• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landscape planning for cultural tourism region of laweyan batik kampong, Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Landscape planning for cultural tourism region of laweyan batik kampong, Surakarta"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

WISATA BUDAYA KAMPUNG

BATIK LAWEYAN, SURAKARTA

YUNI PRIHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perencanaan Lanskap Kawasan

Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta adalah karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Adapun sumber informasi yang berasal atau yang dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Yuni Prihayati

(3)

Batik Kampong, Surakarta. Under supervision of SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, and NURHAYATI, H.S.ARIFIN

Indonesia is a country with high diversity of cultures. They reflect the history, development, and civilization of Indonesia as a great nation. One of the cultural heritage which has been officially recognized by UNESCO is Batik. Laweyan Batik Kampong is a historical area and has been a centre of batik industry since eighteenth century and it has formed an unique cultural landscape. Developing this area into a cultural tourism landscape with appropriate landscape planning, will encourage the sustainability of culture-socio life in local batik community, the preservation of physical and cultural landscape, and the security of local economy. This study aims to develop Laweyan Batik Kampong into a cultural tourism landscape by analyzing physical and community aspects. Descriptive quantitative method was used to analyze the data both statistically and spatially. Physical aspect was analyzed to obtain the cultural tourism development potential which has three assessment aspects namely cultural quality of region ( the criteria for assessment was adopted from ICOMOS 1999, The Burra Charter) , suitability of region ( the criteria for assessment was adopted from director general for tourism product development, 2000), and quality of visual-aesthetic of environment (the criteria was adopted from Nasar (1998), Burra Charter (1999), and Carmona (2006)). Local community aspect was analyzed to recognize the community acceptability (criteria for assessment was adopted from Koentjaraningrat in Yusiana, 2007). Study result shows that Laweyan Batik Kampong has opportunity to be developed into a cultural tourism landscape. This potential could be developed based on potential development zone generated from the analysis. There are two development zones namely tourism centre zone and tourism supporting zone. The centre zone will accommodate all facilities which will be used to cater cultural tourism activity, such as edu-tourism (batik tourism), and culture tourism (cultural, architectural, and historical tourism). The tourism supporting zone will accommodate the facility which supports cultural tourism such as entrance, visitor centre, and other supporting facilities. Landscape plan is derived from developing the two zones by accommodating the cultural interpretative tourism concept, tourism activity and facility development. Local government must support the development of Laweyan Batik Kampong by establishing the legal aspect to protect the heritage and socializing it to the people. I strongly recommend local government to apply the landscape planning I have created in Laweyan Batik Kampong to create a sustainable cultural tourism that consider local community, local economy, socio-culture, and environment.

(4)

Burra Charter (1999). Ketiga analisis di atas dioverlay untuk mendapatkan zona potensi pengembangan wisata budaya. Sedangkan pendekatan untuk mengetahui potensi masyarakat lokal dilakukan dengan menganalisis tingkat akseptibilitas masyarakat. Kriteria untuk analisis menggunakan kriteria dari Yusiana (2007).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kampung Batik Laweyan memiliki potensi fisik untuk dikembangkan

sebagai

kawasan wisata budaya dilihat dari aspek kualitas budaya kawasan, kelayakan kawasan dan kualitas estetika-visual lingkungan. Berdasarkan penilaian terhadap potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa 16% dari obyek dan atraksi berkategori sangat baik untuk dikembangkan, dan 50% berkategori baik untuk dikembangkan. Sedangkan penilaian kualitas budaya kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting, diperoleh hasil bahwa kawasan yang tergolong sangat potensial sekitar 13%, dan yang tergolong potensial sekitar 25%. Untuk kelayakan kawasan, terdiri dari 25% kawasan sangat potensial dan 50% potensial, dan kualitas estetika-visual lingkungan menunjukkan hasil bahwa 50% kawasan tergolong sangat potensial dan 38% potensial. Dari ketiga aspek tersebut setelah dioverlay maka diperoleh zona potensi wisata budaya dimana 38% kawasan tergolong sangat potensial, 38% potensial, dan 24% tidak potensial.

Pengembangan Kampung Batik Laweyan sebagai kawasan wisata budaya didukung oleh masyarakatnya dimana 87.5% masyarakat di seluruh kawasan setuju dengan adanya pengembangan kawasan sebagai tujuan wisata dan bersedia menerima kehadiran wisatawan. Mengingat kawasan ini padat penduduk, masalah kepemilikan lahan bisa menjadi kendala. Hal ini dapat diatasi dengan kebijakan pemerintah dalam pemberian kompensasi yang senilai dengan pengorbanan yang diberikan masyarakat setempat. Zona integratif antara potensi wisata dan akseptibilitas menghasilkan

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta dalam merencanakan secara fisik kawasan wisata budaya yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian warisan budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya.

38% sangat potensial (SP), 38 % potensial (P), 24% tidak potensial (TP). Zona pengembangan dibagi menjadi zona inti (zona SP dan P) dan zona pendukung wisata (zona TP). Pada perencanaan, zona inti dikembangkan untuk menampung aktivitas wisata budaya dan aktivitas masyarakat yang terkait langsung dengan wisata budaya. Zona pendukung menampung aktivitas selain wisata utama.

(5)

YUNI PRIHAYATI. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta. Dibimbing oleh SITI NURISJAH, ARIS MUNANDAR, dan NURHAYATI H.S.ARIFIN.

Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni budaya tradisional. Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, adalah batik. Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi.

Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang terkenal sebagai produsen batik di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, adalah Kampung Laweyan. Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Hal ini terbukti dengan dicanangkannya Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata Kota Solo. Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung Laweyan sebagai kampung batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi dengan perencanaan kawasan yang optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan lanskap kawasan Kampung Batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi fisik kawasan; 2) menganalisis potensi masyarakat lokal; 3) menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan melakukan teknik penskalaan melalui metode peringkat, dan teknik pembobotan dengan metode pembobotan (penentuan bobot) secara langsung melalui expert judgement. Teknik penzonasian dilakukan dengan analisis spasial yang dimodifikasi dengan metode deskriptif kuantitatif di atas. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan aspek fisik kawasan, dan aspek masyarakat,

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

WISATA BUDAYA

KAMPUNG BATIK LAWEYAN, SURAKARTA

YUNI PRIHAYATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NRP : A 451080081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA

Dr. Ir. Aris Munandar, MS

Anggota Anggota

Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(10)

Karya kecil ini khusus kupersembahkan untuk suamiku tercinta, Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE

dan kedua buah hatiku tercinta,

Khansa Fatihah Muhammad dan Abu Bakar Aakif Muhammad

Yang telah merelakan waktu dan perhatian selama penulis menyelesaikan studi. Kekuatan cinta dan dukungan semangat dari kalian lah yang membuat penulis mampu menjalani kesulitan dan rintangan selama ini.

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat

dan hidayahNya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini dengan

baik. Judul Tesis dalam penelitian ini adalah “Perencanaan Lanskap Kawasan

Wisata Budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta”. Tesis ini merupakan syarat

untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister

Sains dari program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih disertai

penghargaan kepada :

1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA , Dr. Ir. Aris Munandar, MS

dan Dr. Ir. Nurhayati, H.S. Arifin, M.Sc selaku dosen pembimbing yang

telah memberi bimbingan, dan saran dalam menyelesaikan penelitian ini.

2. Dr. Ir. Alinda Fitriyani, M. Zain, M.Si, selaku dosen penguji atas saran dan

masukannya.

3. Pimpinan dan staff dari instansi di lingkungan Pemerintah Daerah Kota

Surakarta : Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas

Tata Ruang.

4. Ir. Alpha Febela Priyatmono, MT, selaku ketua Forum Pengembangan

Kampung Batik Laweyan Surakarta, dan para tokoh masyarakat Kampung

Batik Laweyan atas segala bantuan selama penulis turun lapang.

5. Teman-temanku Surya Dewantara, Yuli Istanto, Moh. Zamroni, Bagoes,

yang telah banyak membantu selama penulis melakukan turun lapang.

Mbak Euis Puspita, Isrok, Prima, Titi, Eka, Aan atas persahabatan yang tak

ternilai harganya.

6. Kakak-kakakku tercinta yang telah banyak membantu : Surya Purwati, Dr.

Bambang DH, Tri Maulidi N, Dr. Agustina (kandidat), Joko Santoso, Dr.

Meni. H (kandidat).

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2011

(12)

Yuni Prihayati. Putri bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak

H. Rasimun Purwoatmodjo dan Ibu Hj.Sukarti. Dilahirkan di Kota Mentok, Bangka

pada tanggal 28 Juni 1973. Pada kurun waktu 1979 – 1985 penulis menempuh

pendidikan sekolah dasar di SD St. Maria, Mentok-Bangka. Pendidikan

menengah pertama ditempuh di tempat yang sama dan lulus tahun 1988, lalu

melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMAN 2 Surakarta dan

lulus tahun 1991.

Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada

Program Studi Arsitektur Pertamanan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor melalui jalur USMI dan berhasil menamatkan studi S-1 pada tahun 1996

dengan Skripsi yang berjudul Perancangan Agrowisata Sektor II

Cilantung-Parung, Bogor. Pada tahun 2008, penulis meneruskan studi Pascasarjana pada

Mayor Arsitektur Lanskap , Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis pernah bekerja sebagai dosen Arsitektur Lanskap di Universitas

Mercu Buana untuk periode tahun 1997 – 2002. Saat ini penulis aktif menulis

buku-buku bertema pendidikan dan telah menerbitkan beberapa buah buku

bertema umum dan CD interaktif bertema pendidikan. Karya ilmiah berjudul

Ecological Legal Aspects for Sustainable Riparian Landscape Management in

Sempur Area, Bogor City, Indonesia telah disajikan pada Simposium

Internasional Green City di Bogor pada bulan Juli 2010. Penulis telah

berkeluarga dengan Ir. Noor Arifin Muhammad, MIE dan dikaruniai 1 orang putri

yaitu Khansa Fatihah Muhammad dan 1 orang putra yaitu Abu Bakar Aakif

(13)

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batik dan Sejarahnya ... 5

2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam ... 9

2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta ... 10

2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota lain ... 12

2.2 Pengertian Wisata ... 13

2.3 Perencanaan lanskap Kawasan Wisata ... 15

2.3.1. Sumberdaya Wisata . ... 16

2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata ... 17

2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata ... 19

2.3.4. Aspek Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata ... 20

2.4 Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ... 21

2.4.1. Lanskap Budaya ... 21

2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda ... 22

2.4.3. Wisata Budaya dan Interpretasi ... 25

2.4.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya Berkelanjutan ... 26

III. GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA 3.1 Kondisi Fisik Kota Surakarta ... 28

(14)

3.1.2. Iklim ... 33

3.1.3. Topografi Lahan ... 35

3.1.4. Tata Guna Lahan ... 36

3.2. Kondisi Sosial Budaya ... 37

3.2.1. Penduduk ... 37

3.2.2. Kepegawaian ... 38

3.2.3. Ketenagakerjaan ... 39

3.2.4. Organisasi Seni dan Budaya ... 39

3.3. Hotel dan Pariwisata ... 40

3.3.1. Pariwisata ... 40

3.3.2. Hotel ... 41

3.4. Transportasi ... 42

IV. METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4.2 Alat dan Data Penelitian ... 45

4.2.1. Alat Penelitian ... 45

4.2.2. Data Penelitian ... 47

4.3 Metode Penelitian ... 48

4.3.1. Pendekatan yang Digunakan ... 48

4.3.2. Tahapan Penelitian ... 49

Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data……… 51

Tahap 2. Analisis dan Sintesis ……….51

Tahap 3. Konsep dan Perencanaan ………62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi dan Analisis Potensi Fisik Kawasan ... 65

5.1.1. Analisis Kualitas Budaya Kawasan ... 65

5.1.1.1. Analisis Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Eksisting ... 65

(15)

5.1.4. Zona Wisata Budaya Potensial ... 91

5.2 Analisis Tingkat Akseptibilitas Masyarakat Lokal ... 92

5.3. Zona Integratif Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ... 94

5.4. Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Budaya di Kampung Batik Laweyan ... 100

5.4.1. Konsep Perencanaan Wisata ... 100

5.4.2. Konsep Ruang Kawasan Wisata Budaya ... 101

5.4.3. Konsep Sirkulasi Kawasan Wisata Budaya ... 103

5.4.4. Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas di Kawasan Wisata Budaya ... 105

5.4.5. Program Pengembangan Perencanaan Wisata ... 108

5.5. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya ... 109

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 112

6.2. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(16)

1. Rata-rata suhu udara, kelembaban, tekanan udara, arah

angin dan kecepatan angin pada tahun 2008 ... 34

2. Topografi lahan di beberapa kecamatan di Kota Surakarta ... 35

3. Luas penggunaan tanah tiap kecamatan di kota Surakarta ... 36

4. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta Tahun 1995-2008 ... 37

5. Banyaknya penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio di tiap kelurahan di Kecamatan Laweyan tahun 2008 ... 37

6. Banyaknya penduduk 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan di Kota Surakarta 2008 ... 38

7. Banyaknya kelurahan, RT, RW dan kepala keluarga di Surakarta tahun 2008 ... 38

8. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Kota Surakarta tahun 2008 ... 39

9. Banyaknya organisasi kesenian dan seniman menurut jenis di Kota Surakarta tahun 2008 ... 40

10. Banyaknya pengunjung objek wisata di kota Surakarta tahun 2008 ... 40

11. Banyaknya hotel dan jumlah kamar menurut klasifikasi di kota Surakarta tahun 2008 ... 41

12 Tingkat penghuni kamar (TPK) hotel menurut kelas hotel di kota Surakarta tahun 2008 ... 42

13. Rata-rata lamanya tamu hotel menginap berdasarkan kelas hotel di Kota Surakarta tahun 2008 (hari) ... 42

14. Panjang jalan menurut status jalan dan keadaan di Kota Surakarta tahun 2008 ... 43

15. Banyaknya kendaraan angkutan umum yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2004-2008 ... 43

16. Banyaknya perusahaan oto Bus (PO) yang berdomisili di Kota Surakarta tahun 2008 ... 44

(17)

20. Data Penelitian ... 47

21. Peubah, indikator, dan kategori untuk penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 53

22 Skala penilaian potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 55

23. Penilaian kelayakan kawasan wisata ... 57

24 Skala penilaian kelayakan kawasan ... 57

25. Skala penilaian kualitas estetika-visual lingkungan ... 58

26. Penilaian kualitas estetika-visual lingkungan ... 59

27. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat ... 60

28. Potensi obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan ... 65

29. Obyek dan atraksi wisata di awasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi sangat baik (S1) ... 69

30. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi baik (S2) ... 71

31. Obyek dan atraksi wisata di Kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi cukup (S3) ... 75

32. Obyek dan atraksi wisata di kawasan Kampung Batik Laweyan Surakarta dengan klasifikasi buruk (S4) ... 76

33. Jenis aktivitas wisata dan kualitas ODAW eksisting ... 77

34. Jenis aktivitas wisata ODAW eksisting ... 79

35. Kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan obyek dan Atraksi wisata (ODAW) eksisting yang dimiliki ... 81

36. Tingkat kelayakan kawasan wisata ... 83

37. Kualitas estetika-visual lingkungan masing-masing kawasan ... 88

38. Zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... 91

39. Tingkat akseptibilitas masyarakat terhadap rencana pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 93

(18)

42. Zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung Batik

Laweyan, Surakarta ... 97

43. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona inti di kawasan wisata

budaya Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... 106

44. Rencana aktifitas dan fasilitas untuk zona pendukung di kawasan

(19)

1. Kerangka dan alur pikir penelitian ... 4

2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri ... 6

3. Proses pembuatan batik ... 8

4. Alur proses pembuatan batik ... 9

5. Komponen fungsi dari suplai ... 17

6. Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta ... 29

7. Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan, Surakarta 30 8. Pola permukiman Kampung Batik Laweyan ... 31

9. Jalan di kawasan Kampung Batik Laweyan ... 32

10. Sungai Kabanaran ... 32

11. Rumah tinggal Indiesch di Laweyan ... 33

12. Grafik curah hujan di Kota Surakarta selama tahun 2008 per bulan ... 35

13. Grafik persentase luas penggunaan tanah di Kota Surakarta berdasar penggunaannya tahun 2008 ... 36

14. Lokasi studi ... 46

15. Tahapan penelitian ... 50

16. Peta potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... 69

17. Peta deliniasi kawasan berdasarkan keberadaan obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta .... .78

18. Peta deliniasi kawasan berdasarkan jenis aktivitas wisata dari obyek dan atraksi wisata eksisting di Kampung Batik Laweyan, Surakarta ... .81

19. Peta tematik kualitas budaya masing-masing kawasan berdasarkan potensi obyek dan atraksi wisata eksisting ... .82

20. Peta kelayakan kawasan wisata budaya ... .84

21. Peta kondisi kualitas estetika-visual lingkungan ... .89

22. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan rendah ... .89

23. Lanskap dengan nilai estetika-visual lingkungan tinggi ... .90

24. Peta zona wisata budaya potensial di Kampung Batik Laweyan ... .92

(20)

27. Peta zona pengembangan kawasan wisata budaya di Kampung

Batik Laweyan, Surakarta ... .97

28. Konsep ruang kawasan wisata budaya di Kampung Batik

Laweyan, Surakarta ... .101

29. Konsep ruang dan sirkulasi kawasan wisata budaya di Kampung

Batik Laweyan, Surakarta ... .102

30. Rencana tata ruang kawasan wisata budaya di Kampung

Batik Laweyan, Surakarta ... .110

31. Gambar site plan kawasan wisata budaya Kampung Batik

(21)

1. Program pengembangan ruang wisata budaya (culture tourism) ... 118

2. Program pengembangan ruang wisata edukasi (edu-tourism) ... 132

(22)

1.1. Latar Belakang

Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan keragaman seni

budaya tradisional. Keragaman ini merupakan anugerah yang diwariskan nenek

moyang secara turun temurun yang membuat bangsa kita tetap memiliki ciri khas

kebudayaan sendiri, yang membedakan budaya bangsa kita dengan bangsa lain.

Salah satu warisan seni budaya yang terkenal dan bahkan telah diakui dunia

dengan ditetapkannya sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh

UNESCO, tepat pada tanggal 2 Oktober 2008 yang lalu, adalah batik.

Pengakuan ini tentu saja menuntut tanggung jawab yang besar untuk terus

menjaga dan melestarikannya sepanjang masa, dari generasi ke generasi.

Batik merupakan salah satu bentuk warisan budaya tradisional yang

sudah ditekuni masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Salah satu tempat yang

terkenal sebagai produsen batik di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah,

adalah Kampung Laweyan. Produksi batik yang sudah dilakukan sejak abad-19

ini ternyata meninggalkan jejak sejarah yang sangat kuat dan telah berperan

besar dalam membentuk lanskap budaya di kawasan tersebut. Dinamika

perkembangan batik juga turut menciptakan wajah lanskap budaya, berikut

sistem sosial budaya tradisional yang unik dan menarik.

Kampung Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik,

spesifik dan bersejarah. Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan di

jaman Kerajaan Pajang pada 1500-an dengan sandang sebagai komoditas

utamanya. Sebutan Laweyan berasal dari kata "lawe" yang artinya benang dari

pilinan kapas. Asal-usul kata lawe ini ternyata terus membawa nama Laweyan

tetap terkenal sebagai daerah perdagangan dan produsen sandang hingga saat

ini, yaitu sandang batik.

Upaya pelestarian budaya di Kampung Laweyan yang sangat identik

dengan batik ini, ternyata telah menjadi perhatian pemerintah setempat. Dengan

melihat pasang surutnya perkembangan produksi batik, dan terdorong keinginan

untuk melestarikan budaya di kawasan Kampung Laweyan ini, maka tanggal 25

September 2004 Pemerintah Daerah Surakarta mencanangkan Kampung

Laweyan sebagai Kampung Batik dan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata

(23)

Namun sangat disayangkan bahwa upaya pencanangan Kampung

Laweyan sebagai Kampung Batik dan daerah tujuan wisata ini tidak diiringi

dengan perencanaan kawasan yang optimal. Menurut ICOMOS, The Burra

Charter (1999), dijelaskan bahwa nilai budaya yang dilindungi, sebagaimana

budaya batik yang ada di kampung Laweyan ini, dapat dimanfaatkan, sepanjang

tidak mengancam keberadaannya dan kualitas nilai budaya itu sendiri. Salah

satu cara pemanfaatannya adalah dengan menjadikannya sebagai daerah tujuan

wisata. Belakangan ini, kunjungan ke tempat-tempat warisan bersejarah, dan

tempat situs budaya lainnya meningkat dengan tajam (Pearce, 1996; Uzzell,

1998).

Di sisi lain, warisan budaya merupakan peninggalan leluhur yang mudah

terancam punah bila tidak dilestarikan dengan sungguh-sungguh. Perencanaan

lanskap yang mampu memanfaatkan warisan budaya sebagai daya tarik wisata

sekaligus melakukan perlindungan terhadap warisan budaya tersebut , beserta

masyarakat lokal yang hidup bersamanya, sangat dibutuhkan. Pemanfaatan

sumberdaya wisata dengan sekaligus melakukan upaya pelestarian dan

perhatian terhadap keberlangsungan hidup kawasan hingga generasi-generasi

mendatang, merupakan kunci keberhasilan perencanaan lanskap sebuah

kawasan wisata. Perencanaan lanskap budaya yang tepat tidak hanya akan

menjadi daya tarik wisata, tapi sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup

masyarakat lokal dan kualitas budaya di kawasan tersebut.

Berangkat dari fenomena ini, penting untuk merencanakan kawasan

Kampung Batik Laweyan ini sebagai kawasan wisata budaya yang berkelanjutan

yang memperhatikan unsur-unsur pelestarian warisan budaya batik, kehidupan

sosial budaya dan perekonomian masyarakat lokal, dan lingkungan.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kampung Laweyan merupakan daerah yang menyimpan warisan budaya tak

benda yaitu batik. Budaya batik , berikut kehidupan sosial budaya yang

menyertainya, merupakan budaya yang harus tetap dipertahankan secara

turun temurun. Upaya pelestarian ini belum diwujudkan dalam perencanaan

kawasan yang terarah dan terintegrasi di Kampung Laweyan ini.

(24)

2. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai potensi dan sumberdaya apa saja yang

dimiliki kawasan agar layak dijadikan tempat tujuan wisata, sekaligus

sebagai upaya pelestarian sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya apa saja

yang dimiliki di kampung Batik Laweyan ini dan bagaimana potensi yang

dimiliki?

3. Masyarakat merupakan faktor penting dalam pengembangan kawasan

wisata. Bagaimana tingkat penerimaan masyarakat terhadap pengembangan

kawasan menjadi kawasan wisata?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat perencanaan kawasan

Kampung batik Laweyan ini menjadi kawasan wisata budaya. Sedangkan tujuan

khusus dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis aspek fisik kawasan :

a. Menganalisis kualitas budaya kawasan berdasarkan obyek dan

atraksi wisata budaya eksisting

b. Menganalisis kelayakan kawasan wisata

c. Menganalisis kualitas estetika-visual lingkungan

2) Menganalisis potensi masyarakat lokal

3) Menentukan zona integratif kawasan untuk dikembangkan dalam

perencanaan lanskap kawasan wisata budaya.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Mendukung upaya pelestarian sejarah dan budaya, khususnya di kawasan

Kampung Batik Laweyan, terutama setelah ditetapkannya Kampung

Laweyan sebagai kawasan cagar budaya.

2. Menjadi masukan bagi Forum Kampung Laweyan dalam mengembangkan

dan melestarikan Kampung Laweyan agar tetap berkelanjutan baik dari segi

ekonomi maupun kehidupan sosial budayanya.

3. Meningkatkan pemahaman dan pengertian pengunjung terhadap sejarah

dan budaya Kampung Batik Laweyan.

4. Menjadi masukan bagi pengembangan pariwisata yang dapat meningkatkan

PAD kota dan kesejahteraan masyarakat serta pelestarian budaya batik Kota

(25)

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Sebelum memulai penelitian, perlu adanya kerangka berpikir untuk

membantu kelancaran pelaksanaan baik selama di lapang maupun pada saat

proses pengolahan data dan pengembangan kawasan. Aspek masyarakat dan

aspek fisik kawasan diteliti dan dianalisis sesuai prinsip-prinsip perencanaan

wisata. (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka dan alur pikir penelitian

Aspek Fisik Kawasan Aspek

Masyarakat

Kualitas Budaya Kawasan berdasarkan Obyek & Atraksi

Wisata Eksisting

Potensi Masyarakat Potensi

Pengembangan Wisata Budaya

Kampung Laweyan

Peruntukan sebagai kawasan wisata budaya

Perencanaan Kawasan

Zona Wisata Budaya Potensial

Zona Akseptibilitas Masyarakat

Zona Pengembangan Kawasan Wisata Budaya

Potensi Obyek dan Atraksi Wisata Budaya

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batik dan Sejarahnya

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal

sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola

batik masih didominasi bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah

perkembangannya, batik mengalami banyak perkembangan. Selanjutnya dengan

penggabungan berbagai corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul

seni batik lukis seperti sekarang ini (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian

dan Pengembangan Industri, 1987).

Sejarah perbatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan

kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan,

pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan mataram,

kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Jenis dan corak batik tradisional amat banyak, namun corak dan

variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat

beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah

mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri

kekhususannya sendiri. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain

untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia

zaman dulu. Pada awalnya batik dikerjakan terbatas hanya dalam kraton saja

dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh

karena banyak dari para pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian

batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan di tempatnya

masing-masing. Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh

rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam

rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang

tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang

digemari, pria dan wanita, hingga kini.

Sebelum tahun 1900 penggunaan batik hanya untuk jarik (tapih),dodot,

kemben,selendang dan ikat kepala. Sedangkan motif-motif yang digunakan

mempunyai arti filosofis, sebagai contoh:

a. Batik dengan motif sidomukti biasa digunakan oleh mempelai pada

upacara akad nikah maupun upacara “panggih” (Jawa) dengan maksud

(27)

kebahagiaan, terpenuhi segala kebutuhan hidupnya dan mendapatkan

kedudukan yang tinggi.

b. Pada tahun 1769, 1784, 1790, di kasunanan Surakarta diterbitkan surat

keputusan Sri Sunan yang berisi larangan menggunakan batik khusus

dengan motif yang mengandung sawat (sayap burung garuda), motif

Parang Rusak, motif Udan Liris, Motif Cemukan , bagi masyarakat umum

(bukan anggota keluarga kerajaan). Berbagai motif batik yang disebutkan

di atas dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini

Motif Parang Rusak Motif sawat (sayap burung garuda)

Motif Sidomukti Motif Udan Liris

Sumber: Departemen Perindustrian-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri

(1987).

Gambar 2. Berbagai motif batik dengan sejarah dan filsafah tersendiri

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah tahun 1900 (terutama setelah

dihapuskannya larangan penggunaan motif batik tertentu dan munculnya desain

batik modern) maka penggunaan batik tidak terbatas untuk busana tradisional

(28)

perlengkapan rumah tangga (seperti tirai, taplak meja, sprei, hiasan dinding, tas,

kursi, gaun, kemeja pria, dsb).

Jadi, kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan

Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai

meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku

Jawa, yaitu setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad ke XIX. Semua batik yang

dihasilkan adalah berupa batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap dikenal

baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920.

Kini batik sudah menjadi pakaian tradisional Indonesia, dan bahkan

sudah menjadi salah satu fashion yang sedang trend dan digandrungi tidak

hanya oleh penduduk Pulau Jawa. Bahkan mereka yang tinggal di luar Jawa dan

luar negeri sekalipun sudah mulai mengenal batik dan mengenakannya dengan

bangga. Namun, popularitas batik sekarang ini lebih banyak karena didukung

oleh kecenderungan trend dan mode pakaian yang dicetuskan pertama kali oleh

para perancang pakaian. Orang banyak mengenakan batik lebih karena “sedang

trend”, dan bukan karena terdorong rasa cinta dan pengetahuan yang mendalam

terhadap karya seni batik itu sendiri.

Kebanggaan yang dimiliki bangsa Indonesia berkenaan dengan batik

adalah dengan diakuinya kerajinan tradisional batik sebagai warisan budaya

takbenda secara internasional. Kerajinan batik yang dimiliki bangsa Indonesia

memang unik, dimana ini terletak pada seni proses pembuatan batik itu sendiri.

Proses pembuatan batik yang mengikuti alur kerja tertentu dimulai dari

menggambar motif menggunakan canting sampai proses pewarnaan dan

penjemuran, merupakan kemahiran kerajinan tradisional yang tidak dimiliki

bangsa lain. Hal ini merupakan tradisi budaya yang harus tetap dijaga dari

generasi ke generasi.

Pada kenyataannya, pengetahuan akan seni batik dirasa kurang bagi

generasi masa kini. Berbagai bentuk dan corak batik yang ada, jarang dapat

dipahami dengan benar, terutama bagi mereka yang tinggal di luar kota-kota

penghasil batik seperti Bandung, Jakarta, atau luar jawa. Sebagian besar

mereka hanya tahu bahwa kain tersebut adalah kain batik, tetapi tidak tahu corak

apa saja yang tergolong batik dan bagaimana membedakannya , bagaimana

proses pembuatannya, bagaimana merawat batik dengan benar, dll.

Pengetahuan akan seluk beluk batik termasuk pengenalan sejarah batik, corak,

(29)

dan melestarikan kesenian batik, yang telah menjadi tradisi dan ciri khas bangsa

Indonesia sejak jaman dulu.

Proses pembuatan batik merupakan pengetahuan yang sangat menarik

untuk digali. Proses membatik secara tradisonal ini dari masa kemasa tidak

mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan

fungsinya, peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan cara

membatik yang juga masih tradisional.

Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu

sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang

lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik.

Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dan

menghasilkan seni batik tradisional. Membatik dengan cara tradisional ini

(menggunakan canting) memang tidak dapat menghasilkan kain batik dalam

jumlah banyak dengan waktu singkat. Tidak mengherankan bila hasil karya

membatik tradisional ini dihargai dengan harga yang cukup tinggi. Gambar alur

pembuatan batik dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4 di bawah ini.

Sumber : Widayati, 2002

(30)

Gambar 4. Alur proses pembuatan batik

2.1.1. Batik di Jaman Penyebaran Islam

Riwayat perbatikan di daerah Jawa Timur adalah di Ponorogo, yang

kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Disebutkan

masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan

agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong,

ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong

adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke

Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah

Patihan Wetan (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan

Pengembangan Industri, 1987).

Perkembangan selanjutnya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari, ada

(31)

sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan

agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan

kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah

Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja

Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena

putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari

dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga

kraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik

keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di

Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan

dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah

Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa

Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten,

Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat

yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari

kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain

putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import

baru dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia

pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas.

Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang

tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan

Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di

Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang

dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik

kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian

terkenal seluruh Indonesia.

2.1.2. Batik Solo dan Yogyakarta

Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan

19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa.

Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat

(32)

dikembangkan menjadi komoditi perdagangan (Departemen Perindustrian

-Badan Penelitian dan Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Industri Kerajinan dan batik, 1987).

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya baik dalam

proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk

pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti

soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain

terkenal dengan "Sidomukti" dan "Sidoluruh".

Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal

semenjak kerajaan Mataram ke-1 dengan rajanya Panembahan Senopati.

Daerah pembatikan pertama ialah di Desa Plered. Pembatikan pada masa itu

terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita

pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada tingkatan pertama pada

keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada

upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai

pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat

kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh

keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar

dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga

raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga

raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke

Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulung Agung dan

sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu

menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad

ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan

pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang

menurut alam dan daerah baru itu.

Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang

pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah

kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di

daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut Pangeran Diponegoro

mengembangkan batik.

Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang

(33)

Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas,

Pekalongan, Tegal, Cirebon.

2.1.3. Perkembangan Batik di Kota-kota Lain

Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa

oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan

tahun 1830, mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya

yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di

Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama

dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah

kesemuan kuning. (Departemen Perindustrian -Badan Penelitian dan

Pengembangan Industri -Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri

Kerajinan dan batik, 1987).

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada

akhir abad XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan

Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan

motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah

perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina, disamping

mereka juga berdagang bahan batik.

Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut

Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan

usaha batik di sekitar daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan

sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya

pembatikan di daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan

daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad XIX. Perkembangan pembatikan daerah-

didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan

perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.

Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang

Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar

Yogya dan Solo karena tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial.

Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan

ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan

untuk mata pencaharian.

Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah

(34)

dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad XX proses pembatikan

yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya merupakan buatan dalam

negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal

pembuatan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan

Inggris.

Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekalongan ialah

pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara

sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang

dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan

dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen sehingga

para buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto pun banyak yang lebih tertarik

ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.

Sedang pembatikan dikenal di Tegal pada akhir abad XIX dan bahan

yang dipakai pada waktu itu merupakan bahan buatan sendiri yang diambil dari

tumbuh-tumbuhan seperti pace atau mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya

adalah bahan tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan

babaran abu-abu. Setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi

warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah mencapai kawasan luar

daerah antara lain Jawa Barat , dimana batik tersebut dibawa sendiri oleh

pengusaha-pengusaha dengan berjalan kaki dan menurut sejarah merekalah

yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping

pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.

2.2. Pengertian Wisata

Wisata adalah kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang

untuk sementara dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar tempat

tinggal dan tempat rutinitas bekerja, untuk tujuan rekreatif dan non rekreatif

dengan aktivitas selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan fasilitas

yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Gunn, 1994). Sementara

itu Soemarwoto (1996) menyatakan bahwa wisata atau pariwisata adalah industri

yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan,

dimana tujuan pariwisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi. Wisata juga

dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang dapat membuat suatu area

terhubung dengan destinasi dengan rute perjalanan antara dua lokasi tersebut (

(35)

Tujuan travelling dalam pariwisata memang bervariasi. Menurut WTO (

World Tourism Organization (1991), yang diperkuat oleh UN Statistical

Commission dalam Holden (2000) dikatakan bahwa pariwisata terdiri dari

aktivitas orang yang melakukan travelling dan menetap di suatu tempat di luar

lingkungan yang biasa mereka diami untuk jangka waktu tidak lebih dari satu

tahun untuk kepentingan bersenang-senang, bisnis atau tujuan lainnya. Hal ini

diperkuat dengan pernyataan oleh Davidson dalam Holden (2000) bahwa

rekreasi atau kesenangan merupakan tipe utama dari wisata, termasuk

perjalanan untuk mengisi hari libur, olahraga, acara budaya, dan mengunjungi

teman dan saudara, atau bahkan untuk kepentingan bisnis, studi atau

pendidikan , agama dan tujuan kesehatan.

Alasan utama mengapa orang mengunjungi suatu tempat adalah

adanya daya tarik atau magnet tertentu dari tempat tersebut. Gunn (1994)

menyatakan bahwa alasan tersebut terletak pada sumberdaya yang ada di

tempat tujuan/destinasi, baik itu sumberdaya alam dan budaya, dan juga atraksi

yang berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya tersebut. Pada umumnya istilah

“sumberdaya alam” mengacu pada lima fitur alam mendasar seperti air,

perubahan topografi, vegetasi, kehidupan alam liar, dan iklim. Sumberdaya

budaya termasuk semua sumberdaya kecuali yang kita sebut alami. Diantaranya

adalah situs bersejarah, situs prasejarah, tempat keetnikan, legenda dan

pendidikan; industri, pusat perdagangan, dan galeri-galeri; dan tempat – tempat

penting untuk hiburan, kesehatan, olah raga dan agama. Kedua kategori

sumberdaya ini dapat digunakan untuk mengklasifikasi atraksi yang terdapat di

tempat tujuan wisata. Smith (1989) mengkategorikan faktor-faktor atraksi dalam

area wisata dalam lima kategori utama yaitu faktor alami, faktor sosial dan

budaya, faktor sejarah, faktor rekreasional dan faktor infrastruktur wisata.

Atraksi yang terdapat di tempat tujuan wisata merupakan komponen

suplai yang sangat berperan penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan segala

hal yang dikembangkan di lokasi, yang direncanakan dan dikelola untuk

kepentingan pengunjung, untuk aktivitas dan untuk dinikmati (Gunn, 1994).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam wisata tidak dapat terlepas

dari hukum penawaran dan permintaan. Semakin menarik penawaran yang

diberikan, maka akan semakin banyak pula permintaan yang datang.

Perencanaan dan pengelolaan yang tepat di sisi penawaran (dalam hal ini adalah

(36)

menambah sisi permintaan, tetapi juga akan meningkatkan kualitas lingkungan

kawasan tujuan wisata. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa yang dapat

ditawarkan adalah di tempat tujuan wisata adalah sumberdaya, baik sumberdaya

alam maupun sumberdaya budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya

yang mampu mempertahankan keberlangsungan kawasan dan lingkungan

adalah tujuan utama dari seorang perencana kawasan wisata.

2.3. Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata

Menurut Inskeep (1991) secara umum yang dimaksud dengan

perencanaan adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan

tertentu. Berkaitan dengan perencanaan wisata, Inskeep (1991) mengatakan

bahwa terdapat beberapa pendekatan perencanaan yang dapat dilakukan

sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata. Pendekatan perencanaan

dengan mempertimbangkan keberlanjutan kawasan dan lingkungan adalah salah

satunya. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya kualitas kehidupan yang

lebih baik karena kondisi fundamental yang terdiri dari lingkungan manusia,

kehidupan budaya, dan kehidupan alam yang senantiasa terjaga, selalu menjadi

pertimbangan utama selama perkembangan terjadi.

Lebih lanjut Nurisjah (2000) menyatakan bahwa perencanaan

merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk

mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau

pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan.

Menurut Gunn (1994), perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk

mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan pengunjung,

pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar. Dikatakan pula bahwa

perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi

lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan sensitif terhadap lingkungan,

dan dapat diintegrasikan dengan masyarakat dengan dampak negatif yang

minimal.

Pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas memberi

arahan bagi seorang perencana kawasan khususnya dalam hal ini adalah

perencana kawasan wisata untuk mempertimbangkan banyak faktor yang

berpengaruh dalam wisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk

kepentingan keuntungan secara materi bagi industri wisata sendiri, tetapi

(37)

kehidupan industri wisata itu sendiri seperti masyarakat lokal, lingkungan,

kehidupan ekonomi dan budaya, serta alam. Pemilihan pendekatan perencanaan

yang tepat merupakan kunci sukses dalam keberhasilan sebuah perencanaan.

Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan

wisata adalah sebagai berikut.

2.3.1. Sumberdaya Wisata

Untuk merencanakan suatu kawasan wisata perlu diperhatikan

sumberdaya dan permintaan wisata. Sumberdaya wisata merupakan gambaran

tentang ruang, fasilitas dan pelayanan. Sumber daya wisata adalah potensi

wisata yang dapat berupa objek-objek wisata baik alami maupun objek-objek

buatan manusia. Objek-objek alami meliputi iklim, pemandangan alam, wisata

rimba, flora dan fauna, sumber air, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan

objek-objek buatan manusia antara lain yang bercirikan sejarah, budaya dan agama,

sarana dan prasarana wisata dan pola hidup masyarakat (Hardjowigeno,2001).

Menurut Darsoprajitno (2002), sumber daya wisata adalah ketersediaan

objek dan daya tarik wisata baik wisata binaan, lingkungan alam yang masih

murni alami, maupun yang sudah terpengaruh oleh budidaya manusia yang

bersifat tetap atau temporal di suatu kawasan tertentu. Selanjutnya Avenzora

(2008), menyatakan sumber daya wisata (recreation resources) adalah suatu

ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang mengandung elemen-elemen

ruang tertentu yang dapat : (1) menarik minat orang untuk berekreasi, (2)

menampung kegiatan rekreasi, dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi.

Supply atau penawaran adalah daftar yang menunjukkan jumlah dari

suatu produk yang akan membuat ketersediaan untuk pembelian bermacam level

harga. Sedangkan tourism supply adalah fungsi dari suatu kawasan alami dan

karakteristik sosial ekonomi yang dengan sebaik mungkin dapat mendukung

atraksi dan objek yang ada dari suatu kawasan budaya dan atau sumberdaya

alam dimana bentuk atraksi yang ditampilkan cocok dengan komponen wisata

(Jafari, 2000). Dalam tourism supply, perlu dipahami pengertian tentang : (1) apa

dan berapa yang dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan,dan (3) kepada

siapa dapat diberikan (Avenzora, 2008).

Selain sumberdaya fisik dan alami maka sumberdaya lain seperti aspek

budaya maupun sejarah, menjadi salah satu atraksi yang dapat mendukung

(38)

tinggi yang dimiliki oleh suatu kawasan. Namun demikian walaupun mempunyai

potensi untuk dikembangkan tapi bila tanpa dukungan sarana prasarana

tranportasi, atraksi yang menarik, maupun pelayanan yang baik serta informasi

dan promosi, maka akan kurang dikenal. Oleh karena itu sumber daya wisata

dapat dikembangkan menjadi suatu pariwisata yang marketable jika memenuhi

persyaratan sebagaimana gambar di bawah ini.

Sumber : Gunn, 1994

Gambar 5.. Komponen fungsi dari suplai

Perencanaan dan pengembangan suatu kawasan wisata harus

memperhatikan semua sumberdaya alam dan budaya, serta lingkungan agar

tidak terjadi degradasi. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi

sumber daya yang ada karena penting sekali bagi keberhasilan wisata, selain itu

juga harus menonjolkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat (Gunn, 1994).

Salah satu sumber daya wisata adalah budaya kehidupan masyarakat.

Pemahaman terhadap budaya suatu masyarakat tidak hanya dapat membantu

melestarikan kelestarian budaya itu sendiri, namun juga dapat menjadi salah satu

atraksi menarik bagi wisatawan yang menginginkan pengalaman untuk

merasakan budaya yang berbeda dengan budaya daerah asal mereka.

2.3.2. Aspek Sosial Budaya dalam Wisata

Aspek sosial budaya adalah suatu kondisi sosial budaya masyarakat

yang ada dan berpengaruh dalam lingkungan hidupnya. Menurut

Koentjaraningrat (1986), budaya sebagai bagian kompleks yang menyangkut

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral. hukum, adat istiadat dan

Atraksi

Servis

Transportasi

(39)

kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan dari

manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat (1986),

menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini

disebut sebagai budaya fisik dan tidak memerlukan banyak penjelasan,

maka sifatnya paling konkret.

Sementara itu Koentjaraningrat (1986), menyatakan bahwa unsur-unsur

kebudayaan bersifat universal (cultural universal) yang terdiri dari tujuh unsur

yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial. Sistem peralatan hidup dan

teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.

Dalam aspek sosial budaya berhubungan erat dengan lanskap

budayanya (cultural landscape) yaitu suatu model atau bentuk lanskap binaan

yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat

yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat

tersebut. Lanskap ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam

lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan dan

ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan

lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan

kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola permukiman dan

perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan,

adat istiadat, kesenian dan struktur lainnya (Nurisjah, 2001). Pola-pola budaya

yang perlu diketahui termasuk struktur masyarakat, sistem nilai, kebiasaan, gaya

hidup dan perilaku yang akan disesuaikan dengan pengembangan wisata dan

pemakaian tenaga kerja setempat ( Inskeep ,1991).

Menurut Inskeep (1991), sosial budaya dalam wisata adalah:

1. Pengembangan wisata yang dapat memikat tanpa menimbulkan

kerusakan pada kehidupan sosial budaya dan aktifitas masyarakat,

2. Tingkatan wisata yang dapat membantu memelihara monumen

budaya, seni, sistem kepercayaan, pakaian dan tradisi tanpa efek

(40)

Perlu diketahui bahwa mau tidak mau pasti akan terjadi dampak akibat

adanya wisata. Dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya wisata

adalah terjadinya interaksi antara wisatawan yang memiliki kebudayaan yang

berbeda dengan kebudayaan penduduk lokal sehingga terjadi saling

mempengaruhi antara penduduk lokal dengan wisatawan. Dampak ini dapat

memberi pengaruh positif seperti semakin meluasnya cakrawala pandangan

penduduk lokal, saling pengertian dan saling menghargai antara wisatawan dan

penduduk lokal. Di lain pihak juga memberi dampak negatif seperti adanya

komersialisasi yang berlebihan yang dapat menyebabkan merosotnya mutu

kesenian, meningkatnya prostitusi dan kriminalitas (Soemarwoto, 1996).

Pertimbangan perencanaan yang dapat meminimalisir dampak negatif dan

memperkuat dampak positif, sangat perlu dilakukan.

2.3.3. Aspek Masyarakat dalam Wisata

Menurut Suwantoro (2004), dikatakan bahwa pembangunan dan

pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat dan

sekitarnya secara langsung.

Keikutsertaan masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan

pariwisata ke arah yang lebih baik. Keikutsertaan masyarakat tersebut dapat

berupa keikutsertaaan sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial

budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat

dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya.

Keikutsertaan ekonomi adalah keikutsertaan masyarakat dalam perekonomian

baik terkait langsung dalam wisata maupun yang tidak terkait secara langsung

dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menopang perekonomian

kawasan wisata, sedangkan perekonomian non wisata merupakan kegiatan

pendukung perekonomian di kawasan wisata.

Dalam suatu kawasan budaya yang dilindungi, perlu adanya kerjasama

antara 3 mitra yang saling menguntungkan untuk bersama-sama melindungi dan

menjaga agar lingkungannya tetap terus berkelanjutan, yaitu komunitas,

pengunjung, dan situs itu sendiri. Komunitas ini terdiri dari masyarakat lokal,

pemerintah daerah, LSM, forum perwakilan masyarakat, maupun pengusaha

sebagai investor. Komunitas yang saling berkoordinasi menyamakan misi dan

visi dalam membangun dan melindungi kawasannya akan mendororng

(41)

keistimewaan budaya yang mereka miliki. Ketika sebuah komunitas

menunjukkan rasa bangga dan wibawanya atas kawasan budaya yang dilindungi

dan dijaga dengan hati-hati ini, maka hal ini akan menarik para tamu atau

pengunjung yang juga menunjukkan rasa penghargaan atas kekagumannya. Jika

lingkaran ini sudah terbentuk, maka akan lebih mudah memelihara kawasan

budaya yang dilindungi tersebut dan menjaganya agar tetap langgeng hingga

generasi berikutnya. Memahami preferensi dan persepsi komunitas dan

pengunjung merupakan hal yang sangat penting dalam merencanakan suatu

kawasan wisata budaya.

2.3.4. Apresiasi Estetika-Visual Lingkungan dalam Wisata

Apresiasi terhadap estetika lingkungan perkotaan dapat berupa apresiasi

visual dan kinestetik. Apresiasi visual terhadap lingkungan perkotaan merupakan

hasil dari persepsi dan kognisi. Sedangkan pengalaman kinestetik merupakan

apresiasi terhadap lingkungan yang mengikursertakan kepekaan gerakan seluruh

anggota tubuh (Carmona et al. 2003).

Nasar (1998), mengatakan ada lima atribut untuk mengatakan bahwa

suatu lingkungan itu disukai. Kelima atribut tersebut adalah: 1) naturalness

(lingkungan yang natural atau unsur alamiahnya lebih dominan dibanding elemen

terbangun); 2) upkeep/civilities (lingkungan yang terlihat terawat dan dipelihara) ;

3) openness and defined space (perpaduan antara ruang terbuka dengan

panorama dan vista dari elemen2 yang menarik); 4) historical

significance/content (lingkungan yang membentuk ingatan/memori yang

dharapkan); dan 5) order (dalam arti keteraturan, koheren (tepat ), kongruen

(sesuai), legible (mudah dipahami), dan ada kejelasan (clarity)). Untuk ruang

terbuka yang berupa jalan atau street, Carmona et al. (2003), mengatakan

bahwa terdapat pertimbangan untuk menilai kualitas visual salah satunya adalah

architectural rhythm.

Dimensi visual lainnya adalah pengalaman kinestetik (kinaesthetic

experience). Cullen (1961) dalam Carmona et al. (2003) mengatakan tentang

‘serial vision” dimana pengalaman merupakan serangkaian penyingkapan

banyak hal disertai dengan adanya daya tarik karena unsur kontras seperti

misalnya juxtaposition dalam bidang arsitektur. Bosselmann (1998) dalam

Carmona et al. (2003) mengatakan bahwa seseorang mengukur langkahnya

(42)

Lebih lanjut Bosselmann mengatakan bahwa seseorang yang mengambil jarak

tempuh yang sama di lingkungan yang berbeda, akan memberikan persepsi

terhadap waktu dan pengalaman yang berbeda-beda. Perjalanan di lingkungan

yang tidak menarik akan memberi persepsi terhadap waktu yang terasa lebih

lama dari kenyataan waktu yang sebenarnya.

2.4. Perencanaan Lanskap Wisata Budaya

2.4.1. Lanskap Budaya

Kebesaran suatu bangsa tidak hanya cukup diukur oleh tingkat

kesejahteraan dan kemantapan perekonomian saja, tetapi juga oleh apresiasi

dan sikap bangsa dalam melestarikan nilai dan warisan budaya lama serta

keanekaragaman biologis dan ekosistemnya. Warisan alam dan budaya,

merupakan sumber yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan mahluk

hidup di muka bumi ini.

Lanskap adalah bentang alam yang memiliki karakter tertentu, yang

beberapa unsurnya dapat digolongkan menjadi unsur utama atau unsur mayor

dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur utama atau unsur mayor adalah

unsur yang relatif sulit diubah, sedangkan unsur penunjang atau minor adalah

unsur yang relatif kecil dan mudah untuk diubah (Simonds, 1983).

Lanskap budaya (cultural landscape) adalah segala sesuatu yang berada

di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat. Menurut definisi ini, lingkungan

lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau

diubah oleh manusia (Lewis (1979) diacu dalam Meinig (1979)). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa lanskap budaya adalah segala bagian dari

muka bumi yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia.

Lanskap budaya menurut Sauers (1978) diacu dalam Tishler (1982),

adalah suatu kawasan geografis dimana ditampilkan ekspresi lanskap alami oleh

suatu kebudayaan tertentu, dimana budaya adalah agennya, kawasan alami

sebagai medium dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan

lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan

kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar masa lalu. Sebagai

arsitek lanskap merupakan tanggung jawab professional untuk menentukan

lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau

dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan unsur keberlangsungan sebagai

(43)

2.4.2. Warisan Budaya (Cultural Heritage) dan Warisan Budaya Tak Benda

Menurut UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural

Organisation) yang dimaksud dengan cultural heritage adalah yang tergolong

dalam monumen, kelompok bangunan, dan situs. Yang dimaksud dengan

monumen antara lain hasil karya arsitektural, hasil karya patung dan lukisan yang

monumental. Elemen atau struktur alam yang arkeologis, naskah, gua dan

kombinasi fiturnya, dimana nilainya bersifat universal, baik dari sudut pandang

sejarah, seni sekelompok bangunan yang saling berhubungan maupun yang

terpisah, baik karena bentuk arsitekturnya, keseragamannya dalam suatu

lanskap, atau nilainya yang secara universal sangat hebat, baik dari segi sejarah,

seni maupun ilmu pengetahuan. Untuk situs, yang tergolong di dalamnya adalah

hasil karya manusia atau kombinasi antara alam maupun karya manusia, dan

area-area seperti situs bersejarah yang nilainya secara universal tergolong

hebat, baik dari segi sejarah, estetika, etnologis maupun antropologis.

Masih menurut UNESCO, bahwa cultural heritage terdiri dari tangible

cultural heritage (materiil cultural heritage) dan Intangible cultural heritage

(Immateriil cultural heritage). Tangible cultural heritage dapat terdiri dari: 1)

warisan budaya yang dapat dipindahkan (lukisan, patung, koin, naskah kuno); 2)

warisan budaya yang tidak dapat dipindahkan (monumen, situs arkeologis); 3)

warisan budaya di bawah air (kapal karam, situs dan reruntuhan di bawah air).

Sedangkan Intangible cultural heritage terdiri atas tradisi lisan, seni pertunjukan,

ritual.

Menurut Konvensi UNESCO 2003 mengenai Warisan Budaya Takbenda

menyebutkan bahwa warisan budaya takbenda mengandung arti berbagai

praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh

berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu sebagai bagian

warisan budaya mereka.

Warisan Budaya Takbenda (WBTB) ini bagi masyarakat, kelompok dan

perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, dan cara mereka

hidup bermasyarakat. Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari

potensi kreatif manusia, warisan takbenda secara terus-menerus diciptakan oleh

para penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu

ke individu lain dan dari generasi ke generasi.

Warisan budaya takbenda sebagaimana didefinisikan di atas diwujudkan

Gambar

Gambar 4. Alur proses pembuatan batik
Gambar 6.  Peta perletakan kawasan Laweyan terhadap Kota Surakarta
Gambar 7 .  Pembagian kampung di kawasan Kelurahan Laweyan,
Gambar 9. Jalan di kawasan Kampung Batik Laweyan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Status gizi yang tidak baik memiliki hubungan kejadian campak, dan status gizi bukan merupakan faktor risiko terjadinya kejadian campak pada bayi dan balita., Ibu yang

Pengumpulan data tingkat stres dilakukan dengan pengisian kuisioner DASS42 dan data pola menstruasi diisi pada identitas responden.. Kesimpulan: Dari penelitian ini

Kesimpulan: Dari penelitian ini disimpulkan bahwa ada hubungan antara perilaku dan kejadian skabies dengan nilai p 0,007 (<0,05) dimana skabies lebih banyak terjadi

JEMAJA DAN JEMAJA TIMUR (SELEKSI ULANG), kegiatan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun Anggaran 2014, bersama ini kami mengundang

 Membuat resume ( CREATIVITY ) dengan bimbingan guru tentang point- point penting yang muncul dalam kegiatan pembelajaran tentang materi yang baru dilakukan... 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan modal kerja yang meliputi analisis modal kerja, analisis kas, analisis piutang, analisis persediaan, dan juga analisis rasio

Jadi, secara umum informasi adalah data yang sudah diolah menjadi suatu bentuk lain yang lebih berguna yaitu pengetahuan atau keterangan yang ditujukan bagi penerima dalam pengambilan

Di dalam dunia industri manufaktur yang dituntut untuk menghasilkan produk dalam waktu yang singkat dengan kualitas hasil yang optimal, penggunaan teknologi Computer Aided