PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2004
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRVEB IMANUEL TARIGAN NIM: 070200272
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PEMERINTAH DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2004
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Nama : IRVEB IMANUEL TARIGAN Nim : 070200272
Jurusan : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
(Suryaningsih. SH. M.Hum) Nip. 196002141987032002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Dr. Pendastaren Tarigan. SH. MS) (Syarifuddin Siba. SH. M.Hum) Nip.195409121984031001 Nip.195208141982121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
pertanggung jawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah untuk satu tahun berjalan (1 periode) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004, mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
Penelitian skripsi ini merupakan penelitian Hukum Normatif (yuridis
normative) dengan mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research).
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 meliputi Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG), Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas
segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan. Pada kesempatan ini penulis memilih judul tentang
“Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Menurut UU No 32 Tahun 2004”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari
segi materi maupun penyusunan kalimatnya. Untuk itu dengan kerendahan hati
dan keterbukaan penulis menerima kritik dan saran demi kebaikan penulis dalam
pembuatan karya ilmiah pada masa mendatang.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.H., DFM., sebagai Pembantu Dekan II.
4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III.
5. Ibu Suryaningsih, SH., M.Hum., sebagai Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara.
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Syarifuddin Siba, SH., M.Hum., sebagai pembimbing II, yang telah
berkenan meluangkan waktunya membimbing dan memberikan petunjuk pada
penulis dalam penulisan skripsi ini.
Tak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga buat
Ayahanda tercinta Sabar Tarigan Sibero, SH. dan Ibunda tercinta Rosmawaty Br
Sembiring kerena berkat doa, pengorbanan dan kasih sayangnya yang tulus telah
membesarkan dan mendidik serta mendoakan penulis setiap saat demi kemajuan
penulis.
Selanjutnya secara khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada :
1. Saudara penulis, kakakku tersayang dr. Sri Setiana Tarigan., abangku
tersayang Hartanta Tarigan, SH, dan adikku tersayang Mita florina Tarigan.,
yang selama ini telah mendukung, mendoakan dan menyayangi penulis.
2. Kekasih penulis, Elysa Yulinda Sembiring., yang selama ini telah menemani
dan mendukung serta mendoakan penulis setiap saat demi kemajuan penulis.
3. Seluruh Staf dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah membantu dan melancarkan penulis dalam pengurusan berkas-berkas
skripsi penulis.
4. Rekan-rekan mahasiswa yang banyak membantu penulis selama perkuliahan,
khususnya yang sangat dekat dengan penulis : Andrio Atenta Tarigan, Adhy
Iswara Sinaga, Rizky Aulia Harahap, Faisal Lubis, Danisyah Putra Sembiring,
Akhirnya terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis mengharapkan
kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2011
Penulis,
Irveb Imanuel Tarigan
KATA PENGANTAR ... i
BAB II : PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 26
A. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ... 29
1. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran ... 33
2. Pertanggungjawaban Untuk Hal Tertentu ... 38
3. Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan ... 41
B. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ... 43
1. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemeerintah ... 49
2. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ... 51
3. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat ... 54
BAB III : MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) ... 58
A. Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG) ... 58
B. Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) ... 66
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH
KEPALA DERAH DALAM
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) ... 88
A. Hambatan Yang bersifat Politis ... 88
B. Hambatan Yang bersifat Prosedural ... 94
C. Hambatan Yang bersifat Ekonomis ... 97
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 102
A. Kesimpulan ... 102
B. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
Tabel : Perbedaan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Menurut
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 ... 56
Skema : Skema Alur pikir kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang
berbasis prinsip-prinsip Good Financial Governance ... 65
pertanggung jawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan APBD. APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah untuk satu tahun berjalan (1 periode) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Mengingat bahwa laporan keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan pemerintahan yang disampaikan kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem pemerintahan demokrasi. Memang harus diakui bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ditandai dengan adanya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD adalah merupakan penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensil. Akan tetapi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD, yang pada akhirnya membawa kekaburan terhadap pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan APBD dan kedudukan DPRD sebagai lembaga pengawas.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004, mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kepala daerah dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
Penelitian skripsi ini merupakan penelitian Hukum Normatif (yuridis
normative) dengan mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research).
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 meliputi Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance (GFG), Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan Analisis Terhadap Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.1 Ini
berarti bahwa negara yang bersusunan negara Kesatuan, maka segenap
kekuasaan/kewenangan serta tanggung jawab pelaksanaan pemerintahan guna
mewujudkan kesejahteraan dan kelangsungan hidup bangsa berada dibawah
kendali satu pemegang kekuasaan terpusat yang terdapat pada pemerintah pusat.
Dengan demikian corak pemerintahan yang cenderung bersifat sentralisasi.
Berbeda halnya dengan negara bersusunan serikat (Federasi) dimana corak
pemerintahannya lebih cenderung bersifat Desentralisasi.2
Namun karena wilayah negara Republik Indonesia sedemikian luasnya dan
didiami berbagai jenis suku bangsa yang beraneka ragam (Bhineka Tunggal Ika)
serta diperkaya lagi dengan latar belakang sejarah perjuangan dalam melepaskan
diri dari belenggu kekuasaan penjajahan bangsa selama berabad-abad lamanya,3
Para pendiri negara (founding fathers) kita menyadari keadaan alamiah yang
terdapat dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam tersebut. Dalam
menyikapi heterogenitas bangsa tersebut maka diaturlah masalah corak
pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem pembagian kekuasaan antara menyebabkan corak pemerintahan sentralisasi bukanlah merupakan tipe ideal
sistem pemerintahan yang cocok buat mengatur wilayah dan penduduk yang
demikian banyak dan beragam itu.
