• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hama dan penyakit tanaman terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hama dan penyakit tanaman terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN TERUNG (

Solanum melongena

L.)

DI KECAMATAN RANCABUNGUR, KABUPATEN BOGOR

MEIRZA SAFITRI RIZKY

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

ABSTRAK

MEIRZA SAFITRI RIZKY. Hama dan Penyakit Tanaman Terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan SURYO WIYONO.

Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Konsumsi terung dari tahun ke tahun meningkat. Organisme pengganggu tanaman dapat menjadi salah satu faktor pembatas dalam produksi tanaman ini. Hama dan penyakit dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi akibat dari kehilangan hasil tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk inventarisasi dan pengukuran tingkat serangan hama dan penyakit tanaman terung di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Metode yang dilakukan meliputi penentuan petak tanaman contoh dan tanaman contoh, pengamatan hama dan penyakit, serta identifikasi hama dan penyakit di laboratorium. Penelitian dilakukan di dua lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif pada hamparan dan periode waktu yang sama. Organisme pengganggu tanaman (OPT) golongan hama yang ditemukan pada tanaman terung antara lain Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae), Valanga spp. (Orthophtera: Acrididae), Acherontia sp. (Lepidoptera: Sphingidae), Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae), Mictis longicornis (Hemiptera: Coreidae) dan Aulacophora spp. (Coleoptera: Chrysomelidae). Sedangkan penyakit yang ditemukan antara lain bercak daun (Alternaria sp.), busuk buah (Phomopsis sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan hama yang dominan menyerang tanaman terung dan populasinya tinggi adalah Empoasca sp. dan Epilachna sp. Sedangkan penyakit yang dominan adalah busuk buah (Phomopsis sp.) dan antraknosa (Colletotrichum sp.) yang menyerang tanaman terung pada fase generatif dengan intensitas penyakit berturut-turut 47.09% dan 40.84%.

(4)
(5)

ABSTRACT

MEIRZA SAFITRI RIZKY. Pests and Diseases of Eggplant (Solanum melongena L.) in Rancabungur Subdistrict, Bogor District. Supervised by KIKIN HAMZAH MUTAQIN and SURYO WIYONO.

Eggplant (Solanum melongena L.) is a vegetable crop that quite common cultivated in Indonesia. The consumption level of eggplant increases from year to year. There are few information on pests and diseases of the crop in Indonesia. However, pests and diseases become potentially problem in the future when the crop is grown widely. The objective of this research was to obtain information about pest and disease occurrences found in eggplant growing area in Rancabungur their population or damage level. The research method included observation, sampling of the pests and diseases at two eggplant areas, and laboratory identification of the causal agents. The eggplant vegetative and generative growth phases were observed in the same area and period of time. There are some pests found predominantly in eggplant at high population i.e.

Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae) and Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae), whereas Valanga sp. (Orthophtera: Acrididae) (low population), Acherontia sp. (Lepidoptera: Sphingidae), Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae), Mictis longicornis

(Hemiptera: Coreidae), and Aulacophora sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) were at low population. Eggplant’s diseases found at high incidence in the area were fruit rot (Phomopsis sp.) and anthracnose (Colletotrichum sp.), whereas leaf spot (Alternaria sp.) and bacterial wilt (Ralstonia solanacearum) were at low incidence. All of those pests and diseases, except Bactrocera spp., caterpillar, fruit rot, and anthracnose found at both growth phase of the plant. Fruit rot, and anthracnose were the most important diseases of eggplant at generative phase with the intensity about 47.09% and 40.84%.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

HAMA DAN PENYAKIT

TANAMAN TERUNG (

Solanum melongena

L.)

DI KECAMATAN RANCABUNGUR, KABUPATEN BOGOR

MEIRZA SAFITRI RIZKY

A34080068

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

di Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

Judul Skripsi : Hama dan Penyakit Tanaman Terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor

Nama Mahasiswa : Meirza Safitri Rizky NIM : A34080068

Disetujui oleh

Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi Dr. Ir. Suryo Wiyono, MScAgr Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua Departemen

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Hama dan Penyakit Tanaman Terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, MScAgr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, arahan, dan motivasi sehingga usulan penelitian ini dapat penulis selesaikan dengan baik; Dr. Ir. Nina Maryana, MSi selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran dan arahan; Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi. Terima kasih kepada Bapak Istichori dan Bapak Cecep yang berkenan mengizinkan menggunakan lahannya untuk penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Yuke, Fildzah, dan Sarce yang telah membantu selama pengamatan. Terima kasih kepada Nazarreta, Keisha, Nia, Pinti, Rara, Risa, Novra, Veni, Rado, Jack, Syaiful, Aris, Arif, Busyairi, Prio, Yasin, Gusto, dan teman-teman seperjuangan Proteksi Tanaman angkatan 45 yang selalu memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Bapak Chunainin dan Ibu Laila Nurochma, serta Kakak Yusron Pahlevi, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan inspirasi yang luar biasa. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, semoga penelitian ini bermanfaat.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Metode Penelitian 3

Penentuan Petak Tanaman Contoh dan Tanaman Contoh 3

Pengamatan Hama 3

Pengamatan Penyakit 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Keadaan Umum Lahan Pertanaman Terung 5

Hama yang Ditemukan pada Tanaman Terung 6

Empoasca sp. 6

Epilachna sp. 7

Hama Lainnya 8

Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Terung 11

Busuk Buah 11

Antraknosa 12

Bercak Daun 12

Layu Bakteri 14

SIMPULAN DAN SARAN 16

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif 5 2 Hama yang ditemukan pada tanaman terung di Kecamatan

Rancabungur 6

3 Penyakit yang terdapat pada tanaman terung di Kecamatan

Rancabungur 12

DAFTAR GAMBAR

1 Letak tanaman contoh yang diamati dalam petak 3 2 Curah hujan bulanan di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor 5 3 Pertanaman terung 6 4 Rata-rata populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase vegetatif dan

fase generatif 7 5 Populasi Epilachna sp. pada lahan terung fase vegetatif dan fase generatif 8 6 Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae) 9 7 Kumbang pemakan daun Epilachna sp. dan gejala kerusakannya 10 8 Hama lain yang ditemukan pada tanaman terung 10 9 Persentase keparahan penyakit busuk buah pada tanaman terung fase

generatif 11

10 Persentase keparahan penyakit antraknosa pada tanaman terung fase

generatif 12

11 Persentase kejadian penyakit bercak daun pada tanaman terung fase

vegetatif dan fase generatif 13 12 Persentase keparahan penyakit bercak daun pada tanaman terung fase

vegetatif dan fase generatif 13

13 Persentase kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman terung fase

vegetatif dan fase generatif 14 14 Gejala dan penyebab penyakit pada tanaman terung 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data curah hujan harian pada bulan Oktober sampai Desember 2012 20 2 Rata-rata populasi Empoasca sp. di lahan pertanaman terung di

Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012 21 3 Populasi Epilachna sp. di lahan pertanaman terung di Kecamatan

Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012 21 4 Kejadian dan intensitas penyakit pada lahan pertanaman terung di

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu jenis tanaman penting hortikultura dari famili Solanaceae. Terung sangat populer di kalangan masyarakat dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah terung dikonsumsi masyarakat dalam bentuk sayuran atau lalapan. Terung termasuk sayuran yang digemari masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap, antara lain kalsium, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin B, vitamin C, fosfor, dan zat besi (Hardinsyah 1990).

Tanaman terung sudah dikenal sejak jaman India kuno sehingga tanaman ini dianggap berasal dari Asia. Pada awalnya terung merupakan tanaman liar yang berasal dari India dan Burma yang kemudian tersebar luas ke bagian utara Thailand, Laos, Vietnam, dan China. Terung sangat populer di Asia dan sudah dibudidayakan sejak ribuan tahun yang lalu. Di India terung disebut sebagai “King of Vegetables” (Daunay et al. 2007).

Terung dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi dan dapat tumbuh sepanjang tahun. Tanaman terung tergolong dalam tanaman perdu tahunan yang berumur pendek dan dapat tumbuh baik dengan pH tanah 5.5 sampai 6.5. Tanah yang cocok untuk pertumbuhan terung secara optimal adalah tanah lempung berpasir dan berdrainase baik (Praca et al. 2004). Buah terung memiliki berbagai bentuk tergantung dari varietasnya. Ada yang berbentuk bulat, bulat telur, oval, dan memanjang. Buah terung termasuk jenis buah berdaging yang memiliki warna beraneka ragam dari ungu mengkilat, kuning, putih, hijau, sampai hitam. Keanekaragaman warna dari buah terung dipengaruhi oleh kandungan klorofil dan antosianin (Frary et al. 2007). Spesies terung yang ditemukan di Indonesia antara lain Solanum melongena, S. macrocarpon, S. khasianum, S. americanum, S. torvum, dan S. ferox. Solanum melongena merupakan spesies yang paling dikenal dibandingkan dengan spesies lainnya karena paling banyak di konsumsi oleh masyarakat (Daunay et al. 2001).

Di Indonesia produksi buah terung dari tahun 2007 sampai 2011 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 produksi terung mencapai 390 846 ton dan mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2007 yaitu mencapai 519 481 ton (Ditjen Hortikultura 2011a). Luas panen lahan terung di Indonesia juga mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai 2011. Pada tahun 2007 luas panen terung mencapai 47 589 hektar dan pada tahun 2011 mencapai 52 233 hektar (Ditjen Hortikultura 2011b).

(20)

2  

Tanaman terung dapat tumbuh di sepanjang tahun sehingga menjadi sasaran serangga hama dari tahap pembibitan sampai panen (Regupathy et al. 1997). Kumbang Epilchna sp. merupakan salah satu hama yang dilaporkan menyerang tanaman terung di Indonesia. Serangga ini bersifat polifag dan memakan beberapa tanaman dari famili Solanaceae. Baik larva maupun imago merusak tanaman dengan cara memakan lapisan epidermis bawah daun dan menyisakan lapisan epidermis atas daun (Richards 1983; Imura dan Ninomiya 1978). Tanaman terung rentan terhadap beberapa patogen yang menginfeksi tanaman dari famili Solanaceae. Penyakit-penyakit tersebut antara lain busuk buah (Phomopsis vexans), antraknosa (Colletotrichum melongenae), layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp melongenae), bercak daun (Alternaria sp.), dan bercak Cercospora (Cercospora sp.) (Reddy 2010; Islam dan Meah 2011). Penyakit yang telah dilaporkan menyerang tanaman terung di Indonesia antara lain bercak daun, busuk leher akar, rebah semai, busuk buah, antraknosa, dan layu bakteri (Semangun 1989).

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan menginventarisasi hama dan penyakit tanaman terung di salah satu areal penanaman di Bogor serta mengukur tingkat kerusakan yang ditimbulkannya.

Manfaat penelitian

(21)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2012 di pertanaman terung di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Penentuan Petak Tanaman Contoh dan Tanaman Contoh

Pengambilan tanaman contoh menggunakan pola diagonal (Gambar 1). Pada setiap lahan diamati 30 tanaman contoh secara acak. Lahan yang diamati ada dua, yaitu pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif. Sehingga total tanaman yang diamati adalah 60 tanaman contoh yang terdiri dari 30 tanaman contoh fase vegetatif dan 30 tanaman contoh fase generatif.

Gambar 1 Letak tanaman contoh yang diamati dalam petak.

Pengamatan Hama

Pengamatan hama dilakukan secara langsung yaitu dengan mengamati jenis hama, gejala serangan dan menghitung populasi hama. Pengamatan tentang tingkat populasi hama hanya dilakukan terhadap hama yang dianggap dominan pada saat pengamatan di lapang. Untuk serangga yang belum teridentifikasi, serangga tersebut dimasukkan ke dalam plastik atau botol yang berisi alkohol 70% dan diidentifikasi di Laboratorium.

Pengamatan Penyakit

(22)

4  

menggunakan media selektif. Penyakit layu bakteri pada tanaman dari famili Solanaceae umumnya disebabkan oleh R. solanacearum. Isolasi R. solanacearum dilakukan dengan cara memotong pangkal batang tanaman yang bergejala dan ditimbang. Kemudian dipotong kecil dan dicampur dengan buffer ekstraksi NaCl 0.85% dengan perbandingan 1:10. Setelah itu dikocok menggunakan shaker selama 1 jam dengan kecepatan 100 rpm. Setelah itu dilakukan pengenceran berseri 10-1 sampai 10-5 dan hasil setiap pengenceran dicawankan sebanyak 0.1 ml. Pencawanan dilakukan dengan menggunakan media TZC (Tryphenil Tetrazolium Chloride) yang merupakan media selektif untuk R. solanacearum. Setelah itu dimurnikan sebagai isolat murni bakteri (Schaad et al. 2001).

Persentase kejadian penyakit (KP) dihitung menggunakan rumus:

KP = kejadian penyakit

n = jumlah tanaman yang terserang

N = jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati

Persentase keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus:

I = keparahan penyakit

ni = jumlah bagian tanaman terserang pada kategori ke-i vi = nilai numerik pada kategori ke-i

N = jumlah tanaman contoh yang diamati V = nilai kategori serangan tertinggi

Nilai kategori kerusakan tanaman (v) ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan tanaman contoh (x) sebagai berikut:

0 tidak ada serangan 1 0 < x ≤ 25% 2 25 < x ≤ 50% 3 50 < x ≤ 75% 4 x > 75%

Persentase keparahan penyakit (I) busuk buah dihitung menggunakan rumus:

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lahan Pertanaman Terung

Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu wilayah sentra produksi pertanian di Kabupaten Bogor. Lahan yang diamati terletak di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur yang berada pada ketinggian 179 mdpl. Curah hujan pada saat pengamatan pada bulan Oktober, November, dan Desember yaitu berturut-turut 994 mm, 1264.2 mm, dan 655.2 mm (Gambar 2). Data curah hujan harian selama penelitian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Terung merupakan salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Rancabungur. Selain terung, komoditas lain yang dibudidayakan yaitu singkong, jagung, paria, mentimun, pepaya, oyong, ubi jalar, kangkung, bengkoang, kacang tanah, kacang panjang, dan jambu biji. Dua lahan pertanaman terung dalam satu hamparan di desa tersebut dipilih untuk diamati setiap minggu. Lahan terung yang diamati terdiri dari dua lahan yaitu tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif (Gambar 3). Karakteristik umum kedua lahan pertanaman terung disajikan pada Tabel 1.

Gambar 2 Curah hujan selama tiga bulan penelitian di Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor.

Tabel 1 Karakteristik lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif Karakteristik lahan Fase tanaman terung yang diamati

Vegetatif Generatif

Luas lahan (m2) 4 000 4 000

Jenis terung Ungu Ungu

Umur tanaman (bulan) 1.5 12

Cara tanam Monokultur Monokultur

Jarak tanam 30 cm x 50 cm 30 cm x 50 cm Kondisi lahan Terawat Kurang terawat Komoditas di sekitar

(24)

6  

a b

Gambar 3 Pertanaman terung: (a) lahan terung fase vegetatif, (b) lahan terung fase generatif.

Hama yang Ditemukan pada Tanaman Terung

Pada lahan pertanaman terung fase vegetatif dan generatif ditemukan beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT), baik hama maupun patogen. Keanekaragaman hama pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif hampir sama. Empoasca sp. dan Epilachna sp. merupakan hama yang dominan ditemukan pada kedua lahan. Oleh karena itu, populasi kedua hama ini dihitung setiap minggunya. Sedangkan hama lain seperti Valanga sp., Acherontia sp., Bactrocera spp., Mictis longicornis, dan Aulacophora sp. jarang ditemukan. Namun, apabila populasi OPT ini pada pertanaman sangat tinggi, maka dapat berpotensi menjadi hama penting (Tabel 2).

Tabel 2 Hama yang ditemukan pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur Ordo Famili Spesies Fase tanaman yang diserang

Vegetatif Generatif Coleoptera Chrysomelidae Aulacophora sp. √ √

Coleoptera Coccinellidae Epilachna sp. √ √ Diptera Tephritidae Bactrocera spp. − √ Hemiptera Cicadellidae Empoasca sp. √ √ Hemiptera Coreidae Mictis longicornis √ √ Lepidoptera Sphingidae Acherontia sp. √ −

Orthophtera Acrididae Valanga sp. √ √

Keterangan: (√) ditemukan (-) tidak ditemukan

Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae)

(25)

Populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase vegetatif pada awal pengamatan mengalami peningkatan, tetapi pada minggu ke-4 bulan November menurun kemudian meningkat lagi pada bulan Desember (Gambar 4). Penurunan ini disebabkan turunnya hujan secara terus menerus. Sedangkan populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase generatif juga mengalami penurunan karena turunnya hujan secara terus-menerus dan pemakaian pestisida. Beberapa faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi Empoasca sp. terhadap tanaman inang antara lain cuaca, umur tanaman, kepadatan trikoma, senyawa kimia, dan musuh alami (Norris dan Kogan 1980).

 

  Gambar 4 Rata-rata populasi Empoasca sp. pada tanaman

terung fase vegetatif (▲) dan fase generatif (●). Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae)

Kumbang pemakan daun Epilachna sp. merupakan hama yang dominan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif. Imago kumbang ini berwarna jingga kusam dengan bintik-bintik hitam pada elitranya dan panjang tubuhnya berkisar antara 5-8 mm (Gambar 7a). Larvanya berwarna kuning dan terdapat seta yang terl;ihat seperti duri pada bagian tubuhnya (Gambar 7b). Baik larva maupun imago merusak tanaman dengan memakan lapisan epidermis di bawah daun tetapi bagian atas daun tetap utuh. Sehingga daun yang terserang tinggal kerangka dan menjadi kering seperti jaring (Gambar 7c dan 7d). Kumbang Epilacna sp. aktif makan terutama pada pagi hari sedangkan pada siang hari aktivitas makannya menurun, pada sore hari kembali aktif makan dan kemudian menjelang malam aktifitas makannya menurun lagi (Abdullah dan Abdullah 2009).

(26)

8  

Kerapatan trikoma pada daun terung juga mempengaruhi populasi Epilachna sp. Pada daun terung rata-rata kerapatan trikoma adalah 5 trikoma/mm2, sehingga kumbang Epilachna sp. lebih menyukai tanaman terung dibandingkan dengan tanaman lain dari famili Solanaceae (Leite et al. 2011).

  Gambar 5 Populasi Epilachna sp. pada lahan terung fase

vegetatif (▲) dan fase generatif (●). Hama Lainnya

Hama lain juga ditemukan pada kedua lahan yang diamati. Beberapa hama ini pada saat pengamatan populasinya rendah, sehingga tidak dihitung populasi setiap minggunya. Apabila populasi hama ini meningkat di lapang, maka dapat berpotensi menjadi hama penting.

Belalang Valanga spp. (Orthophtera: Acrididae). Belalang ini berwarna hijau dan berukuran besar sekitar 8 cm (Gambar 6a). Panjang antenanya lebih pendek dari ukuran tubuhnya. Famili Acrididae kebanyakan berwarna abu-abu atau kecoklatan dan beberapa ada yang memiliki warna yang cerah pada sayap bagian belakang (Borror et al. 1996). Gejala yang ditimbulkan yaitu terdapat bekas gerigitan pada daun yang dimulai dari tepi daun. Belalang ini bersifat polifag dan memiliki kisaran inang yang luas. Belalang ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif, namun pada saat pengamatan populasinya sedikit.

(27)

Ulat Keket Acherontia sp. (Lepidoptera: Sphingidae). Serangga ini termasuk nokturnal dan menjadi hama pada fase larva. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun menjadi gerigitan karena dimakan oleh ulat dan lama-lama menjadi habis. Larvanya berukuran sekitar 10 cm, berwarna hijau dengan garis kuning pada kedua sisi tubuhnya. Di atas garis kuning tersebut terdapat garis berwarna biru muda. Pada ruas terakhir badannya terdapat struktur seperti tanduk yang mencuat dan melengkung ke depan (Gambar 6c). Dilihat dari ukuran dan pola makannya potensi kerusakan yang ditimbulkan sangat tinggi namun selama pengamatan serangga ini hanya ditemukan satu kali di lahan pengamatan.

Kepik Mictis longicornis (Hemiptera: Coreidae). Baik nimfa maupun imago dapat merusak tanaman dengan menusuk dan menghisap cairan tanaman sehingga bagian yang terserang mengalami nekrotik. Imago dari kepik M. longicornis ini berwarna coklat dan berukuran sekitar 2.7 cm (Gambar 6d). Kepik dari famili Coreidae ini terdiri dari 2 200 spesies di dunia dan memiliki kisaran inang yang sangat luas (Dursun dan Fent 2009). Pada saat pengamatan kepik ini ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif, namun populasinya sedikit.

Aulacophora sp. (Coleoptera: Chrysomelidae). Kumbang pemakan daun ini merupakan hama penting pada tanaman dari famili Cucurbitaceae. Imago berwarna coklat mengkilat, berukuran sekitar 7 mm dan biasanya ditemukan di atas permukaan daun (Gambar 6e). Akan tetapi kumbang ini juga menyerang tanaman dari famili Solanaceae. Aulacophora sp. memiliki kisaran inang yang luas, sehingga sulit untuk memutuskan daur hidupnya. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun menjadi berlubang karena kumbang memakan jaringan tanaman (Rajak 2001). Pada saat pengamatan kumbang Aulacophora sp. ini ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif maupun generatif, hal ini disebabkan lokasi lahan pertanaman yang berdekatan dengan tanaman mentimun yang merupakan famili Cucurbitaceae.

a b

(28)

10  

a b

c d

Gambar 7 Kumbang pemakan daun Epilachna sp. dan gejala kerusakannya: (a) imago, (b) larva, (c) gejala pada daun, (d) gejala terlihat seperti jaring.

a b

c d e

(29)

Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Terung

Penyakit yang ditemukan pada kedua pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur berdasarkan pengamatan gejala (simtomatologi) meliputi penyakit yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri (Tabel 3). Penyakit tersebut antara lain bercak daun (Alternaria sp.), busuk buah (Phomopsis sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Pada tanaman terung fase generatif jenis penyakit yang ditemukan lebih banyak karena umur tanaman sudah tua dan kurang dirawat dengan baik.

Tabel 3 Penyakit yang terdapat pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur

Penyakit Patogen Fase tanaman terung

Vegetatif Generatif

Busuk buah Phomopsis sp. - √

Antraknosa Colletotrichum sp. - √

Bercak daun Alternaria sp. √ √

Layu bakteri Ralstonia solanacearum √ √ Keterangan: (√) ditemukan (-) tidak ditemukan

Busuk Buah

Penyakit busuk buah disebabkan oleh cendawan Phomopsis sp. Pada buah terdapat bercak coklat yang besar dan melekuk, yang akhirnya menyebar seluruh bagian buah (Gambar 14a). Kemudian pusat bercak menjadi kelabu dan mempunyai banyak bintik-bintik berwarna hitam yang merupakan piknidium dari cendawan. Bagian yang busuk menjadi lunak dan berair. Pada akhirnya busuk buah menjadi hitam dan kering atau biasa disebut mummifikasi (Semangun 1989). Intensitas penyakit busuk buah relatif tinggi karena umumnya buah yang terserang hampir busuk total (Gambar 9). Seluruh tanaman contoh pada tanaman terung fase generatif yang diamati terinfeksi oleh penyakit ini.

Gambar 9 Persentase keparahan penyakit busuk buah pada tanaman terung fase generatif.

(30)

12  

14a). Konidia beta (β) hanya akan terbentuk apabila kondisi sangat sesuai dengan perkembangan penyakit (Mehrotra dan Aneja 1990). Stadia sempurna dari cendawan Phomopsis sp. adalah Diaporthe sp. dan termasuk ke dalam kelas Pyrenomycetes, ordo Diaporthales (Weber 1973).

Antraknosa

Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Gejala yang ditimbulkan yaitu pada buah yang terinfeksi terdapat bercak konsentris berwarna kuning kecoklatan di tengahnya terdapat konidia cendawan yang berwarna hitam (Gambar 14b). Konidia cendawan Colletotrichum sp. berbentuk seperti bulan sabit (Gambar 14b). Konidia dibentuk di struktur aservulus yang khas disertai seta berwarna gelap. Konidia berukuran sekitar 18.6-25 x 3.5-5.3 μm. Cendawan Colletotrichum sp. merupakan stadia anamorfik dari cendawan Glomerella sp. yang termasuk ke dalam kelas Pyrenomycetes, ordo Phyllacorales (Weber 1973). Penyakit ini termasuk penyakit yang ditakuti oleh petani. Seluruh tanaman contoh pada tanaman terung fase generatif yang diamati terinfeksi oleh penyakit ini. Intensitas penyakit antraknosa juga hampir sama dengan penyakit busuk buah yaitu relatif tinggi (Gambar 10). Pada buah yang terinfeksi umumnya hampir semua bagian busuk.

Gambar 10 Persentase keparahan penyakit antraknosa pada tanaman terung fase generatif.

Menurut Nelson (2008), pada umumnya konidia cendawan Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa ini disebarkan melalui cipratan air hujan. Pada saat musim hujan dengan kelembaban yang tinggi, semua stadia buah rentan terhadap infeksi cendawan ini. Pada beberapa buah terdapat infeksi campuran yaitu ditemukan gejala busuk buah Phomopsis dan antraknosa pada buah yang sama.

Bercak Daun

(31)

Cendawan Alternaria sp. memiliki miselium berwarna coklat muda, konidiofor tegak, bersekat, dengan ukuran 50-90 μm. Konidium berbentuk gada terbalik, berwarna coklat, berukuran 145-370 x 16-18 μm, mempunyai sekat melintang 5-10 buah dan 1 atau lebih sekat membujur. Konidium memiliki paruh (beak) pada ujungnya, paruh bersekat. Panjang paruh kurang lebih setengah dari panjang konidium atau lebih (Gambar 14c). Cendawan dapat mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit dan tumbuhan lain seperti tomat, kentang, dan kecubung (Semangun 1989).

Kejadian penyakit bercak daun dari minggu ke minggu relatif meningkat, tetapi keparahan penyakit tidak terlalu berat (Gambar 11 dan 12). Hal ini disebabkan lahan pertanaman masih dirawat dengan baik oleh petani. Sedangkan pada terung fase generatif keparahan penyakit bercak daun meningkat karena pada akhir pengamatan petani sudah jarang menggunakan pestisida. Seiring dengan umur tanaman terung yang semakin tua menyebabkan produktivitas tanaman terung menurun (Sadilova et al. 2006).

Gambar 11 Persentase kejadian penyakit bercak daun pada tanaman terung fase vegetatif (●) dan fase generatif (▲).

(32)

14  

Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum. Gejala yang ditimbulkan yaitu tanaman mendadak layu (Gambar 14d). Siklus hidup Ralstonia solanacearum dimulai dengan terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun pelukaan akibat nematoda, serangga, dan alat-alat pertanian. Setelah masuk ke jaringan akar, bakteri ini akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu (xylem) dalam akar dan pangkal batang kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya pembuluh kayu oleh massa dari bakteri R. solanacearum, transportasi air dan mineral terhambat sehingga tanaman menjadi layu dan mati (Supriadi 2011).

Penyakit ini menyerang tanaman terung baik fase vegetatif maupun fase generatif. Pada tanaman terung fase vegetatif kejadian penyakit meningkat, tetapi pada minggu ke-4 bulan November menurun, kemudian minggu berikutnya meningkat lagi (Gambar 13). Hal ini dikarenakan pada minggu ke-3 dilakukan penyulaman oleh petani sehingga kejadian penyakitnya menurun. Sedangkan pada tanaman terung fase generatif kejadian penyakit layu bakteri terus meningkat dari minggu ke minggu. Hal ini disebabkan turunnya hujan dan umur tanaman terung yang semakin tua sehingga penyakit semakin berkembang.

Gambar 13 Persentase kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman terung fase vegetatif (●) dan fase generatif (▲).

(33)

a b

c d

(34)

16  

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Organisme pengganggu tanaman yang ditemukan pada pertanaman terung di Desa Bantarjaya Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor antara lain adalah hama Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae), Valanga sp. (Orthophtera: Acrididae), Acherontia sp. (Lepidoptera: Sphingidae), Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae), Mictis longicornis (Hemiptera: Coreidae) dan Aulacophora spp. (Coleoptera: Chrysomelidae). Penyakit yang ditemukan antara lain bercak daun (Alternaria sp.), busuk buah (Phomopsis sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Hama Empoasca sp. dan Epilachna sp. merupakan hama yang dominan dan populasinya tinggi pada kedua lahan pertanaman yang diamati. Penyakit busuk buah (47.09%) dan antraknosa (40.84%) hanya ditemukan pada tanaman terung fase generatif dan intensitas penyakitnya tinggi.

Saran

Perlu diketahui korelasi antara populasi hama, kejadian dan keparahan penyakit dengan kehilangan hasil atau kerugian panen, serta pengelolaan hama dan penyakit.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen Horti] Direktorat Jendral Hortikultura. 2011a. Produksi sayuran [internet]. [diunduh 2012 Sep 27]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/infoekseku tif/horti//pdf-ATAP20011/ProdSayuran.pdf

[Ditjen Horti] Direktorat Jendral Hortikultura. 2011b. Produksi sayuran [internet]. [diunduh 2013 Feb 17]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/infoekseku tif/horti//pdf-ATAP2011/LPSayuran.pdf

Abdullah F, Abdullah F. 2009. The behaviour and feeding preference of the 12- spotted beetle Epilachna indica (Coleoptera: Coccinellidae) towards the black nightshade Solanum nigrum. Journal of Entomology. 6(4):176-187. Barnett H, Hunter BB. 1999. Illustrated Genera Fungi of Imperfect Fungi. Edisi

ke-4. Minnesota (US): APS Press.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Soetiyono P, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Studies of Insects. Daunay MC, Lester RN, Gebhard CH, Hennart JW, Jahn M, Frary A, Doganlar S.

2001. Genetic Resources of Eggplant (Solanum melongena L.) and Allien Species. Nijimegen: Nijimegen University Press.

Daunay MC, Janick J. 2007. History and iconography of eggplant. Chronica Horticulturae. 47(3):16-22.

Dursun A, Fent M. 2009. A study on the Coreidae (Insecta: Heteroptera) of the kelkit valley, Turkey. Acta Entomologica Serbica. 14(1):13-25.

Frary A, Doganlar S, Daunay MC, Tanksley SD. 2003. QTL analysis of morphological traits in eggplant and implications for conservation of gene function during evolution of solanaceous species. Theory Aplied Genetics. 107:359-370.

Hardinsyah. 1990. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Hottesman K, Masrton A. 2005. Saponins [internet]. [diunduh 2013 Mar 18]. Tersediapada:http://www.google.co.id/search?tbm=bks&hl=id&q=Tomatine +content+in+Lycopersicon+esculentum+leaf&btnG

Imura O, Ninomiya S. 1978. Quantitative measurement of leaf area consumption by Epilachna vigintioctopunctata (Fabricius) (Coleoptera: Coccinellidae) using image processing. Appl. Entomology Zool. 33(4): 491-495.

Islam MR, Meah MB. 2011. Association of Phomopsis vexans with eggplant (Solanum melongenae) seeds, seedlings, and its management. The Agriculturist. 9(1-2):8-17.

Leite GLD, Picanco M, Zanuncio JC, Moreira MD, Jham GN. 2011. Hosting capacity of horticultural plants for insect pest. Chilean J Agric Res. 71(3):383-389.

Mehrotra RS, Aneja KR. 1990. An introduction to mycology [internet]. [diunduh 2013 Mar 18]. Tersedia pada: http://books.google.co.id/books?id=UUorj_O 2dcsC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false.

(36)

18  

Nelson S. 2008. Antrachnose of avocado [internet]. [diunduh 2013 Mar 18]. Tersedia pada: http://www.ctarh.hawaii.edu./oc/freepub/pdf/PD-58.pdf. Norris DM, Kogan M. 1980. Biochemical and morphological bases of resistance.

Di dalam: Maxwell FG, Jennings PR, editor. Breeding plants resistant to insects. New York (US): J. Wiley. hlm 23-61.

Pena JE, Sharp, JL, Wysok M. 2002. Tropical Fruit Pests and Pollinators: Biology, Economic Importance, Natural Enemies and Control. New York (US): CABI Publishing.

Praca, JM, Thomaz A, Caramelli B. 2004. Eggplant (Solanum melongena) extract does not alter serum lipid levels. Arquivos Brasileiros de Cardiologia. 82(3):27-36.

Rajak DC. 2001. Host range and food preference of the red pumpkin beetle, Aulacophora foveicollis lucas (Chrysomelidae: Coleoptera). Agriculture Science Digest. 21(3):179-181.

Reddy PP. 2010. Fungal Diseases and Their Management in Horticultural Crops. Jodhpur (IN): Scientific Publishers.

Regupathy A, Palanisamy S, Chandramohan N, Gunathilagaraj K. 1997. A Guide on Crop Pests. Coimbatore (IN): Sooriya Desk Top Publishers.

Richards AM. 1983. The Epilachna vigintioctopunctata Complex (Coleoptera: Coccinellidae). International Journal of Entomology. 25(1):11-41.

Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Plant Pathogenic Bacteria. St. Paul (US): APS Press.

Semangun H. 1989. Penyakit-Penyakit Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Sadilova E, Stintzing FC, Carle R, Van Eck J, Snyder A. 2006. Anthocyanins, colour, and antioxidant properties of eggplant (Solanum melongena L.) and violet pepper (Capsicum annum L.). Methods Mol Biol. 343:439-447.

Supriadi, Mulya K, Sitepu D. 2000. Strategy for controlling wilt disease of ginger caused by Pseudomonas solanacearum. Pengembangan Inovasi Pertanian. 19(3):106-111.

Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peranan teknologi pengendaliannya. Pengembangan Inovasi Pertanian. 4(4):279-293.

(37)
(38)
(39)

Lampiran 1 Data curah hujan harian pada bulan Oktober sampai Desember 2012

Tanggal Oktober November Desember

1 - 98.0 100.0

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor

(40)

22

 

Lampiran 2 Rata-rata populasi Empoasca sp. di lahan pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai

Desember 2012

Fase tanaman

Rata-rata populasi per tanaman contoh pada minggu pengamatan (individu)

Oktober November Desember

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

Vegetatif 0.70 1.33 3 3.67 3.4 2.03 0.37 2.67 3.40 5.07

Generatif 15.4 11.53 9.53 9.33 8.07 3.47 2.80 2.17

Lampiran 3 Populasi Epilachna sp. di lahan pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012

Fase tanaman

Populasi pada semua tanaman contoh pada minggu pengamatan (individu)

Oktober November Desember

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

Vegetatif 1 1 2 4 2 1 6 21 17 21

Generatif 34 38 27 30 21 12 12 16

(41)

Lampiran 4 Kejadian dan intensitas penyakit pada lahan pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012

Penyakit Fase tanaman Peubah pengamatan

Kejadian penyakit (KP) dan intensitas penyakit (I) pada minggu pengamatan (%)

Oktober November Desember

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3

Busuk buah Generatif KP 100 100 100 100 100 100 100 100

I 26.70 26.70 20 50 60 63.30 63.30 66.70

Antraknosa Generatif KP 100 100 100 100 100 100 100 100

I 16.70 13.30 16.70 50 53.30 56.70 56.70 63.30

Bercak daun Vegetatif KP 6.70 23.30 30 36.70 40 50 63.30 70 66.70 66.70 I 0.33 1.17 1.50 1.72 1.25 1.42 3 3.58 3.92 4.17 Generatif KP 83.30 86.70 90 96.70 93.30 90 80 76.70

I 12 15.17 15.92 18.92 20.25 20.50 20.92 21.17

Layu bakteri Vegetatif KP 0 0 3.30 3.30 6.70 0 3.30 10 13.30 13.30

Generatif KP 0 0 0 3.30 6.70 10 20 23.30

(42)
(43)

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1  Karakteristik lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif
Tabel 2  Hama yang ditemukan pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur
Gambar 6  Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae): (a) imago, (b) gejala daun
Gambar 7  Kumbang pemakan daun Epilachna sp. dan gejala kerusakannya: (a)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat beberapa contoh sahaja kata terbitan yang diwakili oleh kedua-dua bentuk imbuhan awalan kata adjektif tersebut yang ditemui oleh pengkaji... Alomorf ini hadir pada

(1) Sejumlah warga negara yang berhak memilih tetapi tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) atau nomor induk kependudukan (NIK), sehingga tidak dapat terdaftar dalam

ƒ Secara geografis, penurunan volume penjualan semen domestik SMGR selama periode tersebut terutama berasal dari wilayah Sumatera dengan penurunan sebesar 14,8% MoM dari 479K ton

Ibnu Katsīr dibesarkan di kota Damaskus, dan disana beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Burhan dl- Din al-Fazari yang

Berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat beberapa penyakit yang menyerang tanaman gandum di TTU antara lain penyakit busuk pangkal batang (Rhizoctonia sp.), hawar daun

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat pemahaman wajib pajak, kualitas pelayanan perpajakan, sanksi perpajakan dan kondisi lingkungan

Hama dan penyakit yang banyak ditemukan pada tanaman kakao seperti Penyakitvascular streak dieback, penyakit busuk buah, penyakit kanker batang, penyakit jamur