• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

SULISTIYANTI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Sulistiyanti

(4)

ABSTRAK

SULISTIYANTI. Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan KOMARSA GANDASASMITA.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu kejadian yang selalu terulang setiap tahunnya dengan intensitas dan luasan yang beragam, serta berdampak terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Faktor biofisik dan aktifitas manusia adalah penyebab kebakaran hutan dan lahan, meskipun hingga saat ini seberapa besar pengaruhnya terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan belum diketahui secara pasti, namun kondisi di lapang menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera dipengaruhi oleh faktor manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan dinamika tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Metode yang digunakan untuk menyusun model adalah metode Composite Mapping Analysis (CMA). Pemetaan kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2005-2012 dilakukan berdasarkan persamaan model terbaik tahun 2009. Faktor yang paling berpengaruh dalam pembangunan model kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada setiap tahunnya adalah penutupan/penggunaan lahan dan kedalaman gambut. Tingkat kerentanan sangat tinggi dengan luasan terbesar terjadi pada tahun 2006 (tahun El-Nino). Kecamatan Mantangai adalah kecamatan dengan tingkat kerentanan sangat tinggi paling luas dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Kapuas. Sementara, jenis penutupan/penggunaan lahan yang umumnya ada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi adalah belukar rawa, belukar dan perkebunan.

(5)

ABSTRACT

SULISTIYANTI. Dynamic of the Vulnerability of Land and Forest Fire in Kapuas District, Central Kalimantan Province. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and KOMARSA GANDASASMITA.

Land and forest fire always occurs every year with varying intensity and frequency and have impact to the environment, social and economic. Central Kalimantan is one of the Provinces in Indonesia very vulnerable to land and forest fire. Biophysical factors and human activities are the cause of land and forest fire, although it is currently unknown exactly how big its influence on the occurance of land and forest fire, however conditions in the field suggests that the main cause of land and forest fire happened in Kalimantan and Sumatra influenced by the human factor. This research was aimed to identifying and mapping the dynamics of the vulnerability of land and forest fire. The method used to compile a model is a method of Composite Mapping Analysis (CMA). The vulnerability assesment of land and forest fire in the peroid 2005 and 2012 is based on the equation model of the year of 2009. The most influential factor in the development of vulnerability model each year is land cover/use and the depth of peat. The vulnerability level with very high category and with the largest area occurred in 2006 (El-Nino year). Sub-district of Mantangai is a sub-district with vulnerability level of very high and most extensive compared with other sub-districts in the district of Kapuas. Meanwhile, type of land cover/use that always exist from high-level to very high vulnerability is the swampy shrub, shrub, and plantation.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DINAMIKA KERENTANAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

SULISTIYANTI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah Nama : Sulistiyanti

NIM : A14090073

Disetujui oleh

Dr Ir Muhammad Ardiansyah Pembimbing I

Dr Ir Komarsa Gandasamita MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dan dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ialah tentang kerentanan kebakaran hutan dan lahan dengan judul “Dinamika Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah”. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah dan Dr. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas kritikan dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Achmad Sidik Thoha dan Mas Mohamad Saefudin yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak, Ibu, Adek Imam, serta keluarga besar penulis atas motivasi, dukungan, doa, dan kasih sayang tiada hentinya sampai saat ini.

5. Proyek Columbia University and Institut Pertanian Bogor Partnership to Build Capacity for Adaptation to Climate Risk in Indonesia yang telah memberikan dukungan data dan dana dalam penelitian ini.

6. Seluruh staf Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis selama proses penelitian.

7. Keluarga besar Ilmu Tanah 46 atas bantuan dan inspirasi dalam gelak tawa bersama sebagai hiburan di tengah kejenuhan tugas akhir. Khususnya Ian, Teguh, Madi, dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung.

8. Keluarga besar PPJers 46 Swaesti, Dini, Ega, Papink, Annisa, Vita, Athu, Kak Merina, Kak Novia, Mbak Etika, Bang Farid, Bang Ardli dan lainnya atas bantuan, bimbingan, keceriaan, dan inspirasi yang telah diberikan selama proses penelitian.

9. Serta teman satu atap selama di Bogor Eky’ers Bateng dan pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tanah. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Bogor, Mei 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Manfaat Penelitian 2

II TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan 2

2.1.1 Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan 2

2.1.2 Bentuk Kebakaran Hutan dan Lahan 2

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api 3

2.1.4 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan 5

2.2 Titik Panas 5

2.2.1 NOAA-AVHRR 5

2.2.2 MODIS 6

2.3 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan 7

2.4 Citra Satelit Landsat 7 ETM+ 8

2.6 Pemodelan dan Pemetaan Kerentanan Kebakaran 8

III BAHAN DAN METODE 9 3.1 Waktu dan Tempat 9 3.2 Data dan Alat 9 3.3 Metode Penelitian 10 3.3.1 Tahap Persiapan 10

3.3.2 Tahap Pengolahan Data dan Citra 10

3.3.3 Pemodelan Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan 12

(12)

IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 15

4.1 Lokasi 15

4.2 Topografi 16

V HASIL DAN PEMBAHASAN 17

5.1 Dinamika Sebaran Titik Panas MODIS di Kabupaten Kapuas Tahun

2005-2012 17

5.2 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun

2005-2012 18

5.3 Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan pada

Periode Tahun 2005-2012 20

5.4 Hubungan antara Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

dengan Sebaran Titik Panas 25 5.5 Hubungan antara Kerapatan Titik Panas dengan Kedalaman Gambut,

Jarak dari Jalan, Jarak dari Pusat Desa dan Jarak dari Sungai 26

VI SIMPULAN DAN SARAN 33

6.1 Simpulan 33

6.2 Saran 33

VII DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 36

(13)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik band Landsat 7 ETM+ 8

2 Data yang digunakan dalam penelitian 10

3 Luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005-2012 20 4 Luas kerentanan sangat tinggi menurut kecamatan yang ada di

Kabupaten Kapuas tahun 2005-2012 24

5 Hasil pemodelan tahun 2005-2012 25

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram tahap penelitian 11

2 Peta lokasi penelitian 16

3 Jumlah titik panas tahun 2005-2012 17

4 Jumlah titik panas bulanan pada tahun 2005-2012 18 5 Perubahan penutupan/penggunaan lahan dalam rentang waktu 8 tahun

(2005-2012) 19

6 Peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005-2012 21 7 Hubungan penutupan/penggunaan lahan dengan luas kerentanan sangat

tinggi di Kabupaten Kapuas tahun 2005-2012 23

8 Sebaran titik panas di sekitar perkebunan dan perubahan penutupan/penggunaan lahan belukar rawa menjadi perkebunan 23 9 Hubungan kerapatan titik panas dengan kedalaman gambut 26 10 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika kedalaman gambut

tahun 2005-2012 27

11 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan kedalaman

gambut 27

12 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan jalan 28 13 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap

jaringan jalan tahun 2005-2012 28

14 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak

terhadap jaringan jalan 29

15 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan sungai 30 16 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap

jaringan sungai tahun 2005-2012 30

17 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak

terhadap jaringan sungai 31

18 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap pusat desa 31 19 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap pusat

desa tahun 2005-2012 32

20 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Badan

Planologi Kementerian Kehutanan 36

2 Luas perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2012 41

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu kejadian yang selalu terulang di wilayah barat Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah titik panas dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun terakhir (2006-2010), terjadi pada tahun 2006. Jumlah titik panas pada tahun tersebut sebesar 146.264 titik dengan luas kebakaran hutan 32.200 Ha. Hal ini terjadi karena pada tahun 2006 Indonesia mengalami fenomena iklim El-Nino dengan musim kemarau yang lebih panjang. Selain itu juga terkait dengan pola pemanfaatan lahan serta kondisi penutupan hutan yang cenderung berkurang pada setiap tahunnya. Dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya dari sisi lingkungan saja, tetapi juga dampak dari sisi ekonomi dan sosial (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan 2010).

Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang paling rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sejak lima belas tahun terakhir provinsi Kalimantan Tengah yang dulu dikenal sebagai daerah yang kaya akan hutan berubah menjadi daerah penghasil asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Suratmo (2003) menyebutkan bahwa makin meluasnya areal yang terbakar sejak tahun 1991 disebabkan oleh makin banyaknya hutan alam yang diubah menjadi hutan produksi (HPH dan HTI), perkebunan, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya.

(16)

2

bagi pengambilan kebijakan dalam upaya menyusun rencana pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan dinamika tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat dan zona kerentanan kebakaran hutan dan lahan, khususnya kepada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan tersedianya informasi ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang lebih terencana dan tepat sasaran.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan 2.1.1 Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan (PERMENHUT No. P. 12/Menhut-II/2009 pasal 1 angka 2). Suprayitno dan Syaufina (2008) membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat.

Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam rangka pembukaan lahan, baik untuk usaha pertanian maupun perkebunan yang ditunjang oleh kondisi iklim dan adanya fenomena alam seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian kebakaran selalu meningkat pada saat anomali SST (Sea Surface Temperature) menunjukkan nilai positif yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan di Indonesia (Putra et al. 2011).

2.1.2 Bentuk Kebakaran Hutan dan Lahan

(17)

a. Kebakaran bawah (ground fire)

Bentuk kebakaran ini biasa terjadi pada hutan yang berada pada daerah gambut, atau juga pada tanah yang mengandung batu bara. Hal ini terjadi karena adanya bahan-bahan organik di bawah lapisan serasah yang mudah terbakar. Api dimulai dari membakar serasah dan kemudian membakar bahan organik yang berada pada lapisan di bawahnya. Kebakaran bentuk ini tidak menampakkan nyala api, sehingga sulit dideteksi.

b. Kebakaran permukaan (surface fire)

Kebakaran permukaan merupakan kebakaran terjadi pada permukaan tanah dan hanya membakar serasah, semak-semak dan anakan pohon. Kebakaran bentuk ini tidak sampai membakar tajuk pohon, sehingga masih dapat diatasi. Namun, apabila angin bertiup kencang, tidak mustahil kebakaran permukaan bisa menjalar ke atas karena tiupan angin, sehingga menyebabkan kebakaran tajuk.

c. Kebakaran tajuk (crown fire)

Kebakaran tajuk adalah kebakaran hutan yang terjadi pada tajuk-tajuk pohon. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan) yang kemudian merambat ke tajuk pohon, sehingga pohon akan mati terbakar. Kebakaran tajuk ini menimbulkan kebakaran dalam skala besar, sehingga sulit dipadamkan.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Api

Kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak lepas hubungannya dengan perilaku api yang dipengaruhi oleh segitiga api. Dalam segitiga api tergantung tiga unsur utama yaitu bahan bakar, oksigen, dan sumber api (Syaufina 2008). Ketiga unsur utama ini membuat perilaku api berhubungan erat dengan perubahan unsur-unsur lingkungan antara lain bahan bakar, iklim/cuaca, dan topografi.

Bahan Bakar. Kadar air merupakan faktor pengendali bahan bakar yang menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran (Sukmawati 2008). Menurut Syaufina (2008), kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku api terutama dalam kecepatan pembakaran bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka memerlukan panas yang besar untuk mengeluarkan air dari bahan bakar. Sehingga menyebabkan menurunnya kecepatan pembakaran dan flamabilitas (kemampuan terbakar) dari bahan bakar tersebut. Kadar air dipengaruhi oleh curah hujan, kelembababan, dan suhu udara.

Iklim/Cuaca. Radiasi matahari menjadi faktor adanya kebakaran hutan akibat adanya pemanasan bahan bakar. Semakin dekat permukaan bahan bakar dengan sudut datang matahari, maka semakin besar pengaruh pemanasannya (Syaufina 2008). Suhu udara yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahan untuk terbakar. Suhu yang meningkat akan menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan proses pengeringan bahan bakar, sehingga kadar air bahan bakar menurun (Sukmawati 2008). Keadaan inilah yang mempermudah bahan bakar menjadi mudah terbakar.

(18)

4

yang bervariasi menurut skala ruang dan waktu (Asdak 2002 dalam Sukmawati 2008).

Kecepatan angin dan pergerakan angin mempengaruhi perilaku api. Kecepatan angin berhubungan dengan pola penjalaran api. Menurut Chandler et al.

(1983) dalam Siwi R (2013), kecepatan penjalaran api akan menigkat dua kali lipat pada setiap kenaikan angin sebesar 4 m/detik. Pengaruh angin terhadap perilaku api sangat dipengaruhi oleh topografi. Angin mendorong dan meningkatkan pembakaran serta mensuplai udara secara terus-menerus, sehingga api dapat menjalar ke bagian bahan bakar yang belum terbakar.

Topografi. Kelerengan mempengaruhi penjalaran api, sifat-sifat nyala api, dan perilaku api lainnya. Api menjalar lebih cepat ke arah atas lereng daripada ke bawah lereng. Kecepatan penjalaran api menaiki lereng sampai kelerengan 20º relatif sama. Akan tetapi pada kelerengan 30º, kecepatan penjalaran akan meningkat secara signifikan. Hal ini berbeda pada saat api menuruni lereng, kecepatan api saat menuruni lereng akan lebih lambat daripada menaiki lereng (Syaufina 2008).

2.1.4 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan dan lahan diantaranya :

Dampak Terhadap Bio-fisik. Dampak buruk dari kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman sampai dengan hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut vegetasi lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu, kebakaran dapat melemahkan daya tahan tegakan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan penyakit. Kebakaran hutan juga dapat mengurangi kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut.

Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan.Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi, dan tingkat air tanah menurun. Kebakaran yang berulang-ulang di kawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.

(19)

Dampak Terhadap Sosial Ekonomi. Perubahan bio-fisik terhadap sumber daya dan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan penurunan daya dukung dan produktivitas hutan, dan lahan. Pada keadaan serupa ini akan menurunkan pendapatan masyarakat dan negara dari sektor kehutanan, pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa wisata, dan lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.

Dampak Terhadap Lingkungan. Selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1994 dan tahun 1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangkap di bawah suatu lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus pandang) sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut, dan udara.

2.2 Titik Panas

Titik panas merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik koordinat. Pada kenyataannya, tidak semua titik panas mengindikasikan terjadinya kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara khusus digunakan untuk mengindikasikan titik terjadinya kebakaran. Namun istilah hotspot lebih umum digunakan. Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire (FFPMP2 2007).

Data titik panas dapat diperoleh dari satelit penginderaan jauh yaitu sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) pada satelit NOAA

(National Oceanic Atmospheric Administration) dan sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua. Titik panas yang ditangkap oleh satelit akan diproyeksikan menjadi suatu pixel yang juga akan menunjukkan koordinat geografisnya. Pixel merupakan unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu pixel pada citra satelit NOAA, Aqua, dan Terra setara dengan ±1 km2. Namun 1 pixel tidak selalu setara dengan 1 km2. Jika terjadi kebakaran pada koordinat tertentu, koordinat tersebut akan ditampilkan di tengah pixel, meskipun kebakaran yang terjadi berada di pinggir pixel, sehingga untuk mengetahui lokasi terjadinya kebakaran harus menelusuri kurang lebih 1 km2 dari lokasi koordinat titik panas tersebut (Purwanto 2012). Oleh sebab itu, titik panas dari lokasi kebakaran di lapang dapat bergeser hingga radius ±1 km di sekeliling koordinat titik panas tersebut.

2.2.1 NOAA-AVHRR

Satelit NOAA merupakan sarana potensial untuk mendeteksi dan memantau terjadinya kebakaran hutan dan lahan, karena selain memiliki sensor yang peka terhadap panas obyek juga dapat meliput daerah yang sangat luas (2600 x 1500 km²) dengan frekuensi perekaman mencapai dua kali dalam sehari (Dephut 1989).

(20)

6

dan studi iklim untuk kepentingan meteorologi yang mampu merekam tempat yang sama 2 kali per hari. Dengan kata lain perekaman dilakukan dalam 12 jam sekali. Pada sensor AVHRR, CH 3 (3,55-3,93 µm) terletak dekat spektral untuk emisi radiatif suatu objek pada suhu ±800ºK (suhu tipikal dari kebakaran alang-alang). Sementara CH 4 (10,3-11,3) dan CH 5 (11,5-12,5) terletak dengan maksimum spektral untuk suhu lingkungan yang normal. Sebagai akibatnya kebakaran alang-alang dengan suhu ±800ºK, CH 3 akan menerima energi yang lebih banyak dibandingkan CH 4. Suatu pixel yang mempunyai permukaan suhu yang uniform 300ºK, rata-rata energi pada CH 3 dan 4 adalah 0,442 x 9,68 W m² µ m¹ sr¹ dengan asumsi emisifitas 1. Untuk pixel yang mempunyai suhu berbeda, misal 800ºK dan 300ºK, energi pada CH 3 dan 4 adalah 670,0 dan 49,92 W m² µ m¹ sr¹ (Purbowaseso 2004).

Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh NASA (National Aeronautics And Space Administration – USA) yang bertujuan untuk pemantauan iklim dan cuaca serta untuk pendeteksian kebakaran yang terjadi. Satelit yang beroperasi (NOAA 12, 16, dan 17) mengunjungi tempat yang sama sebanyak dua kali dalam sehari yaitu siang dan malam. Dengan demikian data yang dihasilkan cukup aktual (near real time) dan sangat bermanfaat bagi tim pemadam kebakaran untuk mengetahui informasi lokasi kebakaran sehingga tindakan pemadaman dapat dilakukan dengan tepat dan segera (Solichin 2004).

2.2.2 MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan sensor yang dibuat untuk menyediakan data darat, laut, dan atmosfer secara berkesinambungan. Satelit Terra diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan satelit Aqua diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit ini merupakan satelit dengan orbit selaras dengan matahari, dengan tinggi orbit 705 km, lebar sapuan 2330 km. Lintasan orbit Satelit Terra adalah dari utara ke selatan memotong garis khatulistiwa pada jam 10.30 dan 22.30 setiap hari. Satelit Aqua melintas dari selatan ke utara melewati garis khatulistiwa pada jam 13.30 dan 01.30, sehingga dapat menghasilkan data tampilan secara global setiap 1 sampai 2 hari. Sensor MODIS memiliki 36 band (36 panjang gelombang). Satelit ini memiliki resolusi radiometrik 12 bit coding dan memiliki resolusi spasial 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), dan 1000 m (band 8-36).

Sama halnya dengan NOAA-AVHRR, MODIS juga dapat mendeteksi suatu objek di permukaan bumi yang memilki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Nilai ambang batas untuk menentukan sebuah hotspot

(21)

2.3 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan merupakan aktivitas manusia pada dan dalam kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dalam citra. Penggunaan lahan telah dikaji dari beberapa sudut pandang yang berlainan, sehingga tidak ada satu definisi yang benar-benar tepat di dalam keseluruhan konteks yang berbeda (Campbell 1983). Sedangkan Penutupan lahan merupakan gambaran konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley 1961). Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra pengideraan jauh. Tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu : (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang (3) tipe pembangunan.

Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai peralihan fungsi lahan yang semula untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Perubahan penggunaan lahan juga dapat diartikan sebagai bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin 1993 dalam Wahyunto et al. 2001). Perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat irreversible (tidak dapat balik), karena untuk mengembalikannya dibutuhkan modal yang sangat besar.

Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, yang pada akhirnya dapat berdampak positif maupun negatif. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya air serta terjadinya erosi tanah (Basyar 2009). Pada umumnya perubahan-perubahan tersebut dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penutupan/penggunaan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat membantu dalam pengamatan perubahan penutupan/penggunaan lahan.

(22)

8

2.4 Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Satelit Landsat 7 sensor Enhanced Thematic MapperPlus (ETM+) merupakan satelit observasi permukaan bumi yang masih digunakan hingga sekarang. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, dengan orbit pada ketinggian 705 ± 5 km, dengan siklus 16 hari. Sensor ETM memiliki pengamatan spektral menggunakan 7 band dengan penambahan pankromatik band-8, dan resolusi radiometrik 8 bit. Dalam beberapa hal, Landsat-7 ETM memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan citra NOAA AVHRR. Selain memiliki resolusi spasial yang bagus (30 m x 30 m), juga memiliki resolusi spektral yang mencakup semua gelombang pendek (visible light) dan infra merah (NIR, MIR, dan TIR), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik band Landsat7 ETM+ Band Panjang Gelombang

(µm) Karakteristik

1 0.45 ~ 0.52 Penetrasi tubuh air, pemetaan pantai, pembeda

vegetasi, tanah, dan analisis penggunaan lahan

2 0.52 ~ 0.60 Mengukur puncak pantulan hijau vegetasi untuk

membedakan vegetasi dan penilaian kesuburan

3 0.63 ~ 0.69 Untuk penyerapan klorofil, memperkuat kontras antara

kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, serta membantu dalam penentuan spesiea tumbuhan

4 0.76 ~ 0.90 Untuk menentukan tipe vegetasi dan biomassa

vegetasi, serta memperkuat kontras antara tanaman tanah dan tubuh air

5 1,04 ~ 1.25 Untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air

vegetasi, dan kondisi kelembaban tanah

6 1,55 ~ 1.75 Sensitif terhadap gangguan vegetasi, pemisahan

kelembaban tanah dan untuk klasifikasi vegetasi serta untuk gejala lain yang berhubungan dengan panas

7 2.08 ~ 2.35 Sangat berguna sebagai pembeda tipe mineral dan

batuan Sumber : Lillesand-Kiefer, 1990

2.5 Pemodelan dan Pemetaan Kerentanan Kebakaran

Penerapan SIG dalam pemodelan kerentanan kebakaran hutan telah mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab kebakaran, tergantung pada karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat yang berbeda. Menurut Chuvieco dan Salas (1996), variabel spasial yang digunakan untuk membangun model kerentanan kebakaran hutan yaitu topografi (elevasi, slope, aspek, dan iluminasi), vegetasi (tipe bahan bakar dan kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari kota/desa, jenis tanah, sejarah kebakaran, dan ketersediaan air.

(23)

memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin et al. 2007).

Model peta rawan kebakaran tidak secara khusus memperhatikan potensi penyulutan, melainkan lebih secara luas memprediksi kemungkinan kebakaran akan terjadi serta kemungkinan intensitas serta dampak yang ditimbulkan. Potensi penyulutan juga dikembangkan sebagai salah satu komponen di dalam Sistem Analisa Ancaman Kebakaran (Kolden 2007) yang dikembangkan oleh SSFFMP.

Menurut Arianti (2006) pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode ranking dan analisis pemetaan komposit (CMA) berdasarkan hasil harkat dan bobot. Model dengan metode ranking dilakukan berdasarkan analisis pengharkatan (scoring) menggunakan formulasi logis dari urutan tingkat pengaruh penyebab kebakaran hutan dan lahan, sedangkan model dengan metode CMA dilakukan berdasarkan analisis pengharkatan (scoring) menggunakan rasio jumlah titik panas yang terdapat di lapangan (aktual) dan titik panas yang diharapkan (dugaan) pada wilayah penelitian pada setiap peubah.

Metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA) merupakan salah satu cara penentuan bobot dan skor suatu peubah spasial yang dilakukan secara empiris. Hubungan antara jumlah titik panas per km² dengan faktor-faktor penyusun kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing-masing faktor. Faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor yang lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing-masing peubah adalah proporsi setiap koefesien korelasi dari regresi linear terhadap seluruh koefesien regresinya (Samsuri 2008).

III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Desember 2013 dengan memilih Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokasi studi. Persiapan, pengolahan dan analisis data secara digital dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.2 Data dan Alat

(24)

10

Tabel 2 Bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Data Sumber data

1. Citra Landsat 7 ETM part/row :

118/60, 118/61, 118/62 yang diakuisisi tahun 2005-2012

Usgs.glovis.com

2. Peta administrasi Kabupaten

Kapuas

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

3. Peta penutupan/penggunaan

lahan Kabupaten Kapuas tahun 2005-2012

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer dengan perangkat lunak berupa ArcView 3.3, ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 9.2, dan

MINITAB versi 14.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengolahan data, dan citra, pemodelan kerentanan kebakaran hutan dan lahan dan analisis dinamika tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Secara ringkas tahap penelitian disajikan pada Gambar 1.

3.3.1 Tahap Persiapan

Tahapan ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data spasial yang meliputi data titik panas, citra Landsat, peta administrasi, peta sungai, peta jalan, peta desa/kampung, dan peta kedalaman gambut.

3.3.2 Tahap Pengolahan Data dan Citra

a. Pengolahan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Pengolahan citra satelit Landsat dilakukan supaya data citra dapat dikonversi menjadi data vektor, kemudian di tumpangsusunkan (overlay) dengan data vektor lainnya. Berdasarkan hasil pengolahan citra maka akan didapatkan peta tutupan/penggunaan lahan sebagai salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Kegiatan dalam pengolahan Landsat 7 ETM+ yaitu meliputi pengunduhan citra untuk wilayah penelitian, penggabungan band (layer stacking),

(25)

Gambar 1 Diagram tahap penelitian Pemodelan Tahun 2009

Faktor Yang Berpengaruh

Analisis Hubungan antara Kerapatan Titik Panas dengan Faktor yang Berpengaruh Distribusi Spasial

Analisis Hubungan antara Kerapatan Titik Panas dengan Faktor yang Berpengaruh

(26)

12

Interpretasi citra bertujuan untuk menghasilkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2012 menggunakan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2012. Kemudian dilakukan pemutakhiran peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2005-2012 melalui reinterpretasi citra Landsat 7 ETM+ tahun 2005-2012 dengan menggunakan batas administrasi yang baru. Interpretasi citra dilakukan secara visual dengan kombinasi band yang digunakan adalah 5-4-3 (RGB), dengan menggunakan pendekatan unsur interpretasi: rona (berkaitan dengan derajat keabuan suatu obyek), warna, tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek yang lain). Selanjutnya dilakukan identifikasi, sebagai upaya mencirikan objek yang kemudian dikumpulkan keterangannya lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur interpretasi. Tahap selanjutnya yaitu klasifikasi melalui proses deleniasi untuk membatasi dan membagi kelas penutupan/penggunaan lahan. Tahapan ini dilakukan dengan mengacu pada Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang untuk Menghasilkan Data Penutupan Lahan Tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Kehutanan sesuai pada Lampiran 1.

b. Pengolahan Data Titik Panas MODIS

Data titik panas berupa data tabular hasil pantauan satelit MODIS dikonversi ke dalam bentuk vektor sehingga dapat ditampilkan dan dianalisis secara spasial. Selanjutnya dilakukan transformasi koordinat dari geografis menjadi koordinat UTM zone 49S dengan referensi ellipsoid WGS 84.

Peta sebaran titik panas pada tiap komponen fisik wilayah penelitian tersebut kemudian diolah menjadi peta kerapatan titik panas, yang digunakan sebagai parameter pada pendekatan metode CMA untuk membangun model spasial tingkat kerentanan. Model tersebut dibangun berdasarkan hubungan antara kerapatan titik panas dan masing-masing peubahnya diantaranya, kedalaman gambut, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, dan penutupan/penggunaan lahan.

3.3.3 Pemodelan Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

Pemodelan kerentanan kebakaran dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif CMA melalui beberapa tahap. Tahap awal dimulai dengan menentukan peubah yang berpengaruh (kedalaman gambut, penutupan/penggunaan lahan, jarak dari jalan, jarak dari sungai dan jarak dari desa/kampung) dan tahap selanjutnya menganalisis hubungan antara peubah yang berpengaruh dengan kerapatan titik panas.

a. Persiapan/Pengolahan Data Peubah Model Kerentanan

Faktor/peubah yang digunakan dalam penyusunan model, dibagi ke dalam beberapa kelas sebagai berikut ;

 Kedalaman gambut (X1) dibedakan kedalam kelas non gambut (tanah mineral), sangat dangkal (<50 cm), dangkal/tipis (50-100 cm), sedang (100-200 cm), dalam/tebal (200-400 cm), sangat dalam/sangat tebal (400-800 cm) dan sangat dalam sekali/sangat tebal sekali (>(400-800 cm).

(27)

air, belukar, belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, perkebunan, pertambangan, permukiman, rawa, sawah, tambak dan transmigrasi

 Jarak terhadap pusat desa/kampung (X3) dilakukan buffer dengan interval 1000m (1km)

 Jarak terhadap jaringan jalan (X4) dilakukan buffer dengan interval 1000m (1km)

 Jarak terhadap jaringan sungai (X5) dan juga dilakukan buffer dengan interval 1000m (1km).

b. Penentuan Skor Aktual (actual score)

Penentuan nilai didasarkan pada luasan setiap sub faktor, jumlah hotspot

yang ada (observed) pada setiap sub faktor dan jumlah hotspot yang diharapkan atau yang seharusnya ada (expected). Nilai masing-masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1) dan (2)

�� = ���� 100

(���) ...(1)

�= �

100 ...(2)

Dimana :

Xi adalah skor kelas (sub faktor) pada setiap sub faktor

Oi adalah jumlah hotspot yang ada pada setiap sub faktor (obseved hotspot)

Ei adalah jumlah hotspot yang diharapkan pada setiap sub faktor T adalah jumlah total hotspot

F adalah persentase luas dalam setiap sub faktor c. Penentuan Skor Dugaan (estimated score)

Skor dugaan digunakan untuk merapikan pola nilai skor aktual yang tidak teratur. Skor dugaan didapatkan dengan meregresikan antara masing-masing sub faktor dengan skor aktual dengan pola regresi.

d. Perhitungan Nilai Skor Skala (rescalling score)

Standarisasi skor antara semua variabel yang digunakan dalam penyusunan model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan menghitung kembali skor sehingga didapatkan skor skala dengan nilai antara 10 sampai 100 dengan menggunakan persamaan 2 (Jaya et al. 2007).

� �� = � �� .� − � �� . �

� �� . �� − � �� . � ∗ � �� . max− � �� . � + � �� . � …(2) Dimana :

Score R.out adalah nilai skor hasil rescalling

Score E.input adalah nilai skor dugaan (estimated score) input

Score E.min adalah nilai minimal skor dugaan

Score E.maxadalah nilai maksimal skor dugaan

Score R.maxadalah nilai skor tertinggi hasil rescalling

(28)

14

e. Penentuan Bobot

Hubungan antara jumlah titik panas/km² dengan faktor-faktor penyusun model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk mendapatkan nilai skor komposit masing-masing faktor. Kemudian faktor-faktor yang memiliki korelasi relatif lebih tinggi daripada faktor yang lain dipilih dan diigunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Bobot masing-masing peubah adalah proporsi masing-masing koefesien korelasi dari regresi linear terhadap total seluruh koefesien regresinya.

f. Pembuatan Persamaan Matematik

Pembangunan model tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (empiris) dengan metode analisis pemetaan komposit (Composite Mapping Analysis/CMA). Model dibangun berdasarkan nilai skor komposit, disusun dengan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara jumlah hotspot per km² dengan skor komposit faktor-faktor penyusun.

g. Uji signifikansi

Pengujian ini dimaksudkan untuk memilih model terbaik dari beberapa model yang memiliki nilai akurasi tinggi, yang dikelompokkan ke dalam 3 dan 5 kelas kerentanan. Uji z ini dapat memperjelas apakah suatu model berbeda nyata terhadap model lainnya. Statistik uji yang digunakan adalah uji z-test two sample for mean dengan persamaan 3.

Z = �1−�2−∆

Akurasi model dihitung berdasarkan koinsidensi antara model dan referensi dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Matrix ini untuk menilai akurasi peta yang dihasilkan. Matrik ini digunakan untuk menghitung akurasi umum dengan persamaan sebagai berikut :

OA = ��=1���

� x 100%...(4)

Dimana:

OA = nilai validasi keseluruhan

Xii = Coincided value atau luasan kelas kerentanan yang sama antara model dan kerapatan titik panas

(29)

3.3.4. Analisis Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan

Pada tahapan ini dilakukan pemetaan zona kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005 sampai 2012 menggunakan persamaan regresi terbaik berdasarkan tahun dengan jumlah titik panas terbanyak (tahun 2009). Kemudian menganalisis tingkat kerentanan mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi pada masing-masing tahun (2005-2012). Dalam penelitian ini, pembagian kelas kerentanan dilakukan berdasarkan pada skor kerawanan yang diturunkan dari persamaan model matematik terbaik tahun 2009 seperti berikut

y = 0,016e0,042x....(5) Dimana :

Y = skor kerentanan

e = eksponensial

x = skor komposit (jumlah perkalian antara skor aktual dengan bobot masing-masing peubah yang membangun model)

IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Lokasi

Kabupaten Kapuas merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukota kabupaten yang terletak di Kuala Kapuas. Secara geografis Kabupaten Kapuas terletak di antara 0o8'48" sampai dengan 3o27'00" Lintang Selatan dan 113o2'36" sampai 114o44'00" Bujur Timur. Batas administrasi wilayah Kabupaten Kapuas berbatasan dengan kebupaten-kabupaten: sebelah utara dengan Kabupaten Barito Utara dan Murung Raya, sebelah selatan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan, sebelah barat dengan Kabupaten Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, dan Gunung Mas, dan sebelah timur dengan Kabupaten Barito Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(30)

16

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

4.2 Topografi

Topografi daerah secara umum terbagi menjadi dua bagian kawasan besar, yaitu kawasan pasang surut (sebelah selatan yang berpotensi untuk pertanian tanaman pangan) dan kawasan non pasang surut (bagian utara yang berpotensi untuk perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar swasta). Bagian selatan merupakan daerah pesisir, dataran rendah, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut dan kemiringan lereng 0-8%. Sementara bagian utara merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dengan ketinggian antara 50-500 meter dari permukaan air laut dan memiliki kemiringan lereng 8 - 15%.

(31)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Dinamika Sebaran Titik Panas MODIS di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012

Titik panas adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi lain yang tertangkap oleh sensor, sehingga titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mendeteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di suatu wilayah. Berdasarkan data titik panas dari citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) dapat diketahui sebaran titik panas di wilayah Kabupaten Kapuas seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2012

Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa jumlah titik panas dari tahun 2005 hingga tahun 2012 selalu mengalami perubahan. Jumlah titik panas terbanyak terjadi pada tahun 2009 (2.561 titik), sedangkan jumlah terendah terjadi pada tahun 2010 sebanyak 39 titik. Hal ini terjadi karena adanya anomali iklim pada

tahun tersebut, dimana pada tahun 2009 terjadi “El-Nino” dan pada tahun 2010 terjadi “La-Nina” (Elida 2013). Berdasarkan informasi ini model spasial tingkat kerentanan kebakaran hutan dan lahan dapat dibangun dengan menggunakan data titik panas dari citra MODIS tahun 2009.

Jumlah titik panas bulanan selama kurun waktu 8 tahun (2005-2012) pada Gambar 4 menunjukkan bahwa jumlah titik panas yang teridentifikasi setiap awal tahun dari bulan Januari sampai Maret (2005-2012) masih rendah. Jumlah titik panas mulai meningkat pada bulan Mei dan mencapai puncaknya pada bulan September, kemudian menurun pada Oktober. Hal ini berhubungan dengan puncak musim kemarau, pada bulan Agustus, September dan Oktober dimana curah hujan pada bulan-bulan tersebut lebih rendah daripada bulan lainnya.

628

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(32)

18

Gambar 4 Jumlah titik panas bulanan pada tahun 2005-2012

Menurut Wetland International (2006), kejadian kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi pada saat curah hujan terendah karena pada saat itu kelembaban udara juga rendah yang menyebabkan bahan bakar potensial seperti daun dan ranting kayu yang sudah kering akan lebih mudah terbakar. Selain itu, sebagian besar kegiatan pembakaran di Kalimantan Tengah dilakukan selama musim ini. Petani dan pemilik lahan melakukan pembersihan lahan untuk pembukaan lahan baru maupun penyiapan lahan untuk pertanian dan perkebunan.

Secara umum titik panas di Kabupaten Kapuas banyak ditemukan di bagian selatan, dimana daerah tersebut merupakan dataran rendah, daerah pesisir, dan rawa-rawa dengan ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan air laut. Berdasarkan kemiringan lereng bagian selatan memiliki lereng 0-8%. Wilayah ini merupakan kawasan budidaya dengan penggunaan lahan utama perkebunan dan pertanian termasuk Eks Proyek Lahan Gambut 1 juta Ha pada waktu dulu, namun sekarang sudah mulai dimanfaatkan kembali. Sebagian masyarakat Kapuas juga masih melakukan sistem pertanian lokal, dimana penyiapan lahan untuk pertanian atau perkebunan cenderung dilakukan dengan pembakaran lahan karena dianggap lebih mudah, murah, dan cepat, sehingga pada lokasi ini banyak teridentifikasi titik panas.

5.2 Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012

Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Kapuas memiliki 20 kelas penutupan/penggunaan lahan, yaitu air, belukar, belukar rawa, hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan tanaman, lahan terbuka, perkebunan, permukiman, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, rawa, sawah, tambak, dan transmigrasi.

Selama kurun waktu 8 tahun (2005-2012), penutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Kapuas didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa

0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

(33)

sekunder mengalami penurunan berturut-turut dari 37.73% (tahun 2005) menjadi 35% (tahun 2012) dan dari 23.84% (tahun 2005) menjadi 20.41% (tahun 2012). Sementara luas belukar rawa berubah secara fluktuatif dengan persentase luasan terendah pada tahun 2005 (11.74%) meningkat sampai tahun 2008 (12.81%), dan menurun hingga tahun 2012 (12.27%). Luas belukar juga mengalami perubahan secara fluktuatif dengan luasan tertinggi pada tahun 2011-2012 (11.06%) dan terendah pada tahun 2007 (10.26%), sedangkan untuk luas penutupan/penggunaan lahan lainnya memiliki luasan yang kurang dari 10% dari total luas Kabupaten Kapuas.

Perubahan penutupan/penggunaan lahan dalam rentang waktu 2005–2012 disajikan pada Gambar 5. Luas perkebunan mengalami peningkatan sebanyak 64 155 ha (48.9%), sedangkan hutan rawa sekunder dan hutan lahan kering sekunder menurun berturut-turut sebesar 56 614 ha (15.69%) dan 45 102 ha (7.53%). Peningkatan penggunaan lahan perkebunan dalam jumlah besar tersebut terjadi, karena perkebunan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan/penggunaan lahan lainnya. Sementara penurunan luas pada hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa sekunder yang besar disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi non-hutan (lahan pertanian dan perkebunan).

Keterangan kode penutupan/penggunaanlahan:

A : Air HRP : Hutan Rawa Primer PLK : Pertanian Lahan Kering B : Belukar HRS : Hutan Rawa Sekunder PLKC : Pertanian Lahan KeringCampur BR : Belukar Rawa HT : Hutan Tanaman Rw : Rawa

HLKP : Hutan Lahan Kering Primer LT : Lahan Terbuka Sw : Sawah HLKS : Hutan Lahan Kering Sekunder Pk : Perkebunan Tm : Tambak HMP : Hutan Mangrove Primer Pmk : Permukiman Tr : Transmigrasi HMS : Hutan Mangrove Sekunder Pt : Pertambangan

Gambar 5 Perubahan Penutupan/penggunaan lahan selama rentang waktu 8 tahun (2005-2012)

(34)

20

(Kalimantan Tengah Minning 2011). Badan air yang dimaksud pada penelitian ini meliputi tubuh sungai dan danau. Berdasarkan hasil interpretasi, penutupan/penggunaan lahan, badan air sedikit mengalami perubahan luas atau dapat dikatakan konstan.

5.3 Dinamika Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan pada periode Tahun 2005-2012

Berdasarkan hasil pemetaan zona kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kapuas tahun 2005-2012 (Gambar 6), kemudian dapat dianalisis perbedaan luas dari tingkat kerentanan pada masing-masing tahun dapat dihitung seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Pembagian kelas kerentanan dari sangat rendah sampai sangat tinggi dilakukan berdasarkan pada skor kerawanan yang diturunkan dari persamaan model matematik terbaik tahun 2009 yaitu; y = 0,016e0,042x

dengan (x) adalah nilai skor komposit yang diperoleh dari jumlah perkalian antara skor aktual dengan bobot masing-masing peubah.

Tabel 3 Luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005-2012

Tahun

Tingkat Kerentanan

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi - Sangat Tinggi

(35)

21 (a) (b) (c) (d)

(e) (f) (g) (h)

(36)

22

Kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 memiliki luas dengan tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi paling besar. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor, antara lain karena peristiwa penyimpangan iklim dan peubah yang mempengaruhinya. Pada tahun 2006 terjadi fenomena El-Nino, yang ditunjukkan dengan rendahnya curah hujan dan musim kemarau panjang yang diikuti oleh banyaknya jumlah titik panas. Selain itu peubah yang paling berpengaruh pada peta kerentanan tahun 2006 adalah penutupan/penggunaan lahan. Dimana penggunaan lahan (land use) merupakan bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2010). Adanya aktifitas manusia tersebut dapat mengakibatkan semakin rentannya lahan terhadap kebakaran. Luas penutupan/penggunaan lahan terbesar pada tahun 2006 didominasi oleh hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa, dan belukar. Untuk daerah penelitian ke-4 jenis penutupan lahan tersebut sangat berpeluang untuk dilakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Sedangkan untuk jenis penutupan/penggunaan lahan dengan jumlah titik panas terbesar adalah belukar rawa dan hutan rawa sekunder.

Berdasarkan luas dan persebaran tingkat kerentanan kebakaran pada kurun waktu tahun 2005 sampai 2012 (Tabel 4), terlihat bahwa kecamatan yang mempunyai kerentanan tinggi sampai sangat tinggi terluas adalah Kecamatan Mantangai. Hal ini dapat dimengerti karena Kecamatan Mantangai terletak di Kapuas bagian selatan dengan topografi datar dan didominasi oleh lahan gambut dengan penutupan/penggunaan lahan didominasi oleh hutan rawa sekunder dan belukar rawa. Dimana jenis penutupan lahan tersebut sangat rentan dilakukan pembakaran untuk pembukaan lahan pertanian/perkebunan oleh masyarakat.

Hasil analisis tingkat kerentanan selama kurun waktu 8 tahun juga menunjukkan bahwa jenis penutupan/penggunaan lahan yang selalu barada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi adalah belukar rawa, belukar, dan perkebunan (Gambar 7 dan Lampiran 2). Belukar dan belukar rawa merupakan lahan tak terawat yang hampir setiap tahun mengalami pembakaran secara terkontrol untuk penyiapan lahan pertanian, adapun kerentanan sangat tinggi pada perkebunan diduga karena adanya pancaran panas yang berasal dari pembakaran di sekitarnya, kemudian terekam oleh sensor MODIS seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Hasilnya pancaran tesebut menyebabkan besarnya jumlah titik panas yang teridentifikasi pada perkebunan. Selain itu perkebunan yang tergolong ke dalam tingkat kerentanan sangat tinggi dominan adalah perkebunan yang berada pada daerah gambut, dimana daerah gambut merupakan area yang mudah terbakar.

(37)

Tabel 4 Luas kerentanan sangat tinggi menurut kecamatan yang ada di Kabupaten Kapuas

(38)

25

Gambar 7 Hubungan penutupan/penggunaan lahan dengan luas kerentanan sangat tinggi di Kabupaten Kapuas Tahun 2005-2012

(39)

5.4 Hubungan Antara Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Sebaran Titik Panas

Kesesuaian sebaran tingkat kerentanan kebakaran dengan pola sebaran titik panas (kerapatan titik panas) perlu dilakukan identifikasi. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat kesamaan dan keakuratan model pemetaan zona kerentanan yang terbangun dengan pola sebaran titik panas di lapangan. Identifikasi kesesuaian tingkat kerentanan dengan pola sebaran titik panas bisa dilakukan berdasarkan dua aspek, yaitu dengan membandingkan luasan tingkat kerentanan terhadap jumlah titik panas pada masing-masing tahun, dan aspek kedua adalah dilihat dari nilai hasil uji akurasi model pada setiap tahunnya.

Berdasarkan data luas kerentanan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005-2012 pada Tabel 3, dapat diketahui adanya ketidaksesuaian luasan tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi pada tahun 2010. Luas tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi pada tahun 2010 lebih besar jika dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2012, padahal jika dilihat dari jumlah titik panasnya tahun 2010 memiliki jumlah titik panas (39 titik), sedangkan tahun 2005 jumlah titik panasnya (628 titik) dan tahun 2012 sejumlah (678 titik). Untuk sebaran titik panas dari kurun waktu 8 tahun juga bisa dilihat pada lampiran 3, dimana terjadi anomali paa tahun 2010. Di samping itu, hasil nilai uji akurasi model (Tabel 5) juga menunjukkan bahwa model tahun 2010 memiliki nilai akurasi yang paling kecil (37%) jika dibandingkan dengan model pada tahun lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa akurasi model kerentanan tahun 2010 relatif rendah dan ini terjadi karena pemodelan dilakukan dengan jumlah titik panas yang sangat sedikit. Dengan kata lain, pendekatan Composite Mapping Analysis (CMA) mungkin tidak bisa digunakan untuk memodelkan kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada kondisi jumlah titik panas yang sedikit.

Tabel 5 Hasil pemodelan tahun 2005-2012

(40)

26

5.5 Hubungan Antara Kerapatan Titik Panas dengan Kedalaman Gambut, Jarak dari Jalan, Jarak dari Pusat Desa, dan Jarak dari Sungai

Berdasarkan zona kerentanan pada Gambar 6, dapat dilakukan analisis hubungan kerapatan titik panas dengan masing-masing peubah yang berpengaruh. Hasil analisis disajikan pada Gambar 9-16. Gambar 9 menunjukkan bahwa umumnya titik panas jumlahnya lebih besar atau mempunyai kerapatan tinggi terjadi di daerah gambut dibandingkan di non gambut (mineral). Hal ini diduga karena pada lahan non-gambut sudah ada kepemilikannya baik digunakan sebagai lahan terbangun maupun pertanian. Kondisi ini mendorong masyarakat beralih ke lahan gambut untuk membuka lahan pertanian. Jika dilihat berdasarkan dinamika setiap tahunnya (Gambar 10) diketahui bahwa semakin dalam gambut kerapatan titik panas juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar air gambut bersifat irreversible srink (pengeringan tak balik) yang menyebabkan gambut sangat sulit menjerap air kembali, sehingga gambut lebih mudah terbakar (Samsuri 2008). Selain itu menurut Syaufina (2008) kebakaran lahan gambut termasuk jenis kebakaran bawah, (api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah), sehingga penjalaran api berlangsung secara perlahan, tidak dipengaruhi angin, dan tanpa nyala api. Oleh karena itu, tipe kebakaran ini termasuk sulit untuk dideteksi dan dikontrol.

Keterangan Kedalaman :

1 . Non gambut 5. Gambut Dalam (200-400 cm) 2 .Gambut Sangat Dangkal (< 50 cm) 6. Gambut Sangat Dalam (400-800 cm) 3 .Gambut Dangkal (50-100 cm) 7. Gambut Sangat Dalam Sekali (800-1200 cm) 4 . Gambut Sedang (100-200 cm)

Gambar 9 Hubungan kerapatan titik panas kedalaman gambut

(41)

Gambar 10 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika kedalaman gambut tiap tahun (2005-2012)

Berdasarkan hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan kedalaman gambut pada Gambar 11, dapat diketahui bahwa di tahun 2005, pembukaan lahan (lahan terbuka) masih dilakukan pada tanah mineral (bukan gambut) dan lahan gambut sangat dangkal. Pada tahun 2007 kemudian muncul perkebunan baru yang luasannya sudah menyebar sampai pada lahan gambut dalam, dan akhirnya tahun 2009-2011 perkebunan semakin meluas pada lahan gambut yang lebih dalam. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pada awalnya masyarakat atau pengusaha lebih memilih membuka lahan perkebunan pada tanah mineral (bukan gambut) daripada pada tanah gambut. Hal ini disebabkan karena proses pengolahan lahan mineral lebih mudah dan biaya yang murah, dibandingkan pembukaan lahan di lahan gambut. Akan tetapi, akibat dari banyaknya lahan mineral yang sudah dimanfaatkan pada tahun sebelumnya, sehigga mendorong orang untuk membuka lahan perkebunan pada lahan gambut yang lebih dalam.

(42)

28

Hubungan kerapatan titik panas terhadap jarak dari jaringan jalan menunjukkan pola yang jelas yaitu umumnya semakin dekat dengan jalan, maka kerapatannya semakin tinggi (Gambar 12). Dengan adanya akses jalan, akan mendorong seseorang untuk mengolah atau membuka lahan baru, karena mudahnya akses jalan menuju lokasi pertanian/perkebunan. Dalam hal ini pertimbangan ekonomis menjadi dasar pemikiran seseorang untuk menentukan lokasi pembukaan lahan pertanian/perkebunan yang dekat dengan jalan. Akan tetapi, jika dilihat dari dinamika kerapatan titik panas pada setiap tahunnya (Gambar 13) menunjukkan bahwa kerapatan atau jumlah titik panas pada jarak yang sama selalu mengalami penurunan. Dengan kata lain setiap pertambahan, tahun maka kecenderungan kerapatan titik panas akan lebih banyak pada lokasi yang lebih jauh dari jaringan jalan. Hal ini diduga karena lahan yang dekat dengan jalan sudah banyak dikelola, sehingga pada tahun berikutnya orang akan membuka lahan baru di lokasi yang jaraknya semakin jauh dari jalan.

Gambar 12 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan jalan

(43)

Gambar 14 menunjukkan hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan jalan. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa secara umum pembukaan lahan dari tahun ke tahun dilakukan pada area yang jaraknya tidak jauh dari jaringan jalan. Hal ini disebabkan, karena dengan semakin dekat terhadap akses jalan maka akan mempermudah aksesibilitas menuju lokasi lahan garapan, menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Pada gambar ini juga menunjukkan adanya perubahan penggunaan lahan dari tiap tahunnya, yang awalnya tahun 2005 masih berupa hutan lahan kering sekunder dan belukar. Pada tahun 2007 sudah terjadi perubahan penggunaan lahan berupa lahan terbuka, kemudian tahun 2009-2011 sudah berubah menjadi lahan perkebunan yang semakin meluas.

Gambar 14 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak terhadap jaringan jalan

(44)

30

Gambar 15 Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak terhadap jaringan sungai

Gambar 16 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap jaringan sungai tiap tahun (2005-2012)

(45)

Gambar 17 Hubungan perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak

terhadap jaringan sungai

Hubungan kerapatan titik panas dengan jarak dari pusat desa secara umum menunjukkan bahwa kerapatan titik panas cenderung lebih tinggi pada jarak sampai 10 km dari pusat desa dan berangsur menurun dengan bertambahnya jarak dari pusat desa (Gambar 18). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangkauan jarak sejauh 10 km dari pusat desa merupakan jarak ideal bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas pembakaran lahan. Sesuai dengan pernyataan PFFSEA (2003) dalam Samsuri (2008), bahwa masyarakat di pusat desa atau pemukiman yang ada di Kabupaten Kapuas umumnya merupakan petani atau berkebun yang mempunyai kebiasaan melakukan perluasan pembukaan lahan baru dan membersihkan lahannya dengan menggunakan teknologi pembakaran. Akan tetapi jika dilihat dinamika kerapatan titik panas setiap tahunnya (Gambar 19) menunjukkan bahwa semakin bertambah tahun, kerapatan titik panas cenderung mengalami penurunan sampai jarak 20 km dari pusat desa dan berangsur naik mulai jarak 25 km. Kondisi ini wajar karena pada dasarnya lahan yang dekat dengan pusat desa sudah dikelola untuk berbagai macam penggunaan lahan, sehingga pada tahun berikutnya akan mendorong masyarakat untuk membuka lahan baru yang jaraknya lebih jauh dari pusat desa.

(46)

32

Gambar 19 Hubungan kerapatan titik panas dengan dinamika jarak terhadap pusat desa tiap tahun (2005-2012)

Gambar 20 berikut memperlihatkan hubungan antara perubahan penutupan/penggunaan lahan dengan jarak dari pusat desa. Pembukaan lahan untuk perkebunan yang awal mulanya (tahun 2007) masih dilakukan pada lahan yang tidak jauh dari pusat desa, kemudian pada tahun-tahun berikutnya (2009-2011) perluasan perkebunan berpindah pada lahan yang jaraknya lebih jauh dari desa. Kondisi ini wajar terjadi karena lahan yang lebih dekat dengan pusat desa sudah dimanfaatkan lebih dulu, sehingga sekarang dan tahun-tahun berikutnya masyarakat akan mencari lahan baru yang belum dimanfaatkan untuk pembukaan lahan perkebunan.

(47)

VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan peta kerentanan kebakaran hutan dan lahan yang terbangun selama kurun waktu 8 tahun (2005-2012) teridentifikasi tingkat kerentanan sangat tinggi dengan luasan paling luas terjadi pada tahun 2006 (tahun El-Nino). Kecamatan Mantangai adalah kecamatan dengan tingkat kerentanan sangat tinggi paling luas dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Kapuas. Sementara, jenis penutupan/penggunaan lahan yang selalu berada pada tingkat kerentanan tinggi sampai sangat tinggi adalah belukar rawa, belukar, dan perkebunan, sedangkan faktor yang paling berpengaruh dalam pembangunan model kerentanan kebakaran hutan dan lahan pada setiap tahunnya adalah penutupan/penggunaan lahan dan kedalaman gambut.

6.2 Saran

Hasil pemetaan ini belum menganalisis mengenai penilaian risiko kebakaran hutan dan lahan, sehingga perlu dilakukannya agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas, seperti pengambilan kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

VII DAFTAR PUSTAKA

Ali SA, Tesgaya D. 2010. Landuse and landcover change detection between 1985-2005 in parts of highland of eastern ethiopia using remote sensing and gis

techniques. International Journal of Geoformatics. 6: 2-35

Arianti I. 2006. Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunaakn System Informasi Geografis di Sub Das Kapuas Tengah Propinsi Kalimantan Barat. [MS-Thesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Arifin Z. 2010. Pola Spasial Kerentanan Bencana Alam, Studi Kasus Kabupaten Cianjur [Tesis]. Depok: Program Magister Ilmu Geografi, Universitas Indonesia.

Arsyad S.2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas. 2011. Kapuas dalam Angka 2011. [20 November 2013].

Basyar AH. 2009. Evaluasi Penerapan Kebijakan Konversi Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit. http://www.bappenas.go.id. [20 November 2013].

Burley TM. 1961. Land use or land utilization. Professional Geographer. 13:

18-20

Campbell JB. 1983. Mapping The Land : Aerial Imagery for Land Use

Information. Washington DC: Resource Publication in Geography,

Association of American Geographers.

Gambar

Gambar 1 Diagram tahap penelitian
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Gambar 3 Jumlah titik panas tahun 2005-2012
Gambar 4 Jumlah titik panas bulanan pada tahun 2005-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk (1996) telah mengevaluasi penggunaan F W I dari data harian untuk memprediksi cuaca kebakaran hutan dan lahan. Koreiasi kuat

Kategori kelas tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi badan air, hutan lahan kering primer dan sekunder, hutan rawa primer dan sekunder,

Penggunaan/ penutupan lahan hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, dan hutan rawa sekunder di Kabupaten Kubu Raya secara konsisten menurun, sedangkan

Menurut hasil wawancara dengan Bapak Tengku Ali Syahbana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan,

Berbagai upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Katingan yaitu salah satunya mengefektifkan perangkat hukum

Selain hutan produksi, masing-masing jenis tutupan lahan juga masuk dalam kelas kerentanan sedang diantaranya hutan mangrove sekunder, hutan lahan kering sekunder dan

PALSAR resolusi 50 meter secara visual dan digital terdiri atas 17 tutupan lahan, yaitu badan air, bandara, belukar rawa, hutan lahan kering, hutan

Penggunaan/ penutupan lahan hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer, dan hutan rawa sekunder di Kabupaten Kubu Raya secara konsisten menurun, sedangkan