1
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
2 Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah:Disentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda
dan Anggota DPRD, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2001), hlm. 18.
3 Ibid, hlm. 19.
pemerintah puat dengan kelompok-kelompok masyarakat didaerah yang akhirnya
menciptakan Pemerintahan daerah berdasarkan sistem desentralisasi sebagaimana
yang tercemin dalam pasal 18 Undang-undang Dasar 1945.
Secara Ketatanegaraan pengertian desentralisasi adalah dimaksudkan untuk
menggambarkan usaha dalam melepaskan diri dari pusat pemerintahan dengan
jalan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pemerintah pusat atau
pemerintahdaerah tingkat atasan kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus
kepentingan rumah tangga daerah itu sendiri. Dalam hal ini sudah tentu usaha
untuk melepaskan diri dari pusat bukanlah berarti lepas sama sekali dari ikatan
negara (apalagi dalam negara Indonesia), melainkan dengan diserahkannya
beberapa kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah dimaksudkan
agar tidak terlalu bergantung sama sekali kepada pusat. Beberapa urusan yang
telah dapat dan lebih tepat diurus sendiri oleh daerah dan bersifat khas
daerah,sudah tentu akan lebih efektif dan memberikan hasil guna yang lebih baik
bila dipercayakan kepada masing-masing daerah untuk mengurusnya,
dibandingkan jika urusan tersebut masih ditangani oleh pemerintah pusat.4
4 Faisal Akbar Nasution, Pemerintah Daerah dan sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 10.
Dengan dilaksanakannya desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan
pemerintah daerah dalam susunan negara Indonesia maka akan melahirkan
wewenang atau kekuasaan dan hak kepada nasyarakat didaerah-daerah untuk
mengurus sendiri-sendiri urusan yang bersifat khas (spesifik) sebagai
urusan/kekuasaan yang menjadi urusan rumah tangga daerahnya tanpa perlu diatur
lagi oleh Pemerintah Pusat yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini pemerintah pusat menyerahkan
kepada masyarakat daerah (pemerintah daerahnya) sejumlah urusan yang kelak
akan menjadi urusan rumah tangganya sendiri dengan mengingat kondisi dan
kemampuan ekonomi, potensi daerah, soaial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan (hankam), serta
faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah,5
5 Pasal 5 ayat 4 Undang Nomor 22 Tahun 1999 Sebagaimana Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
dari daerah
yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksana pembangunan secara merata diseluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dengan diserahkannya sesuatu urusan menjadi urusan rumah tangga daerah,
mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan daerah adalah
menjadi urusan pemerintah daerah kecuali yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang sebagai wewenang pemerintah pusat.
Salah satu yang paling esensial dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah adalah pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah (Presiden) dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan, kecuali
urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan menjadi urusan
pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi
Sesuai isi pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan
pemerintah yang tidak menjadi urusan pemerintahan daerah adalah:
a. Pertahanan;
b. Keamanan;
c. Politik luar negeri;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional;dan
f. Agama
Berarti bidang-bidang lain diluar 6 (enam) diatas menjadi urusan
pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi luas dan nyata.
Kemudian untuk mewujudkan dan menyelenggarakan pemerintahan daerah
sebagaimana tersebut diatas secara efektif dan efesien tidaklah mudah, karena
selain dibutuhkannya lembaga eksekutif daerah tetapi juga keterlibatan lembaga
legislatif daerah dan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Dengan
demikian untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang baik (good local
government) akan sangat ditentukan oleh format lain dan pola hubungan antara
lembaga eksekutif daerah dan lembaga legislatif daerah serta seluruh elemen
masyarakat.
APBD adalah anggaran keuangan dalam satu tahun kerja yang terdiri atas
penerimaan dan pengeluaran daerah, yang mencerminkan RKPD dan bagi satuan
kerja perangkat daerah, anggaran satuan kerjanya merupakan bagian dari
pelaksanaan Renstra SKPD dan Renja SKPD nya. APBD ditetapkan dengan
evaluasi dari Menteri Dalam Negeri, bagi APBD Kabupaten/Kota mendapat
evaluasi dari Gubernur. 6
Adapun proses penyusunan APBD sebagai berikut: Kepala daerah
menetapkan prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja
dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kemudian kepala SKPD
menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD dengan pendekatan berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran SKPD tersebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
menempatkan Pemerintah Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan
daerah. Sesama unsur pemerintahan daerah pada dasarnya kedudukan Pemerintah
Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) adalah sama, yang membedakannya
adalah fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajibannya. Karena itu
hubungan yang harus dibangun antara Pemerintah Daerah dan DPRD mestinya
adalah hubungan kemitraan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang
baik (good local governance). Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, pada
tahap perencanaan pemerintah daerah dan DPRD duduk bersama-sama sebagai
mitra untuk merumuskan suatu kebijakan mengenai rencana anggaran pendapatan
dan belanja daerah. Kemudian setelah rencana anggaran tersebut disahkan
menjadi APBD, pemerintah daerah yang akan melaksanakan pengelolaan dari
APBD tersebut. Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik
diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan keuangan daerah yang
dilakukan oleh lembaga legislatif (DPRD).
disampaikan kepada Pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan
penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya.7
Atas dasar persetujuan DPRD, kepala daerah menyiapkan rancangan
peraturan kepala daerah (PKD) tentang penjabaran APBD dan rancangan
dokumen pelaksanaan anggaran SKPD. Langkah selanjutnya dilakukan evaluasi
terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD
oleh instansi atasan yaitu kabupaten/kota oleh Gubernur dan provinsi oleh Menteri
Dalam Negeri.
Kepala daerah mengajukan rancangan perda tentang APBD disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk
memperoleh persetujuan bersama. Kemudian dibahas Pemda bersama DPRD
berdasarkan kebijakan umum APBD, serta prioritas dan plafon anggaran.
Selambat-lambatnya 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, DPRD telah
mengambil keputusan untuk menyetujui rancangan perda diatas.
8
Rancangan perda Kab/Kota (Provinsi) tentang APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota (Gubernur) paling lama 3 hari
disampaikan kepada Gubernur/Menteri Dalam negeri untuk dievaluasi. Hasil
evaluasi disampaikan oleh Gubernur (Mendagri) kepada Bupati/Walikota
(Gubernur) paling lama 15 hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda
Kab/Kota (Provinsi) dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang
penjabaran APBD9
7 Ibid, hlm. 35.
8 Ibid, hlm. 36.
Apabila Gubernur (Mendagri) menyatakan hasil evaluasi rancangan perda
tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang
penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota (Gubernur) menetapkan
rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota (Gubernur).
Dan apabila Gubernur (Mendagri) menyatakan hasil evaluasi rancangan perda
tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang
penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/ Walikota (Gubernur) bersama
DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 hari sejak diterimanya hasil
evaluasi.
Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota (Gubernur)
dan DPRD, dan Bupati/ Walikota (Gubernur) tetap menetapkan rancangan perda
tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur) tentang
penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan Bupati/Walikota (Gubernur),
Gubernur (Mendagri) membatalkan perda dan peraturan Bupati/Walikota
(Gubernur) dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya APBD tahun
sebelumnya.10
Apabila 1 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan, DPRD tidak
mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk
membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan peraturan
kepala daerah tentang APBD. Rancangan peraturan kepala daerah tersebut dapat
dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Mendagri bagi provinsi dan
Gubernur bagi kabupaten/kota.11
Untuk memperoleh pengesahan, RPKD tentang APBD beserta lampirannya
disampaikan paling lambat 15 hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil
keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap rancangan perda tentang
APBD. Apabila dalam batas waktu 30 hari Mendagri atau Gubernur tidak
mengesahkan RPKD tersebut. Kepala Daerah menetapkan RPKD tersebut
menjadi peraturan Kepala Daerah.
12
11 Ibid.
12 Ibid.
Salah satu format dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
ditandai dengan adanya penanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Mengingat bahwa laporan
keuangan pemerintahan sebagai sarana pertanggungjawaban keuangan
pemerintahan yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyar daerah
(DPRD) setiap akhir tahun anggaran adalah salah satu wujud dari sistem
pemerintahan demokrasi. Tanpa sarana seperti itu hilanglah arti demokrasi karena
pemerintah telah berubah menjadi penguasa yang tidak perlu memberikan
pertanggungjawaban keuangan. Hal dianggap perlu karena ciri khas dari
demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis
adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang terhadap warga negaranya, pembatasan-pembatasan atas
kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut
Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh
seorang ahli sejarah Inggris yang bernama Lord Acton, dengan mengingat bahwa
pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu
tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi
termashur bunyinya sebagai berikut: “power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely”, yang berarti bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan
cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.13
Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah
dalam melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah
masalah efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah, khususnya yang terkait
dengan masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam
suatu negara, disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap
kompleksitas kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek
keuangan antara lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila
keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan
pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka
melaksanakan urusan pemrintahan dalam melayani kepentingan masyarakatnya
maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan
warganya akan semakin stabil. Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan
menghadapi problema pelik dalam memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan
tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula.
Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi Negara, maka segala daya
upaya akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan memenfaatkan
segenap sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan
dipergunakan untuk membiaayai pengeluaran kegiatan pemerintahan dan
pembangunan.14
a. Adanya kewenangan yang jelas yang dimiliki oleh aparat pengawas.
Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam mencapai keberhasilan
suatu daerah,maka dalam pelaksanaannya harus pula dibarengi dengan
pertanggungjawaban sebagai bentuk pengawasan agar tidak terjadinya
penyalahgunaan wewenang.
Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan
dan kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Untuk
itulah, pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran perlu dilaksanakan sedini
mungkin, agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan
apabila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan
sulit diperbaiki.
Selanjutnya, Muchsan menyatakan bahwa untuk adanya tindakan pengawasan
diperlukan unsur-unsur sebagai berikut:
b. Adanya suatu rencana yang mantap sebagai alat penguji terhadap
pelaksanaan suatu tugas yang akan diawasi.
c. Tindakan pengawasan dapat dilakukan terhadap suatu proses kegiatan
yang sedang berjalan maupun terhadap hasil yang dicapai dari kegiatan
tersebut.
d. Tindakan pengawasan akan diteruskan dengan tindak lanjut, baik secara
administratif maupun secara yuridis.15
Berkaitan dengan unsur-unsur pengawasan tersebut diatas, maka pengawasan
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pengawasan intern (internal control).
Pengawasan yang yang dilakukan suatu badan/organ yang secara
struktural masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah.
Misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap
bawahannya secara hierarkis. Bentuk kontrol semacam itu dapat
digolongkan sebagai jenis kontrol teknis-administratif atau built-in control.
b. Pengawasan ekstern (eksternal control).
Pengawasan yang dilakukan oleh badan/organ yang secara struktur
organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya,
kontrol yang dilakukan secara langsung, seperti kontrol keuangan yang
dilakukan BPK, kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat yang
berminat pada bidang tertentu, dan kontrol politis yang dilakukan oleh
DPRD terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang dilakukan
secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain
peradilan umum dan peradilan administrasi, maupun badan lain seperti
komisi Ombudsman Nasional.16
Pertanggungjawaban kepala daerah terhadap Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999, salah satu bentuk hubungan kewenangan antara badan legislatif
daerah dan badan eksekutif daerah ditandai dengan adanya pertanggungjawaban
kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik itu
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban akhir masa
jabatan, maupun pertanggungjawaban karena hal tertentu. Akan tetapi setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah maka kepala
daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang disebabkan oleh karena dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah tidak lagi dilaksanakan oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetapi
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Memang harus diakui, bahwa pertanggungjawaban kepala daerah dalam
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan penyimpangan dari sistem
pemerintahan Presidensil yang salah satu cirinya adalah presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan rakyat, namun dengan tidak
bertanggungjawabnya kepala daerah terhadap Dewan Perwakilan rakyat Daerah
maka pengawasan dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah
(APBD) akan lebih sulit untuk dilakukan.
Arifin P Soeria Atmadja mengatakan:
Dari segi mekanisme pertanggungnjawaban keuangan negara dalam arti luas
dijumpai kelemahan sebagai berikut ini:
a. Tidak jelasnya akhir pertanggungjawaban keauangan negara, mengurangi rasa tanggungjawab pelaksanaan anggaran.
b. Adanya berbagai lembaga pengawas dan tumpang tindih fungsi pengawasan disebabkan oleh tidak jelasnya ruang lingkup pengawasan.
d. Pertanggungjawaban keuangan negara yang tidak didukung oleh mekanisme yang jelas mengakibatkan pertanggungjawaban yang tidak jelas pula, dan tidak dapat dipergunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan. e. Usaha koordinasi pengawasan akan tidak berdaya guna bilamana tidak
diletakkan pada mekanisme pertanggungjawaban keuangan negara yang jelas.17
Pendapat diatas seakan-akan menjadi fakta yang tidak terbantahkan lagi
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana banyaknya kepala daerah
yang tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangan daerah yang dikelolanya
sehingga berakhir dimeja hijau dan sudah tentu membawa akibat kerugian pada
keuangan negara/daerah.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya
keuangan daerah yang dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ynag harus
dipertanggungjawabkan oleh kepala daerah, maka penulis tertarik memilih dan
menetapkan judul tentang” Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai
pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004” untuk di
teliti.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis
membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan pertanggungjawaban kepala
daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
sebagai berikut:
17 Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Suatu Tinjauan
1. Bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan Undang-Undang No 32
Tahun 2004 ?
2. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang
No 32 Tahun 2004?
3. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah dalam
mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004?
C. Tujuan Penulisan
Sedangkan yang menjadi tujuan penulisan yang penulis lakukan adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan
Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dengan
Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
2. Untuk mengetahui mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-Undang
No 32 Tahun 2004.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh kepala daerah
dalam mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
D. Manfaat Penulisan
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis
lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis.
a. Hasil penulisan ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada
gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum, khususnya yang berkaitan dengan pengaruh pertanggungjawaban
kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
b. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan
dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban kepala daerah dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
2. Secara Praktis.
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah
dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan
penegakan dan pengembangan ilmu hukum.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, karya ilmiah ini menulis tentang “Pertanggungjawaban Kepala
Daerah Sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
2004” adalah asli tulisan penulis sendiri, apabila ada karya ilmiah lain yang
serupa mungkin hanya judul saja, sedangkan pendekatan yang digunakan untuk
menganalisis permasalahan jelas berbeda, maka penulis menuangkan tulisan ini
berdasarkan literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan dan analisis terhadap
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah.
Bila ternyata dikemudian hari ditemukan skripsi yang sama sebelum skripsi ini
di buat, penulis siap bertanggung jawab sepenuhnya untuk diuji.
F. Tinjauan Kepustakaan
Pertanggungjawaban kepala daerah adalah Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD yang selanjutnya disebut
LKPJ adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah selama 1 (satu) tahun anggaran atau akhir masa jabatan yang disampaikan
oleh kepala daerah kepada DPRD (pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintahan
Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kepada Pemerintah, laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat). Sebagaimana kita
ketahui bersama bahwa penyampaian LKPJ Kepala Daerah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pelaksanaan dari amanat Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah termuat dalam Pasal 27 Ayat
(2) yang menyebutkan bahwa “Kepala Daerah mempunyai kewajiban untuk
memberikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah,
menginformasikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
masyarakat”.
Selanjutnya sesuai pasal 184 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah Kota juga berkewajiban
menyampaikan Raperda tentang Pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD berupa Laporan Keuangan setelah dilakukan audit oleh BPK. Laporan
keuangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, dilampirkan dengan
Laporan Keuangan BUMD, yang disusun sesuai Standar Akuntansi Pemerintah.
Pelaksanaan laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah secara teknis diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Masyarakat. Peraturan Pemerintah inilah yang menjadi acuan dalam penyusunan
LKPJ.
