• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemantauan Bahaya Kekeringan Dan Analisis Risiko Kekeringan Di Kabupaten Indramayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemantauan Bahaya Kekeringan Dan Analisis Risiko Kekeringan Di Kabupaten Indramayu"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

PEMANTAUAN BAHAYA KEKERINGAN

DAN ANALISIS RISIKO KEKERINGAN

DI KABUPATEN INDRAMAYU

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemantauan Bahaya Kekeringan dan Analisis Risiko Kekeringan di Kabupaten Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Nina Widiana Darojati

(4)

RINGKASAN

NINA WIDIANA DAROJATI. Pemantauan Bahaya Kekeringan dan Analisis Risiko Kekeringan di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh BABA BARUS dan EUIS SUNARTI.

Kekeringan di Kabupaten Indramayu perlu mendapat perhatian serius sehubungan Kabupaten Indramayu merupakan salah satu lumbung padi bagi Provinsi Jawa Barat dan salah satu lumbung padi nasional. Kekeringan sebagai peristiwa alam dan menyerang secara perlahan, telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat pertanian di Kabupaten Indramayu. Mengingat kekeringan merupakan kejadian yang dapat berulang, maka perlu dilakukan upaya pemantauan dan mengidentifikasi faktor-faktor bahaya kekeringan, agar dapat dikembangkan model bahaya kekeringan. Disamping itu, perlu dibuatnya peta bahaya kekeringan, kerentanan kekeringan serta risiko kekeringan agar dapat dilakukan analisis dan penyusunan upaya adaptasi kekeringan. Kegiatan ini diharapkan dapat diketahui sebaran kekeringan yang bermanfaat untuk pengembangan pertanian dan kebijakan lainnya, serta dapat meminimalkan kerugian yang mungkin di alami dikemudian hari.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah memantau kekeringan dan mengidentifikasi faktor-faktor bahaya kekeringan melalui penyebaran kuesioner, pengolahan data terhadap faktor-faktor bahaya dan mengembangkan model kekeringan. Tiap-tiap faktor diberi skor dan bobot berdasarkan urutan kepentingan atau pengaruhnya terhadap bahaya kekeringan kemudian digabungkan dengan metode MCE (Multi Criteria Evaluation). Model diterapkan pada 3 (tiga) titik tahun yaitu 2003, 2008 dan 2012 dalam dua versi. Versi 1 yakni dengan tidak menyertakan jarak dari jaringan irigasi dan versi 2 adalah dengan menyertakan jarak dari jaringan irigasi. Sementara itu, metode yang digunakan dalam penentuan indeks kerentanan, kapasitas/ketahanan dilakukan dengan pemberian skor dan bobot berdasarkan urutan kepentingan atau pengaruhnya terhadap kekeringan pada masing-masing sub paramater dan menjumlahkannya untuk masing-masing paramater. Selanjutnya dilakukan pemetaan dan penilaian risiko dengan menghubungkan kondisi bahaya, kerentanan dan kapasitas, yang dinyatakan oleh notasi Risk = (Bahaya x Kerentanan) / Kapasitas.

(5)

ideal, dimana keberadaan jaringan irigasi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan air lahan sawah agar terhindar dari kekeringan serta tidak terjadi gagal panen. Akan tetapi jaringan irigasi kurang berperan pada masa musim kemarau. Sementara itu, model versi 1 memiliki tingkat validasi yang cukup signifikan. Versi 1 merupakan kondisi yang mendekati keadaan sebenarnya di lapangan. Kondisi wilayah penelitian yang memiliki tingkat bahaya sedang hingga tinggi.

Tingkat kerentanan kekeringan yang meliputi faktor ekonomi, faktor sosial serta faktor teknik menunjukkan bahwa wilayah penelitian pada umumnya berada pada tingkat kerentanan sedang sampai tinggi. Adapun tingkat kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam upaya menghadapi bahaya menunjukkan bahwa kapasitas wilayah penelitian pada umumnya berada pada tingkat sedang sampai tinggi. Berdasarkan hubungan antara bahaya, kerentanan dan kapasitas tersebut diperoleh risiko kekeringan pada 2003 memiliki luas lahan yang tergolong risiko tinggi lebih luas dibandingkan dengan 2008 dan 2012 baik versi 1 maupun versi 2. Dengan demikian, upaya mitigasi yang dapat dilakukan pada wilayah yang memiliki risiko tinggi yakni: (1) pembuatan embung baru dan sumur sadon dengan ukuran yang lebih besar agar dapat digunakan bersama disertai gerakan penanaman pohon terutama di area sekitar danau dan embung agar dapat mengisi air tanah dan mengurangi penguapan dari sumber air tersebut; (2) memperbaiki dan menambah pembangunan infrastruktur jaringan irigasi disertai peningkatan volume air agar dapat dilakukan penanaman 3x/tahun; (3) meningkatkan bantuan pompa air besar; (4) meningkatkan kegiatan kelompok tani agar lebih aktif dan pemberian penyuluhan dari BPP yang rutin agar kondisi dan kegiatan petani terkontrol.

(6)

SUMMARY

NINA WIDIANA DAROJATI. Monitoring Drought and Risk of Drought Analisys in Indramayu. Supervised by BABA BARUS and EUIS SUNARTI.

Drought in Indramayu need seriously response because Indramayu is a rice granary for West Java Province and one of rice granary for national. The drought as a natural event and attacked slowly. Drought as a natural event and attacked slowly, has caused harm to the farming community in the district. Indramayu. In vew of the drought is an event that can be repeated, it is necessary to monitor and identify factors associated risk of drought, so as to develop a model of the hazard of drought. Besides, it should be made maps of hazard, vulnerability and risk in order to do the analysis and preparation of mitigation. This activity is expected to be known distribution of drought useful for the development of agriculture and other policies, as well as to minimize losses that may in the future.

This research used a method to monitor drought and identify factors associated risk of drought through questionnaires, data processing of the factors of hazard and develop models of drought. Each factor was scored and weighted in order of importance or influence on the risk of drought and then overlay is connected through the MCE method (Multi Criteria Evaluation). The model is applied to three (3) points in that 2003, 2008 and 2012. The model is built for two versions. Model version 1, implementaed by excluding the distance from the irrigation network and model version 2, include a range of irrigation networks. Meanwhile, the method used in determining the vulnerability index, capacity done by assigning scores and weights in order of importance or influence of drought on each sub-parameters and totalize to each parameter. Further mapping and risk assessment by linking conditions hazard, vulnerability and capacity, which is expressed by Risk = (Hazard x Vulnerability) / Capacity.

The results showed that the drought hazard factor that has the most impact to the lowest is the rainfall, land use, distance to water sources, soil texture, soil surface temperature, in order to obtain a model with the formulation: H = (0,34SPI) + (0,20L) + (0,19B) + (0,17Jt) + (0,10LST). The hazard in 2003 has a land area that is classified as a high hazard wider than the drought in 2008 and 2012. This is due to the long drought in 2003 to produce indigo SPI (Standard Precipitation Index) to dry extreme class. The spread of the hazard on the model version 2 has an area at risk of drought less than the model version 1 and version 2 models have a value lower accuracy than version 1. Model version 2 is an ideal condition, where the existence of the irrigation network is intended to meet the water needs of wetland to avoid of drought and crop failure does not occur. However, irrigation is less a role during the dry season. Meanwhile, the model version 1 has a significant level of validation. Version 1 is a condition close to the real situation on the ground. Condition research areas that have moderate to high levels of danger.

(7)

are at moderate to high levels. Based on the relationship between hazards, vulnerability and capacity obtained a risk of drought in 2003 has a land area that is classified as high risk more widely in comparison with 2008 and 2012 both version 1 and version 2. Therefore, mitigation measures that can be done in areas that have a high risk that: (1) development of new ponds and wells sadon with a larger size to be used in conjunction with the movement of tree planting, especially in the area around the lakes and ponds in order to fill the soil and reduce evaporation of water from the water source; (2) improve and increase the irrigation network infrastructure with increased volume of water that can be done planting 3 times of year; (3) enhancing project aid for large water pump; (4) increasing the activity of farmer groups to be more active and granting extension of BPP who regularly so that the farmer-controlled conditions and activities.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

PEMANTAUAN BAHAYA KEKERINGAN

DAN ANALISIS RISIKO KEKERINGAN

DI KABUPATEN INDRAMAYU

NINA WIDIANA DAROJATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah kekeringan, dengan judul Pemantauan Bahaya Kekeringan dan Analisis Risiko Kekeringan di Kabupaten Indramayu.

Kabupaten Indramayu setiap tahun selalu mengalami kekurangan air baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan pertanian sawah. Kondisi ini terjadi terutama pada masa musim kemarau. Namun demikian, kondisi tersebut tidak menyurutkan petani-petani di Indramayu untuk tetap bertani. Mereka tidak mau meninggalkan apa yang telah menjadi warisan dari nenek moyangnya dan mereka merasa bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang mulia. Dimana hampir seluruh penduduk Indonesia senantiasa membutuhkan beras. Semangat inilah yang perlu mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan dan pihak-pihak lainnya untuk dapat memberikan arahan dan kebijakan dalam upaya meningkatkan ketahanan petani dalam menghadapi kekeringan sehingga dapat membantu kesejahteraan petani.

Penelitian yang dilakukan penulis merupakan bagian dalam upaya memberikan arahan terkait bahaya dan resiko kekeringan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Baba Barus, MSc dan Ibu Prof Dr Ir Euis Sunarti selaku pembimbing, serta (alm) Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, Dr Boedi Tjahjono, MSc, Ibu Dr Khursatul Munibah, MSc dan Bapak Ir Bambang Hendro Trisasongko, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada masyarakat tani di Kabupaten Indramayu dan instansi-instansi yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga dihaturkan kepada ayah, ibu, Acep yang ikut keliling turun ke lapangan, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa disampaikan pula untuk teman-teman MBK atas kebersamaannya selama studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

(13)

DAFTAR ISI

Lokasi dan Waktu Penelitian 12

Bahan dan Alat 12

Tahapan Penelitian 13

Pengumpulan Data 13

Pengolahan Data 13

A) Faktor-faktor Bahaya Kekeringan 13

B) Penyusunan Model Bahaya Kekeringan 18

C) Validasi Model 19

D) Indeks Kerentanan 19

E) Indeks Ketahanan dan Resiko Kekeringan 22

Analisis Data 24

A) Penentuan Faktor yang Mempengaruhi Bahaya Kekeringan 24 B) Pengembangan Model Bahaya Kekeringan 24

C) Analisis Kerentanan Kekeringan 24

D) Analisis Ketahanan/Kapasitas dan Resiko Kekeringan 25

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 25

(14)

Jumlah pendudukan dan laju pertumbuhan 32

Mata pencaharian Penduduk 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 34

Faktor Bahaya Kekeringan dan Pembobotan 34

Pemetaan Faktor-faktor Bahaya Kekeringan 35

Indeks Standar Curah Hujan 35

Penggunaan Lahan 41

Jaringan sumberdaya air 44

Tekstur Tanah 47

Suhu Permukaan Tanah 48

Pengembangan Model Bahaya Kekeringan 50

Pemetaan dan Analisis Bahaya Kekeringan 51

Validasi Model Bahaya Kekeringan 56

Kerentanan Kekeringan 58

Kerentanan Ekonomi 58

Kerentanan Sosial 62

Kerentanan Teknik 66

Kerentanan Total 69

Kapasitas Kekeringan 71

Risiko Kekeringan 75

Mitigasi Kekeringan 78

6 SIMPULAN DAN SARAN 81

Simpulan 81

(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan sumber data yang digunakan serta kaitannya dengan tujuan

penelitian 13

2 Kelas Indeks Standar Presipitasi (SPI) 15

3 Konstanta radiasi untuk Landsat 16

4 Kelas Suhu permukaan tanah 16

5 Kelas Sumber Air (Sungai & Jaringan Irigasi) 17

6 Kelas tekstur tanah di Indramayu 17

7 Pengelompokan jenis penggunaan lahan 18

8 Daftar parameter utama dan sub parameter dalam penilaian kerentanan 21

9 Kelas Kapasitas Kekeringan 23

10 Jumlah hari hujan dan curah hujan di stasiun pencatat hujan 27 11 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha

Utama dan Status Pekerjaan Utama 33

12 Urutan Kepentingan Faktor Bahaya Kekeringan 34

13 Rata-rata curah hujan bulanan di setiap tahunnya 36

14 Nilai SPI minimum dan maksimum tiap tahun 38

15 Luasan jenis penggunaan lahan tahun 2003, 2008 dan 2012 42

16 Pengelompokan Kelas Tekstur Tanah 47

17 Hasil Normalisasi Faktor Bahaya Kekeringan 50

18 Kelas Indeks Bahaya Kekeringan 51

19 Kelas lahan berdasarkan Model versi 1 51

20 Kelas lahan berdasarkan Model versi 2 52

21 Luasan kelas bahaya versi 1 pada kelas penggunaan lahan (Ha) 55 22 Luasan kelas bahaya versi 2 pada kelas penggunaan lahan 55 23 Validasi Model Versi 1 Bahaya Kekeringan pada Lahan Pertanian dengan

Data Puso 56

24 Validasi Model Versi 2 Bahaya Kekeringan pada Lahan Pertanian dengan

Data Puso 56

25 Pembobotan dan Normalisasi Faktor Ekonomi 58

26 Pembobotan dan Normalisasi Faktor Sosial 62

27 Pembobotan dan Normalisasi Faktor Teknik 66

28 Kelas Kapasitas Kekeringan 73

29 Bobot dan Normalisasi Faktor Kapasitas Kekeringan 73 30 Luasan Tingkat Risiko Kekeringan pada Model Versi 1 77 31 Luasan Tingkat Risiko Kekeringan pada Model Versi 2 78

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Perbedaan Komponen-komponen untuk Peramalan Kekeringan 6

2 Komponen Model Kekeringan 7

3 Alur kerangka pemikiran penelitian 11

4 Lokasi Penelitian 12

5 Lokasi stasiun pencatat hujan 14

6 Aliran kegiatan penyusunan model bahaya kekeringan 20 7 Tahapan pengolahan Indeks Kerentanan Kekeringan 22 8 Tahapan Penyusunan Kapasitas dan Risiko Kekeringan 23 9 Parameter dan sub parameter kerentanan kekeringan 25

10 Wilayah administrasi Kabupaten Indramayu 26

11 Topografi Wilayah Penelitian 28

12 Sebaran Jenis Tanah di Kabupaten Indramayu 29

13 Sebaran Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2012 30

14 Luasan jenis penggunaan lahan tahun 2012 30

15 Peta potensi sumber daya air di wilayah Kabupaten Indramayu 31 16 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Indramayu (1990-2013) 32 17 Sebaran penduduk di tiap kecamatan di Kabupaten Indramayu 32 18 Rata-rata curah hujan tahunan tahun 1996 – 2013 35 19 Curah hujan tahunan di tiap stasiun tahun 1996 – 2013 35 20 Curah hujan bulanan di tiap stasiun tahun 1996 – 2013 37 21 Rataan nilai SPI 12 bulanan masa kemarau di tiap statsiun 39

22 Pola nilai SPI 12 bulanan pada masa kemarau 40

23 Sebaran penggunaan lahan tahun 2003 42

24 Sebaran penggunaan lahan tahun 2008 43

25 Sebaran penggunaan lahan tahun 2012 43

26 Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2003 - 2012 44

27 Kegiatan pompanisasi 45

28 Buffer dari Sungai dan Danau/Waduk 45

29 Beberapa sumber air dalam keadaan kekurangan air 46

30 Buffer dari Jaringan Irigasi 46

31 Beberapa jaringan irigasi dalam keadaan kekurangan air 47

32 Sebaran kelas tekstur tanah 48

33 Sebaran suhu permukaan tanah pada berbagai kondisi 49

34 Sebaran bahaya kekeringan Versi 1 52

35 Sebaran bahaya kekeringan Versi 2 53

(17)

45 Kerentanan teknik terhadap kekeringan Tahun 2012 69

46 Kerentanan Total Tahun 2003 70

47 Kerentanan Total terhadap kekeringan Tahun 2008 70 48 Kerentanan Total terhadap kekeringan Tahun 2012 71 49 Sumur sadon, embung dan jaringan irigasi di lahan pertanian 72

50 Sebaran Kapasitas Kekeringan Tahun 2003 73

51 Sebaran Kapasitas Kekeringan Tahun 2008 74

52 Sebaran Kapasitas Kekeringan Tahun 2012 74

53 Sebaran Resiko Kekeringan Versi 1 76

54 Resiko Kekeringan Versi 2 77

DAFTAR LAMPIRAN

1 Alokasi dana BP3 87

2 Indeks Rawan Bencana Kekeringan di Indonesia 88

3 Lokasi Stasiun Pencatat Curah Hujan 89

4 Kelas Indikator Kerentanan 90

5 Luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Indramayu 93

6 Luasan Jenis Tanah 93

7 Luas jenis penggunaan lahan tahun 2012 di tiap kecamatan 94

8 Jumlah penduduk tahun 2013 95

9 Respon responden terhadap urutan faktor bahaya kekeringan 96 10 Bobot nilai respon responden terhadap faktor bahaya kekeringan 97 11 Luasan (Ha) dan presentase (%) nilai SPI tahun 1996 - 2013 98

12 Citra Landsat TM Band 6 yang digunakan 99

13 Luasan Suhu Permukaan Tanah tahun 2003, 2008 dan 2012 100 14 Luas area kelas bahaya tinggi model versi 1 di tiap kecamatan 100 15 Luas area kelas bahaya tinggi model versi 2 di tiap kecamatan 101

16 Indikator Kerentanan Kekeringan 102

17 Luas Panen, Hasil Per Hektar dan Produksi Padi Jawa Barat, 2011 105 18 Karakterstik kerentanan ekonomi di tiap wilayah 106 19 Karakterstik kerentanan sosial di tiap wilayah 109

20 Jumlah penduduk buta huruf tahun 2010 112

21 Karakterstik kerentanan teknik di tiap wilayah 113 22 Karakterstik kerentanan total di tiap wilayah 116 23 Program Dinas Pertanian dan Pertenakan Kabupaten Indramayu terkait

penanganan kekeringan 117

24 Karakterstik kapasitas masyarakat di tiap kecamatan 119

25 Luasan risiko di tiap kecamatan 122

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan kemarau dimana masa pergantian musim terjadi setiap enam bulan. Sejak 30 tahun belakangan ini telah terjadi gangguan iklim. Menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), pada tahun 1977 terjadi fenomena El-Nino kuat sekali mengakibatkan kekeringan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Gejala El-Nino adalah penyimpangan cuaca di Lautan Pasifik dimana kondisi lautan sedang memanas. Peristiwa El-Nino menyebabkan terpengaruhnya cuaca di wilayah sekitarnya. Di wilayah Indonesia mengakibatkan sirkulasi musim hujan dan kemarau menjadi kacau, dimana masa musim kemarau menjadi lebih kering dan lebih lama dari biasanya sehingga masa musim hujan menjadi terlambat dan lebih singkat. Rata-rata kejadian bencana di Indonesia selama tahun 2002–2009, kejadian kekeringan menempati urutan ke dua yaitu setelah kejadian banjir, yakni dengan rata-rata kejadian sebanyak 156 kejadian per tahun (BNPB 2009).

Salah satu wilayah yang paling sering mengalami kekeringan di daerah pantai utara adalah Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kabupaten Indramayu sering mengalami ketidaknormalan musim sehingga sering mengalami curah hujan yang cukup tinggi pada musim hujan (November – April) yang mengakibatkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau (Mei – Oktober) keadaan curah hujan sangat kurang sehingga terjadi kekurangan air/kekeringan. Keadaan tersebut mengganggu kegiatan pertanian dan menyebabkan kerugian bagi petani. .

Kekeringan pada dasarnya adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah untuk berbagai kegiatan, kelompok-kelompok dan sektor lingkungan dalam masa berkepanjangan dapat mencapai beberapa bulan hingga tahunan (Wilhite dan Svoboda 2000 dalam UNDP 2011). Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan, transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Situasi demikian dapat ditinjau secara klimatologi maupun hidrologis. Tinjauan secara klimatologis mencakup penilaian terhadap Suhu Permukaan Tanah (Land Surface Temperature/LST), sedangkan tinjauan secara hidrologis mencakup penilaian terhadap Indeks Standard Presipitasi (Standardized Precipitation Index/SPI). Nilai LST mampu mengidentifikasi permukaan yang relatif basah dan kering, sedangkan SPI dapat memantau pasokan air jangka pendek dan sumber daya air jangka panjang.

(20)

Peristiwa kekeringan berpotensi menimbulkan kerusakan dan kerugian. ISDR (2009) menyatakan bahwa suatu rangkaian kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian diartikan sebagai bahaya. Hal ini berarti kekeringan dapat menjadi suatu bahaya, yang disebut bahaya kekeringan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kekeringan menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya sehingga perlu dilakukan pemantauan yang merupakan langkah antisipasi dalam menghadapi suatu bencana. Wilhite (2000) berpendapat bahwa, sebagai bencana alam, kekeringan berbeda dari bahaya alam lainnya. Perbedaan tersebut adalah 1) awal dan akhir kekeringan sulit ditentukan, dampak peningkatan kekeringan terjadi secara perlahan dan sering menumpuk melebihi periode waktu yang dipertimbangkan. Oleh karena itu, kekeringan sering disebut sebagai fenomena merayap; 2) kesulitan menetapkan batasan kekeringan yang menyebabkan kebingungan karena tidak memiliki definisi kekeringan yang universal/umum; 3) dampak kekeringan bersifat non-struktural sehingga area menyebar lebih luas dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh bahaya alam lainnya. Berbeda dengan kejadian-kejadian banjir, badai, gempa, dan tornado, kejadian kekeringan mempengaruhi badan air dari struktur sumber daya air dan jarang menyebabkan kerusakan struktural (bangunan badan air); 4) kegiatan manusia secara langsung dapat memicu memperburuk kekeringan, seperti pertanian intensif, irigasi berlebihan, penggundulan hutan, eksploitasi air tersedia secara berlebih, erosi yang berdampak negatif pada kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air.

Memperhatikan hal di atas dan mengingat Kabupaten Indramayu merupakan salah satu lumbung padi bagi Provinsi Jawa Barat dan bahkan salah satu lumbung padi nasional, maka perlu perlu dibuatnya peta bahaya kekeringan, kerentanan kekeringan serta risiko kekeringan agar dapat dilakukan analisis dan penyusunan upaya adaptasi kekeringan. Kegiatan ini diharapkan dapat diketahui sebaran kekeringan yang bermanfaat untuk pengembangan pertanian dan kebijakan lainnya, serta dapat meminimalkan kerugian yang mungkin di alami dikemudian hari.

Perumusan Masalah

(21)

anggaran untuk penanggulangan lahan terkena puso tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 05/2013, sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.

Berdasarkan indeks rawan bencana kekeringan dari BNPB sebagaimana disajikan pada Lampiran 2, Kabupaten Indramayu memiliki skor 24 yang tergolong ke dalam indeks kekeringan kelas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan di wilayah Kabupaten Indramayu merupakan hal serius dan perlu dilakukan upaya mitigasi. Dengan demikian, untuk mengurangi dampak kekeringan perlu adanya pemahaman yang harus dimiliki oleh masyarakat terutama petani tentang kondisi lingkungannya dan pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kekeringan. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat bersikap siap siaga dalam mengahadapi bahaya kekeringan. Disamping itu perlu adanya kajian yang memprediksi kemungkinan terjadinya bahaya kekeringan agar dapat disusun skenario mitigasinya sebagai bentuk antisipasi dalam menghadapi bahaya kekeringan.

Tujuan Penelitian

Memperhatikan uraian di atas, maka tujuan ini adalah:

1. Memantau kekeringan dan mengidentifikasi faktor-faktor terkait bahaya kekeringan,

2. Mengembangkan model kekeringan,

3. Membuat Peta Bahaya Kekeringan, Kerentanan Kekeringan, serta Risiko Kekeringan

4. Menganalisis dan menyusun upaya adaptasi kekeringan.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini, adalah diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi bahaya kekeringan di Kabupaten Indramayu, terbentuknya Peta Bahaya Kekeringan, Peta Kerentanan Kekeringan, Peta Resiko Kekeringan dan upaya adaptasi menghadapi ancaman kekeringan di Kabupaten Indramayu. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi petani di Kabupaten Indramayu dan instansi terkait sehingga petani akan memiliki daya tahan yang lebih baik dalam menghadapi kekeringan dan dapat disusun program-program pengembangan pertanian yang telah mempertimbangkan faktor-faktor bahaya kekeringan, tingkat kerentanan masyarakat, kapasitas masyarakat dan tingkat risikonya.

Ruang Lingkup

(22)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelangkaan air sudah sering terjadi di banyak bagian dunia, sebagian karena kebutuhan air meningkat berlipat ganda, karena pertumbuhan populasi dan ekspansi sektor pertanian, energi dan industri, dan sebagian karena perubahan iklim dan terkontaminasinya pasokan air (Bates et al. 2008). Kelangkaan air menjadi lebih parah dengan adanya kekeringan sehingga mempengaruhi air permukaan dan sumber air tanah yang dapat menyebabkan pasokan air berkurang, kualitas air memburuk, gagal panen dan habitat di tepi sungai terganggu (Riebsame et al. 1991 dalam Misrha dan Singh 2011). Pemahaman kekeringan dan memodelkan komponen-komponennya telah menarik perhatian para ahli, baik ahli ekologi, hidrologi, meteorologi, maupun ilmuwan pertanian. Kekeringan memiliki kepentingan yang besar dalam manajemen dan perencanaan sumber daya air, dan untuk mengulas konsep-konsep kekeringan yang menjadi rujukan para pembaca (Mishra dan Singh 2010).

Klasifikasi Kekeringan

Menurut Wilhite dan Glantz (1985) dan Masyarakat Meteorologi Amerika Serikat (2004) dalam Misrha dan Singh (2010), kekeringan diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yang meliputi :

Kekeringan Meteorologi didefinisikan sebagai kurangnya curah hujan suatu wilayah untuk suatu jangka waktu. Curah hujan telah sering digunakan untuk analisis kekeringan meteorologi. Mengingat kekeringan sebagai defisit curah hujan terhadap nilai rata-rata, beberapa penelitian telah menganalisis kekeringan menggunakan data curah hujan bulanan. Pendekatan lain menganalisis durasi dan intensitas kekeringan dalam hubungannya dengan kekurangan curah hujan kumulatif.

Kekeringan Hidrologi dihubungkan pada periode/jangka waktu dengan sumber air permukaan dan bawah permukaan yang tidak memadai untuk penetapan penggunaan air dari suatu pemberian sistem manajemen sumber daya air. Data debit sungai telah banyak diterapkan untuk analisis kekeringan hidrologi. Berdasarkan regresi analisis kekeringan yang berkaitan dalam debit sungai, diketahui bahwa sifat daerah tangkapan secara geologi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi kekeringan hidrologis.

(23)

Kekeringan Sosial-ekonomi dikaitkan dengan kegagalan sistem sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan air dalam memenuhi pasokan dan permintaan air untuk suatu ekonomi (AMS 2004). Kekeringan sosial ekonomi terjadi ketika permintaan untuk benda ekonomi melebihi pasokan sebagai akibat dari kekurangan yang berhubungan dengan cuaca dalam pasokan air.

Disamping ke empat definisi di atas, telah diperkenalkan definisi lain yang termasuk dalam klasifikasi kekeringan yakni kekeringan air tanah.

Kekeringan Air Tanah, sering didefinisikan oleh penurunan tingkat air tanah. Namun, penyimpanan air tanah, atau resapan air tanah atau debit dapat dan juga telah digunakan untuk menentukan atau mengukur kekeringan air tanah. Ketika sistem air tanah dipengaruhi oleh kekeringan, pertama kali mengisi air tanah dan kemudian tingkat air tanah dan air tanah berhenti menurun. Kekeringan seperti ini disebut kekeringan air tanah dan umumnya terjadi pada skala waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Untuk air tanah, jumlah total air yang tersedia sulit untuk didefinisikan. Bahkan jika itu dapat didefinisikan, dalam sebagian besar sistem air tanah, dampak negatif dari penipisan penyimpanan dapat dirasakan, jauh sebelum penyimpanan total habis.

Model Kekeringan

Pengertian model menurut kamus Webster adalah sebuah gambaran, suatu kumpulan data statistik, atau suatu analogi (persamaan) yang digunakan untuk membantu membayangkan dalam cara yang sederhana dari sesuatu yang tidak dapat secara langsung diamati (seperti sebuah atom) atau sebuah teori proyeksi secara detil dari sebuah sistem peluang hubungan manusia (Webster 1964 dalam

Liu 2009). Pengertian yang sama diberikan dalam kamus Collins English, yakni menyatakan bahwa model adalah sebuah gambaran atau penjelasan yang disederhanakan dari suatu sistem atau kesatuan yang komplek, terutama dirancang untuk memudahkan perhitungan atau prediksi (Makins 1995 dalam Liu 2009). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu gambaran dari kenyataan yang disederhanakan.

Sebuah model memiliki karakterstik, yaitu (1) struktur sederhana, yakni tidak menyertakan semua pengamatan atau pengukuran, (2) selektif, dengan tindakan selektif ini maka tidak hanya gangguan tetapi juga sinyal yang kurang penting akan dihapuskan. Hal ini akan memungkinkan aspek-aspek yang penting dan terkait akan muncul, (3) pendekatan pada kenyataan, yakni model harus cukup mengandung semua elemen penting dari sistem dunia nyata dan harus valid/sah karena semua elemen dikoreksi saling berhubungan sesuai hubungan dan struktur mereka, (4) bersifat alami, dalam arti bahwa keberhasilan model mengandung saran-saran dari perluasan dari model itu sendiri dan umum, (5) dapat diterapkan ulang, yakni model dihasilkan mewakili kenyataan, sehingga seharusnya dapat diterapkan ulang untuk dunia nyata.

(24)

menyatakan bahwa variabel input untuk peramalan kekeringan tergantung pada jenis kekeringan yang diperkirakan. Variabel input berguna untuk membahas kelebihan metodologi dan keterbatasannya untuk peramalan. Gambar 1 memperlihatkan keterkaitan variabel input dan metodologi peramalan kekeringan.

Output

Curah hujan, Debit aliran, Suhu, Penguapan, Air tanah, Air bawah tanah,

Reservoir/danau

Indeks Kekeringan

Indeks curah hujan standar (SPI) Indeks kelembaban tanaman (CMI) Indeks kekerasan kekeringan Palmer (PDSI)

Indek Supply air permukaan (SWSI)

Indeks Iklim

El Nino-Southern Oscillation (ENSO) Suhu Permukaan Laut (SST) Southern Oscillation Index (SOI) Pasifik dekade Oscillation (PDO) Osilasi Atlantik Utara (NAO) Oscillation Inter-Pasifik decadal (IPO)

Osilasi Atlantik Multidecadal

Gambar 1 Perbedaan Komponen-komponen untuk Peramalan Kekeringan Variabel input yang terkait kekeringan meliputi: (i) curah hujan untuk analisis kekeringan meteorologi sebagai defisit curah hujan yang menyebabkan kekeringan, (ii) debit aliran-aliran, volume waduk dan danau untuk analisis kekeringan hidrologi, (iii) batas air tanah untuk kekeringan air tanah, dan (iv) kelembaban tanah dan hasil tanaman untuk kekeringan pertanian. Variabel-variabel tersebut diantaranya digunakan dalam perhitungan indeks kekeringan berdasarkan Indeks Standar Presipitasi dan Indeks Kelembaban Tanah.

(25)

Analisis kekeringan

Gambar 2 Komponen Model Kekeringan

Bahaya Kekeringan

Kekeringan dapat menjadi bahaya bila berpotensi merusak substansi aktivitas manusia atau kondisi yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, kehilangan penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi dan degradasi lingkungan (UNDP 2011). Bahaya kekeringan ini dapat menjadi bencana bila mengancam dan mengganggu kehidupan manusia. Pengertian ini sebagaimana didefinisikan menurut UU No. 24 tahun 2007 yakni Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam disebut dengan bencana alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Sedangkan bencana yang disebabkan oleh bukan alam maupun oleh manusia disebut dengan bencana antropogenik. Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi kekeringan di atas, maka kekeringan dapat dikatakan bencana alam maupun antropogenik. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Bates et al. (2008) dalam Misrha dan Singh (2011), yakni kekeringan atau kelangkaan air terjadi di banyak bagian dunia sebagian karena kebutuhan air meningkat berlipat ganda karena pertumbuhan populasi dan ekspansi sektor pertanian, energi dan industri, dan sebagian karena perubahan iklim dan kontaminasi pasokan air.

Salah satu obyek yang menjadi ukuran dan pertanda terjadinya kekeringan adalah terjadinya perubahan lingkungan pada lahan pertanian. Periode 1991-2006, luas tanaman padi yang dilanda kekeringan berkisar antara 28.580-867.930 ha per tahun dan puso 4.614-192.331 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman 2007 dalam

(26)

kekeringan cukup bervariasi antar-wilayah. Lahan sawah di beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa rentan terhadap bahaya kekeringan. Sekitar 5,14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha diantaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan (Wahyunto 2005 dalam BPPP 2011).

Kekeringan pada lahan pertanian tidak hanya berdampak pada petani, namun berdampak pula pada masyarakat lainnya yang memanfaatkan hasil pertanian dan yang terlibat dalam rantai kegiatan di bidang pertanian. Kekeringan menyebabkan meluasnya krisis kemanusiaan. Hal ini sering membawa kelaparan, konflik kekerasan dan pengungsi (pengungsi dan orang terlantar), dan bermain malapetaka dengan pertumbuhan ekonomi dan kesehatan ekosistem. Mengurangi dampak lingkungan dan perubahan iklim merupakan suatu usaha yang kompleks yang berakar pada pengentasan kemiskinan dan mata pencaharian tambahan di tingkat masyarakat. Perkembangan mendukung dan memungkinkan kebijakan dan peraturan di tingkat nasional juga merupakan bagian integral dari proses ini. Banyak usaha telah dilakukan di bidang respon kekeringan, kesiapan, adaptasi dan mitigasi.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2011) telah memetakan indeks rawan kekeringan untuk seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan indeks tersebut, wilayah Jawa Barat memiliki nilai skor antara 19 - 24 yang tergolong kategori tinggi. Salah satu wilayah yang mengalami kekeringan yakni Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu lumbung padi bagi Provinsi Jawa Barat dan bahkan salah satu lumbung padi nasional. Indeks rawan kekeringan Kabupaten Indramayu memiliki skor 24 yang tergolong ke dalam indeks kekeringan kelas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan di wilayah Indramayu merupakan hal yang serius yang perlu dilakukan upaya mitigasi. Sebagaimana terjadi pada tahun 2009, 8.577 hektar tanaman padi di Jawa Barat mengalami kekeringan dan 105 hektar mengalami puso atau gagal panen. Gangguan tersebut tidak hanya berpengaruh di lokasi tersebut saja, namun mempengaruhi pula kondisi provinsi dan nasional. Kerugian yang dialami mencapai 500.000 ton gabah kering (GKG). Areal yang paling banyak mengalami kekeringan terdapat di Kabupaten Indramayu yakni seluas 3.045 hektar, hal ini disebabkan berkurangnya pasokan air irigasi Perum Jasa Tirta (PJT) II karena kemarau yang berkepanjangan. Peristiwa tersebut telah mengganggu aktivitas masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan.

Kerentanan

Penggunaan istilah “rentan (mudah kena serangan) dan kerentanan (sifat mudah diserang)” sering samar dan sering disamakan dengan “orang miskin” dan

“kemiskinan/kemelaratan” (Program Pangan Dunia 1996 dalam Wilhite 2002).

Definisi yang paling mendasar dari kerentanan diperoleh dari bahasa Latin

vulnerare” yang berarti “luka” dan oleh karena itu kerentanan adalah “daya

tahan terkena luka” (Kates 1985 dalam Wilhite 2002). Konsep dan definisi

(27)

terhadap bahaya, ataupun karena kemampuan untuk bangkit kembali (coping). Demikian pula, Proyek ESPON Hazard (2003) dalam Kumpulainen (2006) menggunakan definisi kerentanan sebagai tingkat kelemahan/kerapuhan seseorang, kelompok, masyarakat atau suatu wilayah terhadap bahaya. Secara terminologi ISDR (2004) mendefinisikan kerentanan sebagai serangkaian kondisi dan proses-proses hasil dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan kelemahan masyarakat terhadap pengaruh bahaya. Kerentanan juga meliputi gagasan untuk menanggapi dan menyalin potensial masyarakat dalam memberi reaksi dan menahan suatu bencana.

Kerentanan dapat diukur dengan menggunakan indikator-indikator kerentanan. Kumpulainen (2006) menggunakan indikator-indikator: (a) faktor ekonomi, terdiri dari GDP/kapita, jumlah turis, (b) faktor sosial diantaranya kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, persepsi resiko, serta (c) faktor ekologi yakni fragmentasi area alam dan area alam yang penting. Wilhite (2002) menggunakan indikator dari faktor sosial yakni penggunaan lahan dan irigasi, indikator dari faktor bio fisik yakni iklim dan tanah. Sementara ISDR (2007) menggunakan indikator sosial-ekonomi yakni kemiskinan, kondisi tidak aman, ekonomi lokal, mata pencaharian, kurangnya perencanaan, dan lain-lain. Adapun indikator dari faktor fisik yakni keterbatasan perencanaan penggunaan lahan, lokasi perumahan dan infrastruktur, dan lainnya, sedangkan indikator faktor lingkungan adalah kerusakan ekisistem, sumberdaya air, dan lain-lain. Swain dan Swain (2011), menggunakan indikator: (a) sosial ekonomi yakni irigasi, produksi tanaman, tingkat kemiskinan, pola penggunaan lahan dan lain-lain, (b) bio fisik yakni frekwensi kekeringan, intensitas kekeringan, curah hujan, tanah, topografi, ketersediaan air tanah dan lain-lain.

Risiko Kekeringan

Risiko didefinisikan sebagai konsekuensi kemungkinan berbahaya, atau kehilangan sesuatu yang diharapkan (kematian, luka-luka, harta benda, mata pencaharian, kegiatan ekonomi terganggu atau kerusakan lingkungan) yang dihasilkan dari interaksi antara bahaya alam atau yang disebabkan manusia dan kondisi kerentanan (ISDR 2009). Secara konvensional, risiko dinyatakan oleh notasi Risk = Bahaya x Kerentanan. Beberapa disiplin ilmu termasuk konsep

eksposur/paparan merujuk secara khusus pada kerentanan aspek fisik. Namun terlalu sulit mengungkapkan suatu kemungkinan bahaya fisik, sehingga penting sekali untuk mengakui bahwa risiko adalah melekat atau dapat diciptakan atau ada dalam sistem sosial. Dengan demikian penting untuk mempertimbangkan konteks sosial dalam kejadian yang memiliki risiko. Dalam hal ini orang-orang tidak perlu memberi persepsi yang sama tentang risiko dan alasan-alasannya.

(28)

juga analisis kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, dan eksposur, bila mengamati secara khusus mengenai kemampuan kapasitas untuk skenario risiko. Penilaian risiko adalah dasar untuk membuat keputusan. Jika risiko tidak diketahui, maka tidak mungkin untuk mengelola dan mengurangi risiko secara efisien. Sebagaimana yang tertuang dalam WMO (2006) bahwa tujuan dari manajemen risiko kekeringan adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bangkit kembali, mendorong ke arah ketahanan yang lebih besar dan mengurangi kebutuhan akan campur tangan pemerintah atau donor. Monitoring dan peringatan dini adalah komponen-komponen dari manajemen risiko. Untuk itu, penilaian risiko merupakan hal yang sangat penting

Ketahanan terhadap bencana

Resiliensi adalah kemampuan yang menjamin tekanan yang merugikan (stress) dan goncangan (shock) tidak bertahan lebih lama (FSIN 2014). Penting untuk dicatat bahwa resiliensi kebalikan dari kerentanan. Kerentanan menggambarkan kondisi mencegah dari efek samping pengelolaan. Dalam hal ini, kerentanan mengacu pada karakteristik yang meningkatkan kemungkinan bila terkena risiko, sedangkan ketahanan terdiri dari respon melawan faktor-faktor struktural dan peluang yang memungkinkan rumah tangga atau unit lain bila terkena beberapa guncangan dan stres. Kapasitas/ketahanan meliputi berbagai karakteristik, tindakan, dan strategi yang diambil untuk mencegah dan/atau melawan efek risiko. Kerentanan memiliki efek yang memungkinkan hubungan sebab akibat antara guncangan dan hasil negatif, ketahanan memiliki efek menonaktifkan atau mengubah hubungan sebab akibat tersebut. Definisi ketahanan secara luas adalah sebagai kemampuan dari suatu sistem, komunitas atau masyarakat yang berpotensi terkena bahaya untuk melawan, menyerap, menampung dan pulih dari dampak bahaya dengan tepat pada waktunya dan dengan cara yang efektif, termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur dan fungsi dasar utama. Hubungan antara kerentanan dan ketahanan digambarkan dalam formula sebagai berikut:

Bahaya x Kerentanan Risiko = --- Ketahanan

(29)

Bentuk ketahanan terhadap kekeringan yang dilakukan di Nigeria yakni: melakukan rehabilitasi lahan-lahan rusak, meningkatkan ladang serealia dan meningkatkan produksi tanaman di musim kering, mengurangi migrasi tenaga kerja dari desa, meningkatkan akses ke sumber air, meningkatkan keamanan pangan rumah tangga.

3

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Musim kemarau ditandai dengan mulai berkurangnya jumlah hari hujan dan jumlah curah hujan hingga masa mulai meningkatnya kembali hari hujan dan curah hujan. Pada masa musim kemarau, kemungkinan terjadi kekeringan pada suatu wilayah karena adanya keterbatasan jumlah air pada wilayah tersebut. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dengan demikian, untuk mengetahui tingkat bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari kekeringan perlu dilakukan pemantauan bahaya kekeringan dan analisis resiko. Kegiatan ini dapat dilakukan mengingat iklim yang ada di wilayah Indonesia memiliki skala waktu dan musim yang relatif tetap yakni pada bulan April – Oktober merupakan masa musim kemarau, dan hal ini terjadi rutin setiap tahun. Hasil dari penelitian tersebut dapat memberikan suatu skenario mitigasi dan adaptasi dalam menghadapai ancamaan kekeringan. Secara garis besar kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 3.

Pemantauan

(30)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu, yang memiliki posisi geografis pada 107052’- 108036’ BT dan 6015’- 6040’ LS. Secara administrasi memiliki batas wilayah sebagai berikut:

sebelah Utara adalah Laut Jawa,

sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Subang,

sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan

sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang.

Kabupaten Indramayu berada pada Wilayah Sungai (WS) Cimanuk – Cisangarung yang meliputi DAS Cimanuk, DAS Cipanas, DAS Ciwaringin, DAS Kali Beji, DAS Cimanggis dan DAS Cipunagara. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4. Penelitian dilakukan dari bulan Mei – November 2014.

Gambar 4 Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi literatur yang berkaitan dengan lokasi dan kajian penelitian berupa data-data dan peta tematik, citra satelit, kuesioner serta bahan lain yang menunjang penelitian. Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) ArcGis 9.3, Idrisi, Microsoft Office dan Statistica 7, serta peralatan lain seperti Global Positioning System (GPS) dan kamera dijital serta alat tulis.

(31)

Tahapan Penelitian

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam peneitian terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer berupa data analisis citra dan data yang diperoleh melalui survei lapangan serta wawancara masyarakat dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder terdiri dari data spasial dan tabular yang diperoleh dari instansi terkait serta literatur. Jenis data dan sumber data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan serta kaitannya dengan tujuan penelitian

Jenis Data Sumber Data Tujuan

1. Data Fisik

Peta Administrasi Bappeda Kabupaten Indramayu Pembatasan

wilayah penelitian

Data Curah Hujan bulanan BMKG, PSDA Kabupaten Indramayu,

BBWS DAS Cimanuk - Cisanggarung Citra Landsat tahun 2003,

2008,2012

www.USGS.com

Penggunaan lahan Citra Alos AVNIR tahun 2010

Peta Jenis Tanah Peta Sumber Daya Tanah Tingkat

Tinjau Skala 1: 250.000, BBSDLP tahun 2011 dan Peta Sistem Lahan Pulau Jawa (RePPProT) tahun 1989 skala 1: 250.000.

Analisis indeks bahaya kekeringan

Jaringan sungai dan sumber air RBI skala 1:25.000 dan hasil

interpretasi citra, Peta Wilayah Pengairan Kabupaten Indramayu - dinas PSDA, Pertambangan dan Energi Kabupaten Indramayu

2. Data Ekonomi, Sosial, Teknik Jumlah penduduk, Jumlah Petani, Usia Petani, Status, Pendidikan, Produksi Pertanian , Luas lahan, Status kepemilikan lahan, Biaya penggunaan air pertanian, Modal usaha, dan informasi lainnya mengenai kekeringan

Buku Kabupaten Indramayu Dalam Angka - BPS, Buku Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu edisi Tahun

2003–2012

Survei Lapangan

Analisis Kerentanan

3. Kelembagaan

Pemerintah, Swasta, Masyarakat, Balai Penyuluhan Pertanian dan

Lembaga terkait

Penyusunan skenario mitigasi

Pengolahan Data

A) Faktor-faktor Bahaya Kekeringan

1. Indeks Standar Curah Hujan (Standardized Precipitation Index/SPI)

(32)

menyediakan data time series dengan waktu yang sama. Data time series yang dapat dikumpulkan berasal dari 19 stasiun dari 32 stasiun pencatat curah hujan yang terdapat di lokasi penelitian. Lokasi stasiun pencatat hujan disajikan pada Lampiran 3. Pada penelitian ini digunakan data curah hujan bulanan selama 18 tahun (1996-2013). Data curah hujan yang terkumpul dianalisis untuk menentukan indeks kekeringan dengan menggunakan metode SPI yang merupakan suatu metode untuk menghitung pola sebaran curah hujan dalam suatu periode waktu tertentu.

Metode perhitungan menggunakan metode SPI adalah sebagai berikut :

Dimana ;

Xij = Hujan rata-rata bulan ke j pada rentang tahun i Xi = Hujan rata-rata dalam rentang tahun i (t1 s.d tn)

σ

j = Standar deviasi hujan dalam rentang tahun i (t1 s.d tn)

Zij = Indeks standar curah hujan (Standardized precipitation Index/SPI)

Gambar 5 Lokasi stasiun pencatat hujan

Pengolahan data curah hujan bulanan untuk penghitungan nilai SPI dalam penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan program SPI_sl_6.exe. Data yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah sebaran indeks curah hujan. Klasifikasi nilai SPI dikelompokan berdasarkan pengelompokan oleh Mc Kee et al. (1993) dalam

WMO (2012) yakni 7 kelompok yang dapat membantu menentukan indeks bahaya kekeringan. Klasifikasi indeks curah hujan dicantumkan pada Tabel 2.

Xij – Xi

Zij = ────────

(33)

Keuntungan dari SPI adalah dapat digunakan untuk menghitung berbagai skala waktu. Hal ini memungkinkan untuk memantau pasokan air jangka pendek dan memantau sumber daya air jangka panjang. Skala waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1, 3, 6 dan 12 bulanan. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh curah hujan terhadap pola tanam di lahan pertanian tanaman pangan. Penghitungan 1, 3 dan 6 bulanan merupakan tinjauan untuk jangka pendek, sedangkan penghitungan 12 bulanan merupakan tinjauan untuk jangka panjang.

Lokasi-lokasi stasiun penakar hujan disiapkan penyajiannya dalam bentuk peta. Peta lokasi stasiun di joint table dengan data hasil perhitungan nilai SPI dan diinterpolasi dengan metode IDW (Inverse Distance Weighted) berdasarkan data tersebut sehingga diperoleh Peta Indeks Curah Hujan Standar (Peta SPI) yang selanjutnya digunakan untuk proses penghitungan nilai Bahaya Kekeringan.

Tabel 2 Kelas Indeks Standar Presipitasi (SPI)

No Nilai Kategori Kelas

2. Temperatur Permukaan Tanah (Land Surface Temperature/LST)

Suhu permukaan tanah (LST) adalah rata-rata radiasi suhu permukaan dari luas lahan yang dihasilkan dari keseimbangan rata-rata dari fluktuasi pemanasan matahari dan pendinginan atmosfer tanah (Huang et al. 2008). Penghitungan nilai LST dilakukan pada band 6 citra Landsat. Citra Landsat diperoleh dari

www.USGS.com, perekaman tahun 2003 (akuisisi bulan Mei dan Agustus), 2008

(akuisisi bulan Mei dan Oktober) dan 2012 (akuisisi bulan Mei dan Oktober). Tahapan dalam penghitungan LST dilakukan dalam dua tahap, yakni: 1. Mengkonversi radiasi spektral ke temperatur kecerahan.

Formula konversi mengikuti persamaan Planck dengan dua parameter bebas sebagaiman yang dilakukan oleh Schoot dan Volchok (1985); Wukelic et al. (1989) dalam Yang dan Wang (2010), yakni :

Dimana ;

(34)

Nilai K1 dan K2 adalah konstanta radiasi untuk Landsat, disajikan pada Tabel 3.

Nilai Lλ dihitung berdasarkan rumus Richard (2010), sebagai berikut;

Dimana;

Lλ = Radiasi spektral, panjang gelombang sensor (W cm-3 sr-1 ɳm-1)

Dn = konstanta radiasi (3.74151x10-16 W m-2 sr-1 µm-1) Dnmax = konstanta radiasi (0.0143879 mK)

Lmax = nilai maksimum (mWcm-2sr-1um-1)

Lmin = nilai minimum (mWcm-2sr-1um-1)

Tabel 3 Konstanta radiasi untuk Landsat

Citra Satelit K1 K2

Landsat5 TM Band6 607.76 1260.56

Landsat7 ETM+ Band6 666.09 1282.71

Landsat 8 Band 11 480.89 1201.14

Keterangan: Nilai diambil dari header data Landsat

2. Koreksi emisivitas spektral berdasarkan temperatur radian

Formula yang digunakan sesuai persamaanArtis dan Carnhan (1982) dalam

Weng (2010) , yakni:

Dimana ;

LST = Suhu permukaan yang terkoreksi (0K)

ρ = h c/σ (1.438 x 10-2 mK)

λ = Panjang gelombang dari radiasi yang pancarkan sebesar 10.6 µm

(Markham dan Barker, 1985)

h = Konstanta Planck’s (6.626 x 10-34 J.s)

c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m,s-I)

σ = Konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10 -23 JK-1)

ɛ = Emisivitas Obyek

Suhu permukaan tanah hasil pengolahan berupa satuan derajat Kalvin (oK) dikonversi ke format yang lebih umum yakni satuan derajat Celcius (oC). Suhu permukaan tanah dikelompokan menjadi 5 kelas, yakni sebagai berikut;

Tabel 4 Kelas Suhu permukaan tanah

(35)

3. Buffering Jaringan sungaidan sumber air lainnya

Keberadaan jaringan sungai dan sumber air (waduk, embung, dan lainnya) di sekitar lahan pertanian sangat membantu penyediaan kebutuhan air untuk pertumbuhan tanamannya. Pada umumnya, pada jarak 100 meter dari sumber air merupakan zona aman dari kekurangan air karena masih dirasakan dekat dengan sumber air. Buffer 100 m, 200 m, 300 m, 400 m, 500 m dan > 500 m merupakan batasan/buffer dalam pengkelasan peta sumber air. Batasan jarak ke sumber air disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kelas Sumber Air (Sungai & Jaringan Irigasi)

Jarak Kelas

Jenis tanah di wilayah penelitian memiliki bahan induk berupa endapan liat, endapan liat dan berpasir, batuliat dan berpasir, batuliat dan batupasir berkapur, dan andesit. Jenis tanah dikelompokkan berdasarkan tekstur tanah untuk mendapatkan Peta Tekstur Tanah, yang selanjutnya dipergunakan untuk penghitungan indeks bahaya kekeringan. Pengelompokan tersebut dipadupadankan dengan peta sistem lahan dari RePPProt dikarenakan dalam penelitian ini tidak dilakukan uji tanah. Meskipun Peta Tekstur Tanah dibangun dari sumber peta dengan skala kecil sehingga mempengaruhi tingkat kedetilan peta, namun hal ini dapat diterima karena beberapa kondisi tanah di lapangan secara kasar dalam setiap SPT memiliki tekstur yang sesuai dengan peta sumber.

Tekstur tanah memiliki keterkaitan dalam hal kapasitas memegang air dalam tanah yang mempengaruhi ketersediaan air dalam tanah. Tanah bertekstur liat memiliki kapasitas memegang air yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang bertekstur berpasir. Dengan demikian tanah bertekstur pasir akan lebih mudah mengalami kekeringan karena tidak dapat menahan air di dalam tanah dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan tanah yang bertekstur liat. Pengelompokan tekstur tanah didasarkan pada klasifikasi tekstur tanah untuk penilaian kemampuan lahan menurut Arsyad (2006) seperti disajikan Tabel 6.

Tabel 6 Kelas tekstur tanah di Indramayu

Kelompok Tekstur Kelompok Kelas

t1

Liat berpasir, liat berdebu dan liat

Lempung liat berpasir, lempung berliat dan lempung liat berdebu

(36)

5. Jenis Penggunaan Lahan

Jenis penggunaan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra Landsat dan Alos. Jenis penggunaan lahan terdiri dari hutan, mangrove, perkebunan, kebun campuran, tegalan, sawah, pemukiman, industri, semak, tambak, lahan terbuka, jalan toll, sungai/tubuh air, rawa dan pantai/laut. Jenis penggunaan lahan berupa pantai/ laut turut diinterpretasi dan didelineasi dikarenakan penggunaan lahan tersebut berada dalam batas wilayah administrasi Kabupaten Indramayu yang diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Indramayu tahun 2014.

Keberadaan jenis penggunaan lahan pantai/laut berkaitan dengan sering terjadinya peristiwa abrasi dan sedimentasi yang terjadi sepanjang tahun di sepanjang wilayah pesisir pantai utara pulau Jawa. Peristiwa ini mempengaruhi pula perubahan penggunaan lahan di sepanjang pesisir pantai baik secara alami maupun diakibat oleh perilaku manusia. Perubahan penggunaan lahan secara

alami terjadi karena abrasi yang menyebabkan lahan “hilang” sehingga area diisi

oleh air laut. Sedangkan yang dimaksud dengan perubahan penggunaan lahan yang diakibatkan perilaku manusia dalam hal ini, adalah adanya area sedimentasi

yang terjadi di pesisir pantai yang melahirkan “tanah timbul”, menjadi rebutan

masyarakat pesisir untuk dijadikan area tambak. Jenis penggunaan lahan dalam hal ini dikelompokan ke dalam 4 kelas, sebagaimana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengelompokan jenis penggunaan lahan

Penggunaan Lahan Kelas

Rawa, tubuh air (sungai, danau, pantai/laut) Hutan, mangrove, perkebunan, Kebun Campuran Tegalan, Sawah, Semak, Tambak

B) Penyusunan Model Bahaya Kekeringan

Parameter penentuan Indeks Bahaya Kekeringan terdiri dari curah hujan, penggunaan lahan, tekstur tanah, jarak ke sumber air dan suhu permukaan tanah. Parameter disusun berdasarkan urutan kepentingannya yakni disusun berdasarkan tingkat pengaruh parameter tersebut terhadap bahaya kekeringan, mulai dari parameter yang paling berpengaruh hingga parameter yang memberikan pengaruh yang terkecil. Urutan kepentingan disusun dari urutan 1 sampai 5. Penentuan urutan kepentingan dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada berbagai macam profesi responden sebanyak 30 responden. Profesi responden meliputi akademisi, staf instansi pemerintahan, profesional/swasta dan kelompok tani.

(37)

bobot nilai yang diberikan terhadap parameter memiliki standar yang sama. Perhitungan dari bobot tersebut digunakan untuk menentukan nilai konstanta pada persamaan indeks bahaya kekeringan. Rumusan Indeks Bahaya Kekeringan disusun sebagai berikut :

H = (c1 SPI) + (c2 L) + (c3 B) + (c4 Jt) + (c5 LST)

Model diterapkan pada 3 (tiga) titik tahun yaitu 2003, 2008 dan 2012 dalam dua versi. Versi 1 yakni dengan tidak menyertakan jarak dari jaringan irigasi dan versi 2 adalah dengan menyertakan jarak dari jaringan irigasi. Sehingga menghasilkan peta bahaya kekeringan tahun 2003, 2008 dan 2012 dalam bentuk 2 (dua) versi. Penghitungan dilakukan pada tiga titik tahun ini dimaksudkan untuk melihat kondisi dalam skala waktu 5 tahunan. Pembuatan peta bahaya kekeringan dilakukan dengan menggunakan metode Multi-Criteria Evaluation/MCE yang terdapat dalam software Idrisi. Metode MCE adalah sebuah alat pendorong untuk pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria. Aliran kegiatan penyusunan model bahaya kekeringan disajikan pada Gambar 6.

C) Validasi Model

Validasi dilakukan untuk mencocokkan model hasil pengolahan data dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Model divalidasi terhadap data kekeringan dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara petani, masyarakat dan pemerintah.

D) Indeks Kerentanan

(38)

Pemasukan data ke

(39)

Empat kelompok dari faktor-faktor kerentanan yang terkait dengan pengurangan bencana menurut ISDR 2004 dalam Zarafshani 2012, yakni;

1. faktor fisik, yang menggambarkan unsur-unsur kerentanan fisik dalam suatu wilayah

2. faktor ekonomi, yang menggambarkan sumberdaya ekonomi dari individu, kelompok penduduk dan komunitas masyarakat

3. faktor sosial, yang menggambarkan faktor-faktor non ekonomi yang menentukan kesejahteraan individu, kelompok penduduk dan komunitas masyarakat

4. faktor lingkungan, yang menggambarkan keadaan lingkungan suatu wilayah Tabel 8 Daftar parameter utama dan sub parameter dalam penilaian kerentanan

j (Sub-parameter)

i ( Parameter utama)

1 2 3

Ekonomi Sosial Teknik dan Lingkungan

1 Jumlah petani berdasarkan

luas kepemilikan lahan Kepadatan penduduk Luas baku sawah

2 Produksi Padi Jumlah anak putus sekolah Metode irigasi

3 Jumlah Penduduk Miskin Jumlah petani Indeks Pertanaman (IP)

4 Jumlah kios pupuk bersubsidi Status petani Metode kultivasi

5 Tempat penjualan/Jumlah

Penggilingan padi Pengelolaan oleh Mitra Cai

Penanggulangan Organ-isme Pengganggu Tana-man (OPT)

6 Jarak ke ibu kota kabupaten Jumlah Kelompok Tani

ki 6 5 5

Berdasarkan hal tersebut di atas dan sesuai dengan pendapat Khoshnodifar

et al. (2012), maka indeks kerentanan kekeringan dianalisis berdasarkan parameter-parameter kerentanan ekonomi, sosial dan teknik. Indikator ekonomi ditunjukkan oleh faktor-faktor ekonomi, dan indikator sosial ditunjukkan oleh faktor-faktor sosial serta indikator teknis ditunjukkan oleh faktor fisik dan lingkungan. Parameter dan sub parameter yang digunakan dalam dalam penilaian kerentanan disajikan pada Tabel 8. Tahapan pengolahan indeks kerentanan kekeringan disajikan pada Gambar 7.

Penilaian kerentanan dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

Tahap 1. Penentuan bobot (kepentingan relatif) (Wi = 1....n) pada indikator-indikator kerentanan dengan mengkonsultasikan atau meminta pendapat dari ahli (expert adjusment) yang berkompeten dalam bidang pertanian dan masalah kekeringan. Indikator dapat dipertimbangkan dari 1 (kepentingan rendah) sampai 11 (paling penting).

Tahap 2. Penetapan tingkat kerentanan dengan menggunakan metode Me-Bar dan Valdez. Me-Bar dan Valdez (2005) dalam Khoshnodifar (2012) menyatakan bahwa kerentanan merupakan konsep kualitatif dimana untuk membandingkan masyarakat di dalamnya harus diukur kuantitatif. Formula Me-Bar dan Valdez sebagai berikut :

V = 1 / C0Σ (PiWi) ; C0 = (Wmax x n) / 2

(40)

Dimana;

V = Jumlah kerentanan Vs = Kerentanan sosial Ve = Kerentanan ekonomi

Vt = Kerentanan teknis/lingkungan C0 = Jumlah total bobot kerentanan

Pi = jumlah setiap parameter Wi = Bobot setiap parameter

Wmax = Bobot maksimum masing-masing parameter

n = Jumlah kelas masing-masing parameter

Pemilihan Parameter, Sub Parameter dan Indikator

Data Sekunder

Pengkelasan dan Skorring

Pembentukan Peta Kerentanan Data Primer

Pengumpulan Data

Kerentanan Sosial

Overlay

Kerentanan Ekonomi

Kerentanan Teknik

Kerentanan Total

Gambar 7 Tahapan pengolahan Indeks Kerentanan Kekeringan

E) Indeks Ketahanan dan Resiko Kekeringan

(41)

seseorang, suatu organisasi dan sistem dalam menghadapi dan mengelola kondisi buruk, keadaan darurat atau bencana. Bentuk ketahanan atau kapasitas diperoleh dari hasil pemantauan di lapangan dan program kegiatan dari instansi terkait. Tingkat ketahanan disusun 4 kelas sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Pemilihan Parameter, Sub Parameter dan Indikator

Data Sekunder

Pengkelasan dan Skorring

Pembentukan Peta Resiko Data Primer

Pengumpulan Data

Ada = 1 Tidak ada = 0

Peta Bahaya Kekeringan

Overlay

Peta Kerentanan Kekeringan Indeks Kapasitas,

Peta Kapasitas Kekeringan

Gambar 8 Tahapan Penyusunan Kapasitas dan Risiko Kekeringan Tabel 9 Kelas Kapasitas Kekeringan

Faktor kapasitas Kelas

Tidak memiliki faktor kapasitas 1

Memiliki faktor kapasitas maksimal 2 faktor 2

Memiliki faktor kapasitas maksimal 2 - 4 faktor 3

Memiliki faktor kapasitas maksimal 4 - 6 faktor 4

Ketahanan atau kapasitas merupakan kebalikan dari kerentanan sehingga semakin tinggi tingkat ketahanan dari masyarakat maka akan menurunkan tingkat kerentanan. Hubungan tingkat ketahanan dan kerentanan mempengaruhi tingkat risiko. Risiko merupakan hubungan antara parameter bahaya, kerentanan dan ketahanan. Tahapan analisis kapasitas dan risiko kekeringan digambarkan pada Gambar 8. Penghitungan risiko kekeringan dilakukan berdasarkan persamaan berikut:

H x V R =

(42)

Dimana :

R = Risiko (Risk) H = Bahaya (Hazard)

V = Kerentanan (Vulnerability) C = Ketahanan (Resilience)

Analisis Data

A) Penentuan Faktor yang Mempengaruhi Bahaya Kekeringan

Faktor-faktor yang mempengaruhi bahaya kekeringan yang telah dipilih dan ditentukan bobotnya berdasarkan persepsi yang diperoleh dari responden, selanjutnya direkapitulasi. Nilai konstanta yang diperoleh pada tahap sebelumnya, menunjukkan besar kecilnya pengaruh suatu faktor terhadap bahaya kekeringan. Konstanta berikut faktor yang menyertainya disusun berdasarkan urutan nilainya yakni dari nilai yang terbesar hingga nilai terkecil.

B) Pengembangan Model Bahaya Kekeringan

Susunan urutan faktor yang mempengaruhi bahaya kekeringan yang diperoleh pada tahap sebelumnya, selanjutnya disusun menjadi model bahaya kekeringan. Pengkelasan dilakukan dengan membuat kelas bahaya menjadi 3 kelas yakni kelas bahaya Tinggi, Sedang dan Rendah dengan menggunakan metode natural break yang dimodifikasi. Kemudian dibuat masing-masing peta sebaran bahaya kekeringan berdasarkan model versi 1 dan versi 2.

C) Analisis Kerentanan Kekeringan

(43)

Kerentanan

Gambar 9 Parameter dan sub parameter kerentanan kekeringan D) Analisis Ketahanan/Kapasitas dan Resiko Kekeringan

Pengolahan kapasitas kekeringan ditinjau dari kekuatan yang terdapat di wilayah penelitian, baik tinjauan terhadap kegiatan petani maupun kelembagaan terkait. Tinjauan kegiatan petani diperoleh dari pengamatan lapangan, sedangkan tinjaun kelembagaan diperoleh dari program kegiatan instansi terkait dalam hal penanggulangan kekeringan dan peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Faktor-faktor kapasitas yang diperoleh disusun kelasnya dan dilakukan perhitungan dengan memberikan nilai pada faktor-faktor kapasitas yakni nilai 0 diberikan bila pada suatu wilayah tidak terdapat faktor kapasitas dan nilai 1 diberikan pada wilayah yang memiliki faktor kapasitas. Selanjutnya diberikan bobot berdasarkan urutan kepentingan dengan nilai 1-3 dan dinormalisasi.

4

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Wilayah Administrasi

(44)

saat ini menjadi 31 kecamatan dengan ibukota Indramayu yang terletak di Kecamatan Indramayu. Wilayah administrasi Kabupaten Indramayu disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Wilayah administrasi Kabupaten Indramayu

Luas wilayah Kabupaten Indramayu adalah 209.469,6 hektar yang meliputi daratan dan perairan/tubuh air, dan memiliki panjang garis pantai 114,1 Km. Luas masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 5. Beberapa kecamatan diantaranya memiliki luas wilayah yang lebih besar dari kecamatan lainnya, yakni Gantar, Kroya, Cikedung, Terisi dan Losarang. Kecamatan-kecamatan tersebut memiliki luas wilayah lebih dari 10.000 hektar atau masing-masing memiliki luas wilayah lebih dari 5 %.

Iklim

(45)

Kabupaten Indramayu mengalami dua musim yakni musim hujan yang terjadi sepanjang bulan Oktober – Maret dan musim kemarau yang terjadi pada bulan April – September. Namun demikian terkadang terjadi ketidknormalan dimana pada musim hujan terjadi curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau keadaan curah hujan sangat kurang sehingga terjadi kekurangan air (kekeringan).

Tabel 10 Jumlah hari hujan dan curah hujan di stasiun pencatat hujan tahun 2013

No Stasiun Jumlah hari hujan Jumlah Curah Hujan

1 Bangkir 99 1.706

(46)

Gambar 11 Topografi Wilayah Penelitian

Tanah

Jenis tanah di area penelitian dominan jenis tanah yang tergolong Inceptisol dan Entisol, yakni asosiasi Typic Epiaquepts, Typic Endoaquepts, Aquic Dystrudepts dan jenis tanah asosiasi dari Typic Endoaquepts, Aquic Eutrudepts, Typic Udorthents. Sebaran jenis tanah di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12 dan luasan masing-masing jenis tanah disajikan pada Lampiran 6. Jenis tanah asosiasi Typic Epiaquepts, Typic Endoaquepts, Aquic Dystrudepts terletak membentang dari wilayah bagian barat hingga bagian timur. Sedangkan jenis tanah asosiasi dari Typic Endoaquepts, Aquic Eutrudepts, Typic Udorthents berada di sepanjang aliran sungai Cimanuk hingga ke arah muara. Jenis tanah yang ada di daerah penelitian sebagian besar merupakan jenis tanah yang berkembang dari bahan induk berupa endapan liat. Jenis tanah seperti demikian memiliki tekstur liat yang tinggi dan memiliki drainasi buruk. Sehingga pada saat musim hujan akan lebih mudah tergenang dan saat kemarau akan mengeras.

Gambar

Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan serta kaitannya dengan tujuan
Gambar 8  Tahapan Penyusunan Kapasitas dan Risiko Kekeringan
Gambar 9  Parameter dan sub parameter kerentanan kekeringan
Tabel 10  Jumlah hari hujan dan curah hujan di stasiun pencatat hujan tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ataukah sebaiknya aku terus-terang pada Rani bahwa Husen adalah pilihanku?” tanya Rahma dalam hati suatu kali.. Aku tak ingin

〔最高裁民訴事例研究二九七〕 一、商法二〇三条二項所定の指定及

There is change on proportion of forage used by the farmers to feed on the cattle before and after the program, in which proportion of natural grass used was

160) adalah sebuah teknik pemecahan masalah yang mengurai sistem menjadi beberapa komponen untuk tujuan mempelajari seberapa baik bagian komponen bekerja dan

NPL atau Non Performing Loan, adalah besarnya jumlah kredit bermasalah pada suatu Bank dibanding dengan total keseluruhan kreditnya. Untuk mendorong Perbankan mengatasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara perhatian orang tua siswa, lingkungan di sekolah dan kemampuan numerik dengan hasil

Namun dapat disimpulkan bahwa makna terhadap kematian pada lanjut usia adalah suatu peristiwa dan peringatan yang pasti dirasakan oleh setiap manusia, subjek merasa susah

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zen (2013) menunjukkan ada pengaruh terapi bermain puzzle terhadap kecemasan anak usia prasekolah