• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hak Tanggungan Terhadap Peningkatan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Hak Tanggungan Terhadap Peningkatan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP

PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH

UNTUK RUMAH TINGGAL YANG DIBEBANI

HAK TANGGUNGAN

TESIS

Oleh

CHERIE

087011139/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP

PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH

UNTUK RUMAH TINGGAL YANG DIBEBANI

HAK TANGGUNGAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHERIE

087011139/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Penelitian : KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS

TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL YANG

DIBEBANI HAK TANGGUNGAN Nama Mahasiswa : CHERIE

NIM : 087011139

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 27 November 2010 __

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH.

2. Prof. Dr. Alvi Syarin, SH, MS.

(5)

ABSTRAK

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik untuk Rumah Tinggal, telah memberikan angin segar khususnya bagi warga masyarakat pemilik tanah di Kota Medan. Dilain pihak, keputusan tersebut akan menimbulkan persoalan hukum, bilamana Hak Guna Bangunan yang akan dirubah menjadi Hak Milik sedang dibebani dengan Hak Tanggungan. Kemudian terbitlah Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998, yang mengatur tentang Perubahan Hak Guna Bangunan / Hak Pakai untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dari data primer, data sekunder serta penelitian lapangan.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kedudukan Hak Tanggungan hapus karena objek dari Hak Tanggungan yaitu Hak Guna Bangunan yang didaftarkan peningkatan haknya menjadi Hak Milik mengakibatkan Hak Guna Bangunan menjadi hapus. Hapusnya Hak Tanggungan ini sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian kredit, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan.

Pelaksanaan peningkatan status tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di Kota Medan, pemegang Hak Guna Bangunan dapat melakukan peningkatan status hak atas tanah yang semula Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik dengan memenuhi pertimbangan yang dilengkapi dengan syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu : bukti dari Kepala Desa/Kelurahan setempat, bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal, surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan akan mempunyai Hak Milik atas tanah rumah tinggal yang luas seluruhnya tidak lebih dari 5.000 (lima ribu) m², surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.

Faktor penghambat dalam pelaksanaan peningkatan status tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di Kota Medan adalah kurangnya sosialisasi tentang kemudahan dalam pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal, adanya pungutan diluar ketentuan yang telah ditetapkan dan adanya anggapan dari masyarakat bahwa pengurusan sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Medan terkesan rumit, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Dampaknya bagi Bank/kreditor, apabila dalam jangka waktu tertentu kreditor berdasarkan SKMHT tidak diikuti dengan pembuatan APHT, maka SKMHT yang telah dibuat tersebut dinyatakan gugur/batal demi hukum yang mengakibatkan kreditor kehilangan hak preferennya atas objek Hak Tanggungan.

(6)

ABSTRACT

The government through the Decree of State Minister of Agrarian Affairs/Head of National Land Board No. 6/1998 on the Issuance of Right of Ownership of Residence has provided good news to the land owners in the city of Medan. On the contrary, this decree will result in a legal problem if the right to use the building is to be changed into the right of ownership while it is still under the right of guarantee. Then the Regulation of State Minister of Agrarian Affairs/Head of National Land Board No. 5/1998 was issued to regulate the Change of the Right to Use a Building for a residence under the right of guarantee.

This is a descriptive analytical study with normative juridical and empirical juridical approaches. The data for this study were obtained from primary and secondary data as well as field research.

The result of this study showed that the position of the Right of Guarantee was eliminated at the same time as the elimination of the Right to use a Building which was registered to improve its right to be the Right of Ownership. The elimination of the Right of Guarantee resulted from being not able to meet the objective condition on the validly of a credit agreement, especially the one related to the obligation of the existence of a certain object and one of them included the existence of the piece of land guaranteed.

The holder of the Right to Use the Building in Medan can improve the status of his land into the Right of Ownership if he can meet the requirements of consideration such as the evidence approved by the Head of Village where he lives, the certificate showing that the land is used for his residence, the letter of application from the applicant stating that he wants to have the right of ownership to the land where he lives on whose total area is not more than 5,000 (five thousands) m³, and the letter of consent from the holder of the right of guarantee.

The constraints occurred in the implementation of the improvement of land status from the right to use a building into the right of ownership in Medan was the lack of socialization about the facilities available in the provision of the right of ownership to a residence, illegal payment which was not included in the regulation, and the society members assumed that the application process to have the certificate in the office of Medan Land Board was complicated, time-consuming and expensive. The impact to the bank/creditor was that, in a certain period of time, if the SKMHT of the creditor was not followed with the issuance of APHT, the SKMHT was canceled by the law that the creditor looses his right of preference for the object of the right of guarantee.

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama Peneliti bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Kedudukan Hak Tanggungan Terhadap Peningkatan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan”

Disadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, baik secara substansi materi maupun metodologinya. Karena itu peneliti mohon masukan dari pembaca untuk penyempurnaannya.

Didalam penyelesaian tesis ini peneliti banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Jadi tepatlah kiranya pada kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.S, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan serta dorongan kepada peneliti.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H, selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan perhatian dengan penuh ketelitian, mendorong serta membekali peneliti dengan nasehat dan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi. 5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, selaku dosen pembimbing III, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membina Peneliti dalam penyelesaian studi dan sekaligus pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji.

(8)

8. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta sengenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Orangtua dan saudara-saudari peneliti tercinta yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungannya hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

10.Kepala dan seluruh staff Kantor Badan Pertanahan Kota Medan, terutama Bapak Eka Riono, S.H, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan riset dan memberikan data yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

11.Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Khususnya kelas Reguler Khusus angkatan 2008 yang selalu memberikan semangat dan inspirasi, terima kasih atas kekompakannya selama ini.

12.Dan semua pihak yang telah membantu penulisan yang tidak dapat disebut satu persatu.

Akhir kata, peneliti berharap tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan dan wacana bagi kita semua.

Medan, November 2010 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : CHERIE, S.H

Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 30 Maret 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Legal Officer

Agama : Buddha

Status : Belum Menikah

Alamat Kantor : Jalan KH.Zainul Arifin No.118 Medan Telepon Kantor : 061-4525800 (ext.1406)

Alamat Rumah : Jalan Warni No.2 Medan Telepon/HP : 06176698801 / 081375299886

II. Pendidikan Formal

1. SD St. Yoseph Medan Lulus tahun 1997

2. SLTP St.Maria Medan Lulus tahun 2000

3. SLTA St.Maria Medan Lulus tahun 2003

4. S-1 Fakultas Hukum Univ.Dharmawangsa Medan Lulus tahun 2007 5. S-2 Program Magister Kenotariatan FH USU Lulus tahun 2010

III. Pendidikan Informal

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ……… v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang . ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi... 25

G. Metode Penelitian... 28

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 28

2. Lokasi Penelitian... 29

3. Sumber Data Penelitian... 29

4. Tehnik Pengumpulan Data... 30

5. Analisa Data ... 31

BAB II KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL ... 32

A. Pengertian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Menurut UUPA... 32

1. Pengertian Hak Guna Bangunan ... 32

(11)

Guna Bangunan ... 42

4. Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Bangunan ... 42

5. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Hak Guna Bangunan. 43 6. Hapusnya Hak Guna Bangunan ... 45

B. Tinjauan Umum Perjanjian Kredit ... 47

1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya... 47

2. Beberapa Pendapat Mengenai Pengertian Jaminan Kredit . 49 3. Karakteristik Jaminan Kredit ... 52

4. Sifat dan Kedudukan Perjanjian Jaminan ... 54

5. Beberapa Macam Jaminan ... 55

B. Ruang Lingkup Hak Tanggungan ... 67

1. Pengertian Hak Tanggungan ... 67

2. Objek Hak Tanggungan ... 71

3. Subjek Hak Tanggungan ... 73

4. Beberapa Asas Hak Tanggungan ... 75

5. Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan... 80

6. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan ... 81

D. Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank... 85

E. Kedudukan Hak Tanggungan Atas Tanah ... 92

BAB III PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN YANG DIBEBANI HAK TANGGUNGAN ... 95

A. Peranan dan Kedudukan Hak Milik Atas Tanah ... 95

B. Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal... 98

C. Aspek Hukum Peningkatan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan ... 101

D. Hapusnya Hak Tanggungan Karena Peningkatan Hak Guna Bangunan Atas Tanah ... 108

(12)

BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN DAN DAMPAKNYA BAGI

BANK ... 117

A. Hambatan Dalam Pelaksanaan Peningkatan Hak Guna Bangunan Dan Upaya Yang Dapat Dilakukan ... 117

B. Dampak Peningkatan Hak Guna Bangunan Bagi Pihak Bank.. 123

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 129

(13)

ABSTRAK

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik untuk Rumah Tinggal, telah memberikan angin segar khususnya bagi warga masyarakat pemilik tanah di Kota Medan. Dilain pihak, keputusan tersebut akan menimbulkan persoalan hukum, bilamana Hak Guna Bangunan yang akan dirubah menjadi Hak Milik sedang dibebani dengan Hak Tanggungan. Kemudian terbitlah Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998, yang mengatur tentang Perubahan Hak Guna Bangunan / Hak Pakai untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dari data primer, data sekunder serta penelitian lapangan.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kedudukan Hak Tanggungan hapus karena objek dari Hak Tanggungan yaitu Hak Guna Bangunan yang didaftarkan peningkatan haknya menjadi Hak Milik mengakibatkan Hak Guna Bangunan menjadi hapus. Hapusnya Hak Tanggungan ini sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian kredit, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan.

Pelaksanaan peningkatan status tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di Kota Medan, pemegang Hak Guna Bangunan dapat melakukan peningkatan status hak atas tanah yang semula Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik dengan memenuhi pertimbangan yang dilengkapi dengan syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu : bukti dari Kepala Desa/Kelurahan setempat, bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal, surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan akan mempunyai Hak Milik atas tanah rumah tinggal yang luas seluruhnya tidak lebih dari 5.000 (lima ribu) m², surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.

Faktor penghambat dalam pelaksanaan peningkatan status tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di Kota Medan adalah kurangnya sosialisasi tentang kemudahan dalam pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal, adanya pungutan diluar ketentuan yang telah ditetapkan dan adanya anggapan dari masyarakat bahwa pengurusan sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Medan terkesan rumit, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Dampaknya bagi Bank/kreditor, apabila dalam jangka waktu tertentu kreditor berdasarkan SKMHT tidak diikuti dengan pembuatan APHT, maka SKMHT yang telah dibuat tersebut dinyatakan gugur/batal demi hukum yang mengakibatkan kreditor kehilangan hak preferennya atas objek Hak Tanggungan.

(14)

ABSTRACT

The government through the Decree of State Minister of Agrarian Affairs/Head of National Land Board No. 6/1998 on the Issuance of Right of Ownership of Residence has provided good news to the land owners in the city of Medan. On the contrary, this decree will result in a legal problem if the right to use the building is to be changed into the right of ownership while it is still under the right of guarantee. Then the Regulation of State Minister of Agrarian Affairs/Head of National Land Board No. 5/1998 was issued to regulate the Change of the Right to Use a Building for a residence under the right of guarantee.

This is a descriptive analytical study with normative juridical and empirical juridical approaches. The data for this study were obtained from primary and secondary data as well as field research.

The result of this study showed that the position of the Right of Guarantee was eliminated at the same time as the elimination of the Right to use a Building which was registered to improve its right to be the Right of Ownership. The elimination of the Right of Guarantee resulted from being not able to meet the objective condition on the validly of a credit agreement, especially the one related to the obligation of the existence of a certain object and one of them included the existence of the piece of land guaranteed.

The holder of the Right to Use the Building in Medan can improve the status of his land into the Right of Ownership if he can meet the requirements of consideration such as the evidence approved by the Head of Village where he lives, the certificate showing that the land is used for his residence, the letter of application from the applicant stating that he wants to have the right of ownership to the land where he lives on whose total area is not more than 5,000 (five thousands) m³, and the letter of consent from the holder of the right of guarantee.

The constraints occurred in the implementation of the improvement of land status from the right to use a building into the right of ownership in Medan was the lack of socialization about the facilities available in the provision of the right of ownership to a residence, illegal payment which was not included in the regulation, and the society members assumed that the application process to have the certificate in the office of Medan Land Board was complicated, time-consuming and expensive. The impact to the bank/creditor was that, in a certain period of time, if the SKMHT of the creditor was not followed with the issuance of APHT, the SKMHT was canceled by the law that the creditor looses his right of preference for the object of the right of guarantee.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia sebagai mahkluk individu dan juga sosial untuk tempat tinggal, berlindung dan beristirahat dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena itu secara individu maupun kelompok (keluarga) manusia berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan uang dari hasil pekerjaan, profesi maupun usahanya agar dapat memiliki rumah tersebut. Hal ini menunjukkan betapa rumah tinggal begitu utama dan mendasar sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pokok manusia selain kebutuhan sandang dan pangan.

Oleh karena itu rumah tinggal tidak boleh hanya dilihat sebagai bentuk pemenuhan bagi kebutuhan hidup yang timbul tanpa proses, akan tetapi harus di lihat sebagai proses bermukim dalam menciptakan ruang kehidupan untuk masyarakat. Dengan demikian rumah tinggal mempunyai peranan yang sangat strategis, diantaranya untuk mewujudkan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.48

Namun dewasa ini, dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk, terbatasnya persediaan tanah disertai tingginya harga tanah menyebabkan kebutuhan ini semakin tidak terjangkau bagi sebagian besar lapisan masyarakat. Menurut Maria S.W. Sumardjono, karena sifatnya langka dan terbatas, serta merupakan kebutuhan dasar setiap manusia inilah maka pada hakekatnya masalah tanah adalah masalah

48

(16)

yang sangat menyentuh keadilan. Tetapi tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang dirasakan adil untuk semua pihak.49

Merujuk pada prinsip-prinsip dasar dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) maka diantara perwujudan keadilan sosial dibidang pertanahan dapat dilihat pada prinsip ‘negara menguasai’50. Prinsip dasar ini telah dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan pertanahan51 lainnya. Salah satu diantara kebijakan tersebut adalah Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal. Dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan tersebut dinyatakan bahwa :

Dengan keputusan ini :

a. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan Warga Negara Indonesia yang luasnya 600 m² atau kurang atas permohonan yang bersangkutan dihapus dan diberikan kembali bekas pemegang haknya dengan Hak Milik.

b. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal yang luasnya 600 m² atau kurang yang sudah habis jangka waktunya dan

49

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 19.

50

Melalui hak menguasai inilah, negara akan dapat senantiasa mengandalikan atau mengarahkan fungsi bumi, air, ruang angkasa sesuai dengan policy pemerintah, sehubungan dengan kepentingan nasional dan dengan adanya hak menguasai dari negara ini, maka negara berhak di sektor agraria untuk selalu campur tangan dengan pengertian bahwa setiap pemegang hak atas tanah tidak berarti ia akan terlepas dari hak menguasai tersebut. Sebagaimana dikutip dari Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 2-3.

51

(17)

masih dipunyai oleh pemegang hak tersebut, atas permohonan yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang hak.

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) diatas dapat disimpulkan, bahwa perubahan Hak Guna Bangunan untuk rumah tempat tinggal menjadi Hak Milik, khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan dengan batas maksimum 600 m² ini dapat dimohonkan oleh pemegang haknya baik pada saat sertipikat Hak Guna Bangunan masih berjalan, maupun setelah habisnya jangka waktu hak tersebut, dengan suatu catatan bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohonkan pendaftarannya tersebut, si pemohon tidak akan mempunyai Hak Milik untuk rumah tempat tinggal lebih dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas dengan batas maksimal 5.000 (lima ribu) m².

Pemberian Hak Milik itu sendiri pada dasarnya didahului dengan perubahan hak yang berisi penetapan pemerintah mengenai penegasan bahwa bidang tanah yang semula dipunyai dengan Hak Guna Bangunan, atas permohonan pemegang haknya akan dihapus haknya oleh pemerintah menjadi tanah negara dan untuk selanjutnya akan diberikan kepada pemegang hak tersebut dengan hak yang lain jenisnya dari hak semula yaitu dengan Hak Milik52. Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 104 tahun 1960 menyatakan bahwa, “Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6”. Ketentuan

52

(18)

yang terdapat dalam pasal 6 UUPA tersebut menyatakan bahwa, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Pengertian semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial merupakan suatu bentuk penegasan yang dinyatakan oleh UUPA bahwa sifat pribadi hak-hak individu menunjukkan kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanahnya. Bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya dengan tetap mengingat bahwa di dalam hak-hak individu tersebut pada konsepnya mengandung pula unsur kebersamaan, karena semua hak pribadi secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bersama. Adanya unsur kebersamaan dalam hak individual ini sesuai dengan alam pikiran asli orang Indonesia yang menegaskan bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus mahkluk sosial, yang mengusahakan berwujudnya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama.53

Lahirnya kebijakan ini jelas disambut gembira oleh setiap warga negara yang dimaksud dalam keputusan tersebut, karena membuka jalan bagi mereka untuk mendapatkan hak tertinggi dalam strata penguasaan hak individual atas tanah.

Menurut pengamatan peneliti, dengan terbitnya Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 1998 diatas, di satu pihak telah memunculkan euphoria banyaknya warga masyarakat yang memohonkan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Kekhawatiran masyarakat akan adanya perubahan peraturan yang membatasi kemudahan dalam perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.

2. Kekhawatiran apabila perubahan ini tidak dimohonkan secepatnya akan menimbulkan biaya yang lebih tinggi, khususnya uang pemasukan ke kas negara

53

(19)

yang dihitung berdasarkan besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan.

3. Kekhawatiran terjadinya perubahan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang menyebabkan suatu kawasan berubah fungsi, yang awalnya merupakan kawasan pemukiman berubah menjadi suatu kawasan lain yang menyebabkan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tidak dapat lagi dimohonkan.

Namun di pihak lain, Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional ini juga akan menimbulkan suatu persoalan hukum, jika dalam pelaksanaan perubahan hak tersebut ternyata Hak Guna Bangunan yang dikuasai masih dalam status dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.

(20)

Dari uraian Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) Nomor 4 Tahun 1996 dapat disimpulkan beberapa elemen pokok, yaitu :54

1. UUHT adalah hak jaminan dan merupakan realisasi dari Pasal 51 UUPA juncto Pasal 1131 KUHPerdata tentang jaminan umum. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa, “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

2. Objek UUHT adalah hak atas tanah. Ketentuan ini juga merupakan realisasi dari Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA yang mengatakan bahwa objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda lain (bangunan, tanaman) yang melekat sebagai satu kesatuan dengan tanah tersebut.

3. Tujuan Hak Tanggungan tidak hanya sekedar melunasi utang, yang timbul dari perjanjian pinjam uang, akan tetapi kewajiban memenuhi suatu perikatan. Hal ini mengacu pada Pasal 3 UUHT, yang mengemukakan bahwa utang itu dapat terjadi berdasarkan perjanjian lain dari perjanjian pinjam uang. Konsep ini juga dianut oleh KUHPerdata.

4. Kreditor mempunyai kedudukan yang utama (Penjelasan Umum angka 4 UUHT). Maksudnya adalah jika debitor cidera janji (wanprestasi) kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dengan hak

54

(21)

mendahului dari pada kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut, sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Terkait Dengan Tanah atau lebih dikenal dengan istilah Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menegaskan bahwa Hak Tanggungan hapus dengan sendirinya apabila objek hak atas tanah yang dibebaninya hapus.

Hal ini dapat terjadi karena ditinjau dari sudut Hukum Perdata, Hak Tanggungan ini menurut sifatnya merupakan perjanjian ikutan atau accesoir yang tergantung pada piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, maka Hak Tanggungan tersebut akan terhapus pula dengan sendirinya.

Apabila kita perhatikan ketentuan Pasal 40 UUPA maka sebab-sebab lain hapusnya objek jaminan sebagaimana dimaksud oleh UUHT tersebut erat kaitannya dengan hapusnya Hak Guna Bangunan karena :

a. Jangka waktunya berakhir;

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. Dicabut untuk kepentingan umum;

e. Ditelantarkan; f. Tanahnya musnah;

(22)

Realita ini menunjukkan bahwa hapusnya Hak Tanggungan karena terjadinya perubahan hak atas tanah tidak diatur dalam KUHPerdata, UUPA dan UUHT itu sendiri. Secara hukum, kontradiksi ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan ini jelas dapat berimplikasi pada polemic procedural perubahan hak atas tanah tersebut. Tanpa adanya kepastian mengenai jaminan pelunasan kredit yang telah diberikannya, maka pihak kreditor / Bank pemegang Hak Tanggungan tentunya akan keberatan atas lahirnya kebijakan tersebut. Konsekwensinya dari keberatan tersebut mengakibatkan para pemegang Hak Guna Bangunan untuk rumah tinggal tidak akan dapat mendaftarkan perubahan di kantor pertanahan setempat, apabila tidak melunasi terlebih dahulu kreditnya atau tidak dapat menyediakan jaminan dalam bentuk lain.

(23)

B. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang permasalahan diatas, maka beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan hak tanggungan terhadap peningkatan hak guna bangunan atas tanah rumah tinggal yang dibebani hak tanggungan?

2. Bagaimana pelaksanaan peningkatan Hak Guna Bangunan untuk rumah tempat tinggal yang dibebani dengan Hak Tanggungan menjadi Hak Milik tersebut oleh aparatur terkait di Kantor Badan Pertanahan Medan?

3. Hal-hal apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan peningkatan Hak Guna Bangunan atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik dan dampaknya bagi pihak Bank?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kedudukan hak tanggungan terhadap peningkatan hak guna bangunan atas tanah rumah tinggal yang dibebani hak tanggungan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perubahan Hak Guna Bangunan untuk rumah tempat tinggal yang dibebani dengan Hak Tanggungan menjadi Hak Milik oleh aparatur terkait di Kantor Pertanahan Medan.

(24)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dan hasil penelitian ini dapat di lihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk bahan masukan dan penambahan wawasan ilmu pengetahuan hukum pertanahan, khususnya dalam bidang peningkatan status hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan yang masih dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik beserta segala aspek hukum yang terkait di dalamnya.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat yang ingin mengetahui secara lebih jelas mengenai prosedur hukum praktek pelaksanaan peningkatan status hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan yang masih dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik beserta segala konsekwensi hukum yang terkait di dalamnya.

E. Keaslian Penelitian

(25)

1. Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank DIPO Internasional, Oleh Marcel Soekandar (067011049/Mkn). 2. Peningkatan Status Tanah Rumah Sederhana (RS) Dari Hak Guna Bangunan

Menjadi Hak Milik (Studi di Kelurahan Sidomulyo Barat, Kecamatan Tampa Kota Pekan Baru), Oleh Zulastri (06701118/MKn).

Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh para peneliti tersebut di atas tidak sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun pokok permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kelangsungan perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologis, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.55 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.56 Fungsi terori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan / petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.57

55

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1996, hlm. 6.

56

JJJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I, Penyunting M. Hisyam, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1996, hlm. 203.

57

(26)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran, atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis.58 Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori-teori perlindungan hukum sebagaimana dikemukakan J. Van Kan, “bahwa hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan hidup yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.59 Penelitian ini berusaha memahami asas-asas hukum yang melekat pada hak atas tanah yang berstatus hukum Hak Guna Bangunan dan Hak Milik, khususnya yang diperuntukkan untuk rumah tinggal dan juga mengenai prosedur pembebanan Hak Tanggungan atas hak atas tanah yang berstatus hukum Hak Guna Bangunan serta peningkatan Hak Guna Bangunan yang masih dibebani hak tanggungan tersebut menjadi Hak Milik secara yuridis formal. Artinya penelitian ini berusaha memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum sebagaimana yang ditentukan dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah Hak Atas Tanah yang berstatus hukum Hak Guna Bangunan untuk rumah tinggal, prosedur hukum pembebanan hak tanggungan atas tanah Hak Guna Bangunan untuk rumah tinggal tersebut, dan prosedur hukum peningkatannya menjadi Hak Milik.60

58

M. Solly Lubis, Filsafat dan Ilmu Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80 59

J. Van Kan dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm.68.

60

(27)

Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum tanah dan hukum hak tanggungan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoris, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.61 Teori hukum yang dipakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti dengan perubahan hukum. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat di bidang hukum tanah dan hak tanggungan harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis.62

Dalam menganalisis masalah peningkatan Hak Guna Bangunan atas tanah untuk rumah tinggal yang masih dibebani oleh hak tanggungan menjadi Hak Milik dibutuhkan pendekatan sistem (approach system). Maksud menggunakan pendekatan sistem ini adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah peningkatan Hak Guna Bangunan atas tanah menjadi Hak Milik dimana Hak Guna Bangunan tersebut masih dibebani hak tanggungan, karena melibatkan banyak pihak dalam proses pengurusannya serta sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh peningkatan status hak atas tanah rumah tinggal tersebut sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan tonggak sejarah perkembangan agraria / pertanahan

61

M. Solly Lubis, Op.Cit, hlm.80. 62

(28)

di Indonesia pada umumnya dan pembaharuan hukum agraria / hukum tanah Indonesia pada khususnya. Hukum tanah merupakan satu bidang hukum yang mandiri sebagai cabang hukum yang memiliki tempat sendiri dalam tata hukum nasional, yang substansinya merupakan keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.63 Kebijakan (politik) hukum Agraria (Hukum Tanah) harus bertitik tolak untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa tujuan dikuasainya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh Negara, adalah guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga di letakkan penyusunan hukum agraria (hukum tanah) yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat.64

Asas-asas hukum agraria (hukum tanah) harus bersumber dari Pancasila sebagai asas idiil (filosofis) dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai asas konstitusional (struktural). 65 Dalam Pancasila hukum agraria (hukum tanah) memperoleh landasan idiil (filosofis) hukumnya dalam kelima butir dari Pancasila

63

Pendapat Boedi Harsono, sebagaimana dikutip oleh Alvi Syarin dalam bukunya Beberapa Masalah Hukum, Op.Cit, hlm.16

64

Ibid, hlm.17 65

(29)

tersebut, yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.

Berdasarkan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, artinya tidak dapat dihilangkan oleh siapapun juga (termasuk oleh negara). Berdasarkan Sila Kedua, Kemanusiaan, memungkinkan didapatnya pedoman, bahwa hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat perorangan dan kolektif sebagai dwi tunggal. Berdasarkan Sila Ketiga, Persatuan Indonesia (kebangsaan) dapat dirumuskan pedoman bahwa, hanya orang Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di negara Indonesia. Dengan menggabungkan Sila Ketiga dan Kedua yakni Kebangsaan dan Perikemanusiaan yang mempunyai unsur mahkluk sosial dan juga mengandung unsur hidup bersama Internasional, maka orang asing dapat diberi keluasan terhadap tanah di Indonesia, seberapa dibutuhkan (oleh orang Indonesia terhadap orang asing itu). Jadi tidak sebaliknya, tidak diberikan hubungan dengan tanah karena berdasarkan kepentingan mereka. Berdasarkan Sila Keempat, Kerakyatan, mengandung makna tiap-tiap orang Indonesia dalam hubungannya dengan tanah mempunyai hak dan kesempatan yang sama, sehingga pedoman ini mengenai hubungan hak dan kekuasaan. Berdasarkan Sila Kelima, Keadilan Sosial, tiap-tiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama menerima bagian dari manfaat tanah, menurut kepentingan hak hidupnya, bagi diri sendiri dan bagi keluarganya.”66

Di dalam dasar pertimbangan UUPA disebutkan bahwa hukum agraria / hukum tanah nasional berdasarkan atas hukum adat yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Mempertahankan dasar pertimbangan UUPA tersebut, maka pembangunan hukum tanah nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum tertulis. Selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan hukum tanah

66

(30)

nasional itu.67 Memperhatikan uraian tersebut diatas seolah-olah terjadinya dualisme dalam pengaturan hukum agraria / hukum tanah nasional yaitu hukum adat disatu sisi dan hukum agraria / hukum tanah di sisi lain. AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kepada hukum adat di dalam UUPA tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan telah diberikan sifat nasional.68

Mengenai sistem (tata susunan) hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tata Nasional dapat dianutkan dengan tata urutan sebagai berikut :69

1. Hak bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang terfungsi, yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Semua hak-hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa. Hak bangsa itu bersifat abadi, artinya hubungan akan berlangsung terus menerus tidak terputus-putus dan untuk selama-lamanya. Hak bangsa meliputi semua tanah di bumi Indonesia.

2. Hak menguasai dari negara, yang bersumber dari hak bangsa, yang hanya beraspek hukum publik semata. Pelaksanaan dari hak menguasai dari negara lain, kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain (pihak ketiga) dalam bentuk

67

Ibid, hlm.39 68

AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, Cetakan VIII, 1998, hlm. 57

69

(31)

hak pengelolaan. Kewenangan hak menguasai dari negara, diatur secara terpenuh dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu berupa kegiatan :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara tidak akan hapus, selama negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

3. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.70

4. Hak-hak penguasaan individual yang terdiri dari :

a. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu, Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang diberikan oleh negara.71

b. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa dan lain-lain.

70

Pasal 3 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 71

(32)

c. Hak Wakaf, hak individual yang berasal dari hak milik yang sudah diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional.

d. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan Hak Tanggungan.

Peningkatan hak atas tanah adalah perubahan hak-hak dari hak yang statusnya lebih rendah menjadi hak atas tanah yang lebih tinggi, misalnya dari Hak Pakai menjadi Hak Guna Bangunan atau dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.72 Peningkatan hak atau yang masuk dalam kelompok perubahan hak ini adalah penetapan pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, atas permohonan pemegang haknya menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak milik. Dalam kategori perubahan atau peningkatan hak dari HGB menjadi hak milik ini terdiri dari beberapa objek, antara lain yang berasal dari tanah Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS), yang berasal dari tanah untuk rumah tempat tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri dari pemerintah (rumah golongan III), dan yang berasal dari tanah untuk rumah tinggal.73

Dari peningkatan hak dari HGB menjadi hak milik yang berasal dari tanah RSS dan RS, diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997, tanggal 2 Juli 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana

72

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 304

73

(33)

(RS) juncto Nomor 15 Tahun 1997 tanggal 22 Oktober 1997 (perubahan) juncto Nomor 1 Tahun 1998 tanggal 22 Januari 1998.74 Kemudian dalam hal proses peningkatan hak yang dilakukan terhadap tanah HGB yang diatasnya berdiri rumah negara golongan III atau rumah tempat tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri (termasuk pensiunan) dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemberian jaminan kepastian hukum secara merata dan menjangkau seluruh masyarakat. Tentang tanah rumah tempat tinggal yang dibeli oleh pegawai negeri dari pemerintah yang dapat ditingkatkan haknya menjadi hak milik tersebut didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Agaria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri dari pemerintah.

Peningkatan hak khusus untuk rumah tinggal diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998. Dalam keputusan tersebut ditentukan kriteria luas dan status tanah yang dapat ditingkatkan haknya, yakni HGB / Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal dengan luas 600 m2 atau kurang termasuk HGB atau Hak Pakai yang sudah habis jangka waktunya, dapat dimohon oleh pemegang hak tersebut untuk dapat diberikan Hak Milik.

Penelitian ini difokuskan pada peningkatan hak atas tanah dari HGB atas rumah tinggal menjadi hak milik, dimana HGB atas rumah tinggal tersebut, masih dibebani oleh hak tanggungan. Dengan demikian peningkatan hak atas tanah sebagaimana dimaksud di atas harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari

74

(34)

kreditor pemegang hak tanggungan atas pelaksanaan peningkatan hak atas tanah tersebut. Terhadap kondisi seperti tersebut diatas tekhnis pelaksanaannya telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 39 UUPA, bahwa, Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Formalitas dari peningkatan HGB sebagai jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di kecamatan mana tanah tersebut.75

Pasal 10 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa, “Pemberian Hak Tanggungan dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut”. Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan (accessoir) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijaminkan pelunasannya. Perjanjian utang piutang tersebut dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu.

Dalam hal hubungan utang piutang timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat di buat di dalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat sebagai orang perseorangan atau badan hukum

75

(35)

asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan di wilayah Republik Indonesia.76

Perjanjian utang piutang (perikatan) yang mengandung janji memberi hak tanggungan ini bersifat konsensual obligatoir (pactum de contrac endo). Sifat obligatoir artinya mengandung kewajiban debitor untuk memberi (menyerahkan) objek hak tanggungan ini merupakan perjanjian perorangan (persoon Ijle overren komsi) dan merupakan perjanjian pokok (prisipal).

Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa, perjanjian pemberian Hak Tanggungan merupakan perjanjian kebendaan yang mempunyai karakter berkelanjutan (voortdurende overeen komsi) yang diawali dengan perjanjian pemberian Hak Tanggungan dan berakhir pada saat pendaftaran. Sepanjang pendaftaran belum dilakukan, perjanjian pemberian hak tanggungan ini belum merupakan perjanjian kebendaan”.77

Pasal 17 UUHT menyatakan tentang bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan bentuk dan isi buku tanah hak tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan pendaftaran hak tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Ketentuan tersebut diatas perlu dikaitkan dengan peraturan pelaksanaannya yang dituangkan di dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), buku tanah hak tanggungan dan Sertipikat Hak Tanggungan juncto Peraturan Menteri Negara (PMN) / Kepala Badan

76

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hak Jaminan Atas Tanah, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1999, hlm. 37

77

(36)

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) merupakan akta otentik dengan bentuk tertentu dan jika tidak dipenuhi, maka eksistensinya tidak ada, perjanjian itu tidak sah dan batal demi hukum. Demikian pula jika isi APHT tidak lengkap maka APHT itu batal demi hukum dan tidak dapat dijadikan dasar untuk pendaftaran. Isi yang dimaksud adalah isi yang wajib ada sesuai ketetapan Pasal 11 UUHT Nomor 4 Tahun 1996.78

UUHT Nomor 4 Tahun 1996 menentukan isi APHT kedalam tiga jenis, yaitu :

1. Isi wajib yang menetapkan jika isi wajib tersebut tidak dicantumkan selengkapnya maka APHT ini batal demi hukum. Ketentuan ini berkaitan dengan asas operasionalitas dari Hak Tanggungan, yaitu mengenai subjek, objek dan utang yang dijamin (Pasal 11 Ayat (1) dan penjelasannya);

2. Isi Fakultatif, tidak bersifat limitatif tetapi enu meratif dan tidak mempunyai pengaruh tidak sahnya akta. Pihak-pihak bebas menentukan apakah isi tersebut dicantumkan atau tidak dalam APHT. Janji-janji yang dimuat itu dan kemudian APHTnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan, memperoleh sifat kebendaan mengikat pihak ketiga (Pasal 11 Ayat (2) UUHT dan penjelasannya). Ketentuan tentang pengikatan terhadap pihak ketiga ini sangat penting, karena dengan pendaftaran janji-janji yang semula bersifat perorangan (persoonlijke), tertutup, hanya mengikat kedua belah pihak, berubah menjadi perjanjian kebendaan (zakelijk), terbuka dan mengikat semua orang (umum). Mengenai janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas

78

(37)

kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji (Pasal 11 Ayat (2) huruf (e) UUHT), diambil dari konsep Pasal 1178 alinea 2 KUHPerdata. Seyogianya janji fakultatif tidak perlu diatur oleh UUHT, disesuaikan saja dengan asas kebendaan berkontrak para pihak.

3. Isi yang dilarangan, Pasal 12 UUHT menyatakan,”janji yang memberikan kewenangan kepada Pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”. Konsep ini diambil dari Pasal 1178 alinea 1 KUHPerdata. Segala janji dengan mana yang berpiutang dikuasakan memiliki benda yang diberikan dalam Hak Tanggungan adalah batal. Pemegang Hak Tanggungan dilarang secara otomatis menjadi pemilik objek hak tanggungan dalam hal debitor cidera janji karena hal ini bertentangan dengan tujuan Hak Tanggungan jika debitor ingkar janji, benda jaminan di lelang utang pelunasan utang kepada kreditor. Jika kreditor boleh memiliki benda jaminan maka perjanjian pemberian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian jaminan, akan tetapi jual beli bersyarat, artinya jika terjadi cidera janji dari pihak pemberian Hak Tanggungan maka objek hak tanggungan menjadi milik pemegang hak tanggungan.

(38)

yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.79 Pencabutan hak yang masih dibebani Hak Tanggungan. Apabila objek hak tanggungan tersebut dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum maka pemegang hak tanggungan berhak memperoleh sebahagian atau seluruhnya dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan utangnya sesuai dengan janji yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) (Pasal 11 : 2 UUHT Nomor 4 Tahun 1996). Pencabutan hak atas tanah yang tanahnya sudah ada hak tanggungan bukan kepada pemegang hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan, apabila tidak keberatan dengan pencabutan hak atas tanah dan besarnya jumlah ganti rugi maka berhak memperoleh ganti rugi pemegang hak tanggungan berhak dilakukan untuk memperoleh pelunasan piutangnya sebahagian atau seluruhnya dari ganti rugi yang diterima oleh pemberi HT sesuai janji yang telah disepakati bersama yang tercantum dalam APHT. HGB habis sementara utang masih berjalan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan bahwa pendaftaran perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang yang memberikan perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan. Dari penjelasan pasal tersebut diterangkan bahwa perpanjangan jangka waktu suatu hak tidak mengakibatkan hak tersebut hapus

79

(39)

atau terputus, oleh karena itu untuk pendaftarannya tidak perlu dibuatkan buku tanah dan sertifikat baru.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila HGB habis maka tidak mengakibatkan hak tersebut hapus atau terputus, dan konsekwensinya. Hak tanggungan yang dibebankan pada HGB tersebut tetap berlaku dan hutang pemberi hak tanggungan tersebut tetap ada dan berjalan sesuai dengan janji-janji yang tercantum dan telah disepakati oleh para pihak (debitor dan kreditor) hak tanggungan yang tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) (Pasal 11 : 2 UUHT). Disamping itu, dinyatakan pula, meskipun hak atas tanah tersebut hapus, tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijaminkan (Pasal 18 : 4 UUHT). Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 18 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 bahwa hak tanggungan hapus antara lain karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

2. Konsepsi

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.80 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (clubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut :

80

(40)

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.81

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu terntentu dengan pemberian bunga.82

Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.83

Peningkatan status hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang menegaskan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan pemegang haknya, menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah baru yang lain sejenisnya84, yakni dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan

81

R.Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm.1 82

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 83

Mariam Darus Badrulzaman, “Permasalahan Hukum Hak Jaminan”, dalam Hukum Bisnis, Volume 11, 2000, hlm.12

84

(41)

dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.85

Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.86

Rumah tinggal adalah bangunan permanen atau semi permanen yang digunakan oleh manusia sebagai tempat tinggal, berlindung dan beristirahat secara tetap serta sebagai tempat mengembangkan kehidupan individu dan kehidupan keluarganya secara berkesinambungan.87

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah tertentu untuk menjamin pelunasan utang tertentu kepada kreditor tertentu yang kedudukannya diutamakan dalam memperoleh pelunasan atas piutangnya dari pada kreditor lainnya.88

85

Ali Admad Chomzah, Op.Cit, hlm. 31. 86

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 90

87

Asep Rahmat, Studi Analisis Terhadap Hak Guna Bangunan Dalam Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Perumahan/Pemukinan dan Kepentingan Umum, Tesis, Sps Institut Teknologi Bandung (ITB), 2002, hlm. 86

88

(42)

Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.89

Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang setingkat, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.90

Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.91

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Untuk menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian tesis ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis, yang menguraikan dan memaparkan sekaligus menganalisa prosedur hukum yang ditetapkan oleh hukum positif yaitu UUPA Nomor 5 Tahun 1960, UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya yang berkaitan dengan peningkatan status Hak Atas Tanah untuk rumah tinggal dari HGB menjadi Hak

89

Pasal 1 ayat (5) UUHT Nomor 4 Tahun 1996 90

Gunardi dan Markus Gunawan, Kitab Undang-Undang Hukum Kenotariatan Himpunan Peraturan Tentang Kenotariatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 223.

91

(43)

Milik dimana HGB masih dibebani hak tanggungan. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus dan pendekatan empiris, yaitu penelitian yang mengacu kepada data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Pertanahan Medan, yakni mengingat banyaknya masyarakat yang ingin meningkatkan hak atas tanah untuk rumah tinggal menjadi Hak Milik.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian kedudukan hak tanggungan terhadap peningkatan Hak Guna Bangunan atas tanah untuk rumah tinggal yang dibebani Hak Tanggungan, dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu data primer, data sekunder dan data tersier, yaitu :

a. Data Primer

Yaitu data yang dikumpulkan melalui studi perpustakaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku, majalah, artikel, tabloid, surat kabar, dan studi terhadap semua dokumen yang berkaitan dengan peningkatan hak atas tanah dan hak tanggungan.

(44)

Data sekunder dikumpulkan melalui wawancara (interview) dan pengamatan (observasi) dimana yang menjadi nara sumber adalah Kantor Pertanahan Nasional Kota Medan, diambil nara sumber debitor yang meningkatkan hak atas tanahnya dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.

c. Data Tersier

Data tersier diperoleh dari bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum dan jurnal ilmiah yang telah dipublikasikan sebagai data penunjang dalam penelitian ini.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka peneliti mengunakan 2 (dua) metode, yakni

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Data ini diperoleh dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, makalah-makalah, peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer sehubungan dengan permasalahan penelitian dengan mewawancarai sejumlah orang yang kompeten dan terpercaya, yaitu :

(45)

ii. Debitur, dalam hal ini yaitu debitur yang meningkatkan hak atas tanahnya dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik

iii. Notaris

iv. Pelaku perbankan PT.Bank Mestika Dharma 5. Analisa Data

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisa data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut. Untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.92

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder, maupun tersier) untuk mengetahui validitasnya, setelah itu, keseluruhan data tersebut akan disistimatisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.93 Analisa data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif, artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistimatis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.94

92

Soejono Soekanto, Op.Cit, hlm. 251 93

Bambang Sugyjono, Metode Penelitian Hukum, Rayagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 106.

94

(46)

BAB II

KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL

A. Pengertian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Menurut UUPA 1. Pengertian Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Perkembangan Hak Guna Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal ini disebabkan Hak Guna Bangunan merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat.

Pengertian Hak Guna Bangunan ditemukan dalam Pasal 35 dan 39 UUPA. Dari ketentuan kedua pasal UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu yang paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.95 Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

95

(47)

Boedi Harsono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah negara atau milik orang lain, selama jangka waktu yang terbatas.96 Hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain dan dapat juga dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.97

Menurutnya, tanah Hak Guna Bangunan ini tidak dibenarkan untuk digunakan bagi usaha pertanian, karena hak tersebut diadakan khusus bagi penyediaan tempat untuk bangunan.98 Bangunan tersebut wajib dibangun sendiri untuk kemudian dimiliki oleh pemegang HGB bersangkutan. Menurut UUPA tidak dimungkinkan orang lain menguasai / menggunakan tanah HGB pihak lain untuk sendirian dan memiliki bangunan diatasnya, biarpun dengan persetujuan pemegang HGB. Pihak lain hanya dimungkinkan mengenai tanah Hak Milik pada pihak lain, bukan tanah HGB (Pasal 44 UUPA).99

Ali Achmad Chomzah berpendapat, yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan diperalihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.100

96

Boedi Harsono, (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I), Hukum Agraria Indonesia / Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 242.

Boedi Harsono, (Selanjutnya disebut Boedi Harsono II), Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 288

100

Referensi

Dokumen terkait

Karya ini dibuat untuk memberikan inovasi terhadap box-set dengan tujuan memecah kekakuan yang selama ini melekat pada konsep desain box-set album tanpa mengurangi nilai

Sikap Tanggung jawab, peduli sesama, dan menghargai orang lain yang terdapat dalam kumpulan cerpen Guruku Superhero merupakan contoh dari nilai moral hubungan manusia

Membangun Sistem Perangkat Lunak Untuk Efisiensi Biaya Proyek Pembangunan Dengan Memanfaatkan Float Pada Metode Analisis Jaringan

Oleh itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk melihat elemen-elemen pengajaran guru berdasarkan Modul Pentaksiran Berasaskan Sekolah(MPBS) dalam sesi amali di

Analisis Biaya pada usaha penggilingan padi UD Padi Mulya dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya apa saja yang dikeluarkan dalam usaha ini, serta pendapatan

Hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif strategi utama yang dapat diterapkan dalam mengembangkan usaha sapi potong adalah mengoptimalkan dan mengembangkan

Berdasarkan pada hasil analisis yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Uji Kebaikan Model, variabel

Jumlah kasus yang ada pada saat dilakukan penelitian adalah sebanyak 30 kasus dengan kriteria santri Pondok Pesantren X yang mengalami gejala klinis khas Hepatitis A berdasarkan