• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Brand Wquity Kecap Korma Pada Konsumen Rumah Tangga (Studi Kasus Konsumen Kecap di Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Brand Wquity Kecap Korma Pada Konsumen Rumah Tangga (Studi Kasus Konsumen Kecap di Jakarta)"

Copied!
253
0
0

Teks penuh

(1)

BRAND EQUITY ANALYSIS OF

KORMA SOY SAUCE

ON HOUSEHOLDERS

(CASE STUDY OF SOY SAUCE CONSUMERS IN JAKARTA)

Eny Rohmayani and Lien Herlina

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 Bogor, West Java,

Indonesia.

email: enyrohmayani@yahoo.com

ABSTRACT

Korma is a soy sauce brand that develop 2 segments, householders and horeca (hotel, restaurant, and catering). This brand being a market leader in horeca and it is undirectly describing that Korma can be well accepted by the consumers. Therefore it is should be done a research to know how good is Korma soy sauce’s acceptance in householders with analyzing its brand equity (reputation) that built in the consumers’ mind, with knowing the brand awareness, brand association, perceived quality, and brand loyalty. The research will be done with distributing the questionaire to householders (housewives) in Jakarta. The data-processing result with descriptive analysis shows that most of the respondents are falling into brand recognition (36%) and unaware brand (31%) to the Korma. Then, the consumers who know and have consumed Korma said that it has competitive

advantages which are the taste is delicious, easy to sink, enough viscosity, and can improve the food’s delicacy. Besides, they also complained about Korma’s availability in the market. This data were

resulted by the Cochran analysis, Semantic Differential Scale, and Biplot analysis. And the last

Korma’s customers are having good enough brand loyalty level that relate with the amount of

committed buyer (60,87%). The marketing mix strategies that being suggested are maintaining the

attributes that already excellence in consumers’ mind (taste, vicosity, and easiness to sink), increasing

the product availability through small retailer that can directly interact with the householders, and increasing the word of mouth effect of using Korma through committed buyer.

(2)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Kecap adalah bumbu pelengkap yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam memasak, sehingga hal ini menjadikan ukuran pasar yang dapat digarap oleh produsen sangat besar. Selain itu, dari ukuran pasar yang besar juga menimbulkan variabilitas yang potensial memunculkan masalah untuk dicari solusinya. Banyaknya merek kecap yang diperjualbelikan saat ini, mulai dari skala lokal hingga nasional, pun menimbulkan persaingan yang kompetitif. Masing-masing merek saling berusaha menanamkan persepsi yang positif di benak konsumen. Hanya merek yang mampu memberikan nilai kepuasan terbaiklah yang akan dipilih oleh konsumen, atau dalam istilah pemasaran disebut sebagai merek yang berekuitas tinggi. Merek dengan reputasi yang tinggi maka memiliki ekuitas merek yang tinggi pula. Dengan demikian, merek memegang peran yang sangat penting bagi perusahaan sebab ekuitas merek yang tinggi akan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan. Semakin kuat ekuitas merek suatu produk, maka semakin kuat daya tariknya untuk menggiring konsumen mengonsumsi produk tersebut, yang pada akhirnya akan mengantar perusahaan meraup keuntungan dari waktu ke waktu.

Variabilitas dalam pasar kecap pun didukung oleh data dari PT. Korma Jaya Utama (PT. KJU, 2011) bahwa kebutuhan kecap secara nasional pada tahun 2010 adalah sebanyak 400 juta botol kecap/tahun, dimana 80%-nya disuplai oleh 3 merek kecap berskala nasional dan 20%-nya disuplai oleh lebih dari 100 merek kecap yang berskala lokal. Adapun dari sebanyak suplai kecap tersebut, 80%-nya diperuntukkan bagi segmen rumah tangga dan sisanya untuk segmen horeka (hotel, restoran, dan katering). Tampak bahwa salah satu variabilitas yang terjadi pada industri kecap adalah dari segi penggarapan segmen, dimana masing-masing segmen memiliki karakteristik yang khas.

Salah satu merek kecap yang berskala lokal adalah kecap Korma yang diproduksi oleh PT. KJU. Sejak awal pendirian usaha, PT. KJU menggarap 2 segmen sekaligus, yaitu rumah tangga dan horeka. Hal ini turut didukung oleh penciptaan produk kecap dengan berbagai varian rasa yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing segmen. Seiring dengan berjalannya kegiatan usaha, ternyata perusahaan lebih mampu menggarap segmen horeka dengan lebih baik dibanding segmen rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan riset internal perusahaan yang menyimpulkan bahwa mayoritas pedagang sate madura di Jabodetabek menggunakan kecap Korma sebagai bahan baku utama. Para pedagang di segmen tersebut mengakui bahwa Korma merupakan market leader kecap untuk segmen tersebut, hal ini terkait dengan cocoknya rasa kecap Korma dengan kualitas masakan yang dihasilkan yang menyebabkan kelanggengan konsumen akan produknya. Lain halnya dengan segmen rumah tangga yang hingga kini belum memperlihatkan penerimaan yang baik terhadap kecap Korma. Masih kurangnya tingkat penggunaan Korma di segmen tersebut menandakan bahwa reputasi merek Korma yang tertanam di benak konsumen masih belum baik. Padahal penerimaan yang baik di segmen horeka secara tidak langsung menggambarkan bahwa kecap Korma memiliki penerimaan yang bagus di konsumen secara luas. Hal ini seakan menjadi tiket emas bagi Korma untuk dapat menggarap segmen rumah tangga dengan lebih baik.

(3)

2

yang tertanam di benak konsumen rumah tangga. Ekuitas merek kecap Korma akan diketahui dengan melakukan analisis terhadap 4 elemennya, yaitu kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas (perceived quality), dan kesetiaan merek (brand loyalty). Keempat analisis ini akan dilakukan terhadap konsumen rumah tangga yang hingga kini belum menunjukkan penerimaan yang baik terhadap kecap Korma. Hasil dari analisis ke-4 elemen ekuitas merek ini akan dijadikan dasar dalam merumuskan bauran pemasaran yang sebaiknya dilakukan oleh perusahaan supaya mendapatkan penerimaan yang lebih baik di segmen rumah tangga.

1.2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis karakteristik konsumen rumah tangga yang menjadi responden penelitian mengenai Kecap Korma.

2. Menganalisis posisi tingkatan brand awareness (kesadaran merek) dan brand loyalty (kesetiaan merek) konsumen rumah tangga terhadap Kecap Korma.

3. Mengidentifikasi keunggulan bersaing dan kelemahan Kecap Korma di mata konsumen rumah tangga melalui analisis terhadap perceived quality (kesan kualitas) dan brand association (asosiasi merek).

4. Merumuskan masukan bauran pemasaran terhadap Kecap Korma dalam rangka memperbaiki ekuitas mereknya pada segmen rumah tangga.

1.3

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan sumber data berupa data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan penyebaran kuesioner terhadap konsumen kecap yang merupakan ibu rumah tangga di wilayah Jakarta dan juga melalui wawancara dengan manajemen PT. Korma Jaya Utama. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan bersumber pada data-data perusahaan dan sumber literatur lain yang relevan. Penyebaran kuesioner akan dilakukan di daerah-daerah yang merupakan rekomendasi perusahaan dan merupakan daerah distribusi yang sudah baik. Hal yang akan dikaji melalui kuesioner adalah karakteristik konsumen kecap, posisi tingkatan brand awareness dan brand loyalty Kecap Korma, keunggulan bersaing Kecap Korma di kalangan konsumen rumah tangga dengan menganalisis perceived quality dan brand association-nya. Dan pada akhirnya akan dirumuskan masukan bauran pemasaran yang sebaiknya diterapkan produsen supaya meningkatkan brand awareness Kecap Korma di kalangan konsumen rumah tangga.

1.4

Manfaat Penelitian

(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Brand Equity

Definisi brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama, dan simbolnya yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu barang atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan (Aaker dalam Durianto et al., 2004). Agar aset dan liabilitas mendasari ekuitas merek, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan dengan nama atau sebuah simbol. Dengan demikian, jika dilakukan perubahan terhadap nama dan simbol merek, maka beberapa atau semua aset dan liabilitas yang menjadi dasar ekuitas merek akan berubah pula.

Menurut Kotler dan Keller (2009), ekuitas merek atau brand equity adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Nilai ini bisa dicerminkan dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak terhadap merek, serta dalam harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang dimiliki perusahaan. Sedangkan Kertajaya dalam Handayani et al. (2010) mendefinisikan ekuitas merek sebagai aset yang menciptakan value bagi pelanggan dengan meningkatkan kepuasan dan menghargai kualitas.

Menurut Aaker (1997), brand equity dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori, yaitu: 1. Brand awareness

Brand awareness menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali dan mengingat kembali suatu merek, sebagai bagian dari suatu produk tertentu.

2. Brand association

Brand association adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek.

3. Perceived quality

Perceived quality adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan mutu atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan apa yang diharapkan pelanggan. 4. Brand loyalty

Brand loyalty merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. 5. Other proprietary brand assets (aset-aset merek lainnya)

Aset-aset merek lainnya akan sangat bernilai jika aset-aset tersebut berhasil menghalangi dan mencegah kompetitor menggerogoti loyalitas konsumen. Aset-aset lainnya seperti paten, cap dagang, dan saluran hubungan.

(5)

4

Gambar 1. Konsep brand equity (Aaker, 1997)

Brand awareness (Kesadaran Merek)

Kesadaran merek diartikan sebagai kesanggupan calon pembeli untuk mengenali dan mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari produk tertentu (Aaker dalam Durianto et al., 2004). Kesadaran merek membutuhkan jangkauan kontinu dari perasaan yang tidak pasti bahwa produk tersebut, merek dalam suatu kelompok produk. Kesadaran merek bukan hanya menyangkut apakah konsumen mengetahui nama merek dan pernah melihatnya, namun berkaitan pula dengan mengaitkan merek (nama merek, logo, simbol, dan sebagainya) (Tjiptono, 2005).

Kesadaran merek dapat dibagi menjadi 4 tingkatan, yakni: 1. Tidak menyadari merek (unaware brand)

Tingkat ini merupakan tingkat yang paling rendah dalam kesadaran merek. Pada posisi ini, konsumen sama sekali tidak menyadari keberadaan merek suatu produk. 2. Pengenalan merek (brand recognition)

Pada tingkat ini, konsumen mengenal merek produk namun diperlukan bantuan untuk mengingatnya.

3. Pengingatan kembali merek (brand recall)

Tingkat pengingatan kembali merek didasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan.

4. Puncak pikiran (top of mind)

Pada tingkat ini konsumen menyebutkan merek yang pertama kali diingatnya ketika ditanyakan merek dalam suatu kelas produk tertentu. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada di benak konsumen. Umumnya konsumen akan lebih mudah mengingat 2 jenis merek, yaitu merek yang disukai atau merek yang dibenci, namun konsumen cenderung untuk mengingat merek yang sering atau pernah digunakan. Maka dari itu, merek yang memiliki nilai top of mind paling tinggi memiliki peluang yang paling tinggi pula untuk dipilih konsumen dalam pembelian.

Perceived quality

Brand loyalty

Brand awareness Brand association

Other proprietary brand assets Brand equity

Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat: 1. Interpretasi/proses informasi 2. Rasa percaya diri dalam

pembelian

3. Pencapaian kepuasan dari pelanggan

Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat: 1. Efisiensi dan efektivitas program

pemasaran 2. Brand loyalty 3. Harga/laba 4. Perluasan merek

(6)

5

Namun keadaan yang ideal bagi suatu merek di mata konsumen tidak hanya tergantung pada nilai top of mind saja, tetapi juga bentuk grafik kesadaran mereknya. Dimana kondisi pengingatan merek terbaik akan menghasilkan bentuk grafik yang cenderung menurun mulai dari jumlah top of mind hingga unaware brand. Hal ini berarti bahwa sebagian besar konsumen lebih banyak berada pada tingkatan kesadaran top of mind, dan semakin ke tingkatan kesadaran merek di bawahnya maka jumlahnya semakin berkurang.

Durianto et al. (2004) mengemukakan bahwa peran brand awareness terhadap brand equity dapat dipahami dengan membahas bagaimana brand awareness menciptakan suatu nilai. Penciptaan nilai ini dapat dilakukan paling sedikit dengan 4 cara:

1. Anchor to which other association can be attached

Suatu merek dapat digambarkan sebagai sebuah jangkar dengan beberapa rantai. Rantai menggambarkan asosiasi dari merek tersebut.

2. Familiarity-liking

Dengan mengenal merek akan menimbulkan rasa biasa terutama untuk produk-produk yang sifatnya low involvement (keterlibatan rendah), misalnya pasta gigi, tissue, dan lain-lain. Suatu kebiasaan dapat menimbulkan ketertarikan dan kesukaan yang kadang-kadang dapat menjadi suatu pendorong dalam membuat keputusan. 3. Substance/commitment

Kesadaran akan nama dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan ini yang sangat penting bagi suatu perusahaan. Secara logika, suatu nama dikenal karena beberapa alasan mungkin karena program iklan perusahaan yang intensif, jaringan distribusi yang luas, ekstensif yang sudah lama dalam industri, dan sebagainya. Jika kualitas 2 merek sama, brand awareness akan menjadi faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan pembelian.

4. Brand to consider

Langkah pertama dalam suatu proses pembelian adalah menyeleksi dari suatu kelompok merek-merek yang dikenal untuk dipertimbangkan merek mana yang akan dibeli. Merek yang memiliki posisi top of mind yang paling tinggi mempunyai nilai yang tinggi pula. Jika suatu merek tidak tersimpan dalam ingatan, maka merek tersebut tidak dipertimbangkan dalam benak konsumen. Biasanya merek-merek yang disimpan dalam benak konsumen adalah merek yang disukai atau dibenci. Agar brand awareness dapat dicapai dan diperbaiki, ada 6 cara yang bisa dilakukan, yakni:

1. Pesan yang disampaikan harus mudah diingat dan tampil beda dibandingkan dengan lainnya serta harus ada hubungan antara merek dengan kategori produknya.

2. Memakai slogan atau jingle lagu yang menarik sehingga membantu konsumen untuk mengingat merek.

3. Jika produk memiliki simbol, hendaknya simbol yang dipakai dapat dihubungkan dengan mereknya.

4. Perluasan nama merek yang dapat dipakai agar merek semakin layak diingat pelanggan.

5. Brand awareness dapat diperkuat dengan memakai suatu isyarat yang sesuai dengan kategori produk, merek, ataupun keduanya.

(7)

6

Perceived Quality (Kesan Kualitas)

Kesan kualitas (perceived quality) adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan mutu atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan (Aaker, 1997). Menurut Gravin dalam Umar (2005), terdapat 8 dimensi yang bisa digunakan untuk menentukan kualitas barang, yakni:

1. Performance, yaitu berkaitan dengan aspek fungsional suatu barang dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan dalam membeli suatu produk. 2. Features, yaitu aspek performansi yang berguna menambah fungsi dasar.

3. Reliability, yaitu hal yang berkaitan dengan kemungkinan suatu produk berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode waktu tertentu.

4. Conformance, yaitu kesesuaian antara spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.

5. Durability, yaitu daya tahan atau masa pakai barang.

6. Serviceability, yaitu karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, kompetensi, kemudahan, dan akurasi dalam memberikan layanan untuk perbaikan barang. 7. Aesthetics, yaitu karakteristik yang bersifat subyektif mengenai nilai-nilai estetika. 8. Fit and finish, yaitu sifat subyektif yang berkaitan dengan perasaan pelanggan

mengenai keberadaan produk tersebut sebagai produk yang berkualitas.

Berbagai hal yang harus diperhatikan dalam membangun perceived quality, antara lain (Aaker, 1997):

1. Komitmen terhadap kualitas

Perusahaan harus memiliki komitmen yang tinggi untuk memproduksi barang dan jasa dengan kualitas terbaik serta senantiasa memeliharanya secara terus menerus. Upaya memelihara kualitas bukan hanya basa basi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi.

2. Budaya kualitas

Komitmen kualitas harus tercermin dalam budaya perusahaan, norma perilaku, dan nilai-nilai. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan kualitas dan biaya, maka kualitas yang harus dimenangkan.

3. Informasi masukan dari pelanggan

Dalam membangun perceived quality, pelangganlah yang mendefinisikan kualitas. Seringkali pimpinan perusahaan keliru dalam memperkirakan hal yang dianggap penting oleh pelanggan.

4. Sasaran/standar yang jelas

Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum, sebab sasaran kualitas yang terlalu umum cenderung menjadi tidak bermanfaat. Kualitas juga harus memiliki standar yang jelas, dapat dipahami, dan diprioritaskan. Terlalu banyak sasaran tanpa prioritas, maka sama saja dengan tidak mempunyai sasaran yang fokus yang pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perusahaan itu sendiri.

5. Kembangkan karyawan yang inisiatif

Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan untuk berinisiatif serta dilibatkan dalam mencari solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi perusahaan dengan pemikiran yang kreatif dan inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas layanan.

(8)

7

1. Alasan untuk membeli

Persepsi mutu sebuah merek memberi alasan yang penting untuk membeli. Hal ini mempengaruhi merek-merek mana yang harus dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih. Selain itu keterbatasan uang dan waktu membuat keputusan pembelian seorang pelanggan sangat dipengaruhi oleh perceived quality yang ada di benak konsumen.

2. Diferensiasi atau posisi dan harga premium

Salah satu karakteristik yang penting dari merek produk adalah posisinya dalam dimensi perceived quality, apakah merek tersebut merupakan yang terbaik? Atau sama baiknya dengan merek lain? Apakah merek tersebut ekonomis? Selain itu dengan perceived quality yang terbangun di benak konsumen, maka produsen dapat menentukan harga premium yang dapat meningkatkan laba yang secara langsung dapat meningkatkan profitabilitas.

3. Perluasan saluran distribusi

Dengan tingginya nilai perceived quality yang dimiliki oleh suatu merek produk, maka para pengecer dan distributor akan termotivasi untuk menjadi penyalurnya. Dengan begitu jalur distribusi akan semakin luas dan kuat. Dengan citra menyalurkan produk berkualitas, distributor dapat menawarkan harga yang menarik dan dapat menguasai niaga distribusi.

4. Perluasan merek

Suatu merek produk dengan perceived quality yang kuat dapat dieksploitasi ke arah perluasan merek. Produk dengan perceived quality yang kuat akan mempunyai kemungkinan sukses lebih besar dibanding dengan yang lemah, sehingga perluasan dari merek dengan perceived quality yang kuat memungkinkan perolehan pangsa pasar yang lebih besar pula.

Brand association (Asosiasi Merek)

Menurut Aaker (1997), brand association adalah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Sedangkan menurut Durianto et al. (2004), brand association adalah segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Kesan-kesan yang terkait pada suatu merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam menggunakan suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasinya.

Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai, sehingga membentuk citra tentang merek atau brand image di dalam benak konsumen. Secara sederhana, definisi brand image adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk di benak konsumen. Menurut Aaker dalam Durianto et al. (2004), fungsi dari brand association adalah:

1. Membantu proses penyusunan informasi.

2. Memberikan landasan penting bagi upaya pembedaan suatu merek dengan merek lainnya.

3. Membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.

(9)

8

5. Menjadi dasar bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian (sense of fit) antara merek dengan sebuah produk baru.

Menurut Durianto et al. (2004), terdapat beberapa acuan dalam penentuan brand association, yakni:

1. Atribut produk

Mengasosiasikan atribut atau karakteristik produk merupakan strategi positioning yang sering digunakan. Mengembangkan asosiasi akan bermanfaat dan efektif apabila atribut tersebut bermakna, atau dengan kata lain asosiasi dapat secara langsung menerjemahkan alasan apa yang membuat konsumen membeli produk tersebut.

2. Atribut tidak berwujud

Faktor yang tidak berwujud merupakan hal yang umum, seperti kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan nilai yang menyimpulkan serangkaian atribut yang obyektif. 3. Manfaat bagi pelanggan

Manfaat bagi pelanggan dapat dibagi menjadi 2, yaitu rational benefits dan psychological benefits. Manfaat rasional berkaitan dengan atribut produk yang dapat menjadi bagian dalam pengambilan keputusan yang rasional. Sedangkan manfaat psikologis seringkali merupakan konsekuensi ekstrim dalam proses pembentukkan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut.

4. Harga relatif

Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua tingkat dari harga.

5. Penggunaan

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.

6. Pengguna/pelanggan

Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pengguna atau pelanggan dari merek tersebut.

7. Orang terkenal/khalayak

Mengaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi yang kuat yang dimiliki orang terkenal ke merek tersebut.

8. Gaya hidup/kepribadian

Asosiasi sebuah merek dengan gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama.

9. Kelas produk

Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. 10. Para pesaing

Mengetahui pesaing dan berusaha atau bahkan mengungguli pesaing. 11. Negara/wilayah geografis

(10)

9

Brand Loyalty (Loyalitas Merek)

Menurut Rangkuti (2002), kesetiaan merek adalah ukuran dari kesetiaan pelanggan kepada suatu merek. Loyalitas merek merupakan gagasan sentral dalam pemasaran, karena merupakan satu ukuran keterkaitan seorang pelanggan dengan sebuah merek. Apabila loyalitas pelanggan meningkat, maka kerentanan kelompok pelanggan dari serangan pesaing dapat dikurangi.

Menurut Aaker (1997), kesetiaan merek terdiri dari 5 tingkatan, yakni: 1. Berpindah-pindah (switcher)

Pelanggan yang berada pada posisi ini dapat dikatan sebagai pelanggan yang berada pada tingkatan kesetiaan merek yang paling dasar. Semakin sering pelanggan menindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek lainnya, mengindikasikan bahwa pelanggan tersebut tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Ciri pelanggan yang berada pada tingkatan ini adalah pelanggan yang membeli suatu produk karena harganya yang murah.

2. Pembeli yang bersifat kebiasaan (habitual buyer)

Pembeli yang berada pada tingkatan kesetiaan ini dikatakan sebagai pembeli yang melakukan pembelian terhadap merek tertentu sebagai suatu kebiasaan.

3. Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (satisfied buyer)

Pembeli yang masuk ke dalam kategori ini adalah pembeli yang puas bila dapat mengonsumsi merek tersebut, meski demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan merek) yang terkait dengan waktu, uang, tenaga, atau risiko kerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek.

4. Menyukai merek (liking the brand)

Pembeli yang masuk ke dalam kategori ini adalah pembeli yang benar-benar menyukai merek tersebut. Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi ataupun oleh kerabatnya atau mungkin juga karena perceived quality yang tinggi.

5. Pembeli yang komit (committed buyer)

Pembeli yang berada pada tingkatan ini merupakan pembeli yang setia, yaitu pembeli yang memiliki kebanggaan dengan menggunakan suatu merek tertentu. Merek tersebut menjadi sangat penting, dipandang dari segi fungsi maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya pembeli. Pada tingkatan ini salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan dengan tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.

Brand loyalty dapat menjadi suatu aset yang strategis bagi perusahaan apabila dikelola dengan baik. Potensi-potensi tersebut menurut Durianto et al. (2004) antara lain adalah:

1. Mengurangi biaya pemasaran

Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih murah biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan pelanggan bila dibandingkan dengan biaya menarik pelanggan yang baru. Sehingga, brand loyalty yang meningkat akan berbanding terbalik dengan biaya pemasaran yang perlu dikeluarkan.

(11)

10

Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara perdagangan.

3. Menarik minat pelanggan baru

Banyaknya pelanggan yang merasa puas dan setia terhadap suatu merek merupakan daya tarik tertentu bagi calon pelanggan baru untuk mengonsumsi merek produk tersebut terutama jika pembelian yang mereka lakukan mengandung risiko tinggi. 4. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing

Brand loyalty akan memberi waktu bagi sebuah perusahaan untuk merespon gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersebut untuk memperbarui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisirkannya.

2.2

Merek

Menurut AMA (American Marketing Association) seperti yang dikutip Kotler dan Keller (2009) menyatakan bahwa merek adalah sebuah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa penjual atau kelompok penjual, dan untuk mendiferensiasikannya dari barang atau jasa pesaing.

Definisi merek juga diatur oleh peraturan perundangan Indonesia, yaitu UU Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Berdasarkan 2 definisi merek tersebut dapat disimpulkan bahwa merek merupakan sebuah sistem yang terdiri dari nama, istilah, disain, lambang, simbol atau kombinasi semuanya yang membawa konsumen pada sebuah imajinasi atau proses simbolik yang berkontribusi pada nilai yang tampak produk dan mengidentifikasikan barang atau jasa yang ditawarkan penjual untuk membedakannya dari pesaing.

Merek merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan fitur, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek terbaik akan memberikan jaminan mutu. Menurut Kotler (2003), merek dapat memiliki 6 tingkatan pengertian, yakni:

1. Atribut: merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.

2. Manfaat: suatu merek merupakan kumpulan lebih dari serangkaian atribut. 3. Nilai: merek menyertakan sesuatu tentang nilai produsen.

4. Budaya: merek dapat mewakili budaya tertentu.

5. Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu.

6. Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.

Dalam sebuah merek terdapat nilai-nilai yang mendukung merek produk. Menurut Aaker (1997), setiap merek mengandung 3 nilai, yakni:

1. Nilai fungsional

Nilai atribut produk yang mengutamakan kegunaan/utility kepada konsumen. 2. Nilai emosional

Nilai atribut produk yang melibatkan emosi pembeli atau pemakai dalam menawarkan produk.

3. Nilai ekspresi diri

(12)

11

Salah satu peranan penting merek adalah menjembatani harapan konsumen pada saat produsen menjanjikan sesuatu pada konsumen. Dengan demikian, dapat diketahui adanya ikatan emosional yang tercipta antara konsumen dengan perusahaan penghasil produk melalui merek. Pesaing dapat menawarkan produk yang mirip, namun tidak dapat menawarkan janji emosional yang sama. Di sinilah sebenarnya perbedaan yang terjadi antara produk dengan merek. Produk adalah sesuatu yang dibuat di pabrik, sedangkan merek adalah sesuatu yang dibeli konsumen namun memiliki identitas khusus. Produk dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing, namun merek memiliki keunikan, identitas, dan ekuitasnya masing-masing (Durianto et al., 2004).

Menurut Keller dalam Tjiptono (2005), merek akan memberikan manfaat pada produsen sebagai sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produknya dari pesaing. Merek juga merupakan sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas konsumen, dan citra unik yang terbentuk dalam benak konsumen. Merek sebagai cerminan nilai yang diberikan perusahaan kepada pelanggan. Merek merupakan janji penjual kepada pembeli mengenai manfaat dan keistimewaan produk. Janji yang terkandung dalam merek akan menjadikan konsumen setia pada produk tersebut, bila benar-benar diwujudkan oleh produsen (Aaker, 1997).

Menurut Doyle dalam Tjiptono (2005), kunci utama untuk membangun merek adalah kualitas layanan, inovasi, dan diferensiasi. Merek yang sukses adalah nama, simbol, disain, atau kombinasi di antaranya yang mengidentifikasi produk organisasi tertentu dengan keunggulan diferensial berkesinambungan. Kriteria utamanya adalah:

1. Keunggulan diferensial yang membuat pelanggan lebih menyukai merek tertentu dibanding merek lainnya.

2. Berkesinambungan yang berarti tidak mudah ditiru sehingga menciptakan hambatan masuk dengan menciptakan citra unik dan kokoh dalam kualitas, layanan, dan reliabilitas.

2.3 Kecap

Kecap adalah cairan yang berwarna coklat hingga hitam agak kental, mempunyai aroma yang sedap dan merupakan hasil fermentasi kedelai. Kecap kedelai merupakan produk fermentasi kedelai yang kaya flavour, baik flavour dari komponen volatil maupun flavour dari komponen non volatil (Suliantri dan Winiati, 1990). Menurut Fukushima (2003), secara umum pembuatan kecap dapat digolongkan menjadi 2 cara, yaitu fermentasi dan kimiawi.

Pembuatan kecap secara kimiawi adalah melalui hidrolisis protein dan karbohidrat pada bahan baku dengan menggunakan HCl, dengan proses yang berlangsung dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah. Kecap jenis ini kurang lengkap komposisinya bila dibandingkan dengan kecap jenis fermentasi. Sebab kecap ini hanya merupakan larutan garam dan asam-asam amino saja, sedangkan komponen pembentuk citarasa, seperti peptida, alkohol, ester, dan komponen lainnya tidak ada. Pembuatan kecap secara hidrolisis menggunakan asam memang unggul dalam hal waktu proses yang singkat dan biaya yang murah, namun cara ini juga memiliki kekurangan, yaitu selama proses dihasilkan produk sampingan yang sifatnya karsinogen dan juga asam amino triptofan rusak selama proses.

(13)

12

Proses pembuatan kecap secara fermentasi dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Gambar 2. Diagram alir pembuatan kecap dari kedelai (Sumber: Margono et al., 2000)

Fermentasi terjadi sebanyak 2 kali, yaitu fermentasi kapang dan fermentasi dalam larutan garam. Fermentasi kapang terjadi dengan bantuan beberapa mikroba, yaitu Aspergillus oryzae, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, dan Ryzophus oligosphorus. Sedangkan fermentasi dalam larutan garam dibantu oleh beberapa jenis khamir dan bakteri, antara lain Zygosacharomyces dan Hansenula (khamir) dan Lactobacillus (bakteri) (Koswara, 1992). Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan kecap adalah kedelai hitam. Berdasarkan pada rasa dan kadar air, kecap dibagi menjadi 3 jenis, yaitu kecap manis, kecap asin, dan kecap manis-asin (sweet-salty). Dengan rasa dan aroma yang khas, kecap banyak digunakan sebagai saos maupun bumbu masakan. Di Indonesia dikenal berbagai macam kecap kedelai, kedelai hitam termasuk dalam keluarga Leguminoceae, atau taksonominya secara lengkap adalah sebagai berikut (Rukmana, 1996):

Kingdom : Planteae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Polypitales

Family : Leguminoseae (Papilionaseae) Subfamili : Papilionoideae

(14)

13

Species : Glycine max L Merril (kedelai kuning), Glycine soja (kedelai hitam) Kedelai sebagai bahan baku utama pembuatan kecap mengandung banyak zat gizi yang berguna bagi kesehatan tubuh manusia, diantaranya sebagai berikut:

Tabel 1. Kandungan gizi dalam 100 gram kedelai No. Zat Gizi Kandungan Gizi

1. Energi 86 kalori

2. Air 57,4 gram

3. Protein 5,5 gram 4. Lemak 0,6 gram 5. Karbohidrat 15,1 gram 6. Serat 0,6 gram

7. Abu 21,4 gram

8. Kalsium 85 gram

9. Besi 4,4 gram

10. Vitamin B1 0,04 gram 11. Vitamin B2 0,17 gram

Sumber: Direktorat Gizi Dept. Kesehatan RI dalam Santoso (1994)

Kedelai mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi dengan komposisi asam amino esensial yang cukup seperti tercantum dalam tabel 2.

Tabel 2. Kandungan asam amino yang terdapat dalam kecap

Jenis Jumlah

(mg/100 g N total)

Jenis Jumlah (mg/100 g N total)

Nitrogen 5990 Validin 291

Isoleusin 290 Arginin 428

Leusin 4949 Histidin 168

Lisin 391 Alanin 279

Metionin 84 Asam aspartat 728

Sistein 81 Asam glutamat 1185

Fenilalanin 341 Glisin 259

Treonin 247 Prolin 332

Triptofan 76 Serin 309

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi (1985)

(15)

14

kecap, namun kandungan nitrogen tetap merupakan hal yang mendasar dalam standar kualitas. Kualitas kecap juga ditentukan oleh rasio nitrogen terlarut terhadap nitrogen total dapat menunjukkan tingkat konversi protein yang berhasil dipecah menjadi peptida terlarut dan asam amino. Asam amino yang dihasilkan tersebut sangat berperan dalam pembentukan flavor kecap (Judoamidjojo, 1989).

2.4 Pemasaran dan Strategi Pemasaran

Dengan semakin berkembangnya kondisi pasar, baik konsumen sendiri maupun persaingan yang ada di dalamnya, maka diperlukan suatu definisi pemasaran yang tepat untuk dianut oleh para pemasar sehingga produknya dapat memenangkan pasar (market leader). American Marketing Association/AMA (2004), mendefinisikan pemasaran sebagai kegiatan, seperangkat institusi, dan proses untuk membuat, berkomunikasi, memberikan, dan persembahan bertukar yang memiliki nilai bagi pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat pada umumnya. Menurut Drucker (1973), pemasaran meliputi penilaian kebutuhan (need assessment), riset pemasaran (marketing research), pengembangan produk (product development), penetapan harga (pricing), dan distribusi (distribution).

Kotler (1991) mendefinisikan strategi pemasaran sebagai suatu pemikiran tentang pemasaran untuk mendekatkan satuan-satuan bisnis kepada sasarannya. Strategi pemasaran terdiri dari pengambilan keputusan dalam anggaran pemasaran, marketing mix (bauran pemasaran), dan alokasi pemasaran dalam hubungannya dengan kondisi kompetitif serta lingkungan yang diinginkan. Menurut Porter (1995), membangun strategi pemasaran merupakan usaha merumuskan formula mengenai suatu kompetisi bisnis, target yang seharusnya dicapai, dan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut. Terdapat 4 kunci utama yang perlu dipertimbangkan oleh suatu perusahaan dalam menentukan strategi pemasaran guna menggapai kesuksesan, yaitu: (1). Kekuatan dan kelemahan perusahaan, (2). Nilai SDM sebagai pelaksana kunci, (3). Peluang dan hambatan dalam industri, dan (4). Masyarakat dan sosial.

2.5 Bauran Pemasaran

Bauran pemasaran atau marketing mix merupakan sejumlah variabel pemasaran yang terkontrol oleh perusahaan dan dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai target pasar yang telah ditetapkan dan memberikan kepuasan konsumen (Husnan dan Suwarsono, 2000). Bauran pemasaran (marketing mix) dibedakan dalam 4 komponen utama yang lazim disebut 4P yakni :

a. Produk (product) b. Saluran distribusi (place) c. Promosi (promotion) d. Harga (price)

(16)

15

Harga adalah sejumlah nilai yang dibutuhkan untuk mendapat sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya. Sedangkan dari sudut pandang konsumen harga seringkali digunakan sebagai indikator nilai bilamana harga tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau jasa. Bila manfaat yang dirasakan konsumen meningkat, maka nilainya akan meningkat (Tjiptono, 1997). Strategi harga meliputi berbagai aspek, yaitu biaya produksi, laba usaha, dan tingkat kompetisi. Tujuan dari strategi harga adalah mencapai keseimbangan antara laba usaha dengan tingkat kepuasan pelanggan, disamping tujuan untuk memaksimumkan laba, memperoleh pangsa pasar tertentu dan mencapai tingkat penjualan yang sesuai dengan perencanaan. Strategi penetapan harga tergantung kepada tujuan perusahaan, yaitu peningkatan harga untuk peningkatan penjualan, penetapan harga menghadapi kompetitor atau penetapan harga untuk mengacaukan pasar (Stanton dan Lamarto, 1994).

Definisi distribusi adalah kegiatan yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status kepemilikan dari titik produksi sampai ke titik konsumsi (Stanton dan Lamarto, 1994). Strategi distribusi berkaitan dengan pemilihan saluran yang akan digunakan dalam mencapai pelanggan. Saluran distribusi yang dipilih dapat berupa distribusi langsung, tak langsung atau kombinasi keduanya. Pemilihan dari strategi tergantung pada karakteristik produk, perilaku konsumen, kemampuan penjualan, serta tata letak pasar sasaran sehingga dapat dipilih saluran distribusi yang efektif (Kotler, 1997).

Promosi adalah arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk menyampaikan posisi produk kepada konsumen atau mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran. Melalui kegiatan promosi diharapkan perusahaan dapat meningkatkan penjualan serta lebih meningkatkan keterkenalan suatu produk. Strategi promosi merupakan pilihan terhadap sarana promosi seperti advertising, penjualan perorangan (personal selling), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (publicity), dan pemasaran langsung (direct marketing) (Kotler, 1997).

Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program pemasaran. Betapapun berkualitasnya suatu produk, bila konsumen belum pernah mendengarnya dan tidak yakin produk itu akan berguna bagi mereka, maka mereka tidak akan membelinya. Promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran, yaitu aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi, dan mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan (Tjiptono, 2008). Menurut Kotler (2003), promosi bertujuan untuk membangun kesadaran konsumen tentang produk yang ditawarkan sehingga konsumen akan mengetahui keberadaan produk. Preferensi yang dibangun melalui promosi meliputi mutu, nilai, kinerja, dan keistimewaan mengenai produk yang ditawarkan. Promosi dilakukan untuk menciptakan keyakinan di benak konsumen bahwa produk tersebut bermanfaat bagi mereka sehingga mendorong mereka untuk melakukan pembelian.

Tujuan utama dari promosi adalah menginformasikan, mempengaruhi, dan membujuk, serta mengingatkan pelanggan sasaran tentang perusahaan dan bauran pemasarannya. Meskipun secara umum bentuk-bentuk promosi memiliki fungsi yang sama, namun bentuk-bentuk tersebut dapat dibedakan berdasarkan tugas-tugas khususnya. Beberapa tugas khusus itu atau sering disebut bauran promosi adalah personal selling, mass selling, promosi penjualan, public relation, dan direct marketing (Tjiptono, 2008).

PersonalSelling

(17)

16

pelanggan terhadap produk sehingga kemudian mereka akan coba membelinya. Sifat-sifat personal selling, antara lain:

1. Personal confrontation: adanya hubungan yang hidup, langsung, dan interaktif. 2. Cultivation: sifat yang memungkinkan berkembangnya segala macam hubungan,

mulai dari sekedar hubungan jual beli hingga hubungan yang lebih akrab.

3. Response: situasi yang seolah-olah mengharuskan pelanggan untuk mendengar, memperhatikan, dan menanggapi.

Oleh karena sifat-sifat tersebut maka metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain operasinya lebih fleksibel karena penjual dapat mengamati reaksi pelanggan dan menyesuaikan pendekatannya, usaha yang sia-sia dapat diminimalkan, pelanggan yang berminat biasanya langsung membeli, dan penjual dapat membina hubungan jangka panjang dengan pelanggannya. Namun karena menggunakan armada penjual dalam jumlah yang relatif besar, metode ini biasanya mahal. Di samping itu spesifikasi penjual yang diinginkan perusahaan biasanya sulit dicari. Namun demikian, personal selling tetaplah penting dan biasanya digunakan untuk mendukung metode promosi lainnya (Tjiptono, 2008).

MassSelling

Mass selling merupakan pendekatan yang menggunakan media komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada khalayak ramai dalam satu waktu. Metode ini tidak sefleksibel personal selling namun merupakan alternatif yang lebih murah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat yang jumlahnya sangat banyak dan tersebar luas. Ada 2 bentuk mass selling, yaitu periklanan dan publisitas (Tjiptono, 2008).

Iklan adalah bentuk komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan produk yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian. Sedangkan periklanan adalah seluruh proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan iklan. Iklan mempunyai 4 fungsi utama, yaitu memberitahukan masyarakat tentang seluk beluk produk yang diiklankan (informative), mempengaruhi masyarakat untuk membelinya (persuading), menyegarkan kembali informasi yang telah diterima (reminding), dan menciptakan suasana yang menyenangkan sewaktu masyarakat menerima dan mencerna informasi.

Publisitas adalah bentuk penyajian dan penyebaran ide, barang, dan jasa secara non-personal, yang mana orang atau organisasi yang diuntungkan tidak membayar itu. Publisitas merupakan pemanfaatan nilai berita yang terkandung dalam suatu produk untuk membentuk citra produk yang bersangkutan. Publisitas mempunyai kredibilitas yang lebih baik dibandingkan dengan iklan, karena pembenaran dilakukan oleh pihak selain pemilik iklan (Tjiptono, 2008).

Promosi Penjualan

(18)

17

Public Relation

Public relation merupakan komunikasi menyeluruh dari suatu perusahaan untuk mempengaruhi persepsi, opini, keyakinan, dan sikap berbagai kelompok terhadap perusahaan tersebut. Kelompok merupakan orang-orang yang terlibat, mempunyai kepentingan, dan dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Kelompok tersebut dapat terdiri dari karyawan dan keluarganya, pemegang saham, pelanggan, masyarakat yang tinggal di sekitar organisasi, serta media massa (Tjiptono, 2008).

Direct Marketing

Direct marketing adalah sistem pemasaran yang bersifat interaktif, yang memanfaatkan satu atau beberapa media iklan untuk menimbulkan respon yang terukur atau transaksi di sembarang lokasi. Dalam direct marketing, komunikasi promosi ditujukan langsung kepada konsumen individu, dengan tujuan agar pesan-pesan tersebut ditanggapi konsumen yang bersangkutan, baik melalui telepon, pos, atau dengan datang langsung kepada pemasar (Tjiptono, 2008).

2.6 Konsumen

Definisi konsumen dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah orang yang memakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan menurut Kotler (1997), konsumen adalah individu atau kelompok yang berusaha memenuhi atau mendapatkan barang maupun jasa yang dipengaruhi untuk kehidupan pribadi atau kelompoknya. Menurut Sumarwan (2002), konsumen dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Konsumen akhir adalah setiap individu atau rumah tangga yang membeli produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk dikonsumsi secara langsung. 2. Konsumen organisasi adalah organisasi, perusahaan, pedagang, pemerintah, dan

lembaga non profit yang membeli barang atau jasa untuk diproses lebih lanjut hingga menjadi produk akhir.

Penelitian ini akan dilakukan terhadap konsumen akhir atau rumah tangga, dengan melihat kesadaran merek mereka terhadap Kecap Korma. Sebab berdasarkan literatur yang menjadi dasar ide penelitian ini, Kecap Korma telah berhasil menggarap segmen konsumen hotel, restoran, dan katering atau konsumen organisasi yang terbukti dengan mayoritasnya pengguna Kecap Korma merupakan pedagang sate, namun lain halnya dengan segmen konsumen rumah tangga yang belum terlalu banyak yang mengenalnya. Fakta yang kontras inilah yang mendasari ide penelitian, supaya Kecap Korma menjadi sebuah merek kecap yang dikenal baik di kalangan konsumen akhir maupun konsumen organisasi.

2.7 Perilaku Konsumen

Pengertian perilaku konsumen disampaikan oleh Engel (1994), bahwa perilaku konsumen merupakan suatu tindakan yang terlibat langsung dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut.

(19)

18

serta peran dan status sosial. Sedangkan faktor pribadi meliputi usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri dalam hal pembelian. Dari faktor psikologi yang mempengaruhi pembelian adalah motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan, dan pendirian (Kotler, 2002).

2.8

Segmenting

,

Targeting

,

and

Positioning

Segmentasi pasar adalah suatu upaya untuk mengelompokkan pasar, dari pasar yang bersifat heterogen menjadi bagian-bagian pasar yang bersifat homogen. Segmentasi pasar itu dimulai dari pemikiran bahwa manusia itu berbeda-beda (heterogen), akan tetapi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian/pangsa/segmen yang memiliki sifat-sifat yang serupa (homogen). Setiap segmen memiliki dimensi sendiri yang berbeda dengan segmen yang lain (Gitosudarmo, 1995).

Menurut Kotler (2004), ada 4 variabel segmentasi utama bagi pasar konsumen, yaitu: a. Segmentasi geografis (membagi pasar menjadi unit-unit geografis misalnya berdasarkan

negara, negara bagian, wilayah, propinsi, kota, ataupun lingkungan).

b. Segmentasi demografis (pasar dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pekerjaan, ukuran keluarga, kelas sosial, agama, ras, dan kewarganegaraan).

c. Segmentasi psikografis (pasar dibagi berdasarkan gaya hidup dan kepribadian).

d. Segmentasi perilaku (pasar dibagi berdasarkan pengetahuan, sikap, pemakaian atau tanggapan mereka terhadap suatu produk).

Targeting atau penentuan target pasar merupakan langkah selanjutnya setelah melakukan segmentasi. Produk dari targeting adalah target market (pasar sasaran), yaitu satu atau beberapa segmen pasar yang akan menjadi fokus dalam kegiatan pemasaran (Kasali, 2003). Menurut Kasali (1998), positioning adalah strategi komunikasi untuk memasuki jendela otak konsumen, agar produk/merek/nama mengandung arti tertentu yang dalam beberapa segi mencerminkan keunggulan terhadap produk/merek/nama lain dalam bentuk asosiatif. Kasali (2003) menyatakan bahwa, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam positioning, yaitu:

1. Positioning adalah strategi komunikasi yang dilakukan untuk menjembatani produk/merek/nama dengan calon konsumen. Komunikasi ini terkait dengan penyaluran citra melalui berbagai saluran pemasaran

2. Positioning bersifat dinamis, sebab persepsi konsumen terhadap suatu produk/merek/nama bersifat relatif terhadap struktur pasar/persaingan. Begitu keadaan pasar berubah, maka positioning pun berubah, sehingga strategi positioning ini harus selalu mengalami evaluasi untuk dikembangkan, dipelihara, dan disebarkan

3. Positioning berhubungan dengan event marketing, sebab positioning berhubungan dengan citra di benak konsumen

4. Positioning berhubungan dengan atribut-atribut produk. Konsumen pada dasarnya tidak membeli produk, namun mengkombinasikan atribut-atribut produk

5. Positioning harus memberi arti dan arti tersebut harus bermakna bagi konsumen

6. Atribut-atribut yang dipilih harus yang unik dan hendaknya keunikan yang ingin ditonjolkan tersebut berbeda dengan yang sudah diakui milik pesaing

(20)

19

2.9 Keunggulan Bersaing

Keunggulan bersaing atau biasa disebut dengan keunggulan kompetitif merupakan suatu keunggulan di atas pesaing yang diperoleh dengan menawarkan nilai secara lebih baik kepada konsumen, baik melalui penawaran harga lebih rendah atau dengan menyediakan manfaat lebih banyak yang mendukung penetapan harga yang lebih mahal. Konsumen biasanya memilih produk atau jasa yang menurut mereka memberikan nilai terbaik. Oleh karena itu kunci memenangkan konsumen dan memeliharanya adalah dengan mengerti apa yang mereka inginkan melebihi pesaing dan menyampaikan nilai dengan lebih baik (Kotler dan Armstrong, 1991).

Menurut Kotler dan Armstrong (1991), keunggulan bersaing pada dasarnya berhubungan dengan positioning sebuah produk atau merek. Untuk membangun positioning di benak konsumen, ada 3 tahapan yang harus dilakukan, yaitu mengidentifikasikan sejumlah keunggulan bersaing yang mungkin dibangun untuk membangun positioning, memilih keunggulan bersaing yang tepat, dan mengkomunikasikan secara efektif keunggulan bersaing yang telah dipilih.

Positioning dimulai dengan melakukan diferensiasi terhadap produk atau merek yang akan dipasarkan, sehingga memberikan nilai yang lebih kepada konsumen daripada yang dilakukan pesaing. Perusahaan dapat melakukan diferensiasi melalui produk, jasa, personil, dan citra merek. Ketika perusahaan pesaing menawarkan produk atau jasa yang sama, maka konsumen akan melihat perbedaan melalui citra merek yang dibangun tersebut (Kotler dan Armstrong, 1991).

2.10

Penelitian Terdahulu

(21)

20

Ghozali (2009) meneliti tentang brand equity camilan kacang Mr. P dengan tujuan merumuskan strategi bauran promosi yang seharusnya diterapkan. Dalam penelitian ini digunakan merek pesaing sesama merek camilan kacang, yaitu Garuda, Dua Kelinci, dan Kaya King. Hasil analisis kesadaran merek menunjukkan bahwa kesadaran konsumen akan merek Mr. P sebagai merek camilan kacang sudah cukup baik meskipun belum sebaik merek pesaing yang dikaji. Hal ini dibuktikan dengan nilai top of mind dan brand recall yang cukup baik. Lalu atribut yang berasosiasi membentuk citra merek Mr. P adalah rasa enak, aroma sedap, kemasan menarik, kerenyahan tinggi, dapat dimakan kapan saja, dan produknya bersih. Sedangkan hasil analisis persepsi kualitas menunjukkan hasil yang berbeda dengan analisis asosiasi merek, atribut yang dinilai baik oleh konsumen dari Mr. P adalah aroma sedap, kemasan menarik, dan pilihan rasa yang beraneka ragam. Loyalitas merek pelanggan terhadap camilan kacang Mr. P tergolong baik dengan dibuktikan oleh bentuk piramida kesetiaan merek yang hampir sempurna. Jumlah committed buyer dan liking the brand tidak lebih banyak dibanding jumlah satisfied buyer. Berdasarkan keseluruhan analisis brand equity tersebut, maka rumusan bauran promosi yang sebaiknya dilakukan adalah mengefektifkan promosi sesuai dengan pasar yang dituju. Realisasinya adalah dengan memasang iklan, event, serta membina hubungan baik dengan pelanggan.

(22)

21

III.

METODOLOGI

3.1

Kerangka Pemikiran

Kecap banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia saat memasak karena kecap termasuk bumbu pelengkap (condiment) yang memberikan rasa, warna, dan aroma yang khas serta dapat meningkatkan nilai gizi pada masakan. Hal ini menyebabkan ukuran pasar yang bisa digarap oleh produsen kecap sangat besar serta turut didukung oleh banyaknya merek kecap yang diperjualbelikan. Di antara sekian banyak merek kecap yang beredar, sudah tentu konsumen hanya akan memilih merek dengan reputasi yang paling baik atau mampu memberikan nilai kepuasan paling tinggi. Sehingga penting bagi produsen kecap untuk mengetahui bagaimana reputasi mereknya melalui seberapa baik penerimaannya di kalangan konsumen. Penerimaan merek ini dapat dilihat melalui seberapa jauh tingkat kesadaran merek konsumen terhadap merek yang bersangkutan (brand awareness), seberapa banyak atribut yang melekat di benak konsumen terkait merek (brand association), bagaimana persepsi konsumen akan kualitas merek tersebut (perceived quality), dan bagaimana kesetiaan merek yang terbangun pada masing-masing pelanggan (brand loyalty). Salah satu merek kecap yang mengalami persaingan kompetitif adalah kecap Korma. Kecap Korma hingga kini dinilai belum mendapatkan penerimaan yang baik pada segmen rumah tangga, sehingga hal tersebut mendasari pentingnya untuk dilakukan analisis mengenai ekuitas mereknya pada segmen rumah tangga.

Penelitian ekuitas merek terhadap kecap Korma ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data dan akan diawali dengan pengujian tingkat kepentingan atribut kecap. Uji tingkat kepentingan atribut kecap adalah uji awalan yang berfungsi untuk mengetahui atribut apa saja dari kecap yang menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam melakukan pembelian. Selain itu juga akan ditanyakan kepada responden mengenai merek kecap yang sedang digunakan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan merek-merek kecap yang akan dijadikan pesaing Korma dalam analisis ekuitas merek-merek. Selanjutnya dari atribut dan merek-merek kecap pesaing yang diperoleh akan dilakukan penyusunan kuesioner dengan menguji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Setelah terbukti bahwa kuesioner valid dan reliabel untuk digunakan mengumpulkan data, maka barulah dilakukan penyebaran kuesioner utama untuk analisis terhadap ekuitas merek kecap Korma. Kuesioner utama ini terdiri dari bagian yang menanyakan karakteristik responden, kesadaran merek responden akan kecap Korma, atribut apa saja dari kecap Korma yang melekat di benak konsumen serta bagaimana persepsi mereka terhadapnya, dan bagaimana kesetiaan merek konsumen terhadap kecap Korma yang telah terbangun.

(23)

22

(24)

23

Segmen yang digarap

Gambar 3. Kerangka pemikiran operasional

3.2

Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mengidentifikasi elemen ekuitas merek yang meliputi kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan kesetiaan merek dari

Rumusan bauran pemasaran untuk meningkatkan brand equity Kecap Korma di

segmen rumah tangga

Atribut keunggulan dan kelemahan yang dimiliki

Kecap Korma Posisi tingkatan kesadaran

dan loyalitas merek Kecap Korma

Analisis deskriptif

Skala Likert, Rataan, dan Simpangan Baku

Uji Cochran Skala Semantic differential dan

Uji Biplot Analisis perceived

quality Analisis

brand association Analisis

brand loyalty Analisis karakteristik

konsumen

Analisis brand awareness

Data karakteristik konsumen

Analisis deskriptif

Beraneka merek kecap yang beredar di konsumen, baik skala nasional maupun lokal

Analisis brand equity Kecap Korma pada konsumen rumah tangga (studi kasus

konsumen kecap di Jakarta) Konsumen hotel, restoran, dan katering

(sudah tergarap dengan baik)

Konsumen rumah tangga (belum tergarap dengan baik)

(25)

24

produk kecap. Identifikasi terhadap keempat elemen tersebut bertujuan untuk mengetahui penerimaan dan persepsi yang terbangun di benak konsumen rumah tangga terhadap masing-masing merek kecap. Dan selanjutnya akan dibuat strategi bauran pemasaran yang sebaiknya dilakukan oleh produsen guna memperbaiki ekuitas merek kecap yang bersangkutan di benak konsumen rumah tangga.

3.3

Tata Laksana

1.

Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 jenis data, yaitu primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada konsumen rumah tangga (ibu rumah tangga) sebanyak 3 kali, yaitu penyebaran kuesioner untuk uji tingkat kepentingan atribut, penyebaran kuesioner untuk uji validitas dan reliabilitas, serta penyebaran kuesioner inti di 5 kotamadya di DKI Jakarta, yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Penyebaran kuesioner dilakukan di DKI Jakarta dengan alasan banyaknya merek kecap yang diperdagangkan sehingga tingkat persaingan ekuitas merek akan sangat terlihat. Pengumupulan data dilakukan antara bulan Mei hingga Juni 2011. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan manajer pemasaran PT. KJU untuk mendapatkan data pemasaran. Sedangkan data sekunder diperoleh dari manajemen PT. KJU mengenai sejarah dan perkembangan perusahaan, proses produksi kecap, dan strategi bauran pemasaran yang selama ini diterapkan oleh perusahaan. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, internet, dan literatur yang mengarah kepada penelitian.

2.

Pengambilan Sampel

Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang merupakan aktor pengambil keputusan dalam kegiatan konsumsi rumah tangga, termasuk di dalamnya pembelian kecap. Pemilihan ibu rumah tangga sebagai responden diharapkan dapat memberikan informasi sebanyak mungkin tentang penggunaan kecap yang terkait dengan penelitian. Konsumen kecap yang dipilih adalah yang berada di wilayah Jakarta karena area distribusi kecap PT. KJU sebagian besar ada di Jakarta, selain itu juga karena banyaknya merek kecap yang diperjuabelikan, serta pesatnya persaingan pasar. Sehingga tingkat persaingan brand equity kecap akan sangat terlihat.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik judgement sampling dengan pendekatan non-probability sampling. Peneliti menentukan suatu unsur dalam populasi untuk dijadikan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu, yaitu karena

“kaya akan informasi”. Dalam hal ini responden yang dianggap dapat memberikan

(26)

25

populasi supaya tujuan sampling terpenuhi. Penyebaran kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan wilayah distribusi perusahaan untuk segmen rumah tangga supaya penggalian persepsi dan penerimaan konsumen pada segmen yang bersangkutan dapat terpenuhi. Responden yang diwawancarai adalah responden yang ditemui baik di pasar tradisional, warung, tempat berkumpul warga, maupun pemukiman penduduk yang menimbulkan suasana kondusif dan mudah dalam pengambilan data wawancara.

Penyebaran kuesioner dilakukan sebanyak 3 tahap. Tahap pertama adalah penyebaran kuesioner untuk uji tingkat kepentingan atribut yang berfungsi untuk mengetahui atribut apa saja dari kecap yang dipertimbangkan oleh konsumen dalam membeli kecap. Penyebaran kuesioner ini dilakukan kepada 30 orang responden. Penentuan jumlah sampel yang diambil ini didasarkan oleh sifat dari penyebaran kuesioner tahap ini yang merupakan penelitian awalan, dimana tujuannya adalah untuk mengetahui atribut-atribut kecap yang secara umum dipertimbangkan oleh konsumen dalam membeli sehingga dalam penyebarannya menggunakan aspek convenience sampling. Maka dalam pengambilannya dipilih 30 orang ibu rumah tangga dengan wilayah pemilihan yang memudahkan sampling (convenience). Sedangkan jumlah sampel sebanyak 30 orang didasarkan pada Umar (2005) yang menyatakan bahwa dengan jumlah minimal 30 orang ini distribusi nilai akan lebih mendekati kurva normal.

Di awal penyebaran terdapat 16 atribut kecap, yaitu rasa kecap enak, kekentalan pas, warna, mudah meresap, kemurnian bahan baku, ukuran kemasan bervariasi, kemasan menarik, kandungan gizi tinggi, produk banyak dibeli orang, mudah diperoleh, merek terkenal, iklan dan promosi menarik, meningkatkan citarasa masakan, aman bagi kesehatan, harga terjangkau, dan harga sesuai kualitas. Ke-16 atribut kecap ini diperoleh dari penjabaran 8 dimensi persepsi kualitas, lalu juga didukung dengan studi literatur berbagai sumber yang relevan dengan judul penelitian serta berdiskusi dengan pihak perusahaan. Kemudian saat penyebaran kuesioner ditanyakan kepada responden mengenai tingkat kepentingan masing-masing atribut dalam membeli kecap antara skala 1 hingga 5 atau mulai dari sangat tidak penting hingga sangat penting. Lalu setelah terkumpul data dari 30 responden dilakukanlah pengolahan data dengan mencari nilai rataan dengan Microsoft Excel (Microsoft Corp, 2007) dari masing-masing atribut yang kemudian didapatkan 10 atribut kecap yang digunakan dalam penelitian dengan skor rataan ≥ 4, yaitu rasa kecap enak, mudah meresap, kekentalan pas, membuat masakan lebih enak, kemurnian bahan baku, aman bagi kesehatan, kandungan gizi tinggi, mudah diperoleh, harga terjangkau, dan harga sesuai kualitas. Selain itu juga ditanyakan mengenai merek kecap yang digunakan oleh konsumen rumah tangga untuk dijadikan merek pesing kecap Korma dalam menganalisis ekuitas mereknya.

Tahap kedua adalah penyebaran kuesioner untuk uji validitas dan reliabilitas. Penyebaran kuesioner ini dilakukan kepada minimal 30 orang responden, yang berfungsi untuk mengetahui kemampuan kuesioner dalam mengukur fenomena sosial yang ingin diketahui dan kehandalannya sehingga hasil perolehan data dapat dipercaya kebenarannya karena telah mewakili populasi serta dapat dipertanggungjawabkan. Jumlah responden sebanyak minimal 30 orang ini didasarkan pada Umar (2005) yang menyatakan bahwa dengan jumlah minimal 30 orang ini distribusi nilai akan lebih mendekati kurva normal.

(27)

26

Keterangan:

N = jumlah populasi n = jumlah sampel

e = kesalahan pengambilan sampel ditetapkan sebesar 10%

Penentuan jumlah sampel yang diambil didasarkan pada rumus Slovin di atas dengan menggunakan toleransi kesalahan sebesar 10% atau berarti juga dengan tingkat kepercayaan 90%. Menurut Aaker et al. (2001), ukuran sampel dapat dikurangi dengan mengurangi tingkat kepercayaan atau confident level. Tingkat kepercayaan yang disebutkan Aaker et al. (2001) sebesar 95% dan 90%. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jakarta tahun 2011, pada tahun 2009 populasi rumah tangga di Jakarta adalah sebesar 2.306.971 rumah tangga. Dengan menggunakan tingkat toleransi kesalahan 10% didapatkan jumlah sampel yang harus diambil adalah sejumlah 100 responden kemudian untuk mengantisipasi kuesioner yang tidak dapat diolah, maka penyebaran dilakukan kepada sebanyak 120 orang. Distribusi 120 kuesioner tersebut adalah sebagai berikut: 26 orang di Jakarta Selatan, 33 orang di Jakarta Timur, 13 orang di Jakarta Pusat, 28 di Jakarta Barat, dan 21 orang di Jakarta Pusat.

Penggunaan rumus Slovin ini memungkinkan peneliti untuk melakukan sampling terhadap suatu populasi dengan tingkat akurasi yang diinginkan. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui berapa banyak sampel yang harus diambil untuk mendapatkan tingkat akurasi yang wajar (Anonim, 2011).

1.

Pengolahan Data

a.

Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas berguna untuk mengetahui sejauh mana kemampuan kuesioner dapat mengukur apa yang ingin diukur. Sedangkan uji reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan dan relatif konsisten apabila pengukuran diulang 2 kali atau lebih (Umar, 2005).

Selain itu uji validitas juga berguna untuk mengetahui apakah pertanyaan tertentu perlu dihilangkan atau ditambahkan, apakah responden dapat mengerti arti pertanyaan tersebut, apakah urutan pertanyaan perlu diubah, apakah pertanyaan dapat diperhalus dengan mengubah bahasa dan berapa lama waktu yang diperlukan dalam wawancara. Dalam penelitian ini pengujian validitas menggunakan teknik validitas konstruk, yaitu dengan cara mengujicobakan kuesioner tersebut kepada 30 orang responden. Responden diminta untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak dengan masing-masing pernyataan. Rumus yang digunakan adalah rumus Pearson Correlation, yaitu:

∑ ∑ ∑

√ ∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan:

(28)

27

N = jumlah responden

Perhitungan korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan menggunakan Pearson Correlation dengan bantuan SPSS 15.0 (IBM, 2008). Penggunaan software SPSS 15.0 ini dilakukan karena output yang dihasilkan dapat langsung terlihat kevalidan setiap butir pertanyaannya tanpa harus membandingkan lagi dengan tabel. Dari output tersebut akan langsung diketahui valid tidaknya kuesioner. Kuesioner yang valid akan menunjukkan nilai Pearson Correlation yang positif dan > 0,361 karena jumlah responden yang diambil untuk uji validitas ini berjumlah 30 orang (untuk jumlah sampel atau N = 30 orang dan taraf siginifikan 5%, maka nilai r = 0,361) serta nilai probabilitas korelasinya kurang dari atau sama dengan taraf

signifikan (α), yaitu 0,05.

Selanjutnya akan dilakukan uji reliabilitas yang berguna untuk mengetahui keandalan dan konsistensi kuesioner, yaitu kesesuaian antara hasil-hasil pengukuran apabila pengukuran diulang sebanyak 2 kali atau lebih. Uji reliabilitas dilakukan pada pertanyaan atribut mutu produk kecap untuk mengetahui konsistensi alat ukur dalam mengukur gejala yang sama atau mengetahui tingkat kesalahan. Rumus yang

digunakan untuk uji reliabilitas adalah rumus Cronbach‟s Alpha dalam Umar (2005), yaitu:

Apabila nilai Cronbach‟s alpha atau koefisien reliabilitas intrumen (r) mendekati angka 1, maka pengukuran kuesioner tersebut dapat diandalkan atau reliabel. Perhitungan nilai reliabilitas ini juga dilakukan dengan software SPSS 15.0. Adapun selang nilai koefisien reliabilitas instrumen (r) adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Kategori nilai koefisien reliabilitas instrumen (r) Klasifikasi Nilai Koefisien Reliabilitas

Instrumen (r)

Kesimpulan

r > 0,9 Sempurna (excellent) r > 0,8 Baik (good)

r > 0,7 Dapat (acceptable) r > 0,6 Diragukan (questionable) r > 0,5 Lemah (poor)

r < 0,5 Tidak dapat diterima (unacceptable) Sumber: George dan Mallery (2003)

b.

Analisis Deskriptif

(29)

28

berguna. Informasi yang diberikan hanya mengenai data yang dimiliki dan sama sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus data induknya yang lebih besar (Walpole, 1992). Menurut Umar (2005), jenis-jenis statistika deskriptif diantaranya adalah berupa rata-rata, sandar deviasi, proporsi, dan modus.

Perhitungan deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik responden melalui penyajian dalam bentuk persentase dengan Microsoft Excel (Microsoft Corp, 2007). Selain itu juga untuk menganalisis brand awareness dan brand loyalty yang juga disajikan dalam bentuk persentase, serta pada perceived quality digunakan perhitungan rata-rata.

Rata-rata: ̅ =

Dimana: xi = nilai pengukuran n = jumlah data

c.

Skala Likert, Rataan, dan Simpangan Baku

Skala Likert, rataan, dan simpangan baku digunakan untuk menganalisis brand loyalty menggunakan Microsoft Excel (Microsoft Corp, 2007). Skala Likert adalah skala pengukuran ordinal yang dapat memperlihatkan tanggapan konsumen terhadap karakteristik barang atau jasa (Durianto et al., 2004). Hasil dari pengukuran dengan skala Likert dapat dibuat ranking tanpa dapat diketahui berapa besar selisi

Gambar

Gambar 4. Diagram alir pembuatan kecap di PT. KJU. Sumber: PT. KJU (2011)
Tabel 5. Hasil penilaian uji tingkat kepentingan atribut
Tabel 6. Merek-merek kecap yang digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga di Jakarta
Tabel 8. Pengujian validitas butir pertanyaan atribut kecap Bango
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penjelasan masalah yang terjadi pada alur verifikasi sertifikat yang berjalan sangat terinci maka dari itu terdapatlah sistem yang akan meminimalisir permasalahan

Aspek khusus yang dijadikan objek penelitian mi adalah morfologi dan sintaksis bahasa Semende, yang diangkat dari ragam bahasa yang digunakan penuturnya pada masa kini. Masalah

SK5 dalam menyelesaikan persoalan pada soal nomor 1 menggunakan satu cara yaitu karpet dengan ukuran yang membentuk bangun datar persegi panjang dipotong-potong

Penyadapan merupakan kegiatan yang menjadi ciri khas dari tanaman karet ( Hevea brasiliensis ).Penyadapan tidak bisa dilakukan tanpa adanya perencanaan karena

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit kakao bagian pangkal, tengah dan pucuk terhadap penyemprotan pupuk Wuxal dan menentukan letak biji dalam buah

Dalam upaya pencapaian sasaran produksi tahun anggaran 2018 untuk komoditas kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar dan talas dilakukan kegiatan pembinaan,

Teknik Bentuk Instrumen Contoh Instrumen Alokasi Waktu Sumber Belajar 2.1 Menganalisis besaran fisika pada gerak dengan kecepatan dan percepatan konstan Gerak Lurus

Kegiatan yang dipusatkan di halaman Kantor Kemenag Kuala Kapuas itu dihadiri juga oleh Forkopimda Kabupaten Kapaus, Kepala SKPD, Kepala dan mantan Kepala Kantor Kemenag