• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR PENDORONG

PERUBAHAN PENUTUPAN DAN PENGGUNAAN LAHAN

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMANDIRI DAN CIBUNI

BHRE WIJAYA AROENGBINANG

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau diutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Bhre Wijaya Aroengbinang

(4)

ABSTRAK

BHRE WIJAYA AROENGBINANG. Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan di Daerah Alian Sungai Cimandiri dan Cibuni. Dibimbing oleh KASWANTO

Laju pembangunan di wilayah Jawa Barat menjadi semakin cepat dari waktu ke waktu. Di sisi lain, pembangunan di Jawa Barat bagian selatan terbilang lambat, padahal cukup banyak sumberdaya lahan yang bisa dimanfaatkan. Terdapat dua DAS yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat bagian Utara, yaitu DAS Cimandiri dan DAS Cibuni. Data pendukung untuk perencanaan lanskap yang dapat memanfaatkan potensi yang belum dimanfaatkan dengan tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan secara keseluruhan untuk Low Carbon Societies (LCS) diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni serta mengetahui faktor pendorongnya. Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dan analisis regresi logistik. Hasil dari penelitian ini adalah peta penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni tahun 1978, 1995/6, dan 2012. Sawah, hutan, dan semak mendominasi di kedua DAS. Terdapat empat faktor di DAS Cimandiri dan tiga faktor di DAS Cibuni yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan. Keywords: Sistem informasi geografis, Citra LANDSAT, Perubahan penutupan dan

penggunaan lahan, Pengelolaan DAS.

ABSTRACT

BHRE WIJAYA AROENGBINANG. Driving Factor Analysis for Landuse and Cover Change in Cimandiri and Cibuni Watershed. Supervised by KASWANTO

North region West Java’s development around Jakarta is constantly

accelerating. The development itself has caused many problems which are happening until today. However, the development in south region of West is very slow, although there are many potential land for development. Two watersheds which are located in south region, namely Cimandiri and Cibuni watershed are less developed than the watersheds in the north region of West Java. Therefore, supporting landscape planning to explore the watershed resources potential and landscape management to consider the environmental impacts for supporting the Low Carbon Societies (LCS) movement is needed. The purposes of this research are to analyze land use and land cover changes, and to determine the driving factor of the changes in Cimandiri and Cibuni watershed. The used methods are supervised classification and Logistic Regression Analysis (LRA). The results are land use map of Cimandiri and Cibuni watershed in 1978, 1995/6, and 2012. Farm field, forest, and bushes field are dominating in both watersheds. The driving factors for Cimandiri watershed show that there are four factors while there are three factors in Cibuni watershed that are significantly affecting land use and cover change.

(5)

ANALISIS FAKTOR PENDORONG

PERUBAHAN PENUTUPAN DAN PENGGUNAAN LAHAN

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMANDIRI DAN CIBUNI

BHRE WIJAYA AROENGBINANG

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian

pada

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul “Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni”. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Atas segala bentuk dukungan dan bantuan yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bambang Sutjahjo Aroengbinang dan Dewi Erlinda Nasution, orangtua tercinta yang telah mempercayakan penulis untuk dapat menyelesaikan studi S1 di Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Kaswanto selaku dosen pembimbing atas panduan, masukan, pencerahan, saran, dan kritik yang bermanfaat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Fitriyah Nurul Hidayati Utami, ST, MT selaku dosen pembimbing akademik yang selalu membimbing penulis selama menjalani masa perkuliahan di Departemen Arsitektur Lanskap IPB.

4. Dr. Syartinilia Wijaya, SP, MSi dan Ir. Qodarian Pramukanto, MSi selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini.

5. Rezky Krisrachmansyah, SP, MT selaku dosen pembahas seminar hasil akhir dan pembimbing langsung kegiatan-kegiatan sayembara yang penulis ikuti selama di Departemen Arsitektur Lanskap IPB.

6. Pingkan Nuryanti, ST, M.Eng selaku dosen pembahas kolokium.

7. Annisa Hersyafira atas support dan kesabarannya yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini.

8. Yuliana Arifasihati, teman satu bimbingan, satu judul, dan seperjuangan selama penyusunan skripsi ini.

9. Indra Bachtiar dan Adhrid Rahmad Fani, SP, teman-teman kos C/8 yang satu atap namun tidak satu rumah.

10.Teman-teman Departemen Arsitektur Lanskap angkatan 47 dan 48 yang telah banyak menghabiskan waktu bersama dalam proses meraih gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Daerah Aliran Sungai (DAS) 3

Penutupan dan Penggunaan Lahan 3

Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan 4

Geographic Information System (GIS) 4

Ketimpangan Pembangunan 5

Logistic Regression Analysis (LRA) 5

METODE 6

Lokasi dan Waktu 6

Alat dan Bahan 6

Metode Penelitian 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kondisi Umum 11

Klasifikasi Penutupan Lahan DAS Cimandiri dan DAS Cibuni Tahun 1978,

1995/6, dan 2012 27

Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri dan Cibuni 38

Faktor Pendorong Perubahan Penutupan Lahan 48

KESIMPULAN DAN SARAN 55

Kesimpulan 55

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 56

(10)

DAFTAR TABEL

1 Alat yang digunakan dalam penelitian 6

2 Jenis dan sumber data penelitian 7

3 Kriteria kelas penutupan lahan 9

4 Variabel-variabel dalam Logistic Regression Analysis 11 5 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 28 6 Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 29 7 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 30 8 Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 31 9 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 2012 33 10 Matriks kesalahan klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan tahun 2012 33 11 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1978 34 12 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 36 13 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 2012 37

14 Nilai penutupan lahan yang berubah 38

15 Nilai penutupan lahan yang tetap 39

16 Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cimandiri 39 17 Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cibuni 39

18 Perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri 41

19 Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri 41 20 Perubahan penutupan lahan secara umum di DAS Cibuni 45 21 Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cibuni 45 22 Persamaan model regresi logistic utuk driving factor 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 2

2 Lokasi penelitian 6

3 Alur penelitian 7

4 Matriks post classification comparison 10

5 Peta batas kecamatan DAS Cimandiri 12

6 Peta batas kecamatan DAS Cibuni 13

7 Peta jenis tanah DAS Cimandiri 13

8 Peta jenis tanah DAS Cibuni 14

9 Peta elevasi DAS Cimandiri 15

10 Peta elevasi DAS Cibuni 15

11 Peta kemiringan lereng DAS Cimandiri 17

12 Peta kemiringan lereng DAS Cibuni 17

13 Peta curah hujan tahunan DAS Cimandiri 18

14 Peta curah hujan tahunan DAS Cibuni 18

15 Peta jumlah penduduk DAS Cimandiri 19

16 Peta jumlah penduduk DAS Cibuni 19

17 Peta kepadatan penduduk DAS Cimandiri 20

(11)

19 Peta jarak dari pusat kota DAS Cimandiri 21

20 Peta jarak dari pusat kota DAS Cibuni 22

21 Peta jarak dari jalan utama DAS Cimandiri 23

22 Peta jarak dari jalan utama DAS Cibuni 23

23 Tutupan badan air di Situ Gunung, Sukabumi 24

24 Tutupan hutan di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango 24 25 Kebun pisang di sekitar Taman nasional Gunung Gede Pangrango 25

26 Lahan kosong di wilayah Sukabumi 25

27 Kawasan pemukiman di wilayah Sukabumi 26

28 Lahan sawah basah di wilayah Sukabumi 26

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laju pembangunan di wilayah Jawa Barat, khususnya yang berbatasan dengan DKI Jakarta, menjadi semakin cepat dari waktu ke waktu. Selain dekat dengan pusat pemerintahan, wilayah Jawa Barat bagian Utara sekaligus menjadi salah satu pusat perekonomian di pulau Jawa. Namun, pesatnya laju pembangunan ini berdampak negatif terhadap kondisi ekologis wilayah itu sendiri. Bencana banjir dan erosi yang dengan konstan terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya menjadi salah satu bukti telah rusaknya lingkungan akibat pembangunan. Di sisi lain, pembangunan di Jawa Barat bagian selatan terbilang lambat, padahal cukup banyak sumberdaya lahan dan potensi pariwisata yang bisa dimanfaatkan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 28 tahun 2010 tentang pengembangan wilayah Jawa Barat bagian Selatan tahun 2010-2029, wilayah Jawa Barat bagian Selatan meliputi Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Cianjur. Saat ini, istilah ‘ketimpangan

pembangunan’ sudah umum digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan kondisi Jawa Barat saat ini. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat Peraturan Daerah yang telah disebutkan di atas, dengan harapan mampu meningkatkan laju pembangunan di Jawa Barat bagian Selatan dengan tetap melindungi kelestarian lingkungan.

Kerusakan lingkungan dan bencana alam yang terjadi di suatu wilayah tidak lepas dari keterkaitan antara hulu-tengah-hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) pada wilayah tersebut. DAS merupakan suatu kesatuan ekosistem dimana organisme dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan memiliki ketergantungan satu sama lain dalam setiap komponennya (Asdak 2002). Salah satu aspek terpenting dalam keberadaan DAS saat ini adalah fungsinya sebagai daerah resapan karbon. Dalam wilayah Jawa Barat bagian Selatan, terdapat dua DAS yang berbatasan langsung dengan Jawa Barat bagian Utara, yaitu DAS Cimandiri dan DAS Cibuni, yang berhulu dari Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak.

Kondisi kedua DAS tersebut saat ini memang belum banyak dimanfaatkan. Belajar dari pembangunan yang terjadi di DAS Jawa Barat bagian Utara, seharusnya pembangunan DAS Jawa Barat bagian Selatan harus bisa lebih memperhatikan aspek ekologis agar tidak berdampak pada bencana-bencana alam di masa yang akan datang. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan yang tepat dan holistik harus dilakukan oleh Pemprov setempat. Dengan mengacu pada perubahan pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya dan mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan tersebut, perencana akan dapat memanfaatkan potensi yang belum dimanfaatkan dengan tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan secara keseluruhan. Pembangunan yang dilakukan juga harus mempertimbangkan fungsi DAS sebagai daerah penyimpanan karbon (carbon stock), dalam mendukung Low-Carbon Societies, yaitu sebuah proyek penelitian yang dipublikasikan oleh Britania Raya dan Jepang pada ulang tahun pertama Kyoto Protocol tahun 2006.

(14)

2

dekade sebelumnya, serta menganalisis faktor apa yang mempengaruhinya. Hal tersebut akan lebih efektif dilakukan melalui pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG), dengan melakukan analisis melalui citra satelit dan data lainnya terkait aspek fisik, geografis, dan demografi.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni secara periodik, mengetahui perubahan penutupan dan penggunaan lahannya, serta menganalisis faktor pendorong perubahan tersebut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi banyak pihak, selain dapat menambah wawasan bagi mahasiswa yang melaksanakan penelitian, diharapkan juga dapat dijadikan sebagai salah satu alat bantu bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya bagian selatan, dalam pembangunan wilayah tersebut.

Kerangka Pikir

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan, khususnya pada kawasan DAS, yaitu DAS Cimandiri dan Cibuni. Kedua DAS ini perlu dimanfaatkan, namun tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Untuk melakukannya diperlukan perencanaan pembangunan yang tepat, sehingga membutuhkan informasi spasial mengenai perubahan penutupan lahan di kedua DAS tersebut, serta analisis faktor pendorong perubahannya yang dilakukan melalui pendekatan GIS.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Pembangunan di Jawa Barat Selatan

Masih kurang dimanfaatkan

Nilai ekonomi rendah, tetapi ekologis

Pemanfaatan tanpa merusak nilai ekologis

Perencanaan pembangunan yang tepat

Analisis Faktor Pendorong Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Cimandiri dan Cibuni

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofisik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan et al. 2005). Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS terbagi atas bagian hulu, tengah, dan hilir, pembagian tersebut didasarkan pada kondisi topografi dari wilayah DAS itu sendiri.

Penutupan dan Penggunaan Lahan

(16)

4

Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad 1989 dalam As-syakur et. al. 2010). Kebutuhan dan keinginan manusia yang sulit terpenuhi mendorong manusia untuk melakukan modifikasi dan rekayasa-rekayasa terhadap tempat-tempat yang mereka tempati. Faktor sosial-ekonomi, politik, dan budaya menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan tersebut. Menurut Jayadinata (1992), tindakan manusia menunjukkan bagaimana manusia atau masyarakat bertindak dalam hubungannya dengan nilai (values) dan cita-cita (ideas) mereka.

Identifikasi perubahan penggunaan lahan pada suatu DAS merupakan suatu proses mengindentifikasi perbedaan keberadaan suatu objek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda di DAS tersebut. Indentifikasi perubahan penggunaan lahan memerlukan suatu data spasial temporal (As-syakur et. al. 2010).

Geographic Information System (GIS)

Geographic Information System (GIS) yang dalam bahasa Indonesia lebih sering disingkat SIG (Sistem Informasi Geografis) dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi-lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG dapat didefinisikan sebagai kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang memungkinkan untuk mengelola (manage), menganalisa, memetakan informasi spasial berikut data atributnya (data deskriptif) dengan akurasi kartografi (Basic 2000 dalam Prahasta 2002).

SIG secara formal dapat didefinisikan sebagai suatu koleksi terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis dan para pelakunya, yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara efektif untuk mengambil, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk geografi berdasarkan atas informasi yang tersedia (ESRI, 1990). Menurut Wang (1991), SIG memberikan kebebasan pada pengguna untuk mengkombinasi, mengoverlay, dan mengalaisa data dari berbagai sumber yang berbeda, tanpa memperhatikan skala, keakurasian, resolusi, dan kualitas data. Kemampuan untuk menyimpan, memetakan, dan menganalisa data dari berbagai tipe data secara bersamaan, termasuk mentransformasikan data sehingga skala geografi dan proyeksinya dapat diperbandingkan, membuat SIG lebih daripada suatu sistem pemetaan secara komputerisasi.

(17)

5

Ketimpangan Pembangunan

Menurut Kuncoro (2006), kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyrakat, sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno 2004). Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012).

Menurut Hipotesa Neo-Klasik dalam Sjafrizal (2012), pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik.

Logistic Regression Analysis (LRA)

Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989) regresi logistik biner merupakan suatu metode untuk mengkaji hubungan antara satu atau lebih peubah penjelas dengan peubah respon yang biner atau dikotom. Data hasil pengamatan memiliki peubah penjelas dengan peubah respon, dengan mempunyai dua kemungkinan nilai yaitu 0 dan 1. Peluang bersyarat untuk peubah respon Y jika x diketahui, ditunjukkan oleh P (Y=1|x) = π(x). Fungsi regresi logistik dapat dituliskan sebagai berikut:

� � =1 + ���⁡ � + � � + ⋯ + �exp⁡ � + � � + ⋯ + ����

���

Secara umum, regresi logistik cocok untuk menjelaskan dan menguji hipotesis tentang hubungan antara variabel hasil dengan satu atau lebih variabel penduga. Metode yang digunakan dalam regresi logistik pada penelitian ini adalah dengan prosedur stepwise. Menurut Hosmer dan Lemeshow (1989), seleksi variabel menggunakan stepwise banyak digunakan dalam regresi linear. Prosedur stepwise

(18)

6

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di DAS Cimandiri dan DAS Cibuni, yaitu pada daerah hulu, tengah, dan hilir, mencakup wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan sebagian Bandung (Gambar 1). Kegiatan penelitian berlangsung selama tiga belas bulan, yaitu dimulai dari bulan Februari 2014 hingga bulan Februari 2015.

