PENGUJIAN LAPANGAN EFIKASI BERBAGAI JENIS BAHAN AKTIF
TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH (JAP)
(
Rigidoporus microporus
(Swartz: Fr.)) DI AREAL
TANPA OLAH TANAH (TOT)
LYDIA MANURUNG 100301035
DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
PENGUJIAN LAPANGAN EFIKASI BERBAGAI JENIS BAHAN AKTIF
TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH (JAP)
(
Rigidoporus microporus
(Swartz: Fr.)) DI AREAL
TANPA OLAH TANAH (TOT)
SKRIPSI
Oleh :
LYDIA MANURUNG
100301035/HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
PENGUJIAN LAPANGAN EFIKASI BERBAGAI JENIS BAHAN AKTIF
TERHADAP PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH (JAP)
(
Rigidoporus microporus
(Swartz: Fr.)) DI AREAL
TANPA OLAH TANAH (TOT)
SKRIPSI
Oleh :
LYDIA MANURUNG 100301035
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Pengujian Lapangan Efikasi Berbagai Jenis Bahan Aktif Terhadap Penyakit
Jamur Akar Putih (JAP) (Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.)) di Areal Tanpa Olah Tanah (TOT)
Nama : Lydia Manurung NIM : 100301035 Departemen : Agroekoteknologi
Program Studi : Hama dan Penyakit Tumbuhan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ir. Lahmuddin Lubis, MP Dr. Ir. Marheni, MP
Ketua Anggota
Cici Indriani Dalimunthe, SP Pembimbing Lapangan
Mengetahui,
ABSTRAK
Lydia Manurung. 2014. “Pengujian Lapangan Efikasi Berbagai Jenis Bahan Aktif Terhadap Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) (R. microporus (Swartz:
Fr.)) Di Areal Tanpa Olah Tanah (TOT)”, dibimbing oleh Lahmuddin Lubis dan Marheni. Penelitian ini bertujuan untuk menguji lapangan
efikasi berbagai jenis bahan aktif terhadap penyakit Jamur Akar Putih (JAP) (R. microporus (Swartz: Fr.)) di Areal TOT. Penelitian ini dilaksanakan di kebun
percobaan balai penelitian sungei putih dengan ketinggian tempat 80 m dpl, mulai bulan Maret 2014 sampai Juni 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan berbagai jenis bahan aktif yaitu A (triadimefon), B (Trichoderma sp), C (bakteri endofit), D (ekstrak daun bangun-bangun), E (asap cair) dan F (kontrol).
Hasil penelitian manunjukkan bahwa berbagai jenis bahan aktif berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan. Hasil terbaik untuk menekan intensitas serangan terdapat pada A (triadimefon) sebesar 0%. Bahan aktif dari agensia hayati dan nabati berpengaruh nyata terhadap persentase pertambahan diameter batang dan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase pertambahan tinggi tanaman. Hasil terbaik pertambahan diameter batang terdapat pada B (Trichoderma sp) sebesar 57.05% dan D (ekstrak daun bangun-bangun)
sebesar 53.96%. Hasil terbaik pertambahan tinggi tanaman terdapat pada B (Trichoderma sp) sebesar 72.14% dan D (ekstrak daun bangun-bangun) sebesar
69.84%.
Kata kunci: Bahan aktif, R. microporus, karet, tanpa olah tanah
ABSTRACT
Lydia Manurung. 2014. "Field Testing Efficacy of Various Types of Active Ingredients Against White Root Disease (WRD) (R. microporus (Swartz: Fr)) Without Tillage Area (WTA)", by Lahmuddin Lubis and Marheni. This study aimed to test the efficacy of various types of field of active ingredient to White Root Disease (WRD) (R. microporus (Swartz: Fr)) Without Tillage Area (WTA)". The research was conducted in the experimental garden of Sungei Putih study hall with a height of 80 m above sea level, from March 2014 to June 2014 This study
used a randomized block design (RBD) of non-factorial with 6 treatments and
3 replications. Treatment of various types of active ingredients, namely A (triadimefon), B (Trichoderma sp), C (endophytic bacteria), D (bangun-bangun
leaf extract), E (liquid smoke) and F (control).
The results showed that different types of active ingredients very significant effect on the attack intensity. The best results are to suppress the intensity of the A (triadimefon) of 0%. The active ingredients of biological agents and vegetable significant effect on the percentage increase in stem diameter and very significant effect on the percentage increase in plant height. The best results are on the increase in the diameter of the rod B (Trichoderma sp) of 57.05% and D (bangun-bangun leaf extract) of 53.96%. The best results plant height increment contained in B (Trichoderma sp) of 72.14% and D (bangun-bangun leaf extract) of 69.84%.
Keywords: active ingredients, R. microporus, rubber, without tillage areas
RIWAYAT HIDUP
Lydia Manurung lahir di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1992 dari ayah
Sangkot P. Manurung dan ibu Siti Rusmina Dabukke. Penulis merupakan anak ke
empat dari lima bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh diantaranya:
- Tahun 2004 lulus dari Sekolah Dasar Negeri 08 Pagi di Jakarta.
- Tahun 2007 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 249 di Jakarta.
- Tahun 2010 lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 95 di Jakarta.
- Tahun 2010 lulus seleksi masuk USU melalui jalur UMB. Penulis memilih
Jurusan Agroekoteknologi, minat Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian Universitas sumatera Utara, Medan.
Pendidikan informal yang pernah ditempuh diantaranya:
- Tahun 2011 mengikuti seminar “Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan” di Medan.
- Tahun 2011 mengikuti seminar “Dalam Rangka Keselamatan LLAJ
Penyuluhan Langsung (Police Goes To Campus) Yang Diselenggarakan” di
Medan.
- Tahun 2011 penulis menerima beasiswa PPA.
- Tahun 2012 mengikuti seminar “Optimalisasi Sistem Pertanian Untuk
Menekan Dampak Perubahan Iklim Guna Terwujudnya Pertanian
Berkelanjutan” di Medan.
- Tahun 2013 penulis menerima beasiswa dari TOYOTA ASTRA
- Tahun 2013 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Perkebunan
- Tahun 2014 menjadi asisten Laboratorium Dasar Perlindungan Tanaman di
Fakultas Pertanian USU, Medan.
- Tahun 2010-2014 penulis aktif sebagai anggota HIMAGROTEK (Himpunan
Mahasiswa Agroekoteknologi).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerena
atas berkat dan KaruniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pengujian Lapangan Efikasi
Berbagai Jenis Bahan Aktif Terhadap Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) (R. microporus (Swartz: Fr.)) Di Areal Tanpa Olah Tanah (TOT)” yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di program Studi
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan
sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan untuk mengendalikan
penyakit JAP di Areal TOT.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang
telah membesarkan, menyayangi dan mendukung penulis, kepada komisi
pembimbing Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku ketua dan Dr. Ir. Marheni, MP
selaku anggota, Cici Indriani Dalimunthe, SP dan Pak soleh selaku pembimbing
lapangan di Balai Penelitian Sungei Putih, yang telah membimbing penulis dalam
penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman – teman yaitu Ida
Rumia Manurung, Josef Tohap Manalu, Junita Silangit, Silvia Samosir, Widia
Minati dan Arif wijaya yang telah membantu penulis serta kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran-saran yang membangun untuk perbaikan
skripsi ini. Medan, Agustus 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit... 8
Pengendalian Penyakit ... 8
Pelaksanaan Penelitian ... 19
Survei Lapangan ... 19
Diameter Batang Tanaman Karet ... 26
Tinggi Tanaman Karet ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 31
Saran ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
LAMPIRAN ... 36
DAFTAR GAMBAR
No. Hlm
1. Badan buah jamur R.microporus ... 5
2. Mikroskopis jamur R.microporus ... 6
3. Gejala serangan jamur R.microporus ... 7
DAFTAR TABEL
No. Hlm
1. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap intensitas serangan
(R.microporus) ……….. 23
2. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap diameter batang tanaman karet ... 26
3. Persentase pertambahan diameter batang tanaman karet pada setiap perlakuan ... 26
4. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap tinggi tanaman karet ... 29
5. Persentase pertambahan tinggi tanaman karet pada setiap perlakuan ... 29
DAFTAR LAMPIRAN
5. Intensitas serangan jamur R. microporus pre aplikasi ... 40
6. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap intensitas
13.Persentase pertambahan diameter batang tanaman karet ... 48
18.Persentase pertambahan tinggi tanaman karet ... 53
19.Foto lahan penelitian ... 54
20.Foto intensitas serangan R. microporus ... 55
ABSTRAK
Lydia Manurung. 2014. “Pengujian Lapangan Efikasi Berbagai Jenis Bahan Aktif Terhadap Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) (R. microporus (Swartz:
Fr.)) Di Areal Tanpa Olah Tanah (TOT)”, dibimbing oleh Lahmuddin Lubis dan Marheni. Penelitian ini bertujuan untuk menguji lapangan
efikasi berbagai jenis bahan aktif terhadap penyakit Jamur Akar Putih (JAP) (R. microporus (Swartz: Fr.)) di Areal TOT. Penelitian ini dilaksanakan di kebun
percobaan balai penelitian sungei putih dengan ketinggian tempat 80 m dpl, mulai bulan Maret 2014 sampai Juni 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak kelompok (RAK) non faktorial dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan berbagai jenis bahan aktif yaitu A (triadimefon), B (Trichoderma sp), C (bakteri endofit), D (ekstrak daun bangun-bangun), E (asap cair) dan F (kontrol).
Hasil penelitian manunjukkan bahwa berbagai jenis bahan aktif berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan. Hasil terbaik untuk menekan intensitas serangan terdapat pada A (triadimefon) sebesar 0%. Bahan aktif dari agensia hayati dan nabati berpengaruh nyata terhadap persentase pertambahan diameter batang dan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase pertambahan tinggi tanaman. Hasil terbaik pertambahan diameter batang terdapat pada B (Trichoderma sp) sebesar 57.05% dan D (ekstrak daun bangun-bangun)
sebesar 53.96%. Hasil terbaik pertambahan tinggi tanaman terdapat pada B (Trichoderma sp) sebesar 72.14% dan D (ekstrak daun bangun-bangun) sebesar
69.84%.
Kata kunci: Bahan aktif, R. microporus, karet, tanpa olah tanah
ABSTRACT
Lydia Manurung. 2014. "Field Testing Efficacy of Various Types of Active Ingredients Against White Root Disease (WRD) (R. microporus (Swartz: Fr)) Without Tillage Area (WTA)", by Lahmuddin Lubis and Marheni. This study aimed to test the efficacy of various types of field of active ingredient to White Root Disease (WRD) (R. microporus (Swartz: Fr)) Without Tillage Area (WTA)". The research was conducted in the experimental garden of Sungei Putih study hall with a height of 80 m above sea level, from March 2014 to June 2014 This study
used a randomized block design (RBD) of non-factorial with 6 treatments and
3 replications. Treatment of various types of active ingredients, namely A (triadimefon), B (Trichoderma sp), C (endophytic bacteria), D (bangun-bangun
leaf extract), E (liquid smoke) and F (control).
The results showed that different types of active ingredients very significant effect on the attack intensity. The best results are to suppress the intensity of the A (triadimefon) of 0%. The active ingredients of biological agents and vegetable significant effect on the percentage increase in stem diameter and very significant effect on the percentage increase in plant height. The best results are on the increase in the diameter of the rod B (Trichoderma sp) of 57.05% and D (bangun-bangun leaf extract) of 53.96%. The best results plant height increment contained in B (Trichoderma sp) of 72.14% and D (bangun-bangun leaf extract) of 69.84%.
Keywords: active ingredients, R. microporus, rubber, without tillage areas
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karet alam merupakan komoditas ekspor yang sangat penting sebagai
sumber devisa negara dan merupakan sumber penghidupan sebagian penduduk
Indonesia. Secara ekologi tanaman karet mendukung pelestarian lingkungan
hidup, sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Sumatera Selatan memiliki
lahan karet terluas di Indonesia yang mencapai 900.000 Ha (Muharni dan
Widjajanti, 2011). Sementara, luas perkebunan karet di Sumatera Utara cenderung
meningkat. Luas perkebunan karet pada tahun 2008 mencapai 462.036 Ha, 2009
mencapai 461.148 Ha, 2010 mencapai 463.394 Ha, 2011 mencapai 465.327 Ha
dan 2012 mencapai 470.202 Ha (Dirjenbun, 2012).
Karet (termasuk karet alam) merupakan kebutuhan yang vital bagi
kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan
barang-barang yang memerlukan komonen yang terbuat dari karet seperti ban
kendaraan, conveyorbat, dock pender, sepatu dan sandal karet. Karet alam adalah
salah satu komoditas perkebunan yang strategis bagi Indonesia (Widiyanti, 2013).
Luas perkebunan karet di Indonesia sekitar 3,6 juta hektar yang meliputi
80% perkebunan rakyat serta 20% perkebunan negara atau swasta. Perkebunan
karet di Indonesiadan terluas di pulau sumatera yaitu sebesar 70%, diikuti
kalimatan 20%, jawa 5% dan lain-lainnya 5%. Namun demikian produktivitas
karet di Indonesia tergolong relatif rendah. Perkebunan negara produktivitasnya
1260 kg per hektar per tahun, perkebunan swasta 1050 per kg per tahun dan
Penyakit pada tanaman karet seringkali menimbulkan kerugian besar bagi
petani. Dalam perkebunan karet dikenal lebih dari 25 jenis penyakit yang biasa
menimbulkan kerusakan. Namun yang paling penting adalah penyakit jamur akar
putih, kekeringan alur sadap, penyakit gugur daun, jamur akar merah, jamur upas,
mouldy rot dan nekrosis kulit. Sebagian besar penyakit disebabkan oleh jamur
(Balai Penelitian Tanah, 2008).
Penyakit akar putih disebabkan oleh jamur R. microporus
(R. lignosus). Penyakit ini mengakibatkan kerusakan pada akar tanaman. Gejala
pada daun terlihat pucat kuning dan tepi atau ujung daun terlipat ke dalam.
Kemudian daun gugur dan ujung ranting menjadi mati. Ada kalanya terbentuk
daun muda, atau bunga dan buah lebih awal. Pada perakaran tanaman sakit
tampak benang‐benang jamur berwarna putih dan agak tebal (rizomorf)
(Anwar, 2001).
Luas serangan penyakit JAP di Provinsi Sumatera Utara tahun 2009
hingga 2011 cenderung meningkat. Pada tahun 2009 luas serangan JAP 12.535,06
Ha, tahun 2010 luas serangan JAP meningkat menjadi 26.539,47 Ha dan tahun
2011 luas serangan menjadi 16.251,49 Ha (Muklasin dan Matondang, 2010).
Akar putih termasuk penyakit berbahaya jika dilihat dari akibat yang
ditimbulkannya. Prevalensi serangan penyakit tertinggi terjadi pada tanaman
muda berumur 2 - 4 tahun, meskipun bisa juga menyerang tanaman berumur enam
tahun. Serangan pada umur tiga tahun bisa mengakibatkan kematian dalam waktu
enam bulan sejak terinfeksi dan pada umur enam tahun menyebabkan kematian
Penyakit akar putih mengakibatkan kerugian ekonomi negara yang cukup
besar tidak hanya akibat kerusakan tanaman tetapi juga biaya yang dikeluarkan
untuk pengendaliannya. Penyakit akar putih mengakibatkan kematian tanaman
sehingga secara langsung menurunkan produksi kebun. Jika produksi karet kering
rata-rata 2,7 kg/pohon, maka penurunan produksi selama 20 tahun sebesar 54 kg.
Hal ini berarti nilai kehilangan finansial sekitar Rp. 24.300/pohon/tahun atau
Rp. 486.000/pohon/20 tahun (Situmorang, 2004).
JAP terutama menular karena adanya kontak antara akar tanaman sehat
dengan akar tanaman sakit, atau dengan kayu-kayu yang mengandung JAP. Agar
dapat mengadakan infeksi pada akar yang sehat, jamur harus mempunyai
makanan yang cukup. JAP dapat menular dengan perantaraan rizomorf
(Semangun, 2008).
Dengan mengetahui cara perkembangbiakan JAP, maka strategi
pengendalian jamur ini harus sesuai dengan konsep pengendalian secara terpadu
yang efektif, efesien, mudah digunakan petani pekebun. Adapun cara
pengendalian tersebut sebagai berikut penanaman dengan tanaman (klon) yang
tahan terhadap penyakit jamur akar putih. Klon yang tahan terhadap akar putih
adalah BPM 1, AVROS 2037, RRIM 600, LCB 479, PR 228, PR 225, PR 300, LCB 1320, dan klon konvensional GT 1 (Liptan, 1997).
Pengolahan tanah pada areal tanaman karet tidak dapat menghindari
tanaman karet dari serangan JAP. Hal tersebut hanya memperlambat serangan
JAP pada tanaman karet. Oleh karena itu, permasalahan mengenai JAP perlu
dilakukan penelitian dengan penggunaan berbagai jenis bahan aktif terhadap
pengendalian penyakit JAP (R. microporus (Swartz: Fr.)) di Areal TOT dan diharapkan diketahui bahan aktif yang dapat dikembangkan sebagai pengendali
penyakit JAP pada tanaman karet di areal TOT.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji lapangan efikasi berbagai jenis
bahan aktif terhadap penyakit JAP (R. microporus (Swartz: Fr.)) di Areal TOT.
Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh pemberian berbagai jenis bahan aktif terhadap penekanan
intensitas serangan penyakit JAP (R. microporus (Swartz: Fr.)) di Areal TOT.
Kegunaan Penelitian
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program
Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan untuk mengendalikan
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Patogen
Menurut Alexopoulus et al (1996) penyakit JAP (R. microporus) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Aphylloporales
Famili : Polyporaceae
Genus : Rigidoporus
Spesies : Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.)
Tubuh buah berbentuk kipas tebal agak berkayu, mempunyai zona-zona
pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat yang radier, mempunyai tepi yang
tipis. Warna permukaan tubuh buah dapat berubah tergantung dari umur dan
kandungan airnya. Pada permukaan tubuh buah benang-benang jamur berwarna
kuning jingga, tebalnya 2,6-4,5µm, mempunyai banyak sekat. Pada waktu masih
muda berwarna jingga jernih sampai merah kecoklatan dengan zona gelap agak
menonjol (Muklasin dan Matondang, 2010).
Gambar 1. Badan buah jamur R.microporus
R. microporus mamiliki basidiospora bulat, tidak berwarna, dengan garis
tengah 2,8-5,0 µm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium
pendek (buntak), lebih kurang 16 x 4,5-5,0 µm, tidak berwarna, mempunyai
empat sterigma (tangkai basidiospora). Diantara basidium-basidium terdapat
banyak sistidium yang berbentuk gada, berdinding tipis dan tidak berwarna
(Semangun, 2008).
Gambar 2.A. R. lignosus (R. microporus), B. basidium (a) dengan basidiospora (bs) dan sistidium (s). (Semangun, 2008)
Daur Hidup Patogen JAP
Berbeda dengan jamur-jamur lain, JAP dapat menular dengan perantaraan
rizomorf. Kalau pada kebanyakan jamur akar rizomorf hanya menjalar pada
permukaan akar, pada jamur akar putih rizomorf dapat menjalar bebas dalam
tanah, terlepas dari atau kayu yang menjadi sumber makanannya. Setelah
mencapai akar tanaman yang sehat rizomorf lebih dahulu tumbuh secara episifitik
pada permukaan akar sampai agak jauh sebelum mengadakan penetrasi ke dalam
akar (Semangun, 2008).
Pola perkembangan penyakit akar putih adalah monosiklik yaitu siklus
perkembangan penyakit berlangsung tahunan. Penyakit akar putih tersebut
berkembang secara lambat dengan nilai r-nya (laju perkembangan) relatif rendah
penting. Tanaman karet masih muda merupakan periode kritis terhadap penyakit
akar putih.Persentase tanaman terinfeksi naik mulai umur satu tahun dan
mencapai puncaknya pada umur 2 tahun kemudian mulai menurun pada umur
3 tahun (Situmorang, 2004).
Gejala Serangan
Serangan patogen menyebabkan akar menjadi busuk dan umumnya pada
permukaan akar ditumbuhi rizomorf jamur. Gejala yang tampak pada daun adalah
daun-daun yang semula tampak hijau segar berubah menjadi layu, berwarna
kusam dan akhirnya kering. Pada keadaan tersebut menunjukkan bahwa tanaman
telah menderita serangan pada tahap lanjut dan tidak mungkin untuk
diselamatkan. Membusuknya akar diduga karena rusaknya struktur kimia kulit
dan kayu akibat enzim yang dihasilkan jamur (Pawirosoemardjo, 2004).
Untuk memastikan gejala tersebut disebabkan oleh JAP maka sebaiknya
tanaman diperiksa dengan membuka leher akar.
3a 3b
Gambar 3a. Bibit batang bawah yang terserang Jamur Akar Putih 3b. Akar tanaman sudah berwarna coklat dan membusuk
Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Penyakit
JAP dapat tumbuh pada suhu 10oC - 35oC spora dapat berkecambah
dengan baik pada suhu optimum antara 25oC - 30oC. JAP juga menyukai kondisi
tanah yang berpori dan lembab serta menyukai pH antara 3-9, optimum antara
7-8 yaitu pH tanah yang netral dengan struktur tanah yang berpori (tanah liparit),
sebaliknya dia tidak suka pada tanah yang bereaksi masam
(Sinulingga dan Eddy, 1989).
Tunggul atau sisa akar tanaman karet dan kayu hutan primer merupakan
sumber infeksi jamur akar putih yang paling penting pada pertanaman. Di antara
tunggul ini terdapat beberapa tunggul yang telah terinfeksi jamur akar putih dan
menjadi sumber penularan sangat efektif. Dari tunggul ini jamur akar putih
melalui kontak akar menular ke tunggul lain dekatnya dan menjadi sumber infeksi
baru (Situmorang, 2004).
Setelah patogen menginfeksi tanaman, perkembangan JAP selanjutnya
bergantung pada pH, kandungan bahan-bahan organik, kelembapan dan aerase
tanah. R. micropous dapat tumbuh baik pada kelembapan diatas 90%, kandungan
bahan organik tinggi serta aerase yang baik. Apabila kondisi ini sesuai, patogen
dapat menjalar sejauh 30 cm dalam waktu 2 minggu (Sinulingga danEddy, 1989).
Pengendalian Penyakit
Teknik pengendalian penyakit JAP meliputi 2 tahap yaitu tahap pencegahan
dan pengobatan tanaman sakit. Tahapan pencegahan lebih bersifat kepada
tindakan yang dilakukan sebelum tanaman terserang dan menjaga agar tanaman
karet tidak terkena penyakit JAP. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
- Pada saat persiapan lahan, dilakukan pembongkaran dan pemusnahan tunggul
serta sisa akar tanaman..
- Penanaman kacang-kacangan penutup tanah (Legume Cover Crops/LCC)
selain berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah melalui
pengikatannitrogen bebas dari udara, serta membantu menghambat
pertumbuhan JAP.
- Pembangunan kebun menggunakan bibit yang sehat mulai dari persiapan
batang bawah di pembibitan dan penggunaan entres yang tidak terkena JAP.
- Perlindungan tanaman di lapangan,di antaranya dengan menaburkan belerang
di sekitar leher akar tanaman sebanyak 100-200 gram/pohon dengan jarak
10 cm dari batang tanaman. Pemberian produk berbahan aktif Trichoderma
(biologis) dengan dosis 100gram/pohon yang dilakukan setiap enam bulan.
- Pemeliharan tanaman dilakukan dengan pemupukan dan penyiangan rumput,
gulma dan vegetasi lainnya di barisan tanaman karet. Tidak menanam tanaman
yang memungkinkan menjadi inang jamur akar diantara tanaman karet, seperti
ubi kayu atau ubi jalar (Budi dkk, 2008).
Pengendalian pada tanaman sakit dilakukan pada saat serangan dini dan
dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Pengendalian dilakukan dengan cara
menggali tanah pada daerah leher akar, kemudian leher akar diolesi dengan
fungisida dan ditutup kembali dengan tanah. Jenis fungisida dan alternatif
penggunaannya adalah sebagai berikut:
- Pengolesan : Calixin CP, Fomac 2, Shell CP dan Ingro Pasta 20 PA.
- Penyiraman: Alto 100SL, Anvil 50 SC, Bayfidan 250 EC, Bayleton 250 EC,
- Penaburan: Belerang, Bayfidan 3G, Anjap P, Biotri P dan Triko SP+
- Pada areal tanaman yang mati sebaiknya dilakukan pembongkaran tunggul
dan diberikan belerang sebanyak 200 gr, agar jamur yang ada mati
(Purwanta dkk, 2008).
Bahan Aktif
Triadimefon
Pada penelitian ini menggunakan fungisida berbahan aktif triadimefon.
Triadimefon yaitu bahan kimia yang memiliki potensi efek toksik kumulatif yang
rendah terhadap tanaman tetapi memiliki efek toksik yang cukup tinggi terhadap
manusia sehingga berpengaruh pada kesehatan manusia. Triadimefon termasuk
dalam kelompok pestisida yang disebut triazoles (conazoles) dan juga mencakup
fungisida Propiconazole. Fungisida triazole memilikiunsur senyawa 1,2,4 -
triazole, alanintriazole, dan asam asetat triazole. Triadimenol merupakan
metabolit dari Triadimefon yang bersifat toleran pada tanaman (Edwards, 2006).
Bayleton 250 EC dan Bayfidan 250 EC merupakan dua jenis fungisida
yang pertama kali dianjurkan untuk mengendalikan jamur akar putih dengan
metode penyiraman. Hasil pengujian pengujian pada tanaman karet umur dua
tahun setelah 2 bulan perlakuan menunjukkan bahwa daya efikasi bayleton
250 EC 10 ml terhadap seranggan JAP (R. lignosus) pada tanaman karet sebesar
100% (Sinulingga dkk, 1991).
Pengendalian penyakit JAP secara kimiawi merupakan tindakan kuratif
yang dilakukan pada tanaman sakit. Penggunaan bahan kimia semula dengan cara
pelumasan, namun dengan berkembangnya teknologi maka aplikasi fungisida
(Bayleton). Dalam konsep pengendalian penyakit secara integrasi, penggunaan
pestisida masih tetap perlu dilakukan untuk menekan serangan penyakit
(Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2003).
Trichoderma sp
Jamur Trichoderma adalah salah satuagen biokontrol menjanjikan
terhadap jamur patogen. Strain tertentu Trichoderma memiliki kemampuan untuk
mengendalikan berbagai patogen di berbagai kondisi lingkungan. Selain itu, jamur
Trichoderma dapat menjadi rizosfir kompeten yang melindungi akar tanaman.
Mekanisme yang dilakukan Trichoderma adalah mycoparasitisme, dengan
memproduksi enzim kitinolitik, ß - glukanase atau selulase yang paling penting
dalam biokontrol yang dapat mendegradasi dinding sel jamur patogen
(Anand and Reddy, 2009).
Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula
berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa
spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti
T. Harzianum, T. Viridae, dan T. Konigii yang berspektrum luas pada berbagai
tanaman pertanian. Biakan jamur Trichoderma diberikan ke areal pertanaman dan
berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (rontokan
dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu
(Herlina dan Dewi, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sudantha dkk (2011) jamur
Trichoderma spp dapat menekan jamur patogen tular tanah Fusarium oxysporum
f. sp dengan skor efektivitas antagonis tinggi (nilai 4) artinya jamur tersebut
hifanya mengecil. Trichoderma spp dapat menekan jamur patogen tular tanah
melalui tiga mekanisme, seperti jamur T. viride mampu hidup sebagai mikoparasit
yang dapat melakukan penetrasi ke miselium dan klamidospora jamur patogen
sehingga terjadi lisis dan pengkristalan, menghasilkan antibiotik (gliotoksin dan
viridin) yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen dan mempunyai
kemampuan tumbuh yang lebih cepat sehingga terjadi persaingan dalam ruang
dan nutrisi dengan jamur lainnya.
Penelitian di Rubber Research Institute of Nigeria (RRIN) tentang
pengendalian R. microporus menggunakan tiga jamur antagonis yaitu
Trichoderma sp, Penicillium dan Aspergillus menunjukkan bahwa Trichoderma
sp paling efektif menghambat R. microporus dengan penghambatan 81,85%,
diikuti oleh Penicillium (65,27%), sedangkan Aspergillus tidak mempunyai daya
hambat (Berlian dkk, 2013).
Bakteri Endofitik
Bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup di dalam jaringan tanaman
tanpa merugikan bahkan memberikan banyak manfaat bagi tanaman inangnya.
Bakteri endofit melakukan kolonisasi pada relung ekologi yang sama dengan
patogen tanaman (khususnya patogen layu pembuluh), sehingga bakteri ini lebih
cocok sebagai kandidat agensia pengendalian hayati. Bakteri endofit
menimbulkan banyak pengaruh menguntungkan terhadap tanaman inangnya,
antara lain menstimulasi pertumbuhan tanaman, memfiksasi nitrogen dan
menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen tanaman (Marwan dkk, 2011).
Hampir semua tanaman dihuni oleh beragam bakteri endofitik. Sebagian
pembuluh xylem. Beberapa bakteri endofit mampu menduduki organ reproduksi
tanaman, misalnya bunga, buah dan biji. Di dalam tanaman, bakteri ini biasanya
tidak menyebabkan perubahan morfologi substansial seperti simbion akar - bintil.
Sejumlah kecil bakteri endofit terbukti sangat efektif untuk pertumbuhan tanaman
dan agen biokontrol dalam pertanian (Malfanova, 2013).
Beberapa bakteri endofit mempunyai daya antagonis terhadap jamur
patogen tular tanah seperti Sclerotium, Phytium, Fusarium. Pengendalian biologi
dengan menggunakan bakteri endofit merupakan salah satu alternatif
pengendalian jamur parasit tanaman. Keunggulan bakteri ini sebagai agens
pengendali hayati yaitu mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi, menghasilkan
hormon pertumbuhan dan mengendalikan penyakit tumbuhan serta dapat
menginduksi ketahanan tanaman (Hallmann, 2001).
Nabati Ekstrak Daun Tanaman Bangun Bangun (Coleus aromaticus)
Genus Coleus pertama kali dijelaskan oleh De Loureiro (1970 ). Tanaman
obat ini memiliki sifat kuratif karena adanya berbagai zat kimia yang kompleks
dari sifat kimia yang berbeda, yang ditemukan sebagai metabolit sekunder
tanaman dalam satu atau lebih bagian dari tanaman ini. Tanaman dari genus ini
diketahui mengandung berbagai senyawa aktif terapeutik dan memiliki aktivitas
biologis terhadap sejumlah penyakit. Ekstraksi daun tanaman coleus digunakan
untuk senyawa aktif antimikroba (Malathi et al, 2011).
Ekstrak daun Plectranthus amboinicus (nama lain dari Coleus aromaticus)
pada plasmodium, Rao et al (2006) dijelaskan secara in vitro memiliki potensi
radikal yang bebas dan dapat melakukan penghambatan peroksidalipid oleh
dari CAE dipelajari dengan menggunakan mikronukleusassay setelah penyinaran
matahari. Shyama et al (2002) meneliti potensi anticlastogenik dari etanol
yangdiekstrak dari C. aromaticus dan hasilnya menunjukkan efek perlindungan
terhadap siklofosfamid dan mitomycin (Rout et al, 2012).
Hasil penelitian Mardisiswojo dan Rojakmangunsudarso (1985) dan
Valera et al (2003) melaporkan bahwa tanaman bangun-bangun mengandung
minyak atsiri 0,043% yang berfungsi dapat melawan infeksi cacing, antibakteri,
antijamur. Kandungan senyawa lain pada daun bangun-bangun adalah flavonol
yang dapat menghambat perdarahan dan saponin yang bekerja sebagai
antimikroba (Sajimin dkk, 2011).
Asap Cair (Deorub K)
Asap cair merupakan fraksi cairan yang mengandung komponen senyawa
kimia yang sangat kompleks, terdiri dari aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat,
ester, furan, turunan piran, fenol, turunan fenol (senyawa-senyawa fenolat),
hidrokarbon, dan senyawa-senyawa nitrogen diperoleh melalui degradasi termal
biomassa yang mengandung lignin, hemiselulosa, dan selulosa dengan sedikit
oksigen. Komponen senyawa fenol dan turunannya yang terkandung dalam asap
cair berpotensi sebagai bahan antioksidan (Aditria dkk, 2013).
Asap cair merupakan cairan berwarna coklat yang dihasilkan dari proses
pirolisis dengan derajat keasaman (pH) sekitar 2,5. Efek antibakteri dan antijamur
pada asap cair disebabkan adanya senyawa fenol dan rendahnya pH asap cair yang
menyebabkan lisis dan terganggunya permeabilitas dinding sel sehingga
menghambat metabolisme dan pertumbuhan mikroba (Vachlepi dan Solichin,
Berdasarkan hasil uji antagonis di Laboraturium asap cair dapat
menghambat perkembangan JAP di cawan petri, sehingga diharapkan dapat
menjadi alternatif pengganti fungisida kimiawi. Mekanisme kerja senyawa yang
terkandung pada asap cair ini adalah dengan penghancuran dinding sel dan
presipitasi (pengendapan) protein sel dari mikroorganisme sehingga terjadi
koagulasi dan kegagalan fungsi pada mikroorganisme tersebut. Penghambatan
pertumbuhan cendawan ini terjadi karena asap cair mengandung fenol dan asam
organik sehingga adanya kombinasi antara komponen fungsional fenol dan
kandungan asam organik yang cukup tinggi bekerja secara sinergis mencegah dan
mengontrol pertumbuhan cendawan (Darmadji, 1996).
Tanpa Olah Tanah
Sistem tanpa olah tanah terkait dengan penggunaan herbisida, karena
herbisida diperlukan sebagai pengganti olah tanah untuk mematikan sisa-sisa
tumbuhan yang telah ada dan untuk menyiapkan lahan tanaman yang bebas dari
gulma dan penyakit. Herbisida banyak digunakan untuk pengendalian gulma
secara efektif, sehingga dapat menurunkan pernakaian tenaga kerja dan biaya
produksi (Ar Riza dkk, 2001).
Teknik TOT dapat diterapkan dengan baik pada berbagai tipe tanah,
terutamatanah lempung berpasir sampai lempung berliat, tanah berdrainase baik
(TOT padi sawah) maupun berdrainase buruk (TOT lahan kering), dan tanah datar
sampai berbukit. TOT umumnya meningkatkan kelembaban tanah dengan
berkurangnya evaporasi. Di daerah dengan curah hujan rendah dan tanah yang
dapat menyimpan air, peningkatan kelembaban tanah akan meningkatkan
meningkatnya kelembaban tanah, suhu tanah menjadi lebih rendah
(Utomo, 2000).
Timbulnya penyakit R. microporus erat hubungannya dengan kebersihan
lahan. Tunggul atau sisa tebangan pohon, perdu dan semak yang tertinggal dalam
tanah merupakan substrat R. microporus. Potensi R. microporus sangat ditentukan
oleh banyaknya tunggul dilahan yang bersangkutan. Lama bertahan R. microporus
dalam tanah disamping ditentukan oleh hal tersebut juga ditentukan oleh ikut
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei
Putih Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang pada ketinggian tempat 80 m
dpl dan berlangsung pada bulan Maret 2014 sampai dengan Juni 2014.
Bahan dan Alat
Bahan – bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain tanaman
karet klon PB 260 pada TBM 1 yang berumur 4 bulan, berbagai jenis bahan aktif
seperti fungisida bahan aktif triadimefon 10ml/liter air/tanaman, biofungisida
Trichoderma sp dengan kerapatan konidia 18 s.d 20 x 106 per gram sebanyak 100
gr/tanaman, bakteri endofitik dengan kerapatan sel 109 CFU sebanyak 50
ml/tanaman, ekstrak daun tanaman bangun-bangun 500 ml/tanaman, asap cair
dengan konsentrasi 1,00% sebanyak 10ml/liter air/tanaman, air satu liter/tanaman
dan bahan – bahan pendukung lainnya.
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung ukur
berukuran 50 ml, ember ukur berukuran 20 liter, gelas beker ukuran 500 ml, gelas
beker ukuran 1000 ml timbangan, batang pengaduk, blender, jangka sorong,
meteran, label, kamera, saringan, kain muslin dan alat – alat pendukung lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non
faktorial yang terdiri dari 6 perlakuan dan 3 ulangan. Masing-masing perlakuan
digunakan adalah 90 unit tanaman percobaan. Bahan aktif yang digunakan sebagai
berikut:
A = Fungisida b.a. triadimefon
B= Biofungisida Trichoderma sp
C= Bakteri endofitik
D= Ekstrak daun tanaman bangun-bangun
E= Asap cair
F= Kontrol (aquades)
Jumlah perlakuan 6 x 3 = 18 perlakuan, yaitu :
Ulangan 1: F A B C D E
Ulangan 2: A B C D E F
Ulangan 3: F E D C B A
Jumlah ulangan diperoleh dari rumus sebagai berikut:
(t-1) (r-1) ≥ 15
(18-1) (r-1) ≥ 15
17r ≥ 32
r ≥ 1.88
jumlah ulangan minimum adalah 2 ulangan.
Jumlah ulangan yang dipakai adalah 3 ulangan.
Model linear yang digunakan adalah:
Yij = µ + λj + βj + εij
Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-j dan ulangan ke-i
µ = nilai tengah
βj = pengaruh perlakuan ke-j
εij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-j dan ulangan ke-i
Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh perlakuan berbeda nyata atau sangat
nyata, maka dilakukan Uji Jarak Duncan (UJD).
(Bangun, 1988).
Pelaksanaan Penelitian Survei Lapangan
Survei lapangan dilakukan sekali yaitu tiga hari sebelum aplikasi bahan
aktif pertama. Survei lapangan dilakukan pada pagi hari. Luas areal yang di amati
yaitu ±1 hektar. Jumlah populasi tanaman karet seluruhnya ada 600 pohon karet.
Penandaan Unit Percobaan
Penandaan unit percobaan dilakukan satu hari setelah survei lapangan.
Penandaan unit percobaan dilakukan pada pagi hari dengan memberikan label
penanda untuk setiap unit percobaan.
Pembuatan Ekstrak
Daun bangun-bangun diperoleh dari desa parbagotam Kabupaten
Pematang Siantar. Daun bangun-bangun dipetik dari sekeliling pokok bambu yang
telah melapuk. Daun bangun-bangun segar sebanyak 1000 gram dicuci dengan air
terlebih dahulu, diiris tipis daun bangun-bangun kemudian diekstrak dengan
menambahkan air sebanyak 1000 ml. Ekstraksi dilakukan dengan cara
memblender daun bangun-bangun sampai halus. Hasil ekstrak ditambahkan
kemudian ekstrak disaring menggunakan kain muslin. Diaplikasikan sebanyak
500 ml/tanaman untuk 15 unit tanaman percobaan.
Penyiapan Bahan Aktif
Bahan aktif seperti triadimefon, Trichoderma sp, bakteri endofitik, asap
cair dan aquades diperoleh dari hasil pengujian Laboratorium Balai Penelitian
Sungei Putih. Untuk perhitungan kebutuhan bahan aktif triadimefon dan asap cair
sama yaitu disediakan air sebanyak 15 liter pada ember berukuran 20 liter lalu
diukur sebanyak 150 ml cairan triadimefon / asap cair menggunakan tabung ukur
berukuran 50 ml kemudian dituang ke dalam ember dan diaduk hingga larutan
homogen. Untuk perhitungan kebutuhan bahan aktif bakteri endofitik yaitu diukur
sebanyak 750 ml bakteri endofitik cair menggunakan gelas beker berukuran
500 ml, bakteri endofitik akan diaplikasikan sebanyak 50 ml/tanaman untuk
15 tanaman karet. Untuk perhitungan kebutuhan bahan aktif Trichoderma sp
dengan cara menimbang sebanyak 1500 gr Trichoderma sp dalam bentuk biakan
sekam padi dengan menggunakan timbangan, Trichoderma sp akan diaplikasikan
sebanyak 100 gr/tanaman untuk 15 tanaman karet. Untuk perhitungan kebutuhan
bahan aktif ekstrak daun bangun-bangun yaitu dengan cara mengukur sebanyak
7500 ml ekstrak menggunakan gelas beker berukuran 500 ml, ekstrak daun
bangun-bangun akan diaplikasikan sebanyak 500 ml/tanaman untuk 15 tanaman
karet. Untuk perhitungan kebutuhan bahan aktif air yaitu diukur air sebanyak
15 liter pada ember dengan menggunakan gelas beker berukuran 1000 ml.
Pengaplikasian
Pengaplikasian bahan aktif dilakukan sebulan sekali pada pagi hari.
sekeliling pangkal batang tanaman sesuai dengan dosis masing-masing, untuk
pengaplikasian bahan aktif Trichoderma sp, tanah di sekitar tanaman karet digali
sedalam 3 cm kemudian ditaburkan bahan aktif Trichoderma sp sesuai dosis dan
ditutup kembali dengan tanah sedangkan pada perlakuan kontrol tanaman cukup
disiram dengan air.
Parameter Pengamatan
Intensitas Serangan JAP (R. microporus)
Pengamatan intensitas serangan dilakukan setiap sebulan sekali setelah
aplikasi. Pengamatan intensitas serangan dilaksanakan dengan cara membuka
tanah disekitar leher akar dan mengamati ada tidaknya miselium jamur berwarna
putih menyelimuti permukaan akar dan ditentukan skala serangannya sesuai nilai
skala serangan JAP. Nilai katagori serangan JAP menurut (Pawirosoemardjo dan
Purwantara, 1985) yaitu sebagai berikut skala :
0 = tanaman sehat, akar tanaman bebas patogen
1 = permukaan akar tanaman telah ditumbuhi miselium jamur
2 = kulit akar tanaman telah terinfeksi, dan terjadi perubahan warna pada
kulit akar.
3 = bagian kulit dan akar tanaman telah terinfeksi oleh patogen.
4 = tanaman hampir mati atau mati karena jaringan akar tanaman telah
membusuk.
Setelah mengetahui nilai kategori serangan, kemudian ditentukan
intensitas serangan R. microporus dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
I =Σn x v
Keterangan:
I = intensitas serangan
n = jumlah akar tanaman sakit dari setiap kategori serangan
v = nilai skala dari setiap kategori serangan
Z = nilai skala dari kategori serangan tertinggi (4)
N = jumlah tanaman yang diamati
(Triwahyu dan Suryaminarsih, 2009).
Diameter Batang Tanaman Karet
Pengamatan diameter batang tanaman karet dilakukan setiap sebulan
sekali. Pengukuran diameter batang tanaman karet dengan menggunakan jangka
sorong. Diameter batang yang diukur yaitu berjarak 2 cm dari pertautan
tumbuhnya stum. Setelah pengamatan diameter batang dari pre aplikasi sampai
dengan 3 bsa (3 bulan setelah aplikasi) kemudian dihitung persentase
pertambahan diameter batang dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Persentase pertambahan =DB pada 3 bsa−DB pre aplikasi
DB pada 3 bsa � 100 %
Keterangan:
DB = diameter batang
DB 3 bsa = diameter batang pada 3 bulan setelah aplikasi
DB pre aplikasi = diameter batang sebelum aplikasi
Tinggi Tanaman Karet
Pengamatan tinggi tanaman karet dilakukan setiap sebulan sekali.
Pengukuran tinggi tanaman karet menggunakan meteran. Tinggi tanaman yang
pengamatan tinggi tanaman dari pre aplikasi sampai dengan 3 bsa (3 bulan setelah
aplikasi) kemudian dihitung persentase pertambahan tinggi tanaman dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Persentase pertambahan =TT pada 3 bsa−TT pre aplikasi
TT pada 3 bsa � 100 %
Keterangan:
TT = tinggi tanaman
TT 3 bsa = tinggi tanaman pada 3 bulan setelah aplikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh berbagai Jenis Bahan Aktif terhadap Intensitas Serangan Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus)(%).
Dari hasil analisis sidik ragam intensitas serangan R. microporus pada
setiap perlakuan berbagai jenis bahan aktif di areal TOT, menunjukkan hasil yang
berbeda sangat nyata terhadap kontrol, sedangkan antar perlakuan bahan aktif
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 5-8). Pengaruh berbagai
jenis bahan aktif terhadap intensitas serangan R. microporus pada 1-3 bulan
setelah aplikasi (BSA) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap intensitas serangan JAP
(Rigidoporus microporus) (%)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple Range test, Pre aplikasi : sebelum aplikasi; BSA: bulan setelah aplikasi.
A: triadimefon, B: Trichoderma sp, C: bakteri endofitik, D: ekstrak daun bangun-bangun, E: asap cair, F: air.
Pengamatan 3 BSA menunjukkan bahwa intensitas serangan tertinggi
terdapat pada perlakuan F (kontrol) yaitu sebesar 13.33% dan intensitas serangan
terendah terdapat pada perlakuan A (triadimefon) yaitu sebesar 0%.
Perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan A (triadimefon) yaitu dengan
intensitas serangan R. microporussebesar 0% dari awal hingga akhir pengamatan
(3 BSA). Hal ini menunjukkan fungisida berbahan aktif triadimefon memiliki sifat
Rataan Intensitas Serangan (%) bulan ke-
daya efikasi yang tinggi dan bekerja secara sistemik untuk menghambat
pertumbuhan patogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sinulingga dkk(1991) yang
menyatakan bahwa daya efikasi bayleton 250 EC (triadimefon) terhadap
seranggan JAP (R. microporus) pada tanaman karet sebesar 100%.
Penggunaan agensia hayati berbahan aktif (Trichoderma sp dan bakteri
endofitik) tidak kalah efektif dibandingkan penggunaan fungisida kimiawi
berbahan aktif triadimefon dalam menekan intensitas serangan R. microporus
pada areal TOT (tanah tanpa olah). Intensitas serangan R. microporus pada
perlakuan B (Trichoderma sp) mulai dari pre aplikasi,1 BSA dan 2 BSA sebesar
0%, pengamatan 3 BSA terdapat serangan sebesar 3.33% sedangkan intensitas
serangan R. microporus pada perlakuan C (bakteri endofitik) mulai dari pre
aplikasi sebesar 0% dan hingga pengamatan 3 BSA serangan JAP naik menjadi
1.67%. Intensitas serangan yang kecil menunjukkan bahan aktif yang diuji
tersebut masih menunjukkan pengaruhnya dalam menghambat perkembangan
penyakit. Hal ini berbeda nyata dengan kontrol (tanpa perlakuan) di mana
serangan awal JAP 0% naik menjadi 11.67% pada pengamatan 3 BSA. Jamur
Trichoderma sp memiliki kemampuan dalam menghambat patogen melalui
persaingan dalam ruang dan nutrisi dalam tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Berlian dkk (2013) yang menyatakan bahwa penelitian di Rubber Research
Institute of Nigeria (RRIN) tentang pengendalian R. microporus menggunakan
jamur antagonis menunjukkan bahwa Trichoderma sp paling efektif menghambat
R. microporus dengan penghambatan 81.85%.
Penggunaan fungisida nabati berbahan aktif (ekstrak daun bangun-bangun
areal TOT. Intensitas serangan R. microporus pada perlakuan D (ekstrak daun
bangun-bangun) mulai dari pre aplikasi dan 1 BSA sebesar 0%, 2 BSA sebesar
3.33% dan sebesar 1.67% pada akhir pengamatan (3 BSA) sedangkan intensitas
serangan R. microporus pada perlakuan E (asap cair) mulai dari pre aplikasi dan
1 BSA sebesar 0%, pengamatan 2 BSA dan 3 BSA sebesar 3.33%. Intensitas
serangan patogen pada penggunaan pestisida nabati tergolong rendah. Hal ini
membuktikan bahwa pestisida nabati mengandung senyawa-senyawa yang
bersifat antijamur yang dapat melindungi tanaman dari serangan organisme lain.
Sajimin dkk (2011) menyatakan bahwa tanaman bangun-bangun mengandung
minyak atsiri 0,043% yang berfungsi dapat melawan infeksi cacing, antibakteri
dan antijamur.
Intensitas serangan R. microporus pada perlakuan F (kontrol) cenderung
meningkat setiap bulannya. Intensitas serangan R. microporus mulai dari pre
aplikasi sebesar 0%, pada pengamatan 1 dan 2 BSA meningkat menjadi 11.67%
dan 15.00%. Namun, pada pengamatan 3 BSA intensitas serangan R. microporus
turun menjadi 13.33%. Jamur akar putih bila tidak dikendalikan semakin lama
serangannya akan meningkat sehingga perlu dilakukan pengendalian baik secara
preventif maupun kuratif. Pada areal TOT ini keberadaan tunggul-tunggul atau
sisa-sisa akar yang melapuk merupakan sumber inokum JAP tidak merata di
setiap lubang tanam karet sehingga menyebabkan intensitas serangan
R. microporus pada pengamatan 3 BSA turun menjadi 13.33%. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pawirosoemardjo (2004) yang menyatakan bahwa potensi
R. microporus sangat ditentukan oleh banyaknya tunggul dilahan yang yang
Pengaruh Berbagai Jenis Bahan Aktif terhadap Diameter Batang (cm)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diameter batang tanaman karet
pada setiap perlakuan berbagai jenis bahan aktif di areal TOT, menunjukkan hasil
yang berbeda nyata terhadap F (kontrol) dan perlakuan A (triadimefon),
sedangkan antar perlakuan bahan aktif yang lainnya tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata (lampiran 9-13). Rataan diameter batang dan persentase pertambahan
diameter batang dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 2. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap diameter batang tanaman (cm)
Rataan Diameter Batang (cm) bulan ke-
Perlakuan Pre aplikasi 1 BSA 2 BSA 3 BSA
Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple Range test, Pre aplikasi : sebelum aplikasi; BSA: bulan setelah aplikasi.
A: triadimefon, B: Trichoderma sp, C: bakteri endofitik, D: ekstrak daun bangun-bangun, E: asap cair, F: air.
Pada pengamatan 3 BSA diketahui bahwa perlakuan B (Trichoderma sp)
memiliki diameter batang tanaman karet tertinggi yaitu sebesar 1.56 cm dan
terendah terdapat pada perlakuan F (kontrol) dan A (triadimefon) yaitu sebesar
1.14 cm.
Tabel 3. Persentase pertambahan diameter batang tanaman karet pada setiap perlakuan Perlakuan Persentase pertambahan (%)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple Range test, Pre aplikasi : sebelum aplikasi; BSA: bulan setelah aplikasi.
A: triadimefon, B: Trichoderma sp, C: bakteri endofitik, D: ekstrak daun bangun-bangun, E: asap cair, F: air.
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan keempat bahan aktif
non-kimiawi berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter batang. Persentase
pertambahan diameter batang yang tertinggi terdapat pada perlakuan
B (Trichoderma sp) yaitu sebesar 57.05% dan terendah terdapat pada perlakuan
F (kontrol) yaitu sebesar 30.70%. Trichoderma sp merupakan agensia hayati yang
selain memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan patogen juga dapat
menguraikan bahan organik/serasah yang berguna bagi tanaman. Hal tersebut
sepadan dengan pendapat Sudantha dkk (2011) yang menyatakan bahwa
Trichoderma sp dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen dan mempunyai
kemampuan tumbuh yang lebih cepat sehingga terjadi persaingan dalam ruang
dan nutrisi dengan jamur lainnya.
Persentase pertambahan diameter batang pada perlakuan lainnya juga
menunjukkan peningkatan yang cukup baik, yakni perlakuan D (ekstrak daun
bangun-bangun) sebesar 53.96%, C (bakteri endofit) sebesar 50.00% dan
E (asap cair) sebesar 47.40%. Penggunaan bahan aktif yang berasal dari tumbuhan dan mikroorganisme berguna selain dapat menghambat dan mematikan patogen
juga berfungsi sebagai metabolit sekunder yang dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, contoh pada bakteri endofitik yang melawan patogen dan dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Marwan dkk (2011) berpendapat bahwa
inangnya, antara lain menstimulasi pertumbuhan tanaman, memfiksasi nitrogen
dan menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen tanaman
Persentase pertambahan diameter batang tanaman pada perlakuan
A (triadimefon) sebesar 39.47% tidak berbeda jauh dengan perlakuan F (kontrol)
yaitu sebesar 30.70%. Tetapi kedua perlakuan tersebut sangatlah berbeda nyata
dengan perlakuan bahan aktif lainnya (agensia hayati dan nabati). Penggunaan
bahan kimiawi memang diperuntukkan untuk mengendalikan penyakit, terutama
pada serangan yang berat. Hal ini dikarenakan bahan kimia memiliki efak toksik
yang tinggi bagi patogen baik secara kontak maupun sistemik. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Edwards (2006) yang menyatakan triadimefon yaitu bahan kimia
yang memiliki efek toksik yang cukup tinggi. Triadimefon termasuk dalam
kelompok pestisida yang disebut triazoles (conazoles) dan juga mencakup
fungisida Propiconazole.
Pengaruh Berbagai Jenis Bahan Aktif terhadap Tinggi Tanaman (cm)
Hasil analisis sidik ragam pada parameter tinggi tanaman karet pada
setiap perlakuan berbagai jenis bahan aktif di areal TOT, menunjukkan hasil yang
sangat berbeda nyata terhadap perlakuan F (kontrol) dan perlakuan
A (triadimefon), sedangkan antar perlakuan bahan aktif yang lainnya tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (lampiran 14-18). Untuk rataan tinggi
tanaman dan persentase pertambahan tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel 4 dan
tabel 5.
Tabel 4. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap tinggi tanaman (cm) Rataan tinggi tanaman (cm) bulan ke-
Perlakuan Pre aplikasi 1 BSA 2 BSA 3 BSA
C 31.16 52.40a 64.90a 84.97a D 25.58 46.28a 59.60a 84.82a E 37.70 63.77a 74.30a 101.63a F 33.44 39.70b 51.96b 66.66b Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple Range test, Pre aplikasi : sebelum aplikasi; BSA: bulan setelah aplikasi.
A: triadimefon, B: Trichoderma sp, C: bakteri endofitik, D: ekstrak daun bangun-bangun, E: asap cair, F: air.
Pada pengamatan 3 BSA diketahui bahwa perlakuan B (Trichoderma sp)
memiliki tinggi tanaman karet tertinggi yaitu sebesar 102.91 cm dan terendah
terdapat pada perlakuan A (triadimefon) yaitu sebesar 48.68 cm.
Tabel 5. Persentase pertambahan tinggi tanaman karet pada setiap perlakuan Perlakuan Persentase pertambahan(%)
Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Duncan Multiple Range test, Pre aplikasi : sebelum aplikasi; BSA: bulan setelah aplikasi.
A: triadimefon, B: Trichoderma sp, C: bakteri endofitik, D: ekstrak daun bangun-bangun, E: asap cair, F: air.
Berdasarkan analisis sidik ragam yang tertuang pada tabel 5 menunjukkan
bahwa persentase pertambahan tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan
B (Trichoderma sp) yaitu sebesar 72.14% dan terendah terdapat pada perlakuan
A (triadimefon) yaitu sebesar 46.10%. Trichoderma merupakan agensia hayati
yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Hal ini selaras dengan pendapat
yang dikemukakan Herlina dan Dewi (2009) yang menyatakan bahwa spesies
Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai
Secara umum penggunaan fungisida nabati pada perlakuan D (ekstrak
daun bangun-bangun) dan E (asap cair) berbeda sangat nyata terhadap persentase
pertambahan tinggi tanaman yaitu sebesar 69.84% dan 62.90%. Hal ini
dikarenakan pestisida dari bahan nabati memiliki beberapa senyawa yang dapat
menghambat pertumbuhan jamur sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Hal ini senada dengan pendapat Darmadji (1996) yang menyatakan bahwa
penghambatan pertumbuhan cendawan ini terjadi karena asap cair mengandung
fenol dan asam organik sehingga adanya kombinasi antara komponen fungsional
fenol dan kandungan asam organik yang cukup tinggi bekerja secara sinergis
mencegah dan mengontrol pertumbuhan cendawan.
Persentase pertambahan tinggi tanaman pada perlakuan F (kontrol) sebesar
49.83% tidak berbeda jauh dengan perlakuan A (triadimefon) yaitu sebesar
46.10%. Kedua perlakuan ini sangat berbeda nyata dengan perlakuan bahan aktif
yang lain (agensia hayati dan nabati). Pengendalian penyakit secara kimiawi
diutamakan untuk mengendalikan penyakit, terutama pada serangan yang berat
dan tidak ditujukan untuk pertumbuhan tanaman. Direktorat Perlindungan
Perkebunan (2003) menyatakan bahwa pengendalian penyakit JAP secara kimiawi
dengan cara penyiraman fungisida yang berbahan aktif triadimefon (Bayleton)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap intensitas serangan JAP
(R. microporus) menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan
F (kontrol) yaitu sebesar 11.67% (1 bsa), 15.00% (2 bsa) dan 13.33% (3 bsa).
2. Perlakuan A (triadimefon) merupakan perlakuan terbaik diantara perlakuan
yang ada, fungisida kimia mampu mempertahankan intensitas serangan JAP
(R. microporus) tetap 0% hingga akhir pengamatan (3 BSA).
3. Pengaruh agensia hayati intensitas serangan JAP (R. microporus) pada
perlakuan B (Trichoderma sp) yaitu sebesar 3.33% dan perlakuan C (bakteri
endofitik) sebesar 1.67%.
4. Pengaruh fungisida nabati terhadap intensitas serangan JAP (R. microporus)
pada perlakuan D (ekstrak daun bangun-bangun) yaitu sebesar 1.67% dan
perlakuan E (asap cair) sebesar 3.33%.
5. Persentase pertambahan diameter batang tertinggi pada perlakuan
B (Trichoderma sp) yaitu sebesar 57.05% dan terendah pada perlakuan
F (Kontrol) yaitu sebesar 30.70%.
6. Persentase pertambahan tinggi tanaman tertinggi terdapat pada perlakuan
B (Trichoderma sp) yaitu sebesar 72.14% dan terendah pada perlakuan
A (triadimefon) yaitu sebesar 46.10%.
Saran
Perlu dilakukan pengujian lanjutan yang bersifat kuratif untuk melihat
pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap serangan jamur akar putih di areal
DAFTAR PUSTAKA
Aditria, R., B. Cahyono dan F. Swastawati. 2013. Identifikasi Komponen Penyusun Asap Cair Dari Ampas Sagu dan Kulit Batang Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb) serta Penentuan Senyawa Fenolat Total dan Aktivitas Antioksidan. J. Chem Info. Vol 1 (1): 240-246.
Alexopoulus, C.J., C. W. Mims and M. Blackwell, 1996. Introduction Micology 4 EditionJohn Wiley and Sons, New York.869 p.
Anand S and J. Reddy. 2009. Biocontrol Potential of Trichoderma Sp. Against Plant Pathogens. Inter National Journal of Agriculture Sciences, ISSN: 0975-3710, Volume 1, Issue 2, 2009, pp-30-39, India.
Anwar, C. 2001. Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet, MiG Corp. Medan.
Ar-Riza, l., Nazemi dan M. Alwi. 2001. Peranan Glifosat Dalam Pengendalian dan Suksesi gulma Pada Pertanaman Padi Intercrop Dengan Tanaman Karet di Lahan Kering Masam. Prosiding Konferensi Nasical
XVHimpunan Ilmu Gulma Indonesia. Suroto, D., A. Yunus., E. Purwanto., Wartoyo, dan Supriyono (ed), Surakarta, ll - Iv Juli 2001.
hlm. 496 -503.
Balai Penelitian Tanah. 2008. Panduan Praktis Budidaya Tanaman Karet (Hevea brassiliensis). Balai Penelitian Tanah Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Bangun, M. K. 1988. Perancangan Percobaan. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Berlian, I., B. Setyawan dan H. Hadi. 2013. Mekanisme antagonisme
Trichoderma spp Terhadap beberapa Patogen Tular Tanah. Warta Perkaretan, Sungei Putih. Vol 32 (2): 74-82.
Budi, G. Wibawa, Ilahang, R. Akiefnawati, L. Joshi, E. Penot dan Janudianto. 2008. Panduan Pembangunan Kebun Wanatani Berbasis Karet Klonal.
World Agroforestry Centre (ICRAF).
Damanik, S., M. Syakir., M. Tasma dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.
Darmadji, P. 1996. Aktivitas Antibakteri Asap Cair Diproduksi dari Bermacam-macam Limbah Pertanian. Agritech.
Dirjenbun, 2012. Luas Areal Karet Menurut Provinsi Di Indonesia Tahun 2008 Sampai 2012. Direktoral Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Edwards, D. 2006. Triadimefon And Tolerance Reassessment For Triadimenol. United States Environmental Protection Agency.
Hallmann J. 2001. Plant Interaction With Endophytic Bacteria. In: Jeger Mj. and Spence Nj, Editor. Biotic Interaction In Plant-Pathogen Associations. CAB International. p.87-119.
Herlina, L dan P. Dewi. 2009. Penggunaan Kompos Aktif Aktif Trichoderma Harzianum Dalam Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Cabai.Laporan Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Ismail, M dan B. A. Bakar
5 Februari 2014.
Liptan.1997. Jamur Akar Putih (JAP) Pada Karet.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Padang Marpoyan – Riau.
Malathi, R., A. Cholarajan., K. Karpagam1., K.R. Jaya1 and P. Muthukumaran. 2001. Antimicrobial Studies on Selected Medicinal Plants (Coleus amboinicus, Phyla nodiflora and Vitex negundo). Asian J. Pharm. Tech. 2011; Vol. 1: Issue 2, Pg 53-55, India.
Malfanova, N.V. 2013. Endophytic Bacteria With Plant Growth Promoting And Biocontrol Abilities. Leiden University Dissertation, Germany.
Marwan, H., M. S. Sinaga., Giyanto dan A. A. Nawangsih. 2011. Isolasi dan Seleksi Bakteri Endofit Untuk Pengendalian Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang. J. HPT Tropika.Vol. 11(2):113 – 121.
Muklasin dan C. O. Matondang, 2010. Trend Perkembangan Serangan Hama dan Penyakit Tanaman Karet Di Provinsi Sumatera Utara. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan, Medan.
Nurhayati, Fatma dan M. I. Amiruddin. 2010. Ketahanan Enam Klon Karet Terhadap Infeksi Corynespora Penyebab Penyakit Gugur Daun. J. HPT Tropika. Vol 10, No 1: 4, No 1: 47-51.
Purwanta, J. H., Kiswanto dan Slameto. 2008. Teknologi Budidaya karet. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Pawirosoemardjo dan Purwantara, 1985. Pengujian Fungisida Bayleton 2 PA Terhadap Rigidoporus microporus (Klotszch) imazeki Dalam Kondisi
Laboratorium dan Rumah Kaca Balai Penelitian Perkebunan Bogor, hal: 8.
Rout, O. P., R. Acharya, S. K. Mishra, and R. Sahoo. 2012. Pathorchur (Coleus aromaticus): A Review of The Medicinal Evidence For Its Phytochemistry and Pharmacology Properties. International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology.Vol 3 (4).
Sajimin, N. D. Purwantari, E. Sutedi dan Oyo. 2011. Pengaruh Interval Potong terhadap Produktivitas dan Kualitas Tanaman Bangun-Bangun (Coleus amboinicus L.) Sebagai Komoditas Harapan Pakan Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. JITV Vol 16 (4) : 288-293.
Semangun, H. 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sinulingga, W., dan Eddy, S., 1989, Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih Pada Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet, Sungei Putih, hal: 8-13.
Sinulingga, W., Basuki dan H.Soepena.1991. Pemberantasan Jamur Akar Putih Pada tanaman Karet Dengan Cara Penyiraman Fungisida.Warta Perkaretan Sungei Putih. Vol 10 (1-3).
Situmorang, A. 2004. Strategi dan Manajemen Pengendalian Penyakit Akar Putih Di Perkebunan Karet pp 66-86.Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet Untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendatang Industri Perkaretan Indonesia Tahun 2020 Palembang 6-7 Mei 2004. Pusat Penelitian Tanaman Karet, Sumbawa.
Situmorang, A dan A. Budiman.2003. Penyakit Tanaman Karet dan
Pengendaliannya. Balit Sembawa Pusat Penelitian Karet, Palembang, hal 41.
Sudantha, I. M., I. G. M. Kusnarta dan I. N. Sudana. 2011. Uji Antagonisme Beberapa Jenis Jamur Saprofit Terhadap Jamur Fusarium oxysporumf. sp.
cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang Serta Potensinya Sebagai Agens Pengurai Serasah. Agroteksos Vol.21 No.2-3.
Dalam Mendukung Revitalisasi Pertanian’ Surabaya, 2 Desember 2009 Diselenggarakan oleh Fak.Pertanian & lppm Upn “Veteran” Jawa Timur.
Utomo, M. 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi Sebagai Pilar Pertanian Berkelanjutan. Pemberdayaan Petani, Sebuah Agenda Penguatan Masyarakat Warga. DPP HKTI.
Vachlepi, A dan M. Solichin. 2008. Aplikasi Formula Asap Cair (Deorub K) Sebagai Penggumpal Lateks. Warta Perkaretan. Vol 27 (2): 80-87.
Widiyanti, 2013. Pembangunan Kebun Bibit Batang Bawah Karet (Hevea brasilliensis). Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya.
Lampiran 2. Jadwal Penelitian
Jenis Kegiatan Minggu ke-
Lampiran 3. Sumber Trichoderma sp
Diproduksi oleh : Balai Penelitian Sungei Putih
Kandungan : Trichoderma koningii dan Trichoderma viridae
Kandungan Spora : 18 s.d 20 x 106 per gram
Berat : 2500 gram
Kegunaan : Biofungisida yang mampu mengendalikan Jamur Akar
Putih pada tanaman karet.
Direalisasi tahun : 2003
Lampiran 4. Sumber Bakteri Endofitik
Sumber : Balai Penelitian Sungei Putih
Bakteri endofitik merupakan hasil eksplorasi Balai Penelitian Sungei Putih
bersumber dari perakaran tanaman karet. Bakteri ini masih dalam tahap pengujian
laboratorium dan lapangan dan belum diidentifikasi.
Lampiran 5. Intensitas Serangan Pre Aplikasi
Perlakuan IS Pre Aplikasi Total Rataan
I II III
A 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
B 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
C 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
D 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
E 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
F 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Rataan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Transformasi Arcsin √persentase
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
A 4.05 4.05 4.05 12.16 4.05
B 4.05 4.05 4.05 12.16 4.05
C 4.05 0.00 4.05 8.11 2.70
D 4.05 4.05 4.05 12.16 4.05
E 4.05 4.05 4.05 12.16 4.05
F 4.05 4.05 4.05 12.16 4.05
Total 24.33 20.27 24.33 68.93
Lampiran 6. Pengaruh berbagai jenis bahan aktif terhadap intensitas serangan JAP pada 1 bsa
Perlakuan Ulangan Total Rataan I II III
Transformasi Arcsin √persentase Perlakuan Ulangan Total Rataan