PENGEMBANGAN
PROSES
PRODUKSI
ALKI L
POLI GLI KOSI DA
( APG)
DARI
GLUKOSA
DAN
PATI
SAGU
ADI SALAMUN
SEKOLAH PASCASARJANA
I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI
DISERTASI
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Proses
Produksi Alkil Poliglikosida (APG) dari Glukosa dan Pati Sagu adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Adisalamun
ABSTRACT
ADISALAMUN. Process Development of Alkyl Polyglycoside (APG) from
Glucose and Sago Starch. Supervised by DJUMALI MANGUNWIDJAJA, ANI
SURYANI, YANDRA ARKEMAN, and TITI CANDRA SUNARTI.
Alkyl polyglycoside (APG) is one of the products made from renewable natural
materials, namely from carbohydrates and fatty alcohols. The aims of this study were (1) to obtain the optimum conditions of synthesis process of APG as well as its characteristics, (2) to develop the production process of APG from sago starch; and (3) to obtain information of financial feasibility of the establishment of APG industry of sago starch (capacity 1000 ton/year). The process of making APG with Fischer synthesis can be carried out with two process variants, namely direct
synthesis and transacetalization process. Factors studied were glucose-dodecanol
mole ratio and acetalization temperature. The process of synthesis of APG with
sago starch raw material must go through two-step process, namely butanolysis
and transacetalization. The optimum process conditions for synthesis of APG from glucose was obtained at mole ratio of glucose to dodecanol 1:3 and
temperature 120°C with the yield of APG by 29.31%. While the optimum process
conditions for the synthesis of APG from sago starch was obtained at mole ratio of sago starch with dodecanol 1:4.57 and temperature 143.89°C with the yield of
39.04%. Characterization of the resulting APG, namely: surface tension of APG
produced from sago starch (APG-PS) ranged from 60.97 to 65.14%, while the
APG produced from glucose (APG-G) ranged from 49.96 to 56.99%; interfacial
tension of APG-PS ranged from 70.30 to 81.89%; while the APG-G ranged from
54.48 to 77.34% and commercial APG (APG-K) ranged from 70.30 to 81.89%;
Emulsion stability of water-xylene in the presence of 0.1% of APG from APG-G
ranged between 37-75%, while the emulsion stability of the APG-PS ranged
between 35.8-76.2% and APG-K by 85%. Hydropphile-lipophile balance (HLB)
value obtained for the APG-K was 13.64, for the APG-G was 12.31 and for the
APG-PS was 8.81. FTIR analysis results showed generally a similar absorption
band between APG-K and APG-G as well as APG-PS. Correspondence between
surface and interfacial tension data, (c), with a surface equation of state derived from the Langmuir isotherm is fitted. Of the development process was found that synthesis of APG from sago starch can proceed to the stage of commercial production. The results of financial analysis shows also that the industry of APG is feasible to be realized with the criteria NPV of Rp 22,722,464,827; IRR of 36.48%; PBP 2.77 years; and net B/C of 1.34.
RINGKASAN
ADISALAMUN. Pengembangan Proses Produksi Alkil Poliglikosida (APG) Dari
Glukosa dan Pati Sagu. Dibimbing oleh DJUMALI MANGUNWIDJAJA, ANI
SURYANI, YANDRA ARKEMAN, dan TITI CANDRA SUNARTI.
Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari
petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang
cukup dalam beberapa dekade. Namun, untuk jangka panjang bahan-bahan baku
dari fosil ini akan habis dan produk-produk yang berbasis dari bahan-bahan
terbarukan akan menjadi semakin penting. Dengan meningkatnya kesadaran
konsumen terhadap lingkungan dan meningkatnya biaya pengolahan air limbah
telah memberikan daya dorong untuk menggantikan sebagian produk-produk
berbasis petrokimia dan gas alam dengan produk-produk yang berbasis sumber
daya alam terbarukan, seperti karbohidrat dan trigliserida. Alkil poliglikosida
(APG) merupakan salah satu produk yang terbuat dari bahan-bahan alami
terbarukan, yaitu dari karbohidrat dan alkohol lemak. APG ini merupakan salah
satu jenis surfaktan nonionik yang biasa digunakan sebagai aditif pada formulasi
beberapa produk seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan diri
(personal care products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Mendapatkan kondisi optimum
proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta karakteristiknya; (2)
Mengembangkan proses produksi APG dari pati sagu; dan (3) Mendapatkan
informasi kelayakan finansial pendirian industri APG dari pati sagu dan analisis
sensitivitasnya.
Proses pembuatan APG dengan sintesis Fischer dapat dilakukan dengan dua
varian proses, tergantung pada jenis karbohidrat yang digunakan, yaitu sintesis
langsung (proses satu tahap) dan sintesis tidak langsung (proses dua tahap). Pada
proses satu tahap bahan bakunya adalah glukosa, sedangkan pada proses dua
tahap bahan bakunya bisa glukosa ataupun pati. Proses produksi APG melalui
proses asetalisasi (satu tahap) dilakukan dengan mereaksikan glukosa dan
dodekanol dengan bantuan katalis asam p-toluena sulfonat (pTSA) untuk
menghasilkan APG. Faktor yang dikaji adalah rasio mol glukosa-dodekanol dalam
kisaran 1:3 1:6 dan suhu asetalisasi dalam kisaran 100 120oC. Proses sintesis APG dengan bahan baku pati sagu harus melalui dua tahapan proses, yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada tahap butanolisis pati sagu, air dan butanol
direaksikan dengan adanya katalis pTSA pada tekanan tinggi untuk membentuk
butil glikosida. Reaksi ini berlangsung selama 30 menit pada suhu 130 150oC, tekanan 3 5 bar dan kecepatan pengaduk 200 rpm. Pada tahap transasetalisasi, butil glikosida hasil dari butanolisis direaksikan dengan alkohol lemak C12
(dodekanol) dengan bantuan katalis pTSA pada kondisi vakum. Reaksi ini
berlangsung pada suhu 110 120oC dan tekanan vakum selama 120 menit. Pada
tahap ini dihasilkan APG yang masih bercampur dengan dodekanol, sedangkan
butanol berlebih yang tidak bereaksi dan air dikeluarkan. Kemudian dilanjutkan
dengan proses pemurnian yang meliputi netralisasi, distilasi, pelarutan dan
pemucatan. Pada netralisasi ditambahkan NaOH hingga pH mencapai 8 10 untuk
vakum. Distilasi bertujuan untuk mengeluarkan alkohol lemak berlebih yang tidak
bereaksi. Pelarutan dilakukan agar kandungan APG di dalam produk sesuai
dengan yang diinginkan. Dalam penelitian ini diinginkan kandungan APG 70%
bobot dan sisanya 30% bobot adalah air. Jadi air yang ditambahkan sebanyak 3/7
dari massa APG yang dihasilkan pada tahap distilasi. Proses pemucatan dilakukan
dengan menambahkan 2% larutan H2O2 serta NaOH hingga diperoleh produk
dengan pH 8 10.
