• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Dan Kelimpahan Collembola Tanah Pada Lahan Kapur Pt Semen Indonesia Tbk. Di Tuban, Jawa Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Dan Kelimpahan Collembola Tanah Pada Lahan Kapur Pt Semen Indonesia Tbk. Di Tuban, Jawa Timur."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN COLLEMBOLA TANAH

PADA LAHAN KAPUR PT SEMEN INDONESIA TBK.

DI TUBAN, JAWA TIMUR

SAUDI FITRI SUSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman dan Kelimpahan Collembola Tanah pada Lahan Kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SAUDI FITRI SUSANTI. Keanekaragaman dan Kelimpahan Collembola Tanah pada Lahan Kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan YAYUK RAHAYUNINGSIH SUHARDJONO.

Konversi lahan menjadi lokasi pertambangan dapat menyebabkan degradasi lahan yang berdampak pada perubahan iklim mikro meskipun telah dilakukan penanganan pasca penambangan. Collembola merupakan mesofauna tanah yang sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan untuk memantau keadaan suatu lingkungan. Penelitian mengenai keanekaragaman Collembola pada lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur belum pernah dilaporkan. Tidak adanya informasi tersebut merupakan alasan penting untuk melakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mempelajari keanekaragaman dan kelimpahan Collembola pada tiga lokasi di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. untuk dijadikan dasar analisis penanganan pasca penambangan; (2) mempelajari potensi Collembola sebagai bioindikator keadaan tanah.

Pengambilan sampel Collembola dilakukan satu kali pada musim kemarau bulan Agustus sampai September 2013 di tiga lokasi lahan kapur milik PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur. Tiga lokasi yang dipilih untuk koleksi sampel adalah lahan kapur bekas tambang, lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, dan greenbelt. Sampel Collembola dikoleksi dengan dua metode yaitu perangkap sumuran/PSM (pitfall trap) dan pencuplikan contoh tanah/PCT (soil sampling). Sepuluh perangkap sumuran dipasang pada garis transek sepanjang 100 m dengan jarak 10 m antar PSM dan PCT diletakkan di antara PSM. Perangkap sumuran dipasang selama tiga hari dan tanah yang didapat dari PCT diletakkan pada corong Berlese selama 14 hari. Collembola diidentifikasi berdasarkan morfospesies hingga genus. Genus dianggap spesies karena pada setiap genus hanya ditemukan satu spesies.Vegetasi dan faktor lingkungan di tiga lokasi dicatat, diantaranya kelembaban tanah, pH tanah, dan ketebalan serasah. Unsur hara tanah dianalisis, meliputi nitrogen, fosfat, dan kalium. Indeks keanekaragaman Collembola dianalisis dan dikorelasikan dengan lokasi dan faktor lingkungan.

Collembola yang ditemukan pada penelitian ini berjumlah 680 individu yang terdiri dari 2 ordo, 4 famili, 11 genus dan 11 spesies yaitu Proisotoma sp., Acrocyrtus sp., Ascocyrtus sp., Rambutsinella sp., Entomobrya sp., Willowsia sp., Seira sp., Bromacanthus sp., Callyntrura sp., Salina sp., dan Sphyrotheca sp. Lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati merupakan lokasi yang paling tinggi indeks keanekaragaman Collembola (H’= 2.248) dan kemerataan (E= 0.7), sedangkan greenbelt merupakan lokasi yang paling rendah indeks keanekaragaman Collembola (H’= 1.009) dan kemerataan (E= 0.4).

(5)

Karakter utama Proisotoma sp. adalah panjang tiap ruas abdomen hampir sama. Acrocyrtus sp. berwarna putih dengan mesotoraks yang agak menonjol ke arah anterior. Ascocyrtus sp. berwarna putih dengan garis hitam pada bagian dorsal ruas abdomen III dan titik hitam pada posterior dorsal ruas abdomen IV. Rambutsinella sp. memiliki warna biru tua dan ruas antena IV yang membesar. Tubuh Entomobrya sp. berwarna dasar putih dengan corak kehitaman dan berseta panjang. Willowsia sp. berwarna dasar putih dengan warna hitam pada dorsal mesotoraks dan dorsal ruas abdomen II-III serta posterior ruas abdomen IV. Seira sp. memiliki seta panjang terutama pada bagian toraks. Bromacanthus sp. merupakan Colembola yang bertubuh besar dengan warna dasar coklat dan corak hitam serta ruas antena IV yang anulat, sedangkan Callyntrura sp. berwarna putih dengan corak hitam dengan antena yang tidak anulat. Salina sp. berwarna putih memiliki titik hitam pada ujung ruas antena I-III serta garis hitam pada lateral toraks dan abdomen. Sphyrotheca sp. bertubuh bulat dengan ruas antena IV yang anulat.

Berdasarkan hasil analisis korelasi, ditemukan beberapa spesies Collembola yang dimungkinkan berpotensi sebagai bioindikator keadaan tanah. Ascocyrtus sp. menunjukkan korelasi positif dengan N total dan Seira sp. berkorelasi positif dengan P total. Korelasi tersebut diduga karena kedua spesies tersebut menggunakan jamur yang berperan dalam proses perombakan bahan organik lebih lanjut sebagai sumber makanannya. Proisotoma sp. juga dimungkinkan memiliki potensi untuk menjadi bioindikator yang hanya ditemukan di lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati selama 3 tahun, sehingga Proisotoma sp. dalam penelitian ini diduga dapat menjadi spesies yang mengindikasikan awal pulihnya ekosistem bekas tambang.

(6)

SUMMARY

SAUDI FITRI SUSANTI. Diversity and Abundance of Soil Collembola at Limestone of PT Semen Indonesia Tbk. in Tuban, East Java. Supervised by RIKA RAFFIUDIN and YAYUK RAHAYUNINGSIH SUHARDJONO.

Landscape conversion into mining area causes landscape degradation which impact to microclimate change even after post-mining handling. Collembola, one of the soil mesofauna, is sensitive to environmental changes, therefore, it is possible to be used for monitoring the environment. The research about the diversity of Collembola at the limestone quarry of PT Semen Indonesia Tbk. in Tuban district, East Java has not been reported as yet. No information of this research is an important reason for conducting this study. The aims of this research were to: (1) study the diversity and abundance of Collembola in the three sites of limestone at PT Semen Indonesia Tbk. in Tuban, East Java to be used as the basis of post-mining handling analysis; (2) study the potential of Collembola as bioindicator of soil condition.

Collembola was sampled once in dry season from August until September 2013 at three sites of limestone of PT Semen Indonesia Tbk. in Tuban district, East Java. Three sites were selected as study sites, i.e. unrestored limestone quarry, limestone quarry restored by teak, and greenbelt. Collembola was collected by using two methods, i.e. pitfall trap and soil sampling method. Ten pitfall traps were set in line transect along 100 m with space of 10 m between each sampling point and soils sampling method were placed in the centre between pitfall traps. Pitfall traps were set for three days and the soil which obtained from the soil sampling were placed in Berlese funnel for 14 days. Collembola was identified based on morphospecies up to genus level. Genus is considered as species because only one species was found in each genus. Vegetation and environmental factors in the three sites were recorded, i.e. soil moisture, soil pH, and litter depth. Soil nutrients was analysed for nitrogen, phosphate, and potassium. Diversity index of Collembola was analysed and those were correlated with the sites and environmental factors.

Collembola found at the three study sites was in a total of 680 individuals representing two ordo, four families, 11 genus, and 11 species, i.e. Proisotoma sp., Acrocyrtus sp., Ascocyrtus sp., Rambutsinella sp., Entomobrya sp., Willowsia sp., Seira sp., Bromacanthus sp., Callyntrura sp., Salina sp., and Sphyrotheca sp. Limestone quarry restored by teak was the highest for diversity index of Collembola (H'= 2,248) and evenness (E= 0.7), while greenbelt was the lowest for diversity index (H'= 1,009) and evenness (E= 0.4).

Limestone quarry restored by teak had the highest diversity index and was dominated by Salina sp., while Ascocyrtus sp. and Rambutsinella sp. was dominated in greenbelt and unrestored limestone quarry, respectively. Entomobrya sp. and Salina sp. were two of eight species that only found in pitfall trap method, while Willowsia sp. was the only species found in soil sampling method.

(7)

abdominal segment III and black spot on the posterior of dorsal abdominal segment IV. Rambutsinella sp. has dark blue colour and swollen at antennal segment IV. Body of Entomobrya sp. has white basis colour with shades of black with long setae. Willowsia sp. has white basis colour with black colour on the dorsal mesothorax and dorsal abdominal segments II-III also posterior abdominal segment IV. Seira sp. has a long setae especially on thorax. Bromacanthus sp. is a big Collembola with brown basis colour and black shades also annulate at antennal segment IV while, Callyntrura sp. is white colour with black shades and antennal segment IV that is not annulate. Salina sp. is white colour and has a black spot on the tip of the antennal segments I-III also black lines on the lateral thorax and abdomen. Sphyrotheca sp. has round body with annulated antenna at segment IV.

Based on the results of correlation analysis, the study found several species of Collembola that possible as potential bioindicators of soil condition. Ascocyrtus sp. showed a positive correlation with total N and Seira sp. positively correlated with P total. This correlation is presumably due to those species of Colembola consume fungi which have role in further decomposition of organic matter. Proisotoma sp. also possible as potential bioindicator which was only found in limestone quarry restored by teak that has been restored in 3 years, thus Proisotoma sp. in this study was possible to be an early indicator of the recovery of quarry ecosystem.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biosains Hewan

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN COLLEMBOLA TANAH

PADA LAHAN KAPUR PT SEMEN INDONESIA TBK.

DI TUBAN, JAWA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2013 ini adalah keanekaragaman, dengan judul Keanekaragaman dan Kelimpahan Collembola Tanah pada Lahan Kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rika Raffiudin, MSi dan Ibu Prof Dr Yayuk Rahayuningsih Suhardjono selaku pembimbing, serta Ibu Dr Rahayu Widyastuti, MSc selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU), PT Semen Indonesia Tbk. yang telah memberikan ijin untuk pengambilan sampel, Kepala dan seluruh staff Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong yang telah memberikan fasilitas laboratorium dan bantuan yang diberikan.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah Abdul Muchid, ibu Anik Zulias Tutik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Untuk Choirul Anam, Agmal Qodri, Iftachul Farida, teman-teman BSH 2012, dan teman-teman kos, penulis ucapkan terima kasih atas motivasi dan semangat yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Metode Sampling 6

Pemilahan Collembola 8

Identifikasi Collembola 8

Faktor Lingkungan 8

Bahan dan Alat 9

Prosedur Analisis Data 9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Hasil 11

Pembahasan 21

4 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

(14)

DAFTAR TABEL

1 Koordinat dan ketinggian tiga lokasi di lahan kapur PT Semen

Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur 4

2 Jumlah ordo, famili, dan spesies Collembola pada tiga lokasi sampling di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur 11 3 Perbandingan jumlah ordo, famili, dan spesies Collembola antara

metode PSM dan PCT di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban,

Jawa Timur 12

4 Sifat fisik tanah pada tiga lokasi sampling di lahan kapur PT Semen

Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur 18

5 Unsur hara tanah pada tiga lokasi sampling di lahan kapur PT Semen

Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur 18

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa

Timur 3

2 Lokasi pengambilan sampel Collembola 5

3 Skema garis transek PSM dan PCT untuk koleksi Collembola 7

4 Desain perangkap Collembola 7

5 Pencuplikan contoh tanah untuk koleksi Collembola 7 6 Corong Berlese untuk memilah Collembola dari tanah 7 7 Morfologi Collembola dan bagian-bagian tubuhnya 8 8 Indeks keanekaragaman dan kemerataan Collembola pada tiga lokasi

sampling di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur 12 9 Spesies Collembola dari Famili Isotomidae dan Entomobryidae 13 10 Spesies Collembola dari Famili Paronellidae dan Sminthuridae 14 11 Biplot Principal Component Analysis antara Collembola dengan lokasi

sampling 19

12 Diagram ordinasi Correspondence Analysis antara Collembola dengan

sifat fisik tanah 20

13 Diagram ordinasi Correspondense Analysis antara Collembola dengan

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem kapur memiliki keunikan tersendiri karena pada umumnya tertutup lapisan tanah yang tipis, hampir tidak ada air permukaan, dan kandungan kapur yang tinggi (Samodra 2001). Hampir tidak ada air permukaan disebabkan karena banyaknya pori pada permukaan tanah (ponor) yang menghubungkan antara permukaan tanah dengan saluran air bawah tanah, sehingga air langsung menuju ke bawah (Dassargues 1998). Dengan demikian, ekosistem kapur berpotensi sebagai penyimpan air bawah tanah yang dapat disalurkan ke tempat lain dan sebagai daerah pertambangan. Akan tetapi, penambangan dapat menghilangkan keunikan ekosistem kapur (Samodra 2001) yang menyebabkan perubahan iklim mikro meskipun telah dilakukan penanganan pasca penambangan.

Beberapa organisme peka terhadap perubahan iklim mikro dan gangguan manusia yang terjadi disekitarnya, yang dapat digunakan untuk memantau lingkungan, misalnya Collembola (Fiera 2009). Collembola merupakan mesofauna tanah yang berperan sebagai perombak bahan organik yang terdapat pada tanah yaitu dengan mendegradasi sisa-sisa tumbuhan (Hopkin 1997). Selain bahan organik, fungi merupakan makanan Collembola (Meneses et al. 2004).

Collembola tidak termasuk dalam Kelas Insekta karena memiliki struktur khas yang membedakannya dari kelas lain dalam Filum Arthropoda yaitu tabung ventral, furkula, dan enam segmen abdomen (Suhardjono et al. 2012). Tabung ventral berfungsi sebagai alat perekat pada substrat dan furkula sebagai alat lenting untuk bergerak, misalnya pergerakan untuk meloloskan diri dari predator (Hopkin 1997). Beberapa karakter bagian tubuh Collembola yang menjadi ciri di tingkat famili adalah panjang segmen abdomen, permukaan dorsal dens, dan panjang mukro (Suhardjono et al. 2012).

Collembola memiliki keanekaragaman yang tinggi yaitu sekitar 7000 spesies di dunia (Deharveng 2004). Di Indonesia, tahun 2004 ditemukan 217 spesies Collembola (Suhardjono 2006) dan tahun 2012 bertambah hingga 250 spesies (Suhardjono et al. 2012).

(16)

2

Kelimpahan Collembola pada lahan bekas tambang pasir yang direboisasi dengan pohon poplar (Populus nigra) selama 5 tahun di Parma, Italia diperoleh 4069 individu/m2 (Menta et al. 2014). Pada lahan bekas tambang timah yang sudah 13 tahun direboisasi dengan pohon akasia di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, kelimpahan Collembola diperoleh 4816 individu/m2 (Nurtjahya et al.2007).

Lokasi yang digunakan sebagai tempat penelitian ini adalah lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. yang merupakan lahan pertambangan sejak tahun 1995. Secara garis besar, lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. dapat dibedakan tiga tipe lokasi yaitu lahan kapur bekas tambang, lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, dan greenbelt. Greenbelt adalah lahan yang dijaga untuk tidak ditambang oleh PT Semen Indonesia Tbk.

Perumusan Masalah

Belum ada laporan penelitian tentang keanekaragaman Collembola pada lahan kapur bekas tambang PT Semen Indonesia Tbk. Tidak adanya informasi tersebut menjadi alasan penting untuk melakukan penelitian tentang keanekaragaman dan kelimpahan Collembola tanah pada lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban. Keanekaragaman diteliti di tiga lokasi yaitu lahan kapur bekas tambang, lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, dan greenbelt.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mempelajari keanekaragaman dan kelimpahan Collembola pada tiga lokasi di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur untuk dijadikan dasar analisis penanganan pasca penambangan dan (2) mempelajari potensi Collembola sebagai bioindikator keadaan tanah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai keanekaragaman dan kelimpahan Collembola tanah pada lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan tanah yang dapat menjadi gambaran suatu ekosistem.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

3

2

METODE

Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel Collembola dilakukan satu kali pada bulan Agustus sampai September 2013 (musim kemarau) di lahan kapur milik PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur (Gambar 1). Tiga lokasi koleksi Collembola yaitu (I) lahan kapur bekas tambang, (II) lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, dan (III) greenbelt (Tabel 1, Gambar 2).

Pemilahan dan identifikasi sampel Collembola dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Bogor. Analisis data dilakukan di Program Studi Biosains Hewan, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis unsur hara tanah dilakukan di Laboratorium Analisa Tanah dan Tanaman, Divisi Pelayanan Laboratorium, Departemen Pengembangan dan Pelayanan Produk, South East Asian Ministers of Education Organization for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP).

(18)

4

Lokasi I: Lahan Kapur Bekas Tambang

Kegiatan penambangan sudah tidak dilakukan di lahan ini sejak tahun 2008 dan belum ada reboisasi. Vegetasi yang terdapat pada lokasi ini hanya rumput kering yang tersebar pada beberapa tempat secara tidak merata. Tidak adanya tutupan dari tajuk pohon membuat lokasi ini sangat panas (Tabel 1, Gambar 2c).

Lokasi II: Lahan Kapur Bekas Tambang yang Direboisasi Jati (Tectona

grandis)

Setelah penambangan selesai, lahan ini direboisasi dengan pohon jati pada tahun 2010. Pohon jati ditanam dengan jarak tiga meter antara satu dengan yang lainnya. Vegetasi selain pohon jati yang terdapat di sepanjang garis transek diantaranya pohon mahoni (Swietenia macrophylla), pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis), putri malu (Mimosa pudica), dan rumput-rumputan (Poaceae). Informasi mengenai vegetasi didapat dari pihak Corporate Social Responsibility (CSR) PT Semen Indonesia Tbk. Tutupan tajuk pada lahan ini kurang rapat. Lahan ini memiliki sedikit serasah (ketebalan ±1 cm) tapi tidak menutup seluruh lantai lahan. Daun jati dan daun mahoni merupakan serasah yang dominan di lahan tersebut (Tabel 1, Gambar 2b).

Lokasi III: Greenbelt

Greenbelt yang terdapat di sekeliling lahan pertambangan (lebar 50 m dari garis batas pertambangan) merupakan lahan yang dipertahankan untuk tidak ditambang. Akan tetapi, greenbelt merupakan daerah yang mendapatkan lapisan tanah paling atas dari lahan kapur yang ditambang untuk ditanami tanaman. Vegetasi di greenbelt diantaranya pohon nangka (Artocarpus heterophyllus), pohon mahoni (Swietenia macrophylla), waluh (Cucurbita sp.), cabai (Capsicum annuum), tembakau (Nicotiana tabacum), dan rumput-rumputan (Poaceae). Tutupan tajuk di greenbelt lebih rapat dibandingkan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi pohon jati. Serasah yang terdapat pada lahan ini cukup tebal (±3 cm) dan didominasi oleh daun nangka, mahoni dan waluh (Tabel 1, Gambar 2c).

Tabel 1 Koordinat dan ketinggian tiga lokasi di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. di Tuban, Jawa Timur

Kode Lokasi Koordinat Ketinggian

(m dpl) I Lahan kapur bekas tambang S 06° 53’ 05.0”

T 111°55’58.9”

79 II Lahan kapur bekas tambang yang

direboisasi jati

(19)

5

a

b

c

(20)

6

Metode Sampling

Pada setiap lokasi, sampel Collembola diambil dengan metode perangkap sumuran/PSM (pitfall trap) dan pencuplikan contoh tanah/PCT (soil sampling) (Querner dan Bruckner 2010). Pemilahan Collembola dari tanah dengan metode PCT dilakukan dengan menggunakan corong Berlese yang dimodifikasi (Suhardjono et al. 2012). Sampel serasah tidak diambil karena pada lokasi lahan kapur bekas tambang tidak terdapat serasah. Pengambilan sampel yang dilakukan pada setiap lokasi disamakan untuk mendapatkan hasil yang dapat dibandingkan antar lokasi.

Perangkap Sumuran (PSM)

Perangkap sumuran pada setiap lokasi dipasang pada garis transek sepanjang 100 m dengan jarak 10 m antar PSM (Rahmadi et al. 2004; Suhardjono et al. 2012) (Gambar 3). Perangkap sumuran yang digunakan berupa gelas plastik dengan diameter atas 6.5 cm, diameter dasar 4.5 cm dan tinggi 10 cm (Gambar 4). Pemasangan PSM dilakukan dengan cara dua gelas plastik ditumpuk kemudian dimasukkan bersamaan ke dalam tanah yang sebelumnya sudah dilubangi sedalam 10 cm. Permukaan tanah di sekitar mulut gelas diratakan agar tidak terdapat celah antara gelas dengan tanah, lalu diambil gelas plastik yang berada pada bagian atas diambil. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya tanah yang jatuh pada PSM. Gelas plastik diisi dengan alkohol 95% (Suhardjono et al. 2012) hingga setengah dari volume gelas. Fiberglass berukuran 14 x 16 cm dengan kawat berukuran panjang 13 cm sebagai penyangganya digunakan sebagai atap PSM untuk menghindari air hujan masuk ke dalam gelas.

(21)

7

Gambar 3 Skema garis transek PSM dan PCT untuk koleksi Collembola. PSM, PCT.

Gambar 4 Desain perangkap Collembola (a) PSM, (b) penampang skematis PSM

Gambar 5 Pencuplikan contoh tanah untuk koleksi Collembola (a) pengukuran tanah 10 x 10 x 10 cm, (b) tanah pada kantung belacu

Gambar 6 Corong Berlese untuk memilah Collembola dari tanah

a b

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

10 m

100 m

a b

Kantung belacu

Keranjang tempat tanah

(22)

8

Pemilahan Collembola

Sampel Collembola yang didapat dari tiap PSM dan PCT dituang pada cawan petri masing-masing untuk dipilah dari fauna lain. Setelah dituang, kantung plastik dan botol koleksi dibilas kembali menggunakan alkohol 95% untuk memastikan tidak ada Collembola yang tertinggal di dinding kantung plastik atau botol. Pemilahan dilakukan menggunakan mikroskop stereo. Collembola dimasukkan ke dalam botol vial 1.5 ml untuk proses identifikasi.

Identifikasi Collembola

Identifikasi Collembola dilakukan berdasarkan morfospesies dengan mengacu pada kunci identifikasi dari Suhardjono et al. (2012). Identifikasi dilakukan sampai tingkat genus. Genus dianggap spesies karena dalam tiap genus hanya ditemukan satu spesies. Dengan demikian, morfospesies dapat mewakili spesies. Karakter yang diamati pada tingkat ordo adalah bentuk tubuh dan ruas abdomen. Karakter yang diamati pada tingkat famili adalah panjang ruas abdomen, permukaan dorsal dens, dan mukro. Pada tingkat genus karakter diamati bentuk dan panjang ruas toraks, ukuran seta, perbandingan panjang ruas antena I-IV, ukuran ruas abdomen kecil (ruas abdomen V-VI), dan pola warna tubuh (Gambar 7).

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang diukur adalah sifat fisik tanah meliputi kelembaban, pH, dan ketebalan serasah. Pengukuran sifat fisik tanah dilakukan pada pukul 09.00-10.00. Unsur hara tanah yang diukur meliputi N, P, dan K total diukur dari sampel tanah yang diambil.

(23)

9

Analisis Kadar N total

Kadar nitrogen total diperoleh dari metode Kjeldahl (AOAC 1990). Penetapan N organik dan N-NH4 adalah sebagai berikut. Tanah sebanyak 0.25 g

yang sudah dihaluskan, dimasukkan ke dalam labu Kjehdahl. Selenium mixture 0.25–0.5 g dan H2SO4 3 ml ditambahkan pada sampel tanah dan dicampur hingga

merata lalu didiamkan selama 2–3 jam. Setelah itu didestruksi dengan suhu bertahap dari 150 sampai 350 °C hingga diperoleh cairan jernih yang kemudian didinginkan dan diencerkan dengan ditambahkan akuades agar tidak terjadi pengkristalan. Larutan dipindah ke dalam labu didih destilator 250 ml dan ditambah air bebas ion sampai setengah volume dari labu serta batu didih. Penampung destilat berupa asam borat 10% sebanyak 1 ml yang dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml, dibubuhi tiga tetes indikator Conway. NaOH 40% sebanyak 20 ml ditambahkan untuk destilasi. Hasil destilasi dititrasi dengan H2SO4 0.05 N hingga larutan berubah warna dari hijau menjadi merah jambu.

Analisis kadar P dan K

Analisis kadar P dan K dilakukan dengan menggunakan pengekstrak HCl 25% (AOAC 1990). Contoh tanah dengan ukuran < 2 mm sebanyak 2000 g di masukkan ke dalam botol lalu ditambah 10 ml HCl 25% dan dikocok selama lima jam menggunakan mesin kocok lalu dibiarkan semalam. Ekstrak jernih diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambah 9.5 ml air bebas ion kemudian dikocok. Ekstrak contoh encer diambil sebanyak 2 ml dan deret standar (untuk P: 0, 4, 8, 16, 24, 32, dan 40 ppm; untuk K: 0, 2, 4, 8, 12, 16, dan 20 ppm) masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Larutan pereaksi ditambahkan sebanyak 10 ml untuk memberi warna pada P lalu dikocok dan didiamkan 30 menit. Absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 889 nm dan ekstrak contoh encer serta deret standar K diukur menggunakan Spektrometri Serapan Atom (SSA) secara emisi.

Bahan dan Alat

Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah Collembola. Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya perangkap sumuran, corong Berlese, mikroskop, GPS, dan soil tester.

Prosedur Analisis Data

Keanekaragaman Collembola dihitung menggunakan indeks Shannon-Wiener dan indeks Pielou untuk mengitung kemerataan (Magurran 1988).

H’= -Σ (Pi ln Pi)

Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = ni/N

(24)

10

E = H’/ln S

Keterangan: E = indeks kemerataan Pielou

H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = kekayaan spesies (jumlah spesies)

Individu Collembola yang didapatkan dari metode PCT dihitung kelimpahannya per satuan luas dengan menggunakan persamaan Meyer (1996).

I. m−2 =

IS

A

Keterangan: I = kelimpahan Collembola (individu/m2) IS = rata-rata jumlah individu per sampel A = luas permukaan PCT

Korelasi antara Collembola dengan lokasi penelitian dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA) melalui program Paleontological Statistics (PAST) (folk.uio.no/ohammer/past/) dan menghasilkan biplot yang terdiri dari komponen 1 dan 2. Korelasi antara Collembola dengan sifat fisik dan unsur hara tanah dianalisis menggunakan Correspondence Analysis (CA) melalui Program Statistica 7 (http://www.documentation.statsoft.com). Hasil analisis berupa diagram ordinasi yang terdiri dari dimensi 1 dan 2.

(25)

11

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keanekaragaman dan Kelimpahan Collembola

Total Collembola yang ditemukan dalam satu kali pengambilan sampel dengan metode PSM dan PCT pada tiga lokasi di musim kemarau adalah 680 individu yang terdiri dari 2 ordo, 4 famili, 11 genus, dan 11 spesies (Tabel 2). Ordo yang ditemukan adalah Entomobryomorpha dan Symphypleona. Ordo Entomobryomorpha merupakan famili yang paling banyak ditemukan yaitu Isotomidae, Entomobryidae, dan Paronellidae. Sminthuridae merupakan satu-satunya famili yang ditemukan dari Ordo Symphypleona (Tabel 2).

Identifikasi berdasarkan morfospesies, sehingga genus dianggap spesies. Famili Isotomidae hanya terdiri dari 1 spesies yaitu Proisotoma sp. dan Famili Entomobryidae terdiri dari 6 spesies, salah satunya Rambutsinella sp. (Tabel 1, Gambar 9). Famili Paronellidae diperoleh 3 spesies yaitu Bromacanthus sp., Callyntrura sp., dan Salina sp. (Tabel 1, Gambar 10). Famili Sminthuridae hanya ditemukan satu spesies yaitu Sphyrotheca sp. (Tabel 1, Gambar 10).

Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati (H’= 2.428, E= 0.7) (Gambar 8) yang terdiri atas 11 spesies (Tabel 2). Greenbelt merupakan lokasi dengan indeks keanekaragaman dan kemerataan paling rendah (H’= 1.009, E= 0.4) (Gambar 8).

Kelimpahan Collembola paling tinggi ditemukan di lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati sedangkan yang paling rendah terdapat di greenbelt. Kelimpahan tertinggi sampai terendah berurut-turut adalah lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati (287 individu), lahan kapur bekas tambang (262 individu), dan greenbelt (131 individu) (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah ordo, famili, dan spesies Collembola pada tiga lokasi sampling di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur

Ordo Famili Spesies Lokasi Jumlah

(26)

12

Setiap lokasi didominasi oleh spesies Collembola yang berbeda. Lahan kapur bekas tambang didominasi oleh Rambutsinella sp. (Entomobryidae). Salina sp. (Paronellidae) mendominasi di lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati dan Proisotoma sp. merupakan spesies yang hanya terdapat di lokasi tersebut. Spesies Ascocyrtus sp. dari famili Entomobryidae mendominasi di greenbelt (Tabel 2).

Keanekaragaman spesies Collembola yang didapat dari metode PSM dan PCT adalah berbeda. Collembola dari metode PSM diperoleh 4 famili, 10 genus, 10 spesies dan dari metode PCT hanya ditemukan 1 famili, 3 genus, 3 spesies. Willowsia sp. merupakan satu-satunya spesies yang tidak ditemukan di PSM tetapi hanya terdapat di PCT. Spesies lain yang juga ditemukan pada metode PCT adalah Ascocyrtus sp. dan Rambutsinella sp. (Tabel 3).

Tabel 3 Perbandingan jumlah ordo, famili, dan spesies Collembola antara metode PSM dan PCT di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur

Ordo Famili Spesies Metode Sampling

PSM (ind) PCT (ind/m2)

Isotomidae Proisotomasp. 1 0

Entomobryidae Acrocyrtus sp. 16 0

Ascocyrtus sp. 162 175

Rambutsinella sp. 237 100

Entomobrya sp. 60 0

Willowsia sp. 0 100

Seira sp. 11 0

Paronellidae Bromacanthus sp. 5 0

Callyntrura sp. 51 0

Salina sp. 121 0

Symphypleona Sminthuridae Sphyrotheca sp. 5 0

Total 669 375

Keterangan: PSM: Perangkap sumuran, PCT: pencuplikan contoh tanah.

(27)

13 Famili Isotomidae

Famili Entomobryidae

Gambar 9 Spesies Collembola dari Famili Isotomidae dan Entomobryidae (a) Proisotoma sp., (b) Acrocyrtus sp., (c) Ascocyrtus sp., (d) Rambutsinella sp., (e) Entomobrya sp., (f) Willowsia sp., dan (g) Seira sp.

a

b c

d e

(28)

14

Deskripsi Collembola

Collembola memiliki tubuh yang terdiri dari tiga bagian yaitu kepala, toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat mulut entognatus (bagian-bagian mulut terdapat didalam rongga mulut), oselus dengan jumlah 0-8, empat ruas antena, dan organ pasca antena. Toraks terdiri dari tiga ruas (protoraks, mesotoraks, metatoraks) dan masing-masing ruas pada bagian ventral memiliki sepasang tungkai. Abdomen terdiri dari enam ruas, pada bagian ventral: ruas pertama terdapat tabung ventral; ruas ketiga terdapat tenakulum; dan ruas keempat terdapat furkula.

Famili Paronellidae

Famili Sminthuridae

Gambar 10 Spesies Collembola dari Famili Paronellidae dan Sminthuridae (a) Callyntrura sp., (b) Bromacanthus sp., (c) Salina sp., dan (d) Sphyrotheca sp.

a b

c

(29)

15 Ordo Entomobryomorpha

Bentuk tubuh gilik atau silindris, ruas toraks dan abdomen dapat dibedakan dengan jelas, ruas abdomen tidak selalu sama panjang, protoraks berupa membran, tergit (bagian dorsal) protoraks dan mesotoraks menyatu sehingga protoraks tampak mereduksi.

Famili Isotomidae

Bentuk tubuh gilik, panjang ruas abdomen I-VI sama, warna tubuh bervariasi dari putih hingga biru tua.

1. Proisotoma sp.

Bentuk tubuh gilik, panjang tubuh ±0.9 mm, dengan warna biru tua. Pada kepala terdapat oselus berupa bintik hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 2:2:2:3:2:1. Furkula berkembang baik, panjang furkula ±1/5 panjang tubuh, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 2:3.

Famili Entomobryidae

Bentuk tubuh gilik, ruas abdomen IV lebih panjang daripada ruas abdomen III, furkula jelas, dens dorsal krenulat (lekukan-lekukan pada permukaan yang membentuk bergelombang).

1. Acrocyrtus sp.

Bentuk tubuh gilik, panjang tubuh ±0.8 mm, warna tubuh putih. Pada kepala terdapat oselus berkumpul menjadi dua bintik hitam, di antara kedua bintik hitam oselus terdapat garis kehitaman, panjang antena hampir sama dengan panjang kepala, rasio panjang ruas antena I:II:III:IV = 1:2:1:3, warna antena: ruas I putih; ruas II biru tua tipis; ruas III-IV biru tua. Tergit mesotoraks agak menonjol ke bagian anterior. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 2:2:2:6:1:1. Panjang furkula ±½ kali panjang tubuh, warna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 9:10. Tungkai berwarna putih.

2. Ascocyrtus sp.

Bentuk tubuh gilik, panjang tubuh ±1.5 mm, dengan warna putih. Pada kepala, oselus berkumpul berupa bintik hitam, di antara kedua bintik hitam oselus terdapat garis hitam pudar, panjang antena ±3 kali panjang kepala, rasio panjang ruas antena I:II:III:IV = 1:3:2:4, warna antena: ruas I putih; ruas II putih, dengan ujung hitam tipis; ruas III-IV hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 5:6:6:21:3:2, bagian dorsal ruas abdomen III berwarna hitam, pada dorsal bagian posterior ruas IV terdapat corak berupa bintik hitam. Panjang furkula ±½ kali panjang tubuh, warna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 3:1. Tungkai berwarna putih.

3. Rambutsinella sp.

(30)

16

4. Entomobrya sp.

Bentuk tubuh gilik, panjang tubuh ±0.8 mm, dengan warna dasar putih. Tubuh berseta panjang. Pada kepala terdapat oselus yang berupa bintik hitam, bagian anterior kepala terdapat corak kehitaman, panjang antena ±2 kali panjang kepala, rasio panjang ruas antena I:II:III:IV = 1:2:2:3, warna antena: ruas I biru tua pudar; pangkal ruas II putih, semakin ke ujung biru tua; ruas III-IV biru tua. Dorsal ruas toraks berwarna dasar putih agak kebiruan, bagian lateral terdapat garis berwarna hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 7:11:9:51:5:4, ruas abdomen bagian dorsal berwarna dasar putih agak kebiruan. Furkula ±2/3 dari panjang tubuh, berwarna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 6:7, dens krenulat. Tungkai berwarna putih.

5. Willowsia sp.

Bentuk tubuh gilik, panjang tubuh ±1.2 mm, dengan warna dasar putih. Pada kepala terdapat oselus yang membentuk bintik hitam, bagian anterior kepala terdapat garis hitam, panjang antena ±2 kali panjang kepala, rasio panjang ruas antena I:II:III:IV = 1:3:2:3, ruas antena I berwarna putih, pangkal ruas antena II putih dengan ujung semakin hitam, sedangkan ruas III-IV hitam. Bagian dorsal mesotoraks berwarna hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 8:11:11:23:8:6, pada bagian dorsal: ujung ruas abdomen II; ruas abdomen III; dan ujung ruas abdomen IV berwarna hitam. Panjang furkula ±1/3 dari panjang tubuh, dengan warna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 3:4. Tungkai berwarna putih.

6. Seira sp.

Bentuk tubuh gilik dengan panjang ±0.8 mm, tubuh berwarna putih. Tubuh berseta panjang terutama pada bagian toraks. Kepala berwarna putih dengan oselus berupa bintik hitam, panjang antena ±3½ kali panjang kepala, rasio panjang ruas antena I:II:III:IV = 1:3:2:7, warna antena: ujung ruas I-III terdapat garis hitam; ruas IV kehitaman. Bagian lateral toraks terdapat garis hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 9:12:10:25:7:6, pada bagian lateral abdomen ruas I-IV terdapat garis hitam. Panjang furkula ±2/3 dari panjang tubuh, dengan warna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 3:4. Tungkai berwarna putih.

Famili Paronellidae

Bentuk tubuh gilik, ruas abdomen IV lebih panjang daripada ruas abdomen III, furkula panjang, dens tidak melengkung.

1. Bromacanthus sp.

(31)

17 panjang manubrium:(dens + mukro) = 9:10. Tungkai berwarna dasar coklat muda dengan pangkal dan ujung femur serta tibiotarsus terdapat garis berwarna kehitaman, sehingga secara keseluruhan tungkai terlihat bercorak belang-belang

2. Callyntrura sp.

Bentuk tubuh gilik dengan panjang ±2.5 mm, tubuh berwarna dasar putih. Pada kepala terdapat oselus berupa bintik hitam, panjang ruas antena I-II ±3½ kali panjang kepala, dengan warna hitam pudar. Bagian lateral toraks terdapat garis hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 9:12:8:37:5:3, warna abdomen: bagian lateral ruas I-III terdapat garis hitam; dorsal bagian tengah dan posteriorruas IV memiliki corak berupa bintik hitam; ruas V-VI terdapat garis kehitaman. Panjang furkula ±¾ dari panjang tubuh, berwarna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 9:10. Tungkai berwarna putih dengan titik hitam pada trokanter dan semakin gelap pada ujung femur sedangkan tibiotarsus berwarna hitam.

3. Salina sp.

Bentuk tubuh gilik dengan panjang ±1.7 mm, tubuh berwarna dasar putih. Pada bagian anterior dan lateral kepala terdapat garis hitam, oselus berkumpul berupa bintik hitam, panjang antena ±5½ kali panjang kepala, rasio panjang ruas antena I:II:III:IV = 2:3:2:3, warna antena: ujung ruas I-III terdapat garis hitam; pangkal ruas I kehitaman; bagian ventral ruas II-III kehitaman; ruas IV kehitaman. Bagian lateral dan anterior toraks terdapat garis hitam. Rasio panjang ruas abdomen I:II:III:IV:V:VI = 7:10:6:30:4:4, pada bagian lateral dan posterior dorsal ruas abdomen I-VI terdapat garis hitam. Panjang furkula ± ¾ dari panjang tubuh, dengan warna putih, rasio panjang manubrium:(dens + mukro) = 4:5. Tungkai berwarna dasar putih dengan corak berupa titik hitam pada trokanter, ujung dan pangkal ruas femur serta tibiotarsus terdapat garis hitam, sehingga secara keseluruhan tungkai terlihat belang-belang.

Ordo Symphypleona

Tubuh bulat, ruas toraks dan abdomen tidak dapat dibedakan dengan jelas, memiliki oselus, ruas abdomen V-VI dapat dibedakan.

Famili Sminthuridae

Ruas antena IV anulat dan lebih panjang daripada ruas antena III. 1. Sphyrotheca sp.

(32)

18

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diukur meliputi sifat fisik dan unsur hara tanah. Kelembaban tanah dan ketebalan serasah yang paling tinggi terdapat di greenbelt dengan nilai berturut-turut yaitu 10% dan ±3 cm, sedangkan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati memiliki kelembaban tanah (7.5%) dan ketebalan serasah (±1cm) yang lebih rendah. Nilai pH tanah pada lahan reboisasi jati dan greenbelt sama yaitu 7. Lahan kapur bekas tambang memiliki kelembaban tanah dan ketebalan serasah yang paling rendah dibandingkan lokasi lainnya dengan nilai berturut-turut adalah 0% dan 0 cm (Tabel 4).

Hasil analisis kandungan unsur hara tanah menunjukkan bahwa lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati memiliki nilai tertinggi untuk P total (127 mg/100g) dan K total (123 mg/100g) (Tabel 5). Kandungan N total (0.14%) paling tinggi terdapat di greenbelt, sedangkan kandungan N total paling rendah terdapat di lahan kapur bekas tambang dan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati yaitu 0.09%. Secara keseluruhan, faktor lingkungan pada lahan kapur bekas tambang memiliki hasil pengukuran sifat fisik dan usur hara tanah yang paling rendah.

Korelasi antara Collembola dengan lokasi sampling

Keberadaan spesies yang dekat dengan lokasi masing-masing menunjukkan adanya korelasi positif antara spesies dengan lokasi tertentu. Spesies terkelompok menjadi 4 grup dari hasil analisis PCA (Gambar 11). Rambutsinella sp. dan Entomobrya sp. berada dekat dengan lahan kapur bekas tambang; Proisotoma sp., Bromacanthus sp., Callyntrura sp., Salina sp., Sphyrotheca sp. dan Seira sp. mengelompok dengan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati; Ascocyrtus sp. dan Acrocyrtus sp. dengan greenbelt. Willowsia sp. terletak di

Tabel 4 Sifat fisik tanah pada tiga lokasi sampling di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur

Keterangan lokasi mengacu pada Gambar 1.

Tabel 5 Unsur hara tanah pada tiga lokasi sampling di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban, Jawa Timur

(33)

19 antara lahan kapur bekas tambang dan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati. Spesies yang berkorelasi positif dengan masing-masing lokasi berarti bahwa spesies tersebut lebih banyak ditemukan pada lokasi tersebut.

Korelasi antara Collembola dengan sifat fisik tanah

Diagram ordinasi antara dimensi 1 dan 2 memiliki nilai variasi sebesar 100% yang berarti sudah mewakili 100% variasi data yang didapatkan (Gambar 12). Ascocyrtus sp. dan Acrocyrtus sp. terkelompok dan berkorelasi positif dengan ketebalan serasah dan kelembaban tanah karena memiliki sudut yang kecil. Vektor dari faktor lingkungan berlawanan arah dengan Rambutsinella sp. dan Entomobrya sp., sehingga spesies tersebut tampaknya berkorelasi negatif dengan faktor lingkungan. Seira sp. memiliki korelasi positif dengan pH tanah.

Korelasi antara Collembola dengan unsur hara tanah sebagai indikasi spesies yang berpotensi sebagai bioindikator

Dimensi 1 dan 2 pada diagram ordinasi mencakup nilai 100% yang menunjukkan bahwa keragaman data yang dapat dijelaskan oleh diagram tersebut adalah 100% (Gambar 13). Ascocyrtus sp. memiliki sudut yang paling kecil dengan vektor N total dibandingkan dengan spesies yang lain yang berarti terdapat korelasi positif di antara keduanya. Korelasi positif juga dapat dilihat pada Seira sp. yang berada dekat dengan P total.

(34)

20

Gambar 12 Diagram ordinasi Correspondence Analysis antara Collembola dengan sifat fisik tanah. Keterangan spesies Collembola mengacu pada Gambar 11.

(35)

21

Pembahasan

Efek penambangan dan reboisasi jati terhadap keanekaragaman Collembola

Keanekaragaman dan kelimpahan Collembola merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan tanah pada suatu ekosistem. Jumlah spesies yang didapatkan pada penelitian ini adalah 11 spesies dari 4 famili dan 11 genus (Tabel 2). Hasil penelitian ini sekitar 4.4% jika dibandingkan dengan total spesies di Indonesia (250 spesies) (Suhardjono et al. 2012). Keanekaragaman Collembola yang rendah pada penelitian ini diduga karena kondisi lingkungan lahan kapur bekas tambang yang kurang optimal bagi Collembola. Selain itu, pengambilan sampel yang hanya dilakukan di musim kemarau dimungkinkan dapat menjadi penyebab sedikitnya spesies Collembola yang didapatkan. Pada lahan terdegradasi bekas tambang emas di Jampang, Jawa Barat didapat 7 famili Collembola (Suhardjono et al. 1997). Sebagai perbandingan, keanekaragaman Collembola pada habitat yang tidak terganggu di hutan gugur Khon Kaen, Thailand terdapat 19 genus (Takeda 1981) dan di kawasan Hulu sungai Tabalong, Kalimantan Selatan ditemukan 119 spesies Collembola (Rahmadi et al. 2004). Pada tingkat famili dan genus, hasil penelitian ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian Takeda (1981), terlebih lagi pada tingkat spesies yang jumlahnya sangat rendah. Berdasarkan jumlah famili, genus dan spesies tersebut, dapat dinyatakan bahwa pembukaan lahan menjadi penambangan memberikan dampak negatif terhadap keanekaragaman dan kelimpahan Collembola.

Walaupun rendah baik keanekaragaman maupun kelimpahan Collembola di penelitian ini, namun berhasil diamati adanya keanekaragaman dan kelimpahan yang paling tinggi di lahan kapur bekas tambang yang direboisasi dengan tanaman jati. Keanekaragaman Collembola yang didapatkan pada lokasi ini (11 spesies) hampir sama dengan yang terdapat pada lahan kapur bekas tambang yang direboisasi pinus di Spanyol (12 spesies) (Andres dan Mateos 2006). Pada penelitian tersebut, digunakan metode yang sama dengan penelitian ini yaitu menggunakan tanaman untuk memperbaiki suatu kondisi lingkungan yang rusak setelah dilakukan penambangan kapur. Reboisasi pada lahan kapur bekas tambang tersebut bertujuan untuk mengembalikan kondisi lahan seperti ekosistem alami sebelumnya. Berdasarkan keanekaragaman dan kelimpahan Collembola pada lokasi penelitian, reboisasi jati memiliki peluangdapat memperbaiki keadaan lahan pasca tambang.

Apakah vegetasi mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan Collembola?

(36)

22

tinggi dibandingkan daun jati yaitu 37.26% (Lamid et al. 2013). Hal ini menyebabkan serasah daun nangka lebih keras dan sulit terombak. Serasah yang keras diduga sulit dicerna dan tidak sesuai dengan alat mulut Collembola (Hopkin 1997). Dengan demikian, keanekaragaman dan kelimpahan Collembola diduga dipengaruhi secara tidak langsung oleh vegetasi yang menyusun suatu ekosistem.

Walaupun lokasi greenbelt memiliki keanekaragaman dan kelimpahan Collembola paling rendah, tetapi lokasi ini memiliki spesies Collembola khas permukaan tanah yaitu Ascocyrtus sp., Acrocyrtus sp., dan Seira sp. (Entomobryidae). Selain itu, Ascocyrtus sp. memiliki kelimpahan paling tinggi dan berkorelasi positif dengan ketebalan serasah. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Rahmadi et al. (2004) bahwa Entomobryidae adalah Collembola permukaan tanah. Dengan demikian, setiap spesies memiliki habitat yang optimal pada vegetasi tertentu (Materna 2004).

Spesies Collembola dari Famili Paronellidae (Salina sp., Callyntrura sp., Bromacanthus sp.) juga ditemukan mendominasi pada permukaan tanah di lahan kapur bekas tambang yang direboisasi dengan tanaman jati. Paronellidae juga ditemukan mendominasi di lahan bekas tambang emas yang telah direboisasi di Jampang, Jawa Barat (Suhardjono et al. 1997). Lokasi tersebut memiliki kesamaan dengan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati pada penelitian ini yaitu tutupan tajuk tidak rapat dan serasah yang tidak tebal. Famili Paronellidae sebagai Collembola permukaan tanah ini didukung oleh Suhardjono et al. (2012) bahwa Paronellidae memiliki keanekaragaman dan kelimpahan yang tinggi di permukaan tanah.

Berlainan dengan greenbelt dan lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, lahan kapur bekas tambang hanya terdapat sedikit rumput di beberapa tempat. Kondisi ini menyebabkan semua hasil pengukuran abiotik menjadi sangat rendah, namun masih terdapat Collembola yang dapat ditemukan pada lokasi ini yaitu Rambutsinella sp. Collembola dapat beradaptasi dengan keadaan ekstrim yang terdapat di sekitarnya termasuk kondisi kering tidak terdapat air dan juga padang gurun (Hopkin 1997). Genus ini ditemukan pertama kali sebagai genus baru dibatuan kapur yang dieksploitasi untuk pembuatan semen di Vietnam (Deharveng dan Bedos 1996). Selain itu, Rambutsinella (kemungkinan berbeda spesies dengan yang ditemukan pada penelitian ini) juga banyak ditemukan pada hutan pinus di dataran tinggi (Widyawati 2008) yang memiliki kandungan air tanah yang tinggi. Pohon pinus mengeluarkan zat alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan organisme di sekitarnya. Kandungan tanin yang tinggi pada pinus, berkorelasi negatif dengan Collembola (Jonsson et al. 2005).

Pengaruh perbedaan metode PSM dan PCT terhadap keanekaragaman Collembola

(37)

23 pada lahan pertanian di Vienna, Austria. Ciri kelompok Collembola permukaan tanah tanah adalah tubuh berukuran besar, berpigmen, antena dan furkula panjang (Rahmadi et al. 2004) sesuai dengan morfologi Entomobrya. Selain itu, Salina juga hanya ditemukan pada pada metode PSM di habitat sekitar danau Telaga Warna, Jawa Barat (Widyawati 2008). Hasil penelitian ini juga didukung oleh fenomena yang menemukan bahwa Salina merupakan Collembola yang ditemukan di arboreal pada pohon (Suhardjono et al. 2012).

Selain Collembola permukaan tanah, Collembola tanah (hidup di dalam tanah) yang didapatkan melalui metode PCT juga didapatkan dalam penelitian ini yang diwakili oleh tiga spesies yaitu Ascocyrtus sp., Rambutsinella sp., dan Willowsia sp. Akan tetapi, Willowsia sp. merupakan satu-satunya spesies yang hanya ditemukan di tanah (Tabel 3). Collembola tanah umumnya dicirikan dengan morfologi yang tidak berpigmen dan furkula, oselus, serta antena yang tereduksi (Suhardjono et al. 2012). Winkler dan Toth (2012) mendapatkan 66 spesies Collembola tanah di karst Gyor-Moson-Sopron, Hungaria dan juga menemukan Willowsia nigromaculata yang juga dikoleksi melalui metode PCT pada penelitian tersebut. Hal ini mendukung kemungkinan bahwa Willowsia sp. dalam penelitian ini diduga spesies Collembola tanah ciri khas lahan kapur.

Collembola yang berpotensi sebagai bioindikator di lahan kapur

Bioindikator adalah organisme atau komunitas organisme yang memiliki respon yang merepresentasikan kondisi lingkungan sehingga memberikan gambaran ekosistem secara keseluruhan (Gerhardt 2002). Berdasarkan definisi tersebut, beberapa kriteria digunakan untuk mengindikasikan suatu organisme sebagai bioindikator. Collembola dapat digunakan sebagai kandidat yang baik untuk penelitian mengenai bioindikator (Fiera 2009), misalnya pada penggunaan beberapa tipe lahan, Collembola digunakan sebagai bioindikator karena tidak beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan penggunaan lahan (Ponge et al. 2003). Selain itu, Collembola juga dapat digunakan untuk memantau daerah terganggu karena sensitif terhadap tahapan yang berbeda pada suatu suksesi, memiliki siklus hidup yang pendek dan memiliki banyak spesies baik yang endemik maupun non-endemik (Zeppelini et al. 2009). Pernyataan-pernyataan tersebut mendukung hasil analisis penelitian ini berdasarkan Correspondence Analysis untuk menduga spesies indikator untuk habitat-habitat tertentu.

(38)

24

Korelasi positif unsur hara tanah dengan beberapa spesies Collembola juga didapatkan pada unsur P total yang berkorelasi positif dengan Seira sp. (Entomobryidae), Sphyrotheca sp. (Sminthuridae), Salina sp., Callyntrura sp., Bromacanthus sp. (Paronellidae), dan Proisotoma sp. (Isotomidae) berdasarkan Correspondence Analysis. Seira sp. dalam penelitian ini merupakan spesies yang memiliki korelasi paling tinggi dengan P total sehingga berpotensi sebagai bioindikator unsur P yang tinggi. Nutrisi yang dikonsumsi organisme yang mengandung suatu unsur, memiliki dua jalur yaitu dapat terserap dalam tubuh atau dikeluarkan dalam bentuk sisa metabolisme seperti urin atau epitel usus tengah (Hopkin 1997). Sebagian besar sisa P dalam tubuh Collembola diduga dikeluarkan dalam bentuk amonia, asam urat, dan fosfat (Larsen 2007). Korelasi positif antara Seira sp. dengan unsur P dalam penelitian ini didukung oleh Rusek (1998) yang menyatakan bahwa hasil ekskresi Collembola berperan penting dalam pembentukan mikrostruktur tanah dan dalam penyediaan unsur hara untuk produsen serta mikroba heterotrof.

(39)

25

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Keanekaragaman dan kelimpahan Collembola paling tinggi yang diamati dalam satu kali pengambilan sampel pada musim kemarau terdapat di lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, sedangkan yang paling rendah terdapat di greenbelt. Rambutsinella sp., Salina sp., dan Ascocyrtus sp. merupakan spesies yang mendominasi berturut-turut di lahan kapur bekas tambang, lahan kapur bekas tambang yang direboisasi jati, dan greenbelt. Willowsia sp. yang ditemukan dalam penelitian ini, diduga dapat menjadi spesies Collembola tanah ciri khas lahan kapur. Keanekaragaman dan kelimpahan Collembola diduga dipengaruhi secara tidak langsung oleh vegetasi.

Terdapat tiga spesies Collembola yang ditemukan dalam penelitian ini yang diduga berpotensi menjadi bioindikator. Keberadaan Ascocyrtus sp. diduga mengindikasikan lahan dengan unsur N yang paling tinggi dibandingkan semua lokasi. Adanya Seira sp. diduga sebagai indikator lahan dengan unsur P yang paling tinggi dari semua lokasi dalam penelitian ini. Proisotoma sp. merupakan spesies yang dimungkinkan dapat mengindikasikan awal pulihnya suatu ekosistem.

Saran

(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists 15th ed Volume 1 Agricultural Chemicals, Contaminants, Drugs. Helrich K, editor. Virginia (US): Association of Official Analytical Chemists, Inc.

Andres P, Mateos E. 2006. Soil mesofaunal responses to post-mining restoration treatments. Appl Soil Ecol. 33:67-78.

Dassargues A. 1998. Karst Hydrology. Oxford (UK): IAHS Pr.

Deharveng L, Bedos A. 1996. Rambutsinella, a new genus of Entomobryidae (Insecta: Collembola) from southeast Asia. Raff B Zool. 44:279-285.

Deharveng L. 2004. Recent advances in Collembola systematics. Pedobiologia. 48:415-433.

Dunger W, Schulz HJ, Zimdars B, Hohberg K. 2004. Changes in Collembolan species composition in Eastern German mine sites over fifty years of primary succession. Pedobiologia. 48:503-517.

Fiera C. 2009. Biodiversity of Collembola in urban soils and their use as bioindicators for pollution. Pesq Agropec Bras. 44:868-873.

Gerhardt A. 2002. Bioindicator species and their use in biomonitoring. Di dalam: UNESCO, editor. Encyclopedia of Life Support Systems. Oxford (UK): EOLSS Publisher.

Heneghan L, Salmore A, Crossley DAJr. 2004. Recovery of decomposition and soil microarthopod communities in an Appalachian watershed two decades after a clearcut. Forest Ecol Manag. 189:353-362.

Hopkin SP. 1997. Biology of The Springtails (Insecta: Collembola). New York (US): Oxford Univ Pr.

Jonsson LM, Dighton J, Lussenhop J, Koide RT. 2005. The effect of mixing ground leaf litters to soil on the development of pitch pine ectomicorrhizal and soil arthropod communities in natural soil microcosm systems. Soil Biol Biochem. XX:1-11.

Lamid M, Julita AFE, Widjaya NMR. 2013. Inokulasi bakteri selulolitik Actinobacillus sp. asal rumen pada daun jati menurunkan serat kasar dan meningkatkan protein kasar. J Vet. 14:279-284.

Larsen T. 2007. Unravelling Collembolan life belowground: stoichiometry, metabolism and release of carbon and nitrogen [disertasi]. Denmark (DK): University of Aarhus.

Lindahl BD, Ihrmark K, Boberg J, Trumbore SE, Hogberg P, Stenlid J, Finlay RD. 2007. Spatial separation of litter decomposition and mycorrhizal nitrogen uptake in a boreal forest. New Phytol. 173:611-620.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey (GB): Princeton Univ Pr.

Materna J. 2004. Does forest type and vegetation patchinness influence horizontal distribution of soil Collembola in two neighbouring forest sites. Pedobiologia. 48:339-347.

(41)

27 Menta C, Conti FD, Pinto S, Leoni A, Fondon CL. 2014. Monitoring soil

restoration in an open pit mine in northern Italy. Appl Soil Ecol. 83:22-29. Meyer E. 1996. Endogeic Macrofauna. Di dalam: Schimer FRO, Kandeler E,

Margesin R, editor. Methods in Soil Biology. Berlin (DE): Springer-Verlag.

Nurtjahya E, Setiadi D, Guhardja E, Muhadiono, Setiadi Y. 2007. Populasi Collembola di lahan revegetasi tailing timah di Pulau Bangka. Biodiversitas. 8:309-313.

Paengkoum P, Traiyakun S. 2011. Ruminal and intestinal digestibility of leucaena (Leucaena leucocephala) and jackfruit (Artocarpus heterophyllus) foliages using in sacco and three-step techniques. Res J Applied Sci. 6:88-91.

Prasifka JR, Lopez MD, Hellmich RL, Lewis LC, Dively GP. 2007. Comparison of pitfall traps and litter bags for sampling ground-dwelling arthropods. J Appl Entomol. 131:115–120.

Ponge JF, Gillet S, Dubs F, Fedoroff E, Haese L, Sousa JP, Lavelle P. 2003. Collembolan communities as bioindicators of land use intensification. Soil Biol Biochem. 35:813-826.

Querner P, Bruckner A. 2010. Combining pitfall traps and soil samples to collect Collembola fot site scale biodiversity assessments. Appl Soil Ecol. 45:293-297.

Quinn G, Keough M. 2002. Experimental Design and Data Analysis for Biologists. Cambridge (UK): Cambridge Univ Pr.

Rahmadi C, Suhardjono YR, Andayani I. 2004. Collembola lantai hutan di kawasan hulu Sungai Tabalong Kalimantan Selatan. Biota. 9:179-185. Rusek J. 1998. Biodiversity of Collembola and their functional role in the

ecosystem. Biodivers Conserv. 7:1207-1219.

Samodra H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia. Bandung (ID): Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.

Scherber C, Eisenhauer N, Weisser WW, Schmid B, Voigt W, Fischer M, Schulze ED, Roscher C, Weigelt A, Allan E et al. 2010. Bottom-up effects of plant diversity on multitrophic interactions in a biodiversity experiment. Nature. 468:553-556.

Suhardjono YR. 1992. Fauna Collembola tanah di Pulau Bali dan Pulau Lombok [disertasi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Suhardjono YR, Aswari P, Erniwati. 1997. Keanekaragaman takson Arthropoda tanah pada lahan terdegradasi di Jampang, Jawa Barat. Prosiding Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biology XI. 2:289-297.

Suhardjono YR. 2006. Status taksonomi fauna di Indonesia dengan tinjauan khusus pada Collembola. Zoo Indonesia. 15:67-86.

Suhardjono YR, Deharveng L, Bedos A. 2012. Biologi Ekologi Klasifikasi Collembola (Ekorpegas). Bogor (ID): PT Vega Briantama Vandanesia. Takeda H. 1981. Effects of shifting cultivation on the soil mesofauna with special

reference to Collembolan population in the North-East Thailand. Memoirs of the College of Agriculture Kyoto University. 118:45-60.

(42)

28

Widyawati, IT. 2008. Komunitas Collembola permukaan tanah pada lima tipe habitat di Kawasan Telaga Warna Kabupaten Bogor dan Cianjur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Winkler D, Toth V. 2012. Effect of afforestation with pines on Collembola diversity in the limestone hills of Szarhalom (West Hungary). Acta Silv Lign Hung. 8:9-20.

(43)

29

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di lahan kapur PT Semen Indonesia Tbk. Tuban,
Gambar 2  Lokasi pengambilan sampel Collembola (a) lokasi I: lahan kapur bekas
Gambar 5  Pencuplikan contoh tanah untuk koleksi Collembola (a) pengukuran
Gambar 7 Morfologi Collembola dan bagian-bagian tubuh (a) spesimen
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dia pung keluarga dong banyak sekali datang antar kasih dia pung anak makanan terakhir itu orang dong panggil beta pung suami, mama deng bapa langsung bagi

Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value= 1,000 lebih besar dari p value 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial maka BPJS

Namun, ada satu kelompok Mu„ tazilah melakukan hal yang jauh dari pada apa yang dilakukan ahli hadis dengan pernyataannya bahwa al-Fitnah al-Kubrâ tidak pernah

Pendapat bapak Zawawi yang tidak menayamakn putusan hakim perempuan dan hakim laki-laki ini menurut analisis kami pada dasarnya mengacu pada ketidakmampuan seorang perempuan

pengecoran lantai &#34;i&#34;) terdiri dari berat tulangan dan beban hidup atau sebagai q SP(i) , sedangkan pada saat pengecoran (penerapan beban konstruksi saat pengecoran

Namun, permohonan kategori Bujang boleh dibuat sekiranya memenuhi syarat kelayakan seperti Jawapan bagi Soalan 2 (Kategori Bujang). S: Borang Permohonan BPR 2021 mengandungi 2

Jumlah Asal usul Provinsi Kab./Kota Bidang Unit Organisasi Sub Unit Organisasi U P