Gambar 2 Lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) (Tabel 1). Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat dari tiga periode yang berbeda yang bisa diunduh gratis dari situs earthexplorer.usgs.gov dan peta-peta lainnya yang didapatkan dari instansi-instansi terkait. Spesifikasi jenis dan data yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian

Hardaware dan Software Fungsi

Hardware

Kamera Canon EOS 400D Pengambilan foto Global Positioning System

(GPS)

(19)

7 Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian (lanjutan)

Software

ERDAS Imagine 9.2 Proses klasifikasi citra ArcMAP 10.2 Pengolahan data citra satelit

MS Excel 2013 Pengolahan data

MS Word 2013 Penyusunan skripsi

Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian

No. Jenis Data Bentuk

2. Peta Batas DAS Vektor Departemen Kehutanan 3. Peta DEM Jawa Barat Raster Departemen Kehutanan 4. Peta Jenis Tanah Jawa Barat Vektor DIPERTA Jawa Barat 5. Peta Curah Hujan Jawa Barat Tabular BMKG Jawa Barat 6. Data Kependudukan Tabular Pemprov Jawa Barat

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam empat bagian, yaitu 1) Persiapan Penelitian, 2) Inventarisasi, 3) Analisis, dan 4) Output.

Gambar 3 Alur penelitian

Persiapan

Penelitian Inventarisasi Analisis Output

(20)

8

Inventarisasi

Tahap inventarisasi ini meliputi pengumpulan data spasial dan non-spasial, termasuk pengolahan citra sebelum melakukan analisis, dan survei lapang dengan melakukan ground check. Data yang dikumpulkan berupa data spasial, yaitu citra dari 3 periode waktu yang telah disebutkan, serta data non-spasial berupa data fisik dan biofisik. Pada kegiatan survei lapang telah dilakukan pengambilan titik menggunakan GPS pada tujuh kelas penutupan lahan (hutan, pemukiman, badan air, semak belukar, perkebunan, kebun, dan sawah), dan dokumentasi tapak.

Data spasial yang digunakan pada penelitian ini adalah citra dari LANDSAT1 untuk tahun 1978, LANDSAT4 untuk tahun 1995, dan LANDSAT7 untuk tahun 2012. Citra yang telah diperoleh telah dikoreksi geometrik dan di subset

area penelitian. Selain itu, dikarenakan tutupan awan pada citra LANDSAT4 tahun 1995 yang tersedia sangat tinggi, perlu dilakukan proses masking dengan citra LANDSAT4 tahun 1996, yaitu ‘menambal’ tutupan awan pada tahun 1995 dengan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 1996, dengan asumsi bahwa penutupan lahan pada kedua periode tersebut tidak berubah secara signifikan.

Analisis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

Supervised Classification, yaitu dengan membuat training area sesuai dengan kelas penutupan lahan yang telah disebutkan di atas dengan menggunakan software

ERDAS Imagine 9.2. Setelah mendapatkan peta penutupan lahan dari tiap DAS pada tiap periode, ketepatan hasil tersebut telah diuji dengan menggunakan

accuracy assessment, dengan akurasi minimal 75%. Setelah itu telah dilakukan perbandingan perubahan pentupan lahan dari ketiga periode tersebut dengan menggunakan metode Post Comparison Classification.

Supervised Classification

Metode klasifikasi terbimbing ini didasarkan pada statistik dari training area yang merepresentasikan objek pada lahan yang berbeda, yang dipilih secara subjektif oleh pengguna berbasis pada pengetahuan dan pengalaman pengguna itu sendiri (Liu dan Mason 2012). Penelitian ini menggunakan Maximum Likelihood Classifier, yaitu metode yang umum digunakan dalam melakukan klasifikasi penutupan lahan. Metode ini mempertimbangkan peluang suatu piksel pada training

area yang sudah dibuat untuk dikelaskan pada kelas tertentu.

Training Area

(21)

9 Pembuatan training area pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan AOI Tools pada software ERDAS, yaitu dengan membuat polygon-polygon yang terdiri dari 9 sampai 16 piksel dengan gradasi warna yang serupa. Setiap kelas penutupan lahan terdiri dari minimal 10 training area.

Tabel 3 Kriteria kelas penutupan lahan

No. Label Kelas Deskripsi

1 Awan Seluruh area yang berupa kumpulan piksel berwarna putih yang menutupi penutupan lahan di bawahnya (no data).

2 Badan air Seluruh area yang didominasi oleh perairan. 3 Hutan Hamparan yang didominasi oleh pepohonan. 4 Kebun Seluruh lahan yang ditanami tanaman kebun

dengan tutupan dan diameter tajuk yang seragam.

5 Lahan kosong Seluruh lahan tanah kosong yang tidak dimanfaatkan.

6 Pemukiman Seluruh lahan terbangun berupa perumahan atau bangunan lainnya.

7 Sawah Seluruh lahan kering maupun basah yang ditanami tanaman padi dan palawija.

8 Semak belukar Seluruh lahan yang ditumbuhi vegetasi rendah sampai tinggi yang tumbuh secara liar.

Accuracy Assessment

Pendugaan akurasi dilakukan setelah peta penutupan lahan tahun 2012 telah dihasilkan untuk mengukur validitas peta klasifikasi penutupan lahan yang telah dibuat pada taraf persentase akurasi. Akurasi tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks kesalahan (error matrix). Matriks kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai galat klasifikasi berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau

emission dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau comission. Akurasi hasil klasifikasi secara keseluruhan dapat diukur menggunakan akurasi Kappa (Kappa accuracy). Kappa dapat digunakan untuk mengukur kesesuaian antara model prediksi dengan realitas (Congalton, 1991). Penghitungan akurasi Kappa memperhitungkan seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan, sehingga metode ini lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode akurasi Kappa dengan software ERDAS. Secara matematis, akurasi Kappa dirumuskan sebagai berikut:

%

(22)

10

Deteksi Perubahan Penutupan Lahan

Setelah peta klasifikasi penutupan lahan pada tiap DAS dan tiap periode telah dibuat, telah dicari perubahan penutupan lahan pada tiap DAS dari ketiga periode yang telah disebutkan. Untuk mengetahuinya, digunakan metode Post Classification Comparison. Ilustrasi matriks metode ini disajikan pada Gambar 4.

Metode ini menggunakan fungsi perkalian antara nilai kelas penutupan tahun 1978 dengan tahun 1995, dan nilai kelas penutupan lahan tahun 1995 dengan tahun 2012 yang telah di-recode terlebih dahulu. Proses tersebut telah menghasilkan image baru berupa peta penutupan lahan yang mengalami perubahan dan yang tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tersebut. Proses recode

dilakukan menggunakan software ERDAS, yang selanjutnya telah dilakukan fungsi perkalian nilai antar kelas dengan menggunakan modeler fungsi perkalian. Dari hasil perkalian matriks tersebut telah diperoleh kelas penutupan lahan dengan nilai baru yang menggambarkan perubahan masing-masing kelas dalam kurun waktu 1978-1995, dan 1995-2012.

Gambar 4 Matriks post classification comparison

Analisis Driving Factor Perubahan

(23)

11 Tabel 4 Variabel-variabel dalam Logistic Regression Analysis

Variabel Tujuan (Y) Variabel Penduga (X)

Variabel Perubahan (0 = tidak berubah; 1 = berubah)

Nilai yang masuk ke dalam model tersebut adalah nilai piksel dari variabel y untuk setiap variabel x yang diduga. Karena jumlah total piksel baik di DAS Cimandiri dan DAS Cibuni mencapai lebih dari 1.200.000 piksel, maka digunakan sampling untuk mengambil titik acak yang mewakili setiap DAS. Metode sampling

yang digunakan adalah dengan rumus Slovin sebagai berikut:

� =

1 + ��

Keterangan:

n = jumlah sampel N = jumlah populasi

e = batas toleransi kesalahan (5%)

Dengan menggunakan rumus Slovin tersebut, didapat 400 sampel untuk setiap DAS, dan digunakan fungsi create random points di ArcGIS untuk membuat 400 sampling acak di setiap DAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Letak Geografis Tapak

Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimandiri dan Cimandiri merupakan DAS yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Hulu DAS Cimandiri terletak di pegunungan Gede-Pangrango pada bagian timur laut, mengalir menuju Teluk Pelabuhan Ratu di selatan Jawa Barat, sedangkan hulu DAS Cibuni terletak di dataran tinggi Kecamatan Rancabali, mengalir menuju Kecamatan Tegal Buleud dan bermuara ke Samudra Hindia. Letak geografis dari kedua DAS ini saling bersebelahan, dengan DAS Cimandiri yang terletak pada 6o42’56’’ sampai 7o8’45’’ LS dan 106o30’45” sampai 107o4’50” BT dan DAS Cibuni yang terletak pada 7o0’40’’ sampai 7o26’18’’ LS dan 106o41’33” sampai 107o24’30” BT.

(24)

12

sebagian Kabupaten Cianjur, sedangkan DAS Cibuni memiliki luas 143.334 hektar yang membentang dari Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan sebagian Bandung. Dengan deliniasi batas DAS oleh Kemenhut yang di-overlay dengan batas administratif kecamatan Indonesia oleh BPS, DAS Cimandiri meliputi 43 kecamatan dalam Kabupaten Sukabumi, dan 7 kecamatan dalam Kabupaten Cianjur (Gambar 5) dan DAS Cibuni meliputi 8 kecamatan dalam Kabupaten Sukabumi, 12 kecamatan dalam Kabupaten Cianjur 2 kecamatan dalam Kabupaten Bandung, dan 2 kecamatan dalam Kabupaten Bandung Barat (Gambar 6).

Gambar 5 Peta batas kecamatan DAS Cimandiri

Jenis Tanah

(25)

13

Gambar 6 Peta batas kecamatan DAS Cibuni

(26)

14

Gambar 8 Peta jenis tanah DAS Cibuni

Jenis tanah merupakan salah satu variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Hal tersebut karena penutupan dan penggunaan yang berbasis lahan sangat berkaitan dengan jenis tanahnya karena tanah merupakan salah satu kriteria terpenting dalam kesesuaian lahan untuk penggunaan lahan. Jenis tanah yang sesuai untuk berbagai penggunaan lahan memungkinkan terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di lahan itu sendiri.

Elevasi

Topografi merupakan aspek utama dalam analisis lahan berskala DAS karena DAS itu sendiri terbentuk dari kondisi topografi. Dengan menggunakan data

Digital Elevation Model (DEM) dari ASTER GDEM, informasi mengenai ketinggian dan kemiringan lahan di kedua DAS dapat diketahui. Selanjutnya, informasi ketinggian tempat di DAS bisa menjadi acuan utama dalam pembagian daerah DAS: hulu, tengah, dan hilir, dimana tempat dengan ketinggian tinggi merupakan daerah hulu, dan yang paling rendah menuju laut adalah daerah hilir.

(27)

15

Gambar 9 Peta elevasi DAS Cimandiri

(28)

16

Kemiringan Lereng

Kondisi kemiringan lahan di kedua DAS tersebut berdasarkan klasifikasi kemiringan lahan menurut Kemenhut (2013) dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Kondisi kemiringan lahan di DAS Cimandiri memiliki lahan datar yang lebih besar daripada DAS Cibuni, sehingga memang lebih memungkinkan untuk dibangun kota besar dan akses utama yang lebih baik daripada di DAS Cibuni.

Kemiringan lahan juga merupakan variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan karena sama seperti jenis tanah, kemiringan lahan juga menjadi kriteria terpenting dalam kesesuaian lahan. Penggunaan lahan, khususnya yang diperuntukkan untuk aktivitas manusia, akan cenderung dikembangkan pada lahan dengan kemiringan lahan landai karena daerah tersebutlah yang paling memungkinkan untuk ditempati oleh manusia. Sebaliknya, daerah dengan kondisi kemiringan yang sangat curam cenderung dikonservasi untuk penggunaan ekologis karena dapat memberi dampak negatif baik bagi manusia maupun lingkungan apabila digunakan untuk kebutuhan manusia.

Curah Hujan

Berdasarkan peta rata-rata curah hujan tahunan periode 1981 – 2010 di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat oleh BMKG, DAS Cimandiri dan DAS Cibuni memiliki curah hujan sekitar 2.000 – 3.500 mm/tahun (Gambar 13 dan Gambar 14). Dalam skala DAS, curah hujan yang merupakan data diskontinyu bisa menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi di hulu DAS, mengakibatkan pendangkalan sungai di hilir akibat sedimentasi. Hal tersebut bisa terjadi apabila tutupan vegetasi di hulu yang pada dasarnya bisa menampung curah hujan, dikonversi menjadi tutupan lahan lain sehingga terjadi run off air hujan dan melimpah ke sungai utama.

Curah hujan dan temperatur merupakan faktor terpenting dalam pembentukan

agro climatical zone. Selain itu, curah hujan dan faktor iklim lainnya juga mempengaruhi tingkat kenyamanan manusia dalam menempati suatu wilayah. Tempat dengan tingkat kenyamanan yang rendah cenderung dihindari dalam pembangunan lanskap untuk keperluan rekreatif. Hal tersebut yang menjadi landasan kenapa curah hujan menjadi salah satu variabel yang dianalisis pengaruhnya terhadap perubahan penutupan lahan.

Jumlah dan Kepadatan Penduduk

(29)

17

Gambar 11 Peta kemiringan lereng DAS Cimandiri

(30)

18

Gambar 13 Peta curah hujan tahunan DAS Cimandiri

(31)

19

Gambar 15 Peta jumlah penduduk DAS Cimandiri

(32)

20

Gambar 17 Peta kepadatan penduduk DAS Cimandiri

(33)

21 Kebutuhan manusia akan lahan merupakan fenomena yang akan terus berlangsung. Selain untuk tempat tinggal, lahan juga digunakan untuk mencari sumber makanan dan kebutuhan hidup lainnya. Semakin banyak jumlah manusia yang memadati suatu tempat, maka akan semakin banyak juga kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga lahan yang diperlukan juga semakin banyak. Asumsi tersebut yang menjadi landasan untuk menganalisis kedua variabel tersebut, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk.

Jarak dari Pusat Kota

Variabel lainnya yang diidentifikasi adalah jarak dari pusat kota yang dipetakan secara spasial pada kedua DAS. Peta ini dihasilkan dengan menggunakan fungsi euclidean distance pada ArcGIS, yaitu membuat area buffer dari titik-titik balai kota di dalam maupun di luar wilayah DAS. Terdapat 2 titik pusat kota di DAS Cimandiri (Gambar 19), yaitu Kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, sementara di DAS Cibuni tidak ada titik pusat kota sama sekali (Gambar 20). Semakin dekat suatu tempat dengan pusat kota, kecenderungan terjadinya perubahan penutupan lahan akan lebih tinggi daripada yang jauh dengan pusat kota.

Gambar 19 Peta jarak dari pusat kota DAS Cimandiri

Jarak dari Jalan Utama

(34)

22

Saat ini banyak kota atau daerah di Indonesia yang pola pembangunannya mengikuti bentuk jalannya. Ketika dibangun jalan, maka saat itu juga di sisi kanan dan kiri jalan tersebut akan mulai terjadi pembangunan-pembangunan. Pada DAS Cimandiri, terdapat dua jenis jalan utama, yaitu jalan kolektor dan jalan tol nasional (Gambar 21), sedangkan pada DAS Cibuni hanya terdapat satu jenis, yaitu jalan kolektor (Gambar 22). Peta jarak dari jalan utama ini juga dibuat dengan fungsi yang sama dengan jarak dari pusat kota, yaitu fungsi euclidean distance.

Gambar 20 Peta jarak dari pusat kota DAS Cibuni

Penutupan dan Penggunaan Lahan

(35)

23

Gambar 21 Peta jarak dari jalan utama DAS Cimandiri

(36)

24

Badan Air

Badan air merupakan tutupan lahan berupa genangan air yang berada di atas permukaan tanah dan dibatasi oleh permukaan tanah. Beberapa jenis badan air yang diklasifikasikan menjadi kelas penutupan lahan badan air adalah danau atau situ dan sungai. Klasifikasi badan air menggunakan citra LANDSAT yang memiliki resolusi mengenah cenderung sulit dan kurang akurat karena ukurannya yang kecil seringkali tidak terklasifikasi secara spasial.

Gambar 23 Tutupan badan air di Situ Gunung, Sukabumi

Hutan

Hutan merupakan tutupan lahan berupa kumpulan tegakan pohon yang tumbuh secara alami maupun buatan dengan tinggi dan tutupan tajuk yang massive

dan acak. Tutupan lahan ini sering ditemukan di dekat puncak gunung, contohnya di Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak. Tutupan lahan hutan ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam beberapa penggunaan lahan, seperti hutan primer dan hutan sekunder, namun pengklasifikasian tersebut tidak dilakukan di penelitian ini karena analisis yang lebih spesifik tentang penggunaan lahan tersebut tidak digunakan kali ini.

(37)

25

Kebun

Kebun merupakan tutupan lahan berupa kumpulan tanaman yang ditanam langsung oleh manusia, biasanya ditanam serempak sehingga tinggi dan diameter tajuknya seragam. Penutupan lahan ini akan terlihat mirip dengan hutan, namun karena jenis vegetasi pada perkebunan yang biasanya sama dan tutupan tajuknya yang seragam, secara spasial akan terlihat perbedaannya.

Gambar 25 Kebun pisang di sekitar Taman nasional Gunung Gede Pangrango

Lahan Kosong

Lahan kosong merupakan tutupan lahan berupa hamparan tanah dan batu yang tidak dibangun perkerasan maupun ditanami vegetasi. Area tambang juga dapat diklasifikasikan ke dalam lahan kosong karena penampakkan tutupan lahannya sangat walaupun sedikit berbeda warnanya. Lahan kosong juga biasa ditemukan pada lahan yang sedang dipersiapkan untuk dikonversi menjadi tutupan atau penggunaan lahan lainnya.

(38)

26

Pemukiman

Pemukiman merupakan penutupan lahan yang terdiri dari lahan-lahan terbangun, baik perumahan, kawasan industri, maupun lahan perkotaan. Penutupan lahan ini akan mudah ditemukan di kota-kota besar, dalam penelitian kali ini di Kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, dan di sekitar akses utama antar wilayah.

Gambar 27 Kawasan pemukiman di wilayah Sukabumi

Sawah

Sawah merupakan penggunaan lahan pertanian yang dominan ditanami dengan tanaman padi dan palawija. Kondisi penggunaan lahan ini akan terlihat berbeda dari citra satelit baik sebelum masa panen, saat masa panen, dan saat musim hujan, sehingga proses klasifikasi untuk penutupan lahan ini akan lebih spesifik.

(39)

27

Semak Belukar

Semak belukar merupakan penutupan lahan yang didominasi oleh tanaman-tanaman pohon dan semak yang rendah yang tutupan tajuknya tidak rapat. Jenis tutupan lahan tersebut dapat ditemukan di sekitar tutupan lahan hutan karena tutupan lahan ini biasanya terbentuk akibat deforestasi yang tidak segera dikonversi menjadi tutupan lahan lainnya.

Gambar 29 Semak belukar di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango

Klasifikasi Penutupan Lahan DAS Cimandiri dan DAS Cibuni Tahun 1978, 1995/6, dan 2012

Klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan yang sudah dilakukan pada citra LANDSAT pada tiga periode tersebut menghasilkan masing-masing tiga periode peta penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni. Kondisi citra LANDSAT yang berawan di beberapa titik pada lokasi penelitian mengharuskan peneliti untuk mengklasifikasikan satu kelas penutupan lahan tambahan, yaitu awan. Awan didefinisikan sebagai kelas yang tidak memiliki informasi apapun mengenai tutupan lahan atau no data,karena kondisi yang berawan tersebut menutupi tutupan lahan yang ada di bawahnya.

Selain awan, pada citra LANDSAT tahun 2012 terdapat stripping. Stripping

adalah kondisi citra LANDSAT yang tidak sempurna dikarenakan oleh garis-garis hitam yang menutupi sebagian besar citra tersebut, sehingga informasi-informasi yang ingin didapatkan dari citra tersebut tidak optimal. Kondisi stripping ini bisa diperbaiki dengan metode gapfill (Gambar 30), yaitu dengan ‘menambal’ garis -garis hitam di citra utama yang akan digunakan dengan menggunakan citra-citra lain yang periodenya hanya terpaut beberapa bulan dari citra utama. Penggunaan citra dengan periode yang sebentar tersebut dengan pertimbangan bahwa penutupan dan penggunaan lahan tidak secara signifikan terjadi dalam kurun waktu yang

(40)

28

Gambar 30 Citra saat stripping dan setelah dilakukan gapfill Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri

Berdasarkan Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 (Gambar 31), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode ini adalah semak belukar yaitu sebesar 76.350,24 ha atau sekitar 41,54 % dari total luas DAS Cimandiri, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah badan air jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 1.568,52 ha atau sekitar 0,86 % dari total luas DAS Cimandiri. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978

No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

Total 183.777,48 100,00

Pada periode ini, Kabupaten Sukabumi memang belum banyak dimanfaatkan lahannya. Infrastruktur berupa jalan yang belum banyak di bangun pada saat itu merupakan salah satu aspek yang membatasi pembangunan pada DAS ini. Aksesibilitas yang lebih mudah dan diutamakan pada periode tersebut adalah melalui jalur air, karenanya wilayah Pelabuhan Ratu merupakan salah satu yang wilayah yang sudah mulai dikembangkan pada saat itu.

Uji akurasi klasifikasi penutupan lahan tidak dilakukan pada periode ini karena memerlukan metode yang lebih spesifik lagi dalam membuat reference point

(41)

29 merupakan salah satu cara untuk mendapatkan reference point yang dimaksud, namun hal tersebut memerlukan kajian tersendiri yang lebih lanjut sehingga tidak dilakukan pada penelitian ini.

Gambar 31 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 Karena uji akurasi menggunakan reference point tidak digunakan, maka cara lain untuk menguji akurasi klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan nilai keterpisahan antar kelas (Tabel 6). Nilai keterpisahan antar kelas digunakan untuk menguji tingkat kemiripan training area antar kelas penutupan lahan yang telah diklasifikasi. Semakin tinggi nilai keterpisahannya, maka pembuatan training area

yang telah dilakukan semakin baik dalam membedakan antar kelas penutupan lahan. Matriks nilai keterpisahan hanya akan ditampilkan pada pembahasan DAS Cimandiri karena nilai keterpisahan kedua DAS sama pada setiap periode.

Tabel 6 Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 Penutupan

Lahan 1 2 3 4 5 6 7 8

Awan 0 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000

Badan air 2.000 0 2.000 2.000 1.999,86 1.999,85 1 992,31 2.000

Hutan 2.000 2.000 0 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000

Ladang 2.000 2.000 2.000 0 2.000 2.000 2.000 2.000 Lahan kosong 2.000 1.999,86 2.000 2.000 0 2.000 1.382,23 1.999,85 Pemukiman 2.000 1.999,85 2.000 2.000 2.000 0 1.999.96 2.000 Sawah 2.000 1.992,31 2.000 2.000 1.382,23 1.999,96 0 1.999,87 Semak belukar 2.000 2.000 2.000 2.000 1.999,85 2.000 1.999,87 0

(42)

30

Pada hasil klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 (Gambar 31), rata-rata nilai keterpisahannya adalah sebesar 1.997,64, sehingga dapat dikatakan bahwa interpretasi peneliti saat melakukan klasifikasi sangat baik. Nilai keterpisahan terendah terdapat antara kelas sawah dengan lahan kosong, yaitu sebesar 1.382,23. Peta tahun 1978 merupakan peta yang masih memiliki 4 band peta, sehingga variasi nilai spektrum yang ada di peta pun menjadi lebih sedikit. Rendahnya nilai separabilitas antara kelas sawah dan lahan kosong bisa terjadi karena rendahnya nilai spektrum yang membedakan antara kedua kelas penutupan lahan tersebut.

Periode berikutnya adalah tahun 1995/6, periode ini memiliki kurun waktu, berbeda dari periode lainnya. Hal tersebut dikarenakan tutupan awan pada tahun 1995 dan 1996 sangat tinggi, sehingga apabila hanya menggunakan satu periode saja, maka akan menghasilkan peta tutupan lahan dengan tutupan awan yang sangat tinggi. Peta hasil klasifikasi pada periode ini dihasilkan dengan melakukan koreksi tutupan awan melalui proses masking pada peta hasil klasifikasi tahun 1995 dengan peta tahun 1996, dengan asumsi bahwa penutupan lahan tidak berubah secara signifikan selam periode kurang dari 1 tahun.

Hasil klasifikasi pada periode tersebut (Gambar 32) menunjukkan bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah sawah yaitu sebesar 55.120,86 ha atau sekitar 30,10% dari total luas DAS Cimandiri, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah lahan kosong jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 809.19 ha atau sekitar 0,44% dari total luas DAS Cimandiri. Berbeda dari periode sebelumnya, pada periode ini sawah mendominasi DAS Cimandiri. Kabupaten Sukabumi merupakan daerah yang memiliki karakteristik perekonomian agraris, dimana sektor pertanian masih mendominasi perekonomian daerah. Pada periode 1990-an, Kabupaten Sukabumi dikelompokkan pada daerah yang masih tradisional dengan kontribusi sektor industri di bawah angka sepuluh persen (Irena, 2013).

Pembangunan lahan pemukiman juga sudah mulai dilakukan, terlihat peningkatan persentasenya dari 1,62% menjadi 4,00%, yang terpusat di kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6

No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

(43)

31

Gambar 32 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 Pada hasil klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6, rata-rata nilai keterpisahannya adalah sebesar 1.990,67, sehingga dapat dikatakan bahwa interpretasi peneliti saat melakukan klasifikasi sangat baik (Tabel 8). Nilai keterpisahan terkecil terdapat antara kelas sawah dengan semak belukar, yaitu sebesar 1.740,53, walaupun nilai keterpisahan tersebut termasuk sangat tinggi. Dari hasil klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan di DAS Cimandiri pada dua periode ini, hasil nilai keterpisahannya tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa akurasi kedua peta tersebut akurat, namun belum bisa dikatakan valid karena tidak dievaluasi menggunakan data aktual yang ada di lapangan.

Tabel 8 Matriks nilai keterpisahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1995/6 Penutupan

Lahan 1 2 3 4 5 6 7 8

Hutan 0 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 Badan air 2.000 0 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 Ladang 2.000 2.000 0 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 Lahan kosong 2.000 2.000 2.000 0 2.000 2.000 1.998,12 2.000 Pemukiman 2.000 2.000 2.000 2.000 0 2.000 2.000 2.000 Sawah 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 0 2.000 2.000 Semak belukar 2.000 2.000 2.000 1.998,12 2.000 2.000 0 1.740,53 Awan 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 1.740,53 0

Xmin= 1.740,53 Xmax= 2.000 Xrata-rata=1.990,67

(44)

32

dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 674,19 ha atau sekitar 0,37% dari total luas DAS Cimandiri.

Gambar 33 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cimandiri tahun 2012 Sama seperti periode sebelumnya, penutupan lahan sawah kembali mendominasi pada periode ini. Terjadinya penurunan luas semak belukar pada periode ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi pemanfaatan lahan semak belukar yang tidak fungsional menjadi penggunaan lahan lain yang fungsional, seperti pemukiman, sawah, dan perkebunan. Konversi lahan menjadi lahan terbangun merefleksikan pertumbuhan nasional sebagai destinasi rekreasi dan tempat peristirahatan (Napton et al., 2010). Penutupan lahan hutan juga meningkat pada periode ini. Lahan pertanian yang terabaikan memungkinkan untuk beregenerasi menjadi hutan (Schweizer dan Matlack, 2013).

(45)

33 Tabel 9 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 2012

No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

Total 183.473,19 100,00

Hasil klasifikasi peta penutupan lahan tahun 2012 diuji akurasinya dengan menggunakan metode accuraccy assessment. Uji akurasi tersebut disajikan dalam bentuk matriks kesalahan yang didapatkan setelah menggunakan fitur accuracy assessment dengan menggunakan software ERDAS (Tabel 10). Matriks kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai kesalahan klasifikasi berupa kelebihan (omission) dan kekurangan (commission) jumlah piksel dari setiap kelas penutupan lahan. Kesalahan kelebihan piksel (omission eror) disebut juga dengan istilah akurasi pembuat (producer’s accuracy). Akurasi pembuat adalah akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah total piksel dari data acuan per kelas.

Pada tabel pendugaan akurasi diatas diketahui bahwa akurasi pembuat tertinggi adalah kelas hutan dan pemukiman, yaitu sebesar 100%, sedangkan untuk akurasi pembuat terendah terdapat pada badan air dan semak belukar, yaitu sebesar 73,33%. Selain akurasi pembuat juga terdapat akurasi pengguna atau dikenal sebagai user’s accuracy. Akurasi pengguna adalah akurasi yang diperoleh melalui pembagian antara jumlah piksel yang benar dengan total keseluruhan piksel setiap kelas, akurasi ini disebut dengan istilah kesalahan komisi (Commission eror). Pada tabel diketahui bahwa nilai akurasi tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan badan air sebesar 100%, sedangkan yang terendah terendah terdapat pada kelas penutupan sawah sebesar 76,47%.

(46)

34

Hasil akurasi keseluruhan klasifikasi dilihat dari akurasi umum overall accuracy) dan akurasi Kappa. Akurasi umum adalah akurasi yang dihitung berdasarkan pembagian antara jumlah keseluruhan piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas dengan jumlah total piksel yang digunakan, sedangkan akurasi Kappa melibatkan seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk mengukur akurasi hasil klasifikasi. Overall dan Kappa accuracy dari hasil klasifikasi penutupan pada periode ini mencapai 86,67% dan 84,44%, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil klasifikasi tersebut sangat baik.

Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cibuni

Berdasarkan Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1978 (Gambar 34), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah semak belukar yaitu sebesar 68.497,92 ha atau sekitar 47,54 % dari total luas DAS Cibuni, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah pemukiman jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 831,24 ha atau sekitar 0,58 % dari total luas DAS Cibuni. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1978

No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

Total 144.099,72 100,00

(47)

35

Gambar 34 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1978 Selanjutnya pada peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 (Gambar 35), memiliki kondisi yang sama dengan DAS Cimandiri, yaitu kondisi tutupan awan yang sangat tinggi dan juga sudah dilakukan masking untuk meminimalisasi tutupan awan pada hasil klasifikasi periode ini. Dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas pada periode tersebut adalah hutan yaitu sebesar 46.358,73 ha atau sekitar 32,93% dari total luas DAS Cibuni, sedangkan penutupan lahan dengan luas terkecil adalah lahan kosong jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 235,35 ha atau sekitar 0,17% dari total luas DAS Cibuni. Terjadi perubahan dominasi penutupan lahan pada periode ini, yaitu dari semak belukar menjadi hutan.

(48)

36

Gambar 35 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6 Tabel 12 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 1995/6

No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

1 Awan (no data) 1.419,39 1,01

2 Badan air 790,65 0,56

3 Hutan 46.358,73 32,93

4 Kebun 15.735,51 11,18

5 Lahan kosong 235,35 0,17

6 Pemukiman 1.214,10 0,86

7 Sawah 39.826,08 28,29

8 Semak belukar 35.190,09 25,00

Total 140.769,90 100,00

(49)

37

Gambar 36 Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Cibuni tahun 2012 Arah alih fungsi penutupan lahan tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan efektif karena cukup banyaknya informasi penutupan lahan yang tidak diketahui pada periode sebelumnya. Lahan pertanian juga kembali meningkat pada periode ini, walaupun lahan pemukiman tidak bertambah. Dapat dikatakan bahwa pemanfaatan lahan pada DAS Cibuni saat ini lebih banyak dilakukan untuk kebutuhan pertanian, dengan melihat peningkatannya yang konsisten dari ketiga periode tersebut. Informasi lebih jelas mengenai luasan dan persentase tiap kelas penutupan lahan pada periode ini disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Luas hasil klasifikasi penutupan lahan DAS Cibuni tahun 2012

No. Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

1 Awan (no data) 4.014,81 2,79

2 Badan air 583,20 0,41

3 Hutan 35.650,53 24,81

4 Kebun 10.986,03 7,65

5 Lahan kosong 5.581,44 3,88

6 Pemukiman 2.550,96 1,78

7 Sawah 41.237,01 28,70

8 Semak belukar 43.094,79 29,99

(50)

38

Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri dan Cibuni

Kebutuhan manusia akan lahan yang sangat tinggi mendorong terjadinya konversi lahan, sesuai dengan kebutuhan penggunaan lahannya. Secara spasial, perubahan penutupan dan penggunaan lahan tidak dapat secara signifikan terlihat dalam kurun waktu yang singkat, sehingga informasi-informasi yang ingin diketahui dari perubahan tersebut tidak dapat digali secara optimal, maka dibutuhkan pengamatan penutupan lahan secara spasio-temporal. Pada penelitian ini, periode perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri dan Cibuni yang digunakan berjarak 17 tahun secara berturut-turut, sehingga data yang dihasilkan dapat merepresentasikan dengan akurat perubahan yang terjadi.

Deteksi perubahan penutupan lahan dilakukan dengan metode Post Classification Comparison, seperti yang sudah dijabarkan dalam metode analisis. Setelah nilai piksel yang telah di-recode terlebih dahulu dikalikan antar periode, didapatkan nilai-nilai baru yang menunjukkan informasi perubahan penutupan lahan di periode tersebut. Nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel 14 dan Tabel 15. Dengan menggunakan informasi tersebut, tabel atribut dari hasil deteksi perubahan penutupan lahan dapat dipilah untuk mengetahui informasi perubahan penutupan lahan yang diperlukan.

Tabel 14 Nilai penutupan lahan yang berubah

Nilai Perubahan Nilai Perubahan

12 Badan air ke Hutan 105 Lahan kosong ke Pemukiman 13 Badan air ke Kebun 112 Lahan kosong ke Sawah

14 Badan air ke Lahan kosong 119 Lahan kosong ke Semak belukar 15 Badan air ke Pemukiman 99 Pemukiman ke Badan air

16 Badan air ke Sawah 108 Pemukiman ke Hutan 17 Badan air ke Semak belukar 117 Pemukiman ke Kebun

33 Hutan ke Badan air 126 Pemukiman ke Lahan kosong 39 Hutan ke Kebun 144 Pemukiman ke Sawah

42 Hutan ke Lahan kosong 153 Pemukiman ke Semak belukar 45 Hutan ke Pemukiman 110 Sawah ke Badan air

48 Hutan ke Sawah 120 Sawah ke Hutan 51 Hutan ke Semak belukar 130 Sawah ke Kebun

55 Kebun ke Badan air 140 Sawah ke Lahan kosong 60 Kebun ke Hutan 150 Sawah ke Pemukiman 70 Kebun ke Lahan kosong 170 Sawah ke Semak belukar 75 Kebun ke Pemukiman 121 Semak belukar ke Badan air 80 Kebun ke Sawah 132 Semak belukar ke Hutan 85 Kebun ke Semak belukar 143 Semak belukar ke Kebun

(51)

39 Tabel 15 Nilai penutupan lahan yang tetap

Nilai Penutupan Lahan

Korelasi Penutupan dan Penggunaan Lahan DAS Cimandiri dan Cibuni

Dengan membandingkan luasan penutupan lahan di setiap periode, delta perubahan luas antar periode serta laju perubahannya dapat diketahui. Informasi tersebut perlu disajikan untuk mengetahui besarnya perubahan yang terjadi untuk setiap kelas penutupan lahan dan seberapa cepat laju perubahannya dengan lebih akurat. Tabel tersebut disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17 di bawah.

Tabel 16 Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cimandiri Kelas

Tabel 17 Perbandingan luas dan laju peningkatan DAS Cibuni Kelas

(52)

40

sementara pada periode 1995/6 – 2012 adalah lahan kosong dan pemukiman. Dari perolehan tersebut dapat dikatakan bahwa pada periode 1978 – 1995/6, pertanian sedang banyak dikembangkan di kedua DAS. Seperti pada pembahasan sebelumya, pada periode ini Kabupaten Sukabumi masih memfokuskan bidang pertanian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Didukung lagi dengan program PELITA yang menargetkan untuk membuka lahan pertanian sebanyak-banyaknya pada tahun 1980, dikenal dengan program pembukaan satu juta lahan pertanian di seluruh wilayah Indonesia.

Pada pembahasan sebelumnya, telah disinggung bahwa secara spasial, lahan pertambangan dan indsutri terklasifikasikan sebagai lahan kosong. Pada periode 1995/6 – 2012, pembangunan sektor industri di Kabupaten Sukabumi diarahkan untuk mendorong terciptanya struktur ekonomi yang seimbang dan kokoh (BPS Kabupaten Sukabumi, 2013). Potensi penggalian di Kabupaten Sukabumi cukup banyak, sehingga lahan-lahan penggalian banyak yang dibuka. Deforestasi mulai terjadi pada periode ini di kedua DAS, walaupun laju perubahannya tidak begitu tinggi. Kedua sektor utama perekonomian tersebut tentu membutuhkan serapan tenaga kerja, sehingga baik pertumbuhan sektor pertanian maupun industri, akan turut mendorong pertumbuhan lahan pemukiman dan terbangun di sekitarnya. Konversi lahan menjadi pemukiman pada DAS Cimandiri lebih cepat laju perubahannya pada periode 1978 – 1995/6, sedangkan pada DAS Cibuni, konversi lahan tersebut lebih cepat pada periode 1995/6 – 2012. Arah konversi lahan menjadi pemukiman ini akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

Perubahan Penutupan Lahan di DAS Cimandiri

Dari matriks yang telah disajikan di atas, terdapat dua jenis informasi yang dihasilkan dan dibahas pada bagian ini, yaitu perubahan penutupan lahan secara biner (berubah dan tidak berubah) dan perubahan penutupan lahan terhadap kelas penutupan lahan tertentu. Hutan merupakan tutupan lahan yang mulai menurun pada periode 1995/6 - 2012. Fenomena deforestasi ini akan mengakibatkan banyak dampak negatif bagi lingkungan sekitar apabila dilakukan tanpa kebijakan yang tepat, sehingga perlu dianalisis arah konversi lanskap hutan: berapa besar yang tetap, dan berapa besar yang berubah, serta menjadi tutupan lahan apa hutan tersebut berubah. Selain hutan, tutupan lahan semak juga menjadi aspek penting yang perlu dianalisis karena semak merupakan tutupan lahan yang cenderung mudah berubah menjadi penggunaan lahan lainnya. Oleh karena itu, arah perubahannya perlu diketahui dan dibahas lebih lanjut. Yang terakhir, pemukiman, merupakan salah satu indikator berkembangnya peradaban manusia di suatu tempat. Arah perubahan penutupan lahan menjadi pemukiman dianalisis untuk mengetahui besarnya penutupan lahan dari masing-masing kelas yang berubah menjadi lahan pemukiman.

(53)

41 Tabel 18 Perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri

Perubahan 1978 - 1995/6 1995/6 - 2012

Luas (ha) Persentase Luas (ha) Persentase

Tetap 69.749,64 40,15% 77.800,05 45,00%

Berubah 103.975,83 59,85% 95.077,26 55,00%

TOTAL 173.725,47 100% 172.877,31 100%

Tabel 19 Matriks perubahan penutupan lahan di DAS Cimandiri

Tahun 1978-1995/6 Tahun 1995/6 - 2012

Perubahan Luas (ha) (%) Perubahan Luas (ha) (%)

Tetap Hutan 23.304,78 13,41 Tetap Hutan 24.255,90 14,03

Hutan ke Kebun 2.248,74 1,29 Hutan ke Kebun 2.884,05 1,67 Hutan ke Lahan Kosong 30,33 0,02 Hutan ke Lahan Kosong 510,30 0,30 Hutan ke Pemukiman 1.076,31 0,62 Hutan ke Pemukiman 543,78 0,31 Hutan ke Sawah 7.094,16 4,08 Hutan ke Sawah 11.356,47 6,57 Kebun ke Pemukiman 1.030,68 0,59 Kebun ke Pemukiman 1.782,81 1,03 Kebun ke Sawah 9.514,35 5,48 Kebun ke Sawah 5.934,60 3,43 Lahan Kosong ke Pemukiman 81,09 0,05 Lahan Kosong ke Pemukiman 100,53 0,06 Lahan Kosong ke Sawah 711,36 0,41 Lahan Kosong ke Sawah 158,49 0,09 Lahan Kosong ke Semak 500,40 0,29 Lahan Kosong ke Semak 241,20 0,14 Pemukiman ke Badan Air 54,27 0,03 Pemukiman ke Badan Air 21,24 0,01 Pemukiman ke Hutan 150,39 0,09 Pemukiman ke Hutan 249,12 0,14 Pemukiman ke Kebun 215,91 0,12 Pemukiman ke Kebun 233,01 0,13 Pemukiman ke Lahan Kosong 12,60 0,01 Pemukiman ke Lahan Kosong 495,09 0,29 Tetap Pemukiman 446,40 0,26 Tetap Pemukiman 3.958,74 2,29 Pemukiman ke Sawah 1.614,42 0,93 Pemukiman ke Sawah 1.605,96 0,93 Pemukiman ke Semak 404,37 0,23 Pemukiman ke Semak 754,02 0,44 Sawah ke Badan Air 396,54 0,23 Sawah ke Badan Air 255,51 0,15 Sawah ke Hutan 2.526,75 1,45 Sawah ke Hutan 6.822,63 3,95 Sawah ke Kebun 2.392,65 1,38 Sawah ke Kebun 4.133,61 2,39 Sawah ke Lahan Kosong 91,62 0,05 Sawah ke Lahan Kosong 4.081,59 2,36 Sawah ke Pemukiman 2.368,71 1,36 Sawah ke Pemukiman 3.730,77 2,16

Tetap Sawah 11.654,55 6,71 Tetap Sawah 25.555,14 14,78 Semak ke Pemukiman 2.228,94 1,28 Semak ke Pemukiman 1.157,58 0,67 Semak ke Sawah 23.655,60 13,62 Semak ke Sawah 12.421,44 7,19

(54)

42

Gambar 37 Peta perubahan penutupan lahan DAS Cimandiri tahun 1978 – 1995/6

(55)

43 Berdasarkan peta perubahan DAS Cimandiri, terlihat bahwa daerah Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak adalah yang paling stabil penutupan lahannya, selain itu terlihat juga bahwa tengah terjadi urbanisasi di Kota Sukabumi yang sudah banyak dibangun lahan pemukiman juga terlihat stabil dari tahun 1995/6 sampai 2012. Selain kedua wilayah tersebut, perubahan penutupan lahan terjadi secara menyebar dan memiliki pola yang mirip dari periode satu dengan lainnya.

Merujuk kepada matriks perubahan penutupan lahan, beberapa arah perubahan penutupan lahan yang ingin dianalisis dapat disajikan dalam bentuk grafik, sehingga informasi yang diperoleh lebih efektif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perubahan dari hutan, dari semak, dan ke arah pemukiman perlu dianalisis lebih lanjut. Oleh karena itu, grafik konversi lahan dari hutan, dari semak, dan menuju pemukiman disajikan pada Gambar 39, Gambar 40, dan Gambar 41.

Gambar 39 Grafik arah perubahan penutupan lahan dari hutan di DAS Cimandiri

Gambar 40 Grafik perubahan penutupan lahan dari semak di DAS Cimandiri

(56)

44

Gambar 41 Grafik perubahan penutupan lahan ke pemukiman di DAS Cimandiri Merujuk kepada grafik-grafik tersebut, konversi lahan dari hutan dan semak terbesar terjadi ke arah sawah untuk setiap periode. Kesuburan lanskap hutan dan semak belukar yang tinggi mendorong manusia untuk mengkonversi lahan tersebut agar memiliki nilai ekonomi yang lebih. Namun, konversi lahan menjadi pemukiman juga paling besar terjadi dari arah sawah. Hal tersebut bisa terjadi karena lahan sawah yang digunakan terus menerus tanpa dilakukan pemeliharaan terhadap lahannya, lama kelamaan akan menurunkan produktivitas tanaman produksi pada periode-periode berikutnya. Sehingga, lahan yang tidak produktif ini akan ditinggalkan oleh petani, dan dijual atau dibangun menjadi lahan pemukiman. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang ditujukkan untuk meningkatkan nilai ekonomi memang perlu dilakukan, namun proses konversi tersebut harus dilakukan secara bertahap. Hal tersebut ditujukkan agar dampak negatif dari berkurangnya lahan hutan tidak secara signifikan terjadi langsung di daerah-daerah sekitarnya. Dengan melakukannya secara bertahap, siklus alami yang terjadi di hutan akan sedikit demi sedikit diadaptasi di lahan-lahan pertanian yang baru dibuat, sehingga dampak-dampak yang tidak diinginkan akan dapat diminimalisasi. Sedangkan untuk konversi lahan menjadi pemukiman yang dominan berasal dari pertanian dapat diminimalisasi dengan memberikan edukasi kepada petani lokal agar dapat mengolah kembali lahan sawahnya yang sudah tidak produktif dengan penerapan pertanian organik. Petani lokal yang saat ini masih banyak bergantung kepada bahan-bahan kimia, dan pertanian instan dari zaman revolusi hijau harus dirubah paradigmanya untuk beralih ke pertanian organik agar sektor pertanian di wilayah Jawa Barat dapat lebih berkelanjutan dan produktivitasnya pun akan meningkat di kemudian hari.

Perubahan Penutupan Lahan di DAS Cibuni

Pada DAS Cibuni, diketahui bahwa penutupan lahan yang berubah selama periode 1978 – 1995/6 (60,54%) lebih besar dari periode 1995/6 – 2012 (55,77%) (Tabel 20). Peta perubahan penutupan lahan DAS dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43, sedangkan matriks perubahan penutupan lahannya disajikan pada Tabel 21, dan grafiknya pada Gambar 44, Gambar 45, dan Gambar 46.

Gambar

Gambar 13 Peta curah hujan tahunan DAS Cimandiri
Gambar 15 Peta jumlah penduduk DAS Cimandiri
Gambar 17 Peta kepadatan penduduk DAS Cimandiri
Gambar 19 Peta jarak dari pusat kota DAS Cimandiri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Citra Landsat 1992, 2000 & Aster 2007 Peta Penutupan Lahan Tahun 1992,2000 dan 2007 Interpretasi dan Klasifikasi Penutupan Lahan Data Primer (Wawancara) Identifikasi Faktor

Peningkatan luas tutupan lahan dengan perubahan penggunaan lahan semak menjadi hutan sekunder dapat memperbaiki debit dan tingkat erosi di DAS Ayung.. METODE

Analisis Kinerja Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Indikator Penggunaan Lahan dan Debit Air pada DAS Unda.. Dibimbing

Berdasarkan hasil klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra satelit Landsat 5 TM tahun 1995 didapat luas tutupan lahan terbesar adalah hutan lahan kering primer yaitu sebesar

Perubahan tata guna lahan adalah berubahnya penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang

Mendeteksi perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Kota Bogor sejak tahun 1905an-2005; Mengamati perubahan proposi ruang terbuka hijau di kota Bogor sejak

Perubahan penggunaan lahan dari periode tahun pengamatan tersebut akan dianalisis pengaruhnya terhadap kondisi hidrologi DAS seperti debit aliran, volume aliran,

Berdasarkan hasil overlay antara peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2009 menunjukkan perubahan luasan pada kelas lahan terbangun, pertanian lahan