Amanat dari peraturan tersebut di atas menyatakan LKPJ Pemerintah Daerah
merupakan progress report pelaksanaan tugas atau laporan pencapaian kinerja
dalam satu tahun anggaran. Dalam perspektif amanah dan substansi
kepemerintahan, penyampaian progress report kepada DPRD, sekaligus
merefleksikan akuntabilitas bersama antara kelembagaan Pemerintah Daerah dan
DPRD. Progress report pada DPRD sifatnya mengikat, karena progress report
pelaksanaan kebijakan pemda sebagai manifestasi dari fungsi kontrol yang
dilakukan oleh DPRD. Progress report sangat penting oleh DPRD agar bisa
memberikan rekomendasi atau catatan-catatan strategis terhadap penyempurnaan
kinerja pengelolaan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat. Dengan LKPJ ini juga diharapkan dapat terwujud adanya
akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan guna
mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pertanggungjawaban kepala daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, dapat
dikatakan tujuan umumnya adalah:
1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan
keputusan ekonomi, sosial dan politik serta sebagai bukti
pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship).
2. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam mengevaluasi kinerja
manajerial dan organisasional.18
Secara khusus, tujuan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh kepala
daerah adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi keuangan guna menentukan dan memprediksi
aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka
pendek unit pemerintah.
2. Memberikan informasi keungan untuk menentukan dan memprediksi
kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang
terjadi didalamnya.
18 Soekarwo, Hukum Pengelolaan keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya
dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan
ketentuan lain yang disyaratkan.
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk
memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi
terhadap pencapaian tujuan operasioanl.
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan
organisasional.19
Yang dimaksud dengan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kepada pemerintahan yang selanjutnya disebut LPPD adalah laporan atas
penyelenggaraan pemerintah daerah selama 1 (satu) tahun anggaran berdasarkan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disampaikan oleh kepala
daerah kepada pemerintah (pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada
Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).
Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dapat dianggap diterima apabila sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak penyerahan dokumen, penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum
dapat diselesaikan, maka pertanggungjawaban ahkir tahun anggaran tersebut
dianggap diterima. Apabila pertanggungjawaban kepala daerah terdapat
perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA, maka
pertanggungjawaban kepala daerah tersebut dapat ditolak.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat diartikan sebagai
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah).
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) adalah merupakan suatu
rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
tentang APBD, adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.20
a. Pendapatan Daerah;
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
b. Belanja Daerah;
c. Pembiayaan.
Sebagai satu kesatuan, dokumen APBD merupakan rangkuman seluruh jenis
pendapatan, jenis belanja, dan sumber-sumber pembiayaannya.21
Dari struktur APBD diatas ada kemungkinan surplus atau defisit. Surplus
anggaran terjadi jika terdapat selisih lebih Pendapatan Daerah terhadap Belanja
Daerah. Sebaliknya defisit terjadi jika terdapat selisih kurang Pendapatan Daerah
terhadap Belanja Daerah, sedangkan jumlah pembiayaan sama dengan jumlah
surplus/defisit anggaran.
22
20
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah DI Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 239.
Didalam Penyusunan APBD terdapat formalitas yang perlu di perhatikan
dalam penyusunan anggaran yang terdiri atas:
a. Transparansi dan akuntabilitas;
b. Disiplin anggaran;
c. Keadilan anggaran;
d. Efisiensi dan efektivitas anggaran;
e. Format anggaran.23
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa satu tahun
anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Kepala daerah dalam penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) menetapkan
prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan
anggaran satuan kerja (RKASK) perangkat daerah. Berdasarkan prioritas dan
plafon anggaran tersebut kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun
(RKASK) perangkat daerah dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai.
RKSAK perangkat daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan
daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun
berikutnya.24
Setiap perangkat Daerah yang mempunyai tugas memungut atau menerima
Pendapatan Daerah wajib melaksanakan intensifikasi pemungutan pendapatan
tersebut adalah orang/lembaga pada pemerintah Daerah yang bertanggungjawab
kepada Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah
yang terdiri atas sekertaris daerah dinas daerah dan lembaga teknis daerah,
kecamatan dan kelurahan sesuai dengan kebutuhan Daerah.
23 Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.96.
Pengguna Anggaran Daerah mengajukan Surat Permintaan Pembayaran untuk
melaksanakan pengeluaran. Pembayaran yang membebani APBD dilakukan
dengan Surat Perintah Membayar. Surat Perintah Membayar merupakan dokumen
APBD yang menjadi dasar untuk melakukan pembayaran atas beban APBD. Surat
Perintah Membayar ditetapkan oleh Bendahara Umum Daerah atau pejabat yang
ditetapkan oleh Bendahara Umum Daerah. Bendahara Umum Daerah dapat
menetapkan pejabat yang melakukan tugas pembayaran atas dasar Surat Perintah
Membayar.25
1. Asas Desentralisasi.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah derah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan degan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah).
Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati,
atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah).
Adapun yang menjadi asas-asas dalam pelaksanaan otonomi daerah
sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagai berikut:
Adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepala daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah).
2. Asas Dekonsentrasi.
Adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintahan dan/atau kepada instansi vertikal
diwilayah tertentu (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah).
3. Tugas Pembantuan.
Adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desadari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Pasal 1 angka
9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).
G. Metode Penelitian
Untuk mendukung penulisan ini maka metode yang dipakai adalah
menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian hukum biasanya dilakukan
dengan metode penelitian kepustakaan yang biasa disebut dengan penelitian
hukum normatif.26
Dalam melakukan penulisan ini, penelitian yang dilakukan pada prinsipnya
mengacu kepada penelitian kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan (library research) adalah penelitian yang berkenaan dengan bacaan
yang berisi buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan cara meneliti
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
topik yang dijadikan sebagai landasan guna menguatkan argumentasi didalam
penyusunan penulisan ini.
Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer yaitu perundang-undangan
yang mengikat, bahan hukum sekunder yaitu memberikan penjelasan bahan
hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum yaitu buku-buku yang
berhubungan dengan pembahasan skripsi ini, bahan hukum tersier atau bahan
penunjang yang mencakup media massa dan media internet.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 Bab, dan tiap–tiap Bab terbagi atas beberapa sub–
sub Bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang
dapat digambarkan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan.
Di dalam Bab ini merupakan gambaran umum yang menguraikan
tentang : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan,
Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan,
Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II : Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pada bab yang kedua ini akan membahas tentang pengaturan
Pertanggungjawaban kepala daerah berdasarkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, serta pengaturan Pertanggungjawaban Kepala
Bab III : Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada bab yang ketiga ini akan membahas mengenai Mekanisme
Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan Prinsip Good Financial Governance, mekanisme
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), dan analisis terhadap
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
Bab IV : Hambatan-hambatan Yang Dihadapi Oleh Kepala Daerah Dalam Mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD).
Pada bab yang keempat ini akan membahas tentang hambatan yang
bersifat Politis, hambatan yang bersifat Prosedural, dan Hambatan
yang bersifat Ekonomis.
Bab V : Kesimpulan dan Saran.
Dalam Bab yang kelima ini diuraikan tentang kesimpulan dan
saran-saran yang dapat berguna sebagai perkembangan mengenai
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Sebagai Pelaksana Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Dalam Rangka
PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Semenjak lahirnya Negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945,
prinsip penyelenggaraan otonomi daerah telah menjiwai ketatanegaraan Republik
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 18 Amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara Demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, menunjukkan adanya perhatian yang
sangat besar dari para “founding fathers” terhadap bentuk dan susunan
pemerintahan daerah sebagaimana yang tertuang dalam amanat konstitusi,
termasuk lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah yang dipandang
sangat penting dalam mewujudkan pembangunan daerah yang dilaksanakan
secara demokratis atas dasar pemusyawaratan. Dengan perkataan lain, keberadaan
lembaga legislatif daerah dan lembaga eksekutif daerah merupakan wujud untuk
menegakkan dan membina kehidupan demokrasi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menganut prinsip demokrasi
yang diberi nama “kedaulatan rakyat” atau “kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan” atau “kedaulatan
ditangan rakyat”.27
Berdasarkan realitas tersebut diatas, maka penyelenggaraan pemerintahan
daerah dalam rangka mengatur dan mengurus dirinya sendiri, membawa Dari konstelasi diatas menunjukkan bahwa lembaga eksekutif daerah adalah
merupakan bahagian integral dalam sistem demokrasi Pncasila, yang pada
hakekatnya merupakan perwujudan keikutsertaan masyarakat daerah melalui
pemilihan umum kepala daerah yang diadakan secara langsung.
konsekuensi diharuskannya kepala daerah sebagai pelaksana penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tersebut yang
dalam hal ini sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut
Davey mempunyai fungsi-fungsi yaitu:
1. Penyediaan pelayanan.
Kelompok pertama dari fungsi-fungsi,yang secara tradisonal yang
diasosiasikan dengan Pemerintahan Daerah adalah penyediaan
pelayanan-pelayanan yang berorientasi pada pengendalian lingkungan dan
kemasyarakatan.
2. Fungsi pengaturan.
Yakni perumusan dan penegakan (enfocement) peraturan-peraturan.
3. Fungsi pembangunan.
Pemerintah daerah mungkin terlibat langsung dalam bentuk-bentuk
kegiatan ekonomi.
4. Fungsi perwakilan.
Untuk menyatakan pendapat daerah atas dasar hal-hal diluar bidang
tanggungjawab eksekutif yang dilakukan oleh legislatif.
5. Fungsi koordinasi dan perencanaan.
Misalnya dalam investasi dan tata guna tanah.28
Dalam perkembangannya, kedudukan pertanggungjawaban kepala daerah
sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah mengalami berbagai pergeseran
sesuai dengan perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan
pemerintah daerah. Pergeseran dan perubahan ini merupakan gambaran proses
perkembangan dan pertumbuhan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dalam
pelaksanaan desentralisai dan tugas pembantuan.
Berikut akan diuraikan tentang pengaturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah era reformasi:
A. Pengaturan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Agenda reformasi yang dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sejak
beberapa waktu yang lalu, telah dan akan terus membuahkan banyak perubahan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai perubahan tersebut
menyangkut segi-segi substansial pada tataran struktural dan fungsional yang
diharapkan dapat membawa bangsa Indonesia bergerak menuju kearah kehupan
yang lebih baik di segala bidang kehidupan.29
Dari sisi pemerintahan daerah, satu perubahan fundamental dibanding sistem
yang berlaku sebelumnya adalah dipisahkannya lembaga eksekutif yaitu Kepala
Daerah beserta perangkat Daerah yang kemudian disebut Pemerintah Daerah, dan
lembaga legislatif daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam
kerangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Perubahan ini dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan demokrasi dan
demokratisasi yang merupakan saripati dari agenda reformasi. Kepada Pemerintah
Daerah diberikan fungsi-fungsi implementasi kebijakan publik yang meliputi
aspek pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan
kepada DPRD diberikan fungsi legilasi, anggaran, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas Kepala Daerah.30
1. Pembangunan sistem, iklim dan kehidupan politik demokratis.
Substansi sasaran vital yang ingin dicapai melalui perubahan sistem
pemerintahan daerah ini adalah:
2. Penciptaan pemerintahan daerah yang bersih dan berwibawa serta bernuansa
desentralisasi.
3. Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperanserta secara optimal dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
4. Penegakan supremasi hukum.
Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, dalam konteks ini, kepada DPRD
disamping diberikan fungsi-fungsi juga diberikan tugas, wewenang dan hak-hak
yang sama seperti DPR dalam ruang lingkup sebagai lembaga legislatif daerah.
Dengan pemberian tugas, wewenang dan hak-hak secara luas kepada DPRD
tersebut, perlu adanya langkah-langkah konkrit yang mampu mendorong agar
dapat berperan secara optimal dalam pemerintahan daerah.31
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara eksplisit diatur dalam
hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kepala daerah terhadap
30 Ibid, hlm. 49.
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah, diantaranya yaitu:
Pasal 44 : (1) Kepala daerah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama dengan DPRD.
(2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala daerah
bertanggungjawab kepada DPRD.
(3) Kepala daerah wajib menyampaikan laporan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada presiden melalui
menteri dalam negeri dengan tembusan kepada gubernur bagi
kepala daerah kabupaten/kota, sekurang-kurangnya sekali dalam
setahun, atau jika perlu oleh kepala daerah atau apabila diminta
oleh presiden.
Pasal 45 : (1) Kepala daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada
DPRD pada setiap akhir tahun anggaran.
(2) Kepala daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada
DPRD untuk hal tertentu atas permintaan DPRD sebagaimana
dimaksud dalam pasal 44 ayat (2).
Pasal 46 : (1) Kepala daerah yang ditolak pertanggungjawabannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45, baik pertanggungjawaban kebijakan
pemerintahan maupun pertanggungjawaban keuangan, harus
melengkapi dan/atau menyempurnakan dalam jangka waktu
(2) Kepala daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan
pertanggungjawaban menyampaikannya kembali kepada DPRD,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bagi kepala daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk
kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya
kepada presiden.
(4) Tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh
pemerintah.
Berdasarkan ketentuan pasal diatas, maka menurut kurun waktunya ada 3 (tiga)
jenis pertanggungjawaban kepala daerah dalam menjalankan tugasnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:
1. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran; yaitu pertanggungjawaban
kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran yang
merupakan tanggungjawab pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah berdasarkan tolak ukur RENSTRA.
2. Pertanggungjawaban untuk hal tertentu; yaitu pertanggungjawaban atas
perbuatan pribadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga
menanggung unsur tindak pidana.
3. Pertanggungjawaban akhir masa jabatan; yaitu pertanggungjawaban
kepala daerah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
berdasarkan tolak ukur RENSTRA di akhir masa jabatan kepala daerah.32
Ad. 1. Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran.
Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk
perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) berikut kinerja
berdasarkan tolak ukur RENSTRA.33
a. Laporan perhitungan APBD.
Pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
bersifat laporan pelaksanaan tugas (progress report). Oleh sebab itu,
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bukan merupakan wahana untuk menjatuhkan kepala
daerah akan tetepi merupakan wahana untuk penilaian dan perbaikan kinerja
penyelenggaraan pemerintah daerah.
Laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah terdiri atas:
b. Nota perhitungan APBD.
c. Laporan aliran kas.
d. Neraca daerah.
Keempat aspek tersebut diatas dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan
tolak ukur RENSTRA. Penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur RENSTRA
didasarkan pada indikator:
a. Dampak, bagaimana dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin
dicapai berdasarkan manfaat yang dihasilkan.
b. Manfaat, bagaimana tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai
tambah bagi masyarakat maupun pemerintah.
c. Hasil, bagaimana tingkat capaian kinerja yang diharapkan terwujud
berdasarkan keluaran (out put) kebijakan atau program yang sudah
dilaksanakan.
d. Keluaran, bagaimana bentuk produk yang dihasilkan langsung oleh
kebijakan atau program berdasarkan masukan (in put) yang digunakan.
e. Masukan, bagaimana tingkat atau besaran sumber-sumber daya manusia,
dana, material, waktu, teknologi, dan sebagainya.34
Berdasarkan pasal 5 sampai dengan pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 108
Tahun 2000 diatur tentang tata cara pertanggungjawaban akhir tahun anggaran
kepala daerah, sebagi berikut:
• Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dibacakan oleh kepala daerah
didepan sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.
• Dokumen pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah dibacakan
oleh kepala daerah, kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, kemudian dilakukan penilaian sesuai dengan mekanisme
dan ketentuan yang berlaku.
• Penilaian oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas
pertanggungjawaban kepala daerah paling lambat selesai 1 (satu) bulan
setelah dokumen pertanggungjawaban akhir tahun anggaran diserahkan.
• Apabila sampai dengan 1 (satu) bulan sejak penyerahan dokumen,
penilaian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum dapat diselesaikan,
maka pertanggungjawaban akhir tahun anggaran tersebut dianggap
diterima.
• Pertanggungjawaban kepala daerah dapat ditolak apabila terdapat
perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang merupakan penyimpangan yang
alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur
RENSTRA.
• Penilaian atas pertanggungjawaban kepala daerah dilaksanakan dalam
rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga)
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
• Penolakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hadir dan mencakup seluruh
fraksi.
• Apabila kepala daerah tidak melengkapi atau menyempurnakan dokumen
pertanggungjawaban dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentian kepala
daerah kepada gubernur dan kepada menteri dalam negeri dan ontonomi
daerah melalui gubernur bagi bupai/walikota.
• Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan penilaian atas laporan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran yang telah disempurnakan
• Pertanggungjawaban kepala daerah yang telah disempurnakan dapat
ditolak apabila dalam laporan yang telah disempurnakan masih tidak dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur RENSTRA.
• Apabila laporan pertanggungjawaban kepala daerah ditolak untuk kedua
kalinya, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan
pemberhentian kepala daerah kepada presiden melaluli menteri dalam
negeri dan otonomi daerah begi gubernur dan kepada menteri dalam negeri
dan otonomi daerah melaluli gubernur bagi bupati/walikota.
• Dalam hal pertanggungjawaban akhir tahun anggaran ditolak untuk yang
kedua kalinya maka menteri dalam negeri dan otonomi daerah membentuk
Komisi Penyelidik Independen untuk provinsi, gubernur membentuk
Komisi Penyelidik Independen untuk kabupaten/kota.
• Anggota komisi terdiri dari para ahli yang berkompeten, independent, non
partisan yang kredibilitasnya diakui oleh masyarakat, dan berdomisili di
wilayah Indonesia bagi provinsi atau berdomisili di provinsi setempat bagi
kabupaten/kota yang angotanya berjumlah 7 (tujuh) orang.
• Komisi Penyelidik Independen tersebut bertugas membantu pemerintah
unruk menilai kesesuaian keputusan penolakan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan ketentuan yang berlaku.
• Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban kepala
daerah untuk Komisi Penyelidik Independen disampaikan kepada menteri
dalam negeri dan otonomi daerah dengan tembusan kepada presiden untuk
gubernur dan disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada
• Masa tugas komisi Penyelidik Independen berakhir setelah proses
pertanggungjawaban kepala daerah selesai.
• Apabila komisi Penyelidik Independen manilai bahwa keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakn pertanggungjawaban akhir tahun
anggaran telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, selanjutnya
diteruskan kepada presiden dan disahkan untuk gubernur atau kepada
menteri dalam negeri dan otonomi daerah agar disahkan untuk
bupati/walikota.
• Apabila Komisi Penyelidik Independen menilai bahwa keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atas penolakan pertanggungjawaban akhir
tahun anggaran tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka presiden
membatalkan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
gubernur dan menteri dalam negeri dan ontonomi daerah membatalkan
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk bupati/walikota.
• Dengan dibatalkannya keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas
penolakan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran gubernur,
bupati/walokota maka usul pemberhentian yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Daerah dinyatakan ditolak dan selanjutnya Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah merehabilitasi nama baik gubernur, bupati/walikota.
Dengan demikian, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran kepala daerah
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah bentuk analisis, evaluasi, dan
penilaian yang dilakukan untuk mengamati apakah kebijakan, program dan
kepentingan masyarakat yang harus diwujudkan dalam penyelenggaraan
pembangunan pada masa yang kan datang.
Ad. 2. Pertanggungjawaban Untuk Hal Tertentu.
Pertanggungjawaban dikarenakan hal tertentu merupakan
pertanggungjawaban kepala daerah yang berkaitan dengan dugaan atas perbuatan
pidana yang dilakukan oleh kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang oleh
Dewan Perwakilan Daerah dinilai dapat menimbulkan krisi kepercayaan public
yang luas (pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 2000).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 sampai dengan Pasal 26 Peraturan
Pemerintah Nomor 108 tahun 2000, maka tata cara pertanggungjawaban kepala
daerah karena hal tertentu adalah sebagai berikut:
• Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dapat dipanggil oleh Dewan
Perwakilan Daerah atau dengan inisiatif sendiri untuk memberikan
keterangan atas perbuatan pidana.
• Pemanggilan kepala daerah tersebut dilakukan atas permintaan
sekurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari seluruh anggota Dewan Perawakilan
Daerah.
• Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengadakan sidang paripurna untuk
membahas keterangan yang disampaikan kepala daerah dan atau wakil
kepala daerah paling lambat 1 (satu) bulan sejak kepala daerah dan atau
• Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk panitia khusus untuk
menyelidiki kebenarran keterangan yang disampaikan kepala daerah dan
atau wakil kepala daerah.
• Berdasarkan hasil penyelidikan panitia khusus, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dapat mengambil keputusan untuk menerima atau menolak
keterangan kepala daerah untuk hal tertentu.
• Apabila Dewan Perwakilan Daerah menolak pertanggungjawban tersebut,
maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyerahkan penyelesaiannya
kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
• Penyidikan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari presiden bagi
gubernur dan menteri dalam negeri dan otonomi daerah bagi
bupati/walikota. Apabila gubernur dan atau wakil gubernur berstatus
sebagai terdakwa, presiden memberhentikan sementara gubernur dan atau
wakil gubernur dari jabatannya.
• Apabila bupati/walikota dan atau wakil bupati/walikota berstatus sebagai
terdakwa, menteri dalam negeri dan otonomi daerah memberhentikan
sementara bupati/walikota dan atau wakil bupati/wakil walikota dari
jabatannya.
• Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai kkekuatan hukum tetap
dan menyatakan gubernur dan atau wakil gubernur tidak bersalah, presiden
mencabut pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik