• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan Usahatani Lobak Korea dan Daikon (Studi Kasus Agro Farm di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan Usahatani Lobak Korea dan Daikon (Studi Kasus Agro Farm di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

RINGKASAN

HENDRA BACHERAMSYAH. Analisis Pendapatan Usahatani Lobak Korea dan Daikon(Studi Kasus Agro Farm di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA)

Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian di Indonesia yang cukup menjanjikan. Hal ini dikarenakan subsektor hortikutura terus mengalami perkembangan yang signifikan sesuai dengan kondisi perekonomian negara. Subsektor hortikultura terdiri dari tanaman sayuran, buah-buahan, obat-obatan, dan tanaman hias. Sayuran merupakan salah satu bagian dari tanaman hortikultura yang penting dan memiliki peluang untuk dikembangkan. Adapun lobak merupakan tanaman sayuran yang potensial untuk dikembangkan menjadi komoditas komersial yang menguntungkan.

Salah satu sentra produksi lobak di Jawa Barat adalah Kabupaten Cianjur yaitu di kawasan Rintisan Agropolitan yang berada di wilayah Kecamatan Cipanas. Sedangkan Salah satu perusahaan distribusi sayuran yang berada di daerah Cianjur tepatnya di daerah Ciherang adalah Agro Farm. Perusahaan ini belum lama berdiri namun terbilang cukup maju dalam usahanya. Agro Farm mengkhususkan aktivitasnya sebagai pedagang besar yang membeli sayuran hasil dari petani pemasok dan memberikan perlakuan pasca panen pada sayuran yang telah dibelinya berupa pembersihan, sortasi, pengklasifikasian dan pengemasan untuk kemudian memasarkannya ke pasar swalayan dan restoran. Sejak awal berdirinya, perusahaan ini menjalankan kerjasama dengan para petani sayuran melalui kemitraan yang menguntungkan dimana perusahaan bertindak sebagai penyedia input produksi sedangkan petani yang menjadi mitranya mengolah atau memproses input tersebut untuk menghasilkan output yang diharapkan.

Penelitian dilakukan pada bulan Desember hingga Januari 2011 di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Jumlah petani responden yang diambil pada penelitian ini sebanyak 30 orang yang terdiri dari 15 orang petani lobak korea dan 15 orang petani lobak daikon. Penelitian ini menggunakan alat analisis pendapatan dan efisiensi usahatani dan analisis deskriptif dan saluran pemasaran.

Petani lobak di Agro Farm dikelompokkan ke dalam lobak korea dan lobak daikon. Harga yang telah ditetapkan yaitu untuk lobak korea Rp 1.500/kg dan lobak daikon Rp 1.300/kg. Faktor yang mempengaruhi besarnya penerimaan petani responden yaitu harga dan produksi. Jumlah produksi lobak korea sebesar 170 kilogram per hari dan lobak daikon sebesar 150 kilogram per hari. Total nilai biaya petani lobak daikon lebih besar dari petani lobak korea. Jumlah biaya total petani lobak daikon sebesar Rp 332.883 dan petani lobak korea sebesar Rp 302.500. Alokasi biaya usahatani lobak tersebut dipergunakan untuk saprotan, tenaga kerja, lahan, pajak, dan penyusutan. Pengeluaran total usahatani lobak daikon dan lobak korea sebagian besar dialokasikan pada biaya tenaga kerja yaitu petani lobak daikon sebesar 51,92 persen dan petani lobak korea sebesar 51,57 persen. Alokasi biaya terbesar setelah tenaga kerja yaitu biaya saprotan. Persentase alokasi biaya saprotan pada petani lobak daikon sebesar 34,00 persen dan petani lobak korea sebesar 35,04 persen. Nilai persentase tersebut menunjukkan bahwa alokasi untuk biaya saprotan pada petani lobak korea lebih besar dibanding petani lobak daikon. Nilai biaya saprotan pada petani lobak daikon lebih besar. Hal tersebut terjadi karena petani lobak daikon menggunakan jumlah saprotan lebih banyak untuk kegiatan produksi dalam usahatani lobak daikon.

(3)

sedangkan nilai rasio R/C atas biaya total petani lobak korea sebesar 1.66 dan petani lobak daikon sebesar 1.44. Penerimaan yang dihasilkan petani lobak korea besar dengan total biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan lobak daikon. Oleh karena itu, pendapatan dan R/C petani lobak korea lebih besar dibanding pendapatan dan R/C petani lobak daikon. Hasil analisis tersebut dapat menjelaskan bahwa kemitraan dapat mendatangkan keuntungan bagi petani lobak (bulat maupun panjang). Akan tetapi apabila dilakukan perbandingan antara usahatani lobak korea dengan lobak daikon, maka dapat disimpulkan bahwa usahatani lobak korea lebih menguntungkan dan efisien dibandingkan usahatani lobak daikon. Pemasaran lobak korea dan panjang hasil panen petani dikumpulkan terlebih dahulu di Agro Farm untuk selanjutnya dijual ke restoran-restoran Korea dan Jepang. Berdasarkan hal tersebut, pemasaran lobak korea dan panjang di Desa Ciherang tergolong eksklusif karena hanya ditujukan pada pasar yang bersifat khusus dengan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar tradisional.

(4)

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI LOBAK KOREA DAN DAIKON

(Studi kasus Agro Farm di Desa Ciherang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

HENDRA BACHERAMSYAH H34077022

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Usahatani Lobak Korea dan Daikon (Studi Kasus Agro Farm di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)

Nama : Hendra Bacheramsyah NIM : H34077022

Disetujui, Pembimbing

Dra. Yusalina, MSi NIP. 19650115 199003 2001

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 1984031 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani Lobak Korea dan Daikon (Studi Kasus Agro Farm di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis Bernama Lengkap Hendra Bacheramsyah, dilahirkan di Kota Hujan Bogor,pada tanggal 28 Agustus 1985. Penulis adalah anak pertana dari tiga bersaudara dari Ayahanda Noviar Amansyah dan Ibunda Tuty Supriati.

Penulis memulai pendidikan pada tahun 1991 di TK Islam Citeureup, Bogor dan lulus pada tahun 1992, pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SDN Wanaherang 6, Bogor dan lulus pada tahun 1998. Penulis melanjutkan ke SMP 1 Gunung Putri, Bogor dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMU PGRI 1 Bogor dan lulus pada tahun 2004 dan melalui jalur reguler penulis masuk perguruan tinggi negeri tahun 2004 di Program Studi Teknisi Usaha Ternak Daging, Fakultas Peternakan, Program Diploma III IPB Bogor dan lulus pada tahun 2007.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani Lobak Korea dan Daikon (Studi Kasus Agro Farm di Desa Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh dari adanya kemitraan terhadap pendapatan petani lobak korea dan daikon, serta untuk melihat perbandingan pendapatan serta tingkat efisiensi usahatani lobak Korea dan Daikon melalui perhitungan analisis pendapatan dan efisiensi usahatani.

Bogor, Juni 2011

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril serta materil kepada penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini, antara lain sebagai berikut :

1. Dra. Yusalina, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku dosen evaluator pada kolokium dan sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan proposal penelitian.

3. Yanti Nuraeni Muflikh,SP, M. Agibuss selaku dosen penguji sidang yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi.

4. Orangtua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.

5. Adhelia Okti Bawynda, SE yang telah memberikan motivasi hidup serta doa di saat senang dan sedih sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

6. Bapak Santoso selaku pemilik perusahaan Agro Farm atas segala bantuan dan bimbingannya.

7. Para Petani Mitra yang telah menyempatkan waktunya untuk membantu penulis menyelesaikan tulisannya.

8. Teman-teman sekantor di Perum Pegadaian Cabang Warung Jambu atas semangat dan sharingselama penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan Angkatan 4, teman-teman Agribisnis atas semangat dan sharingselama masa kuliah, penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak dan sahabat-sahabatku yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya, sukses buat kita semua.

Bogor, Juni 2011

(10)

DAFTAR ISI

2.2. Kajian Kemitraan Agribisnis ... 15

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis... 16

3.1.1. Pengertian Kemitraan... 16

3.1.2. Maksud dan Tujuan Kemitraan... 17

3.1.3. Pola Kemitraan ... 18

3.1.3.1. Pola Kemitraan Inti Plasma ... 18

3.1.3.2. Pola Kemitraan Subkontrak ... 19

3.1.3.3 Pola Kemitraan Dagang Umum ... 20

3.1.3.4. Pola Kemitraan Keagenan ... 21

3.1.3.5. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) 22 3.1.4. Kendala-kendala dalam Kemitraan ... 23

3.1.5. Peranan Pelaku Kemitraan ... 24

3.1.5.1. Peranan Pengusaha Besar ... 25

3.1.5.1. Peranan Pengusaha Kecil/Koperasi... 25

3.5. Konsep Biaya Usahatani ... 33

(11)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

4.2. Data dan Sumber Data ... 36

4.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi... 36

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 37

4.5. Analisis Deskriptif ... 37

4.6. Analisis Pendapatan ... 37

V. GAMBARAN UMUM BISNIS AGRO FARM 5.1. Profil Agro Farm... 39

5.2. Deskripsi Proses Pelaksanaan Kemitraan Lobak... 40

5.3. Mekanisme Suplai Bibi Kepada Petani Lobak... 42

5.4. Sistem Panen dan Pembayaran Hasil Panen... 42

5.5. Alasan-alasan Petani Bermitra... ... 43

5.6. Manfaat Pelaksanaan Kemitraan... 44

5.7. Karakteristik Petani Lobak Responden... 45

5.8. Gambaran Umum Budidaya Lobak Korea dan Lobak Daikon Di Desa Ciherang... 48

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Pendapatan Petani Responden ... 53

6.2. Penerimaan Petani Responden Lobak per Musim Tanam ... 53

6.3. Pengeluaran Petani Responden Lobak per Musim Tanam ... 53

6.3.1.1. Biaya Tunai ... 55

6.3.1.1.1. Saprotan ... 55

6.3.1.1.2. Tenaga Kerja Luar Keluarga ... 56

6.3.1.1.3. Sewa Lahan ... 57

6.3.1.2. Biaya Non Tunai ... 57

6.3.1.1.1. Biaya penyusutan Alat-alat Pertanian ... 57

6.3.1.1.2. Tenaga Kerja Dalam Keluarga ... 58

6.4. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani dan R/C Rasio ... 59

6.5. Saluran Pemasaran Lobak Bulat dan Panjang ... 61

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan... 63

7.2. Saran ... 64

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai PDB Hortikultura Indonesia BerdasarkanKelompokKomoditi

Tahun 2007-2008 ………. 1

2. ProduksiTanamanSayuran di Indonesia Tahun 2003-2007 ……….. 2

3. KonsumsiTanamanHortikulturaKhususnyaBuah-buahandanSayuran Di Indonesia Tahun 2007-2008 ……….. 3

4. Tingkat ProduktivitasBeberapaTanamanSayuran di Indonesia Tahun 2003-2007……… 3

5. ProduksiKomoditasSayuran di KawasanAgropolitan Wilayah KecamatanCipanasTahun 2005-2007 ……….. 4

6. PermintaanLobakPada Agro Farm 2005-2009 ……… 6

7. KomposisiZatGiziLobak Per 100 Gram ………. 11

8. BeberapaJenisSayuranProduksi AgroFarm ………... 40

9. PetaniLobakBulatdanPanjangBerdasarkanKelompokUmur ………….. 45

10.PetaniLobakBulatdanPanjangBerdasarkan Tingkat Pendidikan ……….. 46

11.PetaniLobakBulatdanPanjangBerdasarkanLuasLahanUsahatani …….. 47

12. PetaniLobakBulatdanPanjangBerdasarkan Tingkat Pengalaman ………. 48

13.Total BiayaUsahataniLobakBulatdanPanjang Per MusimTanam ……… 54

14.KomponenBiayaTunaiUsahataniLobakBulatdanPanjang ………... 55

15. Biaya Non TunaiUsahataniLobakBulatdanPanjangPer MusimTanam .. 57

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pola Kemitraan Inti Plasma ……….………….. 19

2. Pola Kemitraan Subkontrak ……….. 20

3. Pola Kemitraan Dagang Umum ………..…….. 21

4. Pola Kemitraan Keagenan ………. 22

5. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis ………..……… 23

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jenis-Jenis Komoditas Budidaya Agro Far ... ... ... 68

2. Struktur Organisasi Agro Farm ... 71

3. Penerimaan Penjualan Lobak Korea dan Daikon Per Musim Tanam ... ... 72

4. Biaya Rata-Rata Petani Lobak ... 73

5. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur, Luas Lahan, Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengalaman ... 75

(15)

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian di Indonesia yang cukup potensial. Hal ini dikarenakan subsektor hortikutura terus mengalami perkembangan yang signifikan sesuai dengan kondisi perekonomian negara (Departemen Pertanian, 2002). Hortikultura memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan maupun penyerapan tenaga kerja. Secara nasional, berdasarkan struktur pembentukan PDB sektor pertanian, subsektor hortikultura memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan.

Subsektor hortikultura terdiri dari tanaman sayuran, buah-buahan, obat-obatan, dan tanaman hias. Hal ini disebabkan pertumbuhan sebesar 4,55 persen dari total PDB sektor pertanian pada periode 2007-2008. Nilai PDB Hortikultura Indonesia berdasarkan kelompok komoditi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Nilai PDB Hortikultura Indonesia Berdasarkan Kelompok Komoditi Tahun 2007-2008.

Komoditas Nilai PDB (dalam Rp Milyar) Peningkatan (%)

2007 2008*)

Berdasarkan Tabel 1, sayuran merupakan salah satu bagian dari tanaman hortikultura yang penting dan memiliki peluang untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan sayuran termasuk komoditas yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat dan merupakan komoditas pangan yang banyak diperjualbelikan sehari-hari.

(16)

Tabel 2. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2003-2007.

No Komoditas Produksi (Ton)

2003 2004 2005 2006 2007

1 Bawang Merah 762.795 757.399 732.610 794.929 802.810

2 Bawang Putih 38.957 28.851 20.733 21.052 17.312

3 Bawang Daun 345.720 475.571 501.437 571.264 479.924

4 Kentang 1.009.979 1.072.040 1.009.619 1.011.911 1.003.732

5 Lobak 26.340 30.625 54.226 49.344 42.076

6 Kol/Kubis 1.348.433 1.432.814 1.292.984 1.267.745 1.288.738

7 Petsai/Sawi 459.253 534.964 548.453 590.400 564.912

8 Wortel 355.802 423.722 440.001 391.370 350.170

9 Kacang Merah 90.281 107.281 132.218 125.251 112.271

10 Kembang Kol 86.222 99.994 127.320 135.517 124.252

Sumber: Departemen Pertanian (2008)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa produksi beberapa tanaman sayuran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan sayuran masih berpotensi untuk dikembangkan di masa depan sebagai salah satu sumber pangan nasional. Masyarakat banyak yang berprofesi sebagai petani sayuran sebagai matapencaharian utama, sehingga sayuran sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

(17)

Tabel 3. Konsumsi Tanaman Hortikultura Khususnya Buah-buahan dan Sayuran di

Kebutuhan sayuran cenderung meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita. Berdasarkan data dari World Bank dan World Development Report (1993) serta International Rice Research Institute (1994) dalam Rukmana dan Yuniarsih (1996) perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2025 naik menjadi 8,345 milyar, sementara penduduk Indonesia tahun 2025 naik menjadi 275 juta. Peningkatan konsumsi sayuran dapat tercermin dari perubahan pola pikir hidup sehat. Hal tersebut mengakibatkan semakin diminatinya makanan-makanan sehat seperti sayur-sayuran. Masyarakat Indonesia umumnya menyukai sayuran sebagai menu makanan sehari-hari. Sayuran masih berpeluang untuk dikembangkan menjadi komoditas yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat karena memiliki produktivitas yang cukup baik (Tabel 4).

Tabel 4.Tingkat Produktivitas Beberapa Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2003-2007.

No Komoditi Poduktivitas (Ton/Ha)

2003 2004 2005 2006 2007

1 Kentang 15.32 16.39 16.40 16.94 16.09

2 Wortel 16.55 17.53 17.85 16.97 14.78

3 Lobak 15.98 12.41 16.46 13.51 13.32

4 Labu 11.64 10.24 11.54 12.67 12.21

Sumber: Direktorat Jendral Hortikultura (2007)

(18)

Lobak merupakan tanaman hortikultura yang cukup populer. Pada umumnya lobak digunakan sebagai campuran sop, soto atau hanya rebusan sebagai lalap. Akan tetapi tren ini berubah dengan semakin banyaknya restoran yang bermunculan, khususnya restoran-restoran korea dan jepang. Restoran tersebut menyajikan lobak sebagai menu hidangan seperti salad, kimci dan asinan. Oleh karena, itulah permintaan akan lobak ini terus mengalami peningkatan yang signifikan.

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah utama penghasil lobak. Salah satu sentra produksi lobak di Jawa Barat adalah Kabupaten Cianjur yaitu di kawasan Rintisan Agropolitan yang berada di wilayah Kecamatan Cipanas. Jika dilihat dari jumlah produksi beberapa komoditas sayuran di Kawasan Rintisan Agropolitan wilayah Kecamatan Cipanas tahun 2005-2007, produksi lobak menempati posisi paling bawah diantara produksi sayuran lainnya seperti wortel, Bawang Daun dan Kubis. Hal ini antara lain disebabkan karena petani di daerah Cianjur lebih menyenangi menanam wortel ataupun bawang daun yang lebih mudah penanamannya. Akan tetapi, walaupun lobak ini menempati posisi paling bawah tetapi produksi dari tahun ke tahunnya meningkat (Tabel 5).

Tabel 5. Produksi Komoditi Sayuran di Kawasan Agropolitan Wilayah Kecamatan Cipanas Tahun 2005-2007.

Jenis Komoditi Produksi ( Ton )

Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007

Wortel 25.547 13.813 12.469

Bawang daun 7.774 7.932 8.644

Kubis 5.682 2.401 1.640

Sawi 1.544 1.619 332

Lobak 1.558 3.264 4.498

Sumber : Dinas Pertanian Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur (2007)

(19)

Salah satu perusahaan distribusi sayuran yang berada di daerah Cianjur tepatnya di daerah Ciherang adalah Agro Farm. Agro Farm mengkhususkan aktivitasnya sebagai pedagang besar yang membeli sayuran hasil dari petani pemasok dan memberikan perlakuan pasca panen pada sayuran yang telah dibelinya berupa pembersihan, sortasi, pengklasifikasian dan pengemasan untuk kemudian memasarkannya ke pasar swalayan dan restoran. Sejak awal berdirinya, perusahaan ini menjalankan kerjasama dengan para petani sayuran melalui kemitraan yang menguntungkan dimana perusahaan bertindak sebagai penyedia input produksi sedangkan petani yang menjadi mitranya mengolah atau memproses input tersebut untuk menghasilkan output yang diharapkan.

1.2. Perumusan masalah

Agro Farm sebagai salah satu perusahaan agribisnis yang bergerak dalam pendistribusian sayur-sayuran segar memasarkan produknya ke pasar swalayan dan restoran. Dengan demikian, perusahaan membutuhkan pasokan bahan baku dari petani mitra untuk memenuhi kebutuhannya. Lobak korea dan lobak daikon merupakan beberapa jenis sayuran yang sedang dikembangkan perusahaan. Permintaan terhadap lobak khususnya dari lobak korea dan panjang terus mengalami peningkatan, namun Agro Farm belum dapat memenuhi semua permintaan tersebut. Oleh karena itu, bahan baku produksi lobak korea perlu menjaga kontinuitas agar menjadi lancar dan terus meningkat. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Agro Farm, diketahui bahwa permintaan terhadap lobak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 15 persen. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Permintaan Lobak Pada Agro Farm Tahun 2005-2009

Tahun Permintaan

Produksi (Kg) Pertumbuhan (%)

2005 30.164

-2006 34.668 14.93

2007 40.219 16.01

2008 46.235 14.96

2009 53.217 15.10

(20)

Pada umumnya konsumen sangat memperhatikan kesegaran, daya tahan, dan kesesuaian kriteria produk yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, produk yang dipasarkan oleh Agro Farm merupakan produk hortikultura yang mudah rusak. Kendala yang sering dialami oleh perusahaan menyangkut masalah kontinuitas, kuantitas dan kualitas produksi sayuran. Perusahaan harus mampu menjaga peningkatan produksi dan mempertahankan kualitas lobak yang dibudidayakan karena berhubungan dengan pasar lobak yang ekskusif. Adapun kendala yang sering dihadapi petani lobak adalah mengenai jaminan pemasaran. Selain itu, petani mengalami permasalahan dalam penerapan manajemen, kualitas sumberdaya manusia (SDM), dan penggunaan teknologi yang sederhana. Petani juga masih terkendala dalam hal harga jual lobak yang rendah dan berfluktuasi jika hasil panen mereka dijual langsung ke pasar. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan pola kemitraan merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, peluang permintaan yang semakin meningkat dapat dimanfaatkan secara optimal. Walaupun manfaat bermitra cukup besar, tidak semua petani melakukan kemitraan dengan perusahaan. Hal ini menyangkut pola pikir petani yang masih memiliki anggapan bahwa kemitraan tidak memberikan keuntungan apapun bagi mereka.

Agro Farm dengan petani mitra sudah memiliki kesepakatan mengenai penyediaan faktor-faktor produksi yang diperlukan dalam pembudidayaan lobak. Agro Farm menyediakan faktor-faktor produksi yang dibutuhkan oleh para petani lobak mitra. Faktor-faktor produksi yang dibutuhkan diantaranya benih lobak dan saprotan lainnya. Dengan demikian, petani lobak harus memanfaatkan faktor-faktor produksi tersebut untuk menghasilkan lobak yang sesuai dengan ketentuan.

(21)

Sementara itu, lobak yang dihasilkan para petani dikumpulkan terlebih dahulu di Agro Farm untuk kemudian dilakukan pemilahan yang bertujuan untuk memisahkan antara lobak yang sudah sesuai standar dan ketentuan Agro Farm dengan lobak yang tidak sesuai dengan standar dan ketentuan tersebut. Adapun beberapa perbedaan yang mencolok dari komoditi ini, untuk lobak korea memiliki pasar yang esklusif dan lobak daikon memiliki pasar yang umum dan bisa dijumpai dipasar-pasar modern, untuk lobak daikon ini banyak diminati oleh orang jepang. Adapun harga lobak korea di Agro Farm sekitar Rp. 1.500 per kg sedangkan Sedangkan Lobak daikon sebesar Rp. 1.300 per kg sedangkan dipasaran dijual sekitar Rp. 1.000/kg. Hal ini menunjukkan bahwa melalui kemitraan petani diuntungkan, Agro Farm memberikan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar.

Kerjasama antara Agro Farm dengan petani lobak didasarkan pada kepentingan kedua belah pihak yang diharapkan dapat saling menguntungkan. Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan kemitraan ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan memberikan jaminan pasar yang pasti untuk hasil produksi yang diusahakan.

Agro Farm memproduksi dua macam lobak yaitu lobak korea dan daikon dan para petani lobak korea dan daikon menjalin kemitraan dengan perusahaan, sehingga perlu juga dibandingkan bagaimana keuntungan yang didapatkan oleh petani lobak korea dengan petani lobak daikon yang merupakan mitra Agro Farm tersebut. Selain itu, perlu juga dilihat bagaimana saluran pemasaran dari lobak korea dan lobak daikon untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik pemasaran lobak.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan kemitraan antara petani lobak korea dan lobak daikon di Desa Ciherang Kabupaten Cianjur Jawa Barat dengan Agro Farm di Cianjur, Jawa Barat? 2. Bagaimana pendapatan usahatani petani lobak korea dan petani lobak daikon?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji pelaksanaan kemitraan antara petani lobak korea dan lobak daikon dengan Agro Farm.

(22)

1.4. Kegunaan penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi petani lobak guna pengembangan produksi lobak dengan pola kemitraan yang saling menguntungkan dan kesinambungan. Selain itu juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi perusahaan dalam menyempurnakan kinerja pelaksanaan kemitraan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(23)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agribisnis Lobak

Tanaman lobak berasal dari Asia Barat, khususnya Cina, kemudian menyebar ke seluruh daratan Asia, Amerika Selatan, Afrika dan daerah tropis lainnya. Sebutan lain dari lobak adalah Daikon (Asia), Radish (Inggris), Lu Fu (Cina), Mullong (India), Labanos (Filipina), Monla (Birma), dan Rabano (Spanyol). Tanaman lobak ini merupakan tanaman tahunan yang termasuk dalam famili Cruciferae, famili yang sama dengan kubis, mustard (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2005).

Akarnya berbentuk umbi yang dapat dimakan. Kulit luar dari umbi berwarna merah maupun putih tergantung dari varietasnya. Jaringan dalam umbi berwarna putih. Umbi dari lobak merah berbentuk bulat, sedang umbi lobak putih berbentuk silinder memanjang. Ujung dari umbi lobak biasanya runcing. Menurut (Rukmana, 1995), umbi akar ini akan berpori bila semakin tua.

Batangnya lurus dan berbulu, daunnya berwarna hijau tua dan agak berbulu, kadang-kadang lembaran daun sebelah ujung lebih besar daripada pangkalnya, sedang pinggirannya berlekuk. Pada lobak putih panjang daun kira-kira 60 cm, dengan jumlah delapan sampai 12 pasang helai. Lobak merah memiliki daun lebih pendek, panjangnya kira-kira 25 cm. Umbi dan daunnya jika dimakan rasanya agak pedas, karena kandungan glikosidanya.

Bunga tanaman lobak berwarna putih atau merah muda, bentuknya kecil dan tersusun satu demi satu sepanjang batang. Buahnya bergelembung dengan ujung yang panjang berbentuk kerucut. Panjang buah lobak ini kira-kira tiga sampai tujuh cm dan diameternya 1,5 cm. Didalam buah ini terkandung delapan sampai 12 biji. Bijinya berwarna kuning atau coklat. Dalam satu gram terdapat 70-100 biji (Rukmana, 1995).

Lobak ditanam dari bijinya. Bibit lobak tidak perlu didatangkan dari luar negeri (impor), cukup dari hasil biji sendiri karena tanaman ini mudah berbunga dan berbiji. Biji-biji tersebut dapat ditanam langsung di kebun tanpa disemai terlebih dulu. Untuk penanaman seluas satu ha diperlukan biji sebanyak lima kg.

(24)

pH tanah enam sampai tujuh (Tindall, 1986). Karena itu lobak banyak dibudidayakan di beberapa tempat dataran tinggi Indonesia.

Jika biji lobak telah tumbuh, maka akan dibiarkan sampai tanaman menjadi kuat, baru kemudian diperjarang. Kemudian setiap rumpun ditinggalkan dua tanaman yang paling baik. Tanaman lainnya dicabut dan dijual sebagai lalap. Apabila tanaman agak besar dan umbi akar telah terbentuk, kemudian di lakukan penimbunan untuk mencegah agar pangkal umbi tidak berserat. Pemupukan dilakukan dengan pupuk kandang atau pupuk buatan yang mengandung enam persen nitrogen, delapan sampai sepuluh persen asam phospat dan enam sampai delapan & kalium. Rekomendasi yang diberikan untuk pemakaian pupuk ini adalah 1.120-1.680 kg/ha. Dalam hal ini pemberian pupuk tergantung pada jenis sayuran tersebut.

Pada daerah tropis hasil panen terbaik diperoleh pada suhu bulanan minimum 19-22o C dan maksimum 30-33oC. Lobak putih dapat dipanen setelah 30– 50 hari setelah ditanam dan lobak merah dipanen setelah 20 – 25 hari setelah ditanam, tergantung pada cara penanaman, iklim dan tingkat kemasakan. Pada tingkat ini umbi masih lunak, tidak begitu getir dan renyah, dan biasanya sudah mencapai ukuran yang sesuai untuk dipasarkan. Lobak dipanen pada tingkat kemasakan ini sebelum berempulur dan berserabut. Waktu dipanen seluruh tanaman dicabut (Rukmana, 1995). Pemasaran dapat dilakukan dengan atau tanpa daun. Bila daun disertakan, daun itu diikat. Bila tanpa daun, pemotongan daun-daunnya dilakukan setelah pencabutan.

Komposisi kimia lobak seperti terlihat pada Tabel 7, diketahui bahwa kandungan air lobak sangat tinggi yaitu sekitar 94,1 gram pada tiap 100 gram bahan, atau sekitar 94,1 persen dari lobak adalah air. Kandungan air yang tinggi ini yang menyebabkan lobak mudah rusak.

Tabel 7.Komposisi Zat Gizi Lobak per 100 Gram.

Komponen Jumlah

(25)

Menurut Biro Pusat Statistik (1991) jumlah lobak di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena cara penanaman yang makin baik, juga ada perluasan areal tanah untuk penanaman lobak. Lobak merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan siap dipanen tiga sampai enam minggu setelah waktu penanaman. Adapun manfaat lain dari lobak yaitu menyembuhkan liver da mencegah infeksi virus seperti batuk dan flu.

1.6.Kajian Kemitraan Agribisnis

Penelitian terdahulu dimaksudkan untuk mengkaji penelitian-penelitian yang telah dilakukan dengan mengangkat topik, komoditas, produk maupun alat analisis yang sama sehingga dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan penelitian dan dapat dijadikan pembelajaran. Namun penelitian yang membahas kemitraan tentang komoditi lobak masih sangat sedikit.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang menjadi referensi penelitian ini, dapat dikatakan bahwa adanya kemitraan tidak dapat menjamin petani dapat meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang mengakibatkan kemitraan menjadi tidak signifikan dampaknya terhadap petani. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2002) yang mengkaji dampak pelaksanaan kemitraan terhadap pendapatan petani mitra antara PT. Bumi Mekar Tani dengan petani kacang tanah di Kabupaten Subang. Berdasarkan analisis pendapatan usahatani diketahui bahwa pendapatan atas biaya total petani non mitra. Sebelum bermitra pendapatan atas biaya total petani mitra mencapai Rp. 725.903,11 sedangkan setelah bermitra menjadi Rp. 352.069,93. Angka ini juga sedikit lebih kecil dibandingkan dengan petani non mitra yaitu Rp. 403.711,86.

Kecilnya pendapatan petani mitra ini disebabkan tingginya harga benih dan pupuk dari perusahaan yang menyebabkan biaya tunai petani mitra lebih besar daripada sebelum bermitra dari petani non mitra. Total produksi yang lebih kecil akibat pengaruh musim kemarau juga merupakan salah satu faktor penyebabnya.

(26)

Adapun penelitian yang dilakukan Agreianti (2009) yang mengkaji pengaruh kemitraan terhadap produktivitas dan pendapatan petani kakao dikabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dapat memberikan gambaran lain mengenai kemitraan. Hal tersebut disebabkan kemitraan memberikan manfaat nyata bagi petani, termasuk dalam peningkatan pendapatan namun pendapatan yang diterima oleh petani yang bermitra belum dapat dikatakan optimal karena perbedaannya dengan pendapatan petani yang tidak bermitra tidak terlalu jauh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kemitraan memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. Manfaat bagi perusahaan adalah mendapatkan pasokan biji kakao berfermentasi, menghemat biaya produksi, dan bertambahnya mitra usaha yang loyal terhadap perusahaan. Manfaat bagi petani kakao mitra adalah bimbingan teknis, pembayaran secara tunai melalui kelompok tani, pemberian bantuan pupuk, dan kemudahan untuk memasarkan produkya.

Hasil analisis usahatani membuktikan bahwa adanya kemitraan antara PT. Pagilarang dengan petani kelompok tani Ngupadikoyo dapat meningkatkan penerimaan, karena apabila dibandingkan dengan pendapatan non petani mitra, pendapatan atas biaya tunai petani mitra lebih besar yaitu Rp. 1.187.425 dan petani non mitra sebesar Rp. 694.445, sehingga menyebabkan pendapatan petani mitra lebih besar. Akan tetapi, bila dilihat secara uji statistik yaitu uji-t untuk melihat seberapa besar perbedaan nyata pendapatan petani mitra dan petani non mitra hasil t-hitung 0,0010, dimana nilai t-hitung ini dibawah nilai t-tabel yaitu 1,96 sehingga dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani mitra dan petani non mitra tidak berbeda nyata, jadi adanya kemitraan tidak berpengaruh pada pendapatan petani kakao.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Mia (2009) mengenai keberhasilan pelaksanaan kemitraan dalam meningkatkan pendapatan antara petani semangka di kabupaten Kebumen Jawa Tengah dengan CV Bimandiri menunjukkan manfaat yang diperoleh petani melalui kemitraan. Berdasarkan hasil penelitian kemitraan yang di jalankan oleh CV Bimandiri dirumuskan dalam sebuah memo kesepakatan antar kedua belah pihak yang memuat hak dan kewajibannya masing-masing. Hak petani sebagai mitra adalah petani mendapatkan harga jual sesuai dengan yang telah disepakati dan juga mendapatkan bimbingan teknis dari pihak perusahaan.

(27)

dengan petani non mitra. R/C atas biaya total petani mitra adalah 1.85, artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh petani akan memberikan tambahan keuntungan sebesar 1.85. Sedangkan R/C atas biaya total petani non mitra adalah sebesar 1.4, artinya setiap satuan rupiah yang dikeluarkan oleh petani akan memberikan tambahan keuntungan hanya sebesar Rp. 14. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kemitraan yang dilakukan oleh petani semangka terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani dengan perbedaan yang mencolok dengan pendapatan yang diterima petani non mitra. Hal ini menunjukkan kemitraan tersebut berhasil meningkatkan kesejahteraan petani semangka.

Sejalan dengan itu, Penelitian yang dilakukan oleh Aryati (2009) mengenai analisis pengaruh kemitraan dengan judul Analisis Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Kacang Tanah, penelitian diarahkan untuk mengevaluasi pelaksanaan kemitraan antara PT. Garudafood dengan petani kacang yang berada di daerah Cianjur juga menunjukkan hasil yang sama. Berdasarkan evaluasi pelaksanaan masih terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan perjanjian, seperti masih ada petani yang menggunakan pupuk tidak sesuai dosis, menjual hasil produknya ke perusahan lain dan waktu tanam yang tidak sesuai dengan perjanjian. Meskipun demikian pelaksanaan kemitraan tersebut memberikan manfaat kepada petani yaitu adanya kepastian pasar, kepastian harga, meningkatkan pendapatan dan menambah pengetahuan mengenai budidaya kacang tanah.

Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani, petani mitra memperoleh pendapatan usaha yang lebih baik jika dibandingkan dengan petani non mitra, baik untuk pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total. Hasil imbangan dapat diketahui R/C rasio atas biaya tunai dan total petani mitra yaitu 2.77 dan 1.47, sedangkan R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total 1.92 dan 0.96 maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kemitraan antara PT. Garudafood dengan petani kacang tanah mitra di Desa Palangan memberikan keuntungan bagi petani mitra, sehingga kemitraan dapat diteruskan.

Adapun Kurnia (2003) mengkaji pelaksanaan pola kemitraan antara perusahaan agribisnis CV Mekar Dana Profitindo dengan petani bawang merah Brebes. Menurut hasil penelitian kondisi pelaku kerjasama, kondisi perusahaan cenderung menunjukkan kekuatan yang terletak pada faktor pemasaran, keuangan dan sumberdaya manusia. Adapun kelemahan perusahaan terletak pada faktor produksi serta penelitian dan pengembangan. Sebaliknya kondisi petani cenderung menunjukkan kekuatan pada faktor modal, produksi dan teknologi sedangkan kelemahannya terletak pada manajemen dan pemasaran.

(28)

kemitraan yang dirasakan paling efektif oleh kedua pelaku mengingat kondisi petani yang masih membutuhkan bantuan dari perusahaan dalam hal sarana produksi, serta bimbingan teknis dan non teknis dari perusahaan yang dianggap lebih berpengalaman dalam menjalankan pertanyaan berskala besar.

Kemitraan antara perusahaan dengan petani yang berlangsung selama ini belum mengalami hambatan meskipun kemitraan yang terbentuk hanya berdasarkan kesepakatan lisan saja. Namun begitu jika hal tersebut dibiarkan bukan tidak mungkin kemitraan yang berbentuk dikemudian hari akan mengalami permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa adanya suatu kemitraan memberikan dampak besar kepada petani mitra khususnya. Dampak ini terjadi karena adanya berbagai bentuk bantuan yang diberikan oleh perusahaan seperti dalam hal permodalan, teknis, dan pemasaran. Namun ternyata tidak semua hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya kemitraan akan memberikan peningkatan pendapatan bagi petani mitranya, tentu hal ini terkait dengan banyak faktor. Hal inilah menjadi latar belakang fokus penelitian ini, yaitu mengukur dampak kemitraan pada pendapatan petani mitra pada komoditi lobak.

(29)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Pengertian Kemitraan

Menurut Dirjen Pembinaan Pengusaha Kecil (1994), Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, kemitraan adalah hubungan bisnis antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil disertai bantuan pembinaan berupa peningkatan sumber daya manusia, peningkatan modal kerja dan peningkatan krekit perbankan. Definisi kemitraan yang terkandung dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 adalah suatu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan serta bertujuan meningkatkan nilai tambah yang maksimal.

Adapun batasan kemitraan usaha agribisnis menurut Hafsah (2000) adalah hubungan bisnis usaha pertanian yang melibatkan satu atau sekelompok orang yang berbadan hukum dengan satu atau sekelompok orang/badan usaha dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dan usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan keterpaduan yang dilandasi rasa saling menguntungkan, saling memerlukan dan saling melaksanakan etika bisnis.

Secara ekonomi, kemitraan didefinisikan sebagai :

1. Esensi kemitraan terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga ( Labour)maupun benda ( properti ) atau keduanya untuk tujuan kegiatan ekonomi. Pengendalian kegiatan dilakukan bersama dimana pembagian keuntungan dan kerugian distribusi diantara dua pihak yang bermitra. ( Burrns, 1996 dalam Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1998 ).

2. “Partnership atau Alliance” adalah suatu asosiasi yang terdiri dari dua orang atau usaha yang sama-sama memiliki sebuah perusahaan dengan tujuan untuk mencari laba. ( Winardi, 1971 dalam Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1998 ).

3. Kemitraan adalah suatu persekutuan dari dua orang atau lebih sebagai pemilik bersama yang menjalankan suatu bisnis mencari keuntungan. ( Spencer, 1977 dalam Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1998 ).

(30)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, maka kemitraan dalam agribisnis dapat diartikan sebagai jalinan kerjasama yang berorientasi ekonomi (bisnis) yang berkesinambungan antara dua atau lebih pelaku agribisnis, baik dalam satu subsistem maupun antara subsistem agribisnis (keterkaitan antar subsistem). Jalinan kerjasama tersebut harus saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan, sehingga hubungannya akan berkesinambungan.

3.1.2 Maksud dan Tujuan Kemitraan

Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “ Win-Win Solution Partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para patisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing.

Berdasarkan pendekatan cultural, kemitraan bertujuan agar mitra usaha dapat mengadopsi nilai-nilai baru dalam berusaha seperti perluasan wawasan, prakarsa, kreatifitas, berani mengambil risiko, etos kerja, kemampuan aspek-aspek managerial, bekerja atas dasar perencanaan dan berwawasan ke depan.

Menurut Hafsah (2000), dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih konkret adalah :

1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, 2. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan,

3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, 4. Meningkatkan pertumbujan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, 5. Memperluas lapangan kerja.,

6. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.

Saling membutuhkan merupakan salah satu azas tumbuhnya kerjasama antara dua belah pihak yang bermitra. Kerjasama antara perusahaan besar dengan petani kecil dapat berlangsung baik jika ada imbalan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

(31)

3.1.3. Pola Kemitraan

Dalam sistem agribisnis Indonesia, terdapat lima bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar. Adapun bentuk-bentuk kemitraan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

3.1.3.1. Pola Kemitraan Inti Plasma

Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani, atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Sementara itu, kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati (Hafsah, 2000) :

A. Kelebihan dari pola inti plasma adalah :

1. Tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan, 2. Tercipta peningkatan usaha,

3. Dapat mendorong perkembangan ekonomi.

B. Kelemahan dari pola inti plasma adalah :

1. Pihak plasma masih kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan kurang lancer.

2. Komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang diharapkan oleh plasma.

Gambar 1. Pola Kemitraan Inti-Plasma

Sumber : Badan Agribisnis, Departemen Pertanian (1998) dalam Marliana (2009) .

Plasma

Plasma Perusahaan

Plasma

(32)

3.1.3.2. Pola Kemitraan Subkontrak

Pola subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Kelebihan dari pola subkontrak adalah Pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu dan waktu kondusif bagi terciptanya ahli teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Menurut Hafsah (2000), kelemahan dari pola subkontrak adalah :

1. Hubungan subkontrak yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah ke monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku serta dalam hal pemasaran.

2. Berkurangnya nilai-nilai kemitraan antara kedua belah pihak. Perasaan saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi berubah menjadi penekanan terhadap harga input yang tinggi atau pembelian produk dengan harga rendah.

3. Kontrol kualitas produk ketat, tetapi tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tetap. Dalam kondisi ini, pembayaran produk perusahaan inti sering terlambat bahkan cenderung dilakukan secara konsinyasi. Di samping itu, timbul gejala eksploitasi tenaga kerja untuk mengejar target produksi.

Gambar 2. Pola Kemitraan Subkontrak

Sumber : Badan Agribisnis Departemen Pertanian (1998) dalam Marliana (2009).

3.1.3.3. Pola Kemitraan Dagang Umum

Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha

Pengusaha Mitra

Kelompok Mitra Kelompok Mitra

(33)

pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut. Beberapa petani atau kelompok tani hortikultura bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya kemudian bermitra dengan toko swalayan atau mitra usaha lainnya. Koperasi tani tersebut bertugas memenuhi kebutuhan toko swalayan dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Kelebihan dari pola dagang umum pada dasarnya pola kemitraan ini adalah hubungan jual beli sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik perusahaan mitra maupun kelompok mitra. Keuntungan dalam pola kemitraan ini berasal dari margin harga dan jaminan harga produk yang diperjualbelikan, serta kualitas produk sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra. Adapun kelemahan dari pola dagang umum adalah :

1. Dalam praktiknya, harga dan volume produknya sering ditentukan secara sepihak oleh pengusaha mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra.

2. Sistem perdagangan seringkali ditemukan berubah menjadi bentuk konsinyasi. Dalam sistem ini, pembayaran barang-barang pada kelompok mitra tertunda sehingga beban modal pemasaran produk harus ditanggung oleh kelompok mitra. Kondisi seperti ini sangat merugikan perputaran uang pada kelompok mitra yang memiliki keterbatasan permodalan.

Gambar 3. Pola Kemitraan Dagang Umum

Sumber : Badan Agribisnis, Departemen Pertanian (1998) dalam Marliana (2009).

3.1.3.4. Pola Kemitraan Keagenan

Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra (pengusaha besar) memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar atau

Kelompok Mitra

Konsumen/Industri

Perusahaan Mitra

(34)

menengah bertanggung jawab atas mutu dan volume produk (barang atau jasa), sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Diantara pihak-pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang harus tercapai dan besarnyafeeatau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk. Kelebihan dari pola keagenan adalah Pola ini memungkinkan dilaksanakan oleh para pengusaha kecil yang kurang kuat modalnya karena biasanya menggunakan sistem mirip konsinyasi. Berbeda dengan pola dagang umum yang justru perusahaan besarlah yang kadang-kadang lebih banyak mengeruk keuntungan dan kelompok mitra harus bermodal kuat. Kelemahan dari pola keagenan adalah :

1. Usaha kecil mitra menetapkan harga produk secara sepihak sehingga harganya menjadi tinggi di tingkat konsumen.

2. Usaha kecil sering memasarkan produk dari beberapa mitra usaha saja sehingga kurang mampu membaca segmen pasar dan tidak memenuhi target.

Memasok

Memasarkan produk Kelompok mitra

Gambar 4. Pola Kemitraan Keagenan

Sumber : Badan Agribisnis, Departemen Pertanian (1998) dalam Marliana (2009).

3.1.3.5. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian. Di samping itu, perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Kelebihan dari pola KOA adalah sama dengan keunggulan sistem inti plasma. Pola KOA ini

Kelompok Mitra Perusahaan Mitra

(35)

paling banyak ditemukan pada masyarakat pedesaan, antara usaha kecil di desa dengan usaha rumah tangga dalam bentuk sistem bagi hasil. Sedangkan kelemahan dari pola KOA adalah : 1. Pengambilan untung oleh perusahaan mitra yang menangani aspek pemasaran dan

pengolahan produk terlalu besar sehingga dirasakan kurang adil oleh kelompok usaha kecilnya.

2. Perusahaan mitra cenderung monopsoni sehingga memperkecil keuntungan yang diperoleh pengusaha kecil mitranya.

Gambar 5. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Sumber : Badan Agribisnis Departemen pertanian ( 1998) dalam Marliana (2009).

3.1.4 Kendala-kendala Dalam Kemitraan

Berbagai kasus kemitraan dalam agribisnis selama ini sering adanya keberhasilan hubungan kemitraan, tetapi juga banyaknya kegagalan dari kemitraan tersebut, sehingga banyak hal yang menarik untuk dikaji.

Kegagalan jalinan kemitraan dalam agribisnis disebabkan oleh berbagai kelemahan dari para pelaku agribisnisnya dan juga dikarenakan lemahnya aturan, mekanisme dan manajemen dari kemitraan itu sendiri. Menurut Hafsah (2000), beberapa kelemahan yang menjadi hambatan masih ditemukan antara lain sebagai berikut :

Kelompok Mitra Perusahaan Mitra

- biaya - modal - teknologi - manajemen - pemasaran -lahan

(36)

1. Lemahnya posisi petani karena kurangnya kemampuan manajerial, wawasan, dan kemampuan kewirausahaan. Kondisi ini mengakibatkan petani kurang dapat mengelola usahatani secara efisien dan komersial.

2. Keterbatasan petani dalam bidang permodalan, teknologi, informasi, dan akses pasar. Kondisi ini menyebabkan pengelolaan usahatani kurang mandiri sehingga mudah tersubordinasi oleh kepentingan pihak yang lebih kuat.

3. Kurangnya kesadaran pihak perusahaan agribisnis dalam mendukung permodalan petani yang lemah. Hal ini menyebabkan menjadi kesulitan mengembangkan produk usahatani sesuai dengan kebutuhan pasar.

4. Informasi tenetang pengembangan komoditas belum meluas di kalangan pengusaha. Keadaan ini menyebabkan kurangnya calon investor yang akan menanamkan investasinya di bidang agribisnis.

5. Etika bisnis kemitraan yang berprinsip win win solutiondi kalangan investor agribisnis di daerah masih belum berkembang sesuai dengan dunia agribisnis.

6. Komitmen dan kesadaran petani terhadap pengendalian mutu masih kurang.

7. Hal tersebut mengakibatkan mutu komoditas yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Penyebab lain kegagalan kemitraan adalah lemahya aspek manajerial dan sumberdaya manusia yang mengelola jalinan kemitraan itu, baik ditingkat perusahaan maupun petani atau yang memadukan kedua belah pihak yang bermitra. Kegiatan agribisnis yang menerapkan pola kemitraan memerlukan tenaga manajer dengan tingkat pengelolaan yang memadai tidak untuk aspek ekonomi dan teknik agribisnis, tetapi juga aspek sosial. Oleh karena itu pembenahan dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia di bidang agribisnis dan keterkaitan antar subsistem agribisnis perlu terus dilakukan.

Oleh karena itu untuk menentukan atau memilih pola kemitraan mana yang akan dilaksanakan harus diperhatikan perbedaan-perbedaan sebagai berikut :

1. Karakteristik komoditas yang diusahakan 2. Keragaan para pelakunya

3. Keragaan pasar : struktur pasar, tingkah laku pasar, dan penampilan pasar 4. Ketersediaan sarana produksi

5. Ada tidaknya industri pengolahan

(37)

3.1.5 Peranan Pelaku Kemitraan

Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Dengan demikian diharapkan terukur seberapa jauh pihak-pihak yang terkait telah menjalankan tugas dan pernanannya secara baik. Berbagai peran dari pelaku kemitraan usaha tersebut adalah sebagai berikut (Hafsah, 2000):

a. Peranan Pengusaha Besar

Pengusaha besar melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecil atau koperasi dalam hal :

1. Memberikan bimbingan dalam meningkatkan kualitas SDM pengusaha kecil atau koperasi, baik melalui pendidikan, pelatihan, dan pemagangan dalam bidang kewirausahaan, manajemen, dan keterampilan teknis produksi.

2. Menyusun rencana usaha dengan pengusaha kecil atau koperasi mitranya untuk disepakati bersama.

3. Bertindak sebagai penyandang dana atau penjamin kredit untuk permodalan pengusaha kecil atau koperasi mitranya.

4. Memberikan bimbingan teknologi kepada pengusaha kecil atau koperasi.

5. Memberikan pelayanan dan penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha bersama yang disepakati.

6. Menjamin pembelian hasil produksi pengusaha kecil atau koperasi sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati bersama.

7. Promosi hasil produksi untuk mendapatkan pasar yang baik.

8. Pengembangan teknologi yang mendukung pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan.

b. Peranan Pengusaha Kecil atau Koperasi

Dalam melaksanakan kemitraan usaha, pengusaha kecil atau koperasi didorong untuk melakukan :

1. Bersama-sama dengan pengusaha besar mitranya melakukan penyusunan rencana usaha untuk disepakati.

(38)

3. Melaksanakan kerjasama antar sesama pengusaha kecil yang memiliki usaha sejenis dalam rangka mencapai skala usaha ekonomi untuk mendukung kebutuhan paska produksi pengusaha besar mitranya.

4. Mengembangkan profesionalisme untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan teknis produksi dan usaha.

c. Peranan Pembina

Peranaan lembaga pembinaan ini pada intinya adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan kemitraan usaha serta terwujudnya kemitraan usaha yang dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang bermitra. Secara lebih rinci peran lembaga Pembinaan tersebut adalah :

1. Meningkatkan pembinaan kemampuan kewirausahaan dan manajemen pengusaha kecil atau koperasi.

2. Membantu penyediaan fasilitas permodalan dengan skim-skim kredit lunak dengan prosedur yang sederhana sehingga mampu diserap dan dimanfaatkan oleh pengusaha kecil. 3. Mengadakan penelitian, pengembangan usaha, pelayanan, penyediaan informasi bisnis,

promosi peluang pasar dan peluang usaha yang akurat dan aktual pada setiap wilayah. 4. Melakukan koordinasi dalam pembinaan pengembangan usaha, pelayanan, penyediaan

informasi bisnis, promosi peluang pasar dan peluang usaha yang akurat dan aktual pada setiap wilayah.

5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik SDM aparat maupun pengusaha kecil melalui pendidikan, pelatihan, inkubator, magang, studi banding dan sebagainya.

6. Bertindak sebagai “arbitrase” atau penengah dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kemitraan usaha dilapangan agar berjalan sebagaimana yang diharapkan.

3.2 Sistem Agribisnis

Menurut Krisnamurthi (1997) Agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif yang terdiri dari beberapa subsistem yaitu subsistem pengadaan sarana produksi pertanian, subsistem produksi usahatani, subsistem pengolahan industri hasil pertanian, subsistem pemasaran hasil pertanian dan subsistem kelembagaan penunjang kegiatan pertanian. Keterkaitan antar subsistem agribisnis buah-buahan dikatakan baik apabila : 1. Subsistem sarana produksi yang didukung oleh industri primer (backward linkage), seperti

(39)

bersangkutan. Subsistem sarana produksi inilah yang menjadi salah satu penentu berhasil atau tidaknya subsistem produksi (usahatani).

2. Subsistem produksi ditentukan oleh ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia ( tenaga kerja ) dan dukungan dari subsistem sarana produksi. Kemudian hasil produksi komoditas buah-buahan tersebut ada yang mengalir langsung ke subsistem pemasaran dengan atau tanpa pemberian perlakuan terlebih dahulu (material handling ). Sementara itu, ada pula dari komoditas buah-buahan tersebut yang menjadi bahan baku untuk produk olahan sehingga perlu masuk dahulu ke subsistem penanganan dan pengolahan hasil, sebelum produk olahan tersebut mengalir ke subsistem pemasaran.

3. Subsistem penanganan dan pengolahan hasil juga tergantung dari hasil subsistem produksi dan tersedianya sumber daya manusia. Hal ini menunjukan bahwa industri pengolahan hasil pertanian sangat tergantung dari berjalan atau tidaknya subsistem produksi (usahatani) yang pada umumnya sangat peka terhadap masalah ketidakpastian harga dan produksi.

4. Subsistem pemasaran, baik itu berorientasi regional, nasional maupun internasioanl ( expor ). Keberhasilan subsistem ini ditentukan oleh lancar atau tidaknya ketiga subsistem sebelumnya serta ketersediaan sumber daya manusia dibidang pemasaran.

Menurut Krisnamurthi (1997), sistem agribisnis dapat dibedakan dalam beberapa gugus industri (industrial clustered) berdasarkan produksi akhir dari sistem agribisnis, yaitu : 1. Sistem agribisnis pangan (food and baverage), yakni sistem agribisis yang produk

akhirnya berupa produk-produk bahan pangan (hewani dan nabati) dan minuman.

2. Sistem agribisnis pakan, yaitu sistem agribisnis yang produk akhirnya berupa produk-produk pakan hewan ( ternak, ikan ).

3. Sistem agribisnis serat alam, yakni agribisnis yang menghasilkan produk akhir berbahan baku serat alam seperti produk atau barang-barang karet, kayu (pulp, rayon, kertas), produk tekstil, produk kulit dan produk serat alam lainnya.

4. Sistem agribisnis bahan farmasi dan kosmetika, yakni agribisnis yang menghasilkan bahan-bahan farmasi (obat-obatan, vaksin, serum) dan produk kosmetika (sampo, detergen, sabun) baik untuk kebutuhan manusia maupun hewan.

5. Sistem agribisnis wisata dan estetika, yakni sistem agribisnis yang menghasilkan produk akhir berupa kegiatan wisata, seperti wisata kebun, wisata hutan tanaman dan sebagainya serta produk-produk keindahan (bunga, tanaman hias, ikan hias, dan lain-lain).

(40)

Keterkaitan antar usaha dalam sistem mulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi usaha tani, pengolahan hasil, industri, distribusi dan pemasaran merupakan syarat keunggulan bisnis yang bersangkutan. Dengan adanya kemitraan diharapkan dapat menghilangkan permasalahan dalam keterkaitan usaha vertikal sistem agribisnis seperti bentuk persaingan yang tidak sehat akibat struktur pasar yang tidak sempurna. Agribisnis Indonesia merupakan lahan yang sangat subur bagi tumbuh dan berkembangnya kemitraan, karena pola kemitraan merupakan salah satu tuntunan objektif bagi keberadaan agribisnis. Kemitraan merupakan tuntunan logis dari sifat agribisnis sebagai suatu rangkaian kegiatan usaha dalam sistem yang terintegrasi.

3.3. Pengertian Usahatani

Soekartawi (2002) mendefinisikan usahatani sebagai pengorganisasian dari faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, modal dan manajemen yang dikelola oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh hasil dari lapangan pertanian. Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja (1983) mendefinisikan usahatani sebagai suatu organisasi produksi di lapangan pertanian dimana terdapat unsur lahan yang mewakili unsur alam, unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga tani, unsur modal yang beraneka ragam jenisnya, dan unsur pengolahan atau manajemen yang perannya dibawakan oleh seseorang yang disebut petani. Dalam hal ini, istilah usahatani mencakup kebutuhan keluarga, sampai pada bentuk yang paling modern yaitu mencari keuntungan atau laba.

Soekartawi (2005) mengemukakan bahwa tujuan usahatani dapat dikategorikan menjadi dua yaitu memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan pengeluaran. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk memperoleh keuntungan maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan pengeluaran berarti bagaimana menekan pengeluaran produksi sekecil-kecilnya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.

3.3.1. Unsur-unsur Pokok Usahatani

Hernanto (1989) menyatakan ada empat unsur-unsur pokok usahatani atau dalam istilah lainnya adalah faktor-faktor produksi usahatani. Faktor-faktor produksi tersebut yaitu:

1. Lahan, 2. Kerja, 3. Modal, dan

(41)

3.3.2. Unsur Lahan

Unsur lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam. Fungsi lahan dalam usahatani yaitu:

1. Tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian (usaha bercocok tanam dan pemeliharaan hewan ternak).

2. Tempat pemukiman keluarga petani.

Bentuk dan sifat lahan merupakan manifestasi dari pengaruh faktor-faktor alam lainnya seperti topografi, iklim, (curah hujan, suhu, penyinaran matahari, dan gelombang nisbah, jenis tanah) yang ada di sekelilingnya (Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja, 1983).

Hernanto (1989) menjelaskan bahwa pada umumnya di Indonesia tanah merupakan faktor produksi yang: (a) relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya, (b) distribusi penguasaannya di masyarakat tidak merata. Sifat-sifat lahan antara lain: (a) luas relatif tetap atau dianggap tetap, (b) tidak dapat dipindah-pindahkan, (c) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan. Karena sifatnya yang khusus tersebut tanah kemudian dianggap sebagai salah satu faktor usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur modal usahatani.

Empat golongan petani berdasarkan luas tanah yang dimiliki yaitu: 1. Golongan petani luas (kepemilikan lahan >2 hektar),

2. Golongan petani sedang (antara 0,5–2 hektar), 3. Golongan petani kecil (kepemilikan lahan 0,5 hektar), 4. Golongan buruh tani tidak memiliki lahan.

3.3.3. Tenaga Kerja

Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja (1983) menyatakan bahwa unsur kerja dalam usahatani diperlakukan untuk menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani menurut sifatnya dapat dikelompokkan menjadi:

1. Pekerjaan yang bersifat produktif (mengolah lahan, menyiangi, memupuk dan mencegah hama dan penyakit),

2. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat investasi (membuka hutan untuk lahan pertanian, memperbaiki pematang, membuat teras),

3. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat umum (memperbaiki alat-alat, menjemur hasil produksi, membeli sarana produksi dan menyelenggarakan akuntansi usahatani).

(42)

pria, tenaga wanita, tenaga anak-anak (berumur di bawah 15 tahun). Menurut Soekartawi (2002), umur tenaga kerja di pedesaan juga sering menjadi penentu besar kecilnya upah. Mereka yang tergolong di bawah usia dewasa akan menerima upah juga lebih rendah bila dibandingkan dengan tenaga kerja dewasa.

HOK (hari orang kerja) atau setara hari kerja pria (HKP) adalah upah tenaga kerja yang bersangkutan dibagi upah tenaga kerja pria. Menurut Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja (1983) pengukuran tenaga kerja dalam usahatani umumnya diukur dengan jumlah “hari”. Dalam satu hari biasanya selama 7 jam dan ukurannya biasa dibulatkan kepada satuan hari kerja.

3.3.4. Modal

Hernanto (1989) menyatakan bahwa modal merupakan unsur pokok usahatani yang penting. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru, yaitu produksi pertanian. Pada usahatani yang dimaksud dengan modal adalah: (a) tanah, (b) bangunan, (c) alat-alat pertanian, (d) ternak, dan ikan di kolam, (e) Bahan-bahan pertanian, (f) Piutang di Bank, (g) Uang tunai. Sedangkan menurut sifatnya modal dapat dibedakan menjadi dua yaitu modal tetap, meliputi tanah dan bangunan. Modal tetap diartikan modal yang tidak habis pada satu periode produksi. Jenis modal ini memerlukan pemeliharaan agar tetap berdayaguna dalam jangka waktu yang lama.

Jumlah modal yang dipakai dalam usahatani juga sering dipakai untuk pengukuran usahatani. Pengukuran usahatani dapat didasarkan kepada: (a) Jumlah nilai seluruh modal yang ditanamkan dalam usahatani dan (b) Jumlah nilai modal lancar dan modal usahatani (Tjakrawiralaksana dan Soeriatmaja, 1983). Berdasarkan sumbernya modal dapat diperoleh dari; (a) Milik sendiri, (b) Pinjaman atau kredit, (c) dari usaha lain dan, (e) Kontrak sewa (Hernanto, 1989).

3.3.5. Pengelolaan

Hernanto (1989) menyatakan bahwa pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan.

3.4. Penerimaan Usahatani

(43)

digunakan dalam usahatani untuk bibit, dan yang digunakan sebagai pembayaran yang disimpan. Penilaian ini berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang berlaku. Menurut Soekartawi et al (1986), penerimaan total usahatani (farm receipt) didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan pokok usahatani. Penerimaan tunai usahatani tidak mencakup uang untuk keperluan usahatani.

Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi (value of production) atau penerimaan kotor usahatani (gross return). Dalam menaksir pendapatan kotor, semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani (Soekartawiet al, 1986).

Pengeluaran total usahatani (total farm expense) merupakan nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, termasuk tenaga kerja keluarga petani. Selisih antara pendapatan kotor dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani dapat digunakan untuk mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Oleh karena itu, pendapatan bersih usahatani merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk dapat membandingkan penampilan beberapa usahatani (Soekartawi et al, 1986). Ukuran yang sangat berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan bersih usahatani (net farm earnings). Angka ini diperoleh dari pendapatan bersih usahatani dengan mengurangkan Bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman (Soekartawiet al, 1986).

(44)

3.5. konsep Biaya Usahatani

Konsep biaya usahatani lebih mengkaji aspek-aspek biaya produksi. Biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan dalam beberapa bagian (Hernanto, 1989):

a. Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan terdiri dari:

1. Biaya tetap, adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi, misalnya pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian dan bunga pinjaman.

2. Biaya variabel, adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan, dan biaya tenaga kerja.

b. Berdasarkan biaya yang langsung dikeluarkan dan langsung diperhitungkan terdiri dari: 1. Biaya tunai, adalah biaya tetap dan biaya variabel yang langsung dibayar tunai. Biaya

tetap misalnya pajak tanah dan Bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya biaya untuk pengeluaran bibit, obat-obatan, pupuk, dan tenaga kerja. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki petani.

2. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap) dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini untuk melihat bagaimana manajemen suatu usahatani.

3.7. Kerangka Pemikiran Operasional

(45)
(46)

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Dampak Kemitraan Antara Agro Farm dengan Petani Mitra Lobak

Permasalahan Agro Farm:

1. Kontinuitas pasokan

bahan baku tidak

terjamin

2. Kualitas dan kuantitas

lobak harus terjaga stabil

3. Permintaan Lobak belum

bisa terpenuhi

Permasalahan Petani Lobak:

1. Harga jual rendah

2. Manajemen, SDM dan teknologi

yang rendah

3. Permodalan

4. Peningkatan Produksi dan

kualitas Lobak

Kemitraan Agribisnis

Rekomendasi Bagi Perusahaan dan Petani

Pelaksanaan Kemitraan:

1. Aspek Manajemen

2. Aspek Manfaat

Analisis Pendapatan:

- Biaya Tetap dan Biaya Variabel - Biaya Tunai dan Non Tunai - R/C rasio

Produksi lobak yang dihasilkan

Gambar

Tabel 2. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Tahun 2003-2007.
Tabel 7. Komposisi Zat Gizi Lobak per 100 Gram.
Gambar 1. Pola Kemitraan Inti-Plasma
Gambar 2. Pola Kemitraan Subkontrak
+6

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan pada penelitian , terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan berupa

Manfaat yang dapat diperoleh petani mitra dengan adanya kemitraan yaitu mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi berdasarkan pendapatan usahatani yang diterima,

Selain itu, pemerintah pun diharapkan mulai memperhatikan kesejahteraan (yang dilihat dari total pendapatan bersih usahatani) petani bukan milik (sakap) dengan mengontrol

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan untuk peningkatan produksi dan efisiensi teknis serta pendapatan usahatani horenso pada

Berdasarkan hasil penelitian pada peternakan Ayam Ras Petelur Jaya Abadi Farm, diketahui bahwa pendapatan usahatani peternakan ayam ras petelur Jaya Abadi Farm adalah

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Pendapatan Usahatani Pisang Ambon Melalui Program Primatani (Kasus : Desa Talaga, Kecamatan Cugenang,

Berdasarkan fungsi customer acquisition dalam hubungan pelanggan, Agrofarm ini berusaha untuk menjangkau konsumen akhir dengan mengikuti berbagai pameran, yaitu pameran yang

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti seberapa besar kontribusi pendapatan usahatani manggis terhadap pendapatan rumah tangga