• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Sitologi Biopsi Jarum Halus pada Cervical Adenopati yang Diduga Metastasis Karsinoma Nasofaring dalam Menentukan Kejadian Karsinoma Nasofaring pada Periode Januari – Desember 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kemampuan Sitologi Biopsi Jarum Halus pada Cervical Adenopati yang Diduga Metastasis Karsinoma Nasofaring dalam Menentukan Kejadian Karsinoma Nasofaring pada Periode Januari – Desember 2012"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Loh Boon Hon

Tempat/Tanggal Lahir : Malaysia / 16 December 1990

Agama : Buddha

Alamat : 26 Tmn Bahagia Baru, Jln Bahagia 22, 28000 Temerloh, Pahang, Malaysia

Riwayat Pendidikan : 1. Tadika Bahagia 1995

2. SRK Bahagia 1996

4. SM Seri Bahagia 2005

5. Fakultas Kedokteran USU 2010 Riwayat Pelatihan :

(2)
(3)
(4)
(5)

Lampiran 5

Hasil Analisa Data SPSS

Bilangan Pasien dengan Pembesaran

KGB leher

Pasien dengan Hasil Sitologi dengan Dugaan

KNF

Pasien yang Dilakukan Histopatologi

Pasien yang positif KNF

231 23 6 5

Pemeriksaan Histopatologi

Frekuensi Persentase

Tidak Ada 17 74.0

KNF 5 21.7

Radang Nonspesifik 1 4.3

Total 23 100.0

Pemeriksaan Histopatologi

Frekuensi Persentase

Tidak Ada 17 74.0

KNF 5 21.7

Radang Nonspesifik 1 4.3

(6)

KEMAMPUAN SITOLOGI BIOPSI JARUM HALUS PADA SERVIKAL ADENOPATI YANG DIDUGA METASTASIS KARSINOMA NASOFARING DALAM MENENTUKAN KEJADIAN KARSINOMA

NASOFARING PADA PERIODE JANUARI – DESEMBER 2012

Oleh : LOH BOON HON

100100411

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

KEMAMPUAN SITOLOGI BIOPSI JARUM HALUS PADA SERVIKAL ADENOPATI YANG DIDUGA METASTASIS KARSINOMA NASOFARING

DALAM MENENTUKAN KEJADIAN KARSINOMA NASOFARING PADA PERIODE JANUARI – DESEMBER 2013

KARYA TULIS ILMIAH

“ Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran ”

Oleh : LOH BOON HON

100100411

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

LEMBAR PENGESAHAN

KEMAMPUAN SITOLOGI BIOPSI JARUM HALUS PADA SERVIKAL ADENOPATI YANG DIDUGA METASTASIS KARSINOMA NASOFARING DALAM MENENTUKAN KEJADIAN KARSINOMA NASOFARING PADA PERIODE JANUARI – DESEMBER 2012

Nama : LOH BOON HON

NIM : 100100411

Pembimbing

(dr. T Ibnu Alferraly, Sp. PA)

Penguji I

(dr. Siska Mayasari Lubis, M.Ked(Ped), Sp. A)

Medan, 23 Desember 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001

NIP: 1962 0212 1989 11 1 001

(9)

ABSTRAK

Insidensi kasus karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia dilaporkan sebagai 5,7 per 100.000 orang pada pria dan 1,9 per 100.000 orang pada wanita. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher merupakan gejala dini yang selalu dijumpai pada pasien – pasien ini. Walaupun begitu, kasus – kasus yang sering ditemui di RSUP Adam Malik merupakan kasus KNF pada stadium III (35,8%) dan stadium IV (49,7%) di mana 89,4% pasien ini datang dengan keluhan benjolan di KGB leher. Pada kanker payudara, sitologi biopsi jarum halus (SIBAJAH) pada KGB axilla telah digunakan sebagai penyaring untuk mengetahui stadium keganasan sebelum pembedahan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan SIBAJAH pada cervical adenopathy yang diduga metastase KNF dalam menentukan kejadian KNF di Departemen Patologi Anatomi FK-USU.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan melihat data dari rekam medis di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Jumlah sampel yang didapat adalah sebanyak 23 orang di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hasilnya, 23 kasus yang ditemukan hanya 6 kasus yang telah dilakukan pemeriksaan biopsi histopatologi. Hasil menunjukkan teknik SIBAJAH bisa mendeteksi 5 kasus KNF dengan satu kasus dilaporkan sebagai positif palsu. Sebanyak 74,0% pasien –pasien yang dicuriga KNF tidak menjalankan pemeriksaan biopsi histopatologi. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk penegakan diagnosa kasus KNF mengambil waktu rata-rata 7 bulan.

Dalam penghitungan sensitivitas secara sederhana, SIBAJAH mempunyai sensitivitas 100,0%. Ini menunjukkan bahwa pemeriksaan SIBAJAH sudah cukup baik sebagai alat penyaringan kasus KNF. Namun penghitungan nilai sensitivitas ini masih sederhana dan penelitian yang lebih baik perlu diadakan.

(10)

ABSTRACT

The incidence of nasopharyngeal carcinoma (NPC) in Indonesia is reported to be 5.7 per 100,000 for males and 1.9 per 100,000 for females. The swelling of neck lymph nodes is one of the earliest symptom seen in these patients. Despite that, the cases found in RSUP Adam Malik are mostly stage III (35.8%) and stage IV (49.7%) with 89.4% of these patients with neck lymph nodes swelling as their chief complaint. In breast cancer, fine needle aspiration biopsy (FNAB) has been used as a screening device to determine the staging of the disease before surgery. Therefore the objective of this research is to identify the FNAB ability to identify NPC metastasis to the neck lymph nodes. This research is a descriptive study. Data were collected from medical records in Departemen Patologi FK USU.

The number of samples obtained was 23. Out of the 23 cases, only six were found to have undergone biopsy histopathology studies. The result has shown that FNAB is capable of detecting five NPC cases with one false positive. Around 74% of the patients with neck swelling have not been further examined with biopsy histopathology. The time taken for the patients to be diagnosed with NPC were found to be approximately 7 months.

A crude sensitivity calculation has shown that the FNAB has the sensitivity of 100%. This shows that the FNAB method is capable for the screening of NPC cases. Nevertheless, a better research should be implemented to determine the exact sensitivity value for the FNAB.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis hasil penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ” Kemampuan Sitologi Biopsi Jarum Halus pada Cervical Adenopati yang Diduga Metastasis Karsinoma Nasofaring dalam Menentukan Kejadian Karsinoma Nasofaring di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Periode Januari – Desember 2012”.

Dalam penyelesaian karya tulis hasil penelitian ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A(K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak dr. T Ibnu Alferraly, Sp.PA, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ibu dr. Siska Mayasari Lubis, M. Ked(Ped), Sp.A, selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

(12)

6. Yang terhomat Bapak dan Ibu orang tua serta keluarga besar yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama menuntu ilmu dan menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian studi dan juga penulisan karya tulis ilmiah ini.

8. Pihak-pihak lain yang ikut mendukung proses pembuatan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis hasil penelitian ini.

Medan, 7 Desember 2013

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi ... 5

2.2. Histologi ... 7

2.3. Etiologi... 8

2.3.1. Genetik ... 8

2.3.2. Lingkungan ... 9

2.3.3. Nikotin ... 10

2.3.4. Virus Epstein Barr ... 10

2.4. Patogenesis ... 11

2.5. Tumor Biologi ... 11

2.6. Diagnosa ... 13

2.6.1. Manifestasi Klinis ... 13

2.6.2. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Servikal ... 14

(14)

2.6.4. Radiologi ... 16

2.6.5. Serologi ... 17

2.6.6. Sitologi Biopsi Jarum Halus ... 17

2.7. Histopatologi ... 21

2.8. Klasifikasi TNM American Joint Committee on Cancer 2002 ... 25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 27

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 27

3.2. Defenisi Operasional ... 28

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1. Jenis Penelitian ... 30

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

4.3. Populasi dan Sampel ... 30

4.3.1. Populasi ... 30

4.3.2. Sampel ... 30

4.3.3. Besar Sampel ... 31

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 31

4.5. Pengelolahan dan Analisis Data... 31

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1. Hasil Penelitian ... 32

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 32

5.1.2. Karekteristik Subjek Penelitian ... 32

5.1.3. Proporsi Penderita Servikal Adenopati dengan Nasofaring Karsinoma ... 33

5.1.4. Perbandingan antara Hasil SIBAJAH dan Biopsi Histopatologi Nasofaring ... 33

5.1.5. Waktu yang diambil Oleh Penderita sebelum Bertemu Dokter ... 34

5.1.6. Waktu yang diambil untuk Melakukan Biopsi Histopatologi setelah SIBAJAH ... 34

(15)

5.2.1. Faktor – faktor Penyebab Pasien Tidak Melakukan

Pemeriksaan Biopsi Nasofaring ... 34

5.2.2. Faktor – faktor Penyebab Keterlambatan Penegakan Diagnosa KNF ... 36

5.2.3. Faktor – faktor Penyebab Perbedaan Antara Hasil SIBAJAH dan Histopatologi ... 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1. Kesimpulan ... 41

6.2. Saran ... 41

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2. Sistem Limfe Pada Bagian Servix ... 15

Gambar 2.3. Karsinoma sel skuamosa berkeratin diaspirasi pada KGB leher ... 18

Gambar 2.4. Sel skuamosa yang basaloid dan tidak berkeratin ... 19

Gambar 2.5. Hapusan sel skuamosa tidak berdiferensiasi dengan inti dan nukleoli membesar ... 20

Gambar 2.6. Karsinoma sel berkeratin ... 22

Gambar 2.7. Karsinoma sel tidak berkeratin ... 22

Gambar 2.8. Karsinoma tidak berdiferensiasi ... 23

Gambar 2.9. Sel skuamosa tidak berkeratin tipe differentiated ... 24

Gambar 2.10. Sel skuamosa tidak berkeratin tipe undifferentiated ... 24

Gambar 3.1. Kerangaka Konsep Penelitian ... 27

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tanda fisik pada penegakan diagnosa ... 14

Tabel 2.2. Insidens kejadian metastasis nodus limfe servikal yang berkait dengan karsinoma bagian traktus aerodigestive atas ... 15

Tabel 2.3. Definisi TNM pada Kanker Nasofaring ... 25

Tabel 2.4. Nodus Limfe Regional ... 25

Tabel 2.5. Kelompok Prognostik: Nasofaring ... 26

Tabel 5.1. Kasus – kasus yang ditemukan di Departemen Patologi Anatomi FK USU pada tahun 2012 ... 32

Tabel 5.2. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Disusun Berdasarkan Frekuensi dan Persentase ... 33

Tabel 5.3. Penghitungan sederhana nilai sensitivitas metode SIBAJAH ... 34

Tabel 5.4. Waktu yang diambil Oleh Penderita sebelum Bertemu Dokter ... 34

(18)

DAFTAR SINGKATAN

AJCC : American Joint Committee on Cancer

CT : Computed Tomography

EBV : Ebstein Barr Virus

FNAB : Fine needle aspiration biopsy

IgA : Immunoglobulin A

IgG : Immunoglobulin G

KGB : Kelenjar getah bening

KNF : Karsinoma nasofaring

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NFK : Nasopharyngeal carcinoma

SIBAJAH : Sitologi biopsi jarum halus

(19)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Surat Izin Penelitian

(20)

ABSTRAK

Insidensi kasus karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia dilaporkan sebagai 5,7 per 100.000 orang pada pria dan 1,9 per 100.000 orang pada wanita. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher merupakan gejala dini yang selalu dijumpai pada pasien – pasien ini. Walaupun begitu, kasus – kasus yang sering ditemui di RSUP Adam Malik merupakan kasus KNF pada stadium III (35,8%) dan stadium IV (49,7%) di mana 89,4% pasien ini datang dengan keluhan benjolan di KGB leher. Pada kanker payudara, sitologi biopsi jarum halus (SIBAJAH) pada KGB axilla telah digunakan sebagai penyaring untuk mengetahui stadium keganasan sebelum pembedahan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan SIBAJAH pada cervical adenopathy yang diduga metastase KNF dalam menentukan kejadian KNF di Departemen Patologi Anatomi FK-USU.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan melihat data dari rekam medis di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Jumlah sampel yang didapat adalah sebanyak 23 orang di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hasilnya, 23 kasus yang ditemukan hanya 6 kasus yang telah dilakukan pemeriksaan biopsi histopatologi. Hasil menunjukkan teknik SIBAJAH bisa mendeteksi 5 kasus KNF dengan satu kasus dilaporkan sebagai positif palsu. Sebanyak 74,0% pasien –pasien yang dicuriga KNF tidak menjalankan pemeriksaan biopsi histopatologi. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk penegakan diagnosa kasus KNF mengambil waktu rata-rata 7 bulan.

Dalam penghitungan sensitivitas secara sederhana, SIBAJAH mempunyai sensitivitas 100,0%. Ini menunjukkan bahwa pemeriksaan SIBAJAH sudah cukup baik sebagai alat penyaringan kasus KNF. Namun penghitungan nilai sensitivitas ini masih sederhana dan penelitian yang lebih baik perlu diadakan.

(21)

ABSTRACT

The incidence of nasopharyngeal carcinoma (NPC) in Indonesia is reported to be 5.7 per 100,000 for males and 1.9 per 100,000 for females. The swelling of neck lymph nodes is one of the earliest symptom seen in these patients. Despite that, the cases found in RSUP Adam Malik are mostly stage III (35.8%) and stage IV (49.7%) with 89.4% of these patients with neck lymph nodes swelling as their chief complaint. In breast cancer, fine needle aspiration biopsy (FNAB) has been used as a screening device to determine the staging of the disease before surgery. Therefore the objective of this research is to identify the FNAB ability to identify NPC metastasis to the neck lymph nodes. This research is a descriptive study. Data were collected from medical records in Departemen Patologi FK USU.

The number of samples obtained was 23. Out of the 23 cases, only six were found to have undergone biopsy histopathology studies. The result has shown that FNAB is capable of detecting five NPC cases with one false positive. Around 74% of the patients with neck swelling have not been further examined with biopsy histopathology. The time taken for the patients to be diagnosed with NPC were found to be approximately 7 months.

A crude sensitivity calculation has shown that the FNAB has the sensitivity of 100%. This shows that the FNAB method is capable for the screening of NPC cases. Nevertheless, a better research should be implemented to determine the exact sensitivity value for the FNAB.

(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kata kanker atau cancer berasal dari bahasa Latin yang berarti kepiting. Sifat kanker seperti sifat kepiting, yaitu selalu melekat pada suatu daerah dan sulit untuk mengeluarkannya. Keganasan atau malignancy pada kanker merupakan suatu lesi yang menginvasi, merusak struktur di sampingnya, dan menyebar ke bagian lain tubuh (Kumar et al., 2007).

Di dunia, kanker bagian kepala dan leher menduduki posisi ke-5 sebagai kanker terbanyak dan sebagian besar kanker ini merupakan tipe skuamous sel karsinoma (90%) (Balfour et al., 2009). Pada daerah yang lebih spesifik di kepala dan leher, kanker oral merupakan kanker yang paling banyak dan menduduki posisi ke-12 sebagai kanker terbanyak di dunia. Sebaliknya kanker laring, faring, tiroid, dan nasofaring merupakan kasus-kasus yang jarang dijumpai (Balfour et al., 2009). Kasus-kasus Karsinoma Nasofaring (KNF) selalu ditemui di negara-negara seperti China, Taiwan, Hong Kong, Jepang, Afrika/Timur Tengah, dan negara-negara Asia Tengara seperti Indonesia, Malaysia, Singapore, dan sebagainya (Fles et al., 2010). Menurut Malaysian Oncological Society, insidensi kasus-kasus KNF di Malaysia adalah sebanyak 25 per 100.000 orang (Wahid, 2013). Sebaliknya di Indonesia, insidensi kasus KNF dilaporkan sebagai 5,7 per 100.000 orang pada pria dan 1,9 per 100.000 orang pada wanita (Fles et al., 2010). Penemuan ini menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara Karsinoma Nasofaring dengan faktor genetik dan faktor lingkungan.

(23)

et al., 1999). Saat ini, sistem klasifikasi internasional yang digunakan adalah berdasarkan pada UICC/AJCC staging system edisi ke-6 tahun 2002 (Chan et al., 2012). Sistem ini juga meliputi modifikasi yang dikemukakan oleh Ho dalam jurnalnya yang membahas tentang keterlibatan Kelenjar Getah Bening (KGB) leher sebagai faktor prognostik (Lee et al., 1999; Brennan, 2006).

Pada umumnya, kanker bagian kepala dan leher mempunyai progression stage yang teratur di mana ia berawal dari tumor kecil hingga menjadi lebih besar, kemudian bermetastasis ke KGB. Akan tetapi, korelasi ini hanya bisa digunakan pada kanker kavitas oral dan laring saja; tidak bisa diterapkan pada kanker orofaring dan nasofaring. Pada kanker orofaring dan nasofaring, metastasis ke KGB leher terjadi pada fase awal penyakit (Balfour et al., 2009). Sifat progresif KNF yang tidak teratur inilah yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala seperti pembesaran KGB di leher, epitaxis, dan sakit kepala pada pasien-pasien yang masih berada di stadium dini dan menimbulkan kesulitan diagnosis pasien (Fles et al., 2010). Pembesaran KGB leher merupakan gejala dini yang selalu dijumpai pada pasien Karsinoma Nasofaring dan pada pasien ini juga selalu dilakukan biopsi dan diseksi leher (Chan et al., 2012). Pada fase awal, sel-sel KNF sering menginvasi bagian posterior triangle pada tingkat V leher atau bagian deep jugular nodes pada tingkat II leher (Ganly et al., 2009). Oleh sebab itu, KGB servikal memainkan peran penting untuk menentukan prognosis KNF jika tidak ditemukan adanya metastasis ke bagian tubuh yang lain (Nutting et al., 2009).

Faktor yang paling mempengaruhi dalam penemuan kasus-kasus KNF pada stadium dini adalah waktu antara terjadinya gejala dan penegakan diagnosis (Lee et al., 1997). Kemungkinan untuk menemukan Karsinoma Nasofaring pada stadium dini menurun sebanyak 2% untuk keterlambatan diagnosis KNF setiap bulannya (Lee et al., 1997). Oleh sebab itu, diagnosis yang cepat dan tepat sangat penting bagi pasien KNF.

(24)

2007). Pada Karsinoma Nasofaring, terdapat satu penelitian yang mengukur tingkat sensitivitas dan spesifisitas SIBAJAH sebagai alat mendiagnosis kejadian metastasis ke KGB leher pada pasien dengan tatalaksana radioterapi. Namun, pada penelitian tersebut, para peneliti lebih fokus pada keberhasilan tatalaksana radioterapi daripada sensitivitas pemeriksaan SIBAJAH. Di samping itu, penelitian tersebut dilaksanakan di Hong Kong di mana kasus – kasus KNF masih pada stadium dini (Chan et al., 2013). Berbeda dengan kasus – kasus yang sering ditemui di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan, Indonesia. Di sini, kasus KNF sering ditemukan pada stadium III (35,8%) dan stadium IV (49,7%) di mana 89,4% pasien KNF datang dengan keluhan benjolan di KGB leher (Melani, 2013). SIBAJAH sering dilakukan pada pasien – pasien KNF dengan keluhan pembesaran KGB leher. Berdasarkan pemeriksaan SIBAJAH, ahli patologi bisa menduga kejadian KNF pada pasien – pasien pembesaran KGB (Klijanienko, 2005). Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat kemampuan SIBAJAH sebagai alat penyaring kasus KNF.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah pemeriksaan SIBAJAH cukup akurat dalam menentukan kejadian KNF di Departemen Patologi Anatomi.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kemampuan SIBAJAH pada pembesaran kelenjar getah bening yang diduga KNF dalam menentukan kejadian KNF di Departemen Patologi Anatomi FK-USU dari tahun 2011 hingga 2012.

1.3.1. Tujuan Khusus Penelitian

• Untuk mengetahui perbandingan antara SIBAJAH dan biopsi histopatologi dalam penegakan diagnosa KNF.

(25)

• Untuk meneliti jumlah kasus-kasus KNF yang terjadi pada periode Januari-Desember 2012 di Departemen Patologi Anatomi FK-USU.

• Untuk mengetahui frekuensi metastasis KNF ke KGB leher pada periode Januari-Desember 2012 di Departemen Patologi Anatomi FK-USU. • Untuk mengetahui lamanya waktu yang diperlukan dalam penegakan

diagnosis KNF antara pemeriksaan sitologi dari tindakan SIBAJAH dengan konfirmasi pemeriksaan histopatologi dari tindakan biopsi jaringan nasofaring.

1.4. Manfaat Penelitian

• Manfaat di bidang pelayanan kesehatan

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui keberhasilan pemeriksaan SIBAJAH dalam menentukan kejadian KNF secara dini. Hasil penelitian diharapkan menjadi kriteria rujukan untuk pasien dengan dugaan KNF berdasarkan pemeriksaan SIBAJAH.

• Manfaat di bidang pendidikan dan penelitian

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring

Menurut definisi dari Grey’s Anatomy, nasofaring terletak pada palatum mole bagian atas (Drake et al., 2007). Di nasofaring, terdapat sekelompok jaringan limfoid yang terletak pada bagian superior dan dinding posterior daerah nasofaring. Jaringan limfoid ini bersama tonsil palatina dan nodus limfoid pada dorsum lidah membentuk suatu lingkaran bersambungan yang disebut dengan lingkaran Waldeyer. Di daerah nasofaring juga terdapat orificium untuk Eustachian Canal yang terletak pada dinding kiri dan kanan nasofaring sejajar dengan permukaan dalam hidung (Ellis, 2006). Pada anak-anak, pharyngeal tonsil terletak pada bagian tengah dinding superior posterior pharynx (Nutting et al., 2009).

Dinding anterior nasofaring dimulai dari choanae atau posterior nares yang termasuk permukaan postero – superior palatum mole. Sebaliknya dinding posterior merupakan dinding yang melengkung dan bersambung dengan batasan superior choanae hingga ke batasan palatum mole yang menggantung. Selain itu, dinding lateral terdapat tuba Eustachian, di mana di sampingnya terdapat pharyngeal recess atau fossa of Rossenmuller. Pada bagian bawah dari tuba Eustachian terdapat lipatan mukosa yang dinamakan salphingopharyngeal fold (Ali, 1965).

Kelenjar Getah Bening Servikal

Bagian atas leher dibatasi oleh pinggiran inferior tulang mandibular, ujung mastoid process dan occipital protuberance. Di bagian lateral dibatasi oleh

(27)

sebanyak 1.000 nodus dan terdapat 300 nodus KGB pada daerah leher (Probst et al., 2006). KGB pada persilangan antara vena fasialis dan vena jugular interna menerima aliran limfe dari seluruh bagian kepala dan leher dan merupakan daerah yang rentan terhadap metastasis (Probst et al., 2006).

Daerah – daerah KGB leher dibagi enam yaitu I, II, III, IV, V dan VI: (Moyer & Bradford, 2008)

• Tingkat I terdiri dari KGB pada daerah submental dan submandibular (Moyer & Bradford, 2008). Pembagian tingkat I, yaitu IA (submental) dan IB (submandibular). Daerah IA itu didefinisikan sebagai segitiga yang dibatasi oleh bagian anterior ventral digastric muscle dan tulang hyoid. Sebaliknya tingkat IB meliputi KGB pada batasan anterior ventral digastric muscle, stylohyoid muscle, dan bagian inferior dibatasi oleh badan mandible (Medina, 2006).

• Tingkat II terdiri dari KGB 1/3 upper internal jugular vein atau jugulodigastric yaitu pada daerah basis krani hingga ke bifurkasi karotid (Moyer & Bradford, 2008). Sublevel IIA adalah untuk kelenjar yang berada pada anterior vertical plane yang dilewati oleh spinal accessory nerve, dan sublevel IIB untuk kelenjar yang terletak di posterior (lateral) vertical plane yang dilewati oleh spinal accessory nerve (Medina, 2006).

• Tingkat III terdiri dari KGB di pertengahan internal jugular vein pada daerah bifurkasi karotid hingga omohyoid muscle (Moyer & Bradford, 2008). Batas medialnya adalah pada bagian lateral sternohyoid muscle dan batasan lateral adalah pada bagian posterior sternocleidomastoid muscle (Medina, 2006).

• Tingkat IV terdiri dari KGB di bagian 1/3 inferior jugular yaitu dari omohyoid muscle hingga ke clavicle (Moyer & Bradford, 2008).

• Tingkat V terdiri dari semua KGB yang terletak pada bagian 1/2 spinal accessory nerve bawah dan transverse cervical artery (Medina, 2006). Batasan superior dibentuk oleh pertemuan antara sternocleidomastoid muscle dan trapezius muscle, bagian inferior oleh clavicle, bagian medial

(28)

Suatu horizontal plane yang membagi batasan inferior dari anterior cricoid arch ke dalam sublevel V-A dan sublevel V-B. Pada sublevel V-A yang berada di atas pembagian tersebut, terdapat spinal accessory nodes. Sebaliknya pada sublevel V-B yang berada di bawah plane tersebut, terdapat KGB yang mengikuti transverse cervical vessels dan supraclavicular nodes (Medina, 2006).

• Pada Tingkat VI terdapat pre- dan paratracheal nodes, precricoid (Delphian) node, dan perithyroidal nodes. Batas atas adalah tulang hyoid bawah oleh suprasternal notch, dan bagian lateral oleh common carotid arteries (Medina, 2006).

Gambar 2.1 Pembagian leher kepada enam tingkat (Balm et al., 2010)

2.2. Histologi

(29)

permukaan mukosa dinding posterior disusun oleh epitel skuamosa. Sebaliknya lapisan mukosa yang terdapat pada pharyngeal tonsil dan dinding lateral menunjukkan pola susunan bergantian antara epitel bersilia dan epitel skuamosa. Pada pharyngeal crypts terdapat epitel tipe keratinizing squamous cell, tetapi epitel ini hanya akan muncul pada mereka yang berumur 50 tahun ke atas (Ali, 1965).

Sekurang kurangnya 40% dari dinding anterior dan 15–20% dari dinding posterior, diselaputi oleh epitel bersilia. Pada dinding lateral, epitel bersilia ini berupa kelompok kecil yang tersusun dengan pola bergantian antara epitel skuamosa dan epitel transisional. Pada dinding lateral, di daerah pharyngeal recess, ditemukan sel – sel goblet yang banyak (Ali, 1965).

Mukosa pada nasofaring membentuk lipatan yang di dalamnya ditemukan aggregasi jarirngan limfe (Nutting et al., 2009). Lapisan ini dikenal sebagai tunika propria yang terdiri dari jaringan ikat kolagen dan fiber elastis disertai pembuluh darah dan limfe (Ali, 1965). Pleksus kelenjar limfa di bagian submukosa ini mengalir ke retrofaring (upper deep posterior cervical) dan kelompok nodus jugulodigastric (Nutting et al., 2009). Selain itu, pada lapisan submukosal juga ditemukan campuran antara kelenjar mucous dan serous (Ali, 1965).

2.3. Etiologi 2.3.1. Genetik

Kasus KNF banyak terdapat di Hong Kong dan juga daerah selatan China (Balfour et al., 2009). Pada masyarakat Tiong Hua, kejadian KNF mempunyai korelasi yang signifikan dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) tipe A2 dan Bw46 (Nutting et al., 2009). Populasi yang mempunyai allel HLA-A2, terutama HLA-A0207 mempunyai peningkatan resiko terkena KNF (Tabuchi et al., 2011). Di samping itu, penelitian studi HLA Linkage mendapati bahwa gen pembawa KNF berada berdekatan dengan lokus HLA itu sendiri (Nutting et al., 2009).

(30)

karsinoma yang invasif, metastasis tumor berkait dengan mutasi pada p53 dan expresi bentuk molekul cadherins yang abnormal (Chan et al., 2002).

2.3.2. Lingkungan

Faktor lingkungan juga memainkan peran utama pada peningkatan kejadian KNF (Balfour et al., 2009). Pada daerah yang endemis, KNF terjadi pada populasi yang muda dengan insidensi meningkat dari umur 20 dan memuncak pada umur 40 hingga 50 (Nutting et al., 2009). Pada suatu penelitian yang dilakukan di dalam pabrik tekstil di Shanghai, China, ditemukan peningkatan kejadian KNF berbanding dengan populasi normal. Para peneliti berpendapat bahwa peningkatan kasus ini adalah disebabkan oleh kehadiran debu kapas dalam udara yang melebihi 143,4mg/m3 (Li et al., 2006). Selain kapas, debu dari tambang batu, tambang timah, kerja kayu, dan kapur dari pabrik karet juga dapat menyebabkan kanker nasofaring (Armstrong et al., 1983; Sriamporn et al., 1992).

(31)

2.3.3. Nikotin

Risiko kanker kepala dan leher meningkat sebanyak 2-3% setiap tahun dengan paparan sumber karsinogenik seperti merokok. Konsumsi alkohol dan tembakau merupakan faktor risiko yang utama bagi kejadian kanker upper aerodigestive tract. Semua perokok mempunyai risiko yang sama walaupun wadah tembakaunya mungkin berbeda-beda seperti pipe, cigar, atau keretek. Di samping itu, pengunyahan daun-daun tembakau juga dapat menyebabkan KNF (Balfour et al., 2009).

Faktor risiko merokok meningkat jika perokok tersebut juga merupakan peminum alkohol berat, risikonya 35 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Peningkatan faktor risiko ini disebabkan oleh sifat alkohol yang merupakan suatu unsur pelarut yang baik dan bahan-bahan karsinogenik lebih mudah melewati mukosa jika ditambahkan dengan alkohol dibandingkan dengan air ludah yang bersifat aqueous (Balfour et al., 2009).

Penelitian biokimia terbaru di Taiwan membuktikan bahwa proliferasi sel KNF sebanding dengan dosis nikotin dan waktu paparan (Shi et al., 2012).

2.3.4. Virus Epstein Barr

Virus ini hanya menginfeksi sekelompok kecil organisme dan bereplikasi secara lamban. Virus ini memasuki tubuh melalui mukosa. Kemudian ia bereplikasi di dalam sel epitel dan menginfeksi limfosit B dan terus bereplikasi (Bienz, 2005). Virus ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu early replicative antigen, latent phase antigen, dan late antigen (Nutting et al., 2009). Limfosit B juga dapat ditransformasi oleh virus Epstein Barr menjadi ganas lalu menyebabkan penyakit limfoma (Kayser, 2005).

(32)

kombinasi yang menggunakan transfusi sel T sitotoksik yang spesifik terhadap EBV dan kemoterapi (Straathof et al., 2005).

2.4. Patogenesis

Pada KNF, sel-sel neoplasma dapat dijumpai di semua daerah nasofaring dan paling sering ditemukan di Rosenmuller fossa yang terletak pada bagian medial pada medial crura tuba Eustachian (Wei, 2006). Tumor nasofaring ini sering bermula dari Fossa of Rossenmuller dan secara langsung ke bagian anterior, tumor dapat menginvasi kavum nasal posterior atau berekstensi secara inferior sejajar dengan dinding faring sampai ke palatum mole, atau ke bawah untuk mencapai tonsil (Nutting et al., 2009).

Pada 35% kasus, dijumpai keterlibatan basis kranii pada pemeriksaan CT scan. Tumor dapat menginvasi sphenoid sinus atau masuk ke cavernous sinus melalui foramen lacerum. Di sini, nervus kranialis III hingga VI dapat rusak dengan keterlibatan nervus V dan VI sering dijumpai pada klinis (Nutting et al., 2009).

Keterlibatan parapharyngeal space dapat dijumpai pada 35% hingga lebih dari 85% kasus. Penyebab yang paling utama adalah invasi tumor pada dinding lateral tuba Eustachian yang tidak kuat. Selain itu, ekspansi tumor pada retropharyngeal node juga merupakan faktor penyebab yang lain. Nervus kranialis IX hingga XII yang terdapat pada daerah parapharyngeal space akan berdampak juga. Di samping itu, tumor dapat menginvasi daerah orbit melalui sinus ethmoid dan inferior orbital fissure (Nutting et al., 2009).

2.5. Tumor Biologi

(33)

disimpulkan bahawa kejadian kanker membutuhkan 5 hingga 10 mutasi yang terakumulasi untuk menjadi ganas (Longo et al., 2012). Selain perubahan secara mutasi, sel – sel kanker juga mengalami suatu keadaan yang dinamakan sebagai epigenetic phenomena, di mana ia mempengaruhi ekspresi gen dan sel behavior (Moasser, 2006). Epigenetic yang dimaksudkan adalah perubahan fenotip pada sel yang dapat diturunkan tanpa ada perubahan genotip.

Terdapat dua kelompok gen kanker yang utama; yaitu onkogen dan tumor suppressor genes. Kelompok onkogen mempengaruhi pembentukan tumor secara

positif. Kelompok tumor suppressor genes, mempengaruhi perkembangan tumor secara negatif (Longo et al., 2012). Para peneliti berpendapat bahwa inaktivasi hanya satu tumor suppressor gene atau aktivasi dari satu onkogen sudah dapat menyebabkan keganasan (Moasser, 2006).

Onkogen dapat diaktivasi melalui point mutation, DNA amplifikasi dan chromosomal rearrangement. Point mutation pada RAS gen menurunkan aktivitas

RAS GTPase lalu menghasilkan aktivasi secara konstitutif pada protein RAS yang mutan. DNA amplifikasi menghasilkan dampak ekspresi berlebihan pada produk gen tertentu (Longo et al., 2012). Chromosomal rearrangement adalah gen baru yang dibentuk dari gabungan dua gen yang berbeda di mana gen baru tersebut kehilangan mekanisme kontrolnya (Moasser, 2006).

Tumor suppressor gene terdiri dari gen – gen yang mempunyai peran dalam

DNA damage control, mengawal siklus sel, kematian sel yang terprogram, dan adhesi sel (Moasser, 2006). Mekanisme inaktivasi pada tumor suppressor gene yang paling sering ditemukan adalah point mutation dan deletion yang besar (Longo et al., 2012). Adhesi sel penting karena sel – sel yang kehilangan adhesi dapat lolos ke daerah lain dan bermetastasis (Moasser, 2006). Kerusakan pada gen – gen kawalan inilah yang memicu kejadian keganasan.

(34)

Tumor sarkoma pada leher dan kepala jarang dijumpai dengan jumlah kasus yang kurang dari 1% dari semua keganasan di leher dan kepala (Probst et al., 2006).

2.6. Diagnosa

2.6.1. Manifestasi klinis

Menurut penelitian di Hong Kong, sebanyak 54,4% pasien-pasien kanker nasofaring hanya mempunyai gejala servikal adenopati (Lee et al., 1997; Nutting et al., 2009). Selain itu, lesi primer pada nasofaring dapat menyebabkan obstruksi

nasal, discharge, atau pendarahan, dan obstruksi pada tuba Eustachian dapat menyebabkan otitis media dengan effusi disertai otalgia. Penghancuran tulang dan ekspansi pada parapharyngeal space dapat menyebabkan nyeri kepala yang berterusan dan invasi langsung pada nervus trigeminal (V) menyebabkan trigeminal neuralgia. Invasi pada cavernous sinus menyebabkan rusaknya nervus kranialis III, IV, dan VI mencetuskan diplopia atau ophthalmoplegia komplit (Nutting et al., 2009).

Nyeri kerongkongan atau odinofagia selalu dilaporkan pada ketelibatan palatum mole dan dinding pharynx. Kerusakan pada nervus kranialis IX hingga XII dapat menyebabkan mucosal hypoesthesia, gangguan pengecapan, palatal incompetence, paralisis hemiglossal dan kelemahan otot yang dipersarafi saraf accessory (Nutting et al., 2009).

(35)
[image:35.612.139.505.126.258.2]

Tabel 2.1. Tanda fisik pada penegakan diagnosis (Lee et al., 1997)

Symptom Only symptom First symptom* Total No. Presenting with symptom

Pembesaran KGB leher

2.594 (54,4%)

956 (20,1%) 3.550 (74,5%) Cranial nerve palsy 203 (4,3%) 749 (15,7%) 952 (20,0%) Deafness 51 (1,1%) 186 (3,9%) 237 (5,0%)

Trismus 3 (0,1%) 70 (1,5%) 73 (1,5%)

Proptosis 1 15 (0,3%) 16 (0,3%)

Metastasis Distal 0 122 (2,6%) 122 (2,6%) Dermatomyosistis 17 (0,4%) 17 (0,4%) 34 (0,7%) *Pada pasien dengan keluhan lebih dari satu gejala

2.6.2. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Servikal

(36)
[image:36.612.129.509.148.299.2]

Tabel 2.2. Insidensi Kejadian Metastasis Nodus Limfe Servikal terkait dengan Karsinoma di Bagian Traktus Aerodigestive Atas (Probst et al., 2006)

Lokasi Tumor Insidensi kejadian metastasis ke KGB servikal

Oral Cavity 30 – 65%

Orofaring 39 – 83%

Nasofaring 60 – 90%

Hipofaring 52 – 72%

Supraglottis 35 – 54%

Glottis 7 – 9%

Kavitas nasal 10 – 20%

Kelenjar saliva 35 – 45%

[image:36.612.209.434.320.563.2]

Kelenjar tiroid 18 – 84%

Gambar 2.2 Sistem limfa pada bagian servikal (Probst et al.,2006)

2.6.3. Pemeriksaan Nasofaring Posterior Rhinoscopy

(37)

2003). Pasien dengan palatum molenya yang terlalu dekat dengan dinding posterior orofaring menyebabkan pemeriksaan ini kurang berhasil (Bull, 2003). Mekanoreseptor yang terdapat di dinding orofaring adalah sangat sensitif terhadap rangsangan, stimulasi di daerah ini dapat memicu refleks muntah.

Rhinoscopy

Nasofaring dapat diinspeksi secara direk melalui Rhinoscope yang dimasukkan ke dalam lubang hidung, melalui permukaan dalam hidung sementara pasien dibius lokal (Ellis, 2006; Bull, 2003). Rhinoscope adalah suatu endoscope fibreoptic yang dilengkapi dengan alat biopsi. Ia dapat dibagi menjadi dua tipe: endoscope fibreoptic rigid dan endoscope fibreoptic flexible. Satu – satunya kekurangan alat ini adalah lapangan pandang yang kecil, kendala ini dapat diatasi dengan menggunakan endoscope ditambah kamera agar lapangan pandang dapat diperbesar melalui monitor (Bull, 2003).

2.6.4. Radiologi Computed Tomography

CT scan menggunakan radiasi tipe ionisasi untuk menghasilkan gambaran potongan cross-sectional berdasarkan pada perbedaan pengurangan intensitas X-ray oleh pelbagai jenis jaringan (Fischbein & Ong, 2008). Scanner saat ini

mendapatkan hasil gambar secara helical, yaitu sumber X-ray dirotasikan secara bersamaan dengan translasi pasien di mana data yang dihasilkan bersifat tiga dimensi. Data ini kemudian dibagikan dan dikonstruksi kembali sebagai gambar potongan silang oleh komputer. Potongan pada orientasi aksial dan bersifat halus (≤3 mm) cukup ideal untuk pencitraan kepala dan leher (Martin et al., 2009).

Magnetic Resonance Imaging

(38)

Senyawa kontras yang selalu digunakan adalah suatu agen yang terdapat gadolinium di dalamnya. Kontras ini meningkatkan karaterisasi jaringan dan membantu dalam differential diagnosis. Pada scanning di kepala dan leher, sekuens pencitraan adalah seperti berikut (Martin et al., 2009):

Sagittal, axial, dan coronal T1-weighted images

Axial fast spin-echo T2-weighted images with fat saturation

Axial and coronal postgadolinium T1-weighted images with fat saturation

2.6.5. Serologi

Banyak penelitian menunjukkan korelasi yang signifikan antara pasien yang positif serologi Epstein Barr Virus dengan kejadian KNF. Titer antibodi IgA terhadap viral capsid antigen dan early antigen complex mempunyai hubungan dengan stadium KNF di mana jika terjadinya penurunan titer maka ia menandakan keberhasilan terapi. Latent membrane protein yang terdapat pada EBV, mempunyai sifat onkogenik dan menstimulasi pertumbuhan jaringan (Nutting et al., 2009).

Pada pemeriksaan serologi, peningkatan titer IgG dan IgA EBV mempunyai hubungan rapat dengan kejadian Undifferentiated Carcinoma dan Nonkeratinizing Carcinoma nasofaring. Sebaliknya Squamous Cell Carcinoma mempunyai hasil serologi seperti populasi normal (Pathmanathan et al., 1995).

2.6.6. Sitologi Biopsi Jarum Halus

(39)

Jika pada sitologi KGB dijumpai adanya Squamous Cell Carcinoma dan pada pemeriksaan routine THT dan kulit menunjukkan hasil yang negatif maka haruslah dilakukan panendoscopy di bawah anastesi umum untuk memeriksa lapisan mukosa pada aerodigestive tract bagian atas (Balm et al., 2010). Jika biopsi pada servikal adenopati menunjukkan hasil Large Cell Undifferentiated Carcinoma maka ada kemungkinan terdapat lesi primer tipe Squamous Cell Carcinoma di kepala dan leher atau adanya adenokarsinoma (Balm et al., 2010).

Keganasan tipe karsinoma sel skuamousa adalah yang terbanyak pada daerah kepala dan leher. Pada pengambilan sampel secara ‘SIBAJAH’, cairan yang diaspirasi mempunyai konsistensi yang sama seperti pus tetapi lebih jernih, kekuningan dan mukoid. Tipe keganasan ini mempunyai karateristik yang tersendiri pada pemeriksaan SIBAJAH, yaitu: (Klijanienko, 2005)

• Disusun secara sangat rapat • Bersifat globoid

[image:39.612.209.433.439.560.2]

• Sel abnormal berkeratin tanpa inti • Sel berbentuk bizarre

Gambar 2.3 Karsinoma sel skuamosa berkeratin diaspirasi dari KGB leher (Caraway & Katz, 2006)

(40)
[image:40.612.224.415.110.245.2]

Gambar 2.4 Sel skuamosa yang basaloid dan tidak berkeratin (Klijanienko, 2005)

KNF memiliki tanda clinicopathologic yang berbeda dengan sel skuamosa karsinoma kepala dan leher yang lain. KNF dapat dibedakan dari histologi, faktor distribusi geografi, dan faktor keterlibatan infeksi EBV sebagai faktor penyebab. Sebagian dari KNF menunjukkan pola sitologi sel skuamosa tidak berkeratin dan sebagian kecil sel berkeratin. Terdapat proporsi besar KNF yang mempunyai hasil sitologi sel karsinoma tidak berdiferensiasi (Klijanienko, 2005). Kriteria diagnosis pemeriksaan sitologi untuk karsinoma tidak berdiferensiasi KNF telah ditetapkan sebagai berikut: (Klijanienko, 2005)

• Sel ganas yang tidak berdiferensiasi secara tunggal atau berkelompok • Jumlah sitoplasma pucat yang bervariasi dan mudah pecah

• Inti vesikular yang besar dengan nukleoli sentral yang menonjol

• Latar belakang yang terdiri dari sel limfoid dengan kecenderungan pada sel plasma.

(41)
[image:41.612.224.418.107.241.2]

Gambar 2.5 Hapusan sel skuamosa karsinoma tidak berdiferensiasi dengan inti dan nukleoli yang membesar (Koss & Melamed, 2006)

2.6.7. Basic Aspiration Technique

SIBAJAH merupakan suatu teknik di mana aspirasi dilakukan pada massa yang bersifat cair. Sebaliknya pada massa padat, ujung jarum digunakan sebagai pemotong untuk mendapatkan sampel. Pemotongan dilakukan dengan menggerakkan ujung jarum kemudian dilakukan aspirasi untuk mendapatkan jaringan yang telah terpotong didalam jarum (Ljung, 2006). Pada lesi target yang dapat dipalpasi, langkah – langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

• Palpasi: Benjolan atau lesi dipalpasi untuk menentukan ukuran dan jarak dari permukaan kulit. Pada lesi yang kecil (Diameter 1cm), sampel harus diambil pada daerah sentral lesi. Sebaliknya, lesi yang besar (diameter >5cm) mempunyai sentral nekrosis dan sampel harus diambil pada bagian perifer. Lesi sedang (diameter 2-4cm), sampel harus diambil dari bagian sentral dan perifer (Ljung, 2006).

(42)

• Pemasukan jarum: Setelah lesi difiksasi, dilakukan pemasukan jarum. Tekanan negatif diberikan dengan menarik syringe plunger hingga 1-2mL. Kemudian mempertahankan tekanan negatif tersebut sepanjang proses pengambilan sampel (Ljung, 2006).

• Prosedur aspirasi: Setelah tekanan negatif diberikan, ujung jarum harus digerakkan ke atas dan ke bawah. Jumlah sampel yang harus diambil cukup untuk membuat dua hapusan slide, hal ini dapat dicapai dengan menggerakkan jarum sebanyak 15 hingga 20 kali (Ljung, 2006).

• Pengeluaran jarum: Selepas pengambilan sampel, tekanan negatif harus dihentikan sebelum jarum dikeluarkan. Hal ini untuk menghindari masuknya sampel ke dalam barrel syringe yang sulit untuk dikeluarkan. Setelah jarum dikeluarkan, ujung jarum dikeluarkan dari syringe lalu plunger ditarik ke belakang. Kemudian masukkan ujung jarum kembali pada syringe lalu dorong plunger dan semprotkan sampel pada slide kaca (Ljung, 2006).

2.7. Histopatologi

(43)
[image:43.612.190.448.127.322.2]

Tipe I: Karsinoma sel skuamosa berkeratin

Gambar 2.6 Karsinoma sel skuamosa berkeratin pada nasofaring (Barnes, 2009)

Tipe II: Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin

[image:43.612.189.448.398.572.2]
(44)
[image:44.612.197.440.128.312.2]

Tipe III: Karsinoma tidak berdiferensiasi

Gambar 2.8 Karsinoma tidak berdiferensiasi pada nasoafaring (Barnes, 2009)

Klasifikasi ini berdasarkan pada pemeriksaan sel tumor di bawah mikroskop cahaya. Sel tumor karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin mempunyai susunan stratified atau pavement dengan setiap sel tumor tersusun dengan batas yang jelas. Pada karsinoma tidak berdiferensiasi, batas antara sel tidak jelas dan susunan sel – sel berupa syncytia atau seperti sheet. Inti sel juga berbentuk vesikular dengan nukleoli yang menonjol (Pathmanathan et al., 1995). Jenis karsinoma tidak berdiferensiasi dan karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin mempunyai infiltrasi sel – sel limfosit yang nyata. Selain itu, kedua tipe karsinoma ini mempunyai hubungan dengan infeksi EBV (Pathmanathan et al., 1995; Longo et al., 2012).

(45)
[image:45.612.191.444.147.316.2]

differentiated dan undifferentiated pada Nonkeratinizing Carcinoma (Chan et al., 2005).

Gambar 2.9 Sel skuamosa tidak berkeratin tipe differentiated pada nasofaring (Wenig & Richardson, 2009)

Gambar 2.10 Sel skuamosa tidak berkeratin tipe undifferentiated pada nasaofaring (Wenig & Richardson, 2009)

[image:45.612.240.399.366.582.2]
(46)

berisiko yang hampir sama dengan keganasan kepala dan leher yang lain (Conbridge & Steventon, 2006). Pada penelitian di Hong Kong, sebanyak 99,7% Karsinoma Nasofaring ditemukan sebagai undifferentiated atau nonkeratinizing karsinoma (Lee et al., 1997).

2.8. Klasifikasi TNM American Joint Committee on Cancer 2002

[image:46.612.134.502.301.439.2]

Klasifikasi TNM metastasis nodus limfe regional pada tumor nasofaring mempunyai klasifikasi yang berbeda dengan tumor kepala dan leher (Probst et al., 2006).

Tabel 2.3. Definisi TNM pada kanker nasofaring (Longo et al., 2012) Tumor

Primer

Kelompok berdasarkan stadium Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor masih di dalam nasofaring

T2 Tumor berekstensi ke jaringan lunak parafaring

T3 Tumor melibatkan struktur tulang basis kranii dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau melibatkan saraf kranial, infratemporal fossa, hipofaring, orbit, atau ruangan masticator

Tabel 2.4. Nodus Limfe Regional (N) (Longo et al., 2012) N0 Tidak ada metastasis nodus limfe regional

N1 Metastasis satu atau lebih nodus limfe secara unilateral, ≤6 cm pada dimensi terpanjang, masih di atas supraclavicular fossa N2 Metastasis satu atau lebih nodus limfe secara bilateral, ≤6 cm pada

dimensi terpanjang, masih di atas supraclavicular fossa

N3 Metastasis satu atau lebih nodus limfe, >6 cm dan/atau pada supraclavicular fossa

(47)

Tabel 2.5. Kelompok prognostik: Nasofaring (Longo et al., 2012)

Stage O Tis N0 M0

Stage I T1 N0 M0

Stage II T1 N1 M0

T2 N0-N1 M0

Stage III T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0-N2 M0

Stage IVA T4 N0-N2 M0

Stage IVB Any T N3 M0

[image:47.612.134.506.124.262.2]
(48)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

[image:48.612.154.418.255.623.2]

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian tentang kemampuan SIBAJAH pada servikal adenopati yang diduga KNF dalam menentukan kejadian KNF di Departemen Patologi Anatomi FK-USU, Medan adalah:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Durasi Penegakan Diagnosa Pasien dengan pembengkakan

KGB leher

SIBAJAH pemeriksaan sitologi

SIBAJAH (+): Dugaan

KNF

Biopsi nasofaring

(49)

3.2. Definisi Operasional

• Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi nasofaring. Pasien Karsinoma Nasofaring adalah pasien yang datanya terdapat dari Patologi Anatomi dan didiagnosis menderita Karsinoma Nasofaring berdasarkan pemeriksaan histopatologi. • Pembengkakan KGB leher yang dicuriga ganas adalah pasien yang pada

pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran pada kelenjar getah bening leher ditambah dengan gejala – gejala KNF.

Cara ukur : Observasi data di Departemen Patologi Anatomi.

Hasil ukur : a) Positif: Jika ada pembesaran KGB yang dicuriga ganas. b)Negatif: Jika KGB tidak membengkak atau jika KGB diduga benign.

Skala pengukuran : Nominal

• SIBAJAH pada KGB servikal adalah pemeriksaan oleh ahli patologi yang kemudian dilakukan pemeriksaan sitologi pada KGB leher yang dapat menentukan adanya metastasis KNF pada KGB atau tidak.

Cara ukur : Observasi data di Departemen Patologi Anatomi.

Hasil ukur :a)Positif: Jika terdapat sel karsinoma skuamosa berkeratin atau sel karsinoma skuamosa tidak berkeratin, atau sel karsinoma tidak berdiferensiasi.

b)Negatif : Jika ditemukan sel benign atau gambaran sitologi yang meragukan.

Skala pengukuran : Nominal

• Biopsi nasofaring: tindakan biopsi terhadap massa di nasofaring melalui kavum nasi dengan menggunakan Blakesley nasal forcep lurus / bengkok dengan tuntunan endoskopi kaku, 4mm.

Cara ukur : observasi data di Departemen Patologi Anatomi.

(50)

b)Negatif: Jika ditemukan lesi tumor benign pada nasofaring atau lesi tumor pada bagian selain nasofaring atau tidak ditemukan lesi tumor pada nasofaring.

Skala pengkuruan : Nominal

• Durasi penegakan diagnosis: Waktu yang diambil setiap pasien untuk mendapatkan hasil pemeriksaan histopatologi yang definitif.

Cara ukur : Observasi data di Departemen Patologi Anatomi. Hasil ukur :a) Waktu: Bulan

(51)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemeriksaan sitologi dari tindakan SIBAJAH pada penderita dengan pembengkakan Kelenjar Getah Bening (KGB) di leher dalam memprediksi kejadian Karsinoma Nasofaring.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu : September 2013 – November 2013

Tempat: Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita Karsinoma Nasofaring yang telah datang ke Departemen Patologi Anatomi FK-USU.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua data penderita dengan diagnosis Karsinoma Nasofaring yang ditegakkan dari pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Adapun kriteria sampel yang harus dipenuhi meliputi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan.

Kriteria inklusi

(52)

4.3.3. Besar Sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara Total Sampling

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, dimana semua data yang diperlukan diperoleh dari data pasien KNF yang disimpan di Departemen Patologi Anatomi USU dengan izin Ketua Departemen Patologi Anatomi FK-USU.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

(53)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terletak di Gedung Abdul Hakim Lt I Jl.Universitas No.1 Kampus USU Medan, merupakan pusat pendidikan patologi anatomi bagi peserta pendidikan sarjana kedokteran dan pendidikan keahlian patologi anatomi disamping sebagai laboratorium yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat untuk pemeriksaan patologi anatomi.

5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan meneliti data-data yang diambil dari rekam medis pasien – pasien yang menjalani pemeriksaan SIBAJAH di Departemen Patologi Anatomi FK USU. Pada tahun 2012, sebanyak 231 orang pasien telah datang ke Departemen Patologi Anatomi FK USU dengan keluhan pembesaran KGB leher dan telah dilakukan pemeriksaan SIBAJAH. Ditemukan sebanyak 23 orang pasien yang telah menjalani pemeriksaan diduga menderita KNF. Dari 23 orang pasien tersebut, sebanyak 6 orang telah mengirimkan jaringan biopsi ke Departemen Patologi Anatomi FK USU. Dari hasil histopatologi ditemukan 5 dari 6 pasien tersebut adalah positif KNF.

Tabel 5.1. Kasus – kasus yang ditemukan di Departemen Patologi Anatomi FK USU pada tahun 2012.

Jumlah Pasien dengan Pembesaran KGB leher Pasien dengan Hasil Sitologi dengan Dugaan KNF Pasien yang Dilakukan Histopatologi

Pasien yang positif KNF

[image:53.612.133.507.582.648.2]
(54)

5.1.3. Proposi Penderita Servikal Adenopati dengan Karsinoma Nasofaring

Tabel 5.2. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Disusun Berdasarkan Frekuensi dan Persentase

Pemeriksaan Histopatologi Frekuensi (n) Persentase (%)

Tidak Ada 17 74.0

KNF 5 21.7

Radang Tidak Spesifik 1 4.3

Total 23 100.0

Dari 23 orang pasien yang diperiksa, hanya 6 orang yang mengirimkan jaringan biopsi nasofaring ke Departemen Patologi Anatomi FK USU. Terdapat satu pasien yang diduga menderita Karsinoma Nasofaring tetapi hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan bahwa pasien ini menderita radang tidak spesifik.

5.1.4. Perbandingan antara Hasil SIBAJAH dan Biopsi Histopatologi Nasofaring

Perbandingan antara keberhasilan pemeriksaan SIBAJAH dan histopatologi (gold standard) adalah lima kasus terdeteksi sebagai kasus KNF sementara satu kasus dilaporkan sebagai false positive. Semua kasus dengan diagnosis KNF telah ditemukan dengan metode SIBAJAH dan penghitungan sensitivitas secara sederhana adalah 100%.

[image:54.612.131.508.191.271.2]

Tabel 5.3. Penghitungan sederhana nilai sensitivitas metode SIBAJAH Histopatologi

Positif Negatif

SIBAJAH Positif 5 1

Negatif 0 0

[image:54.612.135.504.562.642.2]
(55)

5.1.5. Waktu yang diambil Oleh Penderita sebelum Bertemu Dokter

Hasil dari catatan rekam medis menunjukkan bahwa pasien – pasien yang menderita servikal adenopati rata – rata membutuhkan waktu sebanyak 7 bulan sebelum menemui dokter. Sementara itu, ada pasien yang bertemu dokter setelah satu bulan menderita gejalanya tetapi hanya dalam jumlah yang kecil. Akan tetapi, ada juga pasien yang menunggu hingga 36 bulan sebelum berjumpa dokter untuk mengobati benjolan di lehernya.

Tabel 5.4. Waktu yang diambil Oleh Penderita yang Mengalami Servikal Adenopati sebelum Bertemu Dokter

Minimum Maximum Mean Waktu yang di ambil Penderita 1 Bulan 36 Bulan 7.25 Bulan

5.1.6 Waktu yang diambil untuk Melakukan Biopsi Histopatologi setelah SIBAJAH

Umumnya, pasien – pasien yang membuat pemeriksaan histopatologi mengambil waktu yang singkat, yaitu selama satu hari untuk mengirimkan jaringan biopsi ke Departaman Patologi Anatomi FK USU. Ada dua kasus di mana si pasien mengambil waktu selama 8 bulan dan 9 bulan untuk mengirimkan jaringan biopsi mereka.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Faktor – faktor Penyebab Pasien Tidak Melakukan Pemeriksaan Biopsi Nasofaring

Hasil penelitian menunjukkan jumlah pasien yang kembali untuk pemeriksaan histopatologi sangat sedikit. Hal ini harus dipandang serius karena tanpa pemeriksaan histopatologi penanganan medis tidak dapat diteruskan pada pasien tersebut. Di samping itu, tanpa adanya data pemeriksaan histopatologi yang lengkap penghitungan nilai sensitivitas pada penelitian ini juga terganggu.

(56)

pemeriksaan histopatologi jaringan. Biaya ini tidak meliputi biaya tatalaksana, dan tatalaksana kasus metastase karsinoma ke KGB leher memerlukan radioterapi dan managemen efek samping terkait radioterapi.

Selain itu, terdapat juga kemungkinan bahwa pasien – pasien ini telah mengirimkan jaringan biopsi ke laboratorium – laboratorium lain di kota Medan. Ada juga kemungkinan bahwa pasien berpindah ke Jakarta untuk mendapatkan tatalaksana medis yang lebih baik. Oleh sebab itu, hasil pemeriksaan histopatologi pasien – pasien ini tidak dapat ditentukan secara pasti.

Di samping itu, faktor kekurangan sumber daya manusia untuk melakukan biopsi jaringan di nasofaring juga merupakan faktor yang menyumbangkan terjadinya fenomena ini. Biopsi jaringan pada nasofaring hanya bisa dilakukan oleh spesialis THT dan bukan dokter umum. Faktor ini lebih signifikan untuk pasien – pasien yang berasal dari pedalaman yang kurang dokter spesialis THT. Selain itu, jaringan di daerah nasofaring juga sulit dibiopsi tanpa adanya alat – alat khusus.

Sebuah penelitian yamg menunjukkan bahwa penggunaan MRI sebagai penegak diagnosis Karsinoma Nasofaring lebih unggul dibandingkan dengan gold standard selama ini yaitu endoscopy biopsy (King et al., 2011). Alat – alat ini bersifat tidak invasif dan lebih aman dibandingkan dengan tindakan biopsi. Selain itu, pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan kurang nyaman pada pasien. MRI juga dikatakan bisa mendeteksi jaringan malignan yang terselubung di fossa of rosenmuller dan tumor nasofaring yang berada di bawah mukosa (Wei et al., 1991).

(57)

5.2.2. Faktor – faktor Penyebab Keterlambatan Penegakan Diagnosis KNF Hasil penelitian menunjukkan pasien – pasien dengan keluhan pembesaran KGB leher mengambil waktu rata – rata selama 7 bulan sebelum dokter bisa mengarahkan diagnosis Karsinoma Nasofaring. Ini menunjukkan kekurangan dari sisi tenaga medis terhadap screening dini Karsinoma Nasofaring. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Puskesmas Yogyakarta di mana sebagian besar dokter – dokter umum kurang tahu tentang aspek – aspek Karsinoma Nasofaring (Fles et al., 2010).

Selain itu, sekelompok kecil dari pasien – pasien ini juga mengambil waktu yang lama sebelum berjumpa dokter spesialis THT bagi pengambilan jaringan biopsi. Hal ini mempunyai kaitan dengan faktor psikologi pasien di mana kebanyakkan pasien kanker adalah tidak mau tahu tentang penyakitnya (Dunkel-Schetter et al., 1992). Semua ini memperlambat proses tatalaksana pasien lalu memperburuk prognosisnya. Kemungkinan untuk menemukan Karsinoma Nasofaring pada stadium I dan II menurun sebanyak 2% untuk setiap bulan keterlambatan penegakan diagnosis KNF (Lee et al., 1997). Tingkat keberhasilan tatalaksana amat tergantung pada stadium Karsinoma Nasofaring yang diderita si pasien.

Di samping itu, pasien – pasien yang tinggal di daerah desa tidak mampu pergi ke kota hanya untuk pemeriksaan penunjang. Di sini, faktor waktu dan uang yang diperlukan untuk perjalanan pergi dan pulang menjadi penghalang kepada pasien. Hal ini menjadi lebih sulit dengan adanya kepercayaan tinggi masyarakat desa terhadap orang pintar dan dukun.

5.2.3. Faktor – faktor Penyebab Perbedaan antara Hasil SIBAJAH dan Histopatologi

(58)

histopatologi bisa terdeteksi. Namun, penghitungan nilai sensitivitas ini adalah berdasarkan data yang sedikit. Sebagai perbandingan pada kasus – kasus kanker mamae, SIBAJAH mempunyai sensitivitas sebanyak 72,5% untuk mengetahui staging penyakit pasien kanker mamae (Ciatto et al., 2007). Ketepatan penghitungan sensitivitas dan spesifisitas tergantung pada jumlah sampel dan untuk mendapatkan nilai yang lebih tepat harus ada penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Terdapat satu kasus di mana hasil SIBAJAH dan pemeriksaan histopatologi bertentangan. Perbedaan ini bisa dijelaskan dengan menelusuri keterbatasan metode SIBAJAH dan keterbatasan metode histopatologi.

Batas Ketepatan SIBAJAH

(59)

Riwayat penyakit si pasien dan presentasi klinis pasien akan sangat membantu dalam diagnosis kanker karena riwayat penyakit dan presentasi klinis yang mendukung kanker bisa memberi kepastian bahwa adanya false negative pada pemeriksaan SIBAJAH yang negatif (Ljung, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan satu kasus false positif di mana pasien yang dicuriga menderita Karsinoma Nasofaring ternyata hanya menderita radang nonspesifik. Akan tetapi, pasien ini mempunyai gejala klinis dan riwayat penyakit yang amat mirip dengan gejala Karsinoma Nasofaring. Adanya kemungkinan bahwa kesalahan yang terjadi bukan pada teknik pemeriksaan SIBAJAH tetapi pada pengambilan spesimen biopsi nasofaring atau pemeriksaan histopatologi jaringan nasofaring itu sendiri.

Batas Ketepatan Pemeriksaan Histopatologi

Pengambilan biopsi nasofaring dengan penggunaan endoscope merupakan suatu metode yang sulit karena lesi tumor bisa tersembunyi di dalam pharyngeal recess dan di bawah lapisan mukosa nasofaring. Pasien – pasien dengan tumor seperti ini biasanya akan dilakukan biopsi secara random sampling pada nasofaring. Metode random sampling ini sangat tergantung pada kepakaran operator biopsi (Wei et al., 1991).

Selain itu, abnormalitas permukaaan nasofaring dapat mempengaruhi operator biopsi (King et al., 2011). Pengunaan endoscopy juga memperkecil sudut pandang dan bisa menambahkan beban operator.

(60)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:-

• Dalam penghitungan sensitivitas secara sederhana, SIBAJAH mempunyai sensitivitas 100,0%. Ini menunjukkan bahwa pemeriksaan SIBAJAH sudah cukup baik sebagai alat penyaringan dalam usaha pengurangan kasus – kasus KNF stadium lanjut. Namun penghitungan nilai sensitivitas ini masih sederhana dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih baik.

• Terlambatnya waktu yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti pasien yang dicuriga menderita Karsinoma Nasofaring memperburuk prognosis pasien.

• Ditemukan banyak pasien – pasien yang dicuriga menderita Karsinoma Nasofaring tidak melakukan pemeriksaan penegakan diagnosis dengan histopatologi untuk penegakkan diagnosis pasti.

6.2. Saran

Dari peneilitian ini disarankan agar petugas kesehatan lebih peka terhadap kasus – kasus Karsinoma Nasofaring. Hal ini bertujuan agar dokter umum lebih peka terhadap gejala – gejala dini Karsinoma Nasofaring sehingga deteksi dini kasus Karsinoma Nasofaring dapat dilakukan. Semua ini diharapkan dapat meminimalkan waktu yang diambil untuk penegakkan diagnosis KNF lalu menurunkan jumlah pasien yang datang pada stadium lanjut.

(61)

Hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa dukungan psikologi dari dokter adalah sangat bermanfaat terhadap pasien yang menderita kanker (Akechi et al., 1998).

Ketepatan SIBAJAH bisa ditingkatkan berdasarkan lima perkara utama yaitu, metode pengambilan spesimen yang tepat, fiksasi yang benar, pengawetan spesimen cairan yang benar, penyediaan spesimen untuk pemeriksaan mikroskopi dan pewarnaan yang benar (Bales, 2006). Oleh sebab itu, metode pengambilan spesimen dan metode penyediaan specimen merupakan titik utama supaya false positive dan false negative bisa dihindari. Dari penelitian ini juga diharapkan suatu penelitian baru bisa dilakukan untuk menentukan nilai sensitivitas dan spesifisitas metode SIBAJAH dalam menentukan kasus KNF.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Akechi, T., Okamura, H., Yamawaki, S. & Uchitomi, Y., 1998. Predictors of patients' mental adjustment to cancer: patient characteristics and social support. British Journal of Cancer, 12(77), pp. 2381 - 2385.

Ali, M. Y., 1965. Histology of The Human Nasopharyngeal Mucosa. J Anat, 99(3), pp. 657-672.

Armstrong, R. W., Armstrong, M. J., Yu, M. C. & Henderson, B. E., 1983. Salted Fish and Inhalants as Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in Malaysian Chinese. Cancer Research, Volume 43, pp. 2967-2970. Bales, C. E., 2006. Laboratory Techniques. In: L. G. Koss & M. R. Melamed, eds.

Koss' Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases 5th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins, pp. 1570 - 1630.

Balfour, A., Evans, P. H. R. & Patel, S. G., 2009. Head and Neck Malignancy: An Overview. In: P. Q. Montgomery, P. H. R. Evans & P. J. Gullane, eds. Head and Neck Surgery and Oncology. London: Informa UK Ltd, pp.

1-13.

Balm, A. J. M. et al., 2010. Diagnosis and Treatment of a Neck Node Swelling Suspicious for a Malignancy: An algorithmic approach. International Journal of Surgical Oncology, Volume 10, p. 8.

Barnes, L., 2009. Diseases of the Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, and Nasopharynx. In: L. Barnes, ed. Volume 1: Surgical Pathology of the Head and Neck . New York: Informa Healthcare USA, p. 343.

Bienz, K. A., 2005. Viruses as Human Pathogen. In: F. H. Kayser, K. A. Bienz, J. Eckert & R. M. Zinkernagel, eds. Color Atlas of Medical Microbiology. 10th ed. Stuttgart: Georg Thieme Verlag, pp. 412-473.

(63)

Bull, T. R., 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. Stuttgart: Georg Thieme Verlag.

Caraway, N. P. & Katz, R. L., 2006. Lymph Nodes. In: L. G. Koss & M. R. Melamed, eds. Koss' Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. New York: Lippincott Williams & Wilkins, p. 1187.

Chan, A. T. C. et al., 2012. Nasopharyngeal Cancer: EHNS-ESMO-ESTRO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology, 23(7), pp. vii83-vii85.

Chan, A. T. C., Teo, P. M. L. & Johnson, P. J., 2002. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology, Volume 13, pp. 1007-1015.

Chan, J. K. C. et al., 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. In: L. Barnes, J. W. Eveson, P. Reichart & D. Sidransky, eds. WHO Classification Head and Neck Tumours. Geneva, Switzerland: WHO Press, pp. 81-106.

Chan, J. Y. et al., 2013. Efficacy of fine needle aspiration in diagnosing cervical nodal metastasis from nasopharyngeal carcinoma after radiotherapy. Laryngoscope, 123(1).

Ciatto, S. et al., 2007. Accuracy of fine needle aspiration cytology (FNAC) of axillary lymph nodes as a triage test in breast cancer staging. Breast Cancer Res Treat, 103(10), pp. 85 - 91.

Conbridge, R. & Steventon, N., 2006. Oxford Handbook of ENT and Head and Neck Surgery. Oxford: Oxford University Press.

Drake, R. L., Vogl, W. & Mitchell, A. W. M., 2007. Gray's Anatomy for Students. 1st ed. Philadelphia: Churchill Livingstone.

(64)

Gambar

Gambar 2.1 Pembagian leher kepada enam tingkat (Balm et al., 2010)
Tabel 2.1.  Tanda fisik pada penegakan diagnosis (Lee et al., 1997)
Gambar 2.2 Sistem limfa pada bagian servikal (Probst et al.,2006)
Gambar 2.3 Karsinoma sel skuamosa berkeratin diaspirasi dari KGB leher
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketika ditinjau lebih jauh, bahasan mengenai perilaku seksual pranikah ini dilatar-belakangi oleh beberapa faktor salah satunya berkaitan dengan pemberian perhatian dan

Kemudian, ketika ditambahkan dengan Na2CO3 juga tidak terdapat perubahan warna serta tidak terjadi perubahan pada air tersebut.. Hal ini membuktikan bahwa air tersebut

After a chapter surveying Greek background material including Homer, tragedy, Plato and the Alexandrians, five chapters argue that comparative study of the literary use

Beberapa persyaratan dibaaah ini penting untuk keberlanautan sosial yaitu: prioritas harus diberikan pada pengeluaran sosial dan program diarahkan untuk

SLEMAN 31-12-1935 Perempuan Nikah

Selain fenomena umum yang diuraikan tersebut, secara khusus peran pemerintah desa yaitu kepala desa (Hukum Tua) belum Nampak dan jelas, peran dimaksud adalah: peran kepala

Oleh karena itu, pengenalan dan praktek audit pemasaran ini dilakukan untuk dapat membantu para wanita tersebut agar mereka dapat benar benar mengenali usaha apa

Ada dua variabel yang dinilai oleh konsumen di Toko Fira Souvenir dalam keputusan pembelian yaitu produk diperoleh persentase sebesar 89 persen dengan interpretasi skor