• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

WILAYAH KERJA PUSKESMAS ASTANALANGGAR

KECAMATAN LOSARI CIREBON JAWA BARAT

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh

GILANG GUMILAR PERMADY

1111104000039

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Nama : Gilang Gumilar Permady

Tempat, tanggal lahir : Brebes, 24 Oktober 1993 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status pernikahan : Belum menikah

Alamat : Blok Pahing RT 09/02 Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Jawa Barat

Handphone : 0821-2662-2523

Email : gilangpermady@yahoo.com / GGPermady@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. TK Pertiwi Losari Cirebon [ 1997-1999 ] 2. SD Negeri Randusari 03 Kec. Losari Brebes [ 1999-2005 ] 3. MTs Negeri Model Babakan Lebaksiu Tegal [ 2005-2008 ]

4. SMA Negeri 02 Brebes [ 2008-2011 ]

(7)

vii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, 24 Juni 2015

Gilang Gumilar Permady, 1111104000039

Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat

xviii + 91 halaman + 11 tabel + 4 bagan + 8 lampiran

ABSTRAK

Tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia. Gangguan tidur dapat mengakibatkan masalah serius bahkan menurunkan kualitas hidup. Hal ini sering terjadi pada lansia yang berdampak pada menurunnya kualitas tidur. Terapi merendam kaki dengan air hangat dapat memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah dan vasodilatasi sehingga menimbulkan efek relaksasi yang dilanjutkan dengan peningkatan sekresi melatonin sehingga meningkatkan kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar.

Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pendekatan one group pre test-post test. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling

dengan jumlah 20 responden yang telah sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Intervensi diberikan selama 5 hari berturut-turut. Pengukuran skor kualitas tidur menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index. Perbedaan skor kualitas tidur dianalisis dengan uji t berpasangan dan skor setiap komponen dianalisis menggunakan uji Wilcoxon.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh antara merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur responden sebelum dan sesudah intervensi (p=0,000; α=5%). Dari hasil tersebut dapat dikatakan terjadi peningkatan kualitas

tidur setelah rendam kaki dengan air hangat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pilihan alternative bagi perawat untuk mengaplikasikan rendam kaki dengan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur lansia.

(8)

viii

ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Undergraduate Thesis, 24th June 2015

Gilang Gumilar Permady, 1111104000039

The Effect of Soaking Feet in Warm Water to The Quality of Sleep of Elderly In The Region PUSKESMAS Astanalanggar Losari Cirebon West Java

xviii + 91 pages + 11 tables + 4 chart + 8 attachments

ABSTRACT

Sleep is a basic need that must be met by humans. Sleep disorders can lead to serious problems and even reduce quality of life. This often occurs in the elderly that decrease the quality of sleep. Soaking the feet in warm water can improve the microcirculation of the blood vessels and vasodilation causing a relaxing effect, followed by increased secretion of melatonin thus improving the quality of sleep. This study aimed to identify the effect of soaking feet in warm water to the quality of sleep of elderly in the region PUSKESMAS Astanalanggar.

This study uses a quasi-experimental design approach to one group pretest-posttest. The sampling technique used purposive sampling with 20 respondents who had been in accordance with the inclusion and exclusion criteria. Intervention is given for 5 consecutive days. Measurement of sleep quality scores using the Pittsburgh Sleep Quality Index questionnaire. Differences in sleep quality scores were analyzed by paired t test and the scores of each component is analyzed using the Wilcoxon test.

The results showed the influence of soaking feet in warm water for sleep quality before and after the intervention (p = 0.000; α = 5%). From these results it mean an increase in the quality of sleep after a soak feet in warm water. This study is expected to be an alternative option for nurses to apply soak feet in warm water to improve the quality of sleep of elderly.

(9)

ix

Assalaamu ‘alaykum Wr. Wb.

Alkhamdulillaahi robbil ‘aalamiin segala puji bagi ALLAH SWT, yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap

Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Astanalanggar

Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat” yang disusun dan diajukan sebagai

salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan. Tidak lupa sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada tauladan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa syariat islam bagi kaum di seluruh dunia sehingga kita dapat hidup dalam zaman terang benderang ini. Bagi penulis, menteladani aspek kehidupan Nabi Muhammad merupakan tanda bukti cinta kita kepadanya. Dalam hal ini, salah satu aspek yang pernah Nabi Muhammad singgung adalah mengenai tidur. Inilah yang menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur.

(10)

x

2. Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Maulina Handayani, S. Kp., M. SC selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan sekaligus pembimbing kedua yang telah membimbing, memotivasi, mengkoreksi serta memberi banyak saran dan masukan dalam skripsi ini.

5. Ibu Nia Damiati, S.Kp, MSN selaku pembimbing pertama sekaligus Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ns. Mardiyanti, S. Kep., M. Kep., MDS selaku pembimbing yang menggantikan ibu Nia dikarenakan sedang menjalani tugas belajar. Bimbingan, arahan dan kepedulian penuh yang membuat penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini.

(11)

xi

9. Orang tua serta keluarga besar yang telah memberikan semangat serta dukungan moril dan materiil untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 10. Teman – teman angkatan 2011 yang telah memberikan semangat serta

tempat bertukar pikiran bagi penulis selama penyelesaian tugas kahir ini, khususnya Dina Setya R. K. yang selalu memberi semangat dan rela meluangkan waktunya untuk berbagi canda tawa dalam meluluhkan segala penatnya proses penulisan ini.

Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulisan ini menyajikan yang terbaik dan mendekati kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik ALLAH semata. Harapan penulis adalah semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam meningkatkan derajat kesehatan manusia.

Wassalaamu ‘alaykum Wr. Wb.

Jakarta, 24 Juni 2015

(12)

xii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Lanjut Usia...12

1. Definisi Lanjut Usia...12

2. Teori Menua...14

3. Aspek Fisiologik dan Patologik...17

B.Tidur...23

7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia...33

8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia...34

9. Penatalaksanaan Gangguan Tidur...36

C.Hydrotherapy...38

(13)

xiii

D.Penelitian Terkait...42

E. Kerangka Teori...45

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A.Kerangka Konsep...46

B.Hipotesis...47

C.Definisi Operasional...48

BAB IV METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian...50

B.Lokasi dan Waktu Penelitian...51

C.Populasi dan Sampel...51

D.Instrumen Penelitian...54

E. Uji Validitas dan Reliabilitas...58

F. Langkah-langkah Pengumpulan Data...60

G.Etika Penelitian...63

H.Pengolahan Data...65

I. Analisis Data...67

BAB V HASIL PENELITIAN A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian...71

B.Analisis Univariat...72

1. Karakteristik Responden...72

2. Komponen Kualitas Tidur...73

3. Skor Total Kualitas Tidur...74

C.Analisis Bivariat...75

1. Perbedaan Rerata Skor PSQI pada pre test dan post test...75

BAB VI PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden...79

1. Usia...79

2. Jenis Kelamin...79

B. Skor Total Kualitas Tidur...80

C. Skor Setiap Komponen Kualitas Tidur...83

(14)

xiv DAFTAR PUSTAKA

(15)

xv Nomor Tabel Judul Tabel

3. 1 Definisi Operasional...48

4. 1 Komponen dan Nomor Pertanyaan Kuesioner PSQI...54

4. 2 Hasil Uji Normalitas Data...68

5. 1 Distribusi Data Usia Responden...72

5. 2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden...73

5. 3 Rata-rata Skor Komponen Kualitas Tidur Responden...74

5. 4 Rata-rata Skor Total PSQI...75

5. 5 Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Perbedaan Rerata Skor Kualitas Tidur Pada Pengukuran pre test post test...76

(16)

xvi Nomor Bagan Judul Bagan

2. 1 Siklus Tidur Orang Dewasa Normal...29

2. 2 Kerangka Teori...45

3. 1 Kerangka Konsep Penelitian...46

(17)

xvii BMR : Basal Metabolic Rate

BPS : Badan Pusat Statistik

BSR : BulbarSynchronizing Regional

DNA : Deoxyribose Nucleic Acid

ESS : Epworth SleepinessScale

FIQ : Fibromyalgia Impact Questionnaire

GDS : Geriatric Depression Scale

GH : Growth Hormone

NREM : Non Rapid Eye Movement

OHS : Obesity Hypoventilation Syndrome

OSA : Obstructive Sleep Apnea

PLMD : Periodic Limb Movement Disorder

PSQI : Pittsburgh Sleep Quality Index

PTT : Pengobatan Tradisional Tiongkok RAS : Reticular Activating System

RDB : REM Behavior Disorder

REM : Rapid Eye Movement

RLS : Rest Legs Syndrome

RNA : Ribose Nucleic Acid

SCN : Suprachiasmatic Nucleus

SDB : Sleep Disordered Breathing

SQS : Sleep Quality Scale

SSS : Stanford Sleepiness Scale

UARS : Upper Airway Resistance Syndrome

(18)

xviii

Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 2 Lembar Pengumpulan Data

Lampiran 3 Prosedur Merendam Kaki dengan Air Hangat Lampiran 4 Hasil Penilaian GDS dan Indeks Katz

Lampiran 5 Hasil Penelitian

(19)

1

A.

Latar Belakang

Setiap individu akan mengalami proses perkembangan secara alami, mulai dari lahir hingga menjadi dewasa akhir atau lansia. Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui, manusia berkembang dari usia balita, remaja, dewasa dan lansia yang merupakan tahap akhir kehidupan. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsinya, selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Darmojo, 2009).

(20)

Perkembangan lansia di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat, dengan semakin meningginya usia harapan hidup. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia). Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lansia mencapai 28.822.879 jiwa (11,34 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia) (Badan Pusat Statisik Indonesia, 2012). Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dari negara-negara Asia dengan jumlah lansia terbesar setelah Cina dan India (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

(21)

yang terbangun lebih sering di malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tertidur (Potter & Perry, 2011).

Tidur menjadi kebutuhan setiap manusia dan merupakan suatu siklus yang rutin setiap harinya (Galimi, 2010). Setelah beraktivitas manusia membutuhkan waktu untuk mengembalikan fungsi normal tubuh, salah satunya dengan tidur. Sebagian orang mengeluhkan tidak bisa tidur dimalam hari. Kasus ini paling sering terjadi pada usia lanjut. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Anwar (2010) pada seorang lansia berusia 66 tahun dengan indikasi adanya gangguan tidur, hasilnya menunjukkan bahwa gangguan tidur yang dialami subyek sudah sangat mengganggu, bahkan obat tidur yang diminumnya dosisnya semakin tinggi. Penelitian lain oleh Hidayati dan Khasanah (2012) juga menemukan bahwa dari 97 orang lansia, 68 responden (70,1%) mempunyai kualitas tidur buruk.

Adapun gangguan masalah tidur yang sering dialami lansia berupa susah tidur pulas, sering terbangun di malam hari dan sulit memulai tidur kembali, berkurangnya waktu tidur malam, semakin panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur (sleep latency), perasaan tidur yang kurang, terbangun cepat dan tidur sekejap pada siang hari (naps) sering terjadi berulang dan tidak disadari. Jumlah total waktu tidur normal pada kebutuhan tidur sewajarnya yaitu 6 jam/hari (Potter & Perry, 2011).

(22)

dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah yang mengakibatkan gangguan tidur.

Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama 24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonom, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik (Bliwise & Endeshaw, 2006). Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron fotoreseptor SCN akan teraktivasi. SCN akan merangsang pineal gland untuk mensekresikan melatonin yang dapat menimbulkan rasa kantuk (Galimi, 2010). Penurunan fungsi dari SCN berkaitan dengan pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi SCN akan menyebabkan terjadinya gangguan pada ritme sirkadian (Bliwise & Endeshaw, 2006).

Kualitas tidur yang kurang berhubungan dengan adanya insomnia, Rest Legs Syndrome (RLS) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Colten & Altevogt (2006) menyampaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidur seperti faktor fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. Adanya perubahan pada aspek-aspek tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya waktu tidur. Tidur yang kurang dapat menyebabkan beberapa gangguan pada respon imun, metabolisme tubuh dan fungsi kardiovaskular.

(23)

perubahan farmakodinamik, farmakokinetik serta metabolisme obat dalam tubuh lansia yang menyebabkan penatalaksanaan dengan farmakologis sangat memberi risiko pada lansia. Dengan demikian penatalaksanaan secara non farmakologi adalah pilihan alternative yang lebih aman, yakni dengan cara terapi stimulus control, melakukan olah raga ringan, berjalan kaki pada pagi hari, berlari-lari kecil, senam atau sekedar peragangan otot, terapi relaksasi (Putra, 2011).

Salah satu terapi relaksasi adalah dengan menggunakan air. Hydrotherapy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai keluhan. Untuk tujuan ini, air bisa digunakan dalam banyak cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu, terutama di kerajaan Yunani, kekaisaran Romawi dan Kebudayaan Turki juga oleh masyarakat Eropa dan Tiongkok kuno. Masyarakat umum juga menyadari bahwa manfaat air hangat adalah untuk membuat tubuh lebih rileks, menyingkirkan rasa pegal-pegal dan kaku di otot, dan mengantar agar tidur bisa lebih nyenyak (Sustrani, Alam, Hadibroto, 2006). Dalam pemaparan Dinkes (2014) air hangat membuat kita merasa santai, meringankan sakit dan tegang pada otot dan memperlancar peredaraan darah. Maka dari itu, berendam air hangat bisa membantu menghilangkan stres dan membuat kita tidur lebih mudah. Suhu air hangat yang dipakai berkisar 40oC.

(24)

mengurangi kemungkinan demam. Terapi rendam kaki dengan air hangat mencapai serangkaian perawatan kesehatan yang efisien melalui tindakan pemanasan, tindakan mekanis dan tindakan kimia air serta efek penyembuhan dari uap obat dan medis pengasapan. Dipaparkan juga oleh Flona (2010) bahwa berendam dengan air hangat yang bersuhu 38°C selama minimal 10 menit dengan menggunakan aromatherapy mampu meredakan ketegangan otot dan menstimulus produksi kelenjar otak yang membuat tubuh terasa lebih tenang dan rileks. Raisanen (2010) juga mengungkapkan ada enam keuntungan dari air hangat yaitu mengurangi stres, mendetoksifikasi, membuat tidur nyenyak, merelaksasikan otot dan meredakan sakit dan nyeri di otot dan sendi, meningkatkan kerja jantung, melawan penyakit dan meredakan kesesakan.

Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Ada banyak titik akupunktur di telapak kaki. Enam meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal, limpa dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Hal ini didukung dengan penelitian yang telah di lakukan Khotimah (2012) bahwa terapi rendam air hangat pada kaki memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah dan vasodilatasi sehingga meningkatkan kuantitas tidur. Rendam air hangat pada kaki efektif digunakan untuk meningkatkan kuantitas tidur pada lansia yang mengalami gangguan tidur.

(25)

usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam per hari (Hidayat, 2008). Adanya gangguan tidur dapat mengakibatkan masalah kesehatan seperti gangguan pada metabolisme hormon, kardiovaskular dan penurunan respon imun. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yakni berkisar lebih dari 60%. Gangguan tidur pada lansia memiliki dampak serius yakni mengantuk berlebihan disiang hari, gangguan atensi dan memori, mood, depresi, resiko tinggi terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya dan penurunan kualitas tidur. Untuk itu gangguan tidur pada lansia harus mendapat perhatian dan penanganan yang serius . Usia lanjut sangat rentan dalam menghadapi status kesehatannya dan kemungkinan komplikasi begitu besar. Manajemen pengelolaan terapi pada lansia harus sangat terkontrol. Kurangnya tidur dapat menimbulkan masalah yang berarti bagi lansia.

Dari data di atas, tergambar bahwa seseorang dengan usia lanjut mengalami gangguan tidur yang sangat berarti. Mereka tidak memiliki pengetahuan lebih terkait gangguan tidur dan cara mengatasinya. Oleh karena itu, pengkajian terhadap kualitas tidur dan pengaruh dari merendam kaki dengan air hangat sangat penting dilakukan sehingga nantinya klien dapat melakukan bagian dari asuhan keperawatan secara mandiri. Selain itu, perawat juga dapat mempertimbangkan cara ini sebagai metode alternatif untuk meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Peran perawat dalam menangani masalah gangguan tidur merupakan hal yang sangat penting karena banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan oleh gangguan tidur.

(26)

mengidentifikasi tentang kualitas tidur secara subjektif, durasi tidur, gangguan yang terjadi selama tidur, kebiasaan waktu mulai tidur, kebiasaan penggunaan obat untuk membantu tidur (Buysse et al, 1989).

Hasil studi pendahuluan dengan analisis data dan wawancara terhadap 15 lansia di Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon bahwa lansia mengatakan mengeluh susah tidur di malam hari, pergi tidur antara jam 8 sampai jam 9, tetapi ada juga yang tidur jam 11. Lansia mengatakan sering terbangun pada malam hari rata–rata 4-6 kali untuk ke kamar mandi dan setelah itu sulit untuk jatuh tertidur lagi. Kondisi lain yang di alami lansia sehingga terbangun pada malam hari dikarenakan merasakan susah bernapas, terbangun karena mimpi dan keadaan lingkungan yang berisik. Keluhan lain yang dialami lansia adalah merasa kurang segar setelah bangun di pagi hari, mengantuk disiang hari namun ada 7 lansia yang mengeluh tidak bisa tidur disiang hari waluapun sudah mengantuk dan ada keinginan untuk tidur. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia”.

B. Rumusan Masalah

(27)

peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat.

Berbagai studi mengenai kualitas tidur pada lanjut usia dan metode penanganan gangguan tidur pada lanjut usia baik yang farmakologis dan non farmakologis sudah dilakukan sebelumnya, namun penanganan secara farmakologis memiliki efek samping yang sangat beresiko terhadap kesehatan lansia. Metode relaksasi merupakan terapi yang efektif agar dapat meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Salah satu contoh metode relaksasi yakni dengan merendam kaki menggunakan air hangat.

Beberapa penelitian terkait dengan masalah tidur dan lansia telah dilakukan namun peneliti belum menemukan penelitian yang membahas intervensi alternative khususnya penggunaan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur pada lansia, sehingga menurut peneliti hal tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh pada kualitas tidur lansia dengan terapi merendam kaki dengan air hangat di Wilayah Kerja Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

(28)

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia dan jenis kelamin) terhadap kualitas tidur.

b. Mengidentifikasi komponen kualitas tidur (kualitas tidur subjektif, latensi tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi di siang hari) pada responden.

c. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden sebelum intervensi merendam kaki dengan air hangat.

d. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden setelah intervensi merendam kaki dengan air hangat.

e. Mengidentifikasi perbedaan rerata skor responden sebelum dan sesudah intervensi merendam kaki dengan air hangat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pelayanan Keperawatan

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan lansia dan dapat menjadi landasan dalam melakukan intervensi guna meningkatkan kualitas tidur pasien.

b. Menjadi aspek penting bagi perawat dalam memberikan edukasi pada lansia dengan menekankan pemenuhan kebutuhan tidur.

2. Bagi Profesi Keperawatan

(29)

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini menjadi acuan proses belajar dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan melalui proses pengumpulan data dan informasi-informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, diteliti, dianalisis, dan disusun dalam sebuah karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat, serta menambah kekayaan intelektual.

E. Ruang Lingkup Penelitian

(30)

12 A. Lanjut Usia

1. Definisi Lanjut usia

Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran kemampuan-kemampuan kognitif seperti mudah lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru. Kemunduran lain yang dialami adalah kemunduran fisik antara lain kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul (Maryam, dkk, 2008).

Hardywinoto (2005) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan WHO menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis atau biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) (Mubarok, dkk, 2006).

(31)

ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia (Maryam, dkk, 2008).

Usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi lima (Maryam, dkk, 2008) yaitu:

a. Pralansia (Presinilis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. b. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia risiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. d. Lansia Potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/ jasa. e. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa seseorang di katakan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun atau lebih dan dikatakan potensial apabila masih produktif yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak potensial apabila tidak produktif yang bergantung kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

(32)

Seperti diketahui, Indonesia sekarang berada dalam transisi demografi, persentasi lansia diproyeksikan menjadi 11, 34% pada tahun 2020 yang akan datang. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat/populasi “muda” (1971) menjadi populasi yang lebih “tua”

pada tahun 2020. Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain perlu perhatian lebih dan prioritas untuk penyakit-penyakit pada usia dewasa dan lansia (Darmojo, 2009).

2. Teori Menua

Penuaan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Pada dasarnya ada dua faktor yang menyebabkan proses penuaan terjadi, yaitu faktor internal (radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen) dan faktor eksternal (gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan) (Stanley & Beare, 2007). Menua (aging) juga merupakan proses yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies secara progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

(33)

a. Teori biologi

1) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi (Maryam, dkk, 2008).

2) Teori genetik dan mutasi

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi (Maryam, dkk, 2008). Teori mutasi somatik, menurut teori ini menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan akibat lingkungan yang buruk. Setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi (DNA menjadi RNA), maupun dalam proses translasi (RNA ke protein/enzim). Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah, sehingga mengakibat penurunan fungsional sel (Darmojo, 2009).

3) Teori immunologi

(34)

perkembangan penyakit kronis, seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler, serta infeksi (Perry & Potter, 2011). 4) Teori stress

Proses menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai (Maryam, dkk, 2008).

5) Teori rantai silang

Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Reaksi kimia ini menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi (Nugroho, 2008).

b. Teori psikologi

(35)

Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka akan terjadi penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari stimulus yang ada (Maryam, dkk, 2008).

c. Teori spiritual

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan antara orang dan lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi antara nilai-nilai dan pengetahuan (Maryam, dkk, 2008).

3. Aspek Fisiologik dan Patologik

Dengan makin lanjutnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ-organnya makin besar (Darmojo, 2009). Proses ini menyebabkan perubahan-perubahan pada lansia diantaranya adalah:

a. Perubahan sistem panca-indra

(36)

keadaan yang ekstrim bahkan bisa bersifat patologik, misalnya terjadinya ektropion/entropion, ulkus kornea, glaukoma dan katarak pada mata, sampai pada keadaan konfusio akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga dapat terjadi tuli konduktif, sindrom Meniere

(Keseimbangan) (Darmojo, 2009). b. Perubahan sistem gastro-intestinal

Kehilangan gigi penyebab utama adanya periodontal disease, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk (karies gigi) dan gizi yang buruk, serta berkurangnya kekuatan otot rahang sehingga sering kali menyebabkan lansia kelelahan pada saat mengunyah makanan. Indra pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indra pengecap (± 80%), hilangnya sensitifitas syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis, asin, asam dan, pahit sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan yang dapat mengakibatkan kondisi defisiensi nutrisi pada lansia.

(37)

pencernaan lemak. Kemampuan peristaltik usus melemah sehingga biasanya timbul konstipasi pada lansia (Darmojo, 2009).

c. Perubahan sistem kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Darmojo, 2009).

d. Perubahan sistem respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas. Semua ini berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen. Oklusi sebagian atau total saluran napas atas dapat terjadi, hal ini dapat menyebabkan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Disamping itu, terjadi penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik lain yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada saluran napas bawah (Darmojo, 2009).

e. Perubahan sistem endokrin

(38)

produksi hormon berkurang. Salah satu contoh penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi norepinephrine dan serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah yang mengakibatkan gangguan tidur. (Darmojo, 2009).

f. Perubahan sistem muskulokeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, begitupun dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis, juga adanya atrofi serabut otot sehingga menyebabkan pergerakan yang lambat, otot-otot dapat mudah menjadi kram dan tremor, sehingga sering dijumpai sebagai gejala Restless Legs Syndrome (RLS), tetapi pada otot polos tidak begitu terpengaruh. Dengan bertambahnya usia, proses berpasangan (“coupling”) penulangan yaitu perusakan dan pembentukan tulang

melambat, terutama pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya aktivitas tubuh, juga akibat menurunnya hormon estrogen (wanita), vitamin D (terutama mereka yang kurang terkena sinar matahari) dan beberapa hormon lain, misalnya parathormon dan kalsitonin (Darmojo, 2009).

g. Perubahan sistem perkemihan

(39)

inkontinensia urgensi, dan stres pada wanita terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi retensi urin dan sulit berkemih akibat pembesaran prostat (Potter & Perry, 2011).

h. Perubahan sistem imun

Sistem imun merupakan mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebanyak 30% kematian pada lansia disebabkan oleh penyakit infeksi. Bagian tubuh yang bertanggung jawab dalam hal penanganan penyakit infeksi dalam tubuh adalah sistem barier tubuh. Contoh sistem barier pada tubuh adalah batuk, bersin, permukaan mukosa, kulit, sel silia, air mata dan, pH lambung. Pada lansia mekanisme pertahanan ini mengalami penurunan kemampuan, hal ini menyebabkan penurunan kemampuan tubuh dalam menghilangkan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Penurunan sensitivitas imun pada lansia berhubungan dengan penurunan kelenjar-kelenjar imun, seperti kelenjar timus, kelenjar limfe, dan limpa (Fatmah, 2010).

i. Perubahan sistem saraf

(40)

patologik pada jaringan saraf sering diikuti berbagai penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, hipertiroid, hipotiroid, yang juga menyebabkan gangguan pada susunan saraf tepi (Fatmah, 2010).

Perubahan lain yang terjadi pada lansia yakni perubahan kognitif dan perubahan psikososial (Potter & Perry, 2011).

a. Perubahan Kognitif

Kemampuan kognitif terdiri dari intelektual atau kecerdasan, ingatan atau konsentrasi, dan bahasa. Pada lansia mengalami penurunan atau kerusakan umum fungsi intelektual yang biasa disebut dengan demensia. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan dalam mengingat jangka pendek dan menyimpan informasi baru ke memori jangka panjang juga menurun. Perubahan kemampuan bahasa juga ikut mengalami penurunan, misalnya dapat dijumpai adanya Sindrom Wernicke (Potter & Perry, 2011).

b. Perubahan psikososial

(41)

B. Tidur

1. Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu keadaan yang berulang-ulang, dimana terjadi perubahan status kesadaran dalam jangka waktu tertentu. Ketika seseorang mendapatkan tidur yang cukup, mereka merasa tenaganya telah pulih. Tidur juga merupakan metode untuk perbaikan dan pemulihan sistem tubuh. Kualitas dan kuantitas tidur yang tepat dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan yang optimal (Potter & Perry, 2011).

Pemaparan serupa juga disebutkan oleh Black (2008) yang mengatakan bahwa tidur merupakan keadaan normal yang ditandai dengan adanya perubahan kesadaran selama tubuh dalam periode istirahat. Penurunan kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan yang ada di sekitarnya juga terjadi pada periode ini, namun individu dapat dibangunkan dari tidurnya kembali dengan rangsangan dari luar. Tidur merupakan suatu siklus yang ditandai adanya penurunan kesadaran dan aktivitas fisik dan proses metabolisme disertai adanya mimpi selama periode terntentu dan berulang.

(42)

2. Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Pusat pengaturan tersebut terdapat pada medula oblongata (Hidayat, 2008). Pengaturan siklus tidur merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan. Mekanisme homeostasis dalam siklus tidur berhubungan dengan aktivitas sel-sel neuron dalam batang otak serta peran dari neurotransmitter yang diproduksi hipotalamus (Juddith, 2010).

Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar, neuron dalam

Reticular Activating System (RAS) akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Selain itu, RAS yang dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir (Hidayat, 2008). Beberapa neurohormon dan neurotransmitter juga dihubungkan dengan tidur dan terbangun. Produksi yang dihasilkan oleh dua mekanisme serebral dalam batang otak ini menghasilkan serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap transfer impuls-impuls syaraf ke otak dan juga berperan spesifik dalam menginduksi rasa kantuk.

(43)

keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik. Dengan demikian, sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008). Waktu tidur dikontrol oleh Suprachiasmatic Nucleus (SCN) yang mengatur irama sirkadian. Dalam tubuh serotonin diubah menjadi melatonin. Melatonin merupakan hormon katekolamin yang diproduksi secara alami dan dapat membantu irama sirkadian pada siklus tidur bangun (Potter & Perry, 2011).

(44)

Seseorang akan terbangun dari tidurnya jika ada rangsangan dari lingkungan yang menstimulasi RAS untuk aktif.

3. Tahap-tahap Tidur Normal

Tidur yang normal dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu periode terjaga atau bangun, tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur

Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM dan REM merupakan komponen utama dan penting dalam mempertahankan fungsi tubuh sehari-hari. Selama NREM seorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama 90 menit dari siklus tidurnya. Kualitas tidur semakin meningkat dari tahap 1 sampai tahap 4. Tahap 1 dan 2 merupakan tidur yang dangkal dan seseorang mudah terbangun, sedangkan tahap 3 dan 4 adalah tidur dalam dan sulit terbangun. Fase akhir dari tidur yakni REM yang kira-kira lamanya 90 menit (Potter & Perry, 2011).

Pada saat periode NREM, hormon disekresi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Sedangkan tidur REM merupakan periode yang aktif dan disertai mimpi. Periode REM yang cukup dapat berdampak pada proses mengolah informasi, menyimpan memori jangka panjang dan kemampuan konsentrasi (Caple & Grose, 2011).

4. Siklus Tidur

(45)

menit. Selanjutnya, memasuki tahap tidur untuk menyelesaikan 4-6 tahap dalam siklus tidur (Potter & Perry, 2011). Adapun siklus tidur sebagai berikut:

a. Periode terjaga

Periode ini ditandai dengan mata terbuka dan beresponnya individu terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang juga dapat merasakan rileks pada periode ini, dan pada akhirnya merasa mengantuk. b. Periode tidur NREM (75%)

Periode tidur NREM dimulai dari tidur dangkal sampai tidur dalam. Tidur NREM berhubungan dengan fungsi aktivitas otot, penurunan pernapasan, penurunan aktivitas otak. Selama periode tidur metabolisme meningkat disertai dengan aliran darah terutama pada daerah otak (Wilson, 2008).

Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yang menunjukkan tingkat kedalaman tidur setiap masing-masing tahapnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Tahap-tahap periode tidur NREM adalah sebagai berikut:

1) Tahap 1 (5% NREM)

(46)

2) Tahap 2 (45% NREM)

Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara, adanya peningkatan relaksasi dan gerakan mata mulai berkurang serta masih mudah untuk dibangunkan. Tahap ini terjadi selama 10-20 menit (Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008).

3) Tahap 3 (12% NREM)

Tahap ini disebut sebagai awal tidur yang dalam dan berlangsung sekitar 15-30 menit. Kondisi otot pada tahap ini dalam keadaan santai penuh, tanda vital menurun tetapi tetap teratur. Biasanya pada tahap ini orang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak (Potter & Perry, 2011).

4) Tahap 4 (13% NREM)

Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam, sangat sulit dibangunkan disertai penurunan tanda-tanda vital, berlangsung sekitar 15-30 menit. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi pada tahap ini (Potter & Perry, 2011).

c. Periode tidur Rapid Eye Movement (REM)

(47)

Bagan 2. 1 Siklus tidur orang dewasa normal

Sumber: Potter & Perry, 2011

5. Fungsi Tidur

Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan energi untuk periode terjaga berikutnya. Periode tidur juga bagian dari proses mempertahanan fungsi fisiologis normal. Penggunaan energi sehari-hari perlu diganti dengan periode istirahat pada waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).

Dalam siklus tidur dikenal tahap REM, tahap ini sangat penting untuk jaringan otak dan memelihara fungsi kognitif. Tidur REM menyebabkan perubahan aliran darah ke otak, peningkatan aktivitas korteks, peningkatan konsumsi oksigen dan pengeluaran ephineprine. Selain itu, tidur juga berfungsi untuk mempertahankan fungsi mental, memori, aktivitas sistem imun dan regulasi hormon (Potter & Perry, 2011).

6. Kualitas Tidur

(48)

tidur yang dijalani seorang individu dan menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek kuantitas dari tidur seperti durasi tidur, latensi tidur dan aspek subjektif dari tidur seperti kepuasan tidur dan gangguan tidur. (Khasanah, 2012).

Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner. Ada tiga contoh instrument untuk pengkajian kebutuhan istirahat tidur antara lain Stanford Sleepiness Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The Pittburgh Sleep Quality Index

(PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu tertentu. Selain itu ada juga Sleep Quality Scale (SQS) dimana kuesioner tersebut mempunyai enam komponen, yaitu; gejala di siang hari, kebugaran setelah tidur, masalah saat memulai tidur, mempertahankan tidur, kesulitan bangun dari tidur, dan kepuasan terhadap tidur. Sedangkan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang terdiri dari tujuh komponen meliputi latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat tidur, gangguan saat siang hari dan kualitas tidur subjektif (Buysse, 1989; Smyth, 2012).

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur adalah:

a. Usia

(49)

tahap 3 dan tahap 4 menurun, sementara yang dihabiskan di tidur ringan tahap 1 meningkat dan tidur menjadi kurang efisien. Bertambahnya usia juga berhubungan dengan penurunan kualitas tidur malam, misalnya sekitar 30% individu mengalami insomnia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan irama sirkadian yang mengatur siklus tidur dan menyebabkan gangguan siklus tidur dan terjaga (Juddith, Julie, & Elizabeth, 2010; Potter & Perry, 2011). b. Penyakit fisik

Tidur dapat terganggu dengan adanya penyakit fisik yang diderita, diantaranya adalah asma, jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, hipotiroid dan hipertiroid. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi masalah tidur. Penyakit juga memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti memperoleh posisi tertentu agar mencegah komplikasi atau dalam rangka imobilisasi (Potter & Perry, 2011). c. Obat-obatan dan zat tertentu

(50)

d. Gaya hidup

Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi tingkat kelelahan maka akan tidur semakin nyenyak yang menyebabkan periode tidur REM lebih pendek. Gaya hidup seseorang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein, alkohol, dan penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan masalah tidur. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi pola tidur adalah akibat bekerja berat, aktivitas sosial yang larut serta perubahan pola makan waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).

e. Stres emosional

(51)

f. Lingkungan

Lingkungan tempat seseorang tidur dapat berpengaruh pada kemampuan untuk mulai tertidur dan mempertahankan waktu tidurnya. Ventilasi yang baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang. Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur juga mempengaruhi kualitas tidur. Selain itu, cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Klien ada yang menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan, remang-remang atau tetap menyala. Suhu yang panas atau dingin menyebabkan klien mengalami kegelisahan (Potter & Perry, 2011).

g. Asupan makanan dan kalori

Gangguan pola tidur dapat berhubungan dengan pola makan. Makan dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam juga menyebabkan makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur. Penggunaan bahan-bahan yang mengandung kafein, nikotin, alkohol dan xanthine dapat merangsang sistem saraf pusat sehingga berdampak pada perubahan pola tidur (Potter & Perry, 2011).

7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia

(52)

dalam. Selama proses penuaan, pola tidur mengalami perubahan yang khas, yang berbeda dengan orang pada umumnya/dewasa normal. Hal tersebut mencakup latensi tidur, gangguan tidur pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang serta waktu untuk tidur lebih dalam menurun.

Pada penelitian di laboratorium tidur, lansia memiliki waktu tidur dalam (delta sleep) yang pendek, justru lebih panjang pada periode tidur stadium satu dan dua. Dari hasil test dengan alat Polysomnographic

ditemukan lansia mempunyai penurunan yang signifikan dalam Rapid Eye Movement (REM) dan Slow Wave Sleep. Pada lansia juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal, yang mengakibatkan kurang sensitif terhadap pencahayaan terang dan gelap (Darmojo, 2009).

Normalnya irama sirkadian menjalankan peranan dalam pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Pada usia lanjut ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Hormon melatonin yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2009).

8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia

(53)

a. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (Sleep Disordered Breathing). Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok saat tidur dan mengatuk hebat pada siang hari. Gangguan tidur ini dibagi menjadi 3, yaitu; Upper Airway Resistance Syndrome (UARS),

Obstructive Sleep Apnea (OSA), Obesity Hypoventilation Syndrome

(OHS). Jenis yang paling banyak ditemukan adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang terjadi karena oklusi sebagian atau total saluran napas atas. Hal ini disertai dengan penurunan tonus otot pernapasan dan jaringan pada cavum oral selama tidur.

(54)

c. Gangguan perilaku Rapid Eye Movement (REM). Gangguan ini sangat jarang terjadi, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari gangguan ini adalah disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur.

9. Penatalaksanaan Gangguan Tidur

Ada dua cara dalam hal penatalaksanaan gangguan tidur, yaitu secara farmakologis dan non-farmakologis.

a. Farmakologis

Dalam penatalaksanaan farmakologis, hanya ada beberapa yang efektif untuk menangani gangguan tidur pada lanjut usia. 1) Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement

Disorder (PLMD) dapat diberikan obat anti parkinson carbidopa-levodopa (formula 25-100 mg) dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat mau tidur. Pergolide dapat juga digunakan dengan dosis awal sangat rendah (0,05 mg) 2 jam sebelum tidur. Obat lain yang dapat digunakan untuk kedua gangguan tidur ini adalah benzodiazepine 1 kali saat mau tidur, atau codeine atau oxycodone (Darmojo, 2009).

(55)

b. Non-Farmakologis

Penanganan secara non-farmakologi sangat beragam macamnya, tergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami. Pada kasus Obstructive Sleep Apne (OSA) dapat dilakukan posisi tidur miring, dan aktivitas/olahraga untuk penurunan berat badan. Lain halnya dengan kasus Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement Disorder (PLMD), merendam kaki dan tungkai atas dengan air hangat serta olah raga ringan (jalan kaki) yang dikerjakan teratur dapat menghilangkan gejala kedua gangguan tidur ini (Darmojo, 2009).

(56)

C. Hydrotherapy

1. Pengertian

Hydrotherapy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai keluhan. Untuk itu, air dapat digunakan dalam berbagai cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu (Sustrani, dkk, 2006). Hydrotherapi juga merupakan metode terapi dengan pendekatan “lowtech” yang mengandalkan pada respon-respon tubuh

terhadap air.

The National Center on Physical Activity and Disability (2009) menyatakan bahwa hydrotherapy adalah aplikasi eksternal yang menggunakan air, baik untuk efek tekanan atau sebagai sarana menerapkan energi fisik untuk jaringan. Hydrotherapy diindikasikan untuk gangguan sensori, Range of Motion atau ROM yang terbatas, kelelahan, nyeri, masalah respirasi, masalah sirkulasi, depresi, penyakit jantung, dan obesity. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan tidur. Hydrotherapy juga merupakan sejumlah latihan fisik dengan berendam di dalam air hangat. Bentuk terapi fisik ini dapat membantu seseorang untuk mengurangi berbagai keluhan, salah satunya dengan merendam kaki. Kehangatan air membantu mengendurkan otot dan mengurangi nyeri, hal inilah yang menimbulkan rasa rileks pada tubuh (Arnot, 2009).

2. Jenis-Jenis Hydrotherapy

(57)

a. Rendaman air

Jenis terapi ini adalah dengan melakukan perendaman bagian tubuh tertentu di dalam bak atau kolam yang berisi air bersuhu tertentu selama minimal 10 menit.

b. Pusaran Air (Whirlpool)

Terapi ini menggunakan berbagai alat jet atau juga nozzle yang dapat menambah tekanan pada pompa. Alat ini dirancang khusus dengan tekanan dan suhu yang dapat diatur sesuai kebutuhan.

c. Pancuran Air

Terapi ini menggunakan pancuran air dengan tekanan dan suhu tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan.

d. Terapi air panas dan dingin (Contrast Bath)

Terapi ini menggunakan dua jenis air yang temperaturnya berbeda, yakni panas dan dingin dan dilakukan secara bergantian.

Diantara jenis-jenis Hydrotherapi di atas, perendaman menggunakan air hangat sangat efektif sebagai upaya untuk peningkatan kualitas tidur (Ebben dan Spielman, 2006). Teknik yang digunakan dapat berupa perendaman kaki dalam sebuah bak yang berisi air hangat.

3. Merendam Kaki dengan Air Hangat

(58)

masalah hormonal dan kelancaran peredaran darah. Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Ada banyak titik akupunktur di telapak kaki. Enam meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal, limpa dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Panas pada fisioterapi dipergunakan untuk meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan melebarkan pembuluh darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi kekakuan otot (Intan A, 2010).

Beberapa negara maju menerapkan terapi stimulus control dengan menggunakan air hangat sudah banyak dilakukan. Menurut Vinencenz Priesnisz dan Pastor Sebastian Kneipp (2005), merendam kaki dengan air hangat yang bertemperatur 37°C-39°C bermanfaat dalam menurunkan kontraksi otot sehingga menimbulkan perasaan rileks yang bisa mengobati gejala kurang tidur dan infeksi.

4. Respon Tubuh Saat Merendam Kaki dengan Air Hangat

(59)

a. Jantung

Tekanan hidrostatik air terhadap tubuh mendorong aliran darah dari kaki menuju ke rongga dada dan darah akan berakumulasi di pembuluh darah besar jantung. Air hangat akan mendorong pembesaran pembuluh darah kulit dan meningkatkan denyut jantung. Efek ini berlangsung cepat setelah terapi air hangat diberikan (Ningrum, 2012).

b. Jaringan otot

Air hangat dapat mengendorkan otot sekaligus memiliki efek analgesik. Tubuh yang lelah akan menjadi segar dan mengurangi rasa letih yang berlebihan. Hal ini dapat mengurangi gejala kesemutan atau Restless Legs Syndrom (RLS) pada lansia (Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).

c. Organ Pernapasan

Aliran darah yang lancar akan membawa nutrisi dan oksigen yang cukup untuk dibawa ke rongga dada serta paru-paru. Peningkatan kapasitas paru juga dapat terjadi, hal ini dapat mengurangi gejala

Sleep Disordered Breathing (SDB) (Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).

d. Sistem Endokrin

(60)

terapi merendam kaki dengan air hangat dapat menyebabkan efek sopartifik (efek ingin tidur), hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi hormone melatonin sebagai dampak dari rendam air hangat pada kaki sehingga seseorang yang merendam kakinya dengan air hangat dapat meningkat kualitas tidurnya (Amirta, 2007; Ningrum 2012).

e. Persyarafan

Efek merendam kaki dengan air hangat dapat menghilangkan stress (Ningrum, 2012). Tidak hanya itu, jika merendam kaki dilakukan lebih dari 5 menit akan menimbulkan relaksasi (Ebben & Spielman, 2006).

Adapun manfaat dari terapi air hangat adalah sebagai berikut : 1) Produksi perasaan rileks.

2) Merangsang ujung saraf untuk membuat perasaan segar kembali.

3) Meningkatkan sirkulasi darah. 4) Peningkatan metabolisme jaringan. 5) Penurunan kekakuan tonus otot. 6) Peningkatan migrasi leukosit. 7) Analgesik dan efek sedatif.

D. Penelitian Terkait

(61)

pendekatan one group pre test post test desain. Pemilihan sampel dengan teknik total sampling yang terdiri dari 20 responden lansia >60 tahun. Intervensi rendam kaki dilakukan dan diobservasi sebanyak 2 kali. Kuantitas tidur responden sebelum dan sesudah intervensi diukur dengan lembar observasi. Analisis data menggunakan uji paired t test dengan tingkat kemaknaan α=0,05 lalu kemudian diuji efektitivitasnya dengan uji

Anova. Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan kuantitas tidur (durasi tidur total) lansia setelah merendam kaki dengan air hangat. Perbedaan rata-rata kuantitas tidur lansia antara sebelum dan sesudah intervensi menunjukkan hasil analisis uji paired t test (p<0,05) dan hasil analisis uji anova menunjukkan nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara rata-rata kuantitas tidur lansia sebelum dan sesudah intervensi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kuantitas tidur lansia di Desa Mojojejer Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Moura Silva, Pereira Tucano, et, all (2012) mengenai efek dari hydrotherapy yang berjudul “Effect of hydrotherapy

(62)

renang hangat dalam ruangan tertutup (indoor). Pelatihan tersebut dilakukan dalam dua kali seminggu selama dua bulan, dan masing-masing sesi berlangsung 60 menit. Setelah diberikan intervensi, pasien mengisi tiga kuesioner yang terdiri dari: Fibromyalgia Impact Questionnaire

(FIQ), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale

(ESS). Setelah program hydrotherapy, pasien mengalami peningkatan aspek-aspek yang dinilai dengan menggunakan Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ) yakni; fungsi fisik, ketidakhadiran kerja, kemampuan untuk melakukan pekerjaan, intensitas nyeri, kelelahan, kelahan dipagi hari, kekakuan (P <0,0001), kecemasan (P = 0 ,0013), dan depresi (P <0,0001). Kualitas tidur (P <0,0001) dan kantuk di siang hari (P = 0,0003) juga meningkat. Kesimpulannya hydrotherapy meningkatkan kualitas tidur, fungsi fisik, status profesional, gangguan psikologis dan gejala fisik pada pasien dengan fibromyalgia.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Ebben & Spielman (2006) dengan judul ”The Effect of Distal Limb Warming on Sleep Latency” pada 11

(63)

E. Kerangka Teori

Bagan 2. 2 Kerangka teori: modifikasi dari teori Darmojo (2009), Handoyo (2014), Hidayat (2008), Juddith, dkk (2010), Maryam (2008), Potter & Perry (2011), Stanley & Beare (2007), Sudoyo (2006).

Lanjut Usia Perubahan aspek fisiologik

(64)

46 A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting (Sugiyono, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini akan menjelaskan hubungan antar variabel yang akan diteliti yaitu hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Variabel bebas (independen) yang ingin diketahui yakni pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia, sedangkan variabel terikat (dependen) yang akan diteliti yaitu skor kualitas tidur lansia. Adapun skema kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep Penelitian

Pra intervensi Intervensi Post intervensi

Keterangan :

= Variabel terikat = Variabel bebas

(65)

Berdasarkan bagan 3. 1 di atas, variabel dalam penelitian ini adalah: a. Variabel bebas (independen) adalah merendam kaki dengan air hangat. b. Variabel terikat (dependen) adalah kualitas tidur pada lansia.

B. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep penelitian tersebut di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho= Tidak Ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat.

(66)

C. Definisi Operasional

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 1. Merendam kaki dengan

air hangat

(67)
(68)

50 A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan pendekatan studi kuantitatif dengan desain penelitian quasi eksperimen. Rancangan penelitian ini adalah one group pre test and post test design merupakan rancangan penelitian yang mengungkapkan hubungan sebab akibat yang menggunakan satu kelompok subjek dengan cara melakukan pengukuran sebelum dan setelah perlakuan. Perbedaan kedua hasil pengukuran dianggap sebagai efek perlakuan (Nursalam, 2008). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon.

Penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok sampel tanpa menggunakan kelompok kontrol. Kelompok sampel diberi tes awal (pre test)

lalu diberikan perlakuan selama lima hari secara berturut-turut dan kemudian diberikan tes akhir (post test). Pre test dan post test dilakukan dengan menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

Bagan 4. 1 Desain Penelitian ( K )

Keterangan

K : Subjek (Lansia)

O : Observasi kualitas tidur sebelum intervensi (Pre test) I : Intervnesi (Merendam kaki dengan air hangat) OI : Observasi kualitas tidur setelah intervensi (Post test)

(69)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar, tepatnya di rumah setiap responden. Alasan memilih wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon sebagai lokasi penelitian adalah karena belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia. Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, dari 15 orang lansia didapatkan tujuh orang mengeluh tidurnya kurang nyenyak dan kurang bugar dipagi hari, lalu sisanya mengatakan sering terbangun 4-6 kali pada waktu tidur malam, dan sulit tertidur kembali.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan berkisar pada bulan April sampai Mei tahun 2015.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

(70)

kawasan wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar dengan jumlah 67 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Hidayat, 2009). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008). Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berumur ≥ 60 tahun

yang tinggal di kawasan wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Agar sampel yang digunakan

match, peneliti menentukan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi adalah batasan ciri atau karakter umum pada subyek penelitian, dikurangi karakter yang masuk dalam kriteria eksklusi (Saryono, 2011). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Lanjut usia yang berusia ≥60 tahun dan tinggal di kawasan wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon.

2. Dapat melihat dan mendengar dengan baik.

(71)

4. Tidak memiliki ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (hasil kuesioner Index Katz ≥2) dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Kriteria eksklusi adalah sebagian subyek yang memenuhi kriteria inklusi yang dikeluarkan dari penelitian karena dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga terjadi bias (Saryono, 2011). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lansia yang mengalami fraktur, luka bakar, kemerahan pada kulit kaki, atau luka terbuka pada daerah kaki.

2. Lansia yang mengikuti perawatan alternatif semacam pijat atau lainnya seperti akupuntur.

3. Lansia dengan riwayat Obstructive Sleep Apnea. 4. Lansia dengan riwayat Nokturia.

Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20. Seperti pemaparan Burns & Susan (2005) bahwa jumlah sample pada penelitian quasi eksperimen sebanyak 10-20 orang.

(72)

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasil lebih baik sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2011). Instrumen dalam penelitin ini yaitu lembar kuisioner atau angket yang terdiri dari data personal dan PSQI. Kuesioner PSQI digunakan untuk mengukur kualitas tidur yang terdiri dari 7 komponen yang menggambarkan tentang kualitas tidur secara subjektif, waktu mulainya tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat-obatan dan aktivitas yang dapat mengganggu tidur serta aktivitas sehari-hari terkait dengan tidur. Nomor pertanyaan masing-masing komponen dapat dilihat dalam tabel 4.1.

Tabel 4. 1 Komponen dan Nomor Pertanyaan Kuesioner PSQI

Nomor Komponen Nomor Pertanyaan

1. Subjektifitas 9

2. Latensi tidur 2, 5a

3. Lamanya tidur 4

4. Efisiensi tidur 1, 3, 4

5. Gangguan tidur 5b-5j

6. Penggunaan obat untuk

membantu tidur

6

(73)

Data personal responden berisi; nama, umur, jenis kelamin, alamat. Sedangkan Kuesioner PSQI terdiri dari 4 pertanyaan terbuka dan 14 pertanyaan yang menggunakan skala Likert. Kuesioner ini hanya bisa membedakan kualitas tidur yang buruk atau baik, bila skor total <5 dikatakan kualitas tidurnya baik, sedangkan jika skor total ≥5 dikatakan kualitas tidur

buruk (Buysse, 1989). Namun pada penelitian ini, peneliti hanya mengidentifikasi penurunan skor PSQI dan tidak mengkategorikan kualitas tidur, dikarenakan hasil dari post test tidak mencapai penurunan skor sampai skor < 5.

Kuesioner PSQI dibuat oleh D. J Buysse, Reynolds, Monk, Berman dan Kupfer (1989) yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia untuk mempermudah responden dalam mengisi kuesioner. Peneliti sudah meminta izin kepada D. J Buysse untuk menggunakan PSQI dan telah diizinkan. Namun akhirnya peneliti menggunakan kuesioner PSQI dari dr. Sari Theresia Bukit yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan memiliki hasil validitas yang tinggi. Kuesioner ini pernah beliau gunakan dalam penelitiannya ketika menjalani pendidikan spesialis saraf di FK USU. Peneliti sudah meminta izin kepada dr. Sari Theresia Bukit untuk menggunakan kuesioner tersebut dan tidak mengubah sedikitpun dari isi kuesionernya. Peneliti memilih PSQI sebagai instrumen penelitian karena PSQI memiliki reliabilitas internal 0,83 dan untuk pengukuran berulang secara global reliabilitas internalnya 0,85. Kemampuan sensitifitas mendiagnosa 89,6% dan kemampuan spesifitas 86,5% (kappa= 0,75,

(74)

1. Kuesioner lain yang berhubungan dengan kualitas tidur.

Penelitian ini membutuhkan beberapa kuesioner untuk memperkuat dan memudahkan pemilahan responden dalam proses penentuan sample, yaitu berupa: Geriatric Depression Scale (menilai tingkat depresi), dan Index Katz (menilai kemandirian dalam beraktivitas sehari-hari). Depresi berhubungan dengan terganggunya tidur sehingga seseorang dapat terbangun lebih awal dan sulit untuk memulai tidur kembali (Potter & Perry, 2011). Peneliti tidak mengikutsertakan responden yang memiliki resiko depresi sampai depresi berat (GDS≥8)

karena dapat membiaskan hasil dari pengaruh merendam kaki dengan air hangat sebelum tidur terhadap kualitas tidur lanjut usia. Pada penelitian ini juga akan diberikan suatu perlakuan, sehingga untuk lebih mempermudah proses penelitian (merendam kaki dengan air hangat) maka dipilih responden yang tidak memiliki ketergantungan aktivitas dalam sehari-harinya. Berikut ini penjelasan dari setiap kuesioner di atas:

1. Geriatric Depression Scale (GDS)

Gambar

tablet saat mau tidur. Pergolide dapat juga digunakan dengan
Tabel 3. 1 Definisi Operasional
Tabel 4. 1 Komponen dan Nomor Pertanyaan Kuesioner PSQI
tabel kontingensi yang telah diberi skor dan dimasukkan ke dalam tabel.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas tidur pada lansia yang mengalami gangguan tidur sebelum diberikan terapi rendam kaki air hangat di Rumah Usiawan Panti Surya Surabaya tergolong dalam

Dan berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika NTB mengatakan bahwa gangguan tidur merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari terapi rendam kaki menggunakan air garam hangat terhadap kualitas tidur pada

Hasil penelitian setelah dilakukan mandi dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia pada kelompok eksperimen, tingkat kualitas tidur lansia terlihat menurun,

Kualitas tidur usia lanjut pada kelompok eksperimen yang diberi intervensi rendam kaki dengan air hangat menunjukkan 10 orang (100%) mempunyai kualitas tidur baik..

Hasil penelitian setelah dilakukan mandi dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia pada kelompok eksperimen, tingkat kualitas tidur lansia terlihat menurun,

Tabel 2.1 Keaslian Penelitian Pengaruh Rendam Kaki Air Hangat terhadap Latensi dan Durasi Tidur Lansia di Panti Werdha Sinar Abadi, Singkawang ... Desain penelitian Pengaruh

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kualitas Tidur Lansia Sebelum Dilakukan Intervensi di Panti Wredha Harapan Ibu Semarang, Maret 2015 n 18 Tabel 2 menggambarkan