• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU

PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498/Pid.B/2014/PN.Rap)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

YOGI AR CHANIAGO

110200003

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU

PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498/Pid.B/2014/PN.Rap)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

YOGI AR CHANIAGO NIM: 110200003

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(Dr. M. Hamdan, S.H., M.H) NIP. 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Dr. M. Eka Putra, S.H., M.Hum) (Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum) NIP. 197110051998011001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Judul skripsi ini adalah “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari terdapat kekurangan, namun dengan lapang dada Penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini juga Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. M. Eka Putra, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Bapak Abdul Rahman, S.H., M.H., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah banyak membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

sehingga Penulis dapat menyelesaikan urusan-urusan administrasi dengan baik.

11.Kak Tri selaku Pengurus Bidang Umum di Pengadilan Negeri Kisaran yang telah memberikan kontribusi dalam melancarkan urusan keluarnya salinan Putusan yang sangat diperlukan oleh Penulis.

12.Kak Mei selaku Panitera Muda Hukum di Pengadilan Negeri Kisaran yang telah memberikan kontribusi dalam melancarkan urusan keluarnya salinan Putusan yang sangat diperlukan oleh Penulis.

13.Teristimewa kepada kedua orang tua Penulis yaitu Armawi Pili dan Arnita Chaniago yang telah berjasa mendidik serta membesarkan penulis serta tidak pernah bosan untuk memberi dorongan serta dukungan dalam doa dan materi hingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.

14.Yang Tersayang adik-adik Penulis Rivaldo Ar Chaniago dan Irfan Ar Chaniago yang telah membantu, memberikan dukungan dan doa agar Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

15.Yang Tercinta Syahnaz Miyagi Munira, terima kasih untuk kesetiaan, kasih sayang, dukungan serta semangat pantang menyerah membantu Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

(6)

dan pengalaman hidup yang telah kita lalui bersama selama 2 tahun. Berharap kebersamaan kita akan bertahan untuk selamanya.

17.Teman-teman Penulis stambuk 2011 (Gracia Febriyanti Tambun, Abdurrahman Harits Ketaren, Muhammad Fauzan Akmal Zaldhy, Fikri Rizki, Dila Armaya, Shofa Husra, Muhammad Ibnu Hidayah dan kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu per satu) yang bersama-sama menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas dukungan serta masukannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

18.Teman-teman Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (IMADANA FH USU) stambuk 2011 yang turut membantu Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

19.Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan BTM Aladdinsyah, S.H. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih telah menjadi keluarga Penulis di kampus, walaupun Penulis jarang ikut kegiatan, hendaknya tetaplah terus dipertahankan rasa kekeluargaan kita.

Akhir kata, Penulis beharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan untuk kita semua.

Medan, Maret 2015 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ... 8

2. Pertanggungjawaban Pidana ... 13

3. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak ... 17

F. Metode Penelitian ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI PENELANTARAN DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL INDONESIA ... 30

A. Penelantaran Anak Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana ... 30

B. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak ... 35

C. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ... 38

(8)

E. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak ... 45

BAB III PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK BERDASARKAN UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ... 49

A. Anak Korban Penelantaran Anak ... 49

1. Bentuk-bentuk Penelantaran Anak ... 49

2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Penelantaran Anak ... 53

B. Aspek Hukum Pidana Terhadap Penelantaran Anak Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 61

C. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 65

1. Kasus ... 65

2. Analisis Kasus ... 73

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 86

(9)

ABSTRAK Yogi Ar Chaniago*

M. Eka Putra** Rafiqoh Lubis***

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan. Masalah perlindungan anak adalah suatu masalah manusia yang merupakan kenyataan sosial. Anak korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami korban dianggap tidak membahayakan. Penelantaran anak tidak hanya merugikan si anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya.

Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan apa sajakah instrumen hukum nasional Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan terhadap penelantaran anak dan bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder, serta dengan melakukan penelitian di perpustakaan (library research).

Perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dalam instrumen hukum nasional Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak berbicara mengenai bentuk-bentuk penelantaran anak, faktor-faktor penyebab terjadinya penelantaran anak dan aspek hukum pidana terhadap penelantaran anak, yang meliputi orang/pihak yang melakukan penelantaran anak, pertanggungjawaban pelaku penelantaran anak, dan sanksi pidana terhadap pelaku penelantaran anak.

*

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. **

Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ***

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan

hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan

bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945

dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi

kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi

penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.1

Pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan

memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh

hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara

dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi

anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara

optimal dan terarah.

1

(11)

berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.2

Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia.3

2

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 1.

3

Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8.

(12)

anak bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.

Pandangan Islam memandang anak sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada orangtuanya. Sebagai amanah, anak sudah seharusnya mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, perawatan, bimbingan dan pendidikan.4

Perlu diketahui bahwa sebenarnya citra dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan perlindungan terhadap anak yang merupakan

permasalahan kehidupan manusia juga. Objek dan subjek pelayanan dan kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban; motivasi

seseorang untuk ikut serta secara tekun dan gigih dalam setiap kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak mendapat

perlindungan mental, fisik, dan sosial dari orang tua anggota masyarakat dan negara.

Implementasi pandangan ini tentu saja bahwa sebagai amanah anak harus dijaga dan dirawat sebaik mungkin. Dimensi transendental direfleksikan dalam bentuk kasih sayang, sebagaimana Tuhan mengasihi umatnya melalui kesempatan kehidupan di dunia. Manifestasi kasih sayang tersebut berupa tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak anak dan perlindungan khusus. Pada sisi lain, anak-anak diberikan kewajiban untuk menjaga norma-norma yang telah dibangun generasi terdahulu.

5

4

Ibnu Amshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007), hlm. 2.

5

Shanti Delliyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 15.

(13)

yang tepat mengenai manusia, tidak terkecuali manusia yang disebut dengan

“anak”. Masalah perlindungan anak adalah suatu masalah manusia yang merupakan kenyataan sosial.6

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu

tindakan hukum yang berakibat hukum.7 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi

kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan

perlindungan anak.8

Banyak anak yang ditelantarkan oleh orang tua disebabkan oleh berbagai alasan, terutama kemiskinan dan kurangnya tanggung jawab orang tua terhadap

pola pengasuhan dan perawatan anak, dan beban ekonomi yang cenderung lemah Akhir-akhir ini banyak muncul pemberitaan yang membicarakan tentang

orang tua yang tega menelantarkan anaknya. Namun dibandingkan dengan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, anak korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang

dialami korban dianggap tidak membahayakan sebagaimana layaknya anak-anak yang teraniaya secara fisik.

6

Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm. 15.

7

Bismar Siregar, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Suwanti Sisworahardjo, Arif Gosita, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1986), hlm. 23.

8

(14)

mengakibatkan anak selalu menjadi korban.9 Kemiskinan selalu dijadikan

argumentasi menjawab kasus penelantaran anak. Alasan ini diterima masyarakat seperti hal wajar. Ada yang sengaja dibuang keluarganya dan terlunta-lunta

sebagai gelandangan dan pengamen. Ibu rumah tangga juga bisa bertindak kejam dengan meninggalkan anak di rumah kontrakan dan membiarkan mereka kelaparan.10

Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang, karena anak termasuk dalam kelompok rentan. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan hukum dengan cara menetapkan peraturan

Pengaruh dan dampak yang paling terlihat jika anak mengalami penelantaran adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

Penelantaran anak tidak hanya merugikan si anak saja, tetapi orang tua juga harus menanggung resiko atas perbuatannya yaitu hukuman yang sesuai dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kasus penelantaran anak sangatlah sering terjadi di Indonesia, namun penanganannya sangatlah kurang diperhatikan.

9

Tira, Lagi, Kasus Penelantaran Anak Kembali Terjadi, 2010,

Februari 2015, pukul 09.20 WIB. 10

Rotsania Dhamayanti, Makalah Penelantaran Anak, 2012,

(15)

perundang-undangan yang dimaksudkan untuk melindungi anak dari penelantaran, termasuk memberikan pelayanan terhadap anak yang menjadi korban penelantaran. Pembaharuan di bidang legislasi berupa pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan, mengingat selama ini peraturan yang ada belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, serta belum memberikan efek jera kepada pelaku karena sanksinya terlalu ringan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas tentang perlindungan terhadap penelantaran anak ini dalam bentuk tulisan yang berjudul “Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726 K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 498/Pid.B/2014/PN.Rap)” yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dari perspektif hukum nasional Indonesia?

