disajikan pada Gambar 4.

Selain penataan ruang oleh Pemkab Lebak dan Balai TNGHS, juga terdapat konsep ruang yang dipraktekkan masyarakat kasepuhan yang berdiam di sekitar kawasan TNGHS. Konsep ruang ini bersandar kepada istilah leuweung (hutan) yang merupakan sumber kehidupan, terdiri dari Leuweung Kolot/Leuweung geledegan (hutan tua), Leuweung titipan, Leuweung sampalan (hutan garapan yang dapat dibuka untuk pertanian atau pemukiman), Leuweung awisan (hutan cadangan untuk pemukiman dan pertanian) (Galudra 2003). Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang tentang Pengakuan, Perlindungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan, terdapat 6 pupuhu kasepuhan (pemimpin tertinggi yang berwenang menyelenggarakan fungsi adat) yakni Wewengkon Citorek, Guradog, Bayah, Wewengkon Sajira, Cicarucub, Cisungsang.

Penggunaan Lahan di TNGHS

(28)

Terdapat 128 kampung di TNGHS di Kabupaten Lebak yang terdiri dari 54 kampung bukan adat, 13 kampung kampung campuran masyarakat adat dan bukan adat, 51 kampung adat. Terdapat 5 tipologi yang mendeskripsikan lokasi pemukiman dengan cara akses sumberdaya alam di TNGHS (Moeliono et al. 2010).

Kegiatan ekonomi selain pertanian adalah pertambangan rakyat skala kecil yang disebut PETI (Penambangan Emas Tanpa Ijin). Istilah PETI merujuk pada 2 ciri yakni ilegal dan tidak ramah lingkungan (Aspinal 2001). Berdasarkan data Balai TNGHS terdapat 5 lokasi tempat penggalian di Kecamatan Lebak Gedong dan Kecamatan Cibeber. Berdasarkan analisis citra Tim Balai TNGHS, aktifitas tersebut mencapai luasan sebesar 893.87 hektar. Penelitian Sawitri dan Soebiandono tahun 2011 di Kecamatan Cibeber menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari kegiatan PETI lebih besar dibanding dari hasil pertanian. Masyarakat dengan mata pencaharian bidang pertanian dengan luas sawah ≥ 0.5 Ha rata-rata pendapatannya Rp 1.350.000,- per KK per bulan. Sementara di bidang pertambangan Rp 1.500.000,- per KK per bulan. Sawitri dan Soebiandono (2011) menyatakan bahwa masyarakat berharap potensi galian berupa emas dapat dibuka secara legal oleh pemerintah sehingga membuka kesempatan bekerja.

Berdasarkan data Planologi Kehutanan, sebelum perluasan TNGHS terdapat penggunaan area seluas 47_306 Ha untuk tujuan produksi kayu dengan fungsi Hutan Produksi dan seluas 17_830 Ha untuk tujuan perlindungan air dengan fungsi Hutan Lindung. Kedua area ini dikelola oleh Perum Perhutani.

Penggunaan lahan TNGHS untuk aktifitas pertanian dan permukiman telah menghasilkan deforestasi. Kajian tutupan dan penggunaan lahan antara 1989 sampai 2004 oleh Prasetyo et al. (2006) menyimpulkan bahwa terjadi laju kerusakan alam sebesar 1.3% per tahun dengan faktor penyebab dominannya kegiatan pertanian (ladang, kebun campuran, kebun karet dan sawah), dan memperkirakan bahwa hutan alam TNGHS yang tersisa pada tahun 2026 tinggal 30% dari luas TNGHS. Faktor peubah ekonomi dominan dalam penggunaan lahan TNGHS adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, perluasan lahan pertanian (Yatap 2008), jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan jarak terhadap jalan (Ilyas et al. 2014). Fragmentasi hutan dan terganggunya habitat satwa menjadi salah satu isu dalam dinamika penggunaan lahan Koridor yang menghubungkan kelompok hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak perlu mendapat perhatian lebih dari ancaman fragmentasi habitat agar menjamin keutuhanhomerange dan pergerakan satwa (Cahyadi 2003; Yumarni 2012; GHSNPMP-JICA 2005).

Konflik Kebijakan Ruang dan Penggunaan Lahan di TNGHS

(29)

disiplin dan perkembangan sejarahnya masing-masing. Konflik kebijakan ruang dan penggunaan lahan di TNGHS merupakan salah satu potret dari sejumlah persoalan umum tata ruang kehutanan di Indonesia. Konflik tersebut berkaitan dengan (1) tujuan pemerintah lokal untuk menggali pendapatan daerah, (2) perbedaan prioritas antara masyarakat lokal, nasional dan internasional dalam perlindungan spesies dan kawasannya, dan (3) masyarakat lokal membutuhkan hak atas tanah, keleluasaan mengelola hutannya, pembagian manfaat (Wollenberg et al. 2008). Persoalan tata ruang kehutanan di TNGHS salah satunya disebabkan adanya kelalaian Kementerian Kehutanan dalam mempersiapkan suatu produk kebijakan ruang, terbukti dalam selang 24 hari terbit dua keputusan menteri tentang TNGHS dengan luas yang berbeda (Suer Suryadi SH 5 April 2016, komunikasi pribadi).

Persoalan mendasar penggunaan lahan di TNGHS adalah pemerintah yang tidak menyadari bahwa konflik tenurial antara masyarakat lokal yang mengelola hutan untuk tanaman dan tempat tinggal mereka, dengan taman nasional, yang didukung oleh hukum negara untuk mengelolanya sebagai kawasan konservasi, belum tuntas (Galudra 2005). Konflik lahan di TNGHS terdiri dari pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan ketidaksesuaian kebijakan antara tata ruang kabupaten dengan zonasi kawasan TNGHS (Kurniawanet al. 2013). Upaya konservasi yang mencoba “menghilangkan” aspek manusia akan terus mengalami tekanan (Moeliono et al. 2010). Adimihardja (2007) dalam Hendarti (2013) berpendapat sistem pengetahuan lokal dan teknologi yang dikuasai masyarakat TNGHS harus teridentifikasi oleh pengelola kawasan konservasi dalam model pengelolaan hutan.

Setiap orang atau kelompok kepentingan memiliki pandangan sendiri terhadap fakta dan nilai suatu lahan atau lanskap yang sedemikian rupa berpengaruh dalam memperlakukannya. Pada suatu lanskap yang sama, dapat terjadi perbedaan cara memahami lahan. Konflik dalam perencanaan wilayah merupakan efek ketidaksepakatan terhadap fakta yang berarti konflik pengetahuan, dan ketidaksepakatan nilai yang berarti konflik kepentingan (Obmeyer 1994 dalam Dawwas 2014).

(30)

Konsep Penggunaan Lahan

Analisis tutupan dan penggunaan lahan merupakan tahapan awal untuk memahami keruangan suatu area atau objek penelitian. Tutupan lahan adalah kondisi kenampakan biofisik permukaan bumi yang diamati. Penggunaan lahan adalah segala bentuk intervensi manusia terhadap sumber daya alam dan buatan untuk memenuhi kebutuhan materi atau spiritual (Vinks 1975). Konsep penggunaan lahan lahir dari kelangkaan lahan yang mendorong manusia kepada dua pilihan: mencari lahan baru atau melakukan pengaturan terhadap lahan yang ada. Penggunaan lahan adalah pengaturan, kegiatan dan input terhadap jenis tutupan lahan tertentu untuk menghasilkan sesuatu, mengubah atau mempertahankannya (Di Gregorio dan Jansen 1998).

Konsep penggunaan lahan lebih komplek dibanding penutupan lahan. penggunaan lahan ditentukan ditentukan oleh faktor alam, ekonomi, kelembagaan, budaya dan hukum (Jansen 2005). Tidak ada klasifikasi penggunaan lahan yang ideal (Andersen et al. 1976). FAO mengembangkan konsep tutupan/penggunaan lahan berdasarkan tahap dikotomi vegetasi-non vegetasi dan tahap pendetilan melalui beberapaclassifieryang merujuk kelas utamanya (Di Gregorio dan Jansen 2002). Beberapa klasifikasi yang dikembangkan di Indonesia antara lain oleh SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan, SNI 19-6728.2-2002 tentang sumber daya hutan spasial, 19-6728.3-2002 tentang sumber daya lahan spasial, Kamus Data Spasial Kehutanan oleh Departemen Kehutanan (2009) dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1997 tentang Pemetaan Penggunaan Tanah Perdesaan, Penggunaan Tanah Perkotaan, Kemampuan Tanah dan Penggunaan Simbol/warna untuk penyajian dalam peta.

Jansen dan Di Gregorio mengajukan pendekatan fungsi dan aktifitas sebagai cara mendeskripsikan penutupan dan penggunaan lahan. Pendekatan fungsi menggambarkan penggunaan lahan dalam konteks ekonomi yang menjawab untuk apa lahan digunakan. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk deskripsi sektoral penggunaan lahan (misalnya pertanian, kehutanan, perikanan dan lain-lain). Suatu jenis penggunaan lahan dapat digabung meskipun tidak memiliki karakteristik yang berbeda tapi melayani tujuan yang sama. Sebagai contoh, jenis penggunaan lahan "pertanian" dapat terdiri dari sawah, tambak dan peternakan. Pendekatan aktifitas menjelaskan apa yang secara aktual dan fisikal suatu lahan digunakan. Kegiatan ini didefinisikan sebagai "kombinasi dari tindakan yang menghasilkan jenis produk tertentu" (United Nation 1989 dalam Jansen dan Di Gregorio 2002). Pendekatan aktifitas mengacu pada suatu proses. Beberapa jenis penggunaan lahan digabungkan dalam satu kelas karena ditujukan untuk aktifitas tunggal. Sebagai contoh, komplek perumahan karyawan perkebunan, jalan dan lahan terbangun lainnya serta lahan perkebunannya itu sendiri dapat digabung dalam satu kelas pertanian (Jansen dan Di Gregorio 2002).

(31)

dari vegetasi, lahan terbangun dan tanah. Dinamika perubahan lahan merupakan perubahan komposisi diantara ketiga jenis tutupan tersebut. Ridd menyatakan bahwa VIS merupakan framework yang dapat menjadi dasar standarisasi parameter komposisi biofisik urban lanskap. Lebih jauh model VIS dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan dan pertumbuhan kota, analisis impak urbanisasi, menginvestigasi hubungan energi dan air, dan dimensi analisis ekosistem manusia di suatu tempat. Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) merumuskan konsep penutupan dan penggunaan lahan Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU) yang terdiri dari 7 kelas (forestland, grassland, cropland, wetland, othersland, settlement, others) dengan tujuan mengukur simpanan karbon (IPCC 2006. 2006). Odum (1969) mengembangkan konsep strategi pengelolaan ekosistem dengan membagi wilayah ke dalam zona perlindungan, zona produksi, zona permukiman dan zona kompromi. Konsep Odum ini merupakan interpretasi atas pentingnya pengaturan penggunaan lahan. SNI 19-6728.3-2002 tentang sumber daya lahan spasial merumuskan kelas penggunaan lahan berdasarkan atribut kondisi (1) tutupan/penggunaan lahan, (2) status penguasaan yang mengacu UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dan (3) fungsi kawasan yang mengacu Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Analisis Multi Kriteria Spasial

Analisis multi kriteria menawarkan kerangka perencanaan pengelolaan sumber daya alam karena menjembatani paradigma perencanaan kualitatif dan paradigma kuantitatif, sesuai dengan kompleksitas yang melekat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pendekatan analisis multi kriteria dapat mengakomodir komponen ekologi, biofisik, sosial, dan menangkap keragaman pandangan, masalah dan tujuan dari para pemangku kepentingan (Mendoza dan Martin 2006). Analisis Multi Kriteria Spasial adalah prosedur yang menggabungkan data geografi (peta input) dan preferensi pembuat keputusan (expert/agent) menjadi peta keputusan. Multi kriteria mencoba menjawab persoalan-persoalan yang kompleks dan melibatkan banyak pihak (Malczweki dan Rinner 2015). Tehnik SIG (Sistem Informasi Geografi) menyediakan informasi spasial dan tehnik Analisis Multi Kriteria untuk membantu mengurangi perbedaan pendapat mengenai nilai-nilai diantara kelompok kepentingan yang berkonflik (Jankowski dan Nyegers, 2001 dalam Arafatet al. 2010). Penggabungan ini telah meningkatkan kemampuan SIG berpartisipasi dalam resolusi konflik sebagaimana dinyatakan Malczewski (2004) “GIS is seen as a tool for plan-making with the public, rather than for the public”.

Land Use Conflict Identification Strategy (LUCIS)

(32)

mengembangkan strategi pembangunan ekosistem dengan menyusun empat kelas penggunaan lahan menurut kebutuhan dasar manusia: (1) productive, (2) protective, (3) urban/industrial dan (4) compromise (Odum 1969). Empat kelas ini menjadi dasar klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan metode LUCIS. Lahan pertanian penghasil pangan, serat dan minyak berhubungan dengan kelas productive, aktifitas manusia dalam bentuk permukiman, ekonomi dan industri berhubungan dengan kelas urban/industrial dan gabungan konservasi dan compromise berhubungan dengan kelas protective. Kelas compromise tidak digunakan untuk meningkatkan kontras diantara tiga tujuan penggunaan lahan sebagaimana pada Gambar 5.

Gambar 5. (a) Model kompartemen ruang berdasarkan kebutuhan dasar manusia menurut Odum (1969). (b) Model LUCIS yang dikembangkan Carr dan Zwick (2005) berdasarkan Odum.

Tahapan dalam metode LUCIS terdiri dari 5 langkah sebagai berikut:

1. Menetapkan tujuan dan sasaran yang menjadi kriteria dan indikator penggunaan lahan

“Tujuan dan sasaran” adalah istilah yang mengandung setidaknya tiga elemen tersusun hirarkhis yakni pernyataan maksud (statement of intent), tujuan (goals), dan sasaran yang mendukung pencapaian tujuan (supporting objectives). Tujuan dan sasaran merupakan set penyataan berhirarkhi yang menentukan apa yang akan dicapai atau diidentifikasi, dan menentukan bagaimana mencapai masing-masing tujuan (Carr dan Zwick 2005). Dalam konsep multi kriteria analisis, tujuan dan sasaran dimaksud dapat mengunakan istilah kriteria dan indikator. Tujuan dan sasaran penggunaan lahan menurut metode LUCIS terdiri pertanian, konservasi, permukiman/industri sebagaimana Tabel 2.

2. Inventori data

[image:32.612.125.508.225.381.2]
(33)

3. Menganalisis data untuk setiap tujuan penggunaan lahan

[image:33.612.103.507.186.775.2]

Menganalisis data untuk membuat peta masing-masing tujuan. Carr dan Zwick menggunakan tehnik AHP untuk mendapatkan bobot setiap kriteria dan indikator. Tehnik AHP memiliki potensi yang mendukung partisipasi lebih lebar dari ahli, pemuka masyarakat dan parapihak yang terlibat konflik (Malczewski 2000; Saaty 1980 dalam Carr dan Zwick 2005). Setiap peta dikelompokkan menjadi tiga kelas: High (H), Moderate (M), Low (L).

Tabel 2. Tujuan dan sasaran menurut metode LUCIS (Carr dan Zwick 2005) Permukiman Agricultural Goals Conservation Goals

• Pembangunan perumahan

• Pembangunan

perkantoran/fasilitas kegiatan komersial

• Pembangunan industri menengah dan besar

• Pertanian

• Perkebunan

• Persemaian

• Hutan tanaman

• Peternakan

• Penggembalaan

• Perikanan

• Keanekaragaman hayati

• Penyediaan air konsumsi

• Area resapan air

• Pengendalian kebakaran

• Siklus nutrisi

• Pengendalian banjir dan erosi

• Konektivitas ekologi

4. Menggabungkan peta tujuan penggunaan lahan

Penggabungan ketiga peta kelas untuk mendapatkan gambaran peta konflik. Setiap area akan memiliki atribut gabungan 3 huruf yang merupakan kombinasi dari High (H), Moderate (M), Low (L).

5. Mengidentifikasi konflik

Mengidentifikasi area konflik sesuai atribut konflik sebagaimana Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi konflik area menurut preferensi tujuan penggunaan lahan

untuk konservasi, permukiman dan pertanian (Carr dan Zwick 2005)

Code Description Code Description

LLL All in conflict, all low preference LLM Agricultural preference dominates

LMM Moderate urban preference conflicts with

moderate agricultural preference LLH Agricultural preference dominates

LHH High urban preference conflicts with high

agricultural preference LML Urban preference dominates

MHH High urban preference conflicts with high

agricultural preference LMH Agricultural preference dominates

MML Moderate conservation preference conflicts

with moderate urban preference LHL Urban preference dominates

MLM Moderate conservation preference conflicts

with moderate urban preference LHM Urban preference dominates MMM All in conflict, all moderate preference MLL Conservation preference dominates

HLH High conservation preference conflicts with

high agricultural preference MLH Agricultural preference dominates

HMH High conservation preference conflicts with

high agricultural preference MMH Agricultural preference dominates

HHL High conservation preference conflicts with

high urban preference MHL Urban preference dominates

HHM High conservation preference conflicts with

high urban preference MHM Urban preference dominates HHH All in conflict, all high preference HLL Conservation preference dominates Keterangan: Huruf pertama untuk Conservation, huruf kedua untukUrban, huruf ketiga untuk

(34)

Analytical Hierarchy Process (AHP)

Tehnik AHP dikembangkan Thomas L. Saaty, professor matematika Universitas Pittsburg, Pennsylvania Amerika Serikat. Antara tahun 1963-1969 Saaty bekerja diArms Control and Disarmament Agency (ACDA)Departement of State di Washington dan bertugas mengembangkan riset untuk resolusi konflik dan tehnik negosiasi dengan Uni Soviet dalam rangka mengurangi senjata nuklir. Problem utama yang dijumpai adalah bahwa para negosiator kesulitan menerapkan hasil-hasil riset para sarjana yang bekerja di badan tersebut. Saaty mengembangkan tool yang kemudian dinamakan AHP yang dapat menjembatani tipe keputusan yang bersifat intuitif dan analitik sehingga dapat digunakan para negosiator mendampingi beberapa kelompok pembuat keputusan (Saaty 2008).

Saaty (2008) menyatakan bahwa AHP merupakan kerangka logis dan alat pemecahan masalah yang mengintegrasikan dan mengorganisir persepsi, perasaaan, memori menjadi sebuah hirarki pengambilan keputusan. AHP didasarkan pada kemampuan alami manusia dalam menggunakan informasi dan pengalaman untuk memperkirakan besaran relatif melalui perbandingan berpasangan. Perbandingan ini digunakan untuk membangun skala rasio pada berbagai dimensi baik yang bersifat tangible danintangible. Terdapat 4 aksioma dalam AHP yaitu (Saaty 1987):

1. Reciprocal relation, Preferensi nilai suatu elemen memenuhi unsur reciprocity. Misalkan, jika A dinilai 2 kali lipat dari B maka nilai B terhadap A adalah 1/2.

2. Homogeneous elements, elemen yang diperbandingkan adalah homogen dalam satu klaster. Jika tidak, harus dipecah atau didekomposisi menjadi klaster yang baru.

3. Hierarchic and systems dependence, perbandingan antar elemen di satu level dipengaruhi atau memiliki ketergantungan kepada level diatasnya. 4. Expectations, Struktur hirarki yang dibangun diasumsikan lengkap, atau

proses pengambilan keputusan dinyatakan menggunakan batasan-batasan tertentu.

Tahapan AHP secara berurut sebagai berikut (Saaty 2008):

1. Mendefinisikan masalah dan jenis-jenis variabelnya melalui dekomposisi menjadi beberapa elemen sehingga didapat satu atau beberapa tingkatan hirarkhi.

2. Membangun set matriks berpasangan (pairwise comparison) pada setiap elemen yang mengandung set alternative.

3. memberikan bobot nilai Comparative judgement) kepada masing-masing set matriks berpasangan. Berdasarkan hasil studi-studi psikologi, seseorang tidak dapat secara konsisten membandingkan alternatif lebih dari 7±2 elemen. Saaty menyarankan kisaran 1-9 untuk mendeskripsikan nilai kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain.

4. Proses menentukan prioritas (Synthesis of priority) elemen-elemen pada suatu level atau pada setiap matriks perbandingan berpasangan dengan menghitung nilai vektor prioritas (eigenvektor).

(35)

merupakan prinsip rasionalitas AHP. Input AHP berupa persepsi manusia yang didasarkan pada pada kombinasi logika, intuisi dan perasaan dimana inkonsistensi dapat terjadi. Oleh karena itu Saaty mendefinisikan rasionalisasi AHP adalah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup atau memiliki akses terhadap kedua hal tersebut. Metode AHP menerima fakta inkonsistensi tersebut namun membatasinya tidak boleh lebih dari 10%.

Saaty menyarankan penerapan AHP sebagai pendekatan resolusi konflik (Saaty 1996 dalam Bahurmoz 2006). AHP telah diimplementasikan pada konflik politik apartheid di Afrika Selatan, konflik Malvinas (Falklands), negosiasi perdagangan bebas Kanada-Amerika, konflik Punjab di India, dan konflik di Irlandia Utara (Saaty 1988). AHP merupakan tehnik win-win management ketika prosedur arbitrase kerap mengarahkan solusi yang bersifat lebih menguntungkan satu pihak (Bahurmoz 2006; Osuna dan Coello 2001).

Pengukuran Agregasi Pendapat

Tingkat agregasi pendapat atau persetujuan atau konsensus dapat diidentifikasi dan dinyatakan secara kuantitatif dalam berbagai tehnik. Beberapa yang dapat disebut antara lain tehnik Delphi, Statistik Kappa dan Content Validity. Deskripsi statistik tingkat agregasi pendapat atau persetujuan dapat dinyatakan dalam modus, mean, median, rating/ranking, standar deviasi, koefisien variasi (Von der Grach 2012). Tehnik yang paling sederhana dan mudah difahami adalah menyajikan dalam prosentase (Houseet al.1981) sebagai berikut:

100

% x

setuju tidak setuju

setuju setuju

+ =

Tehnik Delphi bertujuan “to obtain the most reliable consensus of opinion of

a group of expert”(Dalkey dan Helmer 1963). Prosedur delphi terdiri dari 3 fitur yakni (1) Anonymous response (2) Iteration and controlled feedback (3) Statistical group response. Rasionalisasi prosedur Delphi berdasarkan adagium “two heads are better than one head” (Dalkey 1969). Anonimitas narasumber ditujukan untuk menghindari bias atau dominasi pendapat oleh salah satu narasumber. Seluruh pendapat narasumber direkapitulasi dan dipresentasikan dalam deskripsi statistik (nilai tengah, nilai rata-rata atau simpangan baku). Hasil pada putaran pertama ini diberikan kembali (feedback) kepada narasumber untuk proses putaran kedua. Berdasarkan hasil rekapitulasi, narasumber dapat mencermati ulang, merubah, menambahkan, atau memperbaiki pendapatnya.

Jaccob Cohen mengembangkan Statistik Kappa tahun 1960 untuk mengukur tingkat persetujuan pada skala nominal. Nilai Kappa berada antara 1 dan -1. Nilai 1 yang menunjukkan kesepakatan mutlak antara 2 penilai di antara para penilai (Cohen 1960). Statistik Kappa dibatasi hanya untuk dua narasumber penilai (Fleiss 1971). Fleiss mengembangkan pengukuran agregasi pendapat yang melibatkan lebih dari dua narasumber dan dikenal dengan nama Kappa’s Fleiss.

(36)

untuk merumuskan job description dan kualifikasi seseorang melalui hubungan antara curriculum content validity danjob content validity. Sejumlah narasumber yang disebut content evaluation panel melakukan voting dengan memilih salah satu jawaban pada setiap pertanyaan dalam skala nominal: Essential, Usefull but not essential, Not necessary. Penghitungan CVR memfokuskan kepada jawaban “essential”. Rumus CVR sebagai berikut:

2 2 N

N n CVR= e

ne= Jumlah jawabanEssential terhadap suatu pertanyaan.

N = Jumlah seluruh jawaban terhadap suatu pertanyaan.

(37)

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015 - Februari 2016. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah TNGHS yang berada di Kabupaten Lebak. Secara administrasi pemerintahan terletak pada 10 kecamatan dengan luas 45 170.50 Ha (Zonasi TNGHS 2013). Secara geografis terletak pada 106o12’17” - 106o31’34” Bujur Timur dan 6o32’40”- 6048’52” Lintang Selatan.

[image:37.612.104.482.341.609.2]

Penelitian dilakukan di kawasan TNGHS di Kabupaten Lebak yang batasnya mengacu kepada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 Tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas ±113_357 (Seratus Tiga Belas Ribu Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh) Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Berdasarkan dokumen Zonasi TNGHS, luas di Kabupaten Lebak adalah 45_170.5 Ha. Berdasarkan data digital luas kawasan adalah 45_144.60 Ha. Luas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan luas digital.Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Lokasi penelitian di TNGHS Kabupaten Lebak

(38)

menurut versi Pemda Kabupaten Lebak adalah 15_767.10 Ha dan menurut versi Balai TNGHS adalah 45_144.60 Ha. Penyesuaian angka luasan TNGHS merupakan kasus yang berada di luar otoritas dan kapasitas peneliti. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan demi kemudahan analisis, luas TNGHS Kabupaten Lebak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 45_144.60 Ha.

Bahan dan Alat Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian bersumber dari beberapa lembaga antara lain Balai TNGHS, Badan Planologi Kehutanan dan beberapa instansi Pemda Kabupaten Lebak. Bahan berupa data spasial dan teks. Data spasial menjadi bahan utama dalam analisis multi kriteria spasial. Data teks berupa dokumen perencanaan menjadi bahan kajian merumuskan isu-isu strategis pengelolaan kawasan pasca konflik kebijakan ruang. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peta zonasi TNGHS dari Balai TN Gunung Halimun Salak.

2. Peta RTRW dan peta-peta tematik lainnya yang menjadi dasar pembuatan peta pola ruang dan struktur ruang dari Bappeda Kabupaten Lebak.

3. Citra satelit Landsat 8 liputan tahun 2014 diunduh dari http://www.usgs.gov. 4. DEM SRTM 30 M untuk pembuatan peta kelerengan, diunduh dari

http://glcfapp.glcf.umd.edu:8080/esdi/index.jsp

5. Dokumen Perencanaan dari Balai TNGHS dan Pemerintah Kabupaten Lebak yang berkaitan dengan konservasi, pertanian dan permukiman yakni:

a. Dokumen perencanaan dari Balai TNGHS:

1) Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) 2007-2026

2) Buku Zonasi TN Gunung Halimun Salak Tahun 2013.

b. Dokumen perencanaan dari Pemerintah Kabupaten Lebak, meliputi: 1) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak 2014-2034

2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lebak Tahun 2014–2019

3) Rencana Strategis 2014-2019 Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 4) Rencana Strategis 2014-2019 Dinas Pertanian.

5) Rencana Strategis 2014-2019 Dinas Sumber Daya Air.

6) Rencana Strategis 2014-2019 Dinas Pertambangan dan Energi. 7) Rencana Strategis 2014-2019 Dinas Cipta Karya.

8) Rencana Strategis 2014-2019 Dinas Bina Marga. Alat

Beberapa peralatan digunakan untuk mendukung pengumpulan data pada saat survey lapangan maupun wawancara, dan memudahkan proses analisis. Alat yagn digunakan meliputi perangkat keras, perangkat lunak dan kuesioner, yaitu: 1. Perangkat keras: Alat perekam, kamera, Pesawat GPS, komputer untuk

pengolahan dan penyimpanan data.

2. Perangkat lunak: Aplikasi ArcGIS untuk pengolahan data spasial dan Ms-Excel untuk pengolahan data tabular.

(39)

Tehnik Pengumpulan Data

Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Jenis data terdiri dari data tabular, data teks, data gambar, data spasial dan hasil wawancara. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber data. Data Sekunder diperoleh dari berbagai sumber baik berbentuk maupunsoftcopy yang meliputi hasil penelitian, laporan, peta, artikel, jurnal, surat kedinasan, buku, dan lain-lain. Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran disajikan pada Tabel 4. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, wawancara dan observasi. Ketiga tehnik ini ditujukan untuk:

1. Menggali fakta dan data mengenai konflik penggunaan lahan. Proses wawancara dilakukan melalui diskusi terfokus dan pemetaan partisipatif. Proses pemetaan partisipatif berfungsi juga sebagai konfirmasi yang menggantikan groundcheck pada lokasi yang tidak dapat dikunjungi. Observasi dilakukan untuk mengetahui fakta di lapangan, mengkonfirmasi hasil wawancara dan studi literatur serta groundcheck hasil analisis pada lokasi-lokasi yang memungkinkan dijangkau.

2. Menghimpun kriteria dan indikator penggunaan lahan untuk konservasi, pertanian, permukiman dan pertambangan.

3. Mendapatkan pandangan narasumber dalam bentuk kuantitatif berupa nilai bobot kriteria dan indikator, dan dalam bentuk kualitatif berupa isu-isu strategis dalam pengelolaan konflik penggunaan lahan di area penelitian.

Kelompok Narasumber

(40)
[image:40.792.35.738.107.568.2]

Tabel 4. Jenis data, sumber, teknik dan keluaran penelitian

Tujuan Jenis Data Sumber Teknik Keluaran

1. Memetakan konflik penggunaan lahan antara tujuan konservasi dengan tujuan pertanian, permukiman dan pertambangan di TNGHS Lebak a) Mengidentifikasi penutupan/

penggunaan Lahan

• Citra landsat 8 liputan tahun 2014

http://www.usgs.gov •Interpretasi visual

•Observasi dan wawancara

Peta tutupan/penggunaan lahan tahun 2014 b) Menyusun kriteria indikator

untuk tujuan konservasi, pertanian, permukiman dan pertambangan

•Set kriteria dan indikator

•Data spasial tematik

• Bappeda Kab. Lebak

• Balai TNGHS

• Dinas Pertambangan dan Energi Kab. Lebak

• Forum Pemerhati Macan tutul Jawa

• Narasumber

•Studi literatur

•Observasi dan wawancara

• Struktur multi kriteria dan indikator penggunaan lahan masing-masing tujuan

• Peta verifikator masing-masing kriteria dan indikator

c) Menentukan bobot kriteria dan indikator

•Kuesioner • Narasumber Balai TNGHS

• Narasumber Pemda Lebak

•AHP

•Wawancara

• Bobot masing-masing kriteria penggunaan lahan untuk tujuan konservasi pertanian, permukiman dan pembangunan

d) Mengidentifikasi konflik penggunaan lahan antara tujuan konservasi dan pengembangan wilayah

•Nilai bobot kriteria

•Peta verifikator

• Keluaran 1.a, 1.b dan 1.c

•Analisis Multi Kriteria dengan tehnik Weighted Linear Combination (WLC)

•Adaptasi Metode LUCIS

• Peta konflik Preferensi penggunaan lahan

• Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan

2. Merumuskan isu strategis pengelolaan konflik penggunan lahan

• Peta konflik preferensi

• Dokumen perencanaan parapihak

• Wawancara dan Kuesioner

• Keluaran 1.d

• Narasumber Balai TNGHS, Pemda Lebak dan narasumber ahli

•Observasi

•Wawancara

•Tehnik Content Validity Ratio (CVR)

•Daftar isu pengelolaan

•kelompok isu strategis

3. Menyusun arahan pengelolaan

• Peta konflik preferensi

• Isu strategis pengelolaan

• Keluaran tahap 1d

• Keluaran tahap 2

•Adaptasi Metode LUCIS

•Analisis deskriptif

(41)
[image:41.612.78.477.71.774.2]

Tabel 5. Daftar kelompok narasumber

No Narasumber Keterangan

A. Pemda Kabupaten Lebak

1 Suhendro, ST Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Pengembangan Wilayah Dan Prasarana BAPPEDA Kab. Lebak, Anggota Tim IP4T 2 Nurul Hakim, S.hut, MSc Kepala Bidang Perencanaan Strategis

BAPPEDA Kab. Lebak 3 Helmi Arief Gunawan, SE,

MM

Kepala Sub Bidang Perencanaan Pembangunan Permukiman dan Prasarana Wilayah

BAPPEDA Kab. Lebak

4 Dasep Novian, ST, MM Kepala Sub Bidang Pengusahaan,

Pertambangan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lebak

5 Idat Hadiat, S.Hut Kepala Bidang Perencanaan dan Evaluasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Lebak 6 Iman Nurzaman Fasa, SP Kepala Sub Bidang Perencanaan Dinas

Pertanian Kab. Lebak

B. Narasumber Balai TNGHS

7 Nurfaizin, S.Hut Ketua Tim Penataan zonasi TN Gunung Halimun Salak

8 Wardi Septiana, S.Hut Sekretaris Tim Penataan zonasi TN Gunung Halimun Salak

9 Misbah Satria Giri A.Md, Anggota Tim Penataan zonasi TN Gunung Halimun Salak

10 Iwan Ridwan Anggota Tim Penataan zonasi TN Gunung Halimun Salak

C. Narasumber Ahli

11 Drs. Suer Suryadi, M.Si, SH Praktisi hukum dan praktisi konservasi

12 Dr. Herwasono Soedjito, M.Sc Ketua Tim Terpadu Perubahan Fungsi TNGHS tahun 2012, Peneliti bidang Ekologi Hutan dan Ekologi Manusia, LIPI.

13 Ir. Wiratno, M.Sc Ketua Tim Teknis Kajian usulan Pengurangan perluasan TNGHS Blok Cirotan dan Blok Cimari Kecamatan Cibeber dan Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak (2009), Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

14 Nia Ramdhaniaty, S.Hut, M.Si Direktur Eksekutif RMI (Rimbawan Muda Indonesia), aktif dalam penguatan kelembagaan adat masyarakat Kasepuhan Banten Kidul 15 Charis Kaddafi Ketua Komisi Transparansi dan Partisipasi

Kab. Lebak periode 2005-2008, Kepala Sekolah Me

Gambar

Gambar 5. (a) Model kompartemen ruang berdasarkan kebutuhan dasar manusia
Tabel 2. Tujuan dan sasaran menurut metode LUCIS (Carr dan Zwick 2005)
Gambar 6. Lokasi penelitian di TNGHS Kabupaten Lebak
Tabel 4. Jenis data, sumber, teknik dan keluaran penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telur yang masih baru kemudian diawetkan dengan larutan ekstrak kulit manggis , sesuai dengan perlakuan tertentu dan kemudian dianalisa untuk menentukan nilai haugh

disimpan juga dalam pemesanan data store, memberikan konfirmasi pembatalan yang telah diminta oleh member dan kemudian datanya diberikan kepada admin, memberikan konfirmasi

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh content, bentuk, dan media komunikasi terhadap kesuksesan proyek IT di Bank ABC

Penerapan teknologi yang bersifat intern merupakan penerapan teknologi untuk menunjang kinerja pegawai kejaksaan RI baik itu Jaksa maupun pegawai tata usaha dalam

Di samping kekangan dari pembaca sasaran yang luas dan nilai kesusasteraan yang tinggi, kajian mendapati bahawa cabaran utama yang mendasari terjemahan teks suci Bible dan al-Quran

16 dengan konsentrasi merkuri di setiap titik pengambilan sampel, terlihat bahwa tingkat pencemaran merkuri pada titik pengambilan sampel III dan V relatif meningkat seiring

3. Peneliti memberikan tes karakteristik kemampuan berpikir lntuitif kepada siswa gaya tipe juding. Peneliti memberi kesempatan kepada subjek untuk menyelesaikan lembar

tersebut diatas, PARA PIHAK setuju dan sepakat, bahwa PIHAK KEDUA bermaksud Akan Melaksanakan Pekerjaan Proyek Pengurugan Di Bandara Terminal 3 Juanda