• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN

SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Oleh

FRANSISKA OLIVIA DEWANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Kimia

Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN

SEDERHANA DAN MENYIMPULKAN PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

Oleh

FRANSISKA OLIVIA DEWANTI

Proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru

dalam memilih serta menerapkan model pembelajaran. Ketepatan memilih dan

menerapkan model pembelajaran sangat mempengaruhi keterampilan memberikan

penjelasan sederhana dan menyimpulkan. Model yang dapat diterapkan untuk

meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan

adalah model pembelajaran problem solving. Tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

mening-katkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan pada

materi larutan elektrolit dan non elektrolit.

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent

Control Group Design. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA Fransiskus

(3)

Fransiska Olivia Dewanti

Efektivitas model pembelajaran problem solving diukur berdasarkan perbedaan

n-Gain yang signifikan antara kelas kontrol dan eksperimen. Hasil penelitian

menunjukkan nilai rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan

sederhana untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,47 dan 0,75;

sedangkan rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan untuk kelas kontrol dan

eksperimen masing-masing 0,54 dan 0,66. Hal ini menunjukkan bahwa

pembel-ajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan memberikan

penjelasan sederhana dan menyimpulkan.

Kata kunci: pembelajaran Problem Solving, keterampilan memberikan penjelasan

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakekat ilmu kimia adalah sebagai produk, proses dan juga sikap. Produk ilmu

kimia adalah pengetahuan yang berupa fakta, teori, prinsip,dan hukum. Proses

ilmu kimia berupa kerja ilmiah yang ditekankan pada pengamatan langsung oleh

peserta didik agar dapat melihat dan mengamati sendiri keadaan alam sekitar.

Sedangkan sikap ilmu kimia berupa rasa ingin tahu yang tinggi.

Kerja ilmiah dilakukan melalui tahapan mengobservasi, menyusun hipotesis,

melakukan eksperimen, menyusun data dan menarik kesimpulan. Proses

pembel-ajaran kimia diarahkan untuk mencari tahu, sehingga peserta didik dapat

mene-mukan sendiri pemahaman dan konsepnya. Namun tidak semua proses

pembel-ajaran kimia dapat disampaikan kepada siswa dalam bentuk pengamatan langsung

karena konsep-konsep dalam kimia banyak yang bersifat abstrak. Hal ini dapat

dilihat dari ruang lingkup kajian ilmu kimia yang mempelajari tentang struktur,

susunan, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan

materi.

Pembelajaran kimia memiliki tujuan dan fungsi tertentu, diantaranya adalah untuk

memupuk sikap ilmiah yang mencakup sikap kritis terhadap pernyataan ilmiah,

(10)

konsep-konsep kimia dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam

kehidupan sehari-hari (BSNP, 2006). Untuk dapat mencapai tujuan dan fungsi

tersebut maka diperlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salah satunya adalah

keterampilan berpikir kritis.

Keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk

kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan

lain-nya. Menurut Ennis(dalam Costa 1985) keterampilan berpikir kritis dibagi

menjadi 5 kelompok, yaitu : keterampilan memberikan penjelasan sederhana,

membangun keterampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut,

mengatur strategi dan taktik. Menurut Halpern(1996), berpikir kritis adalah

memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan.

Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan

mengacu langsung kepada sasaran. Namun, hingga saat ini kecakapan berpikir

belum dilakukan secara terprogram oleh para guru di sekolah. Hal ini diperkuat

dengan hasil penelitian Bassham et al. (2008) menyatakan bahwa kebanyakan

sekolah cederung menekankan kemampuan tingkat rendah dalam pembelajaran.

Siswa menyerap informasi secara pasif dan kemudian mengingatnya pada saat

mengikuti tes. Dengan pembelajaran seperti ini siswa tidak memperoleh

pengalaman untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis khususnya

keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan, padahal

keterampilan ini sangat diperlukan ketika akan memecahkan suatu masalah.

Pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep, hukum,

(11)

3

ditemukannya, sehingga membuat siswa tidak terbiasa mengembangkan sikap

ilmiahnya. Aktivitas siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat

hal-hal yang dianggap penting saja. Dalam proses pembelajaran siswa hanya

menghafal sejumlah konsep yang diberikan guru tanpa dilibatkan langsung dalam

penemuan konsepnya. Hal ini diperkuat dengan observasi yang telah dilakukan

terhadap guru mata pelajaran kimia maupun sejumlah siswa di SMA Fransiskus

Bandar Lampung, yang dalam proses pembelajarannya masih didominasi dengan

ceramah. Guru bertindak lebih aktif daripada siswa, dan siswa cenderung hanya

menerima apa yang diberikan oleh guru saja. Seharusnya siswa diarahkan untuk

dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal, agar dalam proses

pembelajaran siswa mampu lebih aktif dari pada guru. Menurut Roestiyah (2008)

kenyataan di lapangan siswa cenderung hanya bertindak sesuai dengan yang

di-instruksikan oleh guru tanpa berusaha sendiri untuk memikirkan apa yang

sebaik-nya dilakukan untuk mencapai tujuan belajarsebaik-nya. Oleh karena itu perlu adasebaik-nya

suatu perubahan strategi pembelajaran dari yang berpusat pada guru menjadi

berpusat pada siswa.

Salah satu cara untuk mengubah strategi pembelajaran agar siswa dapat lebih aktif

daripada guru adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang berbeda

dengan biasanya. Model pembelajaran yang digunakan tentunya harus sesuai

dengan materi yang akan dipelajari. Salah satu model pembelajaran yang dapat

digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa adalah model pembelajaran

problem solving. Model problem solving memberikan kesempatan kepada siswa

untuk dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran dan mampu meningkatkan

(12)

sederhana dan menyimpulkan. Didukung dari hasil penelitian Redhana (2008)

menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model problem solving

memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir

siswa. Hasil penelitian lainnya Liliasari (2009), menunjukkan bahwa model

problem solving akan membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran serta

mampu meningkatkan kompetensi siswa.

Model problem solving diharapkan dapat menjadi salah satu model pembelajaran

yang dapat memperbaiki proses pembelajaran serta mampu meningkatkan hasil

belajar siswa khususnya pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit, akan

dilakukan penelitian dengan judul : Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Memberikan Penjelasan Sederhana dan Menyimpulkan Pada Materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini :

1. Bagaimana efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

mening-katkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada materi larutan

elektrolit dan non elektrolit?

2. Bagaimana efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

mening-katkan keterampilan menyimpulkan pada materi larutan elektrolit dan non

(13)

5

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada materi

larutan elektrolit dan non elektrolit.

2. Mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam

meningkatkan keterampilan menyimpulkan pada materi larutan elektrolit dan

non elektrolit.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu :

1. Bagi Siswa

Memudahkan siswa dalam belajar, menarik minat belajar dan membangkitkan

perhatian siswa pada topik pelajaran serta menjadikan pembelajaran sebagai

sebuah aktivitas menyenangkan.

2. Bagi Guru

Sebagai bahan alternatif model pembelajaran pada mata pelajaran kimia

khususnya materi larutan elektrolit dan nonelektrolit serta menambah wawasan

guru terhadap pentingnya melatih keterampilan berpikir kritis siswa.

3. Bagi Sekolah

Menjadi informasi dan sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan mutu

(14)

E.Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda terhadap istilah yang

digunakan, maka perlu dikembangkan beberapa istilah sebagai berikut:

1. Model problem solving yang digunakan pada penelitian ini adalah model

problem solving menurut Depdiknas (2008) dengan langkah-langkah sebagai

berikut: ada masalah yang diberikan, mencari data atau keterangan yang dapat

diguna-kan untuk menyelesaikan masalah, menetapkan hipotesis, menguji

kebenaran hipotesis, dan menarik kesimpulan.

2. Keterampilan memberikan penjelasan sederhanayang diteliti adalah :

(1)memfokuskan pertanyaan yang berfokus pada sub indikator merumuskan

kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan jawaban; (2) menganalisis

argumen yang berfokus pada sub indikator mengidentifikasi dan menangani

ketidaktepatan; (3) bertanya dan menjawab pertanyaan yang berfokus pada

sub indikator apa yang membuat perbedaan.

3. Keterampilan menyimpulkan yang diteliti adalah (1) menginduksi dan

mempertimbangkan hasil induksi yang berfokus pada sub indikator

mengemukakan kesimpulan; (2) membuat dan menentukan hasil

pertimbangan yang berfokus pada sub indikator menerapkan konsep yang

dapat diterima.

4. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan keterampilan

memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan apabila secara statistik

menunjukkan perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas eksperimen

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Von Glaserfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001)

menyatakan bahwa: “Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat

pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil

konstruksi (bentukan) kita sendiri”.

Suparno (Trianto, 2010) mengungkapkan prinsip-prinsip dasar pandangan

konstruktivis adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar, siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah dan

3. Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu

bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.

Konstruktivisme juga menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh

adalah hasil konstruksi sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer

(16)

Piaget, Vygotsky, teori-teori dalam proses informasi, dan teori psikologi kognitif

yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).

1. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget

Menurut Piaget (Dahar,1989), dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia

ber-interaksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak

merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan

fisik-nya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial.

Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya.

Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam

mengem-bangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang

lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu

yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif. Aktivitas mental

anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut skema atau

pola tingkah laku.

Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian

Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi.

a. Struktur, memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.

b. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang

dihadapinya.

c. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.

Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu

(17)

9

mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang

teratur dan berhubungan, sedangkan adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan

melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.

Piaget (Dahar, 1989) mengemukakan bahwa dalam proses asimilasi seseorang

menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi

masa-lah yang dihadapinya dalam lingkungannya sedangkan dalam proses akomodasi

seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan

respons terhadap tantangan lingkungannya. Dalam menghadapi rangsangan atau

pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru

dengan skema yang telah dimiliki. Pengalaman yang baru bisa jadi sama sekali

tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan

mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang

cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada

sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Menurut Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan

akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan

adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (

disequi-librium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur

kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru.

Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan

ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi

bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih

(18)

2. Teori penemuan Jerome Bruner

Bruner (Trianto,2010) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan

pen-carian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi

hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar

melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prisip-prinsip agar

me-reka memperoleh pengalaman dan melalui eksperimen-eksperimen yang

meng-izinkan mereka untuk menemukan prisip-prinsip itu sendiri.

3. Teori pembelajaran sosial Vygotsky

Vigotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahauan sebagai hasil dari

pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vigotsky berkeyakinan bahwa

perkembangan tergantung baik pada faktor biologis yang menentukan

fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi, dan stimulasi respons, faktor sangat

penting bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan

konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan (Trianto, 2010). Teori

Vigotsky lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Vigostsky

(Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa penemuan dalam belajar lebih mudah

diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang.

B.Model Problem Solving

Model problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam

menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi

yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Problem

(19)

11

mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi

konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, problem solving

menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu

(Hidayati, 2006).

Model problem solving adalah model pembelajaran yang menuntut siswa belajar

untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok. Oleh karena

itu, dalam pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang

diberikan oleh guru. Problem solving adalah suatu langkah pembelajaran yang

dilaksanakan dengan cara siswa mencari kebenaran pengetahuan dan informasi

tentang konsep, hukum, prinsip, kaidah, mengadakan percobaan, bertanya secara

tepat serta mencari jawaban masalah berdasarkan pemahaman konsep, prinsip dan

kaidah yang telah dipelajari. Orientasi pembelajaran problem solving adalah

investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Problem solving bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks

daripada yang diduga. Problem solving memerlukan keterampilan berpikir yang

banyak ragamnya termasuk mengamati, melaporkan, mendeskripsi, menganalisis,

mengklasifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramalkan, menarik kesimpulan, dan

membuat generalisasi berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan diolah.

Untuk memecahkan masalah kita harus melokasi informasi, menampilkannya dari

ingatan lalu dan memprosesnya untuk mencari hubungan, pola, atau pilihan baru.

Proses problem solving yang dikemukakan oleh Karl Albrecht, digolongkan

dalam 2 fase : (1) fase perluasan atau ekspansi yang pada pokoknya bersifat

(20)

Langkah-langkah model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :

1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.

4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan kegiatan lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah

C.Keterampilan Berpikir Kritis

Keterampilan adalah kecakapan untuk melaksanakan tugas, dimana keterampilan

tidak hanya meliputi gerakan motorik tetapi juga melibatkan fungsi mental yang

bersifat kognitif, yaitu tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan.

Proses berpikir berhubungan dengan pola perilaku dan membutuhkan keterlibatan

aktif pemikir. Berpikir membuat seseorang dapat mengolah informasi yang

diterima dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Arifin (2003) menyatakan bahwa berpikir merupakan proses mental yang dapat

menghasilkan pengetahuan. Berpikir juga merupakan kemampuan jiwa taraf

tinggi yang dapat dicapai dan dimiliki oleh manusia. Adanya kemampuan

ber-pikir pada manusia merupakan pembeda yang khas antara manusia dengan

bina-tang. Melalui berpikir, manusia dapat mencapai kemajuan yang luar biasa dan

(21)

13

Presseisen (Costa, 1985) mengatakan bahwa berpikir dianggap sebagai suatu

proses kognitif, proses mental untuk memperoleh pengetahuan. Walaupun

demikian, aspek kognitif berkaitan dengan cara bagaimana mengenal sesuatu

seperti persepsi, penalaran, dan intuisi. Kemampuan berpikir menitikberatkan

pada penalaran sebagai fokus utama dalam aspek kognitif. Costa (Liliasari, 2008)

membagi keterampilan berpikir menjadi dua, yaitu keterampilan berpikir dasar

dan keterampilan berpikir kompleks atau tingkat tinggi. Berpikir kompleks atau

tingkat tinggi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan

masalah, pembuatan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.

Salah satu kemampuan berpikir yang dapat digunakan untuk membentuk sistem

konseptual IPA adalah berpikir kritis. Berpikir kritis sangat diperlukan oleh

setiap individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Berpikir

kritis membuat seseorang dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah atau

memperbaiki pikirannya sehingga dia dapat bertindak lebih cepat. Seseorang

dikatakan berpikir kritis, apabila ia mencoba membuat berbagai pertimbangan

ilmiah untuk menentukan pilihan terbaik dengan menggunakan berbagai kriteria.

Berpikir kritis berbeda dengan berpikir biasa. Berpikir biasa tidak mempunyai

standar dan sederhana, sedangkan berpikir kritis lebih komplek dan berdasarkan

standar objektif, kegunaan atau kemantapan.

Presseisen (Costa, 1985) mengatakan bahwa berpikir kritis diartikan sebagai

keterampilan berpikir yang menggunakan proses berpikir dasar untuk

meng-analisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan

(22)

yang mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat

dipercaya, ringkas dan meyakinkan.

Ennis (1989) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir

secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan, sebagai

apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Siswa tidak dapat mengembangkan

berpikir kritis dengan baik tanpa ditantang untuk berlatih menggunakannya dalam

konteks berbagai bidang studi yang dipelajarinya. Berpikir kritis dalam ilmu

kimia tidak dapat dilakukan dengan cara mengingat dan menghafal konsep, tetapi

mengintegrasikan dan mengaplikasikan konsep-konsep yang telah dimiliki.

Terdapat enam komponen berpikir kritis menurut Ennis (1985) seperti yang

tertera pada tabel 2.1.

Tabel 1. Unsur-unsur keterampilan berpikir kritis

No Unsur Keterangan

1 Focus Memfokuskan pemikiran, menggambarkan poin-poin utama, isu, pertanyaan, atau permasalahan. Hal-hal pokok dituangkan di dalam argumen dan pada akhirnya didapat kesimpulan dari suatu isu, pertanyaan, atau permasalahan tersebut.

2 Reasoning Ketika suatu argumen dibentuk, maka harus disertai dengan alasan (reasoning). Alasan dari argumen yang diajukan harus dapat mendukung kesimpulan dan pada akhirnya alasan tersebut dapat diterima sebelum membuat keputusan akhir. 3 Inference Ketika alasan yang telah dikemukakan benar, apakah hal

tersebut dapat diterima dan dapat mendukung kesimpulan 4 Situation Ketika proses berpikir terjadi, hal tersebut dipengaruhi oleh

situasi atau keadaan baik (keadaan lingkungan, fisik, maupun sosial).

5 Clarity Ketika mengungkapkan suatu pikiran atau pendapat, diperlukan kejelasan untuk membuat orang lain memahami apa yang diungkapkan

(23)

15

Moore dan Parker (Liliasari, 2008) menyatakan bahwa berpikir kritis memiliki

beberapa karakteristik, yaitu:

1. Menentukan informasi mana yang tepat atau tidak tepat. 2. Membedakan klaim yang rasional dan emosional. 3. Memisahkan fakta dari pendapat.

4. Menyadari apakah bukti itu terbatas atau luas.

5. Menunjukkan tipuan dan kekurangan dalam suatu argumentasi orang lain. 6. Menunjukkan analisis data atau informasi.

7. Menyadari kesalahan logika dalam suatu argumen.

8. Menggambarkan hubungan antara sumber-sumber data yang terpisah dan informasi.

9. Memperhatikan informasi yang bertentangan, tidak memadai atau bermaknaganda.

10.Membangun argumen yang meyakinkan. 11.Memilih data penunjang yang paling kuat. 12.Menghindari kesimpulan yang berlebihan.

13.Mengidentifikasi celah-celah dalam bukti dan menyarankan pengumpulan informasi tambahan.

14.Menyadari ketidakjelasan.

15.Mengusulkan pilihan lain dan mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan.

16.Mempertimbangkan semua pemangku kepentingan atau sebagiannya dalam pengambilan keputusan.

17.Menyatakan argumen dan kontek untuk apa argumen itu. 18.Menggunakan bukti secara benar.

19.Menyusun argumen secara logis dan kohesif.

20.Menghindari unsur-unsur luar dalam penyusunan argumen.

21.Menunjukkan bukti untuk mendukung argumen yang meyakinkan.

Menurut Ennis (1989) terdapat 12 indikator keterampilan berpikir kritis yang

dikelompokkan dalam lima kelompok keterampilan berpikir. Kelima kelompok

keterampilan tersebut adalah: memberikan penjelasan sederhana (elementary

clarification), membangun keterampilan dasar (basic support), menyimpulkan

(interfence), membuat penjelasan lebih lanjut (advance clarification), serta

strategi dan taktik (strategy and tactics). Kedua belas indikator tersebut adalah :

1. Memfokuskan pertanyaan. 2. Menganalisis argumen.

3. Bertanya dan menjawab pertanyaan. 4. Mempertimbangkan kredibilitas sumber.

(24)

6. Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi. 7. Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi. 8. Membuat dan mempertimbangkan hasil keputusan. 9. Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi. 10.Mengidentifikasi asumsi.

11.Memutuskan suatu tindakan. 12.Berinteraksi dengan orang lain.

Tabel 2. Keterampilan berpikir kritis menurut Ennis

No Kelompok Indikator Sub Indikator

1 Memberikan

penjelasan sederhana

Memfokuskan pertanyaan

a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan

b. Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan jawaban

c. Menjaga kondisi berpikir Menganalisis

argumen

a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi kalimat-kalimat

pertanyaan

c. Mengidentifikasi kalimat-kalimat bukan bukan pertanyaan

d. Mengidentifikasi dan menangani ketidaktepatan

e. Melihat struktur dari suatu argumen f. Membuat ringkasan

Bertanya dan menjawab pertanyaan

a. Menyebutkan contoh

b. Mengapa? Apa ide utamamu?

a. Mempertimbangkan keahlian b. Mempertimbangkan kemenarikan

konflik

c. Mempertimbangkan kesesuaian sumber

d. Mempertimbangkan reputasi e. Mempertimbangkan penggunaan

prosedur yang tepat

f. Mempertimbangkan resiko untuk reputasi

g. Kemampuan untuk memberikan alasan

h. Kebiasaan berhati-hati Mengobservasi

dan memper-timbangkan laporan

a. Melibatkan sedikit dugaan

(25)

17

No Kelompok Indikator Sub Indikator

observasi d. Merekam hasil observasi e. Menggunakan bukti-bukti f. Menggunakan akses yang baik g. Menggunakan teknologi h. Mempertanggungjawaban hasil

observasi

a. Siklus logika-Euler b. Mengkondisikan logika c. Menyatakan tafsiran

Menginduksi dan memper-timbangkan hasil induksi

a. Mengemukakan hal yang umum b. Mengemukakan kesimpulan dan

hipotesis

Membuat dan menentukan hasil

pertimbangan

a. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan sesuai latar belakang fakta-fakta

b. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan akibat c. Menerapkan konsep yang dapat

diterima

d. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan keseimbangan masalah.

4 Memberikan

a. Membuat bentuk definisi(sinonim, klasifikasi, rentang ekivalen, rasional, contoh, bukan contoh)

b. Strategi membuat definisi c. Membuat isi definisi

Mengidentifi-kasi asumsi

a. Penjelasan bukan pernyataan b. Mengkonstruksi argumen

5 Mengatur

strategi dan taktik

Menentukan suatu tindakan

a. Mengungkap masalah b. Memilih kriteria untuk

mempertimbangkan solusi yang mungkin

c. Merumuskan solusi alternatif d. Menentukan tindakan sementara e. Mengulang kembali

f. Mengamati penerapannya Berinteraksi

dengan orang lain

a. Menggunakan argumen b. Menggunakan strategi logika c. Menggunakan strategi retorika d. Menunjukkan posisi, orasi, atau

(26)

Pada penelitian ini, indikator yang dikembangkan adalah :

No Kelompok Indikator Sub Indikator

1 Memberikan penjelasan sederhana

Memfokuskan pertanyaan

merumuskan kriteria untuk

mempertimbangkan kemungkinan jawaban

Menganalisis argumen

Mengidentifikasi dan menangani ketidaktepatan

2 Menyimpulkan Menginduksi dan mempertimbangkan

Menerapkan konsep yang dapat diterima

D.Analisis Konsep

Herron et al. (Fadiawati, 2011) berpendapat bahwa belum ada definisi tentang

konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya konsep disamakan

dengan ide. Markle dan Tieman (Fadiawati, 2011) mendefinisikan konsep

sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin tidak ada satupun definisi

yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu diperlukan suatu analisis

konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan konsep dan

menghubung-kan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.

Herron et al. (1977) mengemukakan bahwa analisis konsep merupakan suatu

prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan

urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Prosedur ini telah digunakan secara

luas oleh Markle, Tieman serta Klausemer. Analisis konsep dilakukan melalui

tujuh langkah, yaitu menentukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis

(27)
(28)
(29)
(30)

E.Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikemukakan sebelumnya bahwa pada tahap

pertama model pembelajaran problem solving yaitu mengorientasikan siswa pada

masalah. Adapun pada ini guru mengajukan fenomena-fenomena alam yang

sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, kemudian siswa diminta untuk dapat

menemukan masalah dari fenomena alam tersebut. Tahap kedua yakni mencari

data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Pada

tahap ini siswa diminta untuk mencari data dan informasi sebanyak-banyaknya

dari buku paket, maupun browsing internet mengenai masalah yang dihadapi,

sehingga data tersebut dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah. Tahap

ketiga yakni menetapkan jawaban sementara dari permasalahan yang diberikan.

Pada tahap ini siswa akan dilatih untuk dapat merumuskan jawaban sementara

dari permasalahan yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya, sehingga

di-harapkan siswa dapat merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan

kemungkinan jawaban.

Tahap keempat yakni menguji kebenaran jawaban. Pada tahap ini siswa

melaku-kan eksperimen untuk memecahmelaku-kan masalah berdasarmelaku-kan fakta dalam eksperimen

tersebut. Dengan eksperimen, siswa dapat memberikan alasan terhadap jawaban

yang dibuat, sehingga diharapkan siswa dapat merumuskan kriteria untuk

mempertimbangkan kemungkinan jawaban. Tahap kelima yakni menarik

kesimpulan. Adapun pada tahap ini siswa diminta untuk dapat membuat

kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan. Setelah Siswa

(31)

mengkomu-23

nikasikan hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan sederhana dari

data yang didapatkan. Dan pada akhirnya berdasarkan uraian langkah-langkah di

atas, diharapkan model pembelajaran problem solving dapat meningkatkan

keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan.

F. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah :

1. Siswa kelas X4 dan X5 semester genap SMA Fransiskus Bandar Lampung

tahun pelajaran 2012/2013 yang menjadi sampel penelitian mempunyai

pengetahuan awal yang sama.

2. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi peningkatan keterampilan

memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan, materi larutan

elektrolit dan non elektrolit siswa kelas X semester genap SMA Fransiskus

Bandar Lampung TP.2012/2013 pada kedua kelas diusahakan sekecil

mungkin sehingga dapat diabaikan.

3. Perbedaan n-Gain keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan

menyimpulkan kelas kontrol dan eksperimen semata-mata terjadi karena

perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran.

G.Hipotesis Umum

Sebagai pemandu dalam melakukan analisis maka perlu disusun hipotesis umum

dengan perumusan sebagai berikut: Model problem solving pada materi larutan

elektrolit dan non elektrolit efektif dalam meningkatkan memberikan penjelasan

(32)

Label

Atribut Posisi Konsep

Contoh Larutan Campuran homogen

yang terdiri dari dua zat atau lebih, dimana salah satunya

bertindak sebagai zat terlarut sedangkan yang lainnya sebagai zat pelarut dan mempunyai sifat dapat menghantarkan listrik (elektrolit) atau tidak dapat

Campuran Suspense Koloid

Larutan garam Susu

Air dan pasir

Larutan elektrolit

Larutan yang dapat menghantarkan listrik, ditandai dengan timbulnya gelembung gas serta nyala lampu pada elektrolittester

yang dapat bersifat elektrolit kuat atau elektrolit lemah

Larutan Larutan

(33)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 dan nyala lampu yang terang pada

(34)

non elektrolit

tidak dapat menghantarkan listrik, ditandai dengan lampu tidak menyala dan tidak adanya gelembung gas pada

elektrolittester.

Konkrit elektrolit elektrolit Larutan gula

Alkohol

HCl Larutan NaCl

(35)

24

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang

ling-kup dan waktu yang kita tentukan (Margono, 2010). Populasi dalam penelitian ini

adalah semua siswa kelas X SMA Fransiskus Bandar Lampung tahun pelajaran

2012/2013 yang berjumlah 180 siswa. Siswa tersebut merupakan satu kesatuan

populasi, karena adanya kesamaan sebagai berikut:

a. Siswa-siswa tersebut berada dalam semester yang sama, yaitu semester genap.

b. Dalam pelaksanaan pembelajarannya, siswa-siswa tersebut diajar dengan

kurikulum yang sama (KTSP), dan jumlah jam belajar yang sama (tiga jam

pelajaran dalam setiap minggu).

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi, sebagai contoh yang diambil dengan

meng-gunakan cara tertentu (Margono, 2010). Jadi sampel penelitian adalah bagian dari

populasi yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi. Pengambilan

sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel

yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti

(36)

digunakan adalah kemampuan awal yang tidak jauh berbeda antara kedua kelas

sampel. Setelah diperoleh dua kelas sampel maka ditentukan kelas eksperimen

dan kelas kontrol. Berdasarkan teknik tersebut maka ditentukan X4 sebagai kelas

eksperimen yang menggunakan model problem solving dan X5 sebagai kelas

kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil

tes sebelum penerapan pembelajaran (pretes) dan hasil tes setelah penerapan

pembelajaran (postes) siswa. Adapun sumber data dibagi menjadi dua kelompok

yaitu:

1. Seluruh siswa kelas eksperimen

2. Seluruh siswa kelas kontrol

C. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen, dengan desain

Non-equivalen Control Group Design. Di bawah ini adalah langkah-langkah yang

menunjukkan suatu urutan kegiatan penelitian :

Tabel .3 Desain penelitian

Kelas Pretes Perlakuan Postes

Kelas eksperimen O1 X O2

Kelas kontrol O1 - O2

O1 adalah pretes yang dilakukan sebelum diberikan perlakuan, O2 adalah postes

yang dilakukan setelah diberikan perlakuan dan X adalah perlakuan model

(37)

26

D. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu pembelajaran menggunakan

model problem solving dan konvensional, serta variabel terikat yaitu keterampilan

memberikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu.

Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul

data untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 2003). Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa silabus, RPP, LKS, analisis

konsep, serta soal pretes dan postes yang masing-masing terdiri dari 5 soal essay.

Dalam pelaksanaannya, kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan soal pretes

yang sama. Agar data yang diperoleh dapat dipercaya, maka instrumen yang

digunakan harus valid. Dengan kata lain suatu instrumen dikatakan valid apabila

mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel

yang diteliti secara tepat. Untuk itu perlu dilakukan pengujian terhadap instrumen

yang akan digunakan.

Pengujian instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah vailditas isi.

Adapun pengujian validitas isi dilakukan dengan cara judgment. Oleh karena

dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka

peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Adapun validitas isi dilakukan oleh

dosen pembimbing Dra.Chansyanah Diawati M.Si. dan Dr. Noor Fadiawati, M.Si.

(38)

pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaan. Bila antara unsur-unsur itu

terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk

digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang

bersangkutan.

F. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Fransiskus Bandar Lampung. Secara garis

besar tahap-tahap penelitian dikelompokkan menjadi lima langkah yaitu memilih

masalah yang akan dikaji, studi literatur, penyusunan instrumen, implementasi

model problem solving serta konvensional dan terakhir adalah analisis data dan

kesimpulan. Adapun langkah-langkah penelitian tersebut ditunjukkan pada alur

penelitian, seperti ditunjukkan pada alur berikut:

Gambar 1. Alur Penelitian

Analisis konsep-konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Validasi instrumen

Rencana pembelajaran problem solving

Pembuatan kisi-kisi butir soal Butir soal tes

Pembelajaran konvensional Problem Solving

Pretes Pretes

Validasi instrumen

Rencana pembelajaran konvensional

Pembuatan kisi-kisi butir soal Butir soal tes

Postes Postes

Analisis data

(39)

28

Penelitian diawali dengan melaksanakan pretes pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Adapun tujuan pelaksanaan pretes sebelum pembelajaran dilakukan

adalah untuk mengetahui keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan

menyimpulkan siswa pada kedua kelas tersebut. Selanjutnya pada kelas kontrol

pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional sedangkan pada kelas

eksperi-men pembelajaran dilakukan dengan eksperi-menggunakan model problem solving.

Pada kelas eksperimen diberikan media LKS yang berbasis problem solving.

Selanjutnya setelah pembelajaran berlangsung dilakukan postes pada kelas

kon-trol dan kelas eksperimen. Adapun tujuan dilakukan postes adalah untuk

mengetahui perbedaan hasil dari kelas eksperimen dan kelas kontrol.

G. Hipotesis Statistik

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis

dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1)

1. Keterampilan memberikan penjelasan sederhana

H0 : µ1x<µ2x

Rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada

materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran

problem solving lebih rendah daripada rata-rata keterampilan

memberi-kan penjelasan sederhana dengan pembelajaran konvensional SMA

Fransiskus Bandar Lampung.

H1 : µ1x> µ2x

Rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan sederhana pada

(40)

problem solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan

memberi-kan penjelasan sederhana dengan pembelajaran konvensional SMA

Fransiskus Bandar Lampung.

2. Keterampilan menyimpulkan

H0 : µ1y< µ2y

Rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan pada materi larutan

elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran problem

solving lebih rendah daripada rata-rata keterampilan menyimpulkan

dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.

H1 : µ1y> µ2y

Rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan pada materi larutan

elektrolit dan non elektrolit dengan model pembelajaran problem

solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan menyimpulkan

dengan pembelajaran konvensional SMA Fransiskus Bandar Lampung.

Keterangan:

µ1 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit

pada kelas yang diterapkan pembelajaran problem solving.

µ2 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit

pada kelas yang diterapkan pembelajaran konvensional.

x: keterampilan memberikan penjelasan sederhana.

(41)

30

H.Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 1. Analisis data

Tujuan analisis adalah untuk memberikan makna atau arti untuk menarik suatu

kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah

dirumuskan sebelumnya. Hal-hal yang diperlukan dalam menganalisis data

setelah melakukan pretes dan postes pada siswa SMA Fransiskus adalah :

a. Penentuan nilai

Nilai siswa dapat dirumuskan sebagai berikut:

Nilai siswa = jumlah skor jawaban yang diperoleh x 100 …………..(1) jumlah skor maksimal

Dari data yang diperoleh kemudian dicari gain ternormalisasinya, dan

selanjutnya dianalisis menggunakan uji homogenitas dua varians.

b. Perhitungan gain ternormalisasi

Untuk mengetahui efektivitas keterampilan memberikan penjelasan sederhana

dan menyimpulkan maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi.

Perhitungan gain ternormalisasi bertujuan untuk mengetahui peningkatan nilai

pretes dan postes dari kedua kelas. Besarnya peningkatan dihitung dengan

rumus n-Gain,yaitu :

... (2)

Tabel 5. Klasifikasi gain ( g )

Besarnya g Interpretasi

g > 0.7 Tinggi

0,3 < g ≤ 0,7 Sedang

(42)

Data gain ternormalisasi yang diperoleh diuji normalitas dan homogenitasnya

kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

2. Pengujian Hipotesis

a. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel

berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak. Rumusan untuk uji

normalitas adalah menggunakan uji Chi-Kuadrat : (Sudjana, 2005)

h h i

f f

f 2

2 ( )

fi : frekuensi pengamatan

fh : frekuensi yang diharapkan

dengan krieria uji : terima H0 jika 2hitung 2tabel dengan taraf nyata 5%

b. Uji homogenitas dua varians

Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua

kelompok sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Karena

pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumusan statistik uji

kesamaan dua rata-rata uji satu pihak, yakni uji pihak kanan, maka untuk uji

statistik ini, diperlukan pengu-jian homogenitas kedua varians kelas sampel.

Untuk uji homogenitas dua varians ini, rumusan hipotesisnya adalah :

H0: σ12= σ22 Data n-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians

yang homogen.

H1: σ12≠ σ22 Data n-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians

(43)

32

Sedangkan untuk uji homogenitas kedua varians kelas sampel, digunakan uji

kesamaan dua varians, dengan rumusan statistik :

……….(3)

Kriteria uji :

Pada tingkat kesalahan 5%, tolak hanya jika F ≥ F 1/2α (υ1,υ2) dan terima H0

jika F < F 1/2α (υ1,υ2).

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menentukan seberapa efektif

per-lakuan terhadap sampel dengan melihat gain ternormalisasi keterampilan

mem-berikan penjelasan sederhana dan menyimpulkan siswa pada materi larutan

elektrolit dan non elektrolit yang lebih tinggi antara pembelajaran dengan

model problem solving dengan pembelajaran konvensional siswa Fransiskus

Bandar Lampung. Jika data yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen,

maka pengujian menggunakan uji statistik parametrik, yaitu menggunakan uji-t

(Sudjana, 2002):

thitung = Kesamaan dua rata-rata

1

X = Gain rata-rata kelas eksperimen

2

X = Gain rata-rata kelas kontrol s2 = Varians

(44)

n1 = Jumlah siswa kelas eksperimen

n2 = Jumlah siswa kelas kontrol 2

1

s = Varians kelas eksperimen

2 2

s = Varians kelas kontrol

Dengan kriteria pengujian: terima H0 jika t< t1-α dengan derajat kebebasan

d(k) = n1 + n2– 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Dengan menentukan taraf

(45)

47

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa

1. Model pembelajaran Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan non

elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan

sederhana.

2. Model pembelajaran Problem Solving pada materi larutan elektrolit dan non

elektrolit efektif dalam meningkatkan keterampilan menyimpulkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa :

1. Pembelajaran model problem solving dapat dipertimbangkan dalam

pembel-ajaran kimia, terutama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit karena

terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan memberikan penjelasan

sederhana dan menyimpulkan.

2. Dalam pembelajaran model problem solving agar berjalan lebih efektif

sebaik-nya memperhatikan alokasi waktu, karena dalam pelaksanaansebaik-nya

pembelajar-an dengpembelajar-an menggunakpembelajar-an metode ini membutuhkpembelajar-an waktu ypembelajar-ang lebih lama

(46)
(47)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, A. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Dalam Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Departemen Agama RI.

Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta; Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2003. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta; Bumi Aksara.

Bassham, G et.al. 2008. Critical Thiking : A Student’s Introduction. New York: McGraw-Hill Companies,Inc.

Costa, A. L. 1985. Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking.

Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

Dahar, R.W. 1989. Teori–Teori Belajar. Jakarta; Erlangga.

Depdiknas. 2003. Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Depdiknas. 2008. Rambu – Rambu Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar. Jakarta; Depdiknas.

Ennis, R.H. 1985. Goals for A Critical Thiking Curriculum. Costa, A.L. (Ed).

Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandra, Virginia: Assosiation for Supervisions and Curriculum Development (ASCD).

Fadiawati, N. 2011. Perkembangan Konsepsi Pembelajaran Tentang Struktur Atom Dari SMA Hingga Perguruan Tinggi ( Suatu Studi deskriptif-Cross Sectional). Disertasi Program doktor Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

Halpern, D. F. (1996). Thought and knowledge: an introduction to critical thinking (3rd ed.). Mahwah, NJ: L. Erlbaum Associates

Herron, J. Dudley. et.al 1977. Problems Associated With Concept Analysis.

(48)

Liliasari, dkk. 1997. Pengembangan Model Pembelajaran materi Subyek Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Mahasiswa Calon Guru IPA. Laporan Penelitian. Bandung: IKIP Bandung. Tidak diterbitkan

Margono. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta; PT Rineka Cipta.

Redhana dan Liliasari. 2008. Program Pembelajaran Keterampilan Berpikir Kritis Pada Topik Laju Reaksi Untuk Siswa SMA. Diakses tanggal 22 Oktober 2012.

Roestiyah, NK. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta; Bina Aksara.

Santrock, J. W. 2003. Adolecense (perkembangan remaja). Terjemahan oleh Soedjarwo. Jakarta; Penerbit Erlangga.

Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung; Tarsito.

Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung; Alfabeta.

Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta; Kanisius.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta; Kencana.

Gambar

Tabel 1. Unsur-unsur keterampilan berpikir kritis
Tabel .3 Desain penelitian
Gambar 1. Alur Penelitian
Tabel 5. Klasifikasi gain ( g )

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian asam humat dan interaksi antara asam humat dan pupuk P nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, indeks kehijauan

Perbedaan semacam ini sering kali diantara menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan perusahaan, bila tidak ditangani secara serius

Dalam    hal    ini    tujuan    penelitian    adalah   memecahkan    masalah atau   menjawab pertanyaan penelitian... 2) Berupa    pernyataan    yang    dirumuskan

[r]

Faktor non fisik yang menjadi alasan suatu wilayah menjadi pusat pertumbuhan terdapat pada angka ….. Perhatikan gambar tata ruang

Flowers for Algernon novel by Daniel Keyes is the most obvious novel, that shows the mentally disabled men who want to be smart.. The story started on 3 March and written by

Tepung biji karet sebagai substitusi tepung kedelai dalam pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan tidak berpengaruh nyata terhadap survival rate (SR)..

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan