EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN
MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT
SERTA REDOKS
Oleh ETI NOPITA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Kimia
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN
MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT
SERTA REDOKS
Oleh ETI NOPITA
Proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh ketepatan guru dalam memilih dan menerapkan model pembelajaran. Model yang dapat diterapkan untuk meningkat-kan keterampilan mengelompokmeningkat-kan dan mengkomunikasimeningkat-kan adalah model pembe-lajaran problem solving. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan efektivitas pembelajaran model problem solving dalam meningkatkan keterampilan menge-lompokkan dan mengkomunikasikan pada materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent Control Group Design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa MAN 1 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 kelas X6 dan kelas X7. Sampel diambil
Berdasarkan perbedaan dua rata-rata (uji t), diketahui bahwa kelas dengan pembe-lajaran problem solving memiliki keterampilan mengelompokkan dan mengkomu-nikasikan yang lebih tinggi dibandingkan kelas pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving efektif dalam me-ningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa.
i DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Pembelajaran Konstruktivisme ... 8
B. Pembelajaran Problem Solving. ... 11
C. Keterampilan Proses Sains……… ... 14
D. Hasil Penelitian yang Relevan……… ... 16
E. Konsep ... .. 17
F. Kerangka Pemikiran... 25
G. Anggapan Dasar ... 26
ii
B. Jenis dan Sumber Data ... 28
C. Desain dan Metode Penelitian ... 29
D. Variabel Penelitian ... 29
E. Instrumen Penelitian dan Validitas ... 29
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 31
G. Hipotesis Kerja ... 33
H. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 33
iii
G. Rubrik Penskoran Pretest ... 106
H. Kisi-Kisi Soal Posttest ... 113
I. Soal Posttest ... 123
J. Rubrik Penskoran Posttest ... 126
K. Lembar Kinerja Guru Kelas Eksperimen ... 132
L. Lembar Kinerja Guru Kelas Kontrol ... 142
M. Lembar Penilaian Aspek Afektif Kelas Eksperimen ... 147
N. Lembar Penilaian Aspek Psikomotor Kelas Eksperimen ... 164
O. Perhitungan dan Analisis Data Penelitian ... 170
P. Surat Keterangan Penelitian ... 193
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengeta-huan yang berupa fakta- fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga
merupakan suatu proses. Proses tersebut berupa suatu keterampilan yang bersumber
dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri
siswa. Keterampilan–keterampilan dasar tersebut dalam IPA disebut dengan
kete-rampilan proses sains (KPS). Ketekete-rampilan proses sains merupakan suatu tindakan
instruksional untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh
siswa, sehingga konsep yang diperoleh siswa akan lebih bermakna karena
kemampuan berpikir siswa akan lebih berkembang.
Kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA, oleh karenanya kimia
mem-punyai karakteristik sama dengan IPA. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia
yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk dan kimia sebagai proses
(mela-tih siswa untuk memecahkan masalah terutama yang berkaitan dengan ilmu kimia
secara ilmiah). Oleh karena itu, pembelajaran kimia harus memperhatikan
karak-teristik kimia sebagai proses dan produk serta mengembangkan
Dalam pembelajaran mengenai materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit
serta redoks, siswa tentu saja harus memiliki keterampilan proses sains. Hal ini
dikarenakan ilmu kimia dibangun melalui pengembangan keterampilan proses sains
seperti mengamati, mengelompokkan, menafsirkan, meramalkan,
mengkomunika-sikan, dan inferensi. Dalam proses pembelajaran sangat diperlukan komunikasi,
yaitu suatu proses interaksi yang didalamnya terdapat maksud saling melengkapi,
memperbaiki, dan memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh guru dan siswa.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa komunikasi tidak sekedar media
penyampaian materi pokok dari guru melainkan lebih kepada jalinan antar personal
guru dan siswa atau antar siswa. Oleh sebab itu, agar komunikasi berjalan dengan
baik dan lancar serta memberi manfaat baik bagi pihak penyampai pesan maupun
bagi pihak penerima pesan, maka diperlukan adanya keterampilan komunikasi.
Selain keterampilan mengkomunikasikan, satu hal yang tidak akan terlepaskan dalam
keterampilan proses sains adalah keterampilan mengelompokkan. Terampil
menge-lompokkan sepertinya bukanlah keterampilan yang begitu penting untuk dikuasai
siswa, namun sebaliknya keterampilan inilah yang harus menjadi dasar dalam
penga-matan-pengamatan langsung yang mereka lakukan terhadap suatu permasalahan,
serta prospek kerja yang mungkin akan dijalani mereka di esok hari yang sangat
memerlukan keterampilan misalnya laboran dan guru kimia di sekolah.
Pengelom-pokan bahan-bahan atau obat-obatan yang memiliki sifat sejenis sangatlah diperlukan
untuk mempermudah dan menghindarkan bahan-bahan tersebut dari pencampuran
yang membahayakan. Melalui pengamatan langsung yang banyak dilakukan pada
materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks, siswa dituntut agar
pengama-tan, mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat, serta mencari dasar
penge-lompokkan atau penggolongan. Kemampuan-kemampuan ini tidak lain merupakan
indikator keterampilan mengelompokkan.
Hasil observasi yang dilakukan di MAN 1 Bandar Lampung terkait dengan mata
pelajaran kimia, bahwa selama ini pembelajaran yang digunakan masih berpusat
pada guru. Siswa tidak diajak dalam menemukan konsep materi pokok tersebut. Hal
ini belum sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang proses
pembelajarannya harus mengacu pada student centered (berpusat pada siswa).
Pem-belajaran kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam
kehidu-pan sehari-hari, seperti pada topik larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks,
banyak sekali masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dihubungkan dengan
materi pokok ini, misalnya penggunaan listrik untuk menangkap ikan disungai.
Penangkapan ikan dengn listrik initidak diperbolehkan (ilegal). Contoh lainnya
misalnya perkaratan besi, pembakaran dan lain sebagainya. Namun, yang terjadi
selama ini guru jarang sekali menghubungkan materi pokok kimia dengan kehidupan
sehari-hari, akibatnya siswa mengalami kesulitan menghubungkannya dengan apa
yang terjadi di lingkungan sekitar.
Agar pembelajaran kimia menjadi pelajaran yang disukai dan siswa terlibat aktif
da-lam belajar sehingga dapat mencapai hasil yang sesuai dengan indikator
pembelajar-an ypembelajar-ang telah direncpembelajar-anakpembelajar-an, seorpembelajar-ang pendidik dituntut untuk dapat memilih model
pembelajaran serta media yang cocok dengan materi pokok, bahan ajar, serta kondisi
siswa. Salah satu upaya yang dilakukan agar pembelajaran kimia menjadi lebih
masalah adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang berbasis pemecahan
masalah (problem solving). Dengan menggunakan pembelajaran problem solving,
anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah secara ilmiah, melatih
mengemuka-kan hipotesis, melatih menguji hipotesis, melatih mengambil suatu kesimpulan dari
sekumpulan data yang diperoleh siswa dari pembelajaran kimia.
Adnyana (2011) melaporkan bahwa model pembelajaran Problem Solving dapat
meningkatkan aktivitas belajar, kompetensi kerja ilmiah, dan pema-haman konsep
pada pembelajaran kimia di SMA Negeri 1 Banjar. Sari (2012) melaporkan bahwa
model pembelajaran Problem Solving telah terbukti efektif dalam meningkatkan
ke-terampilan mengkomunikasikan dan inferensi pada materi pokok larutan penyangga
dan hidrolisis di SMA Negeri 1 Tumijajar. Kemudian Utari (2012) melaporkan
bahwa model pembelajaran Problem Solving telah terbukti efektif dalam
meningkat-kan keterampilan mengelompokmeningkat-kan dan penguasaan konsep pada materi pokok
larutan elektrolit dan non-elektrolit di SMA Negeri 1 Pringsewu.
Model problem solving diharapkan menjadi salah satu model yang dapat digunakan
untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar kimia siswa.
Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa tersebut, khususnya pada materi
pokok laru-tan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi redoks, maka penulis
mela-kukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Problem Solving Dalam
Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan Pada
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah efektivitas pembelajaran problem solving dalam meningkatkan
keterampilan mengelompokkan siswa pada materi pokok pokok larutan elektrolit
dan non-elektrolit serta redoks?
2. Bagaimanakah efektivitas pembelajaran problem solving dalam meningkatkan
keterampilan mengkomunikasikan pada materi pokok pokok larutan elektrolit dan
non-elektrolit serta redoks?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan efektivitas pembelajaran model problem solving dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan siswa pada materi pokok
larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.
2. Mendeskripsikan efektivitas pembelajaran model problem solving dalam
meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan pada materi pokok larutan
elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
Penerapan model problem solving dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan
dapat meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan
siswa, serta dapat menumbuhkan motivasi dan minat belajar siswa.
2. Bagi guru
Memberi inspirasi bagi guru untuk memilih model pembelajaran yang efektif
pada materi pokok larutan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi redoks
maupun materi lain yang memiliki karakteristik yang sama.
3. Bagi sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran kimia di
Sekolah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Pembelajaran dengan model problem solving dikatakan efektif meningkatkan
keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan apabila secara statistik
keterampilan mengelompokkan dan keterampilan mengkomunikasikan siswa
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen (ditunjukkan dengan n-Gain yang signifikan dan uji t).
2. Langkah-langkah model pembelajaran problem solving (Depdiknas dalam
Nessinta, 2010) meliputi adanya masalah yang jelas, mencari data atau
kete-rangan, menetapkan hipotesis, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.
3. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini digunakan
di MAN 1 Bandar Lampung. Pembelajaran konvensional diterapkan dengan
dengan sesekali praktikum atau demonstrasi pada materi pokok-materi pokok
tertentu dengan menggunakan LKS yang biasa digunakan di sekolah tersebut.
4. Indikator keterampilan mengelompokkan dalam penelitian ini merupakan
indikator dalam keterampilan proses sains tingkat dasar yang meliputi
kemam-puan mencari perbedaan dan persamaan (membandingkan), mengontraskan
ciri-ciri, serta mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan.
5. Indikator keterampilan mengkomunikasikan yang diamati dan diukur dalam
penelitian ini adalah (1) mengubah data narasi ke dalam bentuk tabel, dan (2)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Glasersfeld (Komalasari, 2010) konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
kons-truksi (bentukan) kita sendiri. Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan
bu-kanlah suatu tiruan atau gambaran dari kenyataan (realitas) yang ada.
Pengetahu-an adalah ciptaPengetahu-an mPengetahu-anusia yPengetahu-ang dikontruksikPengetahu-an dari pengalamPengetahu-an yPengetahu-ang dialaminya
yang diakibatkan dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseo-rang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan
yang diperlukan untuk pengetahuan. Para kontruktivis percaya bahwa
pengeta-huan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Menurut
Lorsbach dan Tobin (Komalasari, 2010), siswa sendirilah yang harus mengartikan
apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman
mereka.
Dalam proses kontruksi itu, menurut Glasersfeld (Komalasari, 2010) diperlukan
beberapa kemampuan sebagai berikut:
1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai
khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.
3. Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain
karena kadang seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah soal nilai dari pengalaman yang kita bentuk.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori
pembe-lajaran konstruktivis. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus
me-nemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek
infor-masi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu
tidak lagi sesuai, sehingga siswa dapat benar-benar memahami dan dapat
mene-rapkan pengetahuan. Teori kontruktivistik menuntut siswa untuk belajar
meme-cahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan
susah payah dengan ide-ide.
Prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan menurut teori kontruktivis
ada-lah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa.
Sis-wa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat
mem-berikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk
menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi
sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Ditjen Dikdasmen (Depdiknas, 2003) menjabarkan kecenderungan tentang belajar
berdasarkan konstruktivis tersebut sebagai berikut:
tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan; (5) manusia yang mempunyai tingkatan yang berbeda dalam meyikapi situasi baru; (6) siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide; (7) proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan
seseorang.
b. Transfer belajar, meliputi: (1) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’; (2) keterampilan dan pengetahuan itu diper-luas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit; (3) penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
c. Siswa sebagai pembelajar, meliputi: (1) siswa memiliki kecenderungan un-tuk belajar dengan cepat hal-hal yang baru; (2) strategi belajar itu penting; (3) peran guru membantu menghubungkan antara ‘yang baru’ dan yang sudah diketahui; (4) Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru ber-makna, memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerap-kan ide mereka sendiri dan menyadarmenerap-kan siswa untuk menerapmenerap-kan strategi mereka sendiri.
d. Pentingnya lingkungan belajar, meliputi: (1) belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa; (2) pembelajaran harus ber-pusat pada ‘bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan yang baru mereka. Strategi belajar lebih penting daripada hasilnya; (3) umpan balik amat penting bagi siswa yang berasal dari proses penilaian yang benar; (4) menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu pen-ting.
Menurut Purnomo (2002), kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi
konstruk-tivisme antara lain:
1. Diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan gagasan
2. Pengujian dan penelitian sederhana
3. Demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah
4. Kegiatan praktis lain yang memberi peluang peserta didik untuk mempertanyakan, memodifikasi dan mempertajam gagasannya
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran secara
konstrukti-visme adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa belajar dari
menga-lami, di mana siswa mencari sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru,
membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah
dimana pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan masalah yang
di-simulasikan.
B. Pembelajaran Problem Solving
Masalah pada hakikatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Masalah
yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang sederhana, sedangkan
masalah yang rumit memerlukan tahap-tahap pemecahan yang rumit pula.
Masa-lah pada hakikatnya adaMasa-lah suatu pertanyaan yang mengandung jawaban. Suatu
pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila
perta-nyaan itu dirumuskan dengan baik dan sistematis. Ini berarti, pemecahan suatu
masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak
memecah-kan masalah tersebut (Rofiana, 2005).
Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan
suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat,
sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses problem
solv-ing memberikan kesempatan siswa berperan aktif dalam mempelajari, mencari,
dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori,
atau kesimpulan. Dengan kata lain, problem solving menuntut kemampuan
mem-proses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati, 2006).
Problem solving bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks
daripada yang diduga. Problem solving memerlukan keterampilan berpikir yang
mengklasifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramalkan, menarik kesimpulan, dan
membuat generalisasi berdasrkan informasi yang dikumpulkan dan diolah. Untuk
memecahkan masalah kita harus melokasi informasi, menampilkannya dari
ingat-an lalu memprosesnya dengingat-an maksud untuk mencari hubungingat-an, pola, atau pilihingat-an
baru. Ada pula proses problem solving yang dikemukakan oleh Karl Albrecht
yang terdiri dari enam tahap yang dapat digolongkan dalam dua tahap utama yang
disebutkannya (1) tahap perluasan atau ekspansi yang pada pokoknya bersifat
divergen dan (2) tahap penyelesaian yang bersifat konvergen.
Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :
1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.
3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap kedua di atas.
4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam tahap ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawa-ban ini tentu saja diperlukan modelmodel lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.
5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan
terakhir tentang jawaban dari masalah tadi (Nessinta, 2009).
Model pembelajaran problem solving dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas
pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi
secara ilmiah. Terdapat 3 ciri utama dari pembelajaran problem solving yaitu
a. Pembelajaran problem solving merupakan rangkaian aktivitas
pembela-jaran. Artinya dalam implementasi problem solving ada sejumlah
ke-giatan yang harus dilakukan siswa.
b. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah.
Pem-belajaran problem solving menempatkan masalah sebagai kunci dari
proses pembelajaran.
c. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir
secara ilmiah.
Kelebihan dan kekurangan pembelajaran problem solving menurut Djamarah dan
Zain (2010) adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan pembelajaran problem solving
a. Pembelajaran ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.
b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan
para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil.
c. Pembelajaran ini merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa
secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa ba-nyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.
2. Kekurangan pembelajaran problem solving
a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan ting-kat berpikir siswa, tingting-kat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pe-ngalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru
b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan pembelajaran ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain
c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima
C. Keterampilan Proses Sains
Tainlain (2003) mengemukakan bahwa keterampilan proses merupakan
seperang-kat keterampilan fisik dan mental yang digunakan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dengan tujuan menghasilkan penemuan baru. Seperangkat
kete-rampilan tersebut diperoleh selama melakukan kegiatan belajar dan sebagai hasil
latihan.
Menurut Mochtar (Samana, 1992) pendekatan keterampilan proses adalah cara
memandang siswa serta kegiatannya yang diterjemahkan dalam kegiatan
belajar-mengajar yang memperhatikan perkembangan pengetahuan, nilai hidup serta
si-kap, perasaan, dan keterampilan sebagai kesatuan, yang akhirnya semua kegiatan
belajar dan hasilnya tersebut tampak dalam bentuk kreativitas. Menurut Sanjaya
(2009) pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan menekankan pada
bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa memperoleh hasil belajar untuk
me-nguasai suatu konsep melalui keterampilan proses sains, sehingga dapat dipahami,
dimengerti dan diterapkan sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat sesuai
kebutuhannya.
Menurut Funk (Dimayati dan Mudjiono, 1994) ada berbagai keterampilan dalam
keterampilan proses sains, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari
kete-rampilan dasar (basic skills) dan keterampilan terintegrasi (integrated skills).
Ke-terampilan dasar terdiri dari enam keKe-terampilan yaitu mengamati
(mengobserva-si), mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan, dan
mengkomuni-kasikan. Sedangkan yang termasuk dalam keterampilan terintegrasi yaitu
grafik, menggambarkan hubungan antar-variabel, mengumpulkan dan mengolah
data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara
operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen.
Keterampilan proses bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak didik
me-nyadari, memahami, dan menguasai rangkaian bentuk kegiatan yang
berhubu-ngan deberhubu-ngan hasil belajar yang telah dicapai anak didik. Kegiatan keterampilan
proses dapat dilaksanakan dengan bentuk-bentuk berikut (Djamarah, 2000):
1. Mengamati
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses melihat, mendengar, merasa (kulit meraba), mencium/membau, mencicip/menge-cap, mengukur, dan mengumpulkan data/informasi.
2. Mengklasifikasikan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses mencari persamaan (menyamakan), mencari perbedaan (membedakan), memban-dingkan, mengkontraskan, dan menggolongkan (mengelompokkan). 3. Menafsirkan (menginterpretasikan)
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses menaf-sirkan, memberi arti (mengaitkan), menarik kesimpulan, membuat inferen-si, menggeneralisainferen-si, mencari hubungan antara dua hal (misalnya ruang/ waktu), dan menemukan pola.
4. Meramalkan (memprediksi)
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses meng-antisipasi (berdasarkan kecenderungan/pola/hubungan antardata/hubungan antarinformasi).
5. Menerapkan
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses meng-gunakan (informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori, sikap, nilai, atau keterampilan dalam situasi baru atau situasi lain), menghitung, mendetek-si, menghubungkan konsep, memfokuskan pertanyaan penelitian, menyu-sun hipotesis, dan membuat model.
6. Merencanakan penelitian
Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses menen-tukan masalah/objek yang akan diteliti, menenmenen-tukan tujuan penelitian, me-nentukan ruang lingkup penelitian, meme-nentukan sumber data atau infor-masi, menentukan cara analisis, menentukan langkah-langkah untuk mem-peroleh data informasi, menentukan alat/bahan dan sumber kepusta-kaan serta menentukan cara melakukan penelitian.
7. Mengkomunikasikan
meme-ragakan, mengekspresikan dan melaporkan dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, atau penampilan.
Untuk mengajarkan keterampilan proses itu kepada siswa, siswa perlu
benar-benar melakukan pengamatan, pengukuran, pemanipulasi variabel dan
sebagai-nya. Pendekatan proses lebih banyak melibatkan siswa dengan obyek-obyek
kongkrit, yaitu siswa aktif berbuat. Pendekatan proses memberi siswa
pemaham-an ypemaham-ang valid tentpemaham-ang hakikat sains. Siswa dapat menghayati keasyikpemaham-an sains dpemaham-an
dapat lebih baik memahami fakta-fakta dan konsep-konsep. Pengem-bangan
kete-rampilan proses sains sangant bermanfaat bagi siswa. Ketekete-rampilan proses sains
dapat ditransfer ke topik dan bidang studi lain serta tidak mudah dilupakan.
Kete-rampilan proses sains membuat siswa merasakan hakikat sains dan
memungkin-kan siswa “berbuat” sains. Dengan “berbuat” sains, siswa belajar fakta-fakta dan
konsep-konsep sains. Jadi dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses
dalam mengajarkan sains sehingga siswa belajar “proses” dan “produk” sains
(Soetardjo, 1998).
D.Hasil Penelitian yang Relevan
Berikut ini merupakan hasil penelitian terkait model pembelajaran problem
solving:
1. Hasil penelitian Febriani Zulaika Sari (2012) yang menemukan bahwa
pem-belajaran dengan menggunakan model pempem-belajaran problem solving dapat
meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan inferensi materi larutan
2. Hasil penelitian Hiasinta Rini Utari (2012) yang menemukan bahwa
pem-belajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan
mengelom-pokkan dan penguasaan konsep pada materi larutan nonelektrolit dan
elektrolit serta redoks.
3. Hasil penelitian Gede Putra Adnyana (2011) yang melaporkan bahwa model
pembelajaran Problem Solving dapat meningkatkan aktivitas belajar,
kompe-tensi kerja ilmiah, dan pemahaman konsep pada pembelajaran kimia di SMA
Negeri 1 Banjar..
E. Konsep
Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) berpendapat bahwa belum ada
defi-nisi tentang konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya
konsep disamakan dengan ide. Markle dan Tieman dalam Fadiawati (2011)
mendefinisikan konsep sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin
tidak ada satupun definisi yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu
diperlukan suatu analisis konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan
konsep, sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.
Lebih lanjut lagi, Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) mengemukakan
bahwa analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk
me-nolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian
kon-sep. Prosedur ini telah digunakan secara luas oleh Markle dan Tieman serta
Klausemer dkk. Analisis konsep dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu
menen-tukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut
F. Kerangka Pemikiran
Model problem solving ini membiasakan siswa untuk tidak terjebak pada solusi
atas pikiran yang sempit melainkan membiasakan siswa untuk melihat opsi-opsi
yang terbuka luas. Dengan memiliki lebih banyak opsi solusi kemungkinan untuk
berhasil mengatasi masalah juga akan semakin besar. Dalam proses pembelajaran
yang menggunakan model ini, siswa dapat menyeimbangkan pemanfaatan otak
kanan dan otak kirinya. Pada tahap satu, mereka diorientasikan pada masalah.
Pada tahap ini terjadi proses asimilasi yaitu proses penambahan informasi baru
dengan stuktur kognitif yang ada. Pada tahap ini siswa akan mengalami
ketidak-seimbangan struktur kognitif (cognitive disequilibrium). Siswa akan mengalami
kebingungan dan mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi terhadap fakta baru
yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi yang diawali
dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Lalu pada tahap dua diminta
mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
Pada tahap tiga siswa diminta menetapkan jawaban sementara dari masalah,
sete-lah itu tahap empat siswa diminta menguji kebenaran jawaban sementara, dan
pada tahap lima siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari pemecahan
masa-lah tersebut. Pada tahap dua, tiga, empat, dan lima ini terjadi proses akomodasi
yaitu penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru. Siswa akan mencari tahu
jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana sehingga terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep yang telah dimiliki siswa dengan
konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi kesetimbangan
Dalam usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa
dituntut untuk menjadi pembelajar yang mandiri yang mampu menggunakan dan
menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah dikenalnya serta berbagai
ke-terampilan yang mereka miliki. Pada tahap empat model pembelajran problem
solving, siswa diminta untuk menguji kebenaran hipotesis atau jawaban sementara
dari masalah yang telah dirumuskan. Pada tahap ini siswa melakukan percobaan
yang bertujuan memberi kesempatan siswa untuk memanfaatkan panca indera
se-maksimal mungkin untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi. Kegia-tan
ini mampu meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Kemudian siswa diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi
sebanyak-banyaknya sehingga dapat meningkatkan keterampilan afektif khususnya
kete-rampilan bertanya siswa. Kemudian siswa diminta memprediksikan gejala yang
akan terjadi berdasarkan gejala yang ada atau gejala yang telah diamati
sebelum-nya. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa
yaitu keterampilan memprediksi.
G. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Siswa memperoleh materi yang sama oleh guru yang sama.
2. Perbedaan keterampilan mengelompokkan dan keterampilan
mengkomuni-kasikan siswa kelas X semester genap MAN 1 Bandar Lampung pada materi
larutan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi reduksi oksidasi semata-mata
3. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keterampilan mengelompokkan dan
keterampilan mengkomunikasikan siswa kelas X semester genap MAN 1
Bandar Lampung pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit serta
redoks.
H. Hipotesis Umum
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah pembelajaran model problem solving
pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks efefktif dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan keterampilan
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X MAN 1 Bandar Lampung
tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 350 siswa dan tersebar dalam sepuluh kelas.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel purposif,
yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu
yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya, maka ditentukan kelas X6 dan X7 sebagai sampel. Kelas X7
sebagai kelompok eksperimen yang mengalami pembelajaran Problem Solving,
sedangkan X6 sebagai kelompok kontrol yang mengalami pembelajaran
konvensio-nal.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat
kuantitatif yaitu data hasil tes siswa sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan
hasil tes setelah pembelajaran diterapkan (postest).
Sumber data dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Data hasil pretest dan postest kelompok kontrol
C. Metode dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Rancangan penelitian yang digunakan
adalah non equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan
melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kontrol.
Tabel 1. desain penelitian
Pretest Perlakuan Posttest
Kelas kontrol O1 - O2
Kelas eksperimen O1 X1 O2
Keterangan:
X1: Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran Problen
Solving.
O1: Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretest
O2: Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi posttest
D. Variabel Penelitian
Sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, yaitu
pembel-ajaran problem solving dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel terikat
adalah keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikani pada materi larutan
elektrolit dan non-elektrolit serta redoks siswa MAN 1 Bandar Lampung.
E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya
Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu.
untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Pada
peneliti-an ini, instrumen ypeneliti-ang digunakpeneliti-an berupa soal-soal pretest dan posttest yang
masing-masing berupa soal-soal keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan
dalam bentuk soal uraian.
Dalam pelaksanaannya kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan soal yang sama.
Soal pretest adalah materi pokok ikatan kimia yang terdiri tiga soal uraian yang
me-wakili soal keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan. Sedangkan
soal postest adalah materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks
yang terdiri tiga soal uraian yang juga mewakili soal keterampilan mengelompokkan
dan mengkomunikasikan.
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen.
Sebu-ah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan
da-pat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara teda-pat. Dalam konteks
pengu-jian kevalidan instrumen dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu cara
judgment atau penilaian, dan pengujian empirik.
Instrumen ini menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah kesesuaian antara
ins-trumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali, 1992). Adapun pengujian
keva-lidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan
dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan
pe-ngukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu
ter-dapat kesesuaian, maka ter-dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk
diguna-kan dalam mengumpuldiguna-kan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan.
maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh Ibu
Dra. Nina Kadaritna, M.Si. dan Dra. Chansyanah Diawati, M.Si. sebagai dosen
pembimbing penelitian untuk menilainya.
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
1. Observasi pendahuluan
a. Peneliti meminta izin kepada Kepala MAN 1 Bandar Lampung untuk
melaksanakan penelitian.
b. Peneliti menentukan populasi kemudian menentukan sampel penelitian sebanyak
2 kelas.
2. Pelaksanaan penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap persiapan
Peneliti menyusun silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan
instrumen tes.
b. Tahap pelaksanaan proses pembelajaran.
1. Memberikan pretest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
2. Memberikan posttest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
3. Tabulasi dan analisis data
Prosedur pelaksanaan penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan di
bawah ini :
Gambar 1. Alur penelitian Penyusunan
perangkat pembelajaran konvensional
1. Penyusunan kisi-kisi butir soal (pretest dan posttest) 2. Butir soal tes (pretest dan
posttest)
Penyusunan perangkat pembelajaran
problem solving
Validasi pretest dan
posttest
Kelas kontrol Kelas eksperimen
Pretest Pretest
Pembelajaran konvensional
Pembelajaran
problem solving
Posttest Posttest
Tabulasi dan analisis data
G. Hipotesis Kerja
1. Keterampilan mengelompokkan
Rata-rata keterampilan mengelompokkan siswa pada materi pokok larutan elektrolit
dan non-elektrolit serta redoks yang diterapkan model pembelajaran problem solving
lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan mengelompokkan siswa dengan
pembe-lajaran konvensional.
2. Kemampuan mengkomunikasikan
Rata-rata keterampilan mengkomunikasikan siswa pada materi pokok larutan
elekt-rolit dan non-elektelekt-rolit serta redoks yang diterapkan model pembelajaran problem
solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan mengkomunikasikan siswa
dengan pembelajaran konvensional.
H. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
1. Analisis data
Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti,
yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah,
tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
a. Penentuan nilai
Skor pretest dan postest dirumuskan sebagai berikut:
Data yang diperoleh kemudian dianalisis, dengan menghitung n-Gain yang
se-lanjutnya digunakan untuk menguji normalitas, homogenitas dua varians dan
hipotesis.
b. Gain ternormalisasi
Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran model problem solving dalam
me-ningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa,
maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi. Perhitungan ini bertujuan
untuk mengetahui peningkatan skor pretest dan posttest dari kedua kelas. n-Gain
dirumuskan sebagai berikut :
2. Pengujian hipotesis
a. Uji normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel
berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak.
Hipotesis untuk uji normalitas :
Ho = data penelitian berdistribusi normal
H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal
Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :
χ 2 =
∑
− ee o
f f
f )2
Keterangan : χ2 =
as dua varians digunakan untuk mengetahui apa
nyai varians yang homogen atau tidak. Untuk u
, rumusan hipotesisnya adalah :
ampel memiliki varians yang homogen.
Sampel memiliki varians yang tidak homogen.
skor kelompok I
skor kelompok II
i homogenitas kedua varians kelas sampel, digu
varians, dengan rumusan statistik :
terbesar
terkecil
a uji
Fhitung < Ftabel, dan tolak sebaliknya (Sudjana, 2
pakah dua kelompok
k uji homogenitas
gunakan uji
c. Uji perbedaan dua rata-rata
Teknik pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik,
hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis
alternatif (H1). Pengujian hipotesis disini dilakukan dengan menggunakan
rumusan statistik uji perbedaan rata-rata. Rumusan hipotesisnya adalah sebagai
berikut :
1) Hipotesis 1 (keterampilan mengelompokkan)
H0 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan yang dite-
rapkan pembelajaran dengan model problem solving lebih
rendah atau sama dengan pembelajaran konvensional siswa
MAN 1 Bandar Lampung.
H0 : µ1x ≤ µ2x
H1 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan yang dite
rapkan pembelajaran dengan model problem solving lebih
tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional siswa
MAN 1 Bandar Lampung.
H1 : µ1x >µ2x
2) Hipotesis 2 (mengkomunikasikan)
H0 : Rata-rata n-Gain mengkomunikasikan yang diterapkan pem-
belajaran dengan model problem solving lebih rendah atau
sama dengan mengkomunikasikan pembelajaran konven-
sional siswa MAN 1 Bandar Lampung.
H1 : Rata-rata n-Gain mengkomunikasikan yang diterapkan pem-
µ1 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit
serta redoks pada kelas yang diterapkan pembelajaran dengan model
problem solving
µ2 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit
serta redoks pada kelas dengan pembelajaran konvensional
x : keterampilan mengelompokkan
y : keterampilan mengkomunikasikan
Uji statistik ini sangatlah bergantung pada homogenitas kedua varians data,
karena jika kedua varians kelas sampel homogen (σ12= σ22), maka uji yang
dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
t = Koefisien thitung
1
x = Mean n-Gain mengelompokkan/mengkomunikasikan kelas
eksperimen
2
x = Mean n-Gain mengelompokkan/mengkomunikasikan kelas kontrol
2 1
s = Varians kelas eksperimen
2 2
s = Varians kelas kontrol
2
s = Varians kedua kelas
1
n = Jumlah sampel kelas eksperimen
2
n = Jumlah sampel kelas kontrol
dengan kriteria pengujian terima Ho jika thitung ≤ ttabel dan tolak Ho jika
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan siswa dibandingkan pembelajaran kovensional pada materi
pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.
2. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengkomunikasikan siswa dibandingkan pembelajaran konvensional pada
materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.
3. Model pembelajaran problem solvingefektif dalam meningkatkan keterampilan
mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi pokok larutan
elektrolit dan non-elektrolit serta redoks dikarenakan pada setiap tahapannya
dapat melatih keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan
terutama pada tahapan menguji kebenaran jawaban sementara, siswa diarahkan
untuk mengelompokkan zat-zat berdasarkan persamaan dan perbedaan ciri-ciri
yang diamati. Pada tahap menarik kesimpulan, siswa dilatih untuk
mempresentasikan hasil diskusi dalam kelompok kepada teman-teman
kelompok lain. Melalui presentasi akan terjalin komunikasi dan interaksi
berbagi pendapat. Sehingga dapat meningkatkan keterampilan
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa :
1. Pembelajaran model problem solving dapat dipertimbangkan dalam
pembela-jaran kimia, terutama pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit serta
redoks karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan
mengelom-pokkan dan mengkomunikasikan siswa.
2. Bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian hendaknya lebih
memperhatikan pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran sehingga
pembelajaran lebih maksimal dan dapat menyediakan berbagai sumber dan
sarana belajar bagi siswa agar dapat mencari informasi sebanyak-banyaknya
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Konstektual (Contextual teaching and Learning (CTL)). Ditjen Dikdasmen. Jakarta.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Djamarah dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.
Djamarah, S.B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif . Rineka Cipta. Jakarta.
Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Harefa, A. 2009. Rangkuman dan Sumber Soal Kimia SMA. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.
Lidiawati. 2011. Efektivitas Penerapan Metode Problem Solving Dalam
Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Penguasaan Konsep Koloid (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.
Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.
Nessinta, N. 2010. Penerapan Metode Problem Solving Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Asam Basa (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.
Permana, I. 2009. Memahami Kimia Untuk SMA/MA Kelas X. Departemen
Pendidikan Indonesia. Jakarta.
Purnomo, P. 2002. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (Diktat). FKIP Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Purwani, E. dan Martini. 2009. Peningkatan Keyerampilan Berpikir Siswa Kelas X-3 Pada Materi Konsep Mol Melalui Strategi Problem Solving (Prosiding). Unesa University Press. Surabaya.
Samana, A. 1992. Sistem Pengajaran. Kanisius. Yogyakarta.
Sanjaya, W. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pengajaran. Kencana Prenada Group. Jakarta.
Sari, F.Z. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Inferensi Pada Materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.
Soetardjo. 1998. Proses Belajar Mengajar Dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC. Surabaya.
Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. Rineka Cipta. Jakarta.
Sudarmo, U. 2004. Kimia SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta.
Sudjana, N. 2005. Metoda Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.
Sukarno, dkk. 1981. Dasar-dasar Pendidikan Sains. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Suyanti, R. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Tainlain, W. 2003. Teori Belajar dan Teori Mengajar (Diktat). FKIP Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.