Surfaktan nonionik APG larut dalam air, karena itu adsorpsi surfaktan APG
dipelajari pada permukaan air-udara untuk tegangan permukaan dan air-xilena
untuk tegangan antarmuka. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan untuk
menduga tegangan permukaan dan tegangan antarmuka diturunkan dari
persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir. Untuk kajian kinetika
emulsifikasi, emulsi disiapkan dengan melarutkan 2% berat APG dalam 92% air
pada suhu 60oC, kemudian ditambahkan 6% mineral oil. Campuran ini diaduk
dengan homogenizer pada kecepatan 1500 rpm, 2000 rpm dan 2500 rpm.
Pengukuran distribusi ukuran globula fase terdispersi dilakukan setiap interval
waktu 5 menit hingga 25 menit dengan mikroskop.
Pada pengembangan proses APG, bahan baku yang digunakan dalam
sintesis APG adalah pati sagu dan dodekanol. Pati sagu memiliki kelebihan dibandingkan glukosa karena pati sagu banyak tersedia dan harganya relatif
murah dibandingkan glukosa. Proses yang digunakan dalam sintesis APG adalah
proses Fischer dua tahap. Kondisi proses yang digunakan adalah kondisi proses
optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari pati sagu pada tahap
sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses pada skala yang lebih
besar menurut metode linier. Kemudian dihitung neraca massa pada tiap-tiap
tahapan proses dilanjutkan dengan penentuan ukuran peralatan utama dalam
mensintesis APG dan prakiraan analisis ekonomi berdasarkan harga pembelian
peralatan. Pada Tahap ini juga dilakukan uji produksi APG dalam reaktor 10 L
berdasarkan kondisi proses optimum yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
Kondisi proses optimum untuk sintesis APG satu tahap diperoleh pada rasio
mol glukosa dengan dodekanol 1:3 dan suhu 120oC dengan respon yield APG
sebesar 29,31%. Sedangkan kondisi proses optimum untuk sintesis APG dua
tahap diperoleh pada rasio mol pati sagu dengan dodekanol 1:4,57 dan suhu
143,89oC dengan yield APG sebesar 39,04%. Karakterisasi APG yang dihasilkan
baik APG dari glukosa (APG-G) maupun APG dari pati sagu (APG-PS) adalah
(1) Kemampuan menurunkan tegangan permukan yang diperoleh pada APG-PS
lebih besar dibandingkan dengan APG-G, yaitu sebesar 60,97 65,14% sedangkan
APG-G mampu menurunkan tegangan permukaan berkisar antara 49,96 56,99%;
(2) Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka air-xilena dari APG-PS lebih
baik dibandingkan dengan APG-G. APG-PS mampu menurunkan tegangan
antarmuka air-xilena sebesar 74,48 80,98%, sedangkan APG-G mampu
menurunkan tegangan antarmuka sebesar 54,48 77,34%. Kemampuan
menurunkan tegangan antarmuka yang tidak jauh berbeda dengan APG-PS juga
didapatkan dari APG komersial (APG-K), yaitu sebesar 70,30 81,89%; (3)
Stabilitas emulsi air-xilena dengan adanya APG 0,1% dari APG-G berkisar antara
37 75%, sedangkan stabilitas emulsi dari APG-PS berkisar antara 35,8 76,2%
dan APG-K sebesar 85%; (4) Nilai hydropphile-lipophile balance (HLB) yang
APG-PS adalah 8,81. Berdasarkan konsep Grifin, APG-K dan APG-G tergolong
dalam pengemulsi O/W dan solubilizer, sedangkan APG-PS juga tergolong dalam
pengemulsi O/W dan bahan pembasah; (5) Hasil analisis FTIR secara umum
memperlihatkan pita serapan yang hampir sama antara APG-K dan APG hasil
sintesis tetapi pada APG hasil sintesis baik dari glukosa maupun dari pati sagu
terbentuk banyak pita serapan yang tidak terbentuk pada kurva APG komersial,
ini diperkirakan karena ketidakmurnian APG hasil sintesis yang bercampur
dengan kerak-kerak sehingga muncul gugus-gugus tersebut.
Kesesuaian antara data tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, (c),
dengan persamaan keadaan permukaan yang diturunkan dari isotherm Langmuir
sangat fit. Dari pengembangan proses diperoleh bahwa sintesis APG dari pati sagu dapat dilanjutkan ke tahap produksi komersial. Hasil analisis finansial juga
menunjukkan bahwa industri APG ini layak untuk direalisasikan dengan kriteria
NPV sebesar Rp 22.722.464.827; IRR sebesar 36,48%; PBP 2,77 tahun dan net
B/C 1,34.
©
Hak
cipta
milik
IPB,
tahun
2012
Hak
cipta
dilindungi
Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PENGEMBANGAN
PROSES
PRODUKSI
ALKIL
POLIGLIKOSIDA
(APG)
DARI
GLUKOSA
DAN
PATI
SAGU
ADISALAMUN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA 2. Dr. Ono Suparno, S.TP., MT
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil’alamin, dengan memanjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul
“Pengembangan Proses Produksi Alkil Poliglikosida (APG) Dari Glukosa dan Pati Sagu.” Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa terwujudnya disertasi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan
kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA selaku Ketua Komisi
Pembimbing atas perhatian, waktu, arahan dan motivasi sehingga disertasi ini
dapat diselesaikan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para
Anggota Komisi Pembimbing Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA; Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng.; Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MS yang telah banyak
mengarahkan, memberi bimbingan dan saran, memberi dorongan dan selalu
memberi semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan studi ini.
Penulis juga berterimakasih kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan Ketua
Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB atas segala
bantuan dan pelayanannya. Kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi
Teknologi Industri Pertanian IPB penulis ucapkan terimakasih atas segala curahan
waktu, ilmu pengetahuan dan pengalaman yang diberikan selama penulis
menempuh pendidikan di IPB.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan kuliah TIP
umumnya dan rekan-rekan TIP 2006 khususnya atas dukungan, kebersamaan
selama belajar dan dorongan semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Ungkapan terima kasih yang tulus dari lubuk hati paling dalam penulis
segala do’a dan pengorbanan yang tiada tara baik materi maupun moril yang beliau berikan selama ini. Juga rasa terima kasih penulis sampaikan kepada ayah mertua Teuku Cut Ahmad (alm.) dan Ibu mertua Cut Raimah atas do’a dan motivasi yang diberikan selama ini.
Rasa terima kasih penulis haturkan kepada istri tercinta Cut Yulian, ananda
Sophia Nabila Putri, Kenna Rizka Aziza (almh.) dan Adilla Fatin Humayra yang
selalu sabar dan selalu memberikan dukungan serta motivasi baik dalam suka
maupun duka.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak, yang
tidak dapat penulis ucapkan satu per satu, yang telah membantu dan memberikan
dukungan dalam penyelesaian studi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini masih terdapat
banyak kekurangan, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran untuk
perbaikannya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan pengembangan agroindustri di Indonesia.
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Keramat Luar pada tanggal 27 Mei 1967 sebagai anak
ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Adnan Gade (Alm) dan Ibu Cut
Nurhayati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2000 penulis
menamatkan program Magister Teknik, di Fakultas Teknologi Industri, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Kesempatan untuk melanjutkan ke
program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2006.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Syiah Kuala sejak tahun 1993.
Karya ilmiah berjudul Adsorpsi Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida
Pada Antarmuka Fluida-Fluida sedang menunggu penerbitan di Jurnal Rekayasa
Kimia dan Lingkungan. Artikel lain berjudul Optimasi Kondisi Proses Produksi
Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Dengan Metode Permukaan
Respon juga sedang menunggu penerbitan di Jurnal Teknologi Industri Pertanian.
Penulis menikah dengan drh Cut Yulian pada tahun 1999 dan dikarunia tiga orang anak, yaitu Sophia Nabila Putri, Kenna Rizka Aziza (Almh), dan Adilla
DAFTAR
I SI
Halaman
DAFTAR TABEL... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN... xxiii
I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Tujuan Penelitian... 3
1.3 Ruang lingkup ... 3
II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Surfaktan... 7
2.2 Sifat-sifat Surfaktan... 9
2.2.1 Tegangan Permukaan ... 9
2.2.2 Stabilitas Emulsi ... 10
2.2.3 Hydrophile-Lipophile Balance (HLB) ... 11
2.3 Alkil Poliglikosida... 12
2.3.1 Pengembangan Alkil Poliglikosida ... 12
2.3.2 Bahan Baku Alkil Poliglikosida... 13
2.3.4 Produksi Alkil Poliglikosida ... 17
2.4 Studi Pustaka Sintesis Alkil Poliglikosida ... 23
2.5 Adsorpsi Pada Suatu Permukaan... 28
2.5.1 Thermodinamika Adsorpsi: Persamaan Gibbs... 28
2.5.2 Isotherm Adsorpsi Kesetimbangan ... 30
2.5.3 Persamaan Keadaan Permukaan ... 32
2.5.4 Mekanisme Adsorpsi Permukaaan... 33
2.6 Emulsi... 33
2.7 Skin Lotion... 37
2.8 Analisis Kelayakan Finansial ... 41
2.9 Analisis Sensitivitas... 43
III METODOLOGI PENELITIAN... 45
3.1 Kerangka Pemikiran ... 45
3.2 Bahan dan Alat ... 46
3.3 Tahapan Penelitian ... 47
IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 61
4.1 Optimasi Proses Produksi APG dari Glukosa dan Pati Sagu ... 61
4.1.1 Pengembangan Model Empiris ... 61
4.1.2 Karakteristik APG... 68
4.2 Adsorpsi Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida Pada Antarmuka Fluida-Fluida ... 76
4.3 Kinetika Emulsifikasi ... 79
4.4 Aplikasi Alkil Poliglikosida Pada Skin Lotion ... 82
4.4.1 Viskositas ... 82
4.4.2 Stabilitas Emulsi Skin Lotion... 82
4.4.3 Nilai pH ... 83
4.5 Pengembangan Proses Produksi APG ... 84
4.6 Peningkatan Skala Reaktor ... 92
4.6.1 Neraca Massa dan Yield ... 98
4.6.2 Karakteristik APG pada Skala 10 L ... 100
4.7 Analisis Kelayakan Finansial... 103
4.7.1 Biaya Investasi... 104
4.7.2 Biaya Produksi... 104
4.7.3 Kriteria Investasi... 105
4.7.4 Analisis Sensitivitas ... 106
V KESIMPULAN ... 109
5.1 Kesimpulan ... 109
5.2 Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA... 111
DAFTAR
TABEL
Halaman
1 Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja ... 12
2 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g ... 15
3 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati ... 16
4 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis APG secara kimia... 26
5 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glukosida) secara kimia ... 27
6 Syarat mutu sediaan tabir surya... 37
7 Rentang dan level peubah untuk sintesis APG dari glukosa dengan rancangan komposit terpusat ... 48
8 Rentang dan level peubah untuk sintesis APG dari pati sagu dengan rancangan komposit terpusat ... 48
9 Peubah bebas dan respon untuk sintesis APG dari glukosa dengan rancangan komposit terpusat ... 49
10 Peubah bebas dan respon untuk sintesis APG dari pati sagu dengan rancangan komposit terpusat ... 50
11 Matriks rancangan percobaan sintesis APG dari glukosa dan hasil (yield) ...62
12 Matriks rancangan percobaan sintesis APG dari pati sagu dan respon (yield) ... 62
13 Pita serapan spektrofotometer FTIR dari APG komersial dan hasil penelitian ... 75
14 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG komersial... 75
15 Nilai KL dan untuk tegangan permukaan hasil optimasi dengan metode Nelder-Mead ... 77
16 Nilai KL dan untuk tegangan antarmuka hasil optimasi dengan metode Nelder-Mead ... 78
17 Ragam parameter model (ukuran globula rata-rata pada 1 menit dispersi dan laju breakage) ... 81
18 Neraca massa per batch pada sintesis APG ... 86
19 Biaya peralatan utama dalam sintesis APG ... 88
20 Biaya bahan baku pembuatan APG ... 89
21 Perkiraan total modal investasi ... 90
22 Perkiraan Total biaya produksi APG per tahun ... 91
23 Neraca massa keseluruhan pada keadaan tunak ... 99
24 Karakteristik puncak dari APG yang dihasilkan ... 101
25 Hasil analisis sensitivitas Skenario I ... 107
26 Hasil analisis sensitivitas Skenario II ... 108
27 Hasil analisis sensitivitas Skenario III ... 108
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
1 Diagram skematik dari sebuah molekul surfaktan ... 7
2 Rumus struktur dari alkil poliglikosida ... 13
3 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida berdasarkan sumber karbohidrat berbeda, sintesis langsung dan transasetalisasi... 18
4 Sintesis APG satu tahap... 19
5 Proses sintesis APG dua tahap ... 21
6 Kolom dalam sistem riel... 29
7 Kolom dalam sistem ideal ... 29
8 Gambaran skematik dari emulsi w/o dan o/w yang mengandung gugus Hidrofilik dan lipofilik dari surfaktan ... 34
9 Skema emulsi ganda W/O/W dan O/W/O... 35
10 Skematik dari proses pemecahan emulsi ... 36
11 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida satu tahap ... 52
12 Metode Sintesis APG dua tahap ... 54
13 Skema peralatan proses produksi APG dalam reaktor batch ... 55
14 Diagram alir pembuatan Sediaan A ... 57
15 Diagram alir pembuatan Sediaan B ... 58
16 Diagram alir proses pembuatan skin lotion ... 58
17 Perbandingan antara yield percobaan dan yield prediksi dari model untuk APG dari glukosa ... 64
18 Perbandingan yield percobaan dan model pada sintesis APG dari pati sagu ... 65
19 Permukaan respon yield APG berbahan baku glukosa ... 65
20 Plot kontur permukaan respon yield APG berbahan baku glukosa ... 66
21 Permukaan respon tiga dimensi dari yield APG dari pati sagu ... 67
22 Plot kontur permukaan respon yield APG dari pati sagu ... 67
23 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dari glukosa ... 69
24 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dari pati sagu ...70
25 Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dari glukosa... 71
26 Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dari
pati sagu ... 71
27 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan .... 78
28 Tegangan antarmuka air-xilena pada berbagai konsentrasi APG dalam larutan ... 79
29 Ragam ukuran globula fase terdispersi rata-rata pada 2% APG dalam air-mineral oil ... 81
30 Diagram alir bahan pada proses sintesis APG dengan bahan baku pati sagu ... 85
31 Reaktor utama untuk sintesis APG skala 10 L... 96
32 Kondensor, separator, dan tangki silika gel (a) Kondensor, (b) Separator dan tangki silika gel ... 97
33 Setting alat untuk sintesis APG skala 10 L ... 97
34 Diagram alir proses sintesis APG ... 98
35 Tegangan permukaan air pada berbagai konsentrasi APG ... 101
36 Tegangan antarmuka air-xilen pada berbagai konsentrasi APG ... 102
DAFTAR
LAMPI RAN
Halaman
1 Prosedur analisis surfaktan APG ... 117
2 Prosedur analisis skin lotion ... 119
3 Data produksi APG berbahan baku glukosa... 120
4 Data produksi APG berbahan baku pati sagu ... 123
5 Data karakteristik surfaktan APG... 126
6 Sidik ragam (ANOVA) untuk yield ... 130
7 Hasil analisis FTIR dari APG komersial (APG-K) sebagai acuan, APG dari glukosa (APG-G) dan APG dari pati sagu (APG-PS)... 131
8 Data pengukuran karakteristik skin lotion ... 133
9 Hasil pengamatan ukuran globula emulsi air-mineral oil dengan adanya APG 2%... 134
10 Desain reaktor sintesis APG skala 10 L ... 137
11 Data karakteristik APG pada skala 10 L ... 138
12 Analisis kelayakan dan cashflow... 140
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak produk kimia diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari
petrokimia atau gas alam, dimana bahan baku ini akan tersedia dalam jumlah yang
cukup dalam beberapa dekade. Namun, untuk jangka panjang bahan-bahan baku
dari fosil ini akan habis dan produk-produk yang berbasis dari bahan-bahan
terbarukan akan menjadi semakin penting. Meningkatnya kesadaran konsumen
terhadap lingkungan dan meningkatnya biaya pengolahan air limbah telah
memberikan daya dorong untuk menggantikan sebagian produk-produk berbasis
petrokimia dan gas alam dengan produk-produk yang berbasis sumber daya alam
terbarukan, seperti karbohidrat dan trigliserida (Ware et al. 2007).
Alkil poliglikosida (APG) merupakan salah satu produk yang terbuat dari
bahan-bahan alami terbarukan, yaitu dari karbohidrat dan alkohol lemak (El-
Sukkary et al. 2008). APG ini merupakan surfaktan nonionik yang mempunyai
sifat-sifat ekologi dan toksikologi yang paling baik dan sifat-sifat antarmuka yang baik (Rodriguez et al. 2005). APG juga aman untuk mata dan kulit (Mehling et al.
2007). APG biasa digunakan sebagai aditif pada formulasi beberapa produk
seperti formulasi herbisida, produk-produk perawatan diri (personal care products), kosmetik maupun untuk pemucatan kain/tekstil (Hill & Rhode 1999).
APG pertama sekali disintesis dan diidentifikasi oleh Emil Fischer. Proses sintesis APG dengan metode Fischer ini dapat dilakukan dengan dua varian proses, yaitu dengan proses satu tahap (sintesis langsung), yaitu melalui reaksi
langsung glukosa dengan alkohol lemak, dan proses dua tahap (butanolisis dan
transasetalisasi) (von Rybinski & Hill 1998).
Glukosa ataupun pati dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi
surfaktan APG (Holmberg 2001). El-Sukkary et al. (2008) telah mensintesis
sederetan APG melalui proses dua tahap menggunakan glukosa dan alkohol lemak
dengan panjang rantai alkil berbeda, yaitu oktanol (C8), nonanol (C9), dekanol (C10), dodekanol (C12) dan tetradekanol (C14). Alkil poliglikosida (APG) juga
2
alkohol lemak (Ware et al. 2007). Panjang rantai alkohol lemak yang mereka gunakan adalah C8, C10, C12, C16 (heksadekanol) dan C18 (oktadekanol). Böge dan
Tietze (1998) juga telah menggunakan glukosa dan alkohol lemak (dodekanol,
C12) untuk mensintesis APG. Mereka menggunakan proses satu tahap. Corma et
al. (1998) telah membuat alkil glikosida rantai panjang dengan transasetalisasi butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi
langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang mereka
gunakan adalah C8 (1-oktanol) dan C12 (1-dodekanol).
Tingkat kelarutan glukosa dalam alkohol rantai panjang yang hidrofobik
(alkohol lemak) sangat rendah disebabkan perbedaan kepolarannya. Oleh karena
itu, beberapa peneliti seperti El-Sukkary et al. (2008) dan Ware et al. (2007)
mereaksikan terlebih dahulu glukosa dengan alkohol rantai pendek (butanol),
yaitu melalui reaksi butanolisis, untuk membentuk alkil (butil) glikosida, dimana
butil glikosida ini lebih mudah larut dalam alkohol lemak. Permasalahan kelarutan
sakarida dalam alkohol lemak dapat diatasi dengan penggunaan solubilizer.
Boettner (1963) dalam Lüders (2000) telah menggunakan pelarut N,N-
dimethylformamide (DMF). McDaniel et al. (1989) dalam Lüders (2000) telah
menggunakan N-methyl-2-pyrrolidone (NMP) sebagai pelarut. Pelarut DMF
relatif mahal sedangkan NMP bersifat racun terhadap lingkungan. Salah satu
solubilizer sejenis NMP yang tidak mencemari lingkungan adalah dimetil
sulfoxida (DMSO) dengan rumus kimia (CH3)2SO yang merupakan asam lemah
dan toleran terhadap basa kuat dengan titik didih 189oC. Butil glikosida juga dapat
bertindak sebagai solubilizer untuk memperbaiki tingkat kelarutan sakarida
(Luders 1987 dalam Luders 2000).
Dengan menggunakan pelarut maka reaksi diharapkan berada dalam fasa
homogen, sehingga reaksi polimerisasi glukosa yang tidak diinginkan dapat
dihindari. Dengan demikian pengotor-pengotor atau endapan-endapan dari produk
reaksi yang berwarna gelap dapat dikurangi.
Selain itu penggunaan glukosa lebih mudah menyebabkan produk berwarna
gelap karena gula-gula sederhana sangat mudah mengalami degradasi akibat
penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam. Proses degradasi inilah yang
3
adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa, karena itu pati merupakan
pilihan yang tepat sebagai bahan baku yang potensial dalam produksi alkil
poliglikosida. Penggunaan bahan baku pati pada proses sintesis APG memiliki
beberapa kelebihan, diantaranya ketersediaan pati yang banyak dan harganya
relatif murah dibandingkan glukosa serta pati tidak mudah menyebabkan produk
berwarna gelap. Karena itu dalam penelitian ini digunakan pati sagu sebagai
bahan baku dalam sintesis APG dan glukosa digunakan sebagai pembanding.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendapatkan kondisi optimum proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap
serta karakteristiknya.
2. Mengembangkan proses produksi APG dari pati sagu.
3. Mendapatkan informasi analisis kelayakan finansial produksi APG dari pati
sagu dan dodekanol serta analisis sensitivitasnya.
1.3 Ruang Lingkup
Penelitian ini terdiri dari tiga bagian utama:
1. Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan sintesis APG dua tahap
serta karakteristiknya. Kajian fenomena adsorpsi APG pada antarmuka fluida-
fluida dan kinetika emulsifikasi, penerapan APG pada pembuatan produk skin
lotion.
2. Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu.
3. Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan dodekanol.
1.3.1 Optimasi kondisi proses sintesis APG satu tahap dan dua tahap serta
karakteristiknya.
Bagian ini meliputi optimasi kondisi proses asetalisai (sintesis APG satu
tahap) dan optimasi proses sintesis APG dua tahap. Optimasi dilakukan dengan
4
Faktor-faktor yang diteliti pada sintesis APG satu tahap adalah rasio mol glukosa
dengan dodekanol dan suhu asetalisasi. Sedangkan pada produksi APG dari pati
sagu, faktor-faktor yang dikaji adalah rasio mol pati sagu dengan dodekanol dan
suhu butanolisis. Adapun peubah responnya adalah yield APG. Karakteristik
produk yang diuji adalah konfirmasi struktur produk APG dan sifat-sifat aktif
permukaan APG, yaitu tegangan permukaan, tegangan antarmuka, stabilitas
emulsi dan hydrophile-lipophile balance (HLB).
Pada tahap ini juga dilakukan kajian fenomena adsorpsi APG pada
antarmuka fluida-fluida. Karena APG larut dalam air, fluida yang digunakan
adalah air-udara dan air-xilena. Persamaan keadaan permukaan yang digunakan
diturunkan dari persamaan adsorpsi Gibbs dan model isotherm Langmuir.
Kemudian dipelajari kinetika emulsifikasi dan uji stabilitas emulsi. Emulsi pada
kajian kinetika emulsifikasi terdiri dari air + mineral oil + surfaktan APG. Sedangkan pada uji stabilitas emulsi, emulsi yang digunakan adalah skin lotion
yang merupakan produk terapan APG sebagai surfaktan dalam sistem emulsinya.
1.3.2 Pengembangan proses produksi APG dari pati sagu
Pada bagian ini dilakukan pengembangan proses produksi APG. Proses
yang digunakan dalam sintesis APG adalah proses Fischer dua tahap. Bahan baku
yang digunakan adalah pati sagu, karena pati sagu banyak tersedia di Indonesia
dan harganya relatif murah dibandingkan glukosa. Kondisi proses yang digunakan
adalah kondisi proses optimum dari tahapan sebelumnya. Hasil sintesis APG dari
pati sagu pada tahap sebelumnya dijadikan dasar untuk mengembangkan proses
pada skala yang lebih besar menurut metode linier. Perhitungan neraca massa
pada tiap-tiap tahapan proses dilakukan pada keadaan tunak. Kemudian dihitung
ukuran peralatan utama dalam mensintesis APG. Pada Tahap ini juga dilakukan
uji produksi APG dalam reaktor 10 L berdasarkan kondisi proses optimum yang
5
1.3.3 Analisis kelayakan finansial produksi APG berbasis pati sagu dan
dodekanol.
Dalam bagian terakhir ini dilakukan analisis prakelayakan finasial untuk
menduga kelayakan proses produksi APG dari pati sagu dan alkohol lemak C12
(dodekanol). Untuk ini disusun analisis biaya untuk keperluan produksi surfaktan
APG. Analisis finansial untuk proses produksi surfaktan APG terdiri dari dua bagian, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dapat dikategorikan dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung. Modal kerja terdiri dari biaya produksi
(operasional) dan biaya umum. Sedangkan biaya produksi dapat dikelompokkan
dalam biaya produksi langsung, biaya tetap, dan biaya overhead pabrik. Penilaian
kelayakan dilakukan dengan menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu:
BAB
I I
TI NJAUAN
PUSTAKA
2.1 Surfaktan
Surfaktan, yang merupakan singkatan dari surface-active agent,
didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorpsi pada permukaan atau
antarmuka (interface) larutan untuk menurunkan tegangan permukaan atau
antarmuka sistem. Besarnya penurunan tegangan permukaan atau antarmuka
tergantung pada struktur surfaktan, konsentrasi, dan kondisi fisiko-kimia larutan
(misalnya pH, konsentrasi garam, suhu, tekanan, dll.). Secara tipikal surfaktan
merupakan spesies amphiphatic, artinya bahwa surfaktan tersusun dari komponen
hidrofobik, yang disebut dengan “ekor,” dan komponen hidrofilik, yang disebut
dengan gugus “kepala” (Gambar 1) sehingga memungkinkan surfaktan untuk
berinteraksi baik dengan molekul nonpolar maupun dengan molekul polar
(Mehling et al. 2007).
ekor (hidrofobik)
kepala
(hidrofilik)
Gambar 1 Diagram skematik dari sebuah molekul surfaktan (Mehling et al. 2007).
Surfaktan sebagai senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adesif telah diaplikasikan secara luas pada
berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada
dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka
antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan
air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan
menghasilkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Rieger 1985).
Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok,
yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut
8
hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut
kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan
negatif disebut amfoterik (Matheson 1996). Swern (1997) membagi surfaktan
menjadi empat kelompok sebagai berikut:
1) Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa
gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan
garam-garam amonium kuarterner atau amina.
2) Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion
bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi
menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.
3) Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,
kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa
muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan
terjadinya momen dipol.
4) Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik
seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.
Menurut Sadi (1994), surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak
nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang
diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetalisasi, etoksilasi,
esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis
surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada
kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang
diinginkan.
Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya gugus yang dapat
larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya gugus tersebut adalah gugus hidroksil (R-OH) dan gugus eter (R-O-R’). Daya kelarutan dalam air gugus
hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau
sulfonat. Kelarutan gugus hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan
penggunaan gugus multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk
9 antara lain: glikosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991).
Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat
dibagi menjadi empat kelompok yaitu :
1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester
2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida
3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin
4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan
sophorolipid.
2.2 Sifat-Sifat Surfaktan
2.2.1 Tegangan Permukaan
Molekul-molekul pada permukaan suatu cairan hanya memiliki molekul-
molekul sekelilingnya dari sisi bagian dalam dan dengan demikian mengalami
suatu daya tarik yang cenderung menarik mereka ke bagian dalam. Sebagai
hasilnya, molekul-molekul melekat lebih kuat dengan yang berhubungan secara
langsung dengan mereka di permukaan dan membentuk permukaan "film". Oleh
karena itu perlu lebih banyak gaya untuk menggerakkan objek dari permukaan ke
udara daripada untuk menggerakkannya dari fase bagian dalam. Tegangan
permukaan adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan luas permukaan
cairan dalam berbagai unit, biasanya diukur dalam dynes/cm atau mN/m. Gaya
dalam dyne/mN diperlukan untuk memecahkan suatu film dengan panjang 1 cm/1
m. Air pada suhu 20oC memiliki tegangan permukaan 72,8 dyne/cm dibandingkan
dengan 22,3 untuk etil alkohol dan 465 untuk merkuri (Myers 2006).
Energi molekul-molekul dalam antarmuka menentukan tegangan permukaan
dari suatu cairan, jadi jika molekul-molekul permukaan diganti dengan solut yang
teradsorpsi, maka nilai tegangan permukaan yang terukur akan berubah. Solut-
solut tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan tegangan permukaan dari
suatu antarmuka air-uap. Menariknya, suatu elektrolit hanya dapat meningkatkan
sedikit tegangan permukaan; misalnya, larutan natrium hidroksida 10% akan
10
dapat menurunkan tegangan permukaan air sebesar 50% atau lebih. Tingkat
ketidakseimbangan dari gaya-gaya pada permukaan menentukan nilai tegangan
permukaan. Jika fase uap digantikan dengan pelarut nonpolar, seperti oktana,
tegangan antarmuka akan tereduksi menjadi 52 mN/m; jika fase uap digantikan
dengan pelarut polar seperti 1-oktanol, tegangan antarmuka akan tereduksi hingga
serendah 8,5 mN/m (Myers 2006).
Surfaktan dapat diserap pada permukaan atau antarmuka dengan bagian
hidrofiliknya berorientasi pada fase encer dan bagian hidrofobiknya berorientasi
pada uap atau fase yang kurang polar; perubahan sifat molekul-molekul yang
menempati permukaan secara signifikan mengurangi tegangan permukaan.
Berbagai jenis surfaktan memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengurangi
tegangan permukaan atau antarmuka karena struktur kimia yang berbeda. Oleh
karena itu tegangan permukaan larutan surfaktan merupakan salah satu sifat fisik
yang paling umum dari larutan tersebut yang digunakan untuk mengkarakterisasi
sifat-sifat surfaktan.
2.2.2 Stabilitas Emulsi
Telah diketahui dengan baik bahwa peran pengemulsi adalah untuk
menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air dengan membentuk
lapisan antarmuka kohesif secara mekanik disekitar globula fase terdispersi
sehingga membantu dalam fragmentasi globula selama emulsifikasi dan
mencegah terbentuknya koalesensi (Rousseau 2000). Selama emulsifikasi,
stabilitas globula sementara (transient) merupakan hal penting untuk mengurangi
koalesensi kembali selama proses, yang pada gilirannya menentukan distribusi
ukuran globula akhir.
Secara alami, kebanyakan emulsi tidak stabil secara termodinamika; yaitu,
emulsi cenderung terpisah menjadi dua fase yang berbeda atau lapisan seiring
berjalannya waktu karena luas antarmuka tinggi. Oleh karena itu, karakteristik
emulsi (distribusi ukuran globula, ukuran globula rata-rata dan properti-properti
lainnya) juga akan berubah dengan waktu. Stabilitas emulsi dicirikan dengan
11
dalam memahami pembentukan emulsi, karena stabilitas adalah tujuan akhir atau
ukuran dari seluruh proses (Fingas & Fieldhouse, 2004).
Ada lima mekanisme utama yang dapat berkontribusi terhadap
ketidakstabilan emulsi: (1) creaming dan sedimentasi; (2) flokulasi; (3) Oswald
ripening; (4) koalesensi; dan (5) inversi fase (Rousseau 2000). Idealnya semua
faktor ini perlu diminimalkan atau dicegah untuk menghasilkan suatu emulsi yang
stabil. Creaming dan sedimentasi merupakan pemisahan fase karena perbedaan
densiti antara dua fase pada pengaruh gravitasi. Flokulasi merupakan agregasi
pertikel tanpa kerusakan individualitas emulsi karena gaya tarik menarik yang
lemah antara koloid. Flokulasi tergantung pada energi interaksi antara dua partikel
sebagai fungsi dari jarak antar partikel. Energy interaksi merupakan gabungan
gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak. Selama flokulasi, partikel
mempertahankan integritas strukturalnya (McClements & Demetriades 1998).
Ostwald ripening adalah pertumbuhan globula-globula yang lebih besar dengan
mengorbankan globula-globula yang lebih kecil dan berhubungan dengan gradien
kelarutan yang terdapat antara globula-globula kecil dan besar (Rousseau 2000).
Selama koalesensi, dua globula yang berbenturan akan membentuk satu globula
yang lebih besar. Koalesensi bisa sempurna ketika globula adalah cairan atau sebagian jika globula berisi material kristal. Koalesensi sebagian dapat
menyebabkan inverse fase, dimana emulsi minyak dalam air (o/w) menjadi emulsi
air dalam minyak (w/o).
2.2.3 Hydrophile-Lipophile Balance ( HLB)
Parameter HLB merupakan suatu usaha untuk mengkorelasikan secara
kuantitatif struktur surfaktan dengan aktivitas permukaannya. Sistem ini
menggunakan formula-formula empiris tertentu untuk menghitung bilangan HLB,
secara normal harga yang diberikan dalam kisaran skala 0–20. Makin tinggi nilai
HLB menunjukkan surfaktan makin hidrofilik, sehingga mereka lebih larut dalam
air dan pada umumnya digunakan sebagai bahan pelarut (solubilizing agents)
yang baik, deterjen, dan penstabil untuk emulsi O/W; surfaktan dengan nilai HLB
rendah memiliki kelarutan dalam air yang rendah, sehingga mereka digunakan
12
baik (Myers 2006). Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja dari surfaktan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja
Rentang HLB Dispersivitas dalam air Aplikasi yang sesuai
1 4 Tidak mampu mendispersi dalam
air
3 6 Kemampuan mendispersi kurang
baik
6 8 Dispersi seperti susu setelah
pengadukan yang sempurna
8 10 Dispersi seperti susu stabil (ujung
atasnya hampir transparan)
Pengemulsi W/O
Wetting agent
Wetting agent,
pengemulsi O/W
10 13 Transparan hingga dispersi jernih Pengemulsi O/W
13+ Larutan jernih Pengemulsi O/W,
solubilizing agent
Sumber: Davis (1994)
2.3 Alkil Poliglikosida
2.3.1 Pengembangan Alkil Poliglikosida
Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu generasi baru surfaktan yang
sangat efektif yang didapatkan dari karbohidrat (Hill et al. 1997). Surfaktan ini tingkat toksiknya rendah, aman secara ekologi dan terbuat dari bahan-bahan yang dapat diperbarui (Böge & Tietze 1998; El-Sukkary et al. 2008; Rodriguez et al. 2005; von Rybinski & Hill 1998; Ware et al. 2007).
Alkil glikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium oleh Emil Fischer lebih dari 100 tahun yang lalu. Penggunaan paten pertama yang
menjelaskan pemakaian alkil glikosida dalam deterjen telah diajukan di Jerman
sekitar 40 tahun kemudian. Setelah itu banyak peneliti tertarik meneliti tentang
alkil glikosida dan telah mengembangkan proses-proses teknis untuk
13
Selama pengembangan ini, selain dilakukan penelitian awal Fischer yaitu
mereaksikan glukosa dengan alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol,
etanol, gliserol, dan lain-lain, juga diteliti reaksi dengan alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari oktil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol lemak. Hasil sintesis yang diperoleh bukan alkil
monoglikosida murni, namun campuran kompleks dari alkil mono-, di-, tri, dan
oligoglikosida. Karena itu, produknya disebut alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998). Produk alkil poliglikosida dapat dicirikan dengan panjang rantai alkil
dan derajat polimerisasi (Gambar 2).
R = gugus alkil (fatty)
DP = derajat polimerisasi (jumlah rata- rata unit glukosa/rantai alkil (R))
Gambar 2 Rumus struktur dari alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998).
2.3.2 Bahan Baku Alkil Poliglikosida
Sumber karbohidrat
Gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Baik
karbohidrat polimerik dan monomerik cocok sebagai bahan untuk produksi APG.
Karbohidrat polimerik meliputi, misalnya, pati (dari jagung, gandum atau sagu)
atau sirup glukosa dengan tingkat degradasi rendah, sedangkan karbohidrat
monomerik dapat dari berbagai bentuk dimana glukosa tersedia, misalnya glukosa
bebas-air, monohidrat glukosa (dekstrosa) atau highly degraded glucose syrup.
Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga
biaya produksi (Balzer & Lüders 2000; Hill et al. 1997).
Pati adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa dan merupakan
suatu bahan baku yang potensial dalam sintesis APG, karena pati lebih mudah
didperoleh dan harganya relatif murah dibandingkan dengan D-glukosa. Namun,
14
drastik daripada glikosidasi D-glukosa atau transglikosidasi alkil glikosida
sederhana.
Pati Sagu
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang
sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara
alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk
sebagai makanan sehari-hari (Limbongan 2007). Pati sagu, selain sebagai bahan
pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, kertas,
dan plastik yang mudah diurai.
Sampai saat ini sebagian besar sagu dunia dihasilkan dari perkebunan rakyat
yang dikerjakan secara tradisional atau dibudidayakan secara semi-liar. Indonesia
adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal 1.128 juta ha atau 51,3% dari 2.201 juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%) (Timisela 2008). Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki
areal 1,5% dan 0,2% (Abner & Miftahorrahman 2002 dalam Timisela 2008). Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua dan Maluku (Lakuy &
Limbongan 2003 dalam Limbongan 2007).
Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai
penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk
komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar
0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat
dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu
menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat
tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar
dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu
adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat
lainnya.
Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.)
yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu
15
Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik
dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi
Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih
dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7 10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru
56% saja yang dimanfaatkan dengan baik.
Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat
dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit
(Bujang & Ahmad 2000 dalam Noerdin 2008). Komposisi kandungan pati sagu
dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g
Komponen Sagu Jagung Tapioka
Kalori (kal) 357,0 349,0 98,0
Protein (g) 1,4 9,1 0,7
Lemak (g) 0,2 4,2 0,1
Karbohidrat (g) 85,9 71,7 23,7
Air (g) 15,0 14,0 19,0
Fe (g) 1,4 2,8 0,6
Sumber : www. pustaka bogor.net 2007
Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula
pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula
16
Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati
Sumber Pati Amilosa (%) Amilopektin (%)
Sagu 27 73
Jagung 28 72
Beras 17 83
Kentang 21 79
Gandum 28 72
Ubikayu 17 83
Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005).
Alkohol lemak
Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak
kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak
alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin) dikenal sebagai Alkohol lemak
sintetik (Hill et al. 1997).
Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa
barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan
dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan
kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80%
dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku
pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu
bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena
surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika
dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum.
Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan
melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat
bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi
dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/
hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi
oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil,
17
Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/dodecy
alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6 mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259oC, tidak berwarna dan tidak larut dalam air.
2.3.3 Produksi Alkil Poliglikosida
Setiap proses produksi yang cocok untuk digunakan pada skala industri
harus memenuhi beberapa kriteria. Kemampuan untuk menghasilkan produk
dengan sifat-sifat kinerja yang cocok dalam kondisi teknis yang ekonomis
merupakan hal yang paling penting. Beberapa aspek lainnya adalah
meminimalkan reaksi samping, limbah, dan emisi. Teknologi ini harus cukup
fleksibel agar memberikan sifat-sifat dan kualitas yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasar yang dinamis. Sejauh ini proses produksi industri dari APG
adalah berdasarkan pada sintesis Fischer. Pabrik produksi modern yang dibangun
atas dasar sintesis Fischer merupakan perwujudan dari teknologi yang bebas emisi
dan rendah limbah. Keuntungan lain dari sintesis Fischer adalah bahwa rasio alkil
monoglikosida dengan alkil oligoglikosida dapat dikontrol dengan tepat pada
rentang yang luas dengan mengatur jumlah glukosa dan alkohol lemak dalam
campuran reaksi (von Rybinski & Hill, 1998).
Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), proses produksi APG dapat
dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis
bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol lemak), sedangkan prosedur
kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak
(dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masing-masing
prosedur disajikan pada Gambar 3.
Pada diagram proses tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG
antara tahap prosedur pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis pati-
alkohol lemak melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur
kedua yang berbasis dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi
sebelum masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan
18
Pati atau
Sirup dekstrosa
Butanolisis Butanol
Glukosa anhidrat atau
Glukosa monohidrat
Transasetalisasi
Butanol dan Air
Alkohol lemak Netralisasi Alkohol lemak Asetalisasi Air
Distilasi Alkohol lemak
Air Pelarutan Pemucatan
Alkil Poliglikosida
Gambar 3 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida berdasarkan sumber karbohidrat berbeda, sintesis langsung dan transasetalisasi (von Rybinski dan Hill, 1998).
Alkil poliglikosida mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang
bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari
alkohol lemak (dodekanol/tetradodekanol). Sedangkan, bagian molekul yang
bersifat hidrofilik