Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Imam Machdi NIM: 109048000073
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
i
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Imam Machdi NIM: 109048000073
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
ii
diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada
Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2014
iii
Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri ( UIN )
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
semua dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplak orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
iv
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. x + 84 halaman + halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar atau landasan perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires. Penulis ingin mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak Ketiga atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas.
Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode dalam kategori jenis Penelitian Hukum Normatif, dimana pemilihan pada jenis Penelitian Hukum Normatif didasarkan pada alasan karena perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan wanprestasi (ultra vires) merupakan permasalahan kesenjangan hukum.
Hasil ini menunjukan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci akan tetapi perlindungan hukum terhadap pihak investor yang sebenarnya sangat berperan penting demi kelangsungan hidup perseroan terbatas tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya kurang jelas atau tidak adanya pengaturan yang rinci yang mengatur perlindungan pihak investor atau pemegang saham.
Kata kunci : Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor dan Ultra Vires
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H H.M.Yasir,S.H,M.H
v
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat, berkah dan nikmat-Nya. Shalawat serta salam
dipanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta pengikutnya, sehingga pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM
PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT
TINDAKAN ULTRA VIRES“ ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.H,M.M. Selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H,M.H dan Drs. Abu Tamrin,
S.H,M.Hum. Selaku ketua dan sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah
memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses
penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H. Selaku dosen
Pembimbing 1 dan Bapak H. M. Yasir, S.H,M.H. Selaku dosen
Pembimbing 2 yang dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan
serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Orang tua ayahanda Sumardi dan ibunda Dahlia yang penulis sayangi dan
hormati, terima kasih tak terhingga atas kasih sayang, do’a, bimbingan,
vi
perhatiannya kepada penulis, memberikan dorongan, dukungan dan do’a
dalam proses penyusunan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum (Gagat Rahino, Ariawan Zaki, Maulana Ichsan Setiadi, Sadam As’ad, Zakaria Zakim, Samsul, Farhan
Bestiardi, Roma Rizky, Arif Prasetiyo, Nauval, dkk) dan kawan-kawan
karib (Agung Jago, Wildan Nurasalim, Syarifudin dkk) khususnya prodi
Ilmu Hukum angkatan 2009 terima kasih yang tak terhingga yang sudah
membantu, motivasi, dan yang selalu menghibur penulis dikala penulis
sedang ada masalah.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu,semoga Allah
SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan
mereka (Amin).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr,Wb.
Jakarta, 23 Januari 2014
Penulis,
vii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah……… ………... .8
C.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8
D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 10
F. Kerangka Teoridan Konseptual ... 11
G.Metode Penelitian………..17
H.Sistematika Penulisan………21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES ... A.Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya……….23
B.Eksistensi Organ-organ Perseroan Terbatas……… 34
viii
B.Prinsip Dasar Perlindungan Hukum………... .52
C.Urgensi Perlindungan Hukum……….……….….58
BAB IV UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERSPETIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN
PERSEROANTERBATAS ...
A.Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan ………... 65
B.Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor ..………... .76
BAB V PENUTUP ...
A.Kesimpulan……… 85
B.Saran……… 88
1 A. Latar Belakang Masalah
Perekonomian yang diselenggarakan bedasarkan demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih meningkatkan
pembangunan perekonomian nasioanal dan sekaligus memberikan landasan yang
kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pegatahuan dan teknologi pada era globalisasi sekarang dan akan terus
berlanjut pada masa mendatang, juga perlu dukungan lembaga perseroan terbatas
yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif yang
tentunya digerakan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang mengatur
tentang perseroan terbatas.1
Perseroan terbatas (selanjutnya disebut dengan perseroan) sebagai salah satu
pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum yang
kuat untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama
bedasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan prinsip-prinsip keadilan
1
dalam berusaha. Perseroan terbatas merupakan badan hukum yang didirikan
bedasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Kegiatan usaha dari perseroan harus
sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan, serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan,ketertiban umum , dan atau kesusilaan.
Perseroan terbatas merupakan subjek hukum yang berhak menjadi pemegang
hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau kekayaan
tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu orang perorangan yang
dinilai memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum serta mempertahankan
haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu
sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi perkembangan kebutuhan
kehidupan masyarakat. Ketentuan yang diatur dalam pasal 519 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHAPdt) yang berbunyi “Ada barang yang bukan milik siapa pun,
barang lainnya adalah milik Negara, milik perekutuan atau milik perorangan”.2
Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal bentuk-bentuk
perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair Vennootschap (CV), Perseroan
Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan tetapi bentuk-bentuk seperti itu, selain koperasi
yang memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan adalah
Perseroan Terbatas (PT). Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi
2
pendirian perseroan terbatas mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini`dapat
disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di
Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, maka
bentuk perusahaan perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan
sering dikatakan bahwa perseroan terbatas merupakan bentuk perusahaan yang
dominan.3
Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan, memiliki dan
mengelola Perseroan Terbatas (PT) tidaklah merupakan perbuatan tunggal, melainkan
sejak bentuk badan hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang
melibatkan lebih dari satu orang bahkan banyak orang. Di dalam PT terdapat berbagai
hubungan hukum yaitu antara pemegang saham yang satu dengan yang lain, antara
perseroan dengan direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak
investor.
Keberadaan berbagai hubungan tersebut merupakan suatu indikator atau suatu
pertanda yang menunjukan bahwa PT sejak mulai dari perancangan pendiriannya,
tahap operasional sampai dengan berakhirnya jangka waktu untuk PT itu didirikan
sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu dikemukakan bahwa
PT merupakan perwujudan dari perjanjian-perjanjian. Bertumpu pada uraian singkat
tersebut semakin jelaslah di dalam suatu PT terdapat suatu proses yang didukung oleh
berbagai perjanjian. Keberadaan perjanjian-perjanjian itu bersifat menghidupkan,
3
http://mhugm.wikidot.com, Irna Nurhayati, Ulasan Tentang Status Badan Hukum PerseroanTerbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
memelihara kelangsungan hidup PT yang bersangkutan, bahkan dapat juga
mengantarkan menuju pada proses yang mengakhiri eksistensi PT itu sendiri.
Perjanjian diantara para pemegang saham pada pokoknya bersifat menghidupkan dan
sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian dengan direksi, stake holder terutama
karyawan serta pihak investor mengandung sifat yang bertujuan memelihara
kelangsungan hidup PT.
Berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan dalam rangka kelangsungan
hidup atau operasional PT, maka pertama terlihat pentingnya kedudukan pemegang
saham termasuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan direksi, komisaris
termasuk pula para staf serta pegawai yang dipekerjakan pada PT dan tidak
ketinggalan pihak investor, misalnya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Direksi
sebagai wakil PT dengan pihak lain seperti perjanjian dagang. Seluruh komponen
yang telah disebutkan itu pada pokoknya memberikan kontribusi yang tidak kecil
berupa kewajiban-kewajiban dan peranan sesuai porsinya masing-masing dalam
rangka memajukan dan meningkatkan perkembangan PT. Oleh karena itu agar
tercipta suatu keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian
mengenai aspek perlindungan hukumnya.
Sehubungan dengan pandangan bahwa PT merupakan suatu bentuk yang paling
dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk dominan dari perusahaan, maka
perkembangan pemanfaatan PT yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis.
Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (pasal 26 s/d pasal 56 KUHD) diganti dengan Undang-undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang No.
40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106) atau
yang disingkat dengan UUPT. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Pasal 75 ayat (1)
UUPT yang menentukan : “RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang
ini dan Anggaran Dasar”. Disamping itu juga hak-hak lain seperti hak untuk
memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari
Direksi dan Komisaris. Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan,
Pasal 92 ayat (1) UUPT.4
Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT tersebut
sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya dimana Direksi dalam menjalan
pengurusan Perseroan harus tetap berpedoman dan tidak bertentangan dengan maksud
sertatujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar.
Jika dirinci, maka Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan tunduk
pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Direksi dalam pengurusan harus memegang prinsip kehati-hatian dalam
bertindak,
4
2. Direksi harus mengutamakan kepentingan-kepentingan Perseroan dari pada
kepentingan pribadinya,
3. Tindakan-tindakan Direksi haruslah tetap sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan yang tertuang dalam Anggaran Dasar. Apabila Direksi menyimpang
dari prinsip ini terutama terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak
langsung telah menempatkan Perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang
melampaui kewenangan yang telah diberikan. Dalam berbagai kepustakaan
hukum, tindakan ini disebut dengan ultra vires. Tindakan ultra vires itu dapat
menimbulkan kerugian pada Perseroan yang berarti kerugian pula bagi para
pemegang saham.
Di samping itu ultra vires juga dapat merugikan pihak investor. Sebagai contoh
dapat dikemukakan disini misalnya Direksi sebuah Perseroan Terbatas Perbankan
yang justru lebih banyak mengalirkan dana kepada pemegang saham sehingga
mengakibatkan PT Perbankan itu bangkrut atau dilikuidasi serta merugikan nasabah
penyimpan. Dalam hal ini timbul tidak sesuaianya antara norma hukum (dassollen)
pada satu sisi dengan kenyataannya dalam praktek (dassein) pada sisi lain. Dalam hal
ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pemegang saham, maka UUPT telah
menyediakan norma-norma hukum yang dapat dimanfaatkan dalam rangka
memberikan perlindungan hukum kepada pemegang saham baik yang mayoritas
maupun minoritas.
Norma hukum yang dimaksud adalah ketentuan yang mengatur hak pemegang
hak pemegang saham minoritas untuk meminta dilakukannya pemeriksaan atas
jalannya Perseroan. Akan tetapi apabila ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan
pihak ketiga, maka pertanggungjawaban Direksi tidaklah jelas dan UUPT tidak
mengaturnya secara tegas atau tidak jelas mengaturnya. Bab VII Bagian Kesatu
UUPT mulai dari Pasal 92 sampai dengan Pasal 107 tidak dijumpai ketentuan yang
secara tegas mengatur mengenai pertangungjawaban tersebut.
Akan tetapi apabila mengacu pada ketentuan di dalam Pasal 97 ayat (1) yang
menentukan Direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka
pada satu sisi dapat dikemukakan terdapat pengaturan tanggungjawab direksi tetapi
pada sisi lain pengaturan itu tidak jelas dan lebih menekankan tanggungjawab
terhadap Perseroan.
Tidak jelasanya pengaturan tersebut merupakan suatu permasalahan hukum
yang harus dicarikan kejelasannya. Di samping dalam rangka keperluan memperjelas
hukum perseroan juga berkaitan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan
rasa aman kepada pihak investor yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis berkeinginan untuk
meneliti dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Perlindungan
Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan
B. Identifikasi Masalah
1) Bagaimana pendirian suatu Perseroan Terbatas.
2) Apakah tujuan dari Perseroan Terbatas.
3) Bagaimanakah kewenangan direksi Perseroan Terbatas.
4) Apa peran RUPS terkait tindakan wanprestasi (ultra vires).
5) Bagaimanakah tanggungjawab direksi apabila melakukan tindakan ultra vires
terhadap pihak investor.
C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Batasan masalah ini penulis membatasi permasalahan yang ada di dalam
pendahuluan yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan dan Sehubungan
dengan maksud memperoleh hasil analisis yang fokus, maka terhadap permasalahan
di atas perlu diberikan batas-batas atau ruang lingkupnya.
Permasalahan yang pertama yang akan dibahas berkisar pada pertanyaan
bagimana hak-hak pihak pemegang saham, apakah terhadap tindakan ultra vires
Direksi PT terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan bagi Pihak
investor. Di samping itu relevan pula dibahas adalah mengenai kondisi dasar hukum
tersebut apakah memadai dan dapat diterapkan, serta bagaimana pula bentuk-bentuk
perlindungan hukumnya.
Sehubungan dengan permasalahan yang kedua yakni berkisar mengenai bentuk
dan proses pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi Pihak investor, apakah
mengingat direksi itu diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada pemegang saham
melalui Rapat Umum Pemagang Saham.
2. Rumusan Masalah
Mengingat dari uraian mengenai latar belakang masalah dan batasan masalah
diatas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apa dasar perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi
Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires?
b. Bagaimanakah upaya pemulihan hak-hak Pihak investor atas tindakan ultra vires
Direksi Perseroan Terbatas?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar-dasar atau landasan
perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi Perseroan
Terbatas melakukan tindakan ultra vires
b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan terhadap
pemulihan hak Pihak investor atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan
Terbatas.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai Perseroan Terbatas dalam berbagai
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pedoman yang
komprehensif bagi semua pihak yang terkait pendirian, pemilikan, pengelolaan dan
pihak-pihak yang berhubungan atau mengadakan transaksi dengan Perseroan
Terbatas dalam pemecahan masalah tanggungjawab terhadap pihak investor berkaitan
dengan tindakan ultra vires.
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan
peneltian yang kita kerjakan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari
penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih dahulu
membahas terkait dengan tindakan Ultra Vires, diantaranya adalah:
1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 2012, yang disusun
oleh David Yacob Maruli, dengan judul “Penerapan Doktrin Ultra Vires
Terhadap Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Ditinjau Dari UUD No
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan UUD No 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Penulis
membahas terkait bagaimana direksi bertanggungjawab sepenuhnya dalam
kepailitan Perseroan Terbatas akibat tindakan ultra vires.
Penelitian ini ditinjau dalam berbagai aspek hukum Perdata terkait dengan
sistem dalam perjanjian dan pertanggungjawaban sebuah perseroan terbatas dengan
subtansi eksistensinya hukum yang mengkaji tentang adanya kejahatan dalam suatu
perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban
Direksi Perseroa Terbatas Terkait tindakan ultra vires.
F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori
Peningkatan pendirian perseroan dapat ditandai terjadinya hampir bersamaan
dengan mulai meningkatnya aktivitas perkenomian Indonesia setelah pertengahan
dasawarsa 1960an. Disusul dengan mengalirnya investasi asing yang masuk
Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal nasional untuk
menanamkan modalnya baik secara mandiri maupun berpatungan dengan investor
asing. Peningkatan ini berdampak positif terhadap perkembangan pendirian PT.
Di samping itu turut pula memicu peningkatan pendirian PT di Indonesia adalah
semakin berkembangnya aspek yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap
bentuk perusahaan ini yang dimulai dengan dibuatnya Undang-undang No. 4 Tahun
1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan pasal 54 KUHD.
Dilanjutkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yang menggantikan pasal 21 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Terakhir
undang-undang ini diganti dengan Undang-undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Perkembangan pengaturan tersebut secara tidak langsung menunjukan
perkembangan pemahaman mengenai PT sehingga mengakibatkan banyak yang
memilih bentuk perusahaan ini.
Elemen-elemen di atas maka yang sangat perlu dicermati khususnya karena
yaitu perjanjian yang menurut Prof. Subekti merupakan suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.5
Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan, memiliki dan mengurus
Perseroan Terbatas ternyata terdapat perjanjian-perjanjian. Pada saat para pendiri
mengadakan kesepakatan mendirikan PT terdapat perjanjian yang kemudian
dituangkan dalam akte pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan pemilikan saham
yang sebenarnya berarti pemilikan PT juga dijumpai adanya perjanjian, misalnya
perjanjian jual-beli saham.
Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang berarti perjanjian harus ditaati para
pihak yang melakukan perjanjian seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu
berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus
ditaati.6
Disamping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang menunjuk kepada
berlakunya hukum yang jelas tetap konsisten dan konsekuen mengajarkan agar
5
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7
6
memberikan perlindungan terhadap hak-hak pihak investor yang sangat berperan
dalam menunjang perkembangan perseroan.7
2. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan
gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala
biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian merupakan
hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.8
Penulisan skripsi ini menggunakan definisi-definisi sebagai berikut:
a. Perlindungan Hukum
Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini
hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum.9
7
Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, WWW.Scribb.com ,20/07/2013,22:25 WIB, h.1
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.132.
9
b. Pihak Investor
Berkaitan dengan pengertian perjanjian menurut Prof. Wirjono Projodjodikoro
perjanjian itu adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan
sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas
pelaksanaan janji itu.10 Dapat disimpulkan dari pengertian tersebut dengan adanya
pihak lain yaitu pihak investor (pihak ketiga) yang berhak atas pelaksanaan
perjanjian.
c. Pertanggungjawaban
Terkait dengan pertanggungjawaban dalam judul skripsi ini yakni perlakuan
tindakan atas kesalahan yang dilakukan oleh direksi perseroan terbatas dalam
tindakan ultra vires.
d. Perseroan Terbatas
K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas pinjaman-pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.11
Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan
kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang
10
Syarif Basir, 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, h. 1
11
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,
bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah
“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab
arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan
pada saat itu.12
e. Ultra Vires
Stephen H. Gifis mengemukakan seperti dikutip Munir Fuady pada pokoknya
menyatakan hukum disetiap negara tanpa melihat ke dalam sistem Perseroan tunduk
umumnya menghadapi masalah yuridis yang disebut dengan “pelampauan
kewenangan” (ultra vires) dari suatu perseroan.13
Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang
melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh Anggaran Dasarnya atau oleh
peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut. Pandangan tradisional
mengenai utra vires pada pokoknya memandang bahwa tindakan itu dapat
menimbulkan konsekuensi yuridis dimana tindakan tersebut batal demi hukum (null
and void) dan karena itu maka tindakan yang diklasifikan ultra vires itu tidak dapat
diratifikasi atau tidak dapat disahkan oleh perseroan melalui RUPS.
Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-upaya hukum yang
merupakan konsekuensi yuridis antara lain sebagai berikut:14
12
H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.
13
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 110.
14
a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya, b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat
perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut,
c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.
Pandangan mengenai konsekuensi yuridis dari tindakan perseroan yang ultra
vires itu ternyata juga mengalami perkembangan dan dalam perkembangan tersebut
pada pokoknya dikemukakan, sebagai akibat dari berbagai modifikasi terhadap
konsepsi ultra vires, telah berkembang beberapa akibat hukum yang mungkin timbul
dari adanya ultra vires antara lain tanggungjawab pribadi. Tidak selamanya ultra
vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi atau petugas
yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.
Terlepas dari persoalan mekanisme tersebut menurut Teori Keadilan Distributif
yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya,
dengan ini dapat dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang berjasa
dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga berdasarkan teori ini harus diberikan
keadilan, dalam pengertian hak-haknya dapat dipulihkan.15
Dari uraian-uraian yang telah disajikan mengenai konsep yang berkaitan dengan
judul skripsi ini pada intinya menjelaskan pada satu hal yang sangat penting bahwa
pihak Perseroan Terbatas tetap bertanggungjawab terhadap kerugian-kerugian yang
dialami oleh pihak investor, dan kendati pun masih mengandung beberapa kekaburan
15
pada berbagai aspeknya, akan tetapi uraian-uraian tersebut dapat digali lebih dalam
lagi untuk menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat melalui skripsi
ini.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi Program Studi Ilmu
Hukum dijelaskan Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian
Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Usulan Skripsi ini termasuk dalam
kategori jenis Penelitian Hukum Normatif.16
Pemilihan pada jenis penelitian di atas didasarkan pada alasan karena
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor Terhadap Diresksi Perseroan Terbatas
Melakukan Tindakan ultra vires merupakan permasalahan kesenjangan hukum.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur
perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci. Sedangkan
perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang sebenarnya sangat berperan demi
kelangsungan hidup PT tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya
kurang jelas. Jadi disinilah terjadi kesenjangan dalam norma hukum.
16
2. Pendekatan Masalah
Pembuatan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif
pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan,dalam hal ini penulis menggunakan
penelitian pendekatan-pendekatan masalah sebagai berikut:17
a. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
b. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
d. Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical &Conseptual Approach)
e. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach),
f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach),
g. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Sejalan dengan tujuan dan
rumusan masalahnya, Usulan penelitian ini menggunakan 3 jenis pendekatan
yang terdiri dari:
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)
2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical & Conceptual Approach)
3. Pendekatan Perbandingan Hukum (comparatif Approach) Pendekatan
Perundang-undangan bertujuan mengalisis peraturan perundangan dalam hal ini
Undang-undang Perseroan Terbatas terutama yang berkaitan dengan kekosongan
atau kekaburan norma hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap pihak investor.
17
Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum pada pokoknya mengedepankan
analisis-analisis terhadap konsep-konsep hukum. Direksi PT, pihak investor dan ultra
vires merupakan konsep-konsep hukum. Analisis terhadap konsep-konsep ini
ditekankan pengertian, hak dan kewajiban (Direksi, PT, dan Pihak investor), serta
tidak ketinggalan adalah mengenai ruang lingkup dan perkembangan ultra vires.
Akan tetapi karena bahan-bahan yang dianalisis juga berkaitan dengan bahan-bahan
yang diperoleh dari sistem hukum yang berlaku di negara lain, maka tidak tertutup
kemungkinannya, usulan penelitian ini juga menggunakan Pendekatan Perbandingan
(The Comparative Approach).
3. Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif menggunakan Bahan Hukum Primer dan Bahan
Hukum Sekunder. Bahan Hukum Primer dalam hal ini terdiri dari Asas Itikad Baik,
Asas Pacta Sun Servanda dan norma-norma hukum yang tersusun terutama dalam
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan
pelaksanaannya,antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang
Nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Bahan Hukum Sekunder meliputi buku teks
hukum (legal text book), Jurnal hukum,karya tulis hukum yang memuat pandangan
ahli hukum baik dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa,kamus
hukum, ensiklopedi hukum. Dalam penelitian ini digunakan juga bahan-bahan hukum
yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti
4. Bahan Hukum Penunjang Data
Di samping bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder maka dalam
penelitian ini digunakan pula bahan-bahan yang diperoleh dari praktisi hukum dalam
ini Notaris yang berpengalaman atau pihak lain yang memahami permasalahan
mengenai tatacara menyelesaikan tanggungjawab Perseroan Terbatas terhadap pihak
ketiga. Bahan Hukum Penunjang dapat diperoleh melalui penelusuran jaringan
internet yang menyediakan fasilitas informasi yang relevan dengan topik skripsi ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum atau Data
Penelitian ini tidak tertutup kemungkinan diperoleh bahan yang sudah tersusun
dengan rapi baik berupa buku, laporan maupun bentuk-bentuk lain yang bersifat
tertulis dan terhadap bahan-bahan seperti ini tetap diterapkan cardsystem yang
ditekankan pada pencatan mengenai informasi yang relevan dengan topik
permasalahan.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum atau Data
Untuk menganalisis data-data yang telah diterapkan teknik-teknik sebagai
berikut:
a. Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum yang tidak jelas
rumusannya sehingga harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang
jelas dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
b. Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau tidak tepatnya suatu
diterapkan dalam penelitian ini untuk memperoleh hasil yang benar-benar sesuai
dengan topik yang dibahas.
c. Teknik argumentasi atau alasan-alasan yang merupakan hasil penalaran setelah
dilakukannya teknik evaluasi. Dalam pembahasan masalah penelitian ini sedapat
mungkin akan dilakukan teknik argumentasi menurut kemampuan yang serba
terbatas.
d. Teknik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan suatu norma
hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang
tidak sederajat.
e. Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan bersifat mutlak.
Hal ini mengandung pengertian, teknik ini harus dilaksanakan dalam
pembahasan hukum agar pembahasan dapat dipahami oleh orang lain. Dalam
penelitian ini berdasarkan Teknik Deskripsi, isu-isu hukum digambarkan atau
diuraikan secara lengkap dan jelas sehingga dapat diketahui duduk persoalannya
dan dapat ditentukan arahnya untuk mencapai suatu solusi.
H. Sistematika Penulisan
Penyajian skripsi ini akan disusun kedalam 5 (lima) bab. Dimana masing-masing
bab akan terdiri dari beberapa sub-bab agar pembahasan yang dibahas dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti secara jelas dan komprehensif.
Adapun urutan dan tata letak setiap bab dan pokok pembahasannya adalah
1. Bab pertama dari penelitian ini adalah Bab Pendahuluan. Bab ini membahas
tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, serta sistematika penelitian.
2. Bab kedua dari penelitian ini berkenaan dengan tinjauan umum tentang
perseroan terbatas serta kewenangan bertindak perseroan terbatas yang mengenai
isi dari eksistensi organ-organ perseroan terbatas dan kompetensinya.
3. Bab investor dari penelitian ini berisikan peran hukum untuk melindungi hak
pihak investor dari tindakan ultra vires yang dilakukan oleh direksi perseroan
terbatas.
4. Bab keempat dari penelitian ini berisikan tentang upaya perseroan terbatas
melekukan remedial terhadap pihak investor dalam sistem pertanggungjawaban
perseroan terbatas terkait tindakan ultra vires.
5. Bab kelima berisikan kesimpulan dan saran terkait dengan penelitian yang
23
A. Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya
Menurut Achmad Ichsan dalam pengertian perseroan “naamloos” merupakan
suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan “naamloos” dalam arti
tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan
pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggota perseroannya
identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya
seperti Perusahaan Dagang Beras.1
Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para sarjana yakni M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas itu ialah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal yang tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiap-tiap persero pemegang saham turut serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu.2
K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas
1
Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, h. 134.
2
pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.3
Pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung menunjukkan perjalanan
sejarah dari istilah atau nama yang dipergunakan secara khusus dan resmi untuk
menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pada intinya istilah Perseroan
Terbatas tidaklah merupakan terjemahan dari istilah Naamloze Vennootschap, namun
demikian istilah Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang dimaknai dari
perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih relevan dan dapat
secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat perseroan yang diatur dalam
pasal-pasal KUHD itu.
Selain itu Prof. Soekardono mengemukakan bahwa pada dasarnya istilah
tersebut lebih sesuai dengan sifat-sifat bentuk perusahaan yang dijalankan.4
Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan
kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang
bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah
“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab
arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan
pada saat itu.5
3
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,
Pembangunan,Jakarta, h. 132.
4
R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali, Jakarta,h. 127.
5
Sehubungan dengan penjelasan di atas maka makna dari istilah Perseroan
Terbatas menjadi semakin jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan
sebagai istilah resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen
notaris maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara Republik Indonesia
(BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI).
Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang dituangkan dalam
KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56 secara berturut-turut sudah
digantikan dengan dikeluarkannya undang No. 1 Tahun 1995 dan
Undang-undang No. 47 Tahun 2007, penggunaan istilah Perseroan Terbatas masih tetap
dipertahankan. Disamping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama atau titel,
kedua undang-undang tersebut secara khusus juga mencantumkan pengertian atau
definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian
tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang
menentukan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis di atas dapatlah diuraikan adanya
5 (lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan sebagai berikut:
1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
3. Melakukan kegiatan usaha,
4. Modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaannya.
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal
Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal mengandung dua hal yakni; pertama,
memberikan ketegasan dan kedua, UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan
Perseroan Terbatas sebagai badan hukum persekutuan modal. Mengenai hal yang
pertama, hendaknya patut diberikan apresiasi yang tinggi karena dengan
ditegaskannya bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, berarti UUPT telah memberikan suatu kepastian hukum
mengenai status hukum Perseroan Terbatas.
Di samping itu penegasan di atas merupakan langkah maju apabila
dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara tegas tentang
status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Berkaitan dengan hal yang kedua,
perihal badan hukum dan persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi
Perseroan Terbatas yang menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh
lagi, akan tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai
pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan melalui
Menurut R. Subekti badan hukum adalah suatu perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.6 Selanjutnya ditambahkan perseroan terbatas atau NV sebagai badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan terbatas mempunyai suatu kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan para pesero atau pengurusnya.7
Perseroan Terbatas didirikan bedasarkan sebuah perjanjian sebagaimana telah
dikutip pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi atau
kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama
dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi
sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Diantara tahap-tahap pendirian
(konstruksi), beroperasi (operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan
Perseroan Terbatas (terminasi), maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang
sangat dominan ketika PT berada pada tahap operasional.
Akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada
tahap-tahap yang lainnya. Keberadaan perjanjian dalam Perseroan Terbatas
sebenarnya sudah dimulai dan berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh
dua atau lebih calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui
perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT yang
bersangkutan.
6
R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 14.
7
Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau
lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan
penafsiran secara gramatikal, ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
sebelum datang menghadap dihadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah
mempersiapkan kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan
diantara mereka sebelumnya. Adanya perjanjian pendahuluan yang sifatnya
konsensual atau suatu perjanjian yang didasarkan pada kata sepakat itu dan juga akta
notaris yang juga berisi anggran dasar sebagai tonggak awal berdirinya suatu
Perseroan Terbatas tersebut keduanya semakin memperlihatkan dengan pasti bahwa
Peseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu dapat
dikemukakan pendirian dan eksistensinya PT sebenarnya merupakan implementasi
atau perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama pendiri.
Berkaitan dengan unsur di atas Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus
mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pertama
yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya merupakan suatu konsekuensi logis
dari pemikiran teoritis bahwa pendirian Perseroan Terbatas didasarkan pada
perjanjian dan sebagai hasil implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala
sesuatunya dan dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha
perseroan tidak boleh bertentangan dengan ketiga batasan sebagaimana diatur dalam
Perlu pula dikemukakan bahwa untuk melakukan kegiatan usaha merupakan
kewajiban bagi Perseroan Terbatas. Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang
dibebankan oleh Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata “harus”
sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri, keharusan
melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format isian untuk memperoleh
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan (Pasal 9 ayat (1)
Apabila tidak melaksanakan pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana
sebagai sanksinya Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan. Secara
ringkas dapatlah diuraikan mengingat Perseroan Terbatas juga merupakan wahana
bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan aktivitas yang pokok dan
mutlak sifatnya.
Berkaitan uraian mengenai dengan modal perseroan di atas perlu dijelaskan
pengertian tersebut murni merupakan pengertian yuridis tidak ada hubungannya
dengan pengertian ekonomi dan perihal modal perseroan itu praktis selalu
dicantumkan dalam anggaran dasar.8 Pendapat ini semakin relevan karena dalam
UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk mencantum jumlah modal dasar,
modal ditempatkan, dan modal disetor (Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini
tidak dipenuhi, maka Menteri dapat melakukan penolakan (Pasal 10 ayat 4). Dari
ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan terdiri atas seluruh nilai
8
nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan pendapat bahwa modal Perseroan
Terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham.9 Modal perseroan yang kemudian
dibagi ke dalam saham-saham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi
saham menurut UUPT.
Sehubungan hal diatas dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT
menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam Penjelasan
pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya
diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh
mengeluarkan saham atas tunjuk. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan,
anggaran dasar menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih. Pengertian yang
terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT tersebut menunjukkan seluruh saham
yang dikeluarkan Perseroan merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham
lainya yang boleh dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu
menurut UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti
yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain:
a. Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4), Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama saham dengan hak suara atau tanpa hak suara
b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain
d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif
9
e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.
Dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53 ayat
(4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan gabungan dua atau
lebih klasifikasi. Uraian tersebut di atas memperlihatkan kedudukan modal dalam
perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal disetor dalam
menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan mengenai penyetoran atas
modal saham Perseroan perlu pula diuraikan secara garis besarnya. Mengenai
penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34 UUPT menentukan:
a. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainnya,
b. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan,
c. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.
Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dan
memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang berkeinginan
menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan. Dalam hal ini Pasal 34 itu
memperbolehkan penyetoran atas modal saham perseroan tidak hanya dalam bentuk
uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar
Uraian di atas mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya modal dasar
kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas
kepada khalayak khususnya investor yang berminat menanamkan modal dengan jalan
memiliki saham baik melalui partisipasi langsung ketika Perseroan Terbatas didirikan
maupun bursa efek.
Pada sisi lainnya, pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti diungkapkan oleh Mas Soebagio pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat mengukur besarnya tanggungjawab dalam arti hak dan kewajiban setiap pemegang saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. Berdasarkan uraian tersebut diatas jelaslah bahwa Perseroan Terbatas merupakan perjanjian-perjanjian dan berarti tunduk pada Asas Kebebasan berkontrak.10
Di dalam asas tersebut yang dijelaskan di atas terkandung suatu pandangan
bahwa orang bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa
yang mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk
menetapkan syarat-syarat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak perlu didampingi
oleh asas yang lainnya yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan
kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undang-undang,
kepatutan dan ketertiban umum atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.11
Pendapat di atas pada pokoknya mengemukakan setiap perjanjian haruslah
mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri dapat dijumpai dalam
10
Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang,
Alumni, Bandung, h. 135.
11
undang baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa
Perseroan Terbatas harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-undang. Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang pentingnya
kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan perjanjian. Sehubungan
dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah yaitu kewenangan dan
kompetensi.
Secara garis besar kedua istilah di atas memiliki pengertian yang hampir sama,
akan tetapi istilah kewenangan itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah
yang biasanya dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat
disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran yakni Pengertian
kewenangan adalah Sumber-sumber kewenangan terdiri atas :12
a. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.
b. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah.
c. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggungjawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.
Istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari dalam hukum
administrasi negara, tampak pula istilah itu tidak ada relevansinya dengan topik
12
bahasan tesis ini. Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya
dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan relatief
kompetentie.13 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak menyangkut pembagian
kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan
menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili sedangkan relatief kompetentie
atau kekuasaan relatif menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.14
Di samping itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam
hukum pembuktian yang menunjukkan kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum
kontrak. Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya mengandung
pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak yang tidak memiliki cacat
mental atau tidak memiliki kapasitas.
B. Eksistensi Organ-Organ Perseroan Terbatas.
Mengingat Perseroan Terbatas itu merupakan suatu badan yang diwajibkan
melaksanakan kegiatan usaha, dimana sejak mulai tahap perancangan, pendirian,
operasional, bahkan sampai dengan tahap Perseroan Terbatas itu berakhir jangka
waktu pendiriannya atau mengalami kepailitan atau likuidasi, maka sudah tentu
banyak sekali orang atau pun pihak yang turut berpartisipasi baik langsung maupun
tidak langsung dalam mewujudkan tahap-tahap tersebut. Untuk mengetahui orang
atau pihak mana yang merupakan organ Perseroan Terbatas sangat perlu dilakukan
13
R. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung,Bandung, h. 39.
14
identifikasi terlebih dahulu. Identifikasi pertama-tama dilakukan terhadap istilah
corporate constituent dilanjutkan dengan stakeholder dengan menggunakan kriteria
organ sebagai tolok ukur.
Organ menduduki peranan yang sangat penting dan berkaitan dengan kedudukan
organ dalam perseroan tersebut. Pentingnya kedudukan itu dapat diuarikan pertama
dari pendapat mengenai kedudukan mandiri Perseroan Terbatas dan yang
dimaksudkan itu adalah Bahwa Perseroan Terbatas dalam hukum dipandang berdiri
sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang berada dalam Perseroan Terbatas
tersebut.
Disatu pihak Perseroan Terbatas merupakan wadah yang menghimpun
orang-orang yang mengadakan kerjasama dalam Perseroan Terbatas, namun di lain pihak
segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama dalam Perseroan Terbatas
itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Karena
itu konsekuensinya, keuntungan yang diperoleh, dipandang sebagai hak dan harta
kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila terjadi suatu utang atau
kerugian dianggap sebagai beban Perseroan Terbatas sendiri yang dibayarkan dari
harta kekayaan Perseroan Terbatas. semata-mata. Sementara perorangan yang ada
dianggap lepas eksistensinya dari Perseroan Terbatas itu.15
Eksistensi organ-organ dalam suatu badan hukum merupakan sesuatu yang
sangat signifikan. Tanpa adanya organ-organ, suatu badan hukum itu tidak akan
15
fungsional dan operasional. Organ-organ itulah yang membuat badan hukum yang
bersangkutan menjadi dinamis sehingga dengan demikian dapat dikatakan organ
tersebut terutama Direksi dalam struktur korporasi merupakan wakil yang
melaksanakan kehendak yang ada dalam badan hukum.
Struktur korporasi pada pokoknya menekankan pada aspek struktur yang
merupakan satuan kerja yang secara artifisial termuat atau tersusun dalam
bagian-bagian yang dirancang untuk bekerjasama dalam korporasi itu sendiri. Satuan kerja
atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam perseroan adalah organ-organ. Dengan
demikian struktur korporasi sebenarnya terdiri dari organ-organ, akan tetapi dalam
kaitan ini persoalannya, organ-organ apa saja yang dapat dimasukan ke dalam
struktur korporasi. Sistem common law dan civil law ternyata tidak secara seragam
mengatur mengenai struktur tersebut.
Cornelius dan Natalie Mulia yang mengutip Piarlie Koh dan Victor Yeo pada intinya mengemukakan hukum korporasi menurut sistem common law seperti yang dianut oleh Singapura menganut single-tier management structure dimana manajemen perseroan di bawah kontrol penuh dari Direksi. Dalam hal ini ditegaskan pula, Sistem common law tersebut tidak mengenal lembaga Dewan Komisaris.16
C. Kompetensi Perseroan Terbatas
1. Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS)
Pasal 1 angka 4 UUPT menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang
selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang
tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan
16
dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal tersebut menentukan
pengertian RUPS itu sendiri dan apabila dibandingkan ternyata rumusan
pengertiannya berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UU. No. 1
Tahun 1995 atau UUPT lama yang menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang
Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak
diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Dari rumusan pada UUPT lama tampak dengan jelas undang-undang
menempatkan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan.
Sedangkan dalam rumusan UUPT yang baru hal tersebut tidak kelihatan. UUPT
tampak lebih menekankan perbedaan wewenang yang dimiliki RUPS dengan
wewenang organ-organ lainnya.
Penekanan di atas tidaklah mengurangi kedudukan RUPS sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Kedudukan ini menjadi nyata karena UUPT juga menentukan
pada pokoknya kekuasaan RUPS hanya dapat dibatasi oleh undang-undang Perseroan
Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Penelusuran
terhadap UUPT pun menunjukkan kompetensi RUPS memiliki ruang lