• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PRAKTIK PROSTITUSI (Studi Kepolisian Sektor Panjang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PRAKTIK PROSTITUSI (Studi Kepolisian Sektor Panjang)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PRAKTIK PROSTITUSI

( Studi Kasus Pada Kepolisian Sektor Panjang ) Oleh

Kukuh Bagus Gunawan

Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, kaitannya dengan perdagangan perempuan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 lebih kearah praktek-praktek prostitusi dan tunasusila yang dilakukan oleh mucikari (Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP).Eksistensi Kepolisian merupakan petugas utama yang harus dijalankan sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh Polri didasarkan atas asas legalitas Undang-Undang yang karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu. Bagaimanakah upaya Kepolisian dalam menanggulangi praktik prostitusi, Apakah faktor-faktor penghambat upaya Kepolisian dalam dalam menanggulangi praktik prostitusi.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.

(2)

Kukuh Bagus Gunawan terlibat dalam pelacuran tersebut dengan memberikan informasi bahwa akan diadakan suatu razia, kurangnya kesadaran masyarakat yang mencari keuntungan dari pelacuran tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap pelacur dengan melindungi atau menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.

(3)

menjatuhkan nilai atau martabatnya seorang wanita. Wanita seharusnya menjadi pendamping suami yang sah dan melahirkan anak-anak serta mendidik untuk menjadi generasi yang berguna. Bila mereka terjerumus dalam prostitusi maka akan menghancurkan masa depan mereka. Bila dikaitkan dengan agama khususnya agama islam maka prostitusi adalah pekerjaan tercela dan menanggung aib yang besar dan tergolong pelaku zina. Zina hukumnya dosa besar dan tempatnya di neraka jahanam kecuali Allah SWT menerima taobatnya. Zina ini jangan

dilakukan, untuk mendekatinya saja dilarang, seperti hadis nabi “jangan dekati zina,

sesungguhnya zina itu pekerjaan keji dan mungkar.”1

Prostitusi juga secara tegas dikategorikan sebagai perbuatan cabul sekaligus merupakan penyakit masyarakat, KUHP menyatakan dalam Pasal 296 yang berkaitan dengan kegiatan prostitusi yang menyatakan.

Pasal 296 KUHP :

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh

orang lain dengan orang lain, dan menjadi pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima

ribu rupiah (disesuaikan)”

Pada dasarnya, pelacuran/prostitusi menyangkut masalah sosial yang mengganggu nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang tak bermoral, dan sangat berlawanan dengan hukum yang berlaku. Sebab itu, masalah-masalah sosial tidak akan mungkin dapat ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat

1

(4)

mengenai apa yang dianggap baik dan apa dianggap buruk. Apalagi belakangan ini di jaman yang serba penuh kesulitan ekonomi. Keadaan ekonomi yang sulit menyebabkan orang-orang berani melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beberapa di antaranya ingin menghasilkan uang banyak melalui jalan pintas tanpa pertimbangan akibat hukumnya.2

Aktifitas kehidupan pekerja seks komersial memang tidak terlepas dari kehidupan dunia malam. Artinya, mereka dapat kita temui hampir ditempat-tempat hiburan sepanjang jalan jalan protokol, sudut-sudut kota dan tidak terkecuali tempat-tempat umum. Kekhawatiran kita kini akan menyebarnya pekerja seks yang terkesan dibiarkan (tidak terkontrol) begitu saja melakukan prakteknya tanpa usaha-usaha menertibkannya. Tindak asusila pada zaman sekarang ini dalam bentuk ribuan pelacur atau pekerja seks dijadikan tawanan para germo. Pekerja seks yang melibatkan wanita muda dibawah umur 30 tahun. Mereka itu pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia muda yaitu 13 – 24 tahun dan yang paling banyak ialah usia 17–21 tahun. Pekerja seks ini dieksploitir oleh mucikari atau germo dan mereka diancam dengan pembunuhan apabila mereka itu mencoba melarikan diri atau mengadukan nasib kepada polisi.3

Kemiskinan, kebodohan, kekurangan informasi memang dapat menyesatkan dan sekaligus menjerumuskan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia membuat para perempuan terjerat dalam lingkaran yang sukar diputuskan. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat membuat para perempuan menghalalkan segala cara dengan dalih untuk mencari sesuap nasi. Hal ini mengakibatkan menurunnya moral dan etika masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya timur. Oleh karenanya praktek prostitusi harus diberantas. Pemberantasan yang dimaksud dalam penelitian ini, difokuskan kepada Kepolisian Republik Indonesia yang merupakan ujung

2

Kartono. Kartini. 1992.Patologi Sosial.CV Rajawali: Jakarta hal:179 3

(5)

tombak dalam pemberantasan dan penanggulangan kriminal, seperti pelacuran/protitusi walapun banyak menghadapi kesulitan.

Eksistensi Kepolisian merupakan petugas utama yang harus dijalankan sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh Polri didasarkan atas asas Legalitas Undang-Undang yang karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar, pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.

TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka peranan Kepolisian adalah :

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat

2. Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memiliki keahlian dan keteerampilan secara profesional

Telah dikenal oleh masyarakat luas terlebih dikalangan kepolisian, bahwa tugas yuridis Kepolisian tertuang dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat dan jelas bahwa prostitusi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang mana merusak moral masyarakat.

(6)

pelaku atas perbuatannya yang salah dan merobah mental pelaku agar menjadi lebih baik dan lebih siap untuk hidup secara benar ditengah-tengah masyarakat dengan keterampilan-keterampilan yang memadai sebagai modal dalam mempertahankan kehidupannya.

Kejahatan prostitusi yang terjadi di Provinsi Lampung khususnya wilayah Panjang yang semakin lama semakin meningkat dan sangat meresahkan masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius, hal tersebut tercatat dalam sumber data Kepolisian sektor Panjang setidaknya pekerja seks komersial atau pelacur dan para germo yang terjaring dalam razia bertambah jumlahnya pertahun dapat bertambah dari jumlah pekerja seks komersial atau pelacur yang terjaring razia Penyakit masyarakat (Pekat) oleh Kepolisian, mengingat masyarakat kota Panjang adalah masyarakat yang religius dan dikenal sangat menjungjung tinggi nilai-nilai adat dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, sangat menentang keras adanya praktek-praktek prostitusi di seputaran daerah Kota Bandar Lampung, khususnya daerah Panjang.

Sesuai dengan fungsi hukum yaitu untuk menjaga ketertiban maka segala bentuk pelanggaran terhadap moral dan kesusilaan tetap harus ditindak atau dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya dalam hukum yang berlaku, sesuai menurut Undang undang Perdagangan orang, KUHP, dan mengenai traficking. Sehubungan dengan hal di atas menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian,“Upaya Kepolisian dalam MenanggulangiPraktikProstitusi”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

(7)

Menanggulangi Kejahatan Prostitusi maka permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah upaya Kepolisian Sektor Panjang dalam menanggulangi praktik prostitusi? 2. Apakah faktor-faktor penghambat upaya Kepolisian Sektor Panjang dalam dalam

menanggulangi praktik prostitusi?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini dibatasi ruang lingkup penelitian dalam ruang lingkup bidang ilmu hukum pidana berkaitan dengan hukum pidana dan upaya penanggulangan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mendapatkan data dalam menjawab permasalahan dengan ruang lingkup penelitian pada upaya pihak kepolisian Polsek Panjang dalam menanggulangi praktik prostitusi diwilayah Polsek Panjang yaitu faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan prostitusi pada wilayah hukum Kepolisisan Sektor Panjang, upaya yang dilakukan oleh Kepolisisan Sektor Panjang dalam menanggulangi kejahatan prostitusi, faktor penghambat yang dihadapi Kepolisian Sektor Panjang dalam menanggulangi praktik prostitusi, penelitian ini akan dilakukan pada studi kasus berdasarkan kasus dengan lingkup penelitian diwilayah hukum Lampung khususnya wilayah Panjang antara lain Polsek Panjang dan Dinas Sosial.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

(8)

menanggulangi praktik prostitusi.

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi :

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini : 1. Kegunaan Teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai praktik prostitusi

b. Memberikan kontribusi kepada kalangan akademisi dan praktisi, penambahan pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana

c. Memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang tugas dan fungsi polisi dalam pemberantasan prostitusi

2. Kegunaan Praktis

Dapat menjadi sumbangsih bagi pemerintah, khususnya bagi lembaga Legislatif sebagai bahan masukan untuk membuat suatu peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan prostitusi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

(9)

sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4 Manusia sebagaimana diakui oleh hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum) pada dasarnya secara normal mengikuti hak-hak yang dimiliki manusia. Hal ini berkaitan dengan arti hukum yang memberikan pengayom, kedamaian dan ketentraman seluruh umat manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian hukum pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi.5 Penanggulangan kejahatan ditetapkan dengan cara :

1. Penerapan hukum pidana 2. Pencegahan tanpa pidana

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di

4

Soekanto, Soerjano.2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3.Universitas Indonesia pres: Jakarta, hal 127

5

(10)

samping itu, upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Kunarto yang dikutip oleh Sunarto (2007 : 94 ),6 upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan operasi rutin dan operasi khusus, yaitu : 1. Upaya Represif

Upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas kejahatan setelah kejahatan tersebut terjadi.

2. Upaya Preventif

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dengan mempersempit kesempatan.

3. Upaya Pre-Emptif

Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan faktor penyebab yang menjadi pendorong terjadinya kejahatan tersebut.

4. Operasi Khusus

Operasi khusus adalah operasai yang akan diterapkan khusus untuk menghadapi masa rawan yang diprediksi dalam kalender baru kerawanan kamtibnas berdasarkan pencatatan data tahun-tahun silam.

Masalah penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut,7faktor-faktor penegakan hukum adalah sebagai berikut :

6http://silcabustam.blogspot.com/2011_10_01_archive.html .21-10-2012 7

(11)

a. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu.8

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.9

Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan sekripsi ini, agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemahaman atau penafsiran yang ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

8

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung, hal:9

9

(12)

a. Kepolisisan adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Polisi adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif..

b. Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkret.

c. Penanggulangan adalah suatu proses, perbuatan, atau suatu cara menanggulangi.

d. Prostitusi adalah Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin Pro-stituere atau Pro-stauree yang berarti usaha menyerahkan diri untuk maksud hubungan seks secara terang-terangan dengan imbalan jasa.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan dapat mudah dipahami dari sitematika penulisannya yang disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang pendahuluan yang merupakan latar belakang yang menjadi titik tolak dalam perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang menjelaskan teori.

(13)

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum pengertian pidana, kejahatan prostitusi, pengertian wanita tuna susila atau PSK, pengertian tugas dan fungsi kepolisian dalam upaya menanggulangi praktik prostitusi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data secara analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang membahas permasalahan-permasalahan

yang ada, yaitu ; mengenai upaya Kepolisian dalam menanggulangi praktik prostitusi.

V. PENUTUP

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum POLRI

1. Tugas dan Fungsi Polisi Republik Indonesia

Eksistensi Kepolisian adalah peran utama yang harus dijalankan sehubungandengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh POLRI didasarkan atas asas Legalitas Undang-Undang yang karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar, pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.

Pemaknaan akan Pelindung, Pengayom, dan Pelayan masyarakat bisa beragam dari berbagai tinjauan, namun untuk kesamaan persepsi bagi kita dan langkah bagi kita, pemaknaan itu dapat dirumuskan :

1. Pelindung : adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikanperlindungan bagi warga masyarakat, sehingga terbebas dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya, serta merasa tentram dan damai

2. Pengayom : adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, ajakan, pesan dan nasehat yang dirasakan bermanfaat bagi warga masyarakat

3. Pelayan : adalah anggota POLRI yang setiap langkah pengabdiannya dilakukan secara bermoral, beretika, sopan, ramah dan proporsional

(15)

setiap langkah kegiatan apapun yang dilakukan oleh personil POLRI berkaitan dengan tugasnya, melainkan juga dalam perilaku kehidupannya sehari-hari Tampilan perilaku dimaksud akan sangat tergantung pula kepada integritas pribadi masing-masing anggota POLRI, untuk bisa dilaksanakan secara sadar, baik dan tulus. Pada intinya, perilaku yang ditampilkan dapat berwujud :

Sebagai Pelindung : berikan bantuan kepada masyarakat yang merasa terancam dari gangguan fisik dan psikis tanpa perbedaan perlakuan

1. Sebagai Pengayom : dalam setiap kiprahnya, mengutamakan tindakan yang bersifat persuasif dan edukatif

2. Sebagai Pelayan : layani masyarakat dengan kemudahan, cepat, simpatik, ramah, sopan serta pembebanan biaya yang tidak semestinya

3. Sebagai pengayom, POLRI harus selalu simpati dan ramah tamah. Disini ada tiga konsep policy Kapolri yang relevan, yaitu etis, tanggap dan jangan semena mena. Sedangkan sebagai pengawas masyarakat, Polri harus tegas, berwibawa dan kalau perlu keras. Satu lagi konseppolicyPolri adalah relevan kuat, yaitu Polri harus sadar bahwa dirinya adalah sebagai”Crime Hunter”.

(16)

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat

2. Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memiliki keahlian dan keteerampilan secara profesional

2. Polisi sebagai ujung Tombak

Telah dikenal oleh masyarakat luas terlebih dikalangan kepolisian, bahwa tugas yuridis Kepolisian tertuang dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam UU Pertahanan dan Keamanan.

Selanjutnya dalam Pasal 15 UU No. 2 tahun 2002 disebutkan :

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang : a. Menerima laporan dan/atau pengaduan

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalan lingkup kewenangan administratif kepolisian f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka

(17)

g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang i. Mencari keterangan dan barang bukti

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

k. Mengeluarkan surat dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu

Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut : 1. Aspek ketertiban dan keamanan umum

2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan atau perbuatan melanggar hukum/kejahatan, dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan)

3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan/kepatuhan hukum warga masyarakat

4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan

(18)

mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Beban tugas yang demikian berat dan ideal itu tentunya harus didukung pula oleh aparat pelaksana yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.

Memperhatikan perincian tugas dan wewenang kepolisian seperti telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas kepolisian dibidang penegakan hukum, yaitu :

1. Penegakan hukum dibidang Peradilan pidana (dengan sarana penal) 2. Penegakan hukum dengan sarana non-penal

Tugas penegakan hukum dibidang Peradilan (dengan sarana penal) sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas kepolisian, sebagian tugas kepolisian justru terletak diluar penegakan hukum pidana (non-penal). Tugas Kepolisian dibidang peradilan pidana hanya terbatas dibidang penyelidikan dan penyidikan, tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan dengan hukum pidana walaupun memang ada beberapa aspek hukum pidanya. Misalnya, tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan, perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat dan penanggulangan kejahatan prostitusi, mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas dari yang sekedar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

(19)

menggambarkan kedua tugas peran ganda ini. Kongres PBB ke-5 (mengenaiPrevention of crime and the treatment of offenders) pernah menggunakan istilah ”service oriented task” dan “law enforcementduties”.

Perihal kepolisian dengan tugas dan wewenangnya, ada diatur dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa, kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan.

Keterangan pasal tersebut, maka dapat dipahami suatu kenyataan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh polisi adalah sangat komplek dan rumit sekali terutama didalam bertindak sebagai penyidik kejahatan atau tindak pidana.

Pemberantasan kejahatan prostitusi, polisi adalah sebagai penegak hukum yang umumnya diharapkan oleh masyarakat sebagai fungsi polisi adalah untuk menegakkan hukum pidana khususnya dalam kejahatan prostitusi.

Polisi adalah kepercayaan masyarakta dengan kekuatan dan tanggungjawab yang besar. Tuntutan yang alamiah yang besar terhadap kepolisian adalah harus memberikan imbalan dengan standar etika tinggi. Terkadang pelaksanaan dari kegiatan polisi dikatakan sebagai”ranjau moral” karena banyak pekerjaan polisi yang harus melibatkan diri pada konflik orang lain dan harus menangani berbagai macam perilaku menyimpang.

(20)

menyelesaikan kejahatan prostitusi yang terjadi. Tetapi dalam usaha menimbulkan rasa aman ini, polisi juga bertugas memelihara ketertiban dan keteraturan. Tetapi untuk keperluan analisa kedua fungsi tersebut harus dibedakan, karena menyangkut profesional yang berbeda.

Undang Undang Kepolisian (Undang Undang No. 2 tahun 2002) memberikan tugas dan wewenang yang sangat luas kepada polisi, mandat yang diberikan ini pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua kategori dasar. Yang pertama adalah untuk mencegah dan menyidik kejahatan, dimana akan tampil wajah polisi sebagai alat negara (penegak hukum). Mandat kedua agak lebih sukar menggambarkannya, polisi disini bertugas adalah sebagai Pengayom yang memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagaimana telah disebut diatas, masyarakat menginginkan bahwa polisi harus menegakkan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan prostitusi dengan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan kalaupun ada warga yang menjadi korban kejahatan prostitusi, polisi harus berusaha melakukan upaya meminimalisir kejahatahan prostitusi dengan melakukan rajia atau pemindahtempatan wilayah prostitusi dari lingkungan warga masyarakat. Terutama terhadap kejahatan yang menimbukkan dampak yang sangat signifikan, diharapkan polisi melakukan tugasnya dengan lebih cepat.

Usaha dalam menegakkan hukum ini, tugas polisi tidak saja menyangkut kejahatan prostitusi, polisi juga diwajibkan menegakkan hukum dalam menanggulangi kejahatan yang lebih berat sifatnya. Dan lebih luas lagi, polisi juga diminta menegakkan peraturan administratif (yang memiliki sanksi pidana). Polisi yang digambarkan sebagai ”law enforcer” dan sebagai ”crime

fighter”, khususnya sebagaicrime fighterterhadapviolent and seriousfighter.

(21)

baru bertindak apabila korban meminta bantuan, pekerjaan polisi dalam peritiwa-peristiwa ini dapat diibaratkan “mempergunakan api untuk memadamkan kebakaran” karena polisi sering diharapkan memakai pola kekerasan.

3. Strategi Polisi

Secara simbiolis, Polisi bukan hanya merupakan lambang system peradilan pidana yang paling jelas, namun polisi juga mewakili suatu sumber pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu masyarakat demokrasi dan bebas merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Polisi bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban dan harus melakukannya dalam batasan resmi yang sangat terbatas.

Umumnya dikatakan bahwa kegiatan penanggulangan masalah kriminalitas didalam masyarakat, dibagi dalam dua usaha, yaitu yang informal informal social controls) adalah melalui keluarga, lingkungan pemukiman (Rukun Tetangga dan Rukun Warga), sekolah, lembaga keamanan dan sebagainya, dan yang bersifat formal formal social control) adalah melalui sistim peradilan pidanacriminal justice system).

(22)

pada tingkat tingginya tingkat kejahatan prostitusi harus dipecahkan sebagai bagian dari permasalahan saja yang timbul karena akibat samping perkembangan zaman dan pembangunan nasional.

Penelitian-penelitian diluar negeri (seperti juga penelitian tentang prostitusi) serta diskusi-diskusi internasional telah menggambarkan kompleksnya permasalahan dan erat kaitannya dengan usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dukungan masyarakat diusahakan dan ditingkatkan, masyarakat harus berpartisipasi secara sukarela dan dengan pemahaman yang benar tentang situasi kejahatan prostitusi.

Ahli-ahli yang mendalami permasalahan kejahatan prostitusi dari sudut pandang berbagai ilmu pengetahuan harus diminta bantuannya, masalah prostitusi bukan permasalahan yang dapat diselesaikan melalui suatu bidang ilmu pengetahuan saja (misalnya : ilmu kepolisian saja).

Mengenai kejahatan prostitusi, penanggulangannya harus berada pada keterpaduan sistem. Namun sebagaimana disampaikan pada awal bukan hanya pihak kepolisian yang bertanggungjawab, tetapi diperlukan suatu penanganan terpadu (multi agency response) dengan koordinasi yang efektif.

(23)

Penangkapan dan penghukuman belum tentu dapat menangkal karena mungkin akan diterima, sebaliknya sebagai dukungan mengidentifikasikan diri sebagai pelacur. Sekali lagi untuk keperluan ini, diperlukan tenaga-tenaga kepolisian yang khusus terdidik dan dapat bekerja pula sebagai pekerja-pekerja sosial di bidang penanggulangan kejahatan prostitusi. Peraturan Perundang-undangan pidana yang dapat menunjang peraturan-peraturan hukum pidana yang telah ada perlu pula dipikirkan, tujuannya bukan semata-mata penghukuman, tetapi juga usaha-usaha rehabilitasi bagi pelaku kejahatan prostitusi pelacur dan menjadi tempat rekruitment anggota-anggota kelompok kejahatan terorganisasi yang biasanya bergerak di bidang kejahatan prostitusi yang bernilai keuntungan tinggi.

Masyarakat urban adalah dimana kebanyakan penyebaran kejahatan prostitusi ini bergerak, khususnya di tempat-tempat umum seperti mall, pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat hiburan malam, dan sebagainya, maka sering sukar bagi polisi untuk memastikan bahwa telah terjadi transaksi yang dilakukan oleh PSK dengan pria-pria hidung belang yang membutuhkan relasi seks. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk melaporkan kegiatan para pelacur.

(24)

Salah satu kebijakan dalam hal menanggulangi kejahatan Prostitusi adalah kebijakan kriminal atau politik kriminal. Politik Kriminal disebut juga Criminal Policy, yaitu adalah sebagian dari kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah Kriminal dalam masyarakat dengan sarana penal untuk mencapai tujuannya yaitu, kesejahteraan masyarakat.

Dikatakan sebagian daripada kebijakan sosial, oleh karena untuk mencapai kesejahteraan masyarakat masih ada kebijakan sosial yang lainnya, seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan pertahanan keamanan sebagaimana termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Melihat pengetian dari Politik Kriminal tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa Politik Kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional yang kita laksanakan sekarang ini. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan sekarang ini, yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, tentunya tidak akan terwujud apabila kejahatan tetap merajalela dan meresahkan masyarakat. Meskipun dapat dikatakan bahwa kejahatan tersebut merupakan fenomena sosial, akan tetapi harus dapat ditanggulangi sedemikian rupa atau setidak-tidaknya kejahatan tersebut ditekan seminimal mungkin atau pada suatu tingkat tertentu dapat ditolerir oleh masyarakat.

(25)

Menggunakan sarana penal dalam hal ini, tidak lain adalah dengan menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan-tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyaratkan kembali) pelaku kejahatan, jangka menengah adalah mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang adalah merupakan tujuan akhir, yaitu untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Hukum pidana berfungsi ganda, yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian Politik Kriminal), dan yang sekunder adalah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya.

Penggunaan sarana non penal, usaha-usaha yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggungjawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan masyarakat melalui pendidikan moral agama dan sebagainya, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan aparat keamanan lainnya, dan sebagainya Demikian pula dengan cara melakukan pembinaan melalui media massa, pers yang bertanggungjawab sehingga media massa tidak menjadi faktor kriminogen (yang melibatkan terjadinya kriminal) diantaranya dapat terlihat bahwa pemberitaan media massa yang sensasional, pemberitaan yang cenderung menerangkan hal-hal yang negatif tentang terjadinya suatu peristiwa kejahatan yang dapat mempengaruhi penjahat-penjahat potensial lainnya untuk melakukan kejahatan.

(26)

masalah kejahatan prostitusi yang dilakukan selama ini lebih banyak menggunakan sarana non-penal. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan cara merazia para pelacur yang sedang ngumpul-ngumpul di jalanan dan selanjutnya memberikan pendidikan sosial, latihan keterampilan, baik yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun oleh lembaga-lembaga lainnya seperti pesantren bahkan dengan cara mentransmigrasikan mereka.

Tujuan utama dari usaha-usaha ini adalah memperbaiki kondisi sosial, namun secara tidak langsung mempengaruhi preventif terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelacur tersebut. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa penyebab orang melakukan kejahatan prostitusi adalah disebabkan faktor individu/pribadi dari orang yang bersangkutan dan faktor luar (ekonomi, sosial, lingkungan).

Penanggulangan praktik prostitusi tersebut, sektor tersebut harus diperhatikan dengan seksama. Kita tidak boleh hanya memperhatikan faktor lingkungan dari pelacur, misalnya dengan cara mentransmigrasikan mereka sehingga terhindar dari lingkungannya semula, akan tetapi faktor individu dari pelacur tersebut harus juga diperhatikan, misalnya dengan cara memberikan pembinaan moral para pelacur melalui lembaga-lembaga keagamaan, dan sebagainya.

Disisi lain kemungkinan para pelacur tersebut pada dasarnya tidak memiliki keterampilan sama sekali, sehingga mereka mencari pekerjaan dengan jalan pintas. Dalam hal seperti inilah diperlukan pendidikan, keterampilan dan lapangan pekerjaan untuk mereka, apabila perlu dengan pendidkan paksa dan kerja paksa dalam jangka waktu tertentu tersebut diberikan upah yang layak atau memadai.

(27)

Pidana (dalam hal ini dijatuhkan kepada orang yang menyediakan sarana/tempat untuk terjadinya suatu prostitusi). Memang diakui bahwa tidak semua perbuatan pelacur, misalnya ngumpul-ngumpul di pinggir jalan, mejeng di hotel-hotel atau plaza-plaza merupakan perbuatan yang mencurigakan.

Upaya yang dilakukan kepolisian di dalam menanggulangi kejahatan prostitusi di kota Panjang adalah dengan mengadakan”Operasi Pekat atau OperasiPenyakitMasyarakat”dengan kerjasama kepolisian dan Satpol PP dengan ijin pemerintahan kabupaten, upaya ini merupakan rajia untuk memberikan peringatan dan arahan kepada para pelacur yang berhasil dirajia.

Peringatan dengan ancaman akan diusir dari kota Panjang apabila masih terlibat dalam praktek-praktek prostitusi sangat berpengaruh terhadap perkembangan para pelacur yang berkeliaran bebas di tengah-tengah masyarakat, sehingga mereka takut berkeliaran bebas dan hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi masyarakat agar tidak terpengaruh terhadap pergaulan anak-anak muda.

Arahan yang diberikan berupa bimbingan agar mereka meninggalkan pekerjaan mereka dan mencoba beralih kepada pekerjaan yang lebih halal dan menguntungkan bagi diri sendiri dan masyarakat pada umumnya, dan memberitahukan akibat-akibat dari profesi yang mereka geluti sangat berakibat fatal bagi perjalanan hidupnya di masa yang akan datang.

Pelaksanakan penanggulangan kejahatan Prostitusi dengan menggunakan sarana penal/hukum pidana, haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

(28)

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, maka hukum pidana harus bertugas atau bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan juga tindakan penanggulangan kejahatan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana

3. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif, berupa penjatuhan pidana perlu disertai perhitungan akan biaya yang harus dikenakan dan hasil yang diharapkan akan tercapai

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja badan-badan penegak hukum, jangan sampai ada melewati batas kewenangan, dimana akan mengakibatkan efek dari peraturan itu menjadi berkurang.

B. Faktor Penyebab Kejahatan

(29)

Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif maupun dengan pendekatan kausal, sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakukan penyelidikan sebab musabab kejahatan, karena sampai saat ini belum dapat ditentukan faktor penyebab pembawa risiko yang lebih besar atau lebih kecil dalam menyebabkan orang tertentu melakukan kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik individu maupun secara berkelompok.

Sebagaimana telah di kemukakan, kejahatan merupakan problem bagi manusia karena meskipun telah ditetapkan sanksi yang berat kejahatan masih saja terjadi. Hal ini merupakan permasalahan yang belum dapat dipecahkan sampai sekarang.

Kepustakaan ilmu kriminologi.1 Ada tiga faktor yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, tiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :

a. Faktor keturunan keturunan yang diwarisi dari salah satu atau kedua orang tuanya (faktor genetika).

b. Faktor pembawaan yang berkembang dengan sendirinya. Artinya sejak awal melakukan perbuatan pidana.

c. Faktor lingkungan. Yang dimaksud adalah lingkungan eksternal (sosial) yang berpengaruh pada perkembangan psikologi. Karena dorongan lingkungan sekitar, seseorang melakukan perbuatan pidana.

C. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan dari integral perlindungan masyarakat.

1

(30)

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.2

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian hukum pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi.3 Penanggulangan kejahatan ditetapkan dengan cara :

1. Penerapan hukum pidana 2. Pencegahan tanpa pidana

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu, upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Upaya dalam penanggulangan dari kejahatan yang berkaitan dengan prostitusi setidaknya harus

2

Barda Nawawi, Arief,. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung,hal:2

3

(31)

memenuhi beberapa unsur tindak pidana, Moeljatno merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana atau tindak pidana sebagai berikut :

1. Perbuatan (manusia).

2. Memenuhi rumusan UU (merupakan syarat formil : sebagai konsekuensi adanya asas legalitas).

3. Bersifat melawan hukum (merupakan syarat materiil : perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut karena bertentangan dengan tata pergaulan di masyarakat).

Menurut Kunarto yang dikutip oleh Sunarto.4 (2007 : 94 ) Polri dapat melakukan penanggulangan kejahatan dengan cara mengadakan kegiatan operasi rutin dan operasi khusus, yaitu :

1. Upaya Represif

Upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas kejahatan setelah kejahatan tersebut terjadi.

2. Upaya Preventif

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dengan mempersempit kesempatan.

3. Upaya Pre-Emptif

Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan faktor penyebab yang menjadi pendorong terjadinya kejahatan tersebut.

4. Operasi Khusus 4

(32)

Operasi khusus adalah operasai yang akan diterapkan khusus untuk menghadapi masa rawan yang diprediksi dalam kalender baru kerawanan kamtibnas berdasarkan pencatatan data tahun-tahun silam.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut, faktor-faktor penegakan hukum adalah sebagai berikut :5

a. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

a. Faktor Hukum

Penegakan hukum, adakalanya terjadinya pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Keadilan merupakan seatu yang abstrak, sedangkan kepatian hukum merupakan suatu prosedur yang telah di tentukan secara normatif.

Telaah lebih lanjut,sebenarnya segala tindakan atau kebijakan yang dilakukan tanpa melanggar hukum akan dapat di ketegorikan sebagai sebuah kebajikan.karena sesungguhnya penyelenggaraan hukum bukan hanya merupakan sebuah penegakan hukum dalam kenyataan

5

(33)

tertulis saja,akan tetapi juga harus mengandung penyerasian antara nilai kaedah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan.

Hukum yang di golongkan dalam bab ini ada 2,yaitu hukum baik dan hukum buruk. Hukum yang baik adalah Peraturan hukum yang di buat berdasar kesepakatan melalui kepentingan politik yang berbeda, sedangkan Hukum yang buruk merupakan Peraturan hukum yang di buat berdasar kesepakatan melalui kepentingan politik yang sama.

b. Faktor penegak hukum

Aparat penegak hukum merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum, tanpa mereka hukum sulit tercapai, meski dengan keberadaanya hukum hanya dalam posisi mungkin bisa tercapai.

Ini bukan hanya tentang permasalahan ada atau tidaknya penegak hukum, tapi baik atau tidaknya kualitas penegak hukum akan sangat mempengaruhi kualitas hukum.

Polisi, Jaksa, dan Kpk merupakan aparat penegak hukum di indonesia, tapi lihat saja bagaimana sepak terjang tiga aparat penegak hukum di negara kita ini. Jika masih seperti ini, maka kualitas hukum yang terjadi di Indonesia tidak akan berubah menjadi baik, dan mungkin akan semakin terpuruk ketika para Markus (makelar kasus) menjadi sahabat para penegak hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung

(34)

faktor utama dalam keikutsertaan para aparat hukum dalam mengabdi pada negara,sehingga sekarang bisa dilihat sendiri hasilnya.

KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) jilid II, memberikan fasilitas berupa mobil untuk pemerintah seharga Rp. 1,3 milyar dengan menukar mobil lamanya Toyota Camri yang senilai ratusan juta. Bahakn dalam kondisi perekonomian yang carut-marut, kelengkapan dan kemewahan fasilitas tetap menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat atau SDM masyarakat

Penegakan hukum yang dilakukan untuk sebuah keadilan dan kedamaian bagi masyarakat akan menuntut masyarakatnya untuk banyak berparisipasi. Kesadaran masyarakat sangatlah penting sehingga ketika masyarakat menjalankan hukum karena takut, maka hukum akan berlalu begitu saja. Lain halnya ketika masyarakat melaksanakan hukum karena kesadaraannya.

Di indonesia kesadaran masyarakat terhadap hukum sangat jarang sekali di temui, pelaksanaan hukum masih terpaku pada menonjolnya sikap apatis serta menganggap bahwa penegakan hukum merupakan urusan aparat penegak hukum semata dan tidak berangkat dari kesadaran masyarakat.

e. Faktor kebudayaan

(35)

menentukan sikapnya kalau merka tak berhubungan dengan orang lain.dengan demikian kebudayaan adalah suatu garis pokok yang menentukan peraturan dan menetapkan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.

Berbicara masalah budaya, lebih mengenaskan lagi. Beberapa budaya kita sudah di curi malasyia. Budaya barat lebih populer di negara berlambang garuda ini, budaya kita kini memang tengah mengalami keterasingan di negara sendiri, padahal budaya sangat menentukan hukum. Bagaimana kelanjutan penegakan hukum di Indonesia dapat menjadi lebih baik, jika kelima faktor penegakan hukum sudah tidak dimiliki oleh bangsa ini. Bagi siapa saja yang membaca ini, marilah kita tumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia dengan memunculkan kesadaran hukum kita agar kedamaian dan kedilan dapat di wujudkan di negara kita yang tercinta ini.

E. Prostitusi atau Pelacuran

1. Pengertian prostitusi atau Pelacuran

Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yangharus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin Pro-stituere atau Pro-stauree yang berarti usaha menyerahkan diri untuk maksud hubungan seks secara terang-terangan dengan imbalan jasa.

Prostitusi jika dilihat secara luas dengan memeperhatikan aspek dasar dari prostitusi itu ialah menyangkut perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial sehingga pelaku prostitusi itu ialah orang yang maladjustment dengan lingkungan sosialnya. Menurut Kartini Kartono yang dimaksud dengan pelacuran sebagai berikut :

(36)

implus/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komerisalisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

b. Pelacuran meruoakan peristiwa penjualan diri (pesundalan) dengan jaln memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian dengan banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk perbuatan cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.6

Bentuk perbuatan melacurkan diri ini dilakukan baik sebagai kegiatan sambilan atau pengisi waktu luang (amateurisme) maupun sebagai pekerjaan penuh atau profesi. Pelacur wanita disebut dalam bahasa asingprostitusisedangkan penamaan kasarnya ialah : sundal, balon, lonte, jablai, ciblek, maka kira-kira tahun 60-an oleh beberapa pihak terutama para petugas dinas sosial dengan menggunakan istilah eufemistis untuk memperhalus artinya ialah : wanita tuna susila sedangkan pelacur pria disebut gigolo.

2. Penyebab Timbulnya Pelacuran

Berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan mengakibatkan timbulnya disharmonis. Konflik-konflik eksternal dan internal juga disorganisasi dalam masyarakat dan dalam pribadi manusia. Dalam hal ini ada pola pelacuran untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah hiruk-pikuk pembangunan. Beberapa peristiwa timbulnya pelacuran antara lain :

a. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran juga tidak adanya larangan 6

(37)

terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau diluar pernikahan yang dilarang dan diancam dengan hukuman praktek germo (Pasal 296 KUHP) dan mucikari (Pasal 506 KUHP).

b. Komersialisasi dari seks baik dipihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks

c. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan

d. Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industry yang sangat cepat dan menyerap tenaga buruh serta pegawai wanita

e. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan-kebudayaan daerah setempat

(Kartini Kartono, 1992 : 184)

3. Jenis Prostitusi

Jenis prostitusi menurut Kartini Kartono dapat dibagi menurut aktivitasnya, yaitu terdaftar dan terorganisir dan yang tidak terdaftar.

a. Prostitusi yang terdaftar

Pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian yang dibantu dan bekerjasama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodic harus memeriksakan diri pad dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengubatan sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

(38)

Yang termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan pekerjaan secara gelap dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak teroganisir, tempatnya tidak tertentu bias disembarang tempat baik dalam mencari pelanggan sendiri maupun melalui calo-calo dan panggilan.7

Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi dalam bentuk sebagai berikut, yaitu ;

a. Prostitusi yang beroprasi secara individual merupakansingle operatoratau

b. Protitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. Jadi mereka itu tidak bekerja sendirian akan tetapi diatur melalui suatu system kerja suatu organisasi.8

Menurut tempat pengolongan atau lokasinya, yaitu :

a. Segregasi atau lokalisasi yang terisolir atau terpisah dari komplek penduduk lainya. Komplek ini dikenal sebagai daerah lampu merah atau petak-petak daerah tertutup. b. Rumah-rumahpanggilan (call hause, tempat rendezvous, parlour).

c. Dibalik front-organisasi atau dibalik bisnis-bisnis terhormat (apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap dan pijat dan lain-lain).9

Menurut Soerjono Dirjosisworo, mengategorikan pelacuran dengan klas-klas seperti :

a. Pelacuran klas rendahan (jalanan, bordil-bordil murahan).

b. Pelacuran klas menengah yang berada di bordil-bordil tertentu yang cukup bersih dan pelayanan baik.

Katini Kartono. 1992.Patologi Sosial. Rajawali: Jakarta, hal:187 8

Ibid hal:188 9

(39)

c. Pelacuran klas tinggi biasanya para pelacur tinggal di rumah sendiri terselubung dan hanya menerima panggilan dengan perantara yang cukup rapi sehingga sulit diketahui dan bayarannya cukup mahal.

Tiga kategori murah, menengah, klas tinggi ini ditentukan oleh tarif mahal murahnya pelacur. Akhir-akhir ini dibentuk-bentuk pelacuran di Indonesia dapatlah dikatakan tambah lagi dengan apa yang dinamakan pelacuran tersembunyi (terselubung) dalam bentuk kerja lainnya yang sulit dibuktikan, misal pada tingkat murah murah adalah terselubung dalam pekerjaan tukang-tukang pijat di hotel dan dalam tingkat yang cukup tinggi tersembunyi di tempat-tempat mandi uap dan hiburan tertentu yang terdapat dikota-kota besar.

4. Ciri-ciri dan fungsi pelacuran

Di desa-desa hamper tidak terdapat pelacur. Jika ada maka mereka itu adalah pendatang-pendatang dari kota yang singgah untuk beberapa hari atau pulang kedesanya. Di kota-kota besar jumlah pelacur diperkirakan 1-2 % dari jumlah penduduknya. Pelacur-pelacur ini biasanya digolongkan dalam dua kategori yaitu:

a. Mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi-motivasi tertentu.

b. Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan atau dijebak dan dipaksa oleh germo-germo yang terdiri atas penjahat-penjahat, calo-calo dan anggota-anggota organisasi gelap penjualan wanita10

10

(40)

Ciri-ciri khas pelacur itu adalah :

a. Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria).

b. Cantik, ayu, rupawan, manis, atrakktif menarik wajah maupun tubuhnya. c. Masih muda-muda, 75 % dibawah umur 30 tahun.

d. Pekaiaanya sangat menyolok, beranekaragam warna, sering aneh-aneh atau eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria.11

Pada umumnya, para pelanggan dari pelacur itu tidak dianggap berdosa atau bersalah, tidak immoral dan tidak menyimpang yang diaangap immoral ialah cuma pelacurnya. Namun bagaimanapun rendahnya kedudukan sosial pelacur karena tugasnya memberikan pelayanan seks kepada kaum laki-laki namun ada pula fungsi pelacuran yang positif sifatnya ditengah masyarakat yaitu ;

a. Menjadi sumber pelancar dalam dunia bisnis.

b. Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus berpisah dengan istri dan keluarganya juga dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik tertentu

c. Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu mempunyai jabatan atau pekerjaan. d. Menjadi sumber pelayanan dan hiburan bagi orang-orang cacat, misal pria yang buruk

wajah, pincang, bunting, abnormal secara seksual para penjahat dan lain-lain

11

(41)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulisan ini menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu, pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik yang ada di lapangan dengan tujuan melihat kenyataan atau fakta-fakta yang konkrit mengenai upaya pihak kepolisian dalam menanggulangi praktik prostitusi di wilayah hukum Polsek Panjang.

Kedua pendekatan ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penulis menggunakan dua sumber data dalam rangka penyelesaian skripsi ini, yaitu data primer dan data skunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh penulis melalui studi dengan mengadakan wawancara dan pertanyaan kepada pihak yang terkait.

(42)

hukum skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dalam hal ini yaitu :

1) Undang-undang Nomor 73 Tahun 1978 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 tentang Kejahatan terhadap kesusilaan dan 506 tentang menarik keuntungan perbuatan cabul.

2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan

3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

b. Bahan hukum skunder, yaitu :

Perda Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pelanggaran Lokalisasi

Perda Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Tuna Susila, Dan Perjudian Serta Pencegahan Perbuatan Maksiat Dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari bahan hukum primer da skunder agar dapat menjadi lebih jelas, seperti kamus literatur-literatur yang menunjang dalam penulisan skripsi ini, media masa dan sebagainya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

(43)

adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi serta mempunyai persamaan sifat dengan populasi.1

Populasi dalam penelitian ini adalah aparat kepolisian yang bertugas di wilayah Polsek Panjang. Dari populasi yang ada dapat ditentukan sampel berupa Purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yang dianggap telah mewakili dari masalah yang diteliti.

Berdasarkan sampel yang menjadi informasi terdiri dari 3 orang Aparat Polsekta Panjang dan 1 Dosen Fakultas Hukum Unila, Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Kepala Kepolisian Sektor Panjang : 1 orang b. Anggota Babinkamtibmas Kepolisian Sektor Panjang : 1 orang c. Kanit Reskrim Kepolisian Sektor Panjang : 1 orang

d. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data skunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (library Research)

Dilakukan untuk memperoleh data skunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara antara membaca, mencatat, mengutip serta

1

(44)

menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan mewawancarai para narasumber dan wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka yang dilakukan secara lisan dan pertanyaan yang telah disiapkansebelumnya terlebih dahulu.

2. Prosedur pengolahan data

Metode yang digunakan dalam prosedur pengolahan data ini yaitu :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang telah ditetapkan.

c. Sistematisasi data, yaitu data yang telah dievaluasi dan diklasifikasikan disusun yang bertujuan menciptakan keteraturan dalam menjawab permasalahan sehingga mudah untuk dibahas.

E. Analisis Data

(45)
(46)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Sebelum diuraikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka terlebih dahulu akan diuraikan mengenai karakteristik para responden. Dengan diuraikannya karakteristik para responden tersebut, maka akan memberikan gambaran mengenai responden yang akan dijadikan sumber informasi terhadap penelitian skripsi yang dilakukan oleh penulis. Sehingga dapat diketahui, penelitian yang telah dilakukan diperoleh dari responden yang dapat dipercaya kebenarannya.

Biodata Responden

a. Nama : AKP. Jimmy Tana,.SIK. Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Kapolsek Panjang b. Nama : Ipda. AS.Daulay

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Panit Bina Masyarakat(Binmas) Polsek Panjang

c. Nama : Aiptu. Aan Suhenda Jenis

Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Panit Reskrim Polsek Panjang

c. Nama : Heni Siswanto Jenis

Kelamin : Laki-laki

(47)

Penentuan responden ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa para responden dapat mewakili dan menjawab permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini. Jawaban yang diberikan oleh penulis berdasrkan pengetahuan dan pengalaman para responden di lembaga atau institusinya masing-masing, sehingga dalam penelitian ini dapat diperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

B. Upaya Kepolisian Sektor Panjang Dalam Menanggulangi Praktik Prostitusi

Perdagangan orang terutama perempuan sering dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri. Biasanya, perdagangan perempuan lebih kearah praktek-praktek prostitusi dan tunasusila yang dilakukan oleh mucikari. Pengertian mucikari menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, adalah orang laki-laki atau perempuan yang menyelenggarakan pengusahaan rumah atau tempat pelacuran dengan memelihara pelacur wanita.

(48)

sebagai orang yang memudahkan perbuatan cabul dan melakukannya sebagai mata pencaharian tetap. Sehingga memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 296 KUHP dan dapat dihukum.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga berkaitan erat dengan masalah praktik prostitusi karena dalam hal tersebut timbul suatu praktek jual beli orang sebagai objek yang diperdagangkan sebagai pemuas nafsu para lelaki hidung belang.

Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan dari integral perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.2

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian hukum pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi.3 Penanggulangan kejahatan ditetapkan dengan cara :

1. Penerapan hukum pidana 2. Pencegahan tanpa pidana

Barda Nawawi, Arief,. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung, hal:2

3

(49)

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu, upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tugas dan wewenang Kepolisisan dalam hal menanggulangi kejahatan prostitusi maknanya terutang tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam UU Pertahanan dan Keamanan.

Selanjutnya dalam Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

1. Menerima laporan dan/atau pengaduan

2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum

3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat

4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

(50)

pencegahan

7. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian

8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang 9. Mencari keterangan dan barang bukti

10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

11. Mengeluarkan surat dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

12. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat

13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu

Memperhatikan perincian tugas dan wewenang kepolisian seperti telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas kepolisian dibidang penegakan hukum, yaitu :

1. Penegakan hukum dibidang Peradilan pidana (dengan sarana penal) 2. Penegakan hukum dengan sarana non-penal

(51)

Menurut Kunarto yang dikutip oleh Sunarto,4 upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan operasi rutin dan operasi khusus, yaitu :

1. Upaya Represif

Upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas kejahatan setelah kejahatan tersebut terjadi.

2. Upaya Preventif

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dengan mempersempit kesempatan.

3. Upaya Pre-Emptif

Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk menghilangkan faktor penyebab yang menjadi pendorong terjadinya kejahatan tersebut.

4. Operasi Khusus

Operasi khusus adalah operasai yang akan diterapkan khusus untuk menghadapi masa rawan yang diprediksi dalam kalender baru kerawanan kamtibnas berdasarkan pencatatan data tahun-tahun silam.

Dasar hukum penanggulangan kejahatan prostitusi tanpa pemidanaan Adapun yang dijadikandasar hukum upaya penaggulangan kejahatan prostitusi tanpa pemidanaan adalah :

1. Mengingat selama ini para sarjana menganggap bahwa prostitusi tidak diatur dengan tegas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) yaitu, asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenalli bahwa

4

(52)

tiada satu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam Undang-Undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu. Oleh karena itu, maka kejahatan prostitusi tidak dapat dipidana

2. Upaya-upaya penanggulangan kejahatan dengan tanpa pemidanaan merupakan salah satu bentuk dari politik hukum pidana yang diambil guna mencegah terjadinya kejahatan dengan mengadakan tindakan-tindakan preventif. Tindakan preventif untuk menanggulangi kejahata prostitusi, salah satu dengan menggunakan rehabilitasi PSK tersebut di panti sosial.

Dasar hukum upaya rehabilitasi tersebut adalah :

1. Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 27 ayat (2), yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan pasal 34 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara

2. Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 1974, tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial

3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

4. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

5. Keputusan Presiden No. 87 tahun 2002 tentang Penghapusan Eksploitasi seksual, Komersial seksual, Perempuan dan anak

6. Keputusan Mentri Sosial No. 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi sosial penyandang tuna susila

(53)

Pemberantasan praktik prostitusi, polisi adalah sebagai penegak hukum yang umumnya diharapkan oleh masyarakat sebagai fungsi polisi adalah untuk menegakkan hukum pidana khususnya dalam kejahatan prostitusi.

Hasil wawancara dengan Jimmy Tana mengatakan langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran yaitu dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran di wilayah Panjang, yaitu dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai penanggulangan pelacuran. Penyuluhan diberikan kepada tokoh-tokoh masyarakat, pemuda anggota karang taruna, ibuibu anggota PKK diberbagai desa dan kelurahan yang menjadi lokasi pelacuran.

Selanjutnya tindakan yang tergolong sebagai langkah represif yaitu melakukan tindakan terhadap penanggulangan pelacuran yang ada di Panjang tidak dengan hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa tidak ada pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan pelacur, melainkan hanya germonya dan perdagangan perempuan yang dapat diancam pidana.

AS.Daulay menambahkan langkah-langkah represif lainnya terhadap penanggulangan pelacuran yang dilaksanakan oleh Tim Penertiban meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

(54)

2. Apabila lokasi dan pelacurnya maupun germonya telah dapat diidentifikasikan, maka kemudian dilakukan razia siang maupun malam hari.

3. Mereka yang terjaring diseleksi secara ketat dengan menanyakan KTP atau identitas diri, pekerjaan dan asal-usulnya. Selanjutnya para pelacur dikumpulkan pada rumah penampungan (rumah pembinaan mental) yang letaknya di Kantor Dinas Ketentraman dan Ketertiban.

4. Para Pelacur yang telah terkumpul kemudian dibuatkan biodatanya, difoto dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Selain itu mereka juga membuat pernyataan bersedia direhabilitasi atau dibina selama dipandang perlu.

5. Mereka kemudian diadili oleh Pengadilan, termasuk para germonya.

AS.Daulay menambahkan Kepolisian merupakan lembaga yang aktif dalam menanggulangi masalah prostitusi yang ada di wilayah hukum Panjang. Kebijakan Kepolisian untuk menanggulangi prostitusi di wilayah Panjang sebagai berikut :

1. Digiatkan operasi cipta kamtibmas dengan sandi “Operasi Pekat” atau penyakit masyarakat termasuk di dalamnya miras, judi, pelacuran dan premanisme.

2. Khusus prostitusi, pihak kepolisian sering mengadakan razia kepolisian ke tempat-tempat yang disinyalir sebagai tempat praktek prostitusi, seperti Hotel, Salon, Tempat Karaoke, Panti Pijat dsb.

3. Melakukan penyuluhan dengan dinas sosial.

4. Menindak para pelaku penyedia jasa layanan PSK (Mucikari) dan tempat – tempat penyedia sarana prasarana prostitusi.

Referensi

Dokumen terkait

4 Membaca teks secara intensif, (2) Mengiidentifikasikan dan mengelompokkan berdasarkan syarat yang memenuhi sebagai teks deskripsi yang akan dijadikan sebagai

Pada proses pencelupan kain dengan zat warna alam dibutuhkan proses fixasi yaitu proses penguncian warna setelah kain dicelup dengan zat warna alam agar warna memiliki

Gambar 3 memperlihatkan struktur frame biasa dengan satu Poly frame, yang terdiri dari tiga frame yang masing-masing frame terdapat dua slot data yang dapat diperuntukkan

13 Antara berikut, bukti manakah yang dikemukakan oleh John Crawford tentang kedatangan Islam ke Asia Tenggara. I Penemuan Batu Bersurat Terengganu II Perkampungan Arab

Dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwaperancangan dan pembuatan Sistem Informasi Koperasi Universitas Diponegoro telah berhasil dilakukan

Sambutan Dekan FKUB dan sekaligus penyerahan PPDS kepada Direktur RSUD Dr.Saiful Anwar

Pusat Produksi Pewangi Laundry Siap Jual Atau Bahan Baku seperti Produk: Bibit Parfum Laundry Parfum Laundry Alkohol/Metanol maupun Yang Dicampur Air ﴾Water Base

aspek struktur sosial masyarakat Madura sebagai satu komunitas, dan otonomi-relasi antara aspek jatidiri orang Madura dengan makna nasionalisme yang disadari telah