• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati,Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati,Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

SELAMA PENYIMPANAN SUHU CHILLING MELALUI

PENGAMATAN HISTOLOGIS

SUPARTINAH C34070067

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

(Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng (Chanoschanos) Selama Penyimpanan Suhu

Chilling Melalui Pengamatan Histologis. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan SRI NURYATI.

Ikan bandeng merupakan salah satu ikan tambak komoditas unggulan.Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jeroan ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain daging dan kulitnya. Jeroan ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan pakan ternak dan sebagai sumber alami enzim. Jeroan ikan mudah mengalami kebusukan seperti halnya ikan utuh.Tingginya kandungan air pada jeroan ikan menyebabkan jeroan ikan mudah mengalami kebusukan. Analisis mikrobiologi, kimia, fisik, dan metode sensori secara organoleptik telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kesegaran ikan. Informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histology belum banyak diungkap, oleh karena itu pengukuran mutu secara histology diperlukan untuk mengungkap dan mendukung hasil analisis menggunakan metode yang telah banyak dilakukan.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi kimia jeroan ikan bandeng, menentukan fase post mortem jeroan ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling, serta membandingkan mikrostruktur jeroan ikan bandeng pada setiap fase kemunduran mutu. Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah pengambilan dan preparasi sampel untuk pengujian proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Bagian kedua adalah pembuatan preparat jeroan ikan awetan dan bagian ketiga adalah pengamatan struktur jaringan jeroan ikan bandeng menggunakan mikroskop.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng mengandung kadar air sebesar 66,77%, abu 1,18%, lemak 9,69%, protein 8,75%, dan karbohidrat sebesar 13,61%. Nilai organoleptik jeroan ikan bandeng menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Jeroan ikan bandeng memasuki fase

(3)

SELAMA PENYIMPANAN SUHU CHILLING MELALUI

PENGAMATAN HISTOLOGIS

Oleh: Supartinah C34070067

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati,Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu

Chilling melalui Pengamatan Histologis Nama : Supartinah

NIM : C34070067

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing II

(Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si) (Dr. Sri Nuryati, S.Pi, M.Si) NIP 19700807 199603 2 002 NIP 19710606 199512 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP :19580511 198503 1 002

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chillingmelalui Pengamatan Histologis”

adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan atau karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir bagian skripsi ini.

Bogor, Juli2012

Supartinah

(6)

Penulis dilahirkan di Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 23 September 1989. Penulis merupakan anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan Bapak Mutakim dan IbuTuminah. Penulis telah menempuh jalur pendidikan SDN Lowungu 1 lulus pada tahun 2001, SLTPN 1 Bejenlulus pada tahun 2004 dan SMAN 1 Parakanlulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi mahasiswa daerah Temanggung (OMDA PMTM).

(7)

Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Jeroan (Usus, Hati, Ginjal) Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis” ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Ibu Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si dan Dr. Sri Nuryati S.Pi, M.Si selaku komisi pembimbing atas arahan, bimbingan, ilmu, nasehat, dan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini

2. Bapak Dr. Ir. AgoesMardionoJacoeb, Dipl.-Biol selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak membantu dan memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu drh. Ekowati Handharyani, MS., Ph.D., APVet yang telah banyak memberikan ilmu dan juga bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Ayah dan Ibu atas doa, dorongan dan dukungan serta Kakak yang juga memberikan semangat kepada Penulis.

6. Seluruh staf, dosen dan TU THP atas bantuan dan dukungannya.

7. Bapak Ranta (BDP), Bapak Kasnadi (FKH) dan Mba Kiki (FKH) yang telah banyak membantu penulis.

8. Teman-teman THP 44 atas semua dukungan dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

(8)

11.Teman-teman THP 44 yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi.

12.Seluruh civitas THP lain yang telah banyak membantu penulis

13.Semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli2012

(9)

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 2

2TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng ... 3

2.2 Kemunduran Mutu Ikan Bandeng ... 4

2.2.1Fase prerigor ... 4

2.2.2Fase rigormortis ... 5

2.2.3 Fase postrigor ... 5

2.2.4Fase busuk ... 6

2.3 Anatomi Usus ... 6

2.4 Anatomi Ginjal ... 7

2.5 Anatomi Hati ... 8

2.6 Histologi ... 10

2.7 Pemeriksaan Histologi ... 11

3 METODOLOGI ... 18

3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.3.1Uji organoleptik ... 20

3.3.2 Analisis proksimat ... 20

3.3.3 Pembuatan preparat histologi ... 23

3.3.4Pemeriksaan preparat histologi ... 26

3.4 Analisis Data ... 28

3.4.1Organoleptik ... 28

3.4.2Histologi ... 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Komposisi Kimia Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) ... 29

(10)

4.3.2 Histologi hati ikan bandeng selama periode kemunduran mutu ... 38

4.3.3 Histologi ginjal ikan bandeng selama periode kemunduran mutu ... 43

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... 48

(11)

No Halaman

1 Ikan bandeng (Chanos chanos) ... 4

2 Dinding usus dengan perbesaran 17x secara skematis ... 7

3 Susunan histologik suatu korpuskel ginjal secara skematis ... 8

4 Histologi hati dengan pewarnaan HE perbesaran 75x ... 9

5 Hati ikan normal ... 10

6 Diagram alir penelitian ... 19

7 Diagram alir pembuatan preparat jeroan (hati, ginjal, usus) ikan bandeng (Chanos chanos) ... 27

8 Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) ... 29

9 Rata-rata nilai organoleptik jeroan (hati, ginjal, usus) ikan bandeng ... 32

10 Penampang membujur usus ikan bandeng fase prerigor ... 34

11 Penampang membujur usus ikan bandeng fase rigormortis ... 34

12 Penampang membujur usus ikan bandeng fase postrigor ... 35

13 Penampang membujur usus ikan bandeng fase busuk ... 35

14 Bakteri pembusuk pada fase busuk usus ikan bandeng ... 36

15 Penampang melintang hati ikan bandeng fase prerigor ... 39

16 Penampang melintang hati ikan bandeng fase rigormortis ... 39

17 Penampang melintang hati ikan bandeng fase postrigor ... 40

18 Penampang melintang hati ikan bandeng fase busuk ... 40

19 Bakteri pembusuk pada fase busuk hati ikan bandeng... 41

20 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase prerigor ... 43

21 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase rigormortis ... 44

22 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase postrigor ... 44

23 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase busuk... 45

(12)

No Halaman

1 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet ... Error! Bookmark not defined.

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

(14)

1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar. Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia, diperkirakan mencapai 6,5 juta ton setahun. Produksi perikanan yang telah dimanfaatkan baru sekitar 30% dari seluruh potensi yang ada. Selama ini usaha pemanfaatan potensi yang ada belum optimal (Murtidjo 2001). Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, salah satunya ikan. Ikan memiliki kandungan gizi yang tinggi diantaranya protein 16-24%, lemak 0,2-2,2%, vitamin, mineral, beserta karbohidrat (Khairuman et al. 2002).

Ikan bandeng merupakan salah satu ikan budidaya yang sangat diminati masyarakat. Ikan ini memiliki daging yang lembut dan rasanya enak sehingga sangat disukai konsumen. Selain itu, ikan bandeng sangat mudah untuk dibudidayakan dan mudah dijumpai di pasaran. Ikan ini dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi. Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas yang bernilai ekonomis tinggi karena sangat berarti dalam pemenuhan gizi pangan masyarakat serta dapat meningkatkan taraf hidup. Di samping itu, prospek pengembangan budidaya ikan bandeng yang cukup cerah telah memacu kegiatan budidaya bandeng pada perairan laut dan payau (Mudjiman 1991). Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 produksi bandeng sebesar 212.883 ton, kemudian meningkat menjadi 263.139 ton pada tahun 2007, 277.471 ton pada tahun 2008, dan 328.788 pada tahun 2009. Produksi ikan bandeng meningkat tajam mencapai 483.948 ton pada tahun 2010 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2010).

(15)

atau polipeptida. Sumber proteinase secara menyeluruh ada pada organ lambung, usus dan hati (Feraro et al. 2010). Pemanfaatan enzim hasil perairan ini sangat menguntungkan karena dapat diaplikasikan dalam berbagai industri komersil dan dapat dikembangkan dalam relung pasar yang baru. Pemanfaatan enzim ini dapat memaksimalkan limbah pengolahan, sehingga pengolahan hasil perairan dengan sistem zerowaste dapat dilaksanakan.

Jeroan juga mudah mengalami kebusukan. Kandungan protein dan air yang tinggi pada organ dalam atau jeroan ikan bandeng, membuat jeroan ini mudah mengalami kemunduran mutu. Proses kemunduran mutu ikan bandeng disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh ikan dan faktor dari luar. Faktor dari dalam tubuh ikan meliputi aktivitas enzimatik, mikrobial, dan kimiawi, sedangkan faktor dari luar yaitu lingkungan (Ilyas 1993). Sebagian besar bahan baku ikan berasal dari berbagai macam jenis, dimana penampakan dan rasanya berbeda-beda. Sebagian besar konsumen menuntut kejelasan mengenai kesegaran bahan baku, keamanan mikrobiologi, bebas polutan, perlindungan dari kerusakan, dan produk yang baik (Nychas dan Drosinos 2010).

Kesegaran ikan dapat diidentifikasi dengan analisis sensori, analisis mikrobiologi, biokimia, dan kimia. Selain itu, bisa digunakan teknik molekular (pengamatan histologis) untuk mengetahui tingkat kesegaran organ ikan (Kim dan Mendis 2006). Pengukuran kemunduran mutu secara histologis belum banyak dilakukan, sehingga informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histologis masih terbatas. Oleh karena itu pengukuran kemunduran mutu secara histologis diperlukan untuk mendukung pengukuran dengan menggunakan metode yang telah banyak dilakukan.

1.2 Tujuan

Penelitian tentang kemunduram mutu jeroan ikan bandeng dilakukan dengan tujuan untuk menentukan komposisi kimia jeroan ikan bandeng, menentukan fase post mortem jeroan ikan bandeng pada penyimpanan suhu

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng

Ikan bandeng merupakan salah satu ikan laut yang memiliki potensi untuk dibudidayakan di tambak. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, seperti suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).

Ikan ini memiliki karakteristik badan langsing, sisik seperti kaca, serta daging berwarna putih. Ikan bandeng mendapat julukan ikan milkfish karena mempunyai daging berwarna putih, seperti susu dan rasanya pulen. Ikan ini memiliki keunikan mulutnya tidak bergigi dan makanannya tumbuh-tumbuhan di dasar laut. Selain itu, panjang usus ikan bandeng sembilan kali dari panjang tubuhnya (Murtidjo 1989). Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas :Teleostei Ordo : Malacopterigii Famili : Chanidae Genus :Chanos

Spesies :Chanos chanos

(17)

Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (Anonim 2010).

Jumlah sisik pada gurat sisi ada 75-80 keping. Mulutnya berukuran sedang dan

nono protractile, yaitu posisi mulut satu garis dengan sisi bawah bola mata, bentuk tubuhnya, seperti panah (Djuhanda 1981).

2.2 Kemunduran Mutu Ikan Bandeng

Setelah ikan mati, ikan segera mengalami proses kemunduran mutu. Kemunduran mutu pada ikan bisa disebabkan karena proses yang terjadi pada tubuh ikan atau karena lingkungan. Proses kemunduran mutu ikan terjadi karena aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi (Ilyas 1993). Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Proses perubahan ikan setelah mati terdiri dari empat tahap, yaitu prerigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.

2.2.1 Fase prerigor

Fase prerigormerupakan tahap pertama dari postmortem. Tahap ini ditandai dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).

(18)

2.2.2 Fase rigormortis

Fase rigormortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti dengan penurunan jumlah ATP dan ketidakmampuan mempertahankan kekenyalan oleh jaringan otot. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Pada fase ini, pH tubuh ikan menjadi 6,2-6,6 dari pH semula 6,9-7,2 (Junianto 2003). Hal ini menstimulasi enzim-enzim yang menghidrolisis fosfat organik. Fosfat yang pertama kali terurai adalah fosfat keratin dengan membentuk keratin dan asam fosfat, kemudian diikuti oleh terurainya adenosin trifosfat (ATP) membentuk adenosin difosfat (ADP) dan asam fosfat (Irianto dan Giyatmi 2009). Pada fase ini belum terjadi aktivitas bakteri yang berarti, pH ikan masih turun dikarenakan penumpukan asam laktat sehingga bakteri belum bisa tumbuh dengan baik (Adawyah 2007).

Fase rigormortis ini biasanya berlangsung sekitar 5 jam. Selama berada dalam tahap rigormortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti bahwa apabila rigormortis dapat dipertahankan lebih lama maka proses pembusukan dapat ditekan (Irianto dan Giyatmi 2009).

2.2.3 Fase postrigor

(19)

cukup segar dan layak dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase transisi antara segar dan busuk (Irianto dan Giyatmi 2009).

Penguraian protein menghasilkan senyawa amonia yang terjadi pada fase ini. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi pH yang semakin naik dengan semakin banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses autolisis

akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003). 2.2.4 Fase busuk

Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dan ikan sudah tidak dapat dikonsumsi. Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigormortis, pada saat jaringan otot longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan. Bakteri mengeluarkan getah pencernaan, enzim yang merusak dan menghancurkan jaringan. Bakteri pada daging menyebabkan perubahan bau dan rasa, perubahan tampilan dan ciri fisik lendir, serta warna kulit ikan hilang dan menjadi tampak pucat dan pudar. Lapisan perut menjadi pucat dan hampir lepas dari dinding bagian dalam tubuh (Irianto dan Giyatmi 2009).

2.3 Anatomi Usus

(20)

Bagian lumen pada usus dikelilingi oleh empat lapisan, yaitu serosa, muskularis, submukosa, dan mukosa. Serosa adalah membran yang lembut yang menyelimuti lapisan muskularis. Muskularis terdiri dari longitudinal luar dan lapisan sirkular dalam. Submukosa merupakan lapisan tipis yang bercabang ke dalam mukosa. Sel darah, tipe leukosit berserak atau banyak terdapat dalam submukosa. Mukosa merupakan lapisan yang terlihat, seperti epitelium berbentuk kubus yang ciri-cirinya sederhana atau bercabang dengan vili panjang. Sel epitel sempit dan panjang dengan dasar nukleus dan tersusun kompak. Sel mukosa luas dengan berbagai tahap aktivitas yang seluruhnya terjadi pada lekukan usus.

Caeca usus merupakan perpanjangan pada usus. Kelenjar mukosa banyak terdapat pada caeca (George dan Chandy 1959).

Gambar 2 Dinding usus dengan perbesaran 17x secara skematis dalam tiga dimensi (Genesser 1994).

2.4 Anatomi Ginjal

(21)

Gambar 3 Susunan histologik suatu korpuskel ginjal secara skematis dalam tiga dimensi (Genesser 1994).

Ginjal terdiri dari sejumlah besar tubulus nefron yang berkembang dari depan ke belakang. Struktur ginjal memanjang, berpasangan, dan terletak di atas saluran pencernaan dan dekat dengan tulang punggung. Ginjal ikan teleostei umumnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu kepala dan batang ginjal. Batang ginjal terdiri dari sejumlah besar nefron, masing-masing terdiri dari sel darah ginjal atau badan Malphigi dan tubulus. Ruang intertubular penuh dari jaringan limfoid yang terdistribusikan tidak merata. Ginjal bagian kepala umumnya terdiri dari limfoid, hematopoietik, interrenal dan jaringan chromaffin (supra renal), serta tubulus. Bermacam-macam variasi dalam jumlah, bentuk, dan ukuran sel-sel ginjal. Sel-sel ginjal besar jarang ditemukan. Ginjal ikan laut sebagian besar memiliki glomerulus dan sel ginjal yang kurang berkembang dengan baik, dan mungkin non-fungsional (Piska dan Naik 1992).

2.5 Anatomi Hati

(22)

(misalnya sintesis protein, penyimpanan metabolit, sekresi empedu, detoksifikasi, dan inaktivasi) yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan hidup. Hati akan menerima darah melalui vena portal atau arteri hepatik. Sebagian dari darah (70-80%) berasal dari vena portal yang membawa darah mengandung nutrisi dan akan diserap di dalam usus. Arteri hati merupakan sebuah cabang dari sumbu celiac yang beroksigen di dalam hati (Akiyoshi dan Inoue 2004).

Hati terletak di sisi rongga tubuh dorsal, berdekatan dengan tulang punggung, dengan beberapa meluas ke dasar sirip dada dekat ginjal anterior. Hati dikelilingi oleh kapsula jaringan ikat yang tipis, yaitu kapsula glisson, yang ditutupi oleh serosa hampir pada seluruh permukaannya. Di dalam kapsula glisson terdapat beberapa pembuluh darah kecil. Jaringan ikat membagi parenkim hati menjadi lobus, unit struktural yang disebut jaringan ikat portal atau jaringan ikat interlobular. Jaringan ikat mengelilingi portal triad, yaitu gabungan tiga saluran berisi cabang arteri hepatika, vena porta, dan duktus biliaris (Genesser 1994).

Gambar 4 Histologi hati dengan pewarnaan HE perbesaran 75x (Genesser 1994). Lobulus hati

Jaringan ikat portal

Vena sentralis

(23)

Gambar 5 Hati ikan normal, (*) hepatosit dengan sitoplasma granular, dan inti pusat yang berbentuk bulat (panah) skala bar 10 mm, H.E. (Camargo dan Martinez 2007).

Hati juga merupakan organ vital yang berfungsi sebagai detoksifikasi dan mensekresikan bahan kimia yang digunakan untuk proses pencernaan. Hati berperan penting dalam proses metabolisme dan transformasi bahan pencemar dari lingkungan. Dengan demikian hati merupakan organ yang paling banyak mengakumulasi zat toksik sehingga mudah terkena efek toksik. Sebagian zat toksik yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan. Adanya zat toksik akan mempengaruhi struktur histologi hati sehingga dapat mengakibatkan patologis hati seperti pembengkakan sel, rangkaian nekrosis atau bridging necrosis, degenarasi intralobular dan fokal nekrosis, fibrosis, serta cirrhosis

(Camargo dan Martinez 2007). 2.6 Histologi

(24)

Sajian histologi merupakan suatu irisan jaringan yang sangat tipis, yang cocok untuk dipelajari di bawah mikroskop cahaya atau mikroskop elektron. Sajian ini berfungsi sebagai pengamatan sesaat terhadap apa yang terjadi pada saat itu di dalam jaringan. Sajian yang akan diamati dengan mikroskop cahaya harus cukup tipis agar cukup ditembus cahaya dan menghindarkan tumpang tindih visual oleh berbagai unsurnya. Untuk mikroskopi cahaya biasanya sajian dibuat dengan teknik parafin (Cormack 1992).

Mikroteknik adalah ilmu yang mempelajari tentang pembuatan preparat. Setiap pembuatan preparat pada umumnya selalu dilakukan fiksasi terlebih dahulu. Fiksasi itu sendiri adalah suatu cara atau proses (metode) yang bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah fungsi dan struktur di dalam sel itu sendiri. Jika telah dilakukan fiksasi maka preparat yang dibuat akan menjadi lebih awet dan tahan lama (Kiernan 1990).

2.7Pemeriksaan Histologi

Histologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang organ atau bagian tubuh hewan atau tumbuhan secara cermat dan rinci. Upaya untuk mengamati, mempelajari serta meneliti jaringan-jaringan dari organisme tertentu dapat dilakukan dengan cara pembuatan spesimen atau preparat histologi. Menurut Davenport (1960) diacu dalam Gunarso (1986) penyiapan spesimen histologi secara umum dilakukan dengan 4 cara, yaitu:

(1) penyiapan preparat/spesimen secara keseluruhan (whole mount), yaitu pengamatan perkembangan embrio dan lain sebagainya;

(2) penyiapan spesimen dengan metode penyayatan (sectioning methods); (3) penyiapan dengan metode remasan (teasing/squashing methods); (4) penyiapan dengan menggunakan metode ulasan (smear methods).

(25)

substansi yang mampu mengeraskannya (Davenport 1960 diacu dalam Gunarso 1986).

Pembuatan preparat dengan metode parafin merupakan suatu metode yang paling umum digunakan. Metode ini banyak digunakan karena pembuatannya lebih mudah dan lebih cepat serta material kering dapat disimpan lebih lama (Kiernan 1990). Metode parafin adalah suatu cara pembutan sediaan baik tumbuhan ataupun hewan menggunakan parafin. Kelebihan metode ini ialah irisan jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin. Tebal irisan dengan metode beku rata-rata diatas 10 mikron, tetapi dengan metode parafin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6 mikron. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini. Kelemahan dari metode ini ialah jaringan menjadi keras, mengerut, dan mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan dengan menggunakan metode ini karena sebagian besar enzim-enzim yang terdapat pada jaringan akan larut (Kiernan 1990).

Langkah-langkah dalam teknik histologi secara manual adalah fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan, pewarnaan jaringan, serta pengamatan menggunakan mikroskop (Angka et al.

1990). Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi, clearing,

impregnasi dan embedding, blocking dan trimming, pemotongan, pewarnaan, dan perekatan jaringan.

Fiksasi merupakan tahap awal pembuatan preparat histologi yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi postmortem dari suatu jaringan atau organ. Selain itu, fiksasi akan membuat padat suatu jaringan lunak. Hal ini disebabkan karena bahan fiksatif akan mengkoagulasi protein dalam sel dan jaringan. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan sehingga jaringan tetap, seperti keadaan semula sewaktu hidup, serta memudahkan pemulasan atau pewarnaan jaringan yang akan dilakukan pada tahapan selanjutnya (Cormack 1992).

(26)

harus 15-20x volume jaringan yang akan difiksasi. Besarnya volume jaringan menentukan volume fiksasi yang diperlukan sedangkan tebal jaringan menentukan kecepatan fiksasi. Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis mikrotom yang akan digunakan, dan jenis cairan fiksasi yang akan digunakan bergantung kepada unsur jaringan yang akan didemonstrasikan dan kepada jenis pewarnaan yang akan digunakan. Untuk keperluan praktis, cairan fiksasi dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu micro-anatomical fixation, cytological fixatives, dan histochemical fixatives (Kiernan 1990).

Larutan fiksasi disebut fiksatif. Beberapa fiksatif yang dapat digunakan antara lain fiksatif Zenker, fiksatif Clarke’s, fiksatif Carnoys, Buffer Normal Formalin (BNF), fiksatif Alcohol-formalin-acetic mixtures, larutan Bouin’s, Larutan Helly’s, fiksatif Altmann’s, larutan Gendre’s dan fiksatif Heidenhain ‘s (Kiernan 1990). Formula fiksatif BNF adalah (Kiernan 1990):

Sodium phosphate

NaH2PO4.H2O : 4,0 g Na2HPO4 (anhidrid) : 6,5 g

Akuades : 900 ml

Formaldehid 37-40 % : 100 ml

(27)

Tabel 1 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet Larutan

Pengawet Kelebihan Kekurangan

Formalin Cairan pengawet umum, pH netral,

potongan jaringan dapat ditinggalkan dalam pengawet tanpa terjadi

perubahan berarti (sampai 1 tahun)

Waktu perendaman > 24 jam, terjadi pengerutan jaringan

Muller Daya penetrasi cepat dan baik,

memfiksasi nukleus dan sitoplasma dengan baik

Jika sampel direndam dalam pengawet (> 24 jam), jaringan menjadi rapuh, tidak dapat dipakai untuk pewarnaan dengan metode histokimia, harus dicuci dulu dengan air kran mengalir sebelum dilakukan dehidrasi

Bouin Daya penetrasi cepat dan merata tetapi

menyebabkan pengerutan, memberikan warna cemerlang bila diwarnai dengan

metode trichrome, sangat baik untuk

nukleus dan kromoson, warna kuning membuat jaringan mudah dilihat saat perendaman dan pengirisan jaringan

Bila direndam dalam pengawet (> 24 jam), jaringan menjadi rapuh, harus dicuci dulu dengan air kran untuk menghilangkan kelebihan pikrat

Zenker Formol (Cairan Helly)

Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat baik untuk fiksasi sumsum tulang, limpa dan organ lain yang banyak mengandung darah, warna sitoplasma menjadi lebih cemerlang

Pemaparan jaringan dalam larutan yang melebihi waktu yang ditentukan mengakibatkan jaringan rapuh

Sumber: Kiernan 1990

Proses dehidrasi dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan air atau menarik cairan yang ada dalam jaringan setelah proses fiksasi dan digantikan parafin. Kandungan air yang tinggi akan menghambat proses selanjutnya. Cairan dalam jaringan akan menyebabkan jaringan menjadi lunak, berisi lumen dan mudah rusak saat penyayatan (Sass 1951).

(28)

Angka et al (1990), Setelah dilakukan proses dehidrasi, air di dalam sel akan keluar. Bagian yang kosong akan terisi parafin agar jaringan terikat kuat dengan parafin. Alkohol tidak dapat melarutkan parafin, oleh sebab itu digunakan xylol yang dapat melarutkan parafin dan dapat bercampur dengan alkohol.

Impregnasi merupakan proses pemasukan medium tanam ke dalam jaringan secara bertahap. Medium yang digunakan untuk menanam adalah parafin.

Embedding adalah proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam jaringan. Proses ini berlangsung di dalam oven pada suhu 60 oC karena titik cair parafin pada suhu 54 oC-58 oC. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel sehingga jaringan lebih tahan saat dilakukan pemotongan (Angka et al. 1990). Pada suhu yang lebih tinggi dari titik cair parafin sisa-sisa dehidratant dan clearing agent akan lebih cepat menguap (Sastrohadinoto et al. 1973). Proses pembenaman ke dalam parafin membantu memudahkan pemotongan jaringan yang sangat tipis.

Jaringan yang telah dilakukan proses embedding menggunakan parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam (Angka et al. 1990).

Blok parafin dikeluarkan dari cetakan setelah mengeras dan ditriming menggunakan silet. Tujuan dilakukannya trimming yakni membuang parafin yang berlebihan, mengatur bentuk potongannya agar rapi dan agar dapat disesuaikan dengan tempat blok alat pemotong (Sastrohadinoto et al. 1973, Angka et al.

1990).

(29)

(1) Mikrotom geser (sliding mikrotome).

Pada alat ini, jaringan tetap berada pada tempatnya, sedang pisaunya yang bergerak. Pada umumnya jaringan yang akan dipotong dengan mikrotom geser adalah jaringan yang tanpa penanaman (embedding ) terlebih dulu. Jaringan yang akan diiris sebelumnya dapat diwarnai dengan pewarnaan tunggal, ataupun tanpa warna terlebih dahulu. Metode ini banyak dikerjakan untuk pengirisan jaringan tumbuh-tumbuhan.

(2) Mikrotom beku ( freezing microtome).

Alat ini dihubungkan dengan tabung berisi CO2 dingin, melalui suatu pipa karet. Mikrotom ini keadaannya sama dengan mikrotom geser yaitu jaringan tetap berada pada tempatnya sedangkan pisau mikrotomnya yang bergerak ke muka dan ke belakang. Fiksasi dapat dijalankan setelah pemotongan dan sebelum pewarnaan.

(3) Mikrotom putar (rotary microtome).

Mikrotom ini letak pisau tetap pada tempatnya, sedangkan jaringannya yang bergerak ke atas dan ke bawah. Hal inilah yang membedakan mikrotom ini dengan kedua jenis mikrotom di atas. Jenis mikrotom ini yang biasanya digunakan untuk pembuatan sediaan irisan dengan metode parafin.

Sayatan untuk jaringan keras dengan ketebalan 7-8 µm, sedangkan untuk jaringan lunak seperti daging, hati, ginjal dan lain-lain ketebalannya 5-6 µm. Pita parafin diletakkan di permukaan air hangat/waterbath (45 oC-50 oC). Hal ini bertujuan agar jaringan di dalam parafin teregang. Pita parafin diangkat dari permukaan air dengan menggunakan slide yang sebelumnya telah direndam di dalam metanol. Perendaman ini bertujuan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada slide. Preparat yang telah merekat pada slide dibiarkan hingga mengering.

(30)

Pewarnaan histologi pada umumnya menggunakan kombinasi hematoksilin dan eosin (HE). Hematoksilin dan eosin adalah metode pewarnaan yang berfungsi ganda. Pertama memungkinkan pengenalan komponen jaringan tertentu dengan cara memulasnya secara differensial. Kedua, dapat memulas dengan tingkat atau derajat warna berbeda yang menghasilkan kedalaman pulasan yang berbeda. Hematoksilin berasal dari ekstrak dari pohon yang diberi nama logwood tree. Pada pulasan H & E, kompleks warna hemaktosilin berwarna ungu tua. Pewarna eosin memberikan warna merah muda sampai merah pada komponen jaringan yang tidak terpulas ungu-biru oleh hemaktosilin. Hematoksilin bekerja sebagai pewarna basa. Zat ini mewarnai unsur basofilik pada jaringan. Eosin bersifat asam serta memulas komponen asidofilik pada jaringan (Cormack 1992).

Mounting adalah suatu proses perekatan sayatan jaringan pada kaca sediaan menggunakan bahan perekat (adhesive). Proses mounting dilakukan menggunakan

mounting media. Mounting media merupakan zat pengisi antara preparat yang telah diwarnai dengan kaca penutup. Terdapat dua jenis mounting media, yaitu dalam bentuk resin dan cairan. Resin media terdiri dari tiga tipe, yaitu alami, semi sintetis, dan sintetis sepenuhnya. Contoh resin media adalah Canada Balsam. Canada balsam merupakan mounting alami yang terdiri dari komponen volatil, yaitu resin yang merupakan cairan kental berwarna kuning dan meleleh ketika dipanaskan. Balsam yang dikeringkan akan berbentuk padat dan harus ditambahkan xylene sehingga dapat digunakan sebagai mounting media.

Komponen tak jenuh dalam resin membuat Canada balsam sebagai agen pereduksi ringan. Oleh karena itu, media Canada balsam dapat mempertahankan warna pada preparat awetan histologi lebih dari satu bulan atau satu tahun. Contoh

mounting media dalam bentuk cairan, antara lain Gliserol jelly, Buffer gliserol dengan PDD, fructose syrup,dan Apathy’s medium (Cormack 1992).

(31)

3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Agustus 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan; Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Histopatologi, Ruang Diskusi Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama berupa jeroan (usus, hati, dan ginjal) ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan bandeng yang diamati adalah ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi H2SO4 (MERCK p.a.), kjeltab Selenium (MERCK p.a.), NaOH (MERCK p.a.), H3BO3 (MERCK p.a.), n-heksana (MERCK p.a.), dan HCl (MERCK p.a.). Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan Buffer Normal Formalin (BNF) 10% (MERCK p.a.), Bouin’s 10% (MERCK p.a.), alkohol 50-100% (MERCK p.a.), xylol (MERCK p.a.), parafin (MERCK p.a.), hematoksilin (MERCK), eosin (MERCK),dan mounting agent (MERCK).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi soxhlet (SIBATA SB 6), tabung kjeldahl (PYREX), tanur pengabuan (Yamato FM 38), timbangan analitik (AND HF 400), oven (Yamato DV 40), cetakan yang terbuat dari kertas kalender, rotary mikrotom (Yamato Kohki LR-85), mikroskop cahaya (Olympus BH52), Microcular MD 130 Electron Eyepiece, serta kamera digital (Canon A495). Alat lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan uji organoleptik.

3.3 Metode Penelitian

(32)

berumur sekitar 4 bulan. Ikan tersebut diambil menggunakan pancing. Setelah ditangkap, ikan langsung dimatikan dengan cara menusuk kepala bagian medula oblongata. Sebagian ikan diambil jeroannya dan dilakukan uji proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat). Ikan lainnya disimpan pada suhu chilling (±5 ºC) selama 17 hari (sampai ikan busuk). Ikan yang disimpan tersebut dibuka dibagian perut dan dilakukan pengamatan organoleptik setiap hari. Pengujian organoleptik dilakukan menggunakan

[image:32.595.108.523.33.772.2]

scoresheet berdasarkan dinding perut dan jeroan ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No. 2 1973 diacu dalam Ilyas 1983). Pengamatan dan pembuatan preparat histologis dilakukan pada setiap fase kemunduran mutu (prerigor, rigor, postrigor, dan busuk). Pembuatan preparat histologis menggunakan metode parafin (Angka et al. 1990). Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir penelitian. Ikan bandeng

Dimatikan

Analisis proksimat

Penyimpanan pada suhu chilling

(±5 ºC) selama 17 hari

Prerigor Rigor Postrigor Busuk

Analisis histologi

(33)

3.3.1 Uji organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan menggunakan scoresheet berdasarkan dinding perut dan jeroan ikan segar (Laporan Penelitian Lembaga Teknologi Perikanan, No. 2 1973 diacu dalam Ilyas 1983) (Lampiran 1). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian kesegaran ikan yang bersifat subjektif dengan menggunakan indera yang ditujukan pada mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, tekstur, dan isi perut (jeroan) sampel ikan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh panelis untuk uji organoleptik (SNI 01-2346-2006), antara lain tertarik dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna (psikologis), tidak sedang merokok, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (panelis semi terlatih). Data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria :

Segar : nilai organoleptik berkisar 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar 1-3 3.3.2 Analisis proksimat

Analisis proksimat merupakan metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi pada suatu bahan. Analisis proksimat terhadap jeroan ikan bandeng meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference). Prosedur uji proksimat adalah sebagai berikut: (1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

(34)

sampai dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air jeroan ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

Keterangan :

A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) (2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebesar 5 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar abu jeroan ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

Keterangan :

A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram) (3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

(35)

dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak jeroan ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

Keterangan :

W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

(4) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi.

(a) Tahap destruksi

Jeroan ikan bandeng ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening .

(b) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml, air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl

red dan bromo cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml destilat dan berwarna hijau kebiruan.

(c) Tahap titrasi

(36)

(5) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2005)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat jeroan ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

Karbohidrat (%) = 100% - (% kadar air - % kadar abu - % kadar protein - % kadar lemak)

3.3.3 Pembuatan preparat

Menurut Angka et al. (1990), pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinisasi, pemotongan jaringan, serta pewarnaan jaringan (Lampiran 2).

(1) Fiksasi jaringan dan parafinisasi (a) Fiksasi

Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi postmortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan sehingga jaringan tetap seperti pada keadaan semula sewaktu hidup juga mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan fiksatif yang digunakan adalah larutan BNF 10%. Jaringan direndam dalam larutan fiksatif ini selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan.

(b) Dehidrasi

(37)

ditiriskan diatas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam dengan cara yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

(c) Clearing

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol dan sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang.

(d) Impregnasi

Selanjutnya dilakukan tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 oC. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

(e) Embedding

Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 oC. Titik cair parafin, yaitu 54 oC-58 oC. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan. Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II, parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

(f) Blocking

(38)

parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam.

(g) Trimming

Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu ditrimming menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.

(2) Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan mikrotom. Ketebalan sayatan, yaitu 4 mikrometer. Teknik pemotongan parafin yang menggandung preparat adalah sebagai berikut:

(a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom dan dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna.

(b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan, yaitu 4 mikrometer. (c) Blok preparat digarakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu blok preparat

dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengandung preparat jaringan. (d) Hasil irisan diambil dengan jarum lalu diletakkan di permukaan air hangat

dalam 45-50 oC waterbath hingga mengembang.

(e) Setelah pita parafin terkembang dengan baik, pita parafin ditempelkan pada gelas obyek yang telah diberi zat perekat seperti albumin dengan cara memasukkan kaca obyek itu ke dalam waterbath dan menggerakkannya ke arah pita parafin. Setelah merekat, gelas obyek digerakkan keluar dari

waterbath dengan hati-hati dan dibiarkan hingga mengering. (3) Pewarnaan jaringan

(a) Dewaxing

(39)

mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi panjang dengan ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas obyek. Jaringan pada gelas obyek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol 1 dan xylol II masing-masing 2 menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih.

(b) Hidrasi

Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas obyek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas obyek yang sebelumnya telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman, seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu, preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.

(c) Pewarnaan hemaktosilin-eosin

Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hemaktosilin-eosin. Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarnaan hemaktosilin selama 7 menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 7 menit untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci dengan akuades.

(d) Dehidrasi

Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90%, dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya. (e) Mounting

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent atau Canada Balsam. Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup dan dikeringkan selama 24 jam, kemudian diamati dibawah mikroskop.

3.3.4 Pemeriksaan preparat histologi

(40)
[image:40.595.92.458.110.711.2]

Micro Ocular MD 130 Electron Eyepiece. Diagram alir pembuatan preparat jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir pembuatan preparat jeroan (hati, ginjal, usus) ikan bandeng (Chanos chanos).

Pemotongan bagian jeroan (hati, ginjal, dan usus)

Fiksasi dengan larutan BNF 10%

Penjernihan (clearing) dengan alkohol-xylol (1:1) Dehidrasi dengan alkohol berseri

Impregnasi dengan xylol-parafin (1:1)

Pembenaman (embedding) dalam parafin

Perekatan jaringan dengan mounting agent

Pewarnaan hematoksilin-eosin Pelekatan pita parafin pada gelas obyek

Pemotongan dengan mikrotom

Trimming

Pengamatan dengan mikroskop Preparat awetan

(41)

3.4 Analisis Data

Analisis data dilakukan terhadap hasil pengukuran terhadap nilai organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) dan preparat histologis. Analisis hasil pengukuran organoleptik jeroan ikan bandeng dilakukan untuk mencari nilai rata-ratanya. Preparat histologi dianalisis untuk mengetahui gambaran jeroan ikan bandeng secara histologis.

3.4.1 Organoleptik

Hasil pengukuran terhadap nilai organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos chanos) dicari nilai rata-ratanya Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan rumus berikut (BSN 2006):

X=

Keterangan:

X : nilai rata-rata Xi : nilai X ke-i N : jumlah data

3.4.2 Histologi

(42)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal)

Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari areal tambak di daerah Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang-Banten. Ikan ini mempunyai ciri-ciri morfologi dengan bentuk tubuh ramping, badannya tertutup oleh sisik, jari-jari semuanya lunak dan sirip ekor panjang serta bercagak. Ikan bandeng yang digunakan dalam analisis ini adalah ikan bandeng segar dengan bobot rata-rata 200-250 gram.

Sampel ikan bandeng yang diperoleh kemudian dibersihkan dan dipreparasi untuk dipisahkan jeroannya (hati, ginjal, dan usus). Setelah itu, dilakukan analisis uji proksimat. Analisis proksimat jeroan ikan bandeng yang dilakukan pada penelitian ini meliputi penentuan kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference. Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng (Chanos chanos); A: kadar air; B: kadar protein; C: Kadar lemak; D : Kadar abu; E: kadar karbohidrat

(43)

kadar air dilakukan menggunakan metode oven dengan cara mengeluarkan air pada bahan dengan bantuan panas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar air 66,77%. Kadar air ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar air jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha), yakni sebesar 76,60% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, perbedaan hábitat, perbedaan jenis ikan, dan perbedaan jenis pakan.

Protein adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Di dalam tubuh, protein berfungsi sebagai bahan bakar, sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein terdiri dari asam amino yang mengandung unsur C, H, O, serta N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat (Winarno 2008). Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar protein sebesar 8,75%. Kadar protein ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha), yakni sebesar 18,61% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, perbedaan hábitat, perbedaan jenis ikan, dan perbedaan jenis pakan.

Analisis kadar lemak merupakan salah satu kunci analisis yang digunakan untuk pelabelan makanan dan penjamin mutu (Xiao 2010). Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar lemak sebesar 9,69%. Kadar lemak ini cukup tinggi, hal ini diduga disebabkan karena jeroan, seperti hati, berfungsi sebagai penimbun lemak dalam tubuh ikan (Geneser 1994).

(44)

perbedaan jenis pakan. Habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda menyebabkan penyerapan mineral yang berbeda terhadap organisme akuatik di dalamnya. Setiap jenis organisme memiliki kemampuan untuk meregulasi dan mengabsorbsi mineral yang berbeda-beda, sehingga hal tersebut akan memberikan pengaruh pada kadar abu jeroan masing-masing organisme. Hasil penelitian Bechtel dan Oliveira (2006) menunjukkan bahwa beberapa ikan cod di Alaska dengan spesies yang berbeda memiliki kadar abu yang berbeda pada jeroannya.

Karbohidrat memegang peranan penting di alam karena merupakan sumber energi utama. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar karbohidrat pada jeroan ikan bandeng dihitung dengan metode by difference. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode tersebut menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng mengandung karbohidrat sebesar 13,61%. Kadar karbohidrat yang terhitung diduga polisakarida yaitu glikogen. Hal ini disebabkan karena jeroan, seperti hati, menyerap glukosa dalam usus sesudah makan. Proses ini dilakukan oleh sel hepatosit dan dikonversi menjadi glikogen. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh ikan akan dicerna di dalam pencernaan hingga menjadi glukosa. Glukosa akan diserap oleh dinding usus dan kemudian masuk dalam darah. Glukosa yang dibawa dalam darah akan diambil oleh sel-sel pada tubuh organisme untuk meng-hasilkan energi melalui proses oksidasi (Hadim et al. 2003).

Glikogen terdapat dalam jumlah yang paling banyak dari karbohidrat yang terdapat pada ikan. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah (Cormack 1994).

4.2 Nilai Organoleptik Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal)

(45)

Ikan yang masih segar memiliki nilai organoleptik 9 dengan penampilan menarik, permukaan tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat, dan utuh. Mata ikan cerah, putih jernih. Insang tampak cerah dan tidak berlendir. Ikan masih lentur dan tekstur daging pejal, apabila ditekan cepat kembali. Ikan pada fase busuk memiliki nilai organoleptik 3-1 dengan ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning, insang berwarna merah coklat, lendir tebal. Bau busuk, tekstur daging lunak, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang.

Sumber-sumber pembusukan pada ikan terpusat pada tiga tempat, yaitu lendir pada jeroan, kulit, dan insang. Tiga daerah pusat pembusukan tersebut akan menyerang seluruh bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Jeroan mengandung jumlah bakteri dan enzim pembusuk lebih banyak dibandingkan insang dan kulit (Kim dan Mendis 2006). Nilai rata-rata organoleptik jeroan ikan bandeng disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Rata-rata nilai organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos chanos); : 0 jam; : 80 jam; : 228 jam; : 396 jam.

(46)

Fase prerigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 9 dengan ciri-ciri susunan organ-organ jeroan masih teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilat, lekat erat, dinding perut berwarna merah muda cemerlang. Fase rigormortis jeroan ikan bandeng dengan nilai organoleptik 7-8. Pada kondisi ini susunan jeroan masih teratur, belum ada kerusakan yang berarti namun mulai mengalami penurunan mutu seperti mulai munculnya lendir. Fase postrigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 5 dengan ciri-ciri susunan jeroan sudah tidak teratur, dinding lembek dan terjadi perubahan warna menjadi pucat. Fase busuk ditunjukkan dengan nilai organoleptik 3. Pada fase ini susunan organ berantakan, dinding perut lembek dan mudah rusak, bau amis sangat kuat, serta warna yang pucat. Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel jeroan yang disimpan pada suhu chilling masih layak digunakan sampai penyimpanan 17 hari (396 jam). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Wibowo dan Yunizal (1998), yang menyatakan bahwa ikan bandeng utuh yang disimpan dalam es pada kondisi kenyang mampu bertahan selama 11 hari.

4.3 Histologi Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) selama Periode Kemunduran Mutu

Jeroan ikan merupakan salah satu hasil samping proses pengolahan ikan yang bisa dimanfaatkan untuk industri pembuatan pakan ikan. Organ dalam atau jeroan ikan merupakan sumber alami enzim terbesar. Protease merupakan enzim yang terbesar dalam hasil perairan. Protease akan menghidrolisis ikatan peptida dan disebut proteinase atau peptidase tergantung keberadaan protein atau polipeptida. Sumber proteinase secara menyeluruh ada pada organ lambung, usus, dan hati (Feraro et al. 2010).

Ikan termasuk bahan yang mudah mengalami kemunduran mutu selama penyimpanan postmortem. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas enzim proteolitik baik pada otot maupun jaringan ikat (Wang et al. 2011). Mikrostruktur jeroan ikan bandeng mengalami perubahan selama fase kemunduran mutu. Penelitian ini mengamati mikrostruktur jeroan ikan bandeng diantaranya organ usus, hati, dan ginjal.

4.3.1Histologi usus ikan bandeng selama periode kemunduran mutu

(47)

mikrostruktur selama periode kemunduran mutu. Mikrostruktur usus ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 10-13.

d

e

a

c

b

Gambar 10 Penampang membujur usus ikan bandeng pada fase prerigor perbesaran 40x (H&E); tunika sub muskularis sirkular (a); tunika sub muskularis longitudinal (b); tunika submukosa (c); mukosa (d); epitel (e); lamina propia (panah kuning); tunika serosa (panah putih); vili intestinal (panah biru).

Gambar 11 Penampang membujur usus ikan bandeng fase rigormortis perbesaran 40x (H&E); jaringan merenggang (lingkaran a), deskuamasi pada epitel (lingkaran b), vili intestinal (panah).

a

[image:47.595.105.475.86.806.2]
(48)

Gambar 12 Penampang membujur usus ikan bandeng fase postrigor perbesaran 40x (H&E); jaringan merenggang dan sudah tidak jelas bagian-bagiannya (panah).

[image:48.595.141.471.110.334.2]
(49)

Gambar 14 Bakteri pembusuk pada fase busuk usus ikan bandeng perbesaran 1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk kokus (lingkaran kuning); bakteri berbentuk kokus, soliter (panah).

Fase prerigor ditandai dengan masih kompaknya jaringan-jaringan penyusun lapisan usus. Pada usus terdapat vili-vili (Gambar 10-panah biru) yang merupakan penonjolan mukosa yang terdiri atas jaringan ikat di bagian tengah dari lamina propia (Gambar 10-panah kuning) dan dibatasi epitel di permukaannya (Gambar 10-e). Mukosa dibatasi oleh sel epitel selapis kolumnar yang terdiri atas sel absorptif, sel goblet, sel paneth dan sel endokrin. Sel goblet tersebar tidak merata di antara sel-sel absorptif. Takasima dan Hibiya (1995) menyatakan bahwa dinding usus pada ikan hampir sama dengan dinding usus hewan vertebrata tingkat tinggi yang terdiri dari empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muscularis, dan serosa.

[image:49.595.117.481.84.364.2]
(50)

Fase rigormortis ditandai dengan susunan jeroan masih teratur dan pH menurun akibat akumulasi asam laktat. Selain itu, pada fase ini mulai terjadi

autolisis oleh enzim (Eskin 1990). Hasil pengamatan sajian histologi usus ikan bandeng pada fase rigormortis menunjukkan warna merah yang lebih pekat dibandingkan dengan fase prerigor. Hal ini diduga disebabkan karena jaringan ikan menyerap pewarna eosin secara dominan. Pewarna eosin akan mewarnai jaringan yang bersifat asam dan memberi warna merah muda sampai merah. Menurut Cormack (1992), warna yang dihasilkan dalam suatu pewarnaan histologis bergantung pada pH jaringan yang diwarnai. Jaringan yang ber pH asam memiliki lebih banyak ion yang bermuatan positif untuk menyerap eosin.

Hasil sajian histologi pada fase rigormortis juga menunjukkan mulai terlihatnya jaringan epitel yang rusak atau terputus (Gambar 11-lingkaran b). Selain itu juga terjadi perenggangan jaringan (Gambar 11-lingkaran a). Hal ini bisa disebabkan karena aktivitas enzim aspartic protease, yaitu pepsinogen. Enzim ini termasuk endopeptidase dan aktif pada pH rendah. Pepsin dihasilkan oleh mukosa usus (Kamil dan Shahidi 2001).

Fase postrigor ditandai dengan dihasilkannya senyawa amonia dari penguraian protein. Pada kondisi ini pH akan semakin naik dengan semakin banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003). Hasil sajian histologis menunjukkan bahwa usus pada fase postrigor mengalami degenerasi, dimana lapisan-lapisan dalam usus tidak tersusun rapi, tetapi bagian yang merenggang memperlihatkan material yang eosinofilik (Gambar 12). Lapisan memperlihatkan suatu penampilan homogen dan efektif terhadap pewarna eosin. Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan. Degradasi protein dapat disebabkan oleh enzim AcP (Acid phosphatase) yang terdapat dalam mukosa (Yang dan Lin2005).

(51)

ketebalan jaringan ikan semakin menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadinya proses nekrosis pada jaringan usus ikan. Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi ketika terdapat luka berat atau lama hingga suatu saat sel tidak bisa beradaptasi atau memperbaiki diri. Perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrotik secara umum dapat melibatkan sitoplasma, perubahan-perubahan sangat jelas terlihat dalam inti sel. Inti sel yang mengalami nekrosis akan menyusut, memiliki batas yang tidak teratur dan warna menjadi gelap. Proses ini dinamakan piknosis. Kemungkinan lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini disebut karioreksis. Pada beberapa keadaan, inti sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang, proses ini disebut kariolisis (Price dan Wilson 2006).

Pada fase busuk juga diduga terdapat bakteri pembusuk (Gambar 13-panah). Bakteri tersebut berbentuk kokus dan berwarna ungu pekat, serta membentuk koloni dan ada yang menyebar (soliter) (Gambar 14). Hubungan antara bakteri dan pewarna yang menonjol disebabkan terutama oleh adanya asam nukleat dalam jumlah besar dalam protoplasma sel. Muatan negatif dalam asam nukleat bakteri akan bereaksi dengan ion positif zat pewarna basa ( Volk dan Wheeler 1993). 4.3.2 Histologi hati ikan bandeng selama periode kemunduran mutu

Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat penimbun lemak. Selain itu hati juga berfungsi untuk menyimpan cadangan glikogen. Mikrostruktur hati ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling

(52)

b

a

Gambar 15 Penampang melintang hati ikan bandeng fase prerigor perbesaran 100x (H&E); sel hepatosit (lingkaran a); ruang kosong berbentuk bulat adalah lemak dan berbentuk tidak beraturan yaitu glikogen (lingkaran b).

Gambar 16 Penampang melintang hati ikan bandeng fase rigormortis perbesaran 100x (H&E); inti sel mengecil (panah); jaringan merenggang, inti sel berwarna lebih gelap (lingkaran a).

[image:52.595.106.491.64.811.2] [image:52.595.153.486.88.317.2]
(53)
[image:53.595.124.479.84.327.2]

Gambar 17 Penampang melintang hati ikan bandeng fase postrigor perbesaran 100x (H&E); sel mengalami pembengkakan (lingkaran); inti sel (panah).

Gambar 18 Penampang melintang hati ikan bandeng fase busuk perbesaran 100x (H&E); inti sel hepatosit menghilang atau kariolisis, bagian-bagian sel sudah tidak bisa dibedakan (lingkaran a), ruang-ruang kosong (panah); bakteri (lingkaran b).

a

b

[image:53.595.115.482.89.690.2]
(54)

Gambar 19 Bakteri pembusuk pada fase busuk hati ikan bandeng perbesaran 1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk kokus (lingkaran merah); bakteri berbentuk kokus, soliter (lingkaran kuning).

Fase prerigor merupakan tahap pertama dari postmortem. Peristiwa ini terjadi ketika jaringan otot yang mulai lembut dan lentur yang disebabkan karena proses biokimia yaitu penurunan tingkat ATP dan keratin fosfat, serta adanya proses glikolisis aktif. Glikolisis merupakan suatu proses konversi glikogen menjadi asam laktat, yang menyebabkan pH turun. Hewan dalam keadaan kenyang dan istirahat mempunyai cadangan glikogen yang besar, sehingga dalam keadaan postmortem daging yang dihasilkan memiliki pH rendah dibandingkan dengan daging hewan yang dihasilkan pada saat setelah disembelih (Eskin 1990).

Hati mempunyai lempengan sel-sel parenkim yang disebut sel hepatosit (Gambar 15-lingkaran a), dimana tersusun radier dari pembuluh-pembuluh kecil di tengah yaitu vena sentralis dan dipisahkan oleh sinusoid. Hati terutama terdiri dari bidang kompak, yaitu hepatosit. Hepatosit tersebar dengan pulau-pulau jaringan ikat yang terdapat saluran empedu dan pembuluh arteri . Beberapa lobulus hepar yang ditandai oleh jaringan ikat yang mengandung saluran-saluran empedu, portal, dan pembuluh arteri yang menyerupai saluran portal pada mamalia (Akiyoshi dan Inoue 2004).

(55)

sebagai ruang kosong dengan bentuk yang tidak beraturan, sedangkan lemak terlihat ruang kosong dengan bentuk bulat (Geneser 1994). Sel hepatosit memiliki dinding sel yang masih tampak utuh dan jelas pada fase prerigor hati ikan bandeng.

Hasil sajian histologi pada fase rigormortis menunjukkan mulai merenggangnya sel hepatosit serta bentuknya tidak beraturan (Gambar 16-lingkaran a). Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim urease yang terletak pada matrix peroksisome (Kamil dan Shahidi 2001). Selain itu, inti juga mengalami penyusutan dan berwarna gelap (Gambar 16-panah), proses ini dinamakan piknosis yang diduga disebabkan karena aktivitas enzim (Price dan Wilson 2006). Sitoplasma bersifat asidofil sehingga menyerap warna eosin (merah muda–merah). Hal ini disebabkan karena pada fase ini pH jaringan menjadi rendah akibat adanya penumpukan asam laktat.

Fase postrigor merupakan fase awal kebusukan ikan. Proses autolisis

berlangsung pada tahap postrigor. Autolisis terjadi disebabkan adanya enzim-enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan (Ocano-Higuera et al. 2009). Hasil sajian histologis pada fase postrigor menunjukkan bahwa terjadi proses piknosis dimana inti sel masih ada tetapi bangunan sel mulai hilang (Gambar 17). Inti berwarna ungu gelap yang menandakan bahwa inti bersifat basa karena kandungan asam nukleatnya banyak mengandung fosfat, sehingga terwarnai oleh pewarna hemaktosilin. Menurut Cormack (1992), pewarna hemaktosilin akan terikat pada muatan listrik negatif pada komponen basofilik, dan eosin terikat pada muatan listrik positif pada komponen bersifat asidofilik.

(56)

membrannya. Sel akan mengeluarkan materi sel keluar dan kemudian akan terjadi kematian sel (nekrosis).

Fase busuk merupakan

Gambar

Gambar 6 Diagram alir penelitian.
Gambar 7 Diagram alir pembuatan preparat jeroan (hati, ginjal, usus) ikan
Gambar 10 Penampang membujur usus ikan bandeng pada fase prerigor
Gambar 12 Penampang membujur usus ikan bandeng fase postrigor perbesaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat sejumlah faktor yang terkait dalam proses konstruksi sosial masyarakat Desa Gedangan terhadap larangan perkawinan gotong dalan tersebut, yaitu faktor internal dan

Prinsip kerja dari relai tersebut ialah mendeteksi adanya arus lebih yang melebihi nilai setting yang telah ditentukan, baik yang disebabkan oleh adanya gangguan

Jaya Mandiri Sukses Tanah Bumbu 35 Tahun

Berbagai indikator ekonomi diatas secara sederhana telah dapat menyatakan bahwa usaha produksi bata merah dari material sedimen spoil bank bendungan Sengguruh layak

Pada pelayanan pembuatan paspor yang dihadapi oleh Kantor Imigrasi Kelas I Semarang dalam melayani masyarakat kendala yang sering terjadi yaitu sistem untuk pengaplikasian

Puji Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN