• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Membran Selulosa Asetat Berporogen Nonilfenol Etoksilat dalam Pemisahan Larutan Detergen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Membran Selulosa Asetat Berporogen Nonilfenol Etoksilat dalam Pemisahan Larutan Detergen"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI MEMBRAN SELULOSA ASETAT BERPOROGEN

NONILFENOL ETOKSILAT DALAM PEMISAHAN

LARUTAN DETERGEN

ERLITA OCTAVIANI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

ERLITA OCTAVIANI. Aplikasi Membran Selulosa Asetat Berporogen

Nonilfenol Etoksilat dalam Pemisahan Larutan Detergen. Dibimbing oleh SRI

MULIJANI dan ARMI WULANAWATI.

Limbah detergen di lingkungan telah menjadi perhatian karena jumlahnya

yang semakin banyak tetapi belum ditangani dengan baik. Limbah detergen ini

dapat menurunkan muttu air. Alternatif pengolahan yang dapat digunakan adalah

membran yang dapat diaplikasikan untuk menyaring limbah detergen tersebut.

Membran dalam penelitian ini dibuat dari bahan organik, yaitu dari

polimer-selulosa asetat dan surfaktan nonionik (nonilfenol etoksilat/NPE) dengan

komposisi 0; 1; 3; 5% (b/v). Membran ini diuji nilai fluks air dan indeks rejeksi.

Nilai fluks air dan indeks rejeksi digunakan sebagai ukuran permeabilitas dan

selektivitas membran.

Hasilnya menunjukkan bahwa pertambahan NPE

meningkatkan nilai rerata fluks air.

Pengujian indeks rejeksi dinilai pada larutan

detergen dengan konsentrasi 1600 ppm.

Nilai indeks rejeksi yang dihasilkan

sebesar 40% (NPE 1%), 64% (NPE 3%), dan 92% (NPE 5%) yang membuktikan

membran ini dapat digunakan dalam pemisahan detergen. Membran terbaik yang

dapat digunakan dalam pemisahan larutan detergen ialah pada konsentrasi NPE

5% yang memiliki nilai indeks rejeksi di atas 90%.

ABSTRACT

ERLITA OCTAVIANI. Application of Cellulose Acetate Membrane Porogenized

by Nonylphenol Ethoxylate in Filtering Detergent Effluent.

Supervised by SRI

MULIJANI and ARMI WULANAWATI.

(3)

APLIKASI MEMBRAN SELULOSA ASETAT BERPOROGEN

NONILFENOL ETOKSILAT DALAM PEMISAHAN

LARUTAN DETERGEN

ERLITA OCTAVIANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul

: Aplikasi Membran Selulosa Asetat Berporogen Nonilfenol

Etoksilat dalam Pemisahan Larutan Detergen

Nama

: Erlita Octaviani

NIM

: G44070048

Disetujui

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Sri Mulijani, M.S

Armi Wulanawati, S.Si, M.Si

NIP 19630401 199103 2 001

NIP 19690725 200003 2 001

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, M.S

NIP 19501227 197603 2 002

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

karya ilmiah berjudul Aplikasi Membran Selulosa Asetat Berporogen Nonilfenol

Etoksilat dalam Pemisahan Larutan Detergen.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Sri Mulijani, MS dan Ibu

Armi Wulanawati, SSi, MSi selaku pembimbing atas segala saran, kritik,

dorongan, dan bimbingannya selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf laboran Kimia Fisik IPB,

yaitu Ibu Ai, Pak Nano, dan Pak Mail serta staf laboran Lab. Bersama, yaitu Mas

Eko.

Ucapan terima kasih kepada Papa, Mama, kakak, adik-adikku, dan Zona

Gozali atas nasihat, semangat, bantuan materi, dan doa-doanya. Selain itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada teman-teman penelitian di Laboratorium Kimia

Fisik, yaitu Diska Meylia, dan kak Ismi serta kakak-kakak Ekstensi kimia yang

telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, Oktober 2011

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1989 dari Bapak

Tatang Hidayat dan Ibu Darmawati Lina. Penulis merupakan anak kedua dari

empat bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 42 Jakarta dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI. Setelah masa satu tahun

perkuliahan, penulis mendapat mayor Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ...

vii

DAFTAR LAMPIRAN ...

vii

PENDAHULUAN ...

1

TINJAUAN PUSTAKA

Membran ... 1

Selulosa Asetat (CA) ... 1

Nonilfenol Etoksilat ... 2

Detergen ... 2

Fluks Air ... 2

Indeks Rejeksi ... 3

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 3

Metode ... 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Membran Selulosa Asetat ... 4

Nilai Fluks Air dan Indeks Rejeksi Membran ... 4

Pengaruh Konsentrasi NPE pada Nilai Fluks Air dan Indeks Rejeksi .. 5

Analisis Membran Selulosa Asetat dengan Fourier transform infrared

(FTIR) ... 6

Analisis Membran Selulosa Asetat dengan Mikroskop Elektron Payaran

(SEM) ... 6

SIMPULAN DAN SARAN ... 7

Simpulan ... 7

Saran ... 7

DAFTAR PUSTAKA ... 7

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Struktur kimia CA ... 2

2

Struktur NPE ... 2

3

Membran CA-NPE 5% (b/v) ... 4

4

Penurunan nilai fluks air membran dengan NPE 0% ( ), 1% (

), 3%

(

), dan 5% (

×

) pada sonikasi 3 jam ... 4

5

Pengaruh penambahan NPE terhadap rerata nilai indeks rejeksi (

) dan

rerata nilai fluks air (

) pada sonikasi 3 jam ...

6

6

Spektrum FTIR (a) membran CA-NPE 5 % dan (b) NPE ...

6

7

Hasil SEM (a) Membran CA, Membran CA dan NPE 5% b/v (b)

sebelum dan (c) setelah diaplikasikan terhadap larutan detergen pada

pembesaran 2000x ... 7

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gambar aliran kerja modul pemisahan crossflow ...

10

2 Diagram alir kerja penelitian ...

11

3 Nilai fluks air membran CA dengan NPE 0% (MNPE 1), 1% (MNPE 2),

3% (MNPE 3), dan 5% (MNPE 4) b/v pada sonikasi 3 jam pada

tekanan 20 psi ...

12

4 Penentuan

standarisasi

konsentrasi

detergen

menggunakan

spektrofotometer UV-VIS ...

13

(9)

PENDAHULUAN

Limbah detergen merupakan masalah di lingkungan yang makin menjadi perhatian karena jumlahnya yang semakin banyak. Limbah ini dapat menurunkan kualitas air apabila melebihi ambang batas air minum menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/PER/IX/1990 dengan konsentrasi detergen dalam air sebesar 0.5 mg/L. Alternatif pengolahan yang dapat digunakan adalah membran yang dapat diaplikasikan untuk menyaring limbah detergen tersebut.

Saat ini telah banyak dikembangkan teknologi membran. Perkembangan membran dengan nanoteknologi dapat meningkatkan sifat dari membran, yaitu struktur pori berukuran nano, peningkatan kekuatan mekanik, dan ramah lingkungan. Namun di Indonesia, teknologi membran relatif baru sehingga penerapannya dalam skala industri masih terbatas. Teknologi membran mempunyai keunggulan, yaitu hemat energi, proses yang sederhana, tidak merusak material, dan tidak menimbulkan limbah baru yang berarti ramah lingkungan.

Membran dapat dibuat dari bahan sintetis maupun bahan alami, yaitu anorganik dan organik. Membran anorganik dapat dibuat dari beberapa bahan seperti kaca, logam, atau keramik. Sementara membran organik terbuat dari bahan polimer, baik polimer alami maupun sintetik sehingga dikenal juga sebagai membran polimer (Ghosh 2003). Membran yang baik dipengaruhi dari mutu (kualitas) membran tersebut. Mutu membran akan sangat mempengaruhi proses pemisahan. Parameter mutu membran di antaranya permeabilitas dan selektivitas yang tinggi, ketahanan pada zat kimia yang akan dipisahkan, dan kestabilan mekaniknya (Mulder 1996). Menurut Baker (2004), kemampuan membran sebagai pemisah untuk mengatur tingkat permeasi dari spesies yang melewatinya, telah mendapat tempat dalam kemajuan ilmu kimia.

Penelitian tentang membran telah banyak dilakukan dengan modifikasi berupa penambahan surfaktan sebagai pembentuk pori pada membran (porogen). Indriani (2009) membuat membran selulosa asetat (CA) berporogen dengan surfaktan anionik (natrium dodesil sulfat/SDS) pada suhu 40 dan 60 ˚C, yang menunjukkan bahwa ukuran pori pada suhu 60 ˚C sebesar 250 nm, lebih kecil dibandingkan dengan suhu 40 ˚C (500 nm). Selain surfaktan anionik, surfaktan nonionik

juga dapat berfungsi sebagai porogen seperti yang dilakukan oleh Pranawati (2010) dan Ikrammurti (2010) dengan menambahkan surfaktan nonionik (pluronik F127) pada membran yang menghasilkan pori dengan ukuran ± 20 µm.

Selain pluronik F127, nonilfenol etoksilat (NPE) termasuk dalam jenis surfaktan nonionik. Diketahui nonilfenol etoksilat memiliki sifat hidrofilik sehingga dapat terikat oleh CA dan memiliki kelebihan nilai konsentrasi misel kritis (KMK) yang lebih rendah dibandingkan dengan surfaktan nonionik lain.

Dalam penelitian ini, dilakukan penambahan NPE dalam membran CA untuk menghasilkan nanopori. Perendaman dalam air juga dilakukan untuk memperkecil pori-pori membran pada suhu 60 °C (Indriani 2009). Penelitian ini bertujuan mengetahui adanya pengaruh konsentrasi NPE dalam pembentukan pori pada membran CA sebagai penyaring larutan detergen dengan parameter melalui fluks air, indeks rejeksi, Spektrum inframerah transformasi fourier (FTIR), dan mikroskop elektron pemayaran (SEM).

TINJAUAN PUSTAKA

Membran

Membran adalah suatu lapisan film tipis yang pelarut dan zat terlarut memindahkan secara selektif (Ghosh 2003). Teknologi membran sudah banyak dikembangkan pada abad ke-19 dan 20, tetapi hanya sebatas skala laboratorium, belum dipublikasikan secara komersial, karena memiliki kekurangan, yaitu lambat, sangat mahal, dan tidak dapat dipercaya (Baker 2004). Namun, pada saat ini membran sudah banyak diaplikasikan dalam pemisahan, pemekatan, dan pemurnian.

Membran dapat diklasifikasikan berdasarkan asal, morfologi, bentuk, dan fungsi. Ditinjau dari asalnya, membran dapat terbuat dari bahan alami atau bahan sintetis. Bahan alami berasal dari alam misalnya pulp dan kapas, sedangkan membran sintetik dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu membran organik dan anorganik. Membran sintetik yang dibuat dari organik dikenal juga sebagai membran polimer, seperti polietilena, polipropilena, polistirena, dan selulosa asetat (Ghosh 2003).

Selulosa Asetat (CA)

(10)

antara 500,000 dan 1,500,000 g/mol yang tiap unit monomernya mempunyai bobot molekul antara 3000 dan 9000 g/mol. Selulosa mempunyai sifat kristalin dan tidak mudah larut dalam air walaupun polimer ini bersifat hidrofilik. Hal ini disebabkan oleh sifat kristalinitas dan ikatan hidrogen intermolekul antargugus hidroksil (Mulder 1996). Suatu molekul tunggal selulosa merupakan polimer

lurus darii 1,4’--D-glukosa (Fessenden  Fessenden 1986).

Selulosa asetat (Gambar 1) adalah turunan dari selulosa, jenis termoplastik amorf, material translusen yang termasuk dalam kelas selulosa ester (Flieger et al. 2003), berbentuk padatan tidak berbau, tidak beracun, tidak berasa, dan berwarna putih, dibuat dengan mereaksikan selulosa dengan anhidrida asetat dan asam sulfat sebagai katalis (Kroschwitch 1990). Selulosa asetat memiliki aplikasi yang luas seperti plastik, rayon, benang, dan film.

Gambar 1 Struktur kimia CA.

Nonilfenol Etoksilat (NPE)

Surfaktan (surface active agent) atau zat aktif permukaan adalah senyawa kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan ampifilik yang mempunyai 2 ujung yang berbeda interaksinya dengan air, yakni kepala yang suka air dan ekor yang tidak suka air. Surfaktan dapat diklasifikasi menjadi 4 macam, yaitu surfaktan anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik.

Nonilfenol etoksilat (Gambar 2) termasuk jenis surfaktan nonionik memiliki keuntungan tidak beracun dalam larutan karena tidak terionisasi dalam larutan dan memberikan busa yang lebih rendah dari surfaktan anionik. Nonilfenol etoksilat merupakan zat pembentuk pori (porogen) yang ditambahkan ke dalam membran dan kemudian dihilangkan kembali dengan proses perendaman. NPE dengan rumus molekul C9H19C6H4(OCH2CH2)nOH (n=9), adalah

mempunyai gugus polar (kepala) berupa etoksi (dari etilen oksida) dan gugus nonpolar (ekor) berupa rantai hidrokarbon (Purwanto 2006). Nonilfenol etoksilat memiliki bobot

molekul dan Hipophilic Lipophilic Balance

(HLB) yang berbeda-beda bergantung setiap jumlah n pada struktur. Nilai KMKnya 0.006% (b/v), bobot molekul 616 g/mol, berbentuk larutan air berminyak, dan HLB 12.5. Keberadaannya pada matriks membran dapat dihilangkan dengan cara perendaman dengan air distilasi. Salah satu sifatnya yang hidrofilik membuat NPE tertarik ke air dan lepas dari matriks membran sehingga meninggalkan pori-pori pada membran.

Gambar 2 Struktur molekul NPE. Detergen

Detergen merupakan zat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan permukaan air dan dapat meningkatkan daya pembersih dengan cara mengemulsi lemak atau kotoran yang ada (Linfield 1976). Detergen termasuk jenis surfaktan anionik (kepala dan ekor), garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari natrium (RSO3- Na+ dan ROSO3 -Na+) serta mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama ion logam dalam air sadah. Detergen terbagi menjadi 2, yaitu LAS (Linier Alkyl Sulfate) dan ABS (Alkyl Benzene Sulfonate). Namun, masa kini penggunaan ABS diabaikan karena strukturnya yang sangat bercabang sehingga mikroorganisme tidak dapat menguraikan Detergen bersifat persisten sehingga sulit terdegradasi dan akhirnya terakumulasi di alam. Pada tahun 1965, industri mengubahnya menjadi detergen yang biodegradabel (LAS), seperti natrium dodesil sulfat (Fessenden & Fessenden 1986).

Fluks Air

(11)

melewati pori membran untuk memproduksi permeat, sedangkan aliran pelarut atau cairan pembawa akan melewati permukaan membran sehingga larutan, koloid, dan padatan tersuspensi yang tertahan oleh membran akan terus terbawa menjadi aliran balik (Mallack et al. 1997). Fluks air adalah jumlah mol, volume, atau massa air yang melewati satuan luas permukaan membran per satuan waktu (Koros et al. 1996).Faktor yang memengaruhi fluks membran adalah material polimer, tekanan yang digunakan, dan penyumbatan (Mulder 1996). Persamaan yang digunakan ialah

Keterangan:

Jp = nilai fluks air (L/m2 jam)

VP = volume permeat (L) A = luas membran efektif (m2)

t = waktu permeasi (jam)

Indeks Rejeksi

Menurut Hartomo (1994), indeks rejeksi (R) adalah nisbah konsentrasi zat terlarut dalam permeat terhadap konsentrasi zat terlarut dalam umpan. Indeks rejeksi merupakan parameter yang digunakan untuk menggambarkan selektivitas membran. Selektivitas suatu membran merupakan ukuran kemampuan suatu membran menahan suatu spesi atau melewatkan suatu spesi tertentu lainnya. Selektivitas membran tergantung pada interaksi antar muka dengan spesi yang akan melewatinya, ukuran spesi, dan ukuran pori permuakaan membran (Mulder 1996).

Keterangan:

R = indeks rejeksi (%)

Cp = konsentrasi zat terlarut dalam permeat

(ppm)

Cf = konsentrasi zat terlarut dalam umpan

(ppm)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah selulosa asetat (Merck),

nonilfenol etoksilat (NPE) (Brataco), aseton teknis (Brataco), kloroform teknis (Brataco), fenolftalein (pp), NaOH 1 N, H2SO4 1 N, larutan metilena biru, larutan detergen (Rinso), dan air suling.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat kaca laboratorium, modul penyaring cross flow (Lampiran 1), alat pengaduk ultrasonik AS ONE, SEM JEOL JSM-8360LA, spektrofotometer ultraviolet-tampak (UV-Vis), dan FTIR Shimadzu.

Metode

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pembuatan membran dan pencirian membran. Diagram alir keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pembuatan Membran CA Berporogen

Pembuatan membran dilakukan dengan metode pembalikan fase (Rautenbach 1986). Tahap pertama, dibuat campuran yang terdiri atas CA dan NPE dalam pelarut aseton. Komposisi CA yang dicampurkan sebesar 15% (b/v) dengan variasi konsentrasi NPE 0; 1; 3; 5% (b/v). Campuran tersebut disonikasi menggunakan getaran ultrasonik selama 3 jam, lalu dicetak di atas pelat kaca yang sudah diberi selotip pada kedua sisinya dengan ketebalan yang sama. Lapisan tipis (membran), selanjutnya didiamkan selama 15 menit untuk menguapkan pelarut. Pelat kaca beserta membran yang menempel dimasukkan

ke dalam air dengan suhu 60 ˚C (Indriani 2009) selama 45 menit kemudian membran dilepaskan dari pelat kaca. Membran direndam dalam air suling ketika belum digunakan.

Pencirian Membran

Fluks Air

Membran CA yang terbentuk ditempatkan pada modul alat pemisahan cross flow. Modul dihubungkan dengan selang pengalir umpan, rentetat, permeat, dan selang pengatur tekanan. Setelah itu, umpan dialirkan dan tekanannya diatur sebesar 20 psi (Martin 2008). Masing-masing membran diukur fluks airnya sebagai fungsi waktu.

Indeks Rejeksi

(12)

permeat dan umpan. Larutan detergen 1600 ppm disiapkan sebagai larutan umpan. Analisis konsentrasi detergen dalam permeat menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Persen rejeksi detergen dihitung dari perbandingan antara konsentrasi permeat (Cp)

dan umpan (Cf).

Mikroskop Elektron Payaran

Mikroskop elektron payaran (SEM) digunakan untuk melihat morfologi permukaan membran. Sampel ditambahkan nitrogen cair lalu dipatahkan. Sampel kemudian dipotong sehingga berukuran 1×1 cm. Setelah itu, direkatkan pada permukaan suatu silinder logam steril berdiameter 1 cm dengan menggunakan perekat ganda. Silinder diletakkan dalam pelapis ion untuk divakum selama 3 jam dengan tekanan 0.1 mbar. Setelah itu, contoh dilapisi dengan Pt-Au (platina/emas) menggunakan pelapis ion dan difoto dengan instrumen.

Spektroskopi FTIR

Pengukuran dengan Spektrum FTIR bertujuan mendapatkan spektrum inframerah dari membran CA dan NPE sehingga gugus fungsi dapat dianalisis. Sampel membran dalam bentuk lapisan film tipis ditempatkan dalam cell holder, kemudian dicari spektrum yang sesuai dengan komposisi membran tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Membran CA-NPE

Membran CA-NPE dibuat dengan cara pembalikan fase. Selulosa asetat merupakan salah satu polimer yang banyak digunakan dalam industri karena memiliki keuntungan antara lain keselektifannya cukup tinggi sehingga bahan kecil dapat ditahan (Mulder 1996). Gugus etoksilat (kepala) yaitu bagian polar dari NPE terikat pada bagian hidrofilik dari membran CA dengan baik sehingga membran CA-NPE yang diperoleh memiliki bentuk dengan permukaan yang halus dan lembaran tipis (Gambar 3). Sedangkan bagian nonpolar (ekor) yaitu rantai hidrokarbon akan saling berinteraksi satu sama lain sehingga dapat membentuk misel. Misel akan terangkat ketika proses perendaman membran dalam air hangat, hal ini kemudian akan membentuk pori pada permukaan membran. Apabila permukaan membran dibandingkan antara NPE 0; 1; 3; 5%, tidak adanya perbedaan yang terlihat secara tampak. Kondisi tersebut

membuktikan pada semua membran CA-NPE dan pelarutnya tercampur dengan baik. Hal ini berarti penggunaan pelarut yang sesuai (Nugraha 2010), serta perlakukan sonikasi dengan getaran ultrasonik yang baik.

Gambar 3 Membran CA-NPE 5% (b/v).

Nilai Fluks Air dan Indeks Rejeksi Membran

Nilai Fluks Air

Menurut Mulder (1996), fluks adalah jumlah volume permeat yang melewati luas membran selama waktu tertentu dengan adanya gaya dorong, dalam hal ini berupa tekanan. Nilai fluks air diukur pada tekanan 20 psi (pound per square inch) (Martin 2008).

Gambar 4 Penurunan nilai fluks air membran dengan NPE 0% ( ), 1% (■), 3% (▲), dan 5% (×) pada sonikasi 3 jam.

Fluks air diukur untuk mengetahui ketahanan membran melewatkan air dalam jangka waktu tertentu. Nilai fluks air dan indeks rejeksi dapat juga digunakan sebagai ukuran permeabilitas dan selektivitas membran. Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai fluks akan berkurang seiring dengan bertambahnya waktu. Hal ini sesuai dengan Mulder (1996), yang menyatakan penurunan nilai fluks berlangsung terus-menerus hingga mencapai keadaan tunak seiring bertambahnya waktu. Penurunan nilai fluks air secara umum mulai menunjukkan keadaan tunak pada menit ke-70. Jika dilihat pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

F luks a ir ( L /m

2 j

am

)

(13)

membran 3%, tidak terjadi penurunan tajam dibandingkan dengan membran lainnya. Hal ini dapat dikarenakan adanya keadaan awal membran yang tidak sama dengan membran lainnya (kotor udara) atau keadaan umpan (air) yang mengandung partikel yang berbeda walaupun sumbernya sama dengan lainnya.

Terjadinya penurunan pada semua membran dapat disebabkan adanya penyumbatan (fouling) pada pori-pori membran. Fouling merupakan peristiwa penyerapan partikel pada permukaan bagian luar atau dalam membran, sehingga membran kehilangan efisiensinya. Fouling merupakan salah satu faktor penyumbat membran. Penurunan yang disebabkan fouling dapat menahan partikel-patrikel koloid, suspensi, makromolekul, dan garam yang menempel pada membran. Fouling yang terjadi antara lain dapat disebabkan larutan umpan (air) yang digunakan mengandung partikel-partikel yang lebih besar dari diameter pori-pori membran. Lama-kelamaan partikel-partikel tersebut akan menumpuk pada permukaan membran dan mengurangi kemampuan untuk mengalirkan air sehingga waktu alir permeat menjadi lebih lama. Fouling ini dapat dikembalikkan seperti semula dengan metode regenerasi membran, yaitu membersihkan membran tersebut atau lebih dikenal dengan pencucian balik (back wash) dan menjaga partikel mengenai membran (Milisic 1996).

Penurunan nilai fluks juga dapat dikarenakan adanya kompaksi pada membran. Peristiwa kompaksi ini terjadi akibat pergerakan struktur membran oleh tekanan yang diberikan (Mulder 1996). Tekanan ini akan memberikan gaya dorong sehingga struktur membran bergerak dan membuat pori-pori tertekan dan merapat yang menghasilkan penurunan nilai fluks. Semakin besar tekanan yang diberikan, kompaksi akan semakin cepat terjadi. Gejala ini bersifat tidak dapat balik sehingga nilai fluks tidak dapat kembali sebagaimana awalnya.

Nilai Indeks Rejeksi

Penentuan indeks rejeksi membran dilakukan dengan pengukuran konsentrasi umpan yang dibandingkan dengan permeat. Prinsip penentuannya sama seperti fluks air, yaitu dengan sistem cross flow, tetapi larutan umpan yang digunakan ialah larutan detergen dengan konsentrasi 1600 ppm. Pengukuran nilai konsentrasi permeat dilakukan setiap 10 menit (Lampiran 6). Penggunaan konsentrasi 1600 ppm karena pada proses standarisasi

konsentrasi standar detergen yang digunakan mulai dari 50 sampai 1600 ppm (Lampiran 4).

Rerata indeks rejeksi meningkat seiring menurunnya konsentrasi detergen (permeat) pada setiap penambahan konsentrasi NPE (Tabel 1). Rerata indeks rejeksi pada konsentrasi NPE 5% sudah mencapai lebih dari 90%, yang menunjukkan nilai yang baik. Namun, nilai konsentrasi detergen masih jauh diatas ambang batas detergen dalam air berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/Menkes/PER/IX/1990 konsentrasi detergen dalam air sebesar 0.5 mg/L. Di sisi lain, bukan berarti hasil indeks rejeksi pada membran tidak baik, adanya kemungkinan konsentrasi limbah pada praktik lapangnya dibawah 1600 ppm sehingga dapat menghasilkan nilai konsentrasi detergen yang diinginkan.

Tabel 1 Nilai rerata indeks rejeksi detergen Konsentrasi NPE

(% b/v)

Konsentrasi detergen (ppm) 1 955.5838 3 600.2538 5 133.8602

Pengaruh Konsentrasi NPE Pada Nilai Fluks Air dan Indeks Rejeksi

NPE merupakan suatu zat pembentuk pori (porogen) yang ditambahkan ke dalam membran dapat dihilangkan kembali oleh proses perendaman. Penambahan konsentrasi NPE berpengaruh pada nilai fluks air dan indeks rejeksi membran. Semakin banyak NPE yang ditambahkan nilai fluks air semakin tinggi (Gambar 6). Hal yang sama terjadi pada nilai indeks rejeksi yang mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya NPE (Gambar 7). Rerata nilai fluks air (Lampiran 3) membran CA yang ditambahkan NPE lebih besar dibandingkan dengan membran CA. Hal ini disebabkan oleh adanya pori-pori yang semakin banyak terbentuk seiring dengan bertambahnya jumlah NPE sehingga mampu melewatkan air dan menahan larutan detergen yang terdapat dalam larutan umpan. Oleh karena itu, hasil konsentrasi detergen (permeat) indeks rejeksi lebih rendah dari sebelumnya (umpan). Hal ini sesuai dengan hasil Nugraha (2010), bahwa semakin banyak penambahan surfaktan ke dalam membran, nilai fluks air dan indeks rejeksi semakin meningkat.

(14)

Gambar 5 Pengaruh penambahan NPE terhadap rerata nilai indeks rejeksi ( ) dan rerata nilai fluks air (■) pada sonikasi 3 jam.

Analisis FTIR Membran CA

Analisis spektrum FTIR dilakukan pada serbuk CA dan cairan NPE. Spektrum FTIR ini dapat digunakan untuk mengetahui gugus fungsi pada suatu senyawa organik dan polimer. Teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer, seperti degradasi atau taut silang (Stevens 2001).

Spektrum FTIR membran CA-NPE 5% (Gambar 8) memperlihatkan serapan pada daerah bilangan gelombang 1053.01 cm-1 dan 1243.49 cm-1 yang merupakan pita serapan dari gugus C-O asetil dari selulosa asetat. Bilangan gelombang 1000-1300 cm-1 adalah pita serapan dari C-O asetil (Creswell 2005). Daerah bilangan gelombang 1751.13 cm-1 terdapat pita serapan dari gugus karbonil (C=O) yang berasal dari selulosa asetat.

Bilangan gelombang 1650−1850 cm-1 adalah pita serapan dari karbonil (Lambert 1998).

Spektrum FTIR dari membran CA-NPE 5% (Gambar 8a) dibandingkan dengan FTIR NPE (Gambar 8b) menunjukkan tidak adanya pita serapan khas NPE dalam spektrum CA-NPE 5%. Hal ini membuktikan bahwa CA-NPE telah terlepas dari membran ketika perendaman dan membentuk pori-pori pada membran.

(a)

(b)

Gambar 6 Spektrum FTIR (a) membran CA-NPE 5 % (b/v) dan (b) CA-NPE.

Analisis SEM Membran CA

Hasil pengamatan SEM dengan pembesaran 2000× menunjukkan morfologi permukaan membran dengan pori-porinya. Selain itu, pencirian dengan SEM juga dapat mengetahui jenis membran yang sedang dianalisis. Gambar 9a menunjukkan bahwa membran CA tanpa surfaktan merupakan membran nonpori dan menjari, setelah ditambahkan surfaktan dan direndam terbentuk pori (Gambar 9b). Pori yang terbentuk pada membran CA setelah penambahan NPE berukuran antara 190 dan 291 nm. Hal ini menunjukkan bahwa membran CA-NPE termasuk dalam ukuran nanopori.

Semakin banyak surfaktan yang ditambahkan, maka semakin banyak pula pori yang terdapat pada membran (Nugraha 2010). Pori yang dihasilkan tidak seragam atau homogen, sehingga membran yang terbentukk termasuk dalam membran asimetrik.

Membran yang telah diaplikasikan pada larutan detergen mengalami penumpukan umpan (detergen) yang menyebabkan pori membran pada lapisan bawah khususnya 1; 40,28 3; 62,48 5; 91,63 1; 26,89 3; 34,25 5; 42,11

(15)

terdapat gumpalan-gumpalan (granule) yang menutupi pori-pori membran (Gambar 9c).

(a)

(b)

(c)

Gambar 7 Hasil SEM (a) Membran CA, Membran CA-NPE 5% (b/v) (b) sebelum dan (c) setelah diaplikasikan terhadap larutan detergen pada pembesaran 2000x.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Membran selulosa asetat dengan penambahan nonilfenol etoksilat memberikan nilai rerata indeks rejeksi, yaitu 40,28% (NPE 1%), 64,28% (NPE 3%), dan 91,63% (NPE 5%). Membran terbaik yang dapat digunakan dalam pemisahan larutan detergen pada

konsentrasi NPE 5% yang memiliki nilai indeks rejeksi diatas 90%.

Saran

Perlu dilakukan kinerja membran yang lebih lanjut seperti kekuatan tarik dan pengerjaan pada limbah detergen yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Baker RW. 2004. Membrane Technology and Applications. England: J Wiley.

Creswell CJ et al. 2005. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari:

Spectrum Analysis of Organic Compound.

Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik, Ed ke-3. Pudjaatmaka AH, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry Third Edition.

Flieger M et al. 2003. Biodegradable plastics from renewable source. Folia Microbiol

48:27-44.

Ghosh R. 2003. Protein Bioseparation Using Ultrafiltration: Theory, Application, and New Development. London: Imperial Coll Pr.

Hartomo AJ, Widiatmoko MC. 1994.

Teknologi Membran Permunian Air. Yogyakarta: Andi Offset.

Indriani N. 2009. Perilaku membran komposit nanopori selulosa asetat-polistirena (CA-PS) akibat pengaruh suhu dan surfaktan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ikrammurti K. 2010. Membran polistirena dengan variasi suhu perendaman untuk pervaporasi alkohol [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

(16)

Koros WJ, Ma YH, Shimidzu YH. 1996. Terminology for membranes and membrane processes (IUPAC Recommendations 1996).

Kroscwitch JI. 1990. Consise of Polymer Science and Engineering. New York: J Wiley.

Lambert JB, Shurvell HF, Lightner A, Cooks RG. 1998. Organic Structural

Spectroscopy. New Jersey: Prentice hall Linfield M. 1976. Anionic Surfactants. New

York:Marcel Dekker.

Mallack HM, Anderson GK. 1997. Cross-flow microfiltration with dynamic membranes.

Water Research 31.

Martin M. 2008. Aplikasi membran komposit selulosa asetat-polistirena berporogen poli(etilena glikol) 6000 dalam pemisahan Fe3+ [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Milisic V. 1986. Antifouling techniques in crossflow microfiltration. Membran Science.

Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Dordrecht: Kluwer.

Nugraha IR. 2010. Membran komposit selulosa asetat-polistirena akibat pengaruh SDS dan suhu [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Pranawati RD. 2010. Membran polistirena dengan penambahan surfaktan nonionik untuk pervaporasi alkohol [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Purwanto S. 2006. Penggunaan surfaktan metil ester sulfonat dalam formula agen pendesak minyak bumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rautenbach R, Albert R. 1989. Membrane Process. New York: J Wiley.

(17)
(18)

Lampiran 1 Gambar aliran kerja modul pemisahan cross flow

Arah cairan umpan Arah permeat Arah rentetat

Keterangan:

A. Penampung cairan/umpan B. Pompa

C. Pengatur tekanan D. Alat pemisahan E. Penampung permeat

A

B

C

D

(19)

Lampiran 2 Diagram alir kerja penelitian

Keterangan:

Total perbandingan CA dan NPE = 15% Contoh pada konsentrasi NPE 1%:

CA = 14% NPE = 1%

CA:NPE:Aseton (100%)

Sonikasi selama 3 jam

Pencetakkan membran pada pelat kaca

Perendaman membran dalam air hangat (60 oC)

Pencirian membran dengan SEM dan FTIR

Analisis hasil rejeksi dengan spektrofotometer

Analisis fluks air dan indeks rejeksi

dilarutkan

Didiamkan selama beberapa menit

(20)

Lampiran 3 Nilai fluks air membran CA dengan NPE 0% (MNPE 1), 1% (MNPE 2), 3% (MNPE 3), dan 5% (MNPE 4) b/v pada sonikasi 3 jam pada tekanan 20 psi

Waktu (menit) Nilai Fluks air (L/m 2

.jam)

MNPE 1 MNPE 2 MNPE 3 MNPE 4 10 24.2424 58.1818 37.9798 76.7677 20 20.2020 49.2929 37.1717 64.6465 30 10.1010 30.7071 35.9596 60.6061 40 6.4646 21.0101 35.5556 43.6364 50 4.4444 17.7778 35.5556 36.3636 60 3.6364 16.9697 34.7475 30.7071 70 2.4242 16.9697 31.5152 26.6667 80 2.4242 15.7576 30.7071 21.8182 90 1.6162 15.3535 29.0909 17.7778 Rerata 8.3951 26.8911 34.2536 42.1100

Contoh perhitungan pada MNPE 1 (menit 10): Diketahui: Vp = 72 mL = 0.072 L

A = 16.5 cm × 4.5 cm = 74.25 cm 2 = 7.425 × 10-3 cm t = 10 menit = 0.0167 jam

Jp = 24.2424 L/m2jam Keterangan:

Vp = volume permeat (Liter) A = luas permukaan membran (m2) t = waktu (jam)

t

A

V

P

P

(21)

Lampiran 4 Penentuan standarisasi konsentrasi detergen menggunakan spektrofotometer UV-VIS Konsentrasi detergen (ppm) Absorbans

50 0.231 100 0.444 300 0.530 600 0.633 1000 0.775 1300 0.829 1600 0.962

y = (3,94×10-4)x + 0,3502 R² = 0,9583

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

0 500 1000 1500 2000

A

b

so

rb

an

si

Konsentrasi Deterjen

(22)

Lampiran 5 Nilai indeks rejeksi detergen NPE 1% (MNPE 1), NPE 3% (MNPE 2), dan NPE 5% (MNPE 3)

Waktu (menit) Absorbans % Rejeksi Membran MNPE 1 MNPE 2 MNPE 3 MNPE 1 MNPE 2 MNPE 3 10 0.383 0.434 0.393 73.98 33.53 93.21 20 0.468 0.361 0.413 6.57 91.43 90.06

Absorbansipermeat = 0.393

Persamaan Garis = y = (3.94×10-4)x + 0.3502

y = absorbansi

x = konsentrasi permeat (ppm)

y = (3.94×10-4)x + 0.3502 0.383 = (3.94×10-4)x + 0.3502 0.383 – 0.3502 = (3.94×10-4)x

x = 108.6294 ppm

� – 6 ppm 6 4 ppm %

R = 93.21% Keterangan:

R = % rejeksi membran (%)

Cp= konsentrasi permeat (ppm) Cf = konsentrasi umpan (1600 ppm)

Gambar

Gambar 2  Struktur molekul NPE.
Gambar 4  Penurunan nilai fluks air membran dengan NPE 0% (), 1% (■), 3% (▲), dan 5% (×) pada sonikasi 3 jam
Tabel 1 Nilai rerata indeks rejeksi detergen
Gambar 5 Pengaruh penambahan
+2

Referensi

Dokumen terkait

(9) Data Direksi atau pejabat yang akan melakukan penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-RTGS. Dalam hal penandatangan perjanjian akan dilakukan oleh pejabat selain

Temuan dalam penelitian adalah butir soal yang memiliki taraf kesukaran dan daya beda yang berkualitas sedangkan butir soal memiliki fungsi pengecoh yang belum

Dengan basil ini, maka dapat disimpulkan bahwa variabel Tingkat Pengetahuan dan Motivasi Kerja Pegawai berpengaruh positif dan signi:fika.tl terhadap

akademik, dan jenis kelamin, serta dalam membagi kelompok harus menggunakan waktu seefesien mungkin. 2) Memotivasi setiap peserta didik untuk aktif dalam kerja

Gambar 4.13 Penjadwalan Lampu Hidup Pada Gambar 4.14 dapat dilihat ketika waktu saat ini sudah sesuai dengan waktu yang di tentukan oleh pengguna kemudian lampu akan

Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Motivasi karyawan tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan uji t diperoleh nilai sig sebesar 0,567 yang lebih

Serikat pekerja adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh pekerja, dari pekerja, dan untuk pekerja yang bertujuan untuk melindungi pekerja, memperjuangkan kepentingan

Hasil studi di lapangan menunjukkan bahwa pengolahan data, input data buah, input data konsumen, input data transaksi, serta laporan pendapatan harian dan bulanan pada Toko Agung