• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi patch natrium diklofenak berbasis polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC) sebagai antiinflamasi lokal pada penyakit periodontal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi patch natrium diklofenak berbasis polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC) sebagai antiinflamasi lokal pada penyakit periodontal"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI

PATCH

NATRIUM DIKLOFENAK

BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL

SELULOSA (HPMC) DAN NATRIUM KARBOKSI

METIL SELULOSA (NaCMC) SEBAGAI

ANTIINFLAMASI LOKAL PADA PENYAKIT

PERIODONTAL

SKRIPSI

DELVINA GINTING

1110102000058

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

FORMULASI

PATCH

NATRIUM DIKLOFENAK

BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL

SELULOSA (HPMC) DAN NATRIUM KARBOKSI

METIL SELULOSA (NaCMC) SEBAGAI

ANTIINFLAMASI LOKAL PADA PENYAKIT

PERIODONTAL

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

DELVINA GINTING

1110102000058

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah benar hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan benar.

Nama NIM

Tanda tangan

Tanggal

: : :

:

Delvina Ginting 1110102000058

(4)

iv Nama : Delvina Ginting NIM : 1110102000058 Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal

Disetujui oleh

Pembimbing I

Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt NIP. 198310282009012008

Pembimbing II

(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Delvina Ginting NIM : 1110102000058 Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PENGUJI

Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt

(6)

vi Nama : Delvina Ginting Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal

Telah dibuat sediaan mukoadhesif patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai sediaan antiinflamasi lokal pada penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch

natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC). Patch dibuat dalam 3 formula F1, F2, dan F3 dengan memvariasikan perbandingan konsentrasi HPMC:NaCMC (2% b/b) berturut-turut adalah 2:1, 1:1, dan 1:2. Patch dibuat dengan metode solvent casting. Patch yang telah dibuat menunjukkan bahwa ketiga patch dapat melekat dipermukaan membran gusi sapi dengan waktu tinggal yaitu 100 menit (F1), 101,67 menit (F2), dan 90 menit (F3). Persen kumulatif disolusi natrium diklofenak pada jam kedua dari patch F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 72,46±1,78%, 90,12±0,82%, dan 96,68±1,66%. Persen kumulatif difusi natrium diklofenak pada jam kedua dari patch F1, F2, dan F3 berturut-turut adalah 16,31±0,71%, 17,47±1,84%, dan 26,51±4,38%.

(7)

vii

ABSTRACT

Name : Delvina Ginting Program Study : Pharmacy

Title : Formulation of Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) and Sodium Carboxy Methyl Cellulose (NaCMC) Based Diclofenac Sodium Patch as Local Anti-Inflammatory in Periodontal Disease

Mucoadhesive patches containing diclofenac sodium have been made as local anti-inflammatory in periodontal disease. The objectives of this research were to formulate and to study characteristic of the resulting hydroxy propyl methyl cellulose (HPMC) and sodium carboxy methyl cellulose (NaCMC) based diclofenac sodium patch. Patches were formulated in three formulas termed F1, F2 and F3 by varying the concentration ratio of HPMC:NaCMC (2% w/w) in the formula 2:1, 1:1, and 1:2, respectively. Patches were prepared by solvent casting method. In vitro residence time showed that all formulas patch can be attachted to the mucosa gingival bovine with the residence time were 100 minutes (F1), 101,67 minutes (F2), and 90 minutes (F3). Cumulative dissolution of diclofenac sodium after two hours from F1, F2 and F3 were 72,46±1,78%, 90,12±0,82%, and 96,68±1,66%., respectively. Cumulative diffusion of diclofenac sodium after two hours from F1, F2 and F3 were 16,31±0,71%, 17,47±1,84%, and 26,51±4,38%, respectively.

(8)

viii

Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan

skripsi yang berjudul “Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) dan Natrium Karboksi Metil Selulosa

(NaCMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal pada Penyakit Periodontal” bertujuan

untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan

skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena

itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Sabrina, M.Farm., Apt., selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran,

dan dukungan dalam penelitian ini.

2. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.

4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu

pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.

5. Kedua orang tua, ayahanda tersayang Robinson Ginting, S.E. dan ibunda

tercinta Jusmiati, S. Pd. yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tidak

pernah putus dan dukungan baik moril maupun materil. Tidak ada apapun di

dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang

telah kalian berikan kepada anakmu, semoga Allah selalu memberikan

keberkahan, kesehatan, keselamatan, perlindungan, cinta, dan kasih sayang

(9)

ix

6. Adik dan kakakku tersayang Royi Aidiltra Ginting dan Delovita Ginting S.Si

yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan sehingga penelitian ini

dapat berjalan dengan lancar.

7. Briptu Muhaitsan Sulaksono S.H. atas segala pengertian, semangat, perhatian,

dan bantuannya.

8. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan

kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang

amat besar.

9. Kakak-kakak laboran FKIK, ka Eris, ka lisna, ka Liken, Mba Rani, ka Tiwi,

ka Lilis, ka Suryani, dan ka Rachmadi atas dukungan dan kerjasamanya

selama kegiatan penelitian.

10. Adina S.M. Talogo, Metharezqi Suci Arsih, Liana Puspita, Mayta Ravika,

Nirmala Kasih, Yeyet Durotul, dan Syarifatul Mufidah serta teman-teman

laboratorium yang telah banyak memberi semangat dan kebersamaannya,

terima kasih atas kerjasama dalam penelitian ini.

11. Teman teman seperjuangan farmasi angkatan 2010 atas kebersamaan kita.

12. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun

penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata,

penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak

yang telah membantu saya dalam penelitian ini.

Ciputat, 13 Mei 2014

(10)

x

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Delvina Ginting NIM : 1110102000058 Program Studi : Farmasi

Fakultas Jenis Karya

: :

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul

FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK BERBASIS POLIMER

HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC) DAN NATRIUM KARBOKSI METIL SELULOSA (NaCMC) SEBAGAI ANTIINFLAMASI

LOKAL PADA PENYAKIT PERIODONTAL

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 13 mei 2014

Yang menyatakan,

(11)

xi HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... DAFTAR ISI ...

2.2 Anatomi Mukosa Rongga Mulut………..

2.3 Gingiva……….

2.4 Mukoadhesif………

2.5 Patch……….

2.6 Natrium Diklofenak ……….

2.7 Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) ……….

2.8 Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC)………

2.9 Poliuretan………..

BAB 3 METODE PENELITIAN...

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian………...

(12)

xii

3.2.2 Bahan………...

3.3. Prosedur Kerja………..

3.3.1 Formula Patch………..

3.3.1.1 Preparasi Cairan Pembentuk Film (CPF) ………

3.3.1.2 Preparasi Patch……….

3.3.2 Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 6,8 ………

3.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi………..

3.3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ( maks)………….

3.3.3.2 Pembuatan Larutan Standar Natrium Diklofenak………

3.3.4 Evaluasi Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF)………….

3.3.5 Organoleptis Film……….

3.3.6 Pengambilan Sampel………

3.3.6.1 Pengukuran Bobot Sampel...………

3.3.6.2 Pengukuran Ketebalan Sampel………..

3.3.6.3 Pengukuran Kandungan Natrium Diklofenak…….………….

3.3.7 Evaluasi Patch………..

3.3.7.1 Uji Pelipatan……….

3.3.7.2 Pengukuran pH Permukaan………..

3.3.7.3 Penetapan Kadar Air………..………...

3.3.7.4 Uji Derajat Pengembangan (Swelling Index Studies)………...

3.3.7.5Uji Waktu Tinggal (in vitro residence time)………

3.3.7.6 Uji Kemampuan Disolusi Zat Aktif………..

3.3.7.7 Uji Kemampuan Difusi Zat Aktif……….

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN………..

4.1 Formulasi Patch………

4.2 Karakteristik Cairan Pembentuk Film (CPF)………

4.3 Organoleptis………..

4.4 Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel ...……….

(13)

xiii

4.9 Derajat Pengembangan………...………..

4.10 Kemampuan Disolusi Natrium Diklofenak………

4.11 Kemampuan Difusi Natrium Diklofenak………..

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………..

5.1 Kesimpulan………...

5.2 Saran……….

DAFTAR PUSTAKA……….

LAMPIRAN………

36

38

40

45

45

45

46

(14)

xiv

Halaman

Tabel 3.1.

Tabel 4.1.

Tabel 4.2.

Tabel 4.3.

Tabel 4.4.

Tabel 4.5.

Tabel 4.6.

Tabel 4.7.

Tabel 4.8.

Tabel 4.9

Formula Patch Natrium Diklofenak………...

Viskositas Cairan Pembentuk Film………...

Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel …...…………..

Kadar Air Patch……….

Derajat Pengembangan Patch dalam Medium Buffer Fosfat

pH 6,8………

Jumlah Kumulatif Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan

Patch………..

Fluks Disolusi Natrium Diklofenak………... Jumlah Kumulatif Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan

Patch………...

Fluks Difusi Natrium Diklofenak………...

Jumlah Natrium Diklofenak yang Berdifusi dihitung………... 24

32

34

35

37

39

40

41

43

(15)

xv

Keadaan Gingivitis dan Periodontitis………...

Anatomi Mukosa Rongga Mulut………..

Jenis Epitel pada Jaringan Periodontal……….

Dua Tahap dalam Proses Mukoadhesif………

Struktur Kimia Natrium Diklofenak……….

Grafik Derajat Pengembangan Patch………..……

Grafik Persentase Kumulatif Difusi Natrium Diklofenak..…..

Fluks Difusi Masing-Masing Formula……….

Grafik Persentase Kumulatif Disolusi Natrium Diklofenak …

(16)

xvi

Gambar Alat dan Bahan Penelitian…..………

Gambar Evaluasi Waktu Tinggal……….

Gambar Evaluasi Difusi Zat Aktif………

Gambar Rangkaian Alat Disolusi ………

Gambar Uji Swelling Index…………....………..

Data Kestabilan bobot………..………

Grafik Kestabilan Bobot………..………

Scanning Panjang Gelombang Maksimum Natrium

Diklofenak………... Data Absorbansi Kurva Standar Natrium Diklofenak..……

Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak…………...…………

Bobot, Ketebalan, dan Kandungan Natrium Diklofenak

pada Sampel yang Digunakan………..

Daya Tahan Lipatan dan pH Permukaan………..…

Nilai Viskositas Cairan Pembentuk Film……….

Uji Statistik ANOVA Viskositas Cairan Pembentuk Film..

Kadar Air Patch………

Derajat Pengembangan……….

Data Uji Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 1……….

Data Uji Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 2……….

Data Uji Difusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

Formula 3……….

Data Uji Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch Formula 1……….

Data Uji Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch

(17)

xvii

Data Uji Disolusi Natrium Diklofenak dari Sediaan Patch Formula 3………. Data Statistik Persentase Difusi Natrium Diklofenak…….. Data Statistik Fluks Difusi Natrium Diklofenak…………..

Data Statistik Persentase Disolusi Natrium Diklofenak…

Data Statistik Fluks Disolusi Natrium Diklofenak….……..

Contoh Perhitungan Persentase Difusi Sampel 1 pada F1...

Contoh Perhitungan Fluks Difusi pada F1 jam keenam…...

Contoh Perhitungan Persentase Disolui Sampel 1 pada F1.

Contoh Perhitungan Fluks Disolusi pada F1 jam keenam...

Sertifikat Analisis Natrium Diklofenak………

Sertifikat Analisis HPMC……….

(18)

1

1.1 Latar Belakang

Penyakit periodontal diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar

yaitu gingivitis dan periodontitis. Gingivitis adalah kondisi reversible

ditandai dengan peradangan dan pendarahan pada tepi gingiva. Jika

gingivitis tidak dapat diobati maka akan berlanjut menjadi periodontitis

yaitu keadaan dimana jaringan periodontal mengalami kerusakan secara

irreversible (Clarkson et al., 2013 dan National Institutes of Health, 2011).

Untuk mencegah keadaan yang lebih buruk maka gingivitis harus diobati

secara cepat dan tepat. Terapi untuk pengobatan gingivitis ditujukan

terutama untuk mengurangi faktor etiologi dan menghilangkan inflamasi

(Manjusha et al., 2011).

Sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa inhibitor produksi

prostaglandin, seperti obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID), bisa

menghambat proses kehilangan tulang akibat penyakit periodontal. Data dari

hewan coba dan penelitian pada manusia juga mendukung konsep ini,

dimana menunjukkan bahwa obat NSAID dapat mengurangi inflamasi

gingiva dan mengurangi resorpsi tulang alveolar (Ahmed et al., 2009).

Hampir semua obat golongan NSAID memiliki efek samping terhadap

lambung dan duodenum (Wongso, 1996). Penyebab kematian akibat dari

pemakaian NSAID kebanyakan karena perdarahan lambung terutama pada

pasien usia lanjut (Wongso, 1996).

Salah satu NSAID yang terkuat antiradangnya dan berasal dari turunan

fenil asetat adalah diklofenak (Tjay, 2002). Selain permasalahan yang sering

ditimbulkan pada saluran cerna, natrium diklofenak memiliki waktu paruh

yaitu 1,9 jam dan mencapai sekitar 60% dalam darah (Dipiro et al., 2008).

Hal ini mempengaruhi frekuensi pemberian natrium diklofenak kepada

pasien. Dimana semakin sering frekuensi pemberian obat maka semakin

berkurang tingkat kepatuhan pasien. Untuk menghindari berbagai

permasalahan natrium diklofenak maka dapat dirancang suatu sediaan lokal

(19)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang dapat menghantarkan obat langsung ke tempat aksi adalah sediaan

patch.

Patch terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan utama mengandung

polimer yang adhesif dilapisi dengan lapisan backing yang impermeable

(Koyi dan Arsyad, 2013). Salah satu kelompok polimer yang memiliki sifat

mukoadhesif adalah kelompok polimer hidrofilik. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Prabhakar Prabhu et al. (2011) dan Semalty et al. (2008)

yang memformulasikan sediaan patch dengan berbagai kombinasi polimer,

dihasilkan bahwa formulasi dengan kombinasi polimer hidroksi propil metil

selulosa (HPMC) dan natrium karboksi metil selulosa (NaCMC) dianggap

sebagai formulasi terbaik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wardana

(2013) dan Fitriyah (2013) dihasilkan bahwa polimer HPMC dan NaCMC

menghasilkan film dengan karakteristik yang berbeda. film NaCMC

menunjukkan derajat pengembangan yang lebih tinggi daripada film HPMC.

Selain itu, pelepasan obat dari matriks film NaCMC lebih cepat

dibandingkan film HPMC. Namun, kemudahan NaCMC berdisolusi di

dalam air menyebabkan kemungkinan lepasnya natrium diklofenak dari film

NaCMC ke rongga mulut lebih besar serta waktu tinggal sediaan di gingiva

lebih sebentar dibandingkan dengan film HPMC. Beberapa perbedaan

karakteristik film yang dihasilkan kedua polimer ini menjadi dasar

penggunaan mereka secara kombinasi sebagai polimer patch yang diduga

mampu menghasilkan suatu film dengan karakteristik yang lebih baik seperti

derajat pengembangan dan jumlah zat aktif yang berdifusi natrium

diklofenak yang lebih tinggi. Pada penelitian ini digunakan tegaderm

sebagai backing membran yang berfungsi untuk mencegah penetrasi zat

aktif keluar dan tercampur dengan saliva. Berdasarkan hasil pengujian

kebocoran membran tegaderm yang dilakukan oleh Wardana (2013)

tegaderm dapat menahan difusi zat aktif ke saliva.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibuat

suatu sediaan lokal yang berupa mukoadhesif patch. Patch yang akan dibuat

merupakan patch yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan utama yang

mengandung zat aktif natrium diklofenak dalam matriks kombinasi polimer

HPMC dan NaCMC dengan penambahan lapisan backing tegaderm. Selain

(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap waktu tinggal patch pada membran gusi sapi, disolusi natrium

diklofenak secara in vitro menggunakan metode dayung putar dan difusi

natrium diklofenak secara in vitro dengan menggunakan franz diffusion cell.

1.2 Perumusan Masalah

a. Bagaimana sifat adhesifitas patch yang mengandung kombinasi polimer

HPMC dan NaCMC pada membran mukosa gusi?

b. Bagaimana kemampuan difusi dan disolusi natrium diklofenak dari

sediaan patch?

1.3 Hipotesis

a. Lapisan yang terbentuk dari kombinasi polimer HPMC dan NaCMC

yang mengandung natrium diklofenak dapat melekat pada lapisan

mukosa lebih dari 7 jam.

b. Natrium dikloflenak pada patch dengan kombinasi polimer HPMC dan

NaCMC mampu berdifusi dari sediaan patch.

c. Natrium diklofenak dikloflenak pada patch dengan kombinasi polimer

HPMC dan NaCMC mampu terdisolusi dari sediaan patch.

1.4 Tujuan

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis

kombinasi polimer HPMC dan NaCMC.

1.5 Manfaat

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang karakteristik

patch yang menggunakan kombinasi polimer HPMC dan NaCMC sebagai

matriks dalam pengembangan sediaan patch natrium diklofenak yang

digunakan secara lokal untuk penanganan inflamasi pada penyakit

(21)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal merupakan penyakit mulut yang paling umum

terjadi dan menjadi penyebab utama kehilangan gigi pada orang dewasa.

Akumulasi plak gigi oleh mikroba merupakan faktor etiologi utama penyakit

periodontal maupun karies gigi. Kerentanan terhadap penyakit periodontal

juga dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan host terhadap infeksi bakteri

dan faktor risiko lain seperti kalkulus dan merokok (Clarkson et al., 2013).

Infeksi periodontal disebabkan oleh bakteri yang mengkolonisasi

permukaan gigi dan jaringan gingiva sekitarnya untuk membentuk plak gigi.

Plak gigi adalah biofilm polimikrobial kompleks. Istilah biofilm digunakan

untuk menggambarkan komunitas mikroba yang menempel pada permukaan

benda mati atau hidup. Bakteri yang tumbuh pada biofilm mengikuti

keadaan permukaan padat di mana mereka berkembang biak dan

membentuk mikrokoloni yang melekat pada matriks polimer ekstraseluler

(Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011).

Jaringan periodontal terdiri dari gingiva, mukosa alveolar,

sementum, ligamen periodontal, dan tulang alveolar. Komponen ini

berfungsi untuk menyokong gigi dalam tulang alveolar (Panagakos FS dan

Robin M. Davies, 2011). Penyakit periodontal akan mempengaruhi jaringan

disekitarnya dan penyangga gigi. Penyakit periodontal diklasifikasikan ke

dalam dua kategori besar yaitu gingivitis dan periodontitis (Clarkson et al.,

2013).

Gingivitis umum terjadi pada populasi anak dan dewasa, merupakan

lesi inflamasi dari jaringan gingiva dan telah terbukti bersifat reversible.

Pencegahan gingivitis merupakan langkah pertama dalam pencegahan

periodontitis. Dengan perlakuan yang tepat, proses ini dapat dibalik dan

jaringan periodontal dapat kembali ke keadaan normal. Karakteristik biofilm

plak yang menginduksi gingivitis adalah: (1) biofilm berada pada margin

gingiva, (2) perubahan warna gingiva, (3) perubahan kontur gingiva, (4)

(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(7) tidak adanya kehilangan perlekatan, (8) tidak adanya keropos tulang, dan

(9) perubahan histologis. Intensitas tanda dan gejala klinis akan bervariasi

antar individu serta bergantung pada bagian gigi yang terinfeksi (Panagakos

FS dan Robin M. Davies, 2011).

Periodontitis adalah reaksi inflamasi pada jaringan sekitar gigi,

biasanya dihasilkan dari perluasan inflamasi gingiva (gingivitis) yang

disebabkan oleh bakteri yang tinggal di biofilm plak pada permukaan gigi

subgingiva. Peradangan ini dapat menyebabkan hilangnya epitel junctional

lama di sulkus normal, sehingga membentuk kantong periodontal.

Selanjutnya jaringan disekitar gigi mengalami kehilangan perlekatan

jaringan ikat, pembentukan cacat antartulang (intrabony), dan akhirnya,

kemungkinan kehilangan gigi dapat terjadi (Andersen, Roger et al., 2007).

Keterangan: Bagian kiri: tanda-tanda klinis dari inflamasi (kemerahan, edema, perdarahan) dan tanda-tanda kehilangan perlekatan periodontal atau kehilangan tulang alveolar tidak jelas. Bagian kanan: Hasil respon inflamasi ditandai dengan kerusakan kolagen dan periodontal serta kehilangan tulang alveolar, dan tanda-tanda klinis dari peradangan.

Gambar 2.1. Keadaan Gingivitis dan Periodontitis [sumber : Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011]

2.2 Anatomi Mukosa Rongga Mulut

Oral mukosa tersusun dari lapisan terluar epitel berlapis. Di bawahnya

terdapat sebuah membran basal, lamina propria diikuti oleh submukosa

(23)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.2. Anatomi Mukosa Rongga Mulut

[sumber : Kaul et al., 2011]

Epitel sebagai lapisan pelindung untuk jaringan di bawahnya, dibagi

menjadi (a) Permukaan nonkeratin ditemukan pada lapisan mukosa dari

langit-langit lunak, permukaan ventral lidah, dasar mulut, mukosa alveolar,

vestibulum, bibir, dan pipi. (b) Epitel keratin ditemukan di palatal keras dan

area nonfleksibel dari rongga mulut. Sel-sel epitel yang berasal dari sel-sel

basal, matang, mengubah bentuk mereka, dan bertambah besar saat bergerak

menuju permukaan (Kaul et al., 2011).

Ketebalan mukosa mulut bervariasi tergantung situsnya: mukosa

bukal memiliki ketebalan 500-800 µm, sementara ketebalan mukosa dari

palatal keras dan lunak, dasar mulut, ventral lidah, dan gingiva memiliki

ukuran sekitar 100-200 µm. Secara umum, permeabilitas mukosa mulut jika

diurutkan sublingual lebih besar dari bukal, dan bukal lebih besar dari

palatal. Urutan peringkat ini didasarkan pada ketebalan relatif dan tingkat

keratinisasi jaringan ini, dimana mukosa sublingual relatif tipis dan

nonkeratin, bukal tebal dan nonkeratin, dan palatal menengah dalam

ketebalan tetapi keratin (Dwivedi et al., 2013).

Terdapat dua rute kemungkinan penyerapan obat melalui epitel

berlapis skuamosa dari mukosa mulut (Dwivedi et al., 2013) :

1) Transeluler (intraseluler, melewati sel).

(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam rongga mukosa mulut, pengiriman obat diklasifikasikan

menjadi tiga kategori :

1) Pengiriman sublingual: terdiri dari administrasi melalui membran dari

permukaan ventral lidah dan dasar mulut. Mukosa sublingual relatif

permeabel, memberikan penyerapan yang cepat dan ketersediaan hayati

yang dapat diterima banyak obat, nyaman, mudah diakses dan umumnya

dapat diterima dengan baik (Singh et al., 2011).

2) Pengiriman bukal: terdiri dari administrasi melalui mukosa bukal,

terutama terdiri dari lapisan pipi. Mukosa bukal kurang permeabel

dibandingkan daerah sublingual, umumnya tidak mampu memberikan

penyerapan yang cepat dan ketersediaan hayati yang baik dibandingkan

administrasi sublingual (Singh et al., 2011).

3) Pengiriman lokal: terdiri dari administrasi melalui semua daerah lain

kecuali dua daerah di atas. Pengiriman lokal ke jaringan rongga mulut

memiliki sejumlah aplikasi, termasuk pengobatan sakit gigi, penyakit

periodontal, infeksi bakteri dan jamur, aphthous, dan stomaitis gigi serta

dalam memfasilitasi perpindahan gigi dengan prostaglandin (Singh et

al., 2011).

2.3 Gingiva

Gingiva adalah jaringan fibrosa berserat, ditutupi oleh epitel keratin,

yang mengelilingi gigi dan berbatasan dengan ligamen periodontal dan

jaringan mukosa mulut (The American Academy of Periodontology, 2001).

Gingiva dengan kuat terikat pada tulang di bawahnya dan terhubung dengan

mukosa alveolar yang terletak pada bagian apikal dalam keadaan tidak

terikat. Perbatasan dua jenis jaringan ini disebut mucogingival junction.

Gingiva terdiri dari gingiva bebas dan gingiva attached (Panagakos FS dan

Robin M. Davies, 2011). Gingiva bebas merupakan bagian dari gingiva yang

mengelilingi gigi dan tidak langsung melekat pada permukaan gigi

sedangkan gingiva attached merupakan bagian gingiva yang kuat, padat,

berbintik, dan terikat erat ke dasar periosteum, gigi, dan tulang (The

American Academy of Periodontology, 2001). Lebar gingiva attached

(25)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2.3. Jenis Epitel pada Jaringan Periodontal

[sumber : Panagakos FS dan Robin M. Davies, 2011]

Gingiva biasanya berwarna merah muda dan tulang alveolar

berwarna merah tua. Warna dapat bervariasi tergantung pigmentasi

fisiologis antar beberapa ras. Ditemukan bahwa daerah gingiva terluas

berada di geraham rahang bawah dan tersempit berada di daerah gigi seri

dan taring yaitu sekitar 1,8 mm. Struktur epitel gingiva sangat mirip dengan

epidermis. Gingiva terdiri dari epitel permukaan dan jaringan ikat dasar

disebut lamina propria. Gingiva terdiri dari tiga jenis epitel yaitu oral,

sulcular, dan junctional. Gingiva mengandung keratin dan epitel skuamosa

bertingkat. Jenis sel utama adalah keratinosit. Terdapat empat lapisan yang

berbeda, yaitu stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, dan

stratum korneum. Tekstur gingiva bervariasi tergantung usia. Pada

umumnya halus pada masa muda, terdapat bintik-bintik pada masa dewasa,

dan menjadi lebih halus pada usia lanjut (Panagakos FS dan Robin M.

Davies, 2011).

2.4 Mukoadhesif

Istilah mukoadhesif umumnya digunakan untuk bahan-bahan yang

mengikat lapisan musin dari membran biologis. Bentuk sediaan ini meliputi

tablet, patch, tape, film, semipadat, dan bubuk. Untuk menjadi polimer

mukoadhesif, polimer harus memiliki beberapa fitur fisikokimia umum

(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1) Hidrofilisitas anion terutama sejumlah kelompok yang dapat membentuk

ikatan hidrogen (Dwivedi et al., 2013).

2) Sifat permukaan yang sesuai untuk membasahi lendir atau mukosa

permukaan jaringan (Dwivedi et al., 2013).

Mekanisme adhesi makromolekul tertentu ke permukaan jaringan

mukosa belum dipahami dengan baik. Mukoadhesif harus tersebar di

substrat untuk memulai kontak yang kuat sehingga meningkatkan kontak

permukaan, mendorong difusi rantai di dalam mukus. Gaya tarikan dan

tolakan akan timbul. Agar mukoadhesif berhasil, kekuatan tarik harus lebih

mendominasi. Setiap langkah dari mekanisme adhesi dipengaruhi oleh sifat

dari bentuk sediaan dan bagaimana sediaan diberikan.

Mekanisme mukoadhesi umumnya dibagi dalam dua langkah:

1) Tahap kontak

Tahap ini ditandai oleh kontak antara bahan mukoadhesif dengan selaput

lendir, disertai dengan penyebaran dan pembengkakan formulasi

selanjutnya memulai kontak lebih dalam hingga menembus lapisan

mukus (Kaul et al., 2011).

2) Tahap konsolidasi

Pada tahap ini bahan mukoadhesif diaktifkan oleh adanya kelembaban.

Sistem moisture plasticizes, yang memungkinkan molekul mukoadhesif

untuk bebas dan terhubung dengan adanya ikatan Van der waals dan

ikatan hidrogen pada lapisan mukus (Kaul et al., 2011).

(27)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terdapat enam teori klasik yang diadaptasi dari studi tentang kinerja

beberapa bahan dan polimer adhesif :

1) Teori elektronik

Mekanisme : Gaya elektrostatik menarik antara glikoprotein jaringan

musin dan bahan bioadhesif. Transfer elektron terjadi antara dua bentuk

lapisan ganda muatan listrik pada permukaan (Kaul et al., 2011).

2) Teori pembasahan

Mekanisme : Kemampuan polimer bioadhesif untuk melakukan

penyebaran dan pengembangan sehingga meningkatkan kontak dengan

selaput lendir. Penyebaran koefisien polimer harus positif. Kontak sudut

antara polimer dan sel-sel harus mendekati nol (Kaul et al., 2011).

3) Teori adsorpsi

Mekanisme : gaya permukaan yang dihasilkan dari ikatan kimia. Gaya

primer kuat dihasilkan oleh ikatan kovalen. Gaya sekunder lemah

dihasilkan oleh ikatan hidrogen dan gaya Van der waals (Kaul et al.,

2011).

4) Teori difusi

Mekanisme : Keterikatan fisik untai musin dan rantai polimer fleksibel.

Untuk difusi dan kekuatan adhesi maksimum, parameter kelarutan

polimer bioadhesif dan glikoprotein mukus harus sama (Kaul et al.,

2011).

5) Teori mekanik

Mekanisme : Adhesi muncul dari keterikatan bahan adhesif cair pada

permukaan kasar yang tidak teratur. Permukaan kasar meningkatkan luas

permukaan untuk interaksi dan peningkatan viskoelastis serta

mengurangi faktor penyebab kegagalan pelekatan (Kaul et al., 2011).

6) Teori fraktur

Mekanisme : Analisis gaya yang dibutuhkan untuk memisahkan dua

permukaan setelah adhesi terbentuk. Gaya ini sering dihitung dalam uji

ketahanan terhadap pecahnya ikatan dengan rasio kekuatan pemisahan

maksimal dan total luas permukaan yang terlibat dalam interaksi

(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Polimer mukoadhesif terdiri dari polimer larut air dan tidak larut

air yang dapat mengembang dan digabungkan menggunakan agen

cross-linking. Polimer harus memiliki polaritas yang optimal agar terjadi

pembasahan yang cukup oleh mukus serta aliran optimal agar adsoprsi dan

interpenetrasi antar polimer dan mukus dapat berlangsung (Yadaf et al.,

2010).

Polimer mukoadhesif yang melekat pada permukaan epitel musin

secara luas dapat dibagi menjadi 3 kelas, yaitu :

1) Polimer yang menjadi lengket ketika berkontak dengan air dan

memperlihatkan sifat bioadhesifitasnya.

2) Polimer yang melekat secara tidak spesifik, melalui interaksi nonkovalen

terutama ikatan elektrostatik (seperti, ikatan hidrogen dan ikatan

hidrofobik).

3) Polimer yang berikatan secara spesifik dengan reseptor di permukaan

(Yadaf et al., 2010).

Polimer mukoadhesif yang ideal memiliki karakteristik sebagai

berikut :

1) Tidak beracun dan harus dapat diserap dari saluran pencernaan.

2) Tidak menyebabkan iritasi pada membran mukosa.

3) Sebaiknya dapat membentuk ikatan nonkovalen yang kuat dengan

permukaan sel epitel musin.

4) Harus melekat cepat pada jaringan dan harus memiliki beberapa daerah

spesifik.

5) Kompatibel dengan obat dan tidak menghambat pelepasan obat.

6) Polimer tidak terurai pada penyimpanan atau selama masa simpan

sediaan.

7) Harga polimer tidak terlalu mahal sehingga bentuk sediaan yang

dihasilkan tetap kompetitif (Yadaf et al., 2010).

Kekuatan bioadhesif polimer dipengaruhi oleh sifat polimer dan sifat

dari lingkungan maupun medium sekitarnya.

1) Faktor terkait polimer

a. Berat molekul

Berat molekul optimal untuk bioadhesi maksimum tergantung pada

(29)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bioadhesif polimer harus memiliki berat molekul minimal 100.000.

Misalnya, polietilen glikol (PEG) dengan berat molekul 20.000,

memiliki kemampuan bioadhesif yang kurang, sedangkan PEG

dengan berat molekul 200.000 dan PEG dengan berat molekul

400.000 memiliki sifat bioadhesif yang lebih baik. Fakta ini

menunjukkan bahwa sifat bioadhesif meningkat dengan semakin

besarnya berat molekul polimer (Yadaf et al., 2010).

b. Konsentrasi polimer aktif

Terdapat konsentrasi optimum polimer bioadhesif untuk

menghasilkan bioadhesi maksimal. Dalam sistem yang mengandung

polimer berkonsentrasi tinggi dan melampaui tingkat optimum akan

menyebabkan kekuatan adhesi turun secara signifikan karena

molekul tergulung menjadi terpisah dari media sehingga rantai yang

digunakan untuk proses interpenetrasi menjadi terbatas (Yadaf et al.,

2010).

c. Fleksibilitas rantai polimer

Hal ini merupakan faktor penting untuk proses interpenetrasi dan

membentuk gulungan. Polimer yang larut dalam air membentuk

ikatan silang, sehingga mobilitas masing-masing rantai polimer

berkurang, dengan demikian panjang rantai efektif yang dapat

menembus ke dalam lapisan mukus berkurang, hal ini akan

mengurangi kekuatan bioadhesif (Yadaf et al., 2010).

d. Konformasi spasial

Selain berat molekul atau panjang rantai, konformasi spasial dari

molekul juga penting. Meskipun dekstran memiliki berat molekul

besar dari 19.500.000, dekstran memiliki kekuatan bioadhesif yang

mirip dengan polietilen glikol dengan berat molekul 200.000.

Konformasi heliks dekstran dapat melindungi gugus aktif pada bahan

bioadhesif, terutama gugus yang bertanggung jawab terhadap sifat

adhesifnya, sedangkan polimer PEG memiliki konformasi linier

(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2) Faktor Lingkungan

a. Lokasi pelekatan

Lokasi pelekatan dari sistem bioadhesi mempengaruhi kekuatan

adhesinya. Kekuatan adhesi meningkat dengan kekuatan saat aplikasi

atau dengan durasi pengaplikasiannya hingga optimal. Tekanan awal

pengaplikasian pada jaringan mukoadhesif efektif dalam menentukan

kedalaman dari saling berpenetrasi. Jika tekanan tinggi diterapkan

untuk jangka waktu yang cukup lama, polimer dapat menjadi

mukoadhesif walaupun polimer tersebut tidak memiliki interaksi

yang menarik dengan mukus (Yadaf et al., 2010).

b. pH

Hal ini dapat mempengaruhi muatan pada permukaan mukus serta

polimer bioadhesif terionisasi tertentu. Mukus akan memiliki

kerapatan muatan yang berbeda bergantung pada pH. Hal ini

dikarenakan perbedaan dalam disosiasi gugus fungsi pada bagian

karbohidrat dan asam amino dari rantaipolipeptida. pH medium juga

penting untuk tingkat hidrasi asam poliakrilat silang, dimana

menunjukkan peningkatan konsisten hidrasi pada pH 4 sampai 7

kemudian mengalami penurunan pada suasana alkali dan

meningkatkan kekuatan ion (Yadaf et al., 2010).

c. Waktu kontak awal

Waktu kontak antara bahan bioadhesif dan lapisan mukus

menentukan derajat pengembangan dan interpenetrasi dari rantai

polimer bioadhesif. Selain itu, kekuatan bioadhesif meningkat

dengan peingkatan waktu kontak awal (Yadaf et al., 2010).

d. Pembengkakan

Hal ini tergantung pada konsentrasi polimer, konsentrasi ion, serta

keberadaan air (Yadaf et al., 2010).

3) Perubahan fisiologis

a. Waktu pergantian musin

Pergantian musin secara normal sangat penting karena dua alasan.

Yang pertama, pergantian musin mengakibatkan adanya batasan

pelekatan dari bahan mukoadhesif pada lapisan mukus. Walaupun

(31)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dapat terlepas akibat pergantian musin. Alasan yang kedua,

pergantian musin menghasilkan senyawa antara yang larut dalam

molekul musin. Molekul tersebut berinteraksi dengan bahan

mukoadhesi sebelum memberi kesempatan untuk berinteraksi

dengan lapisan mukosa. Pergantian musin bergantung pada faktor

lain seperti makanan (Yadaf et al., 2010).

b. Fisikokimia mukus

Fisikokimia dari mukus dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang

diakibatkan suatu penyakit, seperti flu, tukak lambung, infeksi

bakteri dan jamur pada saluran reproduksi wanita (Yadaf et al.,

2010).

2.5 Patch

Patch merupakan suatu bentuk sediaan matriks tipis yang tidak larut

terdiri dari satu atau lebih lapisan atau film polimer yang mengandung obat

dan/atau eksipien lain. Patch dapat mengandung lapisan polimer

mukoadhesif yang berikatan dengan mukosa mulut, gingiva, atau gigi untuk

mengontrol pelepasan obat ke mukosa mulut (pelepasan searah), rongga

mulut (pelepasan searah), atau keduanya (pelepasan dua arah). Patch

dilepaskan dari mulut dan dibuang setelah jangka waktu tertentu. Patch ideal

harus fleksibel, elastis, dan lembut namun cukup kuat untuk menahan

kerusakan akibat aktivitas mulut. Selain itu, patch juga harus menunjukkan

kekuatan mukoadhesif yang baik sehingga dapat bertahan di mulut sesuai

waktu yang diharapkan (Shravan, et al., 2012).

Patch terdiri dari dua tipe yaitu :

1) Tipe matriks (dua arah) : patch dibuat dalam bentuk matriks

mengandung obat, bahan adhesive, dan zat tambahan yang dicampurkan

bersama. Patch dua arah melepaskan obat pada mukosa dan mulut

(Shravan, et al., 2012).

2) Tipe reservoir (searah) : patch dibuat dalam sistem reservoir

mengandung sebuah ruang untuk obat dan zat tambahan terpisah dari

bahan adhesif. Lapisan backing impermeable digunakan untuk

(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bentuk dan hancurnya patch ketika di mulut; dan untuk mencegah

kehilangan obat (Shravan, et al., 2012).

Proses pembuatan patch :

1) Solvent casting method : solvent casting merupakan proses yang banyak

digunakan untuk pembuatan patch. Hal ini dikarenakan prosesnya

mudah dan murah. Biasanya digunakan untuk penelitian skala labor.

Terdiri dari enam langkah :

a. Pembuatan larutan cetak

b. Deaeration larutan (menghilangkan molekul udara dari larutan)

c. Pemindahan larutan ke dalam cetakan sesuai volume yang

dibutuhkan

d. Pengeringan larutan

e. Pemotongan sediaan kering yang mengandung sejumlah obat yang

diinginkan

f. Pengemasan

Reologi larutan cetak akan menentukan derajat pengeringan dan

keseragaman kandungan zat aktif serta penampilan fisik film. Patch

yang terbentuk dari larutan yang mengandung gelembung udara akan

menghasilkan permukaan yang tidak rata dan ketebalan yang heterogen

(Shravan, et al., 2012).

2) Direct milling : pada metode ini, patch dibuat tanpa menggunakan

pelarut. Obat dan eksipien secara mekanis dicampur dengan

penggilingan langsung atau dengan meremas, tanpa adanya cairan.

Setelah proses pencampuran, bahan yang dihasilkan digulung pada

release liner sampai ketebalan yang diinginkan tercapai. Bahan backing

kemudian dilaminasi seperti yang dijelaskan sebelumnya (Shravan, et

al., 2012).

3) Hot melt extrusion : pada metode ini bahan dilelehkan dan kemudian

ditekan melalui sebuah lubang untuk menghasilkan bahan yang

homogen dalam berbagai bentuk seperti butiran, tablet, atau film.

Metode ini telah digunakan untuk pembuatan tablet matriks dengan

pelepasan terkendali, pelet dan butiran serta film yang hancur di mulut

(33)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4) Semisolid casting : pada metode ini, awalnya disiapkan larutan film larut

air pembentuk polimer. Larutan yang dihasilkan ditambahkan ke larutan

polimer tidak larut asam (seperti, selulosa asetat ptalat, selulosa asetat

butirat) yang disiapkan pada ammonium atau NaOH. Kemudiah

sejumlah plasticizer ditambahkan sehingga membentuk massa gel.

Setelah itu massa gel dicetak menjadi film menggunakan heat control

drums (Sharma et al., 2012).

5) Solid dispersion extrusion : pada metode ini digunakan untuk komponen

yang tidak dapat dicampur dengan obat. Selanjutnya dispersi padat

dibentuk menjadi film oleh die (Sharma et al., 2012).

6) Rolling method : dalam metode rolling larutan atau suspensi yang

mengandung obat digulung pada pembawa. Larutan utama air dan

campuran air dan alkohol. Film dikeringkan di roller dan dipotong

sesuai bentuk dan ukuran yang diinginkan (Sharma et al., 2012).

Komposisi utama patch terdiri dari :

1) Zat aktif

Menurut literatur zat aktif yang dapat ditambahkan yaitu 5%-25% b/b

dari berat total polimer. Untuk formulasi yang efektif, dosis obat yang

digunakan harus dalam milligram (kurang dari 20 mg/hari). Obat yang

mengalami first pass metabolism dan obat untuk pasien noncompliant

merupakan obat yang sesuai untuk dibuat dalam bentuk patch

mukoadhesif (R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012).

2) Polimer mukoadhesif

Polimer mukoadhesif digunakan agar perangkat pengiriman obat

melekat pada daerah target dan menghasilkan penghantaran obat yang

maksimal karena dapat kontak dalam waktu yang lama (R. Yogananda

dan Rakesh Bulugondla, 2012).

3) Backing membran

Backing membran yang Impermeable dapat digunakan untuk mengontrol

arah pelepasan obat, mencegah hilangnya obat, dan meminimalkan

perubahan bentuk dan hancurnya device selama waktu aplikasi (R.

(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4) Peningkat penetrasi

Peningkat penetrasi merupakan senyawa yang dapat meningkatkan laju

permeasi pada membran mukosa. Bahan harus aman, tidak toksik, secara

farmakologi dan secara kimia inert, tidak mengiritasi serta nonalergi

(Kaul, et al., 2011).

5) Plasticizer

Merupakan unsur yang penting dalam formulasi film. Sifat mekanis

seperti daya tarik dan elongasi film dapat ditingkatkan menggunakan

plasticizer. Agen ini juga dapat meningkatkan fleksibilitas film dan

mengurangi kerapuhan film. Aliran polimer juga akan lebih baik dengan

penambahan plasticizer (R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012).

6) Zat tambahan lain seperti bahan pengencer, bahan perasa dan pemanis

(R. Yogananda dan Rakesh Bulugondla, 2012).

2.6 Natrium Diklofenak

Natrium diklofenak memiliki nama kimia natrium

2-[(2,6-diklorofenil)amino]fenil]asetat dan rumus molekul C14H10Cl2NNaO2 dengan

berat molekul 318,1 serta memiliki titik lebur pada suhu 280ºC. Natrium

diklofenak berwarna putih atau agak kekuningan, sedikit higroskopis, dan

berbentuk bubuk kristal. Natrium diklofenak sedikit larut dalam air, mudah

larut dalam metanol, larut dalam etanol 96%, sedikit larut dalam aseton

(British Pharmacopoiea, 2009).

Gambar 2.5. Struktur Kimia Natrium Diklofenak [sumber : Sweetman, 2009]

Diklofenak, turunan asam fenilasetat, merupakan golongan NSAID.

Diklofenak sering digunakan terutama dalam bentuk garam natrium untuk

menghilangkan rasa sakit dan peradangan dalam berbagai kondisi

(Sweetman, 2009). Obat antiradang bukan steroid atau yang lazim

(35)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat

radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin

melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (Kartasasmita,

2002).

Pada umumnya dosis oral atau rektal natrium diklofenak adalah

75-150 mg sehari dalam dosis terbagi. Sediaan natrium diklofenak

modified-release tersedia untuk pemberian oral. Diklofenak juga diberikan secara

intramuskular, intravena, dan topikal. Natrium diklofenak digunakan sebagai

larutan tetes mata 0,1% pada sejumlah kondisi (Sweetman, 2009).

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan

lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek

metabolisme lintas pertama (first pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu

paruh singkat yakni 1-3 jam, diklofenak diakumulasi di cairan sinovial yang

menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat

tersebut (Nalfriadi dan Rianto Setiabudy, 2007). Diklofenak dimetabolisme

menjadi 4'- hidroksidiklofenak, 5-hidroksidiklofenak, 3'- hidroksidiklofenak

dan 4',5- di hidroksidiklofenak. Obat ini kemudian diekskresikan dalam

bentuk glukuronida dan konjugat sulfat, terutama dalam urin (sekitar 60%),

dan juga dalam empedu (sekitar 35%), kurang dari 1% diekskresikan

sebagai diklofenak (Sweetman, 2009).

Efek samping yang lazim adalah mual, gastritis, eritema kulit dan

sakit kepala sama seperti semua NSAID, pemakaian obat ini harus

berhati-hati pada pasien tukak lambung. Peningkatan enzim transaminase dapat

terjadi pada 15% pasien dan umumnya kembali ke normal (Nalfriadi dan

Rianto Setiabudy, 2007).

Pemberian diklofenak secara sistemik dikontraindikasikan pada

pasien dengan gangguan hati atau ginjal berat. Selain itu, penggunaan

diklofenak secara intravena dikontraindikasikan pada pasien dengan

gangguan ginjal sedang atau berat, hipovolemia, atau dehidrasi, dan tidak

boleh diberikan secara intravena pada pasien dengan riwayat hemoragik

diatesis, perdarahan serebrovaskuler (termasuk yang dicurigai), atau asma

atau pada pasien yang menjalani operasi dengan risiko tinggi perdarahan

(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.7 Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC)

Hidroksi Propil Metil Selulosa dengan nama lain Benecel MHPC;

hypromellose; E464; HPMC; hypromellosum; Methocel; methylcellulose

propylene glycol ether; methyl hydroxypropylcellulose; Metolose; MHPC;

Pharmacoat; Tylopur; Tylose MO; memiliki berat molekul sekitar

10.000-1.500.000 (Rowe, Paul and Marian, 2009).

Keterangan: R adalah H, CH3, atau CH3CH(OH)CH2

Gambar 2.6. Struktur Kimia HPMC [sumber : Rowe, Paul and Marian, 2009]

HPMC tidak berbau dan berasa, putih atau berserat berbentuk granul

bubuk berwarna putih kekuningan. Larut dalam air dingin, membentuk

larutan koloid kental, praktis tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol

(95%), dan eter, tetapi larut dalam campuran etanol dan diklorometana,

campuran metanol dan diklorometana, serta campuran air dan alkohol.

Beberapa grade dari HPMC larut dalam larutan aseton, campuran aseton dan

propan-2-ol, dan pelarut organik lainnya. Beberapa grade dapat

mengembang dalam etanol. Berbagai macam jenis viskositas tersedia secara

komersial (Rowe, Paul and Marian, 2009).

HPMC sering digunakan sebagai eksipien dalam formulasi farmasi

oral, mata, hidung, dan topikal sebagai bahan bioadhesif, zat penyalut, zat

pendispersi, zat pengemulsi, penstabil emulsi, zat pembentuk film, foaming

agent, membantu proses granulasi, bahan mukoadhesif, pengikat tablet,

peningkat viskositas dan digunakan untuk mengatur kecepatan pelepasan

obat. HPMC juga digunakan secara luas dalam kosmetik dan produk

makanan. HPMC umumnya dianggap sebagai bahan nontoksik dan tidak

menyebabkan iritasi. Mengkonsumsi HPMC oral dengan berlebihan dapat

mengakibatkan efek pencahar. WHO belum menyatakan asupan harian yang

(37)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HPMC tidak bercampur dengan beberapa zat pengoksidasi kuat.

HPMC merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks

dengan garam logam atau ion organik dan tidak membentuk endapan yang

tidak terlarut. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 (Rowe, Paul and Marian,

2009).

2.8 Natrium Karboksi Metil Selulosa (NaCMC)

Natrium Karboksi Metil Selulosa dengan nama lain Akucell;

Aqualon CMC; Aquasorb; Blanose; Carbose D; carmellosum natricum;

Cel-O-Brandt; cellulose gum; Cethylose; CMC sodium; E466; Finnfix;

Glykocellan; Nymcel ZSB; SCMC; sodium cellulose glycolate; Sunrose;

Tylose CB; Tylose MGA; Walocel C; Xylo-Mucine. NaCMC memiliki bobot

molekul 90.000-700.000 dan titik lebur sekitar 227-252ºC (Rowe, Paul and

Marian, 2009).

NaCMC berwarna putih hingga hampir putih, tidak berbau dan

berasa, bubuk granular serta bersifat higroskopis setelah pengeringan.

Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter, dan toluena. Mudah

terdispersi dalam air pada semua suhu, membentuk larutan koloid jernih.

Kelarutan dalam air bervariasi tergantung pada derajat substitusi (Rowe,

Paul and Marian, 2009). Film oral dengan polimer NaCMC dapat stabil

ketika polimer dilarutkan dalam campuran air dan alkohol yang

ditambahkan hingga mencapai batas tertentu, ketika campuran air dan

alkohol berlebih atau alkohol murni digunakan polimer akan cepat

mengendap (Nagar, Chauhan & Yasir, 2011).

(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Viskositas larutan 1% b/v NaCMC memiliki nilai 5-2000 mPa

(5-2000 cP). Peningkatan konsentrasi menghasilkan peningkatan viskositas

larutan. Pemanasan yang lama pada suhu tinggi dapat menurunkan

viskositas. Larutan kental NaCMC stabil pada pH 4-10. Nilai pH optimum

adalah netral (Rowe, Paul and Marian, 2009).

NaCMC digunakan dalam beberapa formulasi oral, topikal, dan

parenteral sebagai zat penyalut, penstabil, suspending agent, disintegran

tablet dan kapsul, pengikat tablet, zat peningkat viskositas dan zat penyerap

air. NaCMC juga banyak digunakan dalam kosmetik, perlengkapan mandi

dan produk makanan. Pada umumnya NaCMC dianggap sebagai bahan

nontoksik dan noniritasi. Namun, mengkonsumsi NaCMC oral dalam

jumlah besar dapat mengakibatkan efek pencahar. WHO belum menetapkan

asupan harian yang dapat diterima untuk NaCMC sebagai bahan tambahan

makanan karena tingkat yang diperlukan untuk mencapai efek yang

diinginkan tidak dianggap berbahaya bagi kesehatan (Rowe, Paul and

Marian, 2009).

NaCMC tidak cocok dengan xanthan gum, larutan asam kuat dan

senyawa logam seperti aluminium, merkuri, dan zink. Pengendapan terjadi

apabila nilai pH kurang dari 2 dan ketika dicampur dengan etanol 95%.

Membentuk kompleks dengan gelatin, pektin, dan kolagen. NaCMC

merupakan bahan yang stabil walaupun higroskopis. Di bawah kondisi

lembab dapat menyerap sejumlah besar (>50%) air. Larutan aqueous stabil

pada pH 2-10 dan kekentalan larutan menurun dengan cepat di atas pH 10.

Secara umum viskositas dan stabilitas maksimum pada pH 7-9 (Rowe, Paul

and Marian, 2009).

Polimer NaCMC digunakan sebagai penghantar mukoadhesif karena

kemampuannya dalam membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan musin

pada lapisan mukosa (Grag et al., 2011). NaCMC memiliki gugus fungsi

karboksil yang memberikan muatan negatif pada nilai pH yang melebihi

nilai pKa polimer (Singh, Govind, & Bothara, 2013).

2.9 Poliuretan

Poliuretan (PU) adalah kelas polimer yang mengandung sejumlah

(39)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kimia antara gugus hidroksil dan kelompok isosianat. PU merupakan

kelompok polimer yang banyak digunakan sebagai biomaterial dalam

aplikasi klinis. Hal ini dikarenakan PU memiliki sifat fisik dan mekanik

yang sangat baik dan kompatibilitasnya terhadap darah relatif baik.

Kelompok polimer ini memiliki keragaman karena adanya perbedaan

komposisi kimia dan sifat seperti elastisitas, toleransi dalam tubuh, daya

tahan dan penyesuaian, yang umumnya lebih baik daripada polimer lain

(Istanbullu et al., 2013).

Tegaderm adalah film transparan dengan backing hipoallergenik,

bebas latex yang menempel dengan baik, lembut dan aman bagi kulit.

Bersifat breathable, steril, transparan dan tahan air, serta dapat melindungi

dari berbagai kontaminan eksternal. Breathability dari Tegaderm

memungkinkan terjadinya penguapan air dan pertukaran gas yang sangat

penting untuk menjaga fungsi kulit normal. Tegaderm memiliki adhesi awal

yang baik dan tidak mengakibatkan peningkatan adhesi yang berlebihan

pada waktu diaplikasikan, bahkan untuk penggunaan dalam waktu yang

lama, risiko ketidaknyamanan pasien dan trauma kulit jarang terjadi ketika

tegaderm dilepas dengan benar (3MTM, 2012).

Gambar 2.8. Struktur Kimia Poliuretan [sumber : Istanbullu et al., 2013]

Penelitian yang dilakukan Desai et al. (2012) menggunakan lapisan

backing film Tegaderm pada sediaan patch mukoadhesif oral yang

mengandung fenretinide untuk kemoprevensi penyakit kanker mulut. Selain

itu, Jadhav et al. (2009) melakukan uji iritasi primer pada manusia terhadap

sediaan patch transdermal natrium diklofenak yang mengandung backing

membran 3M (tegaderm) dan dihasilkan bahwa film transdermal tidak

(40)

23

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 1,

Laboratorium Penelitian 2 dan Laboratorium Sediaan Padat Program Studi

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Laboratorium Multiguna dan Laboratorium Biologi

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung 4

bulan, dari bulan Januari hingga April 2014.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Dissolution tester (erweka DT626HH), disintegrator (electrolab

ED-2L), spektrofotometer UV visible (hitachi U-2910), mikroskop optik

(olympus IX 71, jepang), Oven (eyela NDO- 400, jepang), franz diffusion

cell, timbangan analitik (AND GH-120), viskotester HAAKE 6R,

pengaduk magnetik (advantec SRS710HA), mikrometer digital (mitutoyo,

jepang), freezer, pH meter (horiba F-52), cetakan film, Cutter, gunting,

spuit, vial, dan alat-alat gelas yang sering dipakai di laboratorium.

3.2.2 Bahan

Natrium diklofenak (PT. Indofarma), hidroksi propil metil selulosa

50 cPs (ShinEtsu, Japan), natrium karboksi metil selulosa 50 cPs

(BLANOSE® 7M1F), film tipis transparan TegadermTM 1624 W (3M health Care), propilenglikol (PT. Brataco), gliserin (PT. Brataco), etanol

70%, silica blue (PT. Brataco), natrium hidroksida (Merck), kalium

dihidrogen fosfat (Merck), aquadest, cyanoacrylate adhesive, kertas

(41)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.3. Prosedur Kerja

3.3.1 Formula Patch

Melalui perhitungan, maka tiap 20 gram formula mengandung

komponen-komponen seperti yang ada dalam tabel 3.1.

3.3.1.1 Preparasi Cairan Pembentuk Film (CPF)

HPMC dan NaCMC ditimbang secara akurat. Kemudian NaCMC

dilarutkan dalam 10 gram aquadest pada gelas beker dan diaduk dengan

menggunakan pengaduk magnetik. Pada beker terpisah, HPMC dilarutkan

dalam 7,5 gram etanol 70% dan diaduk dengan menggunakan pengaduk

magnetik. Setelah kedua polimer larut, campurkan larutan polimer HPMC

ke dalam larutan polimer NaCMC dan aduk hingga homogen. Masukkan

natrium diklofenak, propilenglikol dan gliserin yang sudah dilarutkan

menggunakan sisa etanol 70% ke dalam larutan polimer dan diaduk hingga

homogen dengan bantuan pengaduk magnetik. Kemudian diamkan CPF

untuk menghilangkan molekul udara. Sebelum dimasukkan ke dalam

cetakan, viskositas larutan polimer diukur terlebih dahulu (Chaudhary

Amit, 2012, dengan modifikasi).

Tabel 3.1. Formula Patch Natrium Diklofenak

BAHAN

FORMULA (gram)

F1 F2 F3

Natrium diklofenak 0,02 0,02 0,02

HPMC 0,267 0,2 0,133

Na CMC 0,133 0,2 0,267

Gliserin 0,16 0,16 0,16

Propilen glikol 0,04 0,04 0,04

Aquadest 10 10 10

Etanol 70% add 20 20 20

3.3.1.2 Preparasi Patch

Tahap selanjutnya CPF dituang ke cetakan lalu dikeringkan di dalam oven

suhu 60ºC selama kurang lebih 24 jam. Setelah kering, CPF yang telah

(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disimpan dalam wadah kedap udara yang berisi silika, setelah bobot

konstan film dipotong sesuai ukuran. Sebagian film kemudian dilapisi

dengan backing membran tegaderm sehingga menjadi patch, kemudian

patch dievaluasi karakteristiknya.

3.3.2 Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 6,8

Dibuat dengan mencampur sebanyak 250 mL larutan kalium dihidrogen

fosfat 0,2 M dengan 112 mL NaOH 0,2 M kemudian dicukupkan

volumenya dengan air bebas karbondioksida hingga volumenya 1000 mL.

3.3.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi

3.3.3.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ( maks)

Dilakukan scanning panjang gelombang dari larutan standar natrium

diklofenak dengan konsentrasi 6 ppm menggunakan spektrofotometer

UV-Visibel dengan panjang gelombang 200-300 nm (Wardana, 2013).

3.3.3.2 Pembuatan Larutan Standar Natrium Diklofenak

Ditimbang secara akurat 5 mg Natrium diklofenak kemudian dilarutkan

dalam 50 mL buffer fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan induk standar

sebesar 100 g/mL. Dari larutan induk tersebut diambil sebanyak 200, 400, 600, 800, dan 1000 L kemudian dicukupkan volumenya hingga 10

mL, sehingga dihasilkan larutan dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm.

Masing-masing larutan standar natrium diklofenak diambil dan diukur

absorbansi larutan tersebut dengan panjang gelombang maksimum 275,5

nm sesuai hasil scanning sebelumnya (Wardana,2013).

3.3.4 Evaluasi Viskositas Cairan Pembentuk Film (CPF)

Pengujian dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap

setiap CPF sesuai formula menggunakan spindel R2 dengan kecepatan

putar 100 rpm pada suhu ruang (R. Yogananda & Bulugondla, 2012

(43)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.3.5 Organoleptis Film

Pengamatan mikroskopik penampang membujur dan melintang film serta

makroskopik secara visual fisik film dan patch meliputi warna dan tekstur

permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012).

3.3.6 Pengambilan Sampel

Sampel yang akan dikarakterisasi harus memiliki kadar natrium diklofenak

yang sama atau hampir sama. Oleh karena itu, dipilih film dengan bobot

yang sama atau hampir sama, dengan asumsi bahwa film dengan bobot

yang sama memiliki kandungan natrium diklofenak yang sama. Bobot film

dengan luas yang sama dapat dipengaruhi oleh ketebalan film, sehingga

perlu diukur keragaman ketebalan film untuk mendapatkan sampel yang

sama atau hampir sama.

3.3.6.1 Pengukuran Bobot Sampel

Pengujian dilakukan dengan cara menimbang film dan dipilih film dengan

bobot yang sama atau hampir sama kemudian dihitung massa rata-ratanya

dan simpangan bakunya (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dengan

modifikasi).

3.3.6.2 Pengukuran Ketebalan Sampel

Ketebalan film NaCMC diukur dengan mikrometer digital di 3 titik pada

masing-masing film, kemudian dihitung rata-rata ketebalannya dan

dinyatakan dalam satuan mikrometer ( m) (R. Yogananda & Bulugondla,

2012 dengan modifikasi).

3.3.6.3 Pengukuran Kandungan Natrium Diklofenak pada Sampel

Jumlah kandungan obat dari film ditentukan berdasarkan berat kering obat

dan polimer yang digunakan dengan cara metode Spektrofotometer UV.

Tiga unit film dengan bobot yang sama atau hampir sama dari setiap

formula diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL,

ditambahkan 100 mL dapar fosfat pH 6,8 dan etanol 70% (1:1) dan aduk

hingga film terlarut sempurna. Larutan disaring, diencerkan dan

(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

film dianggap sebagai kandungan obat dalam satu unit film (Chaudhary

Amit, 2012 dengan modifikasi)

3.3.7 Evaluasi Patch

3.3.7.1 Uji Pelipatan

Pengujian dilakukan dengan cara melipat secara berulang satu patch

dengan ukuran 2x1 cm2 pada tempat yang sama hingga patch patah atau dilipat hingga 300 kali secara manual. Jumlah lipatan yang dapat dilipat

pada tempat yang sama tanpa patah memberikan nilai daya tahan lipatan

(R. Yogananda & Bulugondla, 2012 secara triplo).

3.3.7.2 Pengukuran pH Permukaan

Patch dengan ukuran 2x1 cm2 dibiarkan mengembang pada 1 mL aquadest (pH 7) selama 2 jam dalam suhu ruang, kemudian pH permukaan diukur

menggunakan kertas indikator pH universal (R. Yogananda dan

Bulugondla, 2012 dimodifikasi secara triplo).

3.3.7.3 Penetapan Kadar Air Patch

Penetapan kadar air dilakukan menggunakan metode thermogravimetri.

Botol timbang dicuci dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu

105±5°C. setelah itu, bobot botol timbang dan sampel diukur

menggunakan timbangan analitik. Sampel dikeringkan menggunakan oven

pada suhu 105±5°C selama satu jam. Kemudian dinginkan pada desikator

selama 15 menit. Bobot sampel diukur kembali. Sampel dipanaskan

kembali hingga bobot konstan (Buckle et al., 2008 dengan modifikasi

secara duplo).

Kadar air dihitung menggunakan persamaan berikut :

Keterangan: Wo = bobot awal sampel, dan Wt = bobot akhir sampel

3.3.7.4 Uji Derajat Pengembangan (Swelling Index Studies)

Patch dengan ukuran 1x1 cm2 dari setiap formula ditimbang secara akurat, kemudian ditempatkan ke dalam cawan petri yang mengandung 25 mL

Gambar

Tabel 3.1.
Gambar 2.1.
Gambar Alat dan Bahan Penelitian…..……………………
Gambar 2.1. Keadaan Gingivitis dan Periodontitis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Protein total hasil ekstraksi dari akar berambut pada beberapa media perlakuan, diendapkan dengan ammonium sulfat, dikeringdinginkan lalu digunakan dalam

+62 812 33 9999 75 Potensi sektor keuangan cenderung menguat pada tahun 2016, sejak tahun akhir tahun 2013 sektor keuangan masih berada dalam trend positif walau sempat

Suatu organisasi memiliki tujuan yang ingin dicapai. Pencapaian tujuan tersebut membutuhkan pendayagunaan berbagai sumber daya khususnya sumber daya manusia. Usaha

Riset Geologi dan Pertambangan menerbitkan naskah-naskah ilmiah yang berkaitan dengan bidang geologi, geofisika, pertambangan dan bidang ilmu lainnya yang terkait.

Pada arus permukaan yang terjadi di Indonesia paa bulan tertentu di pengaruhi oleh angin muson yang pergerakan dari januari itu menuju kebarat, namun pada bulan

Beberapa siswa menjawab berdasarkan opini mereka (pengetahuan siswa) mengenai contoh lain dari berbagai daur hidup hewan yang ada dalam kehidupan sehari-hari.. Siswa diberi

Pengaruh Terapi Murottal Al- Qur’an Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Diruang Intensive Coronary Care Unit RSUD Prof.. Margono

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan mengenai Pengaruh Kualitas Produk dan Kualitas Pelayanan