WISATA BUDAYA KAMPUNG
BATIK LAWEYAN, SURAKARTA
YUNI PRIHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Lanskap Kawasan
Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Adapun sumber informasi yang berasal atau yang dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Yuni Prihayati
Batik Kampong, Surakarta. Under supervision of SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, and NURHAYATI, H.S.ARIFIN
Indonesia is a country with high diversity of cultures. They reflect the history, development, and civilization of Indonesia as a great nation. One of the cultural heritage which has been officially recognized by UNESCO is Batik. Laweyan Batik Kampong is a historical area and has been a centre of batik industry since eighteenth century and it has formed an unique cultural landscape. Developing this area into a cultural tourism landscape with appropriate landscape planning, will encourage the sustainability of culture-socio life in local batik community, the preservation of physical and cultural landscape, and the security of local economy. This study aims to develop Laweyan Batik Kampong into a cultural tourism landscape by analyzing physical and community aspects. Descriptive quantitative method was used to analyze the data both statistically and spatially. Physical aspect was analyzed to obtain the cultural tourism development potential which has three assessment aspects namely cultural quality of region ( the criteria for assessment was adopted from ICOMOS 1999, The Burra Charter) , suitability of region ( the criteria for assessment was adopted from director general for tourism product development, 2000), and quality of visual-aesthetic of environment (the criteria was adopted from Nasar (1998), Burra Charter (1999), and Carmona (2006)). Local community aspect was analyzed to recognize the community acceptability (criteria for assessment was adopted from Koentjaraningrat in Yusiana, 2007). Study result shows that Laweyan Batik Kampong has opportunity to be developed into a cultural tourism landscape. This potential could be developed based on potential development zone generated from the analysis. There are two development zones namely tourism centre zone and tourism supporting zone. The centre zone will accommodate all facilities which will be used to cater cultural tourism activity, such as edu-tourism (batik tourism), and culture tourism (cultural, architectural, and historical tourism). The tourism supporting zone will accommodate the facility which supports cultural tourism such as entrance, visitor centre, and other supporting facilities. Landscape plan is derived from developing the two zones by accommodating the cultural interpretative tourism concept, tourism activity and facility development. Local government must support the development of Laweyan Batik Kampong by establishing the legal aspect to protect the heritage and socializing it to the people. I strongly recommend local government to apply the landscape planning I have created in Laweyan Batik Kampong to create a sustainable cultural tourism that consider local community, local economy, socio-culture, and environment.
Burra Charter (1999). Ketiga analisis di atas dioverlay untuk mendapatkan zona potensi pengembangan wisata budaya. Sedangkan pendekatan untuk mengetahui potensi masyarakat lokal dilakukan dengan menganalisis tingkat akseptibilitas masyarakat. Kriteria untuk analisis menggunakan kriteria dari Yusiana (2007).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kampung Batik Laweyan memiliki potensi fisik untuk dikembangkan
sebagai
kawasan wisata budaya dilihat dari aspek kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Berdasarkan penilaian terhadap potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa 16% dari obyek dan atraksi berkategori sangat baik untuk dikembangkan, dan 50% berkategori baik untuk dikembangkan. Sedangkan penilaian kualitas budaya kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa kawasan yang tergolong sangat potensial sekitar 13%, dan yang tergolong potensial sekitar 25%. Untuk kelayakan kawasan, terdiri dari 25% kawasan sangat potensial dan 50% potensial, dan kualitas estetika-visual lingkungan menunjukkan hasil bahwa 50% kawasan tergolong sangat potensial dan 38% potensial. Dari ketiga aspek tersebut setelah dioverlay maka diperoleh zona potensi wisata budaya dimana 38% kawasan tergolong sangat potensial, 38% potensial, dan 24% tidak potensial.Pengembangan Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan wisata budaya didukung oleh masyarakatnya dimana 87.5% masyarakat di seluruh kawasan setuju dengan adanya pengembangan kawasan sebagai tujuan wisata dan bersedia menerima kehadiran wisatawan. Mengingat kawasan ini padat penduduk, masalah kepemilikan lahan bisa menjadi kendala. Hal ini dapat diatasi dengan kebijakan pemerintah dalam pemberian kompensasi yang senilai dengan pengorbanan yang diberikan masyarakat setempat. Zona integratif antara potensi wisata dan akseptibilitas menghasilkan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta dalam merencanakan secara fisik kawasan wisata budaya yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian warisan budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya.
38% sangat potensial (SP), 38 % potensial (P), 24% tidak potensial (TP). Zona pengembangan dibagi menjadi zona inti (zona SP dan P) dan zona pendukung wisata (zona TP). Pada perencanaan, zona inti dikembangkan untuk menampung aktivitas wisata budaya dan aktivitas masyarakat yang terkait langsung dengan wisata budaya. Zona pendukung menampung aktivitas selain wisata utama.
YUNI PRIHAYATI. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta. Dibimbing oleh SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, dan NURHAYATI H.S.ARIFIN.
Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni budaya tradisional. Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, adalah batik. Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi.
Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang terkenal sebagai produsen batik di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, adalah Kampung Laweyan. Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Hal ini terbukti dengan dicanangkannya Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata Kota Solo. Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi dengan perencanaan kawasan yang optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan lanskap kawasan Kampung Batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi fisik kawasan; 2) menganalisis potensi masyarakat lokal; 3) menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat, dan teknik pembobotan dengan metode pembobotan (penentuan bobot) secara langsung melalui expert judgement. Teknik penzonasian dilakukan dengan analisis spasial yang dimodifikasi dengan metode deskriptif kuantitatif di atas. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan aspek fisik kawasan, dan aspek masyarakat,
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang UndangDilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
WISATA BUDAYA
KAMPUNG BATIK LAWEYAN, SURAKARTA
YUNI PRIHAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Mayor Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : A 451080081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA
Dr. Ir. Aris Munandar, MS
Anggota Anggota
Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Karya kecil ini khusus kupersembahkan untuk suamiku tercinta, Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE
dan kedua buah hatiku tercinta,
Khansa Fatihah Muhammad dan Abu Bakar Aakif Muhammad
Yang telah merelakan waktu dan perhatian selama penulis menyelesaikan studi. Kekuatan cinta dan dukungan semangat dari kalian lah yang membuat penulis mampu menjalani kesulitan dan rintangan selama ini.
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan hidayahNya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini dengan
baik. Judul Tesis dalam penelitian ini adalah “Perencanaan Lanskap Kawasan
Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta”. Tesis ini merupakan syarat
untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister
Sains dari program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih disertai
penghargaan kepada :
1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA , Dr. Ir. Aris Munandar, MS
dan Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing yang
telah memberi bimbingan, dan saran dalam menyelesaikan penelitian ini.
2. Dr. Ir. Alinda Fitriyani, M. Zain, M.Si, selaku dosen penguji atas saran dan
masukannya.
3. Pimpinan dan staff dari instansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kota
Surakarta : Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Tata Ruang.
4. Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT, selaku ketua Forum Pengembangan
Kampung Batik Laweyan Surakarta, dan para tokoh masyarakat Kampung
Batik Laweyan atas segala bantuan selama penulis turun lapang.
5. Teman-temanku Surya Dewantara, Yuli Istanto, Moh. Zamroni, Bagoes,
yang telah banyak membantu selama penulis melakukan turun lapang.
Mbak Euis Puspita, Isrok, Prima, Titi, Eka, Aan atas persahabatan yang tak
ternilai harganya.
6. Kakak-kakakku tercinta yang telah banyak membantu : Surya Purwati, Dr.
Bambang DH, Tri Maulidi N, Dr. Agustina (kandidat), Joko Santoso, Dr.
Meni. H (kandidat).
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2011
Yuni Prihayati. Putri bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak
H. Rasimun Purwoatmodjo dan Ibu Hj.Sukarti. Dilahirkan di Kota Mentok, Bangka
pada tanggal 28 Juni 1973. Pada kurun waktu 1979 – 1985 penulis menempuh
pendidikan sekolah dasar di SD St. Maria, Mentok-Bangka. Pendidikan
menengah pertama ditempuh di tempat yang sama dan lulus tahun 1988, lalu
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMAN 2 Surakarta dan
lulus tahun 1991.
Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada
Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI dan berhasil menamatkan studi S-1 pada tahun 1996
dengan Skripsi yang berjudul Perancangan Agrowisata Sektor II
Cilantung-Parung, Bogor. Pada tahun 2008, penulis meneruskan studi Pascasarjana pada
Mayor Arsitektur Lanskap , Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis pernah bekerja sebagai dosen Arsitektur Lanskap di Universitas
Mercu Buana untuk periode tahun 1997 – 2002. Saat ini penulis aktif menulis
buku-buku bertema pendidikan dan telah menerbitkan beberapa buah buku
bertema umum dan CD interaktif bertema pendidikan. Karya ilmiah berjudul
Ecological Legal Aspects for Sustainable Riparian Landscape Management in
Sempur Area, Bogor City, Indonesia telah disajikan pada Simposium
Internasional Green City di Bogor pada bulan Juli 2010. Penulis telah
berkeluarga dengan Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE dan dikaruniai 1 orang putri
yaitu Khansa Fatihah Muhammad dan 1 orang putra yaitu Abu Bakar Aakif
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
1.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batik dan Sejarahnya ... 5
2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam ... 9
2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta ... 10
2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota lain ... 12
2.2 Pengertian Wisata ... 13
2.3 Perencanaan lanskap Kawasan Wisata ... 15
2.3.1. Sumberdaya Wisata . ... 16
2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata ... 17
2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata ... 19
2.3.4. Aspek Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata ... 20
2.4 Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ... 21
2.4.1. Lanskap Budaya ... 21
2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda ... 22
2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi ... 25
2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan ... 26
III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 3.1 Kondisi Fisik Kota Surakarta ... 28
3.1.2. Iklim ... 33
3.1.3. Topografi Lahan ... 35
3.1.4. Tata Guna Lahan ... 36
3.2. Kondisi Sosial Budaya ... 37
3.2.1. Penduduk ... 37
3.2.2. Kepegawaian ... 38
3.2.3. Ketenagakerjaan ... 39
3.2.4. Organisasi Seni dan Budaya ... 39
3.3. Hotel dan Pariwisata ... 40
3.3.1. Pariwisata ... 40
3.3.2. Hotel ... 41
3.4. Transportasi ... 42
IV. METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
4.2 Alat dan Data Penelitian ... 45
4.2.1. Alat Penelitian ... 45
4.2.2. Data Penelitian ... 47
4.3 Metode Penelitian ... 48
4.3.1. Pendekatan yang Digunakan ... 48
4.3.2. Tahapan Penelitian ... 49
Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data……… 51
Tahap 2. Analisis dan Sintesis ……….51
Tahap 3. Konsep dan Perencanaan ………62
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi dan Analisis Potensi Fisik Kawasan ... 65
5.1.1. Analisis Kualitas Budaya Kawasan ... 65
5.1.1.1. Analisis Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Eksisting ... 65
5.1.4. Zona Wisata Budaya Potensial ... 91
5.2 Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal ... 92
5.3. Zona Integratif Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ... 94
5.4. Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ... 100
5.4.1. Konsep Perencanaan Wisata ... 100
5.4.2. Konsep Ruang Kawasan Wisata Budaya ... 101
5.4.3. Konsep Sirkulasi Kawasan Wisata Budaya ... 103
5.4.4. Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas di Kawasan Wisata Budaya ... 105
5.4.5. Program Pengembangan Perencanaan Wisata ... 108
5.5. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ... 109
VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 112
6.2. Saran ... 113
DAFTAR PUSTAKA ... 114
1. Rata-rata suhu udara, kelembaban, tekanan udara, arah
angin dan kecepatan angin pada tahun 2008 ... 34
2. Topografi lahan di beberapa kecamatan di Kota Surakarta ... 35
3. Luas penggunaan tanah tiap kecamatan di kota Surakarta ... 36
4. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta Tahun 1995-2008 ... 37
5. Banyaknya penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio di tiap kelurahan di Kecamatan Laweyan tahun 2008 ... 37
6. Banyaknya penduduk 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Kota Surakarta 2008 ... 38
7. Banyaknya kelurahan, RT, RW dan kepala keluarga di Surakarta tahun 2008 ... 38
8. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta tahun 2008 ... 39
9. Banyaknya organisasi kesenian dan seniman menurut jenis di Kota Surakarta tahun 2008 ... 40
10. Banyaknya pengunjung objek wisata di kota Surakarta tahun 2008 ... 40
11. Banyaknya hotel dan jumlah kamar menurut klasifikasi di kota Surakarta tahun 2008 ... 41
12 Tingkat penghuni kamar (TPK) hotel menurut kelas hotel di kota Surakarta tahun 2008 ... 42
13. Rata-rata lamanya tamu hotel menginap berdasarkan kelas hotel di Kota Surakarta tahun 2008 (hari) ... 42
14. Panjang jalan menurut status jalan dan keadaan di Kota Surakarta tahun 2008 ... 43
15. Banyaknya kendaraan angkutan umum yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2004-2008 ... 43
16. Banyaknya perusahaan oto Bus (PO) yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2008 ... 44
20. Data Penelitian ... 47
21. Peubah, indikator, dan kategori untuk penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 53
22 Skala penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 55
23. Penilaian kelayakan kawasan wisata ... 57
24 Skala penilaian kelayakan kawasan ... 57
25. Skala penilaian kualitas estetika-visual lingkungan ... 58
26. Penilaian kualitas estetika-visual lingkungan ... 59
27. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat ... 60
28. Potensi obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan ... 65
29. Obyek dan atraksi wisata di awasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi sangat baik (S1) ... 69
30. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi baik (S2) ... 71
31. Obyek dan atraksi wisata di Kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi cukup (S3) ... 75
32. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi buruk (S4) ... 76
33. Jenis aktivitas wisata dan kualitas ODAW eksisting ... 77
34. Jenis aktivitas wisata ODAW eksisting ... 79
35. Kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan obyek dan Atraksi wisata (ODAW) eksisting yang dimiliki ... 81
36. Tingkat kelayakan kawasan wisata ... 83
37. Kualitas estetika-visual lingkungan masing-masing kawasan ... 88
38. Zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... 91
39. Tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 93
42. Zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik
Laweyan, Surakarta ... 97
43. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona inti di kawasan wisata
budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 106
44. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona pendukung di kawasan
1. Kerangka dan alur pikir penelitian ... 4
2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri ... 6
3. Proses pembuatan batik ... 8
4. Alur proses pembuatan batik ... 9
5. Komponen fungsi dari suplai ... 17
6. Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta ... 29
7. Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan, Surakarta 30 8. Pola permukiman Kampung Batik Laweyan ... 31
9. Jalan di kawasan Kampung Batik Laweyan ... 32
10. Sungai Kabanaran ... 32
11. Rumah tinggal Indiesch di Laweyan ... 33
12. Grafik curah hujan di Kota Surakarta selama tahun 2008 per bulan ... 35
13. Grafik persentase luas penggunaan tanah di Kota Surakarta berdasar penggunaannya tahun 2008 ... 36
14. Lokasi studi ... 46
15. Tahapan penelitian ... 50
16. Peta potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 69
17. Peta deliniasi kawasan berdasarkan keberadaan obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta .... .78
18. Peta deliniasi kawasan berdasarkan jenis aktivitas wisata dari obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... .81
19. Peta tematik kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... .82
20. Peta kelayakan kawasan wisata budaya ... .84
21. Peta kondisi kualitas estetika-visual lingkungan ... .89
22. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan rendah ... .89
23. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan tinggi ... .90
24. Peta zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... .92
27. Peta zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung
Batik Laweyan, Surakarta ... .97
28. Konsep ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik
Laweyan, Surakarta ... .101
29. Konsep ruang dan sirkulasi kawasan wisata budaya di Kampung
Batik Laweyan, Surakarta ... .102
30. Rencana tata ruang kawasan wisata budaya di Kampung
Batik Laweyan, Surakarta ... .110
31. Gambar site plan kawasan wisata budaya Kampung Batik
1. Program pengembangan ruang wisata budaya (culture tourism) ... 118
2. Program pengembangan ruang wisata edukasi (edu-tourism) ... 132
1.1. Latar Belakang
Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni
budaya tradisional. Keragaman ini merupakan anugerah yang diwariskan nenek
moyang secara turun temurun yang membuat bangsa kita tetap memiliki ciri khas
kebudayaan sendiri, yang membedakan budaya bangsa kita dengan bangsa lain.
Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia
dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh
UNESCO, tepat pada tanggal 2 Oktober 2008 yang lalu, adalah batik.
Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus
menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi.
Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang
sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang
terkenal sebagai produsen batik di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah,
adalah Kampung Laweyan. Produksi batik yang sudah dilakukan sejak abad-19
ini ternyata meninggalkan jejak sejarah yang sangat kuat dan telah berperan
besar dalam membentuk lanskap budaya di kawasan tersebut. Dinamika
perkembangan batik juga turut menciptakan wajah lanskap budaya, berikut
sistem sosial budaya tradisional yang unik dan menarik.
Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik,
spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di
jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas
utamanya. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe" yang artinya benang dari
pilinan kapas. Asal-usul kata lawe ini ternyata terus membawa nama Laweyan
tetap terkenal sebagai daerah perdagangan dan produsen sandang hingga saat
ini, yaitu sandang batik.
Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik
dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Dengan
melihat pasang surutnya perkembangan produksi batik, dan terdorong keinginan
untuk melestarikan budaya di kawasan Kampung Laweyan ini, maka tanggal 25
September 2004 Pemerintah Daerah Surakarta mencanangkan Kampung
Laweyan sebagai Kampung Batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata
Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung
Laweyan sebagai Kampung Batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi
dengan perencanaan kawasan yang optimal. Menurut ICOMOS, The Burra
Charter (1999), dijelaskan bahwa nilai budaya yang dilindungi, sebagaimana
budaya batik yang ada di kampung Laweyan ini, dapat dimanfaatkan, sepanjang
tidak mengancam keberadaannya dan kualitas nilai budaya itu sendiri. Salah
satu cara pemanfaatannya adalah dengan menjadikannya sebagai daerah tujuan
wisata. Belakangan ini, kunjungan ke tempat-tempat warisan bersejarah, dan
tempat situs budaya lainnya meningkat dengan tajam (Pearce, 1996; Uzzell,
1998).
Di sisi lain, warisan budaya merupakan peninggalan leluhur yang mudah
terancam punah bila tidak dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Perencanaan
lanskap yang mampu memanfaatkan warisan budaya sebagai daya tarik wisata
sekaligus melakukan perlindungan terhadap warisan budaya tersebut , beserta
masyarakat lokal yang hidup bersamanya, sangat dibutuhkan. Pemanfaatan
sumberdaya wisata dengan sekaligus melakukan upaya pelestarian dan
perhatian terhadap keberlangsungan hidup kawasan hingga generasi-generasi
mendatang, merupakan kunci keberhasilan perencanaan lanskap sebuah
kawasan wisata. Perencanaan lanskap budaya yang tepat tidak hanya akan
menjadi daya tarik wisata, tapi sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat lokal dan kualitas budaya di kawasan tersebut.
Berangkat dari fenomena ini, penting untuk merencanakan kawasan
Kampung Batik Laweyan ini sebagai kawasan wisata budaya yang berkelanjutan
yang memperhatikan unsur-unsur pelestarian warisan budaya batik, kehidupan
sosial budaya dan perekonomian masyarakat lokal, dan lingkungan.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kampung Laweyan merupakan daerah yang menyimpan warisan budaya tak
benda yaitu batik. Budaya batik , berikut kehidupan sosial budaya yang
menyertainya, merupakan budaya yang harus tetap dipertahankan secara
turun temurun. Upaya pelestarian ini belum diwujudkan dalam perencanaan
kawasan yang terarah dan terintegrasi di Kampung Laweyan ini.
2. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai potensi dan sumberdaya apa saja yang
dimiliki kawasan agar layak dijadikan tempat tujuan wisata, sekaligus
sebagai upaya pelestarian sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya apa saja
yang dimiliki di kampung Batik Laweyan ini dan bagaimana potensi yang
dimiliki?
3. Masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kawasan
wisata. Bagaimana tingkat penerimaan masyarakat terhadap pengembangan
kawasan menjadi kawasan wisata?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat perencanaan kawasan
Kampung batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Sedangkan tujuan
khusus dari penelitian ini adalah:
1) Menganalisis aspek fisik kawasan :
a. Menganalisis kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan
atraksi wisata budaya eksisting
b. Menganalisis kelayakan kawasan wisata
c. Menganalisis kualitas estetika-visual lingkungan
2) Menganalisis potensi masyarakat lokal
3) Menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam
perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Mendukung upaya pelestarian sejarah dan budaya, khususnya di kawasan
Kampung Batik Laweyan, terutama setelah ditetapkannya Kampung
Laweyan sebagai kawasan cagar budaya.
2. Menjadi masukan bagi Forum Kampung Laweyan dalam mengembangkan
dan melestarikan Kampung Laweyan agar tetap berkelanjutan baik dari segi
ekonomi maupun kehidupan sosial budayanya.
3. Meningkatkan pemahaman dan pengertian pengunjung terhadap sejarah
dan budaya Kampung Batik Laweyan.
4. Menjadi masukan bagi pengembangan pariwisata yang dapat meningkatkan
PAD kota dan kesejahteraan masyarakat serta pelestarian budaya batik Kota
1.5. Kerangka Pikir Penelitian
Sebelum memulai penelitian, perlu adanya kerangka berpikir untuk
membantu kelancaran pelaksanaan baik selama di lapang maupun pada saat
proses pengolahan data dan pengembangan kawasan. Aspek masyarakat dan
aspek fisik kawasan diteliti dan dianalisis sesuai prinsip-prinsip perencanaan
wisata. (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka dan alur pikir penelitian
Aspek Fisik Kawasan Aspek
Masyarakat
Kualitas Budaya Kawasan berdasarkan Obyek & Atraksi
Wisata Eksisting
Potensi Masyarakat Potensi
Pengembangan Wisata Budaya
Kampung Laweyan
Peruntukan sebagai kawasan wisata budaya
Perencanaan Kawasan
Zona Wisata Budaya Potensial
Zona Akseptibilitas Masyarakat
Zona Pengembangan Kawasan Wisata Budaya
Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Budaya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batik dan Sejarahnya
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal
sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola
batik masih didominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah
perkembangannya, batik mengalami banyak perkembangan. Selanjutnya dengan
penggabungan berbagai corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul
seni batik lukis seperti sekarang ini (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri, 1987).
Sejarah perbatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan
kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan,
pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan mataram,
kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Jenis dan corak batik tradisional amat banyak, namun corak dan
variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat
beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah
mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri
kekhususannya sendiri. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain
untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia
zaman dulu. Pada awalnya batik dikerjakan terbatas hanya dalam kraton saja
dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh
karena banyak dari para pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya
masing-masing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh
rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam
rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang
tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang
digemari, pria dan wanita, hingga kini.
Sebelum tahun 1900 penggunaan batik hanya untuk jarik (tapih),dodot,
kemben,selendang dan ikat kepala. Sedangkan motif-motif yang digunakan
mempunyai arti filosofis, sebagai contoh:
a. Batik dengan motif sidomukti biasa digunakan oleh mempelai pada
upacara akad nikah maupun upacara “panggih” (Jawa) dengan maksud
kebahagiaan, terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mendapatkan
kedudukan yang tinggi.
b. Pada tahun 1769, 1784, 1790, di kasunanan Surakarta diterbitkan surat
keputusan Sri Sunan yang berisi larangan menggunakan batik khusus
dengan motif yang mengandung sawat (sayap burung garuda), motif
Parang Rusak, motif Udan Liris, Motif Cemukan , bagi masyarakat umum
(bukan anggota keluarga kerajaan). Berbagai motif batik yang disebutkan
di atas dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini
Motif Parang Rusak Motif sawat (sayap burung garuda)
Motif Sidomukti Motif Udan Liris
Sumber: Departemen Perindustrian-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri
(1987).
Gambar 2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah tahun 1900 (terutama setelah
dihapuskannya larangan penggunaan motif batik tertentu dan munculnya desain
batik modern) maka penggunaan batik tidak terbatas untuk busana tradisional
perlengkapan rumah tangga (seperti tirai, taplak meja, sprei, hiasan dinding, tas,
kursi, gaun, kemeja pria, dsb).
Jadi, kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan
Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai
meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku
Jawa, yaitu setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad ke XIX. Semua batik yang
dihasilkan adalah berupa batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal
baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920.
Kini batik sudah menjadi pakaian tradisional Indonesia, dan bahkan
sudah menjadi salah satu fashion yang sedang trend dan digandrungi tidak
hanya oleh penduduk Pulau Jawa. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa dan
luar negeri sekalipun sudah mulai mengenal batik dan mengenakannya dengan
bangga. Namun, popularitas batik sekarang ini lebih banyak karena didukung
oleh kecenderungan trend dan mode pakaian yang dicetuskan pertama kali oleh
para perancang pakaian. Orang banyak mengenakan batik lebih karena “sedang
trend”, dan bukan karena terdorong rasa cinta dan pengetahuan yang mendalam
terhadap karya seni batik itu sendiri.
Kebanggaan yang dimiliki bangsa Indonesia berkenaan dengan batik
adalah dengan diakuinya kerajinan tradisional batik sebagai warisan budaya
takbenda secara internasional. Kerajinan batik yang dimiliki bangsa Indonesia
memang unik, dimana ini terletak pada seni proses pembuatan batik itu sendiri.
Proses pembuatan batik yang mengikuti alur kerja tertentu dimulai dari
menggambar motif menggunakan canting sampai proses pewarnaan dan
penjemuran, merupakan kemahiran kerajinan tradisional yang tidak dimiliki
bangsa lain. Hal ini merupakan tradisi budaya yang harus tetap dijaga dari
generasi ke generasi.
Pada kenyataannya, pengetahuan akan seni batik dirasa kurang bagi
generasi masa kini. Berbagai bentuk dan corak batik yang ada, jarang dapat
dipahami dengan benar, terutama bagi mereka yang tinggal di luar kota-kota
penghasil batik seperti Bandung, Jakarta, atau luar jawa. Sebagian besar
mereka hanya tahu bahwa kain tersebut adalah kain batik, tetapi tidak tahu corak
apa saja yang tergolong batik dan bagaimana membedakannya , bagaimana
proses pembuatannya, bagaimana merawat batik dengan benar, dll.
Pengetahuan akan seluk beluk batik termasuk pengenalan sejarah batik, corak,
dan melestarikan kesenian batik, yang telah menjadi tradisi dan ciri khas bangsa
Indonesia sejak jaman dulu.
Proses pembuatan batik merupakan pengetahuan yang sangat menarik
untuk digali. Proses membatik secara tradisonal ini dari masa kemasa tidak
mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan
fungsinya, peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan cara
membatik yang juga masih tradisional.
Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu
sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang
lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik.
Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dan
menghasilkan seni batik tradisional. Membatik dengan cara tradisional ini
(menggunakan canting) memang tidak dapat menghasilkan kain batik dalam
jumlah banyak dengan waktu singkat. Tidak mengherankan bila hasil karya
membatik tradisional ini dihargai dengan harga yang cukup tinggi. Gambar alur
pembuatan batik dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 di bawah ini.
Sumber : Widayati, 2002
Gambar 4. Alur proses pembuatan batik
2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam
Riwayat perbatikan di daerah Jawa Timur adalah di Ponorogo, yang
kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Disebutkan
masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan
agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong,
ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong
adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke
Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah
Patihan Wetan (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri, 1987).
Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari, ada
sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan
agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan
kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah
Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja
Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena
putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari
dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga
kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik
keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di
Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan
dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah
Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa
Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten,
Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat
yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari
kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain
putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import
baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia
pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas.
Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang
tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan
Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di
Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang
dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik
kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian
terkenal seluruh Indonesia.
2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan
19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa.
Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat
dikembangkan menjadi komoditi perdagangan (Departemen Perindustrian
-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987).
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya baik dalam
proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk
pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti
soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain
terkenal dengan "Sidomukti" dan "Sidoluruh".
Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal
semenjak kerajaan Mataram ke-1 dengan rajanya Panembahan Senopati.
Daerah pembatikan pertama ialah di Desa Plered. Pembatikan pada masa itu
terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita
pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada tingkatan pertama pada
keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada
upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai
pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat
kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh
keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar
dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga
raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga
raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke
Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulung Agung dan
sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu
menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad
ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan
pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang
menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang
pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah
kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di
daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut Pangeran Diponegoro
mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang
Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas,
Pekalongan, Tegal, Cirebon.
2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota Lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa
oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan
tahun 1830, mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya
yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di
Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama
dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah
kesemuan kuning. (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan
Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri
Kerajinan dan batik, 1987).
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada
akhir abad XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan
Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan
motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah
perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina, disamping
mereka juga berdagang bahan batik.
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut
Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan
usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan
sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya
pembatikan di daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan
daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad XIX. Perkembangan pembatikan daerah-
didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan
perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang
Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar
Yogya dan Solo karena tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan
ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan
untuk mata pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah
dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad XX proses pembatikan
yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya merupakan buatan dalam
negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal
pembuatan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan
Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekalongan ialah
pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara
sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang
dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan
dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen sehingga
para buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto pun banyak yang lebih tertarik
ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal pada akhir abad XIX dan bahan
yang dipakai pada waktu itu merupakan bahan buatan sendiri yang diambil dari
tumbuh-tumbuhan seperti pace atau mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya
adalah bahan tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan
babaran abu-abu. Setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi
warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah mencapai kawasan luar
daerah antara lain Jawa Barat , dimana batik tersebut dibawa sendiri oleh
pengusaha-pengusaha dengan berjalan kaki dan menurut sejarah merekalah
yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping
pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
2.2. Pengertian Wisata
Wisata adalah kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang
untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat
tinggal dan tempat rutinitas bekerja, untuk tujuan rekreatif dan non rekreatif
dengan aktivitas selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan fasilitas
yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Gunn, 1994). Sementara
itu Soemarwoto (1996) menyatakan bahwa wisata atau pariwisata adalah industri
yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan,
dimana tujuan pariwisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi. Wisata juga
dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat membuat suatu area
terhubung dengan destinasi dengan rute perjalanan antara dua lokasi tersebut (
Tujuan travelling dalam pariwisata memang bervariasi. Menurut WTO (
World Tourism Organization (1991), yang diperkuat oleh UN Statistical
Commission dalam Holden (2000) dikatakan bahwa pariwisata terdiri dari
aktivitas orang yang melakukan travelling dan menetap di suatu tempat di luar
lingkungan yang biasa mereka diami untuk jangka waktu tidak lebih dari satu
tahun untuk kepentingan bersenang-senang, bisnis atau tujuan lainnya. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan oleh Davidson dalam Holden (2000) bahwa
rekreasi atau kesenangan merupakan tipe utama dari wisata, termasuk
perjalanan untuk mengisi hari libur, olahraga, acara budaya, dan mengunjungi
teman dan saudara, atau bahkan untuk kepentingan bisnis, studi atau
pendidikan , agama dan tujuan kesehatan.
Alasan utama mengapa orang mengunjungi suatu tempat adalah
adanya daya tarik atau magnet tertentu dari tempat tersebut. Gunn (1994)
menyatakan bahwa alasan tersebut terletak pada sumberdaya yang ada di
tempat tujuan/destinasi, baik itu sumberdaya alam dan budaya, dan juga atraksi
yang berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pada umumnya istilah
“sumberdaya alam” mengacu pada lima fitur alam mendasar seperti air,
perubahan topografi, vegetasi, kehidupan alam liar, dan iklim. Sumberdaya
budaya termasuk semua sumberdaya kecuali yang kita sebut alami. Diantaranya
adalah situs bersejarah, situs prasejarah, tempat keetnikan, legenda dan
pendidikan; industri, pusat perdagangan, dan galeri-galeri; dan tempat – tempat
penting untuk hiburan, kesehatan, olah raga dan agama. Kedua kategori
sumberdaya ini dapat digunakan untuk mengklasifikasi atraksi yang terdapat di
tempat tujuan wisata. Smith (1989) mengkategorikan faktor-faktor atraksi dalam
area wisata dalam lima kategori utama yaitu faktor alami, faktor sosial dan
budaya, faktor sejarah, faktor rekreasional dan faktor infrastruktur wisata.
Atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata merupakan komponen
suplai yang sangat berperan penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan segala
hal yang dikembangkan di lokasi, yang direncanakan dan dikelola untuk
kepentingan pengunjung, untuk aktivitas dan untuk dinikmati (Gunn, 1994).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam wisata tidak dapat terlepas
dari hukum penawaran dan permintaan. Semakin menarik penawaran yang
diberikan, maka akan semakin banyak pula permintaan yang datang.
Perencanaan dan pengelolaan yang tepat di sisi penawaran (dalam hal ini adalah
menambah sisi permintaan, tetapi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan
kawasan tujuan wisata. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa yang dapat
ditawarkan adalah di tempat tujuan wisata adalah sumberdaya, baik sumberdaya
alam maupun sumberdaya budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
yang mampu mempertahankan keberlangsungan kawasan dan lingkungan
adalah tujuan utama dari seorang perencana kawasan wisata.
2.3. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata
Menurut Inskeep (1991) secara umum yang dimaksud dengan
perencanaan adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan
tertentu. Berkaitan dengan perencanaan wisata, Inskeep (1991) mengatakan
bahwa terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan
sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata. Pendekatan perencanaan
dengan mempertimbangkan keberlanjutan kawasan dan lingkungan adalah salah
satunya. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya kualitas kehidupan yang
lebih baik karena kondisi fundamental yang terdiri dari lingkungan manusia,
kehidupan budaya, dan kehidupan alam yang senantiasa terjaga, selalu menjadi
pertimbangan utama selama perkembangan terjadi.
Lebih lanjut Nurisjah (2000) menyatakan bahwa perencanaan
merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk
mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau
pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan.
Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk
mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung,
pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. Dikatakan pula bahwa
perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi
lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan,
dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif yang
minimal.
Pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas memberi
arahan bagi seorang perencana kawasan khususnya dalam hal ini adalah
perencana kawasan wisata untuk mempertimbangkan banyak faktor yang
berpengaruh dalam wisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk
kepentingan keuntungan secara materi bagi industri wisata sendiri, tetapi
kehidupan industri wisata itu sendiri seperti masyarakat lokal, lingkungan,
kehidupan ekonomi dan budaya, serta alam. Pemilihan pendekatan perencanaan
yang tepat merupakan kunci sukses dalam keberhasilan sebuah perencanaan.
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan
wisata adalah sebagai berikut.
2.3.1. Sumberdaya Wisata
Untuk merencanakan suatu kawasan wisata perlu diperhatikan
sumberdaya dan permintaan wisata. Sumberdaya wisata merupakan gambaran
tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Sumber daya wisata adalah potensi
wisata yang dapat berupa objek-objek wisata baik alami maupun objek-objek
buatan manusia. Objek-objek alami meliputi iklim, pemandangan alam, wisata
rimba, flora dan fauna, sumber air, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan
objek-objek buatan manusia antara lain yang bercirikan sejarah, budaya dan agama,
sarana dan prasarana wisata dan pola hidup masyarakat (Hardjowigeno,2001).
Menurut Darsoprajitno (2002), sumber daya wisata adalah ketersediaan
objek dan daya tarik wisata baik wisata binaan, lingkungan alam yang masih
murni alami, maupun yang sudah terpengaruh oleh budidaya manusia yang
bersifat tetap atau temporal di suatu kawasan tertentu. Selanjutnya Avenzora
(2008), menyatakan sumber daya wisata (recreation resources) adalah suatu
ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen
ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2)
menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi.
Supply atau penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari
suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level
harga. Sedangkan tourism supply adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan
karakteristik sosial ekonomi yang dengan sebaik mungkin dapat mendukung
atraksi dan objek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya
alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata
(Jafari, 2000). Dalam tourism supply, perlu dipahami pengertian tentang : (1) apa
dan berapa yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan,dan (3) kepada
siapa dapat diberikan (Avenzora, 2008).
Selain sumberdaya fisik dan alami maka sumberdaya lain seperti aspek
budaya maupun sejarah, menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung
tinggi yang dimiliki oleh suatu kawasan. Namun demikian walaupun mempunyai
potensi untuk dikembangkan tapi bila tanpa dukungan sarana prasarana
tranportasi, atraksi yang menarik, maupun pelayanan yang baik serta informasi
dan promosi, maka akan kurang dikenal. Oleh karena itu sumber daya wisata
dapat dikembangkan menjadi suatu pariwisata yang marketable jika memenuhi
persyaratan sebagaimana gambar di bawah ini.
Sumber : Gunn, 1994
Gambar 5.. Komponen fungsi dari suplai
Perencanaan dan pengembangan suatu kawasan wisata harus
memperhatikan semua sumberdaya alam dan budaya, serta lingkungan agar
tidak terjadi degradasi. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi
sumber daya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata, selain itu
juga harus menonjolkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat (Gunn, 1994).
Salah satu sumber daya wisata adalah budaya kehidupan masyarakat.
Pemahaman terhadap budaya suatu masyarakat tidak hanya dapat membantu
melestarikan kelestarian budaya itu sendiri, namun juga dapat menjadi salah satu
atraksi menarik bagi wisatawan yang menginginkan pengalaman untuk
merasakan budaya yang berbeda dengan budaya daerah asal mereka.
2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata
Aspek sosial budaya adalah suatu kondisi sosial budaya masyarakat
yang ada dan berpengaruh dalam lingkungan hidupnya. Menurut
Koentjaraningrat (1986), budaya sebagai bagian kompleks yang menyangkut
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral. hukum, adat istiadat dan
Atraksi
Servis
Transportasi
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari
manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat (1986),
menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini
disebut sebagai budaya fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan,
maka sifatnya paling konkret.
Sementara itu Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa unsur-unsur
kebudayaan bersifat universal (cultural universal) yang terdiri dari tujuh unsur
yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial. Sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.
Dalam aspek sosial budaya berhubungan erat dengan lanskap
budayanya (cultural landscape) yaitu suatu model atau bentuk lanskap binaan
yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat
yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat
tersebut. Lanskap ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam
lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan
ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan
lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan
kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan
perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan,
adat istiadat, kesenian dan struktur lainnya (Nurisjah, 2001). Pola-pola budaya
yang perlu diketahui termasuk struktur masyarakat, sistem nilai, kebiasaan, gaya
hidup dan perilaku yang akan disesuaikan dengan pengembangan wisata dan
pemakaian tenaga kerja setempat ( Inskeep ,1991).
Menurut Inskeep (1991), sosial budaya dalam wisata adalah:
1. Pengembangan wisata yang dapat memikat tanpa menimbulkan
kerusakan pada kehidupan sosial budaya dan aktifitas masyarakat,
2. Tingkatan wisata yang dapat membantu memelihara monumen
budaya, seni, sistem kepercayaan, pakaian dan tradisi tanpa efek
Perlu diketahui bahwa mau tidak mau pasti akan terjadi dampak akibat
adanya wisata. Dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya wisata
adalah terjadinya interaksi antara wisatawan yang memiliki kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan penduduk lokal sehingga terjadi saling
mempengaruhi antara penduduk lokal dengan wisatawan. Dampak ini dapat
memberi pengaruh positif seperti semakin meluasnya cakrawala pandangan
penduduk lokal, saling pengertian dan saling menghargai antara wisatawan dan
penduduk lokal. Di lain pihak juga memberi dampak negatif seperti adanya
komersialisasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan merosotnya mutu
kesenian, meningkatnya prostitusi dan kriminalitas (Soemarwoto, 1996).
Pertimbangan perencanaan yang dapat meminimalisir dampak negatif dan
memperkuat dampak positif, sangat perlu dilakukan.
2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata
Menurut Suwantoro (2004), dikatakan bahwa pembangunan dan
pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan
sekitarnya secara langsung.
Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan
pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat
berupa keikutsertaaan sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial
budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat
dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya.
Keikutsertaan ekonomi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian
baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung
dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian
kawasan wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan
pendukung perekonomian di kawasan wisata.
Dalam suatu kawasan budaya yang dilindungi, perlu adanya kerjasama
antara 3 mitra yang saling menguntungkan untuk bersama-sama melindungi dan
menjaga agar lingkungannya tetap terus berkelanjutan, yaitu komunitas,
pengunjung, dan situs itu sendiri. Komunitas ini terdiri dari masyarakat lokal,
pemerintah daerah, LSM, forum perwakilan masyarakat, maupun pengusaha
sebagai investor. Komunitas yang saling berkoordinasi menyamakan misi dan
visi dalam membangun dan melindungi kawasannya akan mendororng
keistimewaan budaya yang mereka miliki. Ketika sebuah komunitas
menunjukkan rasa bangga dan wibawanya atas kawasan budaya yang dilindungi
dan dijaga dengan hati-hati ini, maka hal ini akan menarik para tamu atau
pengunjung yang juga menunjukkan rasa penghargaan atas kekagumannya. Jika
lingkaran ini sudah terbentuk, maka akan lebih mudah memelihara kawasan
budaya yang dilindungi tersebut dan menjaganya agar tetap langgeng hingga
generasi berikutnya. Memahami preferensi dan persepsi komunitas dan
pengunjung merupakan hal yang sangat penting dalam merencanakan suatu
kawasan wisata budaya.
2.3.4. Apresiasi Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata
Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi
visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan
hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan
apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh
anggota tubuh (Carmona et al. 2003).
Nasar (1998), mengatakan ada lima atribut untuk mengatakan bahwa
suatu lingkungan itu disukai. Kelima atribut tersebut adalah: 1) naturalness
(lingkungan yang natural atau unsur alamiahnya lebih dominan dibanding elemen
terbangun); 2) upkeep/civilities (lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara) ;
3) openness and defined space (perpaduan antara ruang terbuka dengan
panorama dan vista dari elemen2 yang menarik); 4) historical
significance/content (lingkungan yang membentuk ingatan/memori yang
dharapkan); dan 5) order (dalam arti keteraturan, koheren (tepat ), kongruen
(sesuai), legible (mudah dipahami), dan ada kejelasan (clarity)). Untuk ruang
terbuka yang berupa jalan atau street, Carmona et al. (2003), mengatakan
bahwa terdapat pertimbangan untuk menilai kualitas visual salah satunya adalah
architectural rhythm.
Dimensi visual lainnya adalah pengalaman kinestetik (kinaesthetic
experience). Cullen (1961) dalam Carmona et al. (2003) mengatakan tentang
‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan
banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti
misalnya juxtaposition dalam bidang arsitektur. Bosselmann (1998) dalam
Carmona et al. (2003) mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya
Lebih lanjut Bosselmann mengatakan bahwa seseorang yang mengambil jarak
tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi
terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan
yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih
lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya.
2.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya
2.4.1. Lanskap Budaya
Kebesaran suatu bangsa tidak hanya cukup diukur oleh tingkat
kesejahteraan dan kemantapan perekonomian saja, tetapi juga oleh apresiasi
dan sikap bangsa dalam melestarikan nilai dan warisan budaya lama serta
keanekaragaman biologis dan ekosistemnya. Warisan alam dan budaya,
merupakan sumber yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan mahluk
hidup di muka bumi ini.
Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang
beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor
dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah
unsur yang relatif sulit diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah
unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds, 1983).
Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada
di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan
lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau
diubah oleh manusia (Lewis (1979) diacu dalam Meinig (1979)). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lanskap budaya adalah segala bagian dari
muka bumi yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia.
Lanskap budaya menurut Sauers (1978) diacu dalam Tishler (1982),
adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh
suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami
sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan
lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan
kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar masa lalu. Sebagai
arsitek lanskap merupakan tanggung jawab professional untuk menentukan
lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau
dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan unsur keberlangsungan sebagai
2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda
Menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organisation) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah yang tergolong
dalam monumen, kelompok bangunan, dan situs. Yang dimaksud dengan
monumen antara lain hasil karya arsitektural, hasil karya patung dan lukisan yang
monumental. Elemen atau struktur alam yang arkeologis, naskah, gua dan
kombinasi fiturnya, dimana nilainya bersifat universal, baik dari sudut pandang
sejarah, seni sekelompok bangunan yang saling berhubungan maupun yang
terpisah, baik karena bentuk arsitekturnya, keseragamannya dalam suatu
lanskap, atau nilainya yang secara universal sangat hebat, baik dari segi sejarah,
seni maupun ilmu pengetahuan. Untuk situs, yang tergolong di dalamnya adalah
hasil karya manusia atau kombinasi antara alam maupun karya manusia, dan
area-area seperti situs bersejarah yang nilainya secara universal tergolong
hebat, baik dari segi sejarah, estetika, etnologis maupun antropologis.
Masih menurut UNESCO, bahwa cultural heritage terdiri dari tangible
cultural heritage (materiil cultural heritage) dan Intangible cultural heritage
(Immateriil cultural heritage). Tangible cultural heritage dapat terdiri dari: 1)
warisan budaya yang dapat dipindahkan (lukisan, patung, koin, naskah kuno); 2)
warisan budaya yang tidak dapat dipindahkan (monumen, situs arkeologis); 3)
warisan budaya di bawah air (kapal karam, situs dan reruntuhan di bawah air).
Sedangkan Intangible cultural heritage terdiri atas tradisi lisan, seni pertunjukan,
ritual.
Menurut Konvensi UNESCO 2003 mengenai Warisan Budaya Takbenda
menyebutkan bahwa warisan budaya takbenda mengandung arti berbagai
praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh
berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu sebagai bagian
warisan budaya mereka.
Warisan Budaya Takbenda (WBTB) ini bagi masyarakat, kelompok dan
perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, dan cara mereka
hidup bermasyarakat. Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari
potensi kreatif manusia, warisan takbenda secara terus-menerus diciptakan oleh
para penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu
ke individu lain dan dari generasi ke generasi.
Warisan budaya takbenda sebagaimana didefinisikan di atas diwujudkan