(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sebagaimana umumnya dalam hal penulisan skripsi ataupun karya tulis ilmiah lainnya yang menjadi salah satu yang harus diperhatikan adalah tujuan penulisan. Adapun hal yang menjadi tujuan pada skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai perlindungan terhadap anak yang mengalami penelantaran dari perspektif hukum nasional Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak, baik masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berkecimpung dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebijakan terhadap perlindungan anak dari penelantaran.

2. Manfaat Secara Praktis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan

bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak

(17)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “PENERAPAN HUKUM PIDANA

TERHADAP PELAKU PENELANTARAN ANAK DARI PERSPEKTIF

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1726

K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor

498/Pid.B/2014/PN.Rap)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran

dan pemahaman dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang

berlaku maupun dengan fenomena penelantaran anak yang ada melalui referensi

buku-buku, media elektronik, dan bantuan berbagai pihak. Dalam rangka

melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di

kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan

bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

(18)

strafbaarfeit. Sebenarnya, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk

pengertian strafbaarfeit, antara lain11

a. Peristiwa pidana, dipakai dalam UUDS 1950 Pasal 14 ayat (1); :

b. Perbuatan pidana, dipakai misalnya oleh UU No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara, dan Cara Pengadilan-Pengadilan Sipil;

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, dipakai oleh UU Darurat No. 2 Tahun 1951 Tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke byzondere bapalingen;

d. Hal yang diancam dengan hukum dan peraturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman, dipakai oleh UU Darurat No. 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;

e. Tindak pidana, dipakai oleh UU Darurat No. 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum, UU Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1964 Tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana Karena Tindak Pidana yang Berupa Kejahatan.

Moeljatno menerjemahkan istilah tindak pidana (strafbaarfeit) dengan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana ini pun tidak disetujui oleh Moeljatno, antara lain karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang-undangan yang memakai kata “tindak pidana” baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya hampir selalu memakai pula kata “perbuatan”.12

11

Ahmad Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 31.

12

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 55.

(19)

adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaarfeit adalah diperkenalkan oleh Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-Undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus tindak pidana Pornografi.13

Rumusan tindak pidana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “criminal act”. Meskipun seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang, belum berarti bahwa ia harus dipidana. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “criminal responsibility”.14

Rancangan KUHP mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Seseorang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Hal tersebut akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Kesalahan dan tindak pidana mempunyai hubungan yang erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.

15

13

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 49. 14

Suharto RM, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 29. 15

Pasal 11 ayat (1) Rancangan KUHP Tahun 2012.

(20)

pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.16 Tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.17

Setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).18

Mengenai masalah unsur tindak pidana, menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.19

1) Sifat melawan hukum

Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:

2) Kualitas dari si pelaku.

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris

16

Pasal 11 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2012. 17

Pasal 11 ayat (3) Rancangan KUHP Tahun 2012. 18

Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 50. 19

(21)

dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas

Hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Sedangkan unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi: 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud atau oogmerk, seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5) Perasaan takut, seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.20

Secara doktrinal, di antara pakar hukum tidak terjadi kesatuan pendapat mengenai tindak pidana dalam hukum pidana. Sebagian ahli hukum ada yang menganut pandangan monistis dan sebagian yang lain menganut pandangan dualistis. Berikut ini adalah paparan para sarjana yang menganut

pandangan-pandangan tersebut: 1) Pandangan Monistis

a. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah:

a) Perbuatan manusia, dalam hal ini berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan.

20

(22)

b) Diancam dengan pidana. c) Melawan hukum.

d) Dilakukan dengan kesalahan.

e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

b. Menurut Baumman, perbuatan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

c. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

2) Pandangan Dualistis

Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1955, memberi arti pada “perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:

1) Perbuatan (manusia),

2) Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (merupakan syarat formil), dan

3) Bersifat melawan hukum (merupakan syarat materil). 2. Pertanggungjawaban Pidana

(23)

make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas

tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).21

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.22 Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.23

Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana pidana masih menyisakan

berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan

21

Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Vol. 6 No. 11 Tahun 1999, hlm. 27.

22

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75

23

(24)

teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktik

peradilan di Indonesia menunjukkan belum adanya kesamaan pola dalam

menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1991 No.

1352/K.Pid/1991, kesalahan terdakwa dipandang terbukti dengan sendirinya

ketika seluruh unsur tindak pidana telah dapat dibuktikan. Sementara itu, dalam

Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Mei 1992 No. 14K/Pid/1992, Majelis

Hakim Agung setelah mempertimbangkan bahwa tindak pidana yang didakwakan

terbukti, juga mempertimbangkan kesengajaan terdakwa dalam menentukan

pertanggungjawaban pidananya. Sekalipun dalam rumusan tindak pidana yang

didakwakan tidak terdapat unsur ‘dengan sengaja’, tetapi hal ini dipertimbangkan

majelis hakim. Hal ini dapat dipandang kesalahan terdakwa dipertimbangkan

setelah dan di luar dari tindak pidana yang didakwakan.24

Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya

pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang

justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.25

24

Ibid, hlm. 1. 25

Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1983), hlm. 260.

Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan

(25)

pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan

pertanggungjawaban (general excusing of liability).

Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari

ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya

pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.

Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,

dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat

yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban

pidana, bukan hanya dilakukan dengan memerhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada

dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.

(26)

hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana

merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

3. Anak dan Perlindungan Terhadap Anak

Sejarah mencatat dan membuktikan bahwa anak adalah pewaris dan pembentuk masa depan bangsa. Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak anak, serta memegang teguh prinsip-prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghormati pandangan/pendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.26

Dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, yang dijadikan kriteria untuk menentukan pengertian anak pada umumnya didasarkan kepada batas usia tertentu. Namun demikian, karena setiap bidang ilmu dan lingkungan masyarakat

Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang diartikan dengan anak-anak adalah seseorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Pengertian yang dimaksud merupakan pengertian yang sering kali dijadikan pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak.

26

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Sejarah Komisi Nasional Perlindungan Anak,

2011,

(27)

mempunyai ketentuan tersendiri sesuai dengan kepentingannya masing-masing, maka sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan dalam menentukan batas usia seseorang dikategorikan sebagai seorang anak.

Masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa anak-anak dan dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas usia semata-mata melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan sosial dalam pergaulan hidup masyarakat.

Begitu juga dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara anak dan dewasa tidak didasarkan pada batas usia. Bahkan tidak dikenal adanya pembedaan antara anak dan dewasa sebagaimana diakui dalam pengertian hukum adat. Dalam ketentuan hukum Islam hanya mengenal perbedaan antara anak-anak (belum balig dan balig).

Ditinjau dari aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase perkembangan kejiwaan yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan kriteria seseorang anak, di samping ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya. Dalam fase-fase perkembangan yang dialami seorang anak, Zakiah Daradjat27

1. Masa kanak-kanak, terbagi dalam: menguraikan bahwa:

a. Masa bayi, yaitu masa seseorang anak dilahirkan sampai umur dua tahun.

b. Masa kanak-kanak pertama, yaitu antara usia 2-5 tahun. c. Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara 5-12 tahun.

27

(28)

d. Masa remaja, antara usia 13-20 tahun. e. Masa dewasa muda, antara usia 21-25 tahun.

Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak, memberikan gambaran bahwa dalam pandangan psikologi untuk menentukan batasan terhadap seorang anak nampak adanya berbagai macam kriteria, baik didasarkan pada segi usia maupun dari perkembangan pertumbuhan jiwa. Dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai seorang anak adalah sejak masa bayi hingga masa kanak-kanak terakhir, yaitu sejak dilahirkan sampai usia 12 tahun. Namun karena dikenal adanya masa remaja, maka setelah masa kanak-kanak berakhir seorang anak belum dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa, melainkan baru menginjak remaja (pubertas).

Atas dasar hal tersebut, seseorang dikualifikasikan sebagai seorang anak apabila ia berada pada masa bayi hingga masa remaja awal, antara usia 16-17 tahun.

Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum pidana, akibat hukum terdapat kedudukan seorang anak menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.

Dalam konvensi tentang Hak-Hak Anak, secara tegas dinyatakan bahwa: “For the purposes of the convention, a child means every human being below the age of 18 years unless, under the law applicable to the the child, majority is

attained earlier”.28

28

(29)

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, merumuskan pengertian anak sebagai berikut:

“Anak adalah seorang yang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”

Penjelasannya diuraikan lebih lanjut bahwa batas umur 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

Dari kajian aspek hukum pidana, persoalan untuk menentukan kriteria seorang anak walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia, namun apabila diteliti beberapa ketentuan dalam KUHP yang mengatur masalah batas usia anak, juga terdapat keanekaragaman:

a. Seseorang yang dikategorikan berada di bawah umur atau belum dewasa apabila ia belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 45 KUHP).29

b. Batas kedewasaan apabila sudah mencapai umur 17 tahun (Pasal 283 KUHP).

c. Batas umur dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun (Pasal 287 KUHP).

29

(30)

Dari ketiga ketentuan tersebut, apabila diterapkan terhadap persoalan pertanggungjawaban pidana maka yang dikategorikan sebagai anak (di bawah umur) adalah apabila belum mencapai usia 16 tahun. Hal inilah yang membedakan keadaan seseorang termasuk dalam kategori sebagai seorang anak atau seseorang yang telah dewasa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.30 Batas usia tersebut sejalan dengan penentuan seorang anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut, anak didik pemasyarakatan, baik anak pidana, anak negara maupun anak sipil adalah anak binaan yang belum mencapai usia 18 tahun. Begitu juga menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.31

(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Konsep KUHP menentukan usia 18 tahun sebagai batas pertanggungjawaban bagi seorang anak. Secara tegas Pasal 113 Konsep KUHP tahun 2012 menyatakan:

30

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

31

(31)

(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur

antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan

tindak pidana.32

Dikategorikan seorang anak di bawah umur apabila seorang anak berada di

antara usia 12 tahun sampai 21 tahun. Namun dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang dibentuk pada periode selanjutnya secara umum membatasi

kategori seorang anak pada usia di bawah 18 tahun.

Menurut Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa: “Perlindungan anak

adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.

Istilah “perlindungan anak” (child protection) digunakan dengan secara

berbeda oleh organisasi yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Istilah

tersebut mengandung arti perlindungan dari kekerasan, abuse, dan eksploitasi.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, perlindungan anak mengupayakan agar

setiap hak sang anak tidak dirugikan. Perlindungan anak bersifat melengkapi

hak-hak lainnya dan menjamin bahwa anak-anak akan menerima apa yang mereka

butuhkan agar supaya mereka bertahan hidup, berkembang dan tumbuh.

32

(32)

Perlindungan anak mencakup masalah penting dan mendesak, beragam dan

bervariasi tingkat tradisi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.33

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan Komitmen negara dalam perspektif kenegaraan adalah untuk melindungi

warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin

dalam kalimat: “... Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah

kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu ...”.

Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana

disebutkan dalam alinea ke-IV UUD 1945 tersebut, selanjutnya dijabarkan Bab

XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Khusus untuk perlindungan anak, Pasal

28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dari

diskriminasi.

33

UNICEF, Perlindungan Anak: Sebuah Buku Panduan bagi Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, 2004,

(33)

dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Indonesia yang berkualitas,

berakhlak mulia, dan sejahtera.34

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat “Prinsip

Umum Perlindungan Anak” yang harus menjadi dasar bagi setiap negara dalam

menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain:35

a. Prinsip Nondiskriminasi

Semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus

diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini sangat

jelas, memerintahkan kepada Negara-Negara Pihak untuk tidak sekali-kali

melakukan praktik diskriminasi terhadap anak dengan alasan apapun. Dengan

demikian, siapa pun di negeri ini tidak boleh memperlakukan anak dengan

memandang ia berasal dari aliran atau etnis apa pun.

b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of the Child)

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.

34

Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

35

(34)

c. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (the Right to Life, Survival and Development)

Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.

Dengan kata lain, negara tidak boleh membiarkan siapa pun, atau institusi mana pun, dan kelompok masyarakat mana pun mengganggu hak hidup seorang anak.

Hal demikian juga berlaku untuk pemenuhan hak tumbuh dan berkembang. Tumbuh menyangkut aspek fisik, dan berkembang menyangkut aspek-aspek psikis. Implementasi prinsip ini berarti negara melalui instrumen regulasi nasional maupun institusi nasional yang dimiliki harus mendorong tumbuh kembang anak secara optimal. Jangankan melakukan eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi, pengabaian pun sangat dilarang karena akan mengganggu tumbuh kembang anak.

d. Prinsip Penghargaan Terhadap Pendapat Anak (Respect for the Views of the Child)

(35)

pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif36

2. Jenis Data dan Sumber Data

yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen disebabkan karena penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa

peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

36

(36)

Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan

undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan

seterusnya.37

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya

adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.38

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan

menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori

hukum pidana khususnya tentang penelantaran anak. Analisis secara deduktif

artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya.

Analisis secara induktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan

yang berlaku di Indonesia tentang Perlindungan Anak yang dijadikan pedoman

untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang

diperoleh dari penelitian.

37

Ibid, hlm. 52 38

(37)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini bertujuan untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan skripsi ini terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan anak dan perlindungan terhadap anak.

Bab II Perlindungan Terhadap Anak yang Mengalami Penelantaran dari Perspektif Hukum Nasional Indonesia

(38)

Bab III Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Secara umum bab ini terdiri atas 3 sub-bab yaitu: sub-bab pertama membahas tentang anak korban penelantaran anak, yang terdiri atas 2 pembahasan yaitu bentuk-bentuk penelantaran anak dan faktor-faktor penyebab penelantaran anak. Sub-bab kedua tentang aspek hukum pidana terhadap penelantaran anak dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Tentang Perlindungan Anak dan sub-bab ketiga membahas tentang penerapan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Tentang Perlindungan Anak yang terbagi atas 2 bagian yaitu contoh kasus dan analisis kasus penelantaran anak.

Bab IV Kesimpulan dan Saran

(39)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MENGALAMI PENELANTARAN DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

INDONESIA

A. Penelantaran Anak Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bila dikaitkan dengan hukum nasional Indonesia, sebenarnya masalah

penelantaran anak sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP). Pengaturan di dalam KUHP yang berhubungan dengan penelantaran

anak adalah sebagai berikut:

a) Pasal 304 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Yang dihukum menurut pasal ini ialah orang yang sengaja menyebabkan

atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau

karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkan anaknya dalam keadaan

sengsara, demikian pun wali terhadap anak peliharaannya.39

b) Pasal 305 KUHP

“Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan

39

(40)

diri daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”

“Menaruhkan anak” = membuang anak kecil artinya meninggalkan anak kecil yang belum berumur 7 tahun di suatu tempat, sehingga dapat ditemukan oleh orang lain dengan tidak mengetahui siapa orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggung jawab atas anak itu, dan boleh dilakukan oleh siapa saja.40

c) Pasal 306 KUHP

(1) Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan.

(2) Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Luka berat atau luka parah ialah antara lain41

1. Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut.

:

2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. 3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera.

4. Kudung (romping) dalam teks bahasa Belandanya ‘verminking’, cacat sehingga jelek rupanya karena ada sesuatu anggota badan yang putus. 5. Lumpuh (verlamming).

6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu.

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

40

R. Soesilo, op.cit., hlm. 224. 41

(41)

Selain dari 7 macam tersebut di atas menurut yurisprudensi termasuk pula segala luka yang dengan kata sehari-hari disebut ‘luka berat’.

d) Pasal 307 KUHP

“Jika yang melakukan kejahatan berdasarkan pasal 305 adalah bapak atau ibu dari anak itu, maka pidana yang ditentukan dalam pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan sepertiga.”

Perbedaan Pasal 305 dengan Pasal 307 adalah Pasal 305 mengancam hukuman kepada siapa saja yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedangkan Pasal 307 menghukum bapak atau ibu yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan anak dalam kesengsaraan, sedang mereka wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada anak tersebut.

e) Pasal 308 KUHP

“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri dari padanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.”

Yang dihukum di sini ialah seorang ibu, baik kawin maupun tidak, yang dengan sengaja membuat anaknya pada waktu melahirkan atau tidak beberapa lama sesudah melahirkan karena takut ketahuan, bahwa ia sudah melahirkan anak.42

42

(42)

Aturan-aturan dalam KUHP memiliki keterbatasan dalam memberantas

penelantaran anak. Apabila dicermati lebih lanjut, di dalam pasal-pasal KUHP tersebut tidak terdapat satu pasal pun yang memberikan perlindungan kepada

korban, khususnya anak yang diterlantarkan. Akibat negatif adanya sistem hukum yang demikian adalah anak yang menjadi korban penelantaran tidak terlindungi hak-haknya.

Keterbatasan dalam ketentuan yang terdapat dalam KUHP maka dilakukan pembaharuan pasal-pasal yang terkandung di dalamnya. Dibentuklah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan diharapkan dapat menjadi acuan dalam memberantas tindak pidana penelantaran anak.

Pengaturan mengenai kejahatan penelantaran anak secara khusus diatur di dalam bab mengenai Tindak Pidana Menelantarkan Orang, terdiri atas 5 pasal.

a) Pasal 532 RUU KUHP Tahun 2012

(1) Setiap orang yang mengakibatkan atau membiarkan orang dalam keadaan terlantar, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian yang diadakannya wajib memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang dalam keadaan terlantar tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh seorang pejabat yang mempunyai kewajiban untuk merawat atau memelihara orang terlantar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Kategori III dan banyak Kategori IV.

(3) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan:

(43)

b. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diterlantarkan.

(4) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan:

a. pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang yang diterlantarkan; atau

b. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diterlantarkan.

Berdasarkan ketentuan ini, hakim perlu meneliti tiap-tiap kejadian, apakah hubungan antara tertuduh dan orang yang berada dalam keadaan terlantar memang dikuasai oleh hukum atau perjanjian yang mewajibkan tertuduh memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang terlantar tersebut.43

b) Pasal 533 RUU KUHP Tahun 2012

(1) Setiap orang yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun dengan maksud supaya ditemukan orang lain, sehingga dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan:

a. pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada anak yang ditinggalkan; atau b. pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan

tersebut mengakibatkan matinya anak yang ditinggalkan.

Bila rumusan Pasal 533 ayat (1) dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari: 1. setiap orang.

2. yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun. 3. dengan maksud supaya ditemukan orang lain.

4. dapat melepaskan tanggung jawab atas anak tersebut.

43

(44)

c) Pasal 534 RUU KUHP Tahun 2012

“Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, maksimum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 533 dikurangi ½ (satu per dua).” Ketentuan ini memuat peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seseorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan.44

B. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 Ayat (1), fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas berarti anak belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial menjadi kewajiban baik dari orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak terutama aspek kesejahteraannya. Dengan dipenuhi aspek kesejahteraannya, maka anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus yang

44

(45)

dapat diharapkan sebagai tiang dan fondasi orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.45

a) Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Pengaturan di dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut:

“Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar.”

Menurut Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1984, terdapat beberapa karakteristik atau ciri-ciri anak terlantar yaitu:

a. Tidak memiliki ayah, karena meninggal (yatim), atau ibu karena meninggal tanpa dibekali secara ekonomis untuk belajar, atau melanjutkan pelajaran pada pendidikan dasar.

b. Orang tua sakit-sakitan dan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Penghasilan tidak tetap dan sangat kecil serta tidak mampu membiayai sekolah anaknya.

c. Orang tua yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap baik itu rumah sendiri maupun rumah sewaan.

d. Tidak memiliki ibu dan bapak (yatim piatu), dan saudara, serta belum ada orang lain yang menjamin kelangsungan pendidikan pada tingkatan dasar dalam kehidupan anak.

45

(46)

Hak-hak anak merupakan bagian integral dari Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan peranan negara, maka tiap negara mengemban kewajiban yaitu melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hak-hak anak. Berdasarkan kewajiban negara dimaksud maka sistem kesejahteraan anak dan keluarga diimplementasikan dalam kerangka kebijakan yang sifatnya berkesinambungan dari tingkat makro sampai mikro.46

b) Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Hak-hak anak yang berkaitan dengan perlindungan penelantaran anak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah sebagai berikut:

“Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.”

Asuhan ditujukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar dan anak terlantar, dan bentuknya dapat berupa:

(1) Penyuluhan, bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan, (2) Penyantunan dan pengentasan anak,

(3) Pemberian/peningkatan derajat kesehatan, (4) Pemberian/peningkatan kesempatan belajar, dan (5) Pemberian/peningkatan keterampilan.47

c) Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam

kandungan maupun sesudah dilahirkan.”

46

Mohammad Taufik Makarao, Weny Bukamo, dan Syaiful Azri, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 30.

47

(47)

Menurut W.J.S. Poerwadarminta, bahwa kata perlindungan mengandung

arti: perbuatan, pertolongan, penjagaan kepada orang lain, misalnya memberi

pertolongan kepada orang yang lemah.48

d) Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya

dengan wajar.”

Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik dan

sosial.49

e) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

“Dalam keadaaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak

mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan.”

Yang dimaksud dengan keadaan yang membahayakan adalah keadaan yang

sudah mengancam jiwa manusia baik karena alam maupun perbuatan manusia.50

C. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,

48

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), hlm. 600.

49

Penjelasan Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

50

(48)

hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia.51

Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus

mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang

baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Hak

asasi manusia meliputi semua yang dibutuhkan untuk pembangunan manusia

seutuhnya dan hukum positif mendukung pranata sosial yang dibutuhkan untuk

pembangunan seutuhnya tersebut.52

a) Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Eksistensi sebuah hak asasi adalah mutlak

dan tidak dapat ditanggalkan, memberikan sebuah benteng pertahanan terakhir

melawan pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Pengaturan di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang berkaitan

dengan penelantaran anak adalah sebagai berikut:

(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan bentuk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia.53

51

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

52

Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, op.cit., hlm. 11. 53

(49)

Sesungguhnya keseluruhan pasal yang ada di dalam Undang-Undang Hak

Asasi Manusia merupakan bentuk perlindungan terhadap anak, oleh karena anak

adalah manusia. Undang-Undang ini juga menyebutkan pasal-pasal yang secara

khusus mengatur tentang hak-hak anak.

Hak-hak anak yang berkaitan dengan perlindungan penelantaran anak dalam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

b) Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

“Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

dan negara.”

Orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau

ayah dan/atau ibu angkat.

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri,

atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau

keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat

ketiga.

Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial

dan/atau organisasi kemasyarakatan.

c) Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

“Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan

hidup dan meningkatkan taraf hidupnya.”

Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir

(50)

d) Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

“Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Frasa “wali” artinya orang atau badan hukum yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orangtua.54

D. Penelantaran Anak Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan

bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa

aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

54

(51)

sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa, “Setiap orang berhak

mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dilahirkan sebagai bentuk

pembaharuan hukum yang melindungi kelompok rentan atau tersubordinasi di

wilayah domestik. Filosofi Undang-Undang ini semestinya menjadi pegangan

dalam menggunakan dan mengimplementasikan Undang-Undang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 memang mencakup suami, istri, anak, dan setiap orang yang ada

dalam rumah tangga, namun ruh implementasinya mengacu pada ketimpangan

relasi antara pelaku dengan korban. Penelantaran rumah tangga menjadi potensi

tinggi kriminalisasi korban kekerasan dalam rumah tangga. Penting untuk

memahami cara membaca dan mengimplementasikan undang-undang ini untuk

menciptakan keadilan.

Pengaturan di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga yang berhubungan dengan penelantaran anak adalah sebagai

berikut:

a) Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang- undangan yang lebih mengacu pada bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Jika kita ketahui bahwa seorang anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, mendapatkan suatu perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka yang di

Menurut Erna Dewi, senada dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku penelantaran anak dari segi

Dengan demikian, harus dipahami bahwa meskipun telah ada pearaturan mengenai tindak pidana perdagangan anak yang mana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku yang mempekerjakan anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Pekanbaru masih

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua Menurut Undang Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia, dimana Anak adalah setiap manusia yang

Kesimpulan Upaya perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap korban perdagangan anak sudah diatur dan dijamin dalam sistem perundang- undangan nasional Indonesia pada UUD 1945

ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN PENCABULAN MENURUT NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JERY ANDRIAN