• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT SERTA REDOKS"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN

MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT

SERTA REDOKS

Oleh ETI NOPITA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Kimia

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN

MENGKOMUNIKASIKAN PADA MATERI POKOK LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT

SERTA REDOKS

Oleh ETI NOPITA

Proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh ketepatan guru dalam memilih dan menerapkan model pembelajaran. Model yang dapat diterapkan untuk meningkat-kan keterampilan mengelompokmeningkat-kan dan mengkomunikasimeningkat-kan adalah model pembe-lajaran problem solving. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan efektivitas pembelajaran model problem solving dalam meningkatkan keterampilan menge-lompokkan dan mengkomunikasikan pada materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent Control Group Design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa MAN 1 Bandar Lampung tahun pelajaran 2012/2013 kelas X6 dan kelas X7. Sampel diambil

(3)

Berdasarkan perbedaan dua rata-rata (uji t), diketahui bahwa kelas dengan pembe-lajaran problem solving memiliki keterampilan mengelompokkan dan mengkomu-nikasikan yang lebih tinggi dibandingkan kelas pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran problem solving efektif dalam me-ningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa.

(4)
(5)
(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Pembelajaran Konstruktivisme ... 8

B. Pembelajaran Problem Solving. ... 11

C. Keterampilan Proses Sains……… ... 14

D. Hasil Penelitian yang Relevan……… ... 16

E. Konsep ... .. 17

F. Kerangka Pemikiran... 25

G. Anggapan Dasar ... 26

(7)

ii

B. Jenis dan Sumber Data ... 28

C. Desain dan Metode Penelitian ... 29

D. Variabel Penelitian ... 29

E. Instrumen Penelitian dan Validitas ... 29

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 31

G. Hipotesis Kerja ... 33

H. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 33

(8)

iii

G. Rubrik Penskoran Pretest ... 106

H. Kisi-Kisi Soal Posttest ... 113

I. Soal Posttest ... 123

J. Rubrik Penskoran Posttest ... 126

K. Lembar Kinerja Guru Kelas Eksperimen ... 132

L. Lembar Kinerja Guru Kelas Kontrol ... 142

M. Lembar Penilaian Aspek Afektif Kelas Eksperimen ... 147

N. Lembar Penilaian Aspek Psikomotor Kelas Eksperimen ... 164

O. Perhitungan dan Analisis Data Penelitian ... 170

P. Surat Keterangan Penelitian ... 193

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala

alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan

pengeta-huan yang berupa fakta- fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga

merupakan suatu proses. Proses tersebut berupa suatu keterampilan yang bersumber

dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri

siswa. Keterampilan–keterampilan dasar tersebut dalam IPA disebut dengan

kete-rampilan proses sains (KPS). Ketekete-rampilan proses sains merupakan suatu tindakan

instruksional untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh

siswa, sehingga konsep yang diperoleh siswa akan lebih bermakna karena

kemampuan berpikir siswa akan lebih berkembang.

Kimia merupakan ilmu yang termasuk rumpun IPA, oleh karenanya kimia

mem-punyai karakteristik sama dengan IPA. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia

yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk dan kimia sebagai proses

(mela-tih siswa untuk memecahkan masalah terutama yang berkaitan dengan ilmu kimia

secara ilmiah). Oleh karena itu, pembelajaran kimia harus memperhatikan

karak-teristik kimia sebagai proses dan produk serta mengembangkan

(10)

Dalam pembelajaran mengenai materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit

serta redoks, siswa tentu saja harus memiliki keterampilan proses sains. Hal ini

dikarenakan ilmu kimia dibangun melalui pengembangan keterampilan proses sains

seperti mengamati, mengelompokkan, menafsirkan, meramalkan,

mengkomunika-sikan, dan inferensi. Dalam proses pembelajaran sangat diperlukan komunikasi,

yaitu suatu proses interaksi yang didalamnya terdapat maksud saling melengkapi,

memperbaiki, dan memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh guru dan siswa.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa komunikasi tidak sekedar media

penyampaian materi pokok dari guru melainkan lebih kepada jalinan antar personal

guru dan siswa atau antar siswa. Oleh sebab itu, agar komunikasi berjalan dengan

baik dan lancar serta memberi manfaat baik bagi pihak penyampai pesan maupun

bagi pihak penerima pesan, maka diperlukan adanya keterampilan komunikasi.

Selain keterampilan mengkomunikasikan, satu hal yang tidak akan terlepaskan dalam

keterampilan proses sains adalah keterampilan mengelompokkan. Terampil

menge-lompokkan sepertinya bukanlah keterampilan yang begitu penting untuk dikuasai

siswa, namun sebaliknya keterampilan inilah yang harus menjadi dasar dalam

penga-matan-pengamatan langsung yang mereka lakukan terhadap suatu permasalahan,

serta prospek kerja yang mungkin akan dijalani mereka di esok hari yang sangat

memerlukan keterampilan misalnya laboran dan guru kimia di sekolah.

Pengelom-pokan bahan-bahan atau obat-obatan yang memiliki sifat sejenis sangatlah diperlukan

untuk mempermudah dan menghindarkan bahan-bahan tersebut dari pencampuran

yang membahayakan. Melalui pengamatan langsung yang banyak dilakukan pada

materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks, siswa dituntut agar

(11)

pengama-tan, mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat, serta mencari dasar

penge-lompokkan atau penggolongan. Kemampuan-kemampuan ini tidak lain merupakan

indikator keterampilan mengelompokkan.

Hasil observasi yang dilakukan di MAN 1 Bandar Lampung terkait dengan mata

pelajaran kimia, bahwa selama ini pembelajaran yang digunakan masih berpusat

pada guru. Siswa tidak diajak dalam menemukan konsep materi pokok tersebut. Hal

ini belum sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang proses

pembelajarannya harus mengacu pada student centered (berpusat pada siswa).

Pem-belajaran kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam

kehidu-pan sehari-hari, seperti pada topik larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks,

banyak sekali masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dihubungkan dengan

materi pokok ini, misalnya penggunaan listrik untuk menangkap ikan disungai.

Penangkapan ikan dengn listrik initidak diperbolehkan (ilegal). Contoh lainnya

misalnya perkaratan besi, pembakaran dan lain sebagainya. Namun, yang terjadi

selama ini guru jarang sekali menghubungkan materi pokok kimia dengan kehidupan

sehari-hari, akibatnya siswa mengalami kesulitan menghubungkannya dengan apa

yang terjadi di lingkungan sekitar.

Agar pembelajaran kimia menjadi pelajaran yang disukai dan siswa terlibat aktif

da-lam belajar sehingga dapat mencapai hasil yang sesuai dengan indikator

pembelajar-an ypembelajar-ang telah direncpembelajar-anakpembelajar-an, seorpembelajar-ang pendidik dituntut untuk dapat memilih model

pembelajaran serta media yang cocok dengan materi pokok, bahan ajar, serta kondisi

siswa. Salah satu upaya yang dilakukan agar pembelajaran kimia menjadi lebih

(12)

masalah adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang berbasis pemecahan

masalah (problem solving). Dengan menggunakan pembelajaran problem solving,

anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah secara ilmiah, melatih

mengemuka-kan hipotesis, melatih menguji hipotesis, melatih mengambil suatu kesimpulan dari

sekumpulan data yang diperoleh siswa dari pembelajaran kimia.

Adnyana (2011) melaporkan bahwa model pembelajaran Problem Solving dapat

meningkatkan aktivitas belajar, kompetensi kerja ilmiah, dan pema-haman konsep

pada pembelajaran kimia di SMA Negeri 1 Banjar. Sari (2012) melaporkan bahwa

model pembelajaran Problem Solving telah terbukti efektif dalam meningkatkan

ke-terampilan mengkomunikasikan dan inferensi pada materi pokok larutan penyangga

dan hidrolisis di SMA Negeri 1 Tumijajar. Kemudian Utari (2012) melaporkan

bahwa model pembelajaran Problem Solving telah terbukti efektif dalam

meningkat-kan keterampilan mengelompokmeningkat-kan dan penguasaan konsep pada materi pokok

larutan elektrolit dan non-elektrolit di SMA Negeri 1 Pringsewu.

Model problem solving diharapkan menjadi salah satu model yang dapat digunakan

untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar kimia siswa.

Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa tersebut, khususnya pada materi

pokok laru-tan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi redoks, maka penulis

mela-kukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Problem Solving Dalam

Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Mengkomunikasikan Pada

(13)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimanakah efektivitas pembelajaran problem solving dalam meningkatkan

keterampilan mengelompokkan siswa pada materi pokok pokok larutan elektrolit

dan non-elektrolit serta redoks?

2. Bagaimanakah efektivitas pembelajaran problem solving dalam meningkatkan

keterampilan mengkomunikasikan pada materi pokok pokok larutan elektrolit dan

non-elektrolit serta redoks?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan efektivitas pembelajaran model problem solving dalam

meningkatkan keterampilan mengelompokkan siswa pada materi pokok

larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.

2. Mendeskripsikan efektivitas pembelajaran model problem solving dalam

meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan pada materi pokok larutan

elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(14)

Penerapan model problem solving dalam kegiatan belajar mengajar diharapkan

dapat meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan

siswa, serta dapat menumbuhkan motivasi dan minat belajar siswa.

2. Bagi guru

Memberi inspirasi bagi guru untuk memilih model pembelajaran yang efektif

pada materi pokok larutan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi redoks

maupun materi lain yang memiliki karakteristik yang sama.

3. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran kimia di

Sekolah.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Pembelajaran dengan model problem solving dikatakan efektif meningkatkan

keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan apabila secara statistik

keterampilan mengelompokkan dan keterampilan mengkomunikasikan siswa

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas

eksperimen (ditunjukkan dengan n-Gain yang signifikan dan uji t).

2. Langkah-langkah model pembelajaran problem solving (Depdiknas dalam

Nessinta, 2010) meliputi adanya masalah yang jelas, mencari data atau

kete-rangan, menetapkan hipotesis, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.

3. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini digunakan

di MAN 1 Bandar Lampung. Pembelajaran konvensional diterapkan dengan

(15)

dengan sesekali praktikum atau demonstrasi pada materi pokok-materi pokok

tertentu dengan menggunakan LKS yang biasa digunakan di sekolah tersebut.

4. Indikator keterampilan mengelompokkan dalam penelitian ini merupakan

indikator dalam keterampilan proses sains tingkat dasar yang meliputi

kemam-puan mencari perbedaan dan persamaan (membandingkan), mengontraskan

ciri-ciri, serta mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan.

5. Indikator keterampilan mengkomunikasikan yang diamati dan diukur dalam

penelitian ini adalah (1) mengubah data narasi ke dalam bentuk tabel, dan (2)

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Glasersfeld (Komalasari, 2010) konstruktivisme adalah salah satu filsafat

pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil

kons-truksi (bentukan) kita sendiri. Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan

bu-kanlah suatu tiruan atau gambaran dari kenyataan (realitas) yang ada.

Pengetahu-an adalah ciptaPengetahu-an mPengetahu-anusia yPengetahu-ang dikontruksikPengetahu-an dari pengalamPengetahu-an yPengetahu-ang dialaminya

yang diakibatkan dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan

seseo-rang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan

yang diperlukan untuk pengetahuan. Para kontruktivis percaya bahwa

pengeta-huan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Menurut

Lorsbach dan Tobin (Komalasari, 2010), siswa sendirilah yang harus mengartikan

apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman

mereka.

Dalam proses kontruksi itu, menurut Glasersfeld (Komalasari, 2010) diperlukan

beberapa kemampuan sebagai berikut:

1. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.

Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut.

2. Kemampuan membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai

(17)

khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.

3. Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain

karena kadang seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain, maka muncullah soal nilai dari pengalaman yang kita bentuk.

Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori

pembe-lajaran konstruktivis. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus

me-nemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek

infor-masi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu

tidak lagi sesuai, sehingga siswa dapat benar-benar memahami dan dapat

mene-rapkan pengetahuan. Teori kontruktivistik menuntut siswa untuk belajar

meme-cahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan

susah payah dengan ide-ide.

Prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan menurut teori kontruktivis

ada-lah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa.

Sis-wa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat

mem-berikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk

menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi

sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.

Ditjen Dikdasmen (Depdiknas, 2003) menjabarkan kecenderungan tentang belajar

berdasarkan konstruktivis tersebut sebagai berikut:

(18)

tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan; (5) manusia yang mempunyai tingkatan yang berbeda dalam meyikapi situasi baru; (6) siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide; (7) proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan

seseorang.

b. Transfer belajar, meliputi: (1) siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’; (2) keterampilan dan pengetahuan itu diper-luas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit; (3) penting bagi siswa tahu ‘untuk apa’ ia belajar dan ‘bagaimana’ ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

c. Siswa sebagai pembelajar, meliputi: (1) siswa memiliki kecenderungan un-tuk belajar dengan cepat hal-hal yang baru; (2) strategi belajar itu penting; (3) peran guru membantu menghubungkan antara ‘yang baru’ dan yang sudah diketahui; (4) Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru ber-makna, memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan dan menerap-kan ide mereka sendiri dan menyadarmenerap-kan siswa untuk menerapmenerap-kan strategi mereka sendiri.

d. Pentingnya lingkungan belajar, meliputi: (1) belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa; (2) pembelajaran harus ber-pusat pada ‘bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan yang baru mereka. Strategi belajar lebih penting daripada hasilnya; (3) umpan balik amat penting bagi siswa yang berasal dari proses penilaian yang benar; (4) menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu pen-ting.

Menurut Purnomo (2002), kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi

konstruk-tivisme antara lain:

1. Diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan gagasan

2. Pengujian dan penelitian sederhana

3. Demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah

4. Kegiatan praktis lain yang memberi peluang peserta didik untuk mempertanyakan, memodifikasi dan mempertajam gagasannya

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran secara

konstrukti-visme adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa belajar dari

menga-lami, di mana siswa mencari sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru,

(19)

membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah

dimana pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan masalah yang

di-simulasikan.

B. Pembelajaran Problem Solving

Masalah pada hakikatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Masalah

yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang sederhana, sedangkan

masalah yang rumit memerlukan tahap-tahap pemecahan yang rumit pula.

Masa-lah pada hakikatnya adaMasa-lah suatu pertanyaan yang mengandung jawaban. Suatu

pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila

perta-nyaan itu dirumuskan dengan baik dan sistematis. Ini berarti, pemecahan suatu

masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak

memecah-kan masalah tersebut (Rofiana, 2005).

Problem solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan

suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat,

sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses problem

solv-ing memberikan kesempatan siswa berperan aktif dalam mempelajari, mencari,

dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori,

atau kesimpulan. Dengan kata lain, problem solving menuntut kemampuan

mem-proses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati, 2006).

Problem solving bukan perbuatan yang sederhana, akan tetapi lebih kompleks

daripada yang diduga. Problem solving memerlukan keterampilan berpikir yang

(20)

mengklasifikasi, menafsirkan, mengkritik, meramalkan, menarik kesimpulan, dan

membuat generalisasi berdasrkan informasi yang dikumpulkan dan diolah. Untuk

memecahkan masalah kita harus melokasi informasi, menampilkannya dari

ingat-an lalu memprosesnya dengingat-an maksud untuk mencari hubungingat-an, pola, atau pilihingat-an

baru. Ada pula proses problem solving yang dikemukakan oleh Karl Albrecht

yang terdiri dari enam tahap yang dapat digolongkan dalam dua tahap utama yang

disebutkannya (1) tahap perluasan atau ekspansi yang pada pokoknya bersifat

divergen dan (2) tahap penyelesaian yang bersifat konvergen.

Tahap-tahap model problem solving (Depdiknas, 2008) yaitu meliputi :

1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.

2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain.

3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada tahap kedua di atas.

4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam tahap ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawa-ban ini tentu saja diperlukan modelmodel lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain.

5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan

terakhir tentang jawaban dari masalah tadi (Nessinta, 2009).

Model pembelajaran problem solving dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas

pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi

secara ilmiah. Terdapat 3 ciri utama dari pembelajaran problem solving yaitu

(21)

a. Pembelajaran problem solving merupakan rangkaian aktivitas

pembela-jaran. Artinya dalam implementasi problem solving ada sejumlah

ke-giatan yang harus dilakukan siswa.

b. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah.

Pem-belajaran problem solving menempatkan masalah sebagai kunci dari

proses pembelajaran.

c. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir

secara ilmiah.

Kelebihan dan kekurangan pembelajaran problem solving menurut Djamarah dan

Zain (2010) adalah sebagai berikut:

1. Kelebihan pembelajaran problem solving

a. Pembelajaran ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.

b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan

para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil.

c. Pembelajaran ini merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa

secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa ba-nyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.

2. Kekurangan pembelajaran problem solving

a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan ting-kat berpikir siswa, tingting-kat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pe-ngalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru

b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan pembelajaran ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain

c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima

(22)

C. Keterampilan Proses Sains

Tainlain (2003) mengemukakan bahwa keterampilan proses merupakan

seperang-kat keterampilan fisik dan mental yang digunakan untuk memecahkan masalah

yang dihadapi dengan tujuan menghasilkan penemuan baru. Seperangkat

kete-rampilan tersebut diperoleh selama melakukan kegiatan belajar dan sebagai hasil

latihan.

Menurut Mochtar (Samana, 1992) pendekatan keterampilan proses adalah cara

memandang siswa serta kegiatannya yang diterjemahkan dalam kegiatan

belajar-mengajar yang memperhatikan perkembangan pengetahuan, nilai hidup serta

si-kap, perasaan, dan keterampilan sebagai kesatuan, yang akhirnya semua kegiatan

belajar dan hasilnya tersebut tampak dalam bentuk kreativitas. Menurut Sanjaya

(2009) pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan menekankan pada

bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa memperoleh hasil belajar untuk

me-nguasai suatu konsep melalui keterampilan proses sains, sehingga dapat dipahami,

dimengerti dan diterapkan sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat sesuai

kebutuhannya.

Menurut Funk (Dimayati dan Mudjiono, 1994) ada berbagai keterampilan dalam

keterampilan proses sains, keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari

kete-rampilan dasar (basic skills) dan keterampilan terintegrasi (integrated skills).

Ke-terampilan dasar terdiri dari enam keKe-terampilan yaitu mengamati

(mengobserva-si), mengklasifikasi, mengukur, memprediksi, menyimpulkan, dan

mengkomuni-kasikan. Sedangkan yang termasuk dalam keterampilan terintegrasi yaitu

(23)

grafik, menggambarkan hubungan antar-variabel, mengumpulkan dan mengolah

data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara

operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen.

Keterampilan proses bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak didik

me-nyadari, memahami, dan menguasai rangkaian bentuk kegiatan yang

berhubu-ngan deberhubu-ngan hasil belajar yang telah dicapai anak didik. Kegiatan keterampilan

proses dapat dilaksanakan dengan bentuk-bentuk berikut (Djamarah, 2000):

1. Mengamati

Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses melihat, mendengar, merasa (kulit meraba), mencium/membau, mencicip/menge-cap, mengukur, dan mengumpulkan data/informasi.

2. Mengklasifikasikan

Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses mencari persamaan (menyamakan), mencari perbedaan (membedakan), memban-dingkan, mengkontraskan, dan menggolongkan (mengelompokkan). 3. Menafsirkan (menginterpretasikan)

Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses menaf-sirkan, memberi arti (mengaitkan), menarik kesimpulan, membuat inferen-si, menggeneralisainferen-si, mencari hubungan antara dua hal (misalnya ruang/ waktu), dan menemukan pola.

4. Meramalkan (memprediksi)

Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses meng-antisipasi (berdasarkan kecenderungan/pola/hubungan antardata/hubungan antarinformasi).

5. Menerapkan

Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses meng-gunakan (informasi, kesimpulan, konsep, hukum, teori, sikap, nilai, atau keterampilan dalam situasi baru atau situasi lain), menghitung, mendetek-si, menghubungkan konsep, memfokuskan pertanyaan penelitian, menyu-sun hipotesis, dan membuat model.

6. Merencanakan penelitian

Anak didik dapat melakukan suatu kegiatan belajar melalui proses menen-tukan masalah/objek yang akan diteliti, menenmenen-tukan tujuan penelitian, me-nentukan ruang lingkup penelitian, meme-nentukan sumber data atau infor-masi, menentukan cara analisis, menentukan langkah-langkah untuk mem-peroleh data informasi, menentukan alat/bahan dan sumber kepusta-kaan serta menentukan cara melakukan penelitian.

7. Mengkomunikasikan

(24)

meme-ragakan, mengekspresikan dan melaporkan dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, atau penampilan.

Untuk mengajarkan keterampilan proses itu kepada siswa, siswa perlu

benar-benar melakukan pengamatan, pengukuran, pemanipulasi variabel dan

sebagai-nya. Pendekatan proses lebih banyak melibatkan siswa dengan obyek-obyek

kongkrit, yaitu siswa aktif berbuat. Pendekatan proses memberi siswa

pemaham-an ypemaham-ang valid tentpemaham-ang hakikat sains. Siswa dapat menghayati keasyikpemaham-an sains dpemaham-an

dapat lebih baik memahami fakta-fakta dan konsep-konsep. Pengem-bangan

kete-rampilan proses sains sangant bermanfaat bagi siswa. Ketekete-rampilan proses sains

dapat ditransfer ke topik dan bidang studi lain serta tidak mudah dilupakan.

Kete-rampilan proses sains membuat siswa merasakan hakikat sains dan

memungkin-kan siswa “berbuat” sains. Dengan “berbuat” sains, siswa belajar fakta-fakta dan

konsep-konsep sains. Jadi dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses

dalam mengajarkan sains sehingga siswa belajar “proses” dan “produk” sains

(Soetardjo, 1998).

D.Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini merupakan hasil penelitian terkait model pembelajaran problem

solving:

1. Hasil penelitian Febriani Zulaika Sari (2012) yang menemukan bahwa

pem-belajaran dengan menggunakan model pempem-belajaran problem solving dapat

meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan dan inferensi materi larutan

(25)

2. Hasil penelitian Hiasinta Rini Utari (2012) yang menemukan bahwa

pem-belajaran problem solving dapat meningkatkan keterampilan

mengelom-pokkan dan penguasaan konsep pada materi larutan nonelektrolit dan

elektrolit serta redoks.

3. Hasil penelitian Gede Putra Adnyana (2011) yang melaporkan bahwa model

pembelajaran Problem Solving dapat meningkatkan aktivitas belajar,

kompe-tensi kerja ilmiah, dan pemahaman konsep pada pembelajaran kimia di SMA

Negeri 1 Banjar..

E. Konsep

Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) berpendapat bahwa belum ada

defi-nisi tentang konsep yang diterima atau disepakati oleh para ahli, biasanya

konsep disamakan dengan ide. Markle dan Tieman dalam Fadiawati (2011)

mendefinisikan konsep sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin

tidak ada satupun definisi yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu

diperlukan suatu analisis konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan

konsep, sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.

Lebih lanjut lagi, Herron et al. (1977) dalam Fadiawati (2011) mengemukakan

bahwa analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk

me-nolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian

kon-sep. Prosedur ini telah digunakan secara luas oleh Markle dan Tieman serta

Klausemer dkk. Analisis konsep dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu

menen-tukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut

(26)

F. Kerangka Pemikiran

Model problem solving ini membiasakan siswa untuk tidak terjebak pada solusi

atas pikiran yang sempit melainkan membiasakan siswa untuk melihat opsi-opsi

yang terbuka luas. Dengan memiliki lebih banyak opsi solusi kemungkinan untuk

berhasil mengatasi masalah juga akan semakin besar. Dalam proses pembelajaran

yang menggunakan model ini, siswa dapat menyeimbangkan pemanfaatan otak

kanan dan otak kirinya. Pada tahap satu, mereka diorientasikan pada masalah.

Pada tahap ini terjadi proses asimilasi yaitu proses penambahan informasi baru

dengan stuktur kognitif yang ada. Pada tahap ini siswa akan mengalami

ketidak-seimbangan struktur kognitif (cognitive disequilibrium). Siswa akan mengalami

kebingungan dan mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi terhadap fakta baru

yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi yang diawali

dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Lalu pada tahap dua diminta

mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.

Pada tahap tiga siswa diminta menetapkan jawaban sementara dari masalah,

sete-lah itu tahap empat siswa diminta menguji kebenaran jawaban sementara, dan

pada tahap lima siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari pemecahan

masa-lah tersebut. Pada tahap dua, tiga, empat, dan lima ini terjadi proses akomodasi

yaitu penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru. Siswa akan mencari tahu

jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana sehingga terjadi proses menuju

kesetimbangan antara konsep yang telah dimiliki siswa dengan

konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi kesetimbangan

(27)

Dalam usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa

dituntut untuk menjadi pembelajar yang mandiri yang mampu menggunakan dan

menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah dikenalnya serta berbagai

ke-terampilan yang mereka miliki. Pada tahap empat model pembelajran problem

solving, siswa diminta untuk menguji kebenaran hipotesis atau jawaban sementara

dari masalah yang telah dirumuskan. Pada tahap ini siswa melakukan percobaan

yang bertujuan memberi kesempatan siswa untuk memanfaatkan panca indera

se-maksimal mungkin untuk mengamati fenomena-fenomena yang terjadi. Kegia-tan

ini mampu meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Kemudian siswa diberi

kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi

sebanyak-banyaknya sehingga dapat meningkatkan keterampilan afektif khususnya

kete-rampilan bertanya siswa. Kemudian siswa diminta memprediksikan gejala yang

akan terjadi berdasarkan gejala yang ada atau gejala yang telah diamati

sebelum-nya. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa

yaitu keterampilan memprediksi.

G. Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Siswa memperoleh materi yang sama oleh guru yang sama.

2. Perbedaan keterampilan mengelompokkan dan keterampilan

mengkomuni-kasikan siswa kelas X semester genap MAN 1 Bandar Lampung pada materi

larutan nonelektrolit dan elektrolit serta reaksi reduksi oksidasi semata-mata

(28)

3. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keterampilan mengelompokkan dan

keterampilan mengkomunikasikan siswa kelas X semester genap MAN 1

Bandar Lampung pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit serta

redoks.

H. Hipotesis Umum

Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah pembelajaran model problem solving

pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks efefktif dalam

meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan keterampilan

(29)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X MAN 1 Bandar Lampung

tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 350 siswa dan tersebar dalam sepuluh kelas.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel purposif,

yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu

yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah

diketahui sebelumnya, maka ditentukan kelas X6 dan X7 sebagai sampel. Kelas X7

sebagai kelompok eksperimen yang mengalami pembelajaran Problem Solving,

sedangkan X6 sebagai kelompok kontrol yang mengalami pembelajaran

konvensio-nal.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat

kuantitatif yaitu data hasil tes siswa sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan

hasil tes setelah pembelajaran diterapkan (postest).

Sumber data dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

1. Data hasil pretest dan postest kelompok kontrol

(30)

C. Metode dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Rancangan penelitian yang digunakan

adalah non equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan

melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kontrol.

Tabel 1. desain penelitian

Pretest Perlakuan Posttest

Kelas kontrol O1 - O2

Kelas eksperimen O1 X1 O2

Keterangan:

X1: Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran Problen

Solving.

O1: Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretest

O2: Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi posttest

D. Variabel Penelitian

Sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, yaitu

pembel-ajaran problem solving dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel terikat

adalah keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikani pada materi larutan

elektrolit dan non-elektrolit serta redoks siswa MAN 1 Bandar Lampung.

E. Instrumen Penelitian dan Validitasnya

Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu.

(31)

untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 1997). Pada

peneliti-an ini, instrumen ypeneliti-ang digunakpeneliti-an berupa soal-soal pretest dan posttest yang

masing-masing berupa soal-soal keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan

dalam bentuk soal uraian.

Dalam pelaksanaannya kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan soal yang sama.

Soal pretest adalah materi pokok ikatan kimia yang terdiri tiga soal uraian yang

me-wakili soal keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan. Sedangkan

soal postest adalah materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks

yang terdiri tiga soal uraian yang juga mewakili soal keterampilan mengelompokkan

dan mengkomunikasikan.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen.

Sebu-ah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan

da-pat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara teda-pat. Dalam konteks

pengu-jian kevalidan instrumen dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu cara

judgment atau penilaian, dan pengujian empirik.

Instrumen ini menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah kesesuaian antara

ins-trumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali, 1992). Adapun pengujian

keva-lidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan

dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan

pe-ngukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu

ter-dapat kesesuaian, maka ter-dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk

diguna-kan dalam mengumpuldiguna-kan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan.

(32)

maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh Ibu

Dra. Nina Kadaritna, M.Si. dan Dra. Chansyanah Diawati, M.Si. sebagai dosen

pembimbing penelitian untuk menilainya.

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. Observasi pendahuluan

a. Peneliti meminta izin kepada Kepala MAN 1 Bandar Lampung untuk

melaksanakan penelitian.

b. Peneliti menentukan populasi kemudian menentukan sampel penelitian sebanyak

2 kelas.

2. Pelaksanaan penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap persiapan

Peneliti menyusun silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan

instrumen tes.

b. Tahap pelaksanaan proses pembelajaran.

1. Memberikan pretest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan

kelas kontrol.

2. Memberikan posttest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan

kelas kontrol.

3. Tabulasi dan analisis data

(33)

Prosedur pelaksanaan penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan di

bawah ini :

Gambar 1. Alur penelitian Penyusunan

perangkat pembelajaran konvensional

1. Penyusunan kisi-kisi butir soal (pretest dan posttest) 2. Butir soal tes (pretest dan

posttest)

Penyusunan perangkat pembelajaran

problem solving

Validasi pretest dan

posttest

Kelas kontrol Kelas eksperimen

Pretest Pretest

Pembelajaran konvensional

Pembelajaran

problem solving

Posttest Posttest

Tabulasi dan analisis data

(34)

G. Hipotesis Kerja

1. Keterampilan mengelompokkan

Rata-rata keterampilan mengelompokkan siswa pada materi pokok larutan elektrolit

dan non-elektrolit serta redoks yang diterapkan model pembelajaran problem solving

lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan mengelompokkan siswa dengan

pembe-lajaran konvensional.

2. Kemampuan mengkomunikasikan

Rata-rata keterampilan mengkomunikasikan siswa pada materi pokok larutan

elekt-rolit dan non-elektelekt-rolit serta redoks yang diterapkan model pembelajaran problem

solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan mengkomunikasikan siswa

dengan pembelajaran konvensional.

H. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

1. Analisis data

Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti,

yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah,

tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

a. Penentuan nilai

Skor pretest dan postest dirumuskan sebagai berikut:

(35)

Data yang diperoleh kemudian dianalisis, dengan menghitung n-Gain yang

se-lanjutnya digunakan untuk menguji normalitas, homogenitas dua varians dan

hipotesis.

b. Gain ternormalisasi

Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran model problem solving dalam

me-ningkatkan keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan siswa,

maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi. Perhitungan ini bertujuan

untuk mengetahui peningkatan skor pretest dan posttest dari kedua kelas. n-Gain

dirumuskan sebagai berikut :

2. Pengujian hipotesis

a. Uji normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel

berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak.

Hipotesis untuk uji normalitas :

Ho = data penelitian berdistribusi normal

H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal

Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :

χ 2 =

e

e o

f f

f )2

(36)

Keterangan : χ2 =

as dua varians digunakan untuk mengetahui apa

nyai varians yang homogen atau tidak. Untuk u

, rumusan hipotesisnya adalah :

ampel memiliki varians yang homogen.

Sampel memiliki varians yang tidak homogen.

skor kelompok I

skor kelompok II

i homogenitas kedua varians kelas sampel, digu

varians, dengan rumusan statistik :

terbesar

terkecil

a uji

Fhitung < Ftabel, dan tolak sebaliknya (Sudjana, 2

pakah dua kelompok

k uji homogenitas

gunakan uji

(37)

c. Uji perbedaan dua rata-rata

Teknik pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik,

hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis

alternatif (H1). Pengujian hipotesis disini dilakukan dengan menggunakan

rumusan statistik uji perbedaan rata-rata. Rumusan hipotesisnya adalah sebagai

berikut :

1) Hipotesis 1 (keterampilan mengelompokkan)

H0 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan yang dite-

rapkan pembelajaran dengan model problem solving lebih

rendah atau sama dengan pembelajaran konvensional siswa

MAN 1 Bandar Lampung.

H0 : µ1x ≤ µ2x

H1 : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan yang dite

rapkan pembelajaran dengan model problem solving lebih

tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional siswa

MAN 1 Bandar Lampung.

H1 : µ1x >µ2x

2) Hipotesis 2 (mengkomunikasikan)

H0 : Rata-rata n-Gain mengkomunikasikan yang diterapkan pem-

belajaran dengan model problem solving lebih rendah atau

sama dengan mengkomunikasikan pembelajaran konven-

sional siswa MAN 1 Bandar Lampung.

(38)

H1 : Rata-rata n-Gain mengkomunikasikan yang diterapkan pem-

µ1 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit

serta redoks pada kelas yang diterapkan pembelajaran dengan model

problem solving

µ2 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit

serta redoks pada kelas dengan pembelajaran konvensional

x : keterampilan mengelompokkan

y : keterampilan mengkomunikasikan

Uji statistik ini sangatlah bergantung pada homogenitas kedua varians data,

karena jika kedua varians kelas sampel homogen (σ12= σ22), maka uji yang

dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut :

(39)

Keterangan:

t = Koefisien thitung

1

x = Mean n-Gain mengelompokkan/mengkomunikasikan kelas

eksperimen

2

x = Mean n-Gain mengelompokkan/mengkomunikasikan kelas kontrol

2 1

s = Varians kelas eksperimen

2 2

s = Varians kelas kontrol

2

s = Varians kedua kelas

1

n = Jumlah sampel kelas eksperimen

2

n = Jumlah sampel kelas kontrol

dengan kriteria pengujian terima Ho jika thitung ≤ ttabel dan tolak Ho jika

(40)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengelompokkan siswa dibandingkan pembelajaran kovensional pada materi

pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.

2. Pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengkomunikasikan siswa dibandingkan pembelajaran konvensional pada

materi pokok larutan elektrolit dan non-elektrolit serta redoks.

3. Model pembelajaran problem solvingefektif dalam meningkatkan keterampilan

mengelompokkan dan mengkomunikasikan pada materi pokok larutan

elektrolit dan non-elektrolit serta redoks dikarenakan pada setiap tahapannya

dapat melatih keterampilan mengelompokkan dan mengkomunikasikan

terutama pada tahapan menguji kebenaran jawaban sementara, siswa diarahkan

untuk mengelompokkan zat-zat berdasarkan persamaan dan perbedaan ciri-ciri

yang diamati. Pada tahap menarik kesimpulan, siswa dilatih untuk

mempresentasikan hasil diskusi dalam kelompok kepada teman-teman

kelompok lain. Melalui presentasi akan terjalin komunikasi dan interaksi

berbagi pendapat. Sehingga dapat meningkatkan keterampilan

(41)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa :

1. Pembelajaran model problem solving dapat dipertimbangkan dalam

pembela-jaran kimia, terutama pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit serta

redoks karena terbukti efektif dalam meningkatkan keterampilan

mengelom-pokkan dan mengkomunikasikan siswa.

2. Bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian hendaknya lebih

memperhatikan pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran sehingga

pembelajaran lebih maksimal dan dapat menyediakan berbagai sumber dan

sarana belajar bagi siswa agar dapat mencari informasi sebanyak-banyaknya

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Depdiknas. 2003. Pendekatan Konstektual (Contextual teaching and Learning (CTL)). Ditjen Dikdasmen. Jakarta.

Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.

Djamarah dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Djamarah, S.B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif . Rineka Cipta. Jakarta.

Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Harefa, A. 2009. Rangkuman dan Sumber Soal Kimia SMA. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta

Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.

Lidiawati. 2011. Efektivitas Penerapan Metode Problem Solving Dalam

Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Penguasaan Konsep Koloid (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.

Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Nessinta, N. 2010. Penerapan Metode Problem Solving Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Asam Basa (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.

Permana, I. 2009. Memahami Kimia Untuk SMA/MA Kelas X. Departemen

Pendidikan Indonesia. Jakarta.

(43)

Purnomo, P. 2002. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah (Diktat). FKIP Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Purwani, E. dan Martini. 2009. Peningkatan Keyerampilan Berpikir Siswa Kelas X-3 Pada Materi Konsep Mol Melalui Strategi Problem Solving (Prosiding). Unesa University Press. Surabaya.

Samana, A. 1992. Sistem Pengajaran. Kanisius. Yogyakarta.

Sanjaya, W. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pengajaran. Kencana Prenada Group. Jakarta.

Sari, F.Z. 2012. Efektivitas Model Pembelajaran Problem Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengkomunikasikan dan Inferensi Pada Materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.

Soetardjo. 1998. Proses Belajar Mengajar Dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC. Surabaya.

Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. Rineka Cipta. Jakarta.

Sudarmo, U. 2004. Kimia SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta.

Sudjana, N. 2005. Metoda Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.

Sukarno, dkk. 1981. Dasar-dasar Pendidikan Sains. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Suyanti, R. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Tainlain, W. 2003. Teori Belajar dan Teori Mengajar (Diktat). FKIP Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. desain penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian asam humat dan interaksi antara asam humat dan pupuk P nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, indeks kehijauan

Kesimpulan : Adenomiosis umum terjadi pada usia reproduktif dan multiparitas dengan gejala utama massa pada abdomen dan hasil ultr asonografi yang terutama ditemukan adalah

Agama Hindu , pandangan agama Hindu tentang kerukunan hidup antar umat beragama dapat diketahui dari tujuan agama Hindu. yakni Moksartham Jagathita Ya Ca Iti

Penilaian ‘indah’ terhadap bunyi yang dihasilkan oleh angklung tersebut tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang berlaku dalam

Perbedaan semacam ini sering kali diantara menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan perusahaan, bila tidak ditangani secara serius

Dalam    hal    ini    tujuan    penelitian    adalah   memecahkan    masalah atau   menjawab pertanyaan penelitian... 2) Berupa    pernyataan    yang    dirumuskan

[r]

Faktor non fisik yang menjadi alasan suatu wilayah menjadi pusat pertumbuhan terdapat pada angka ….. Perhatikan gambar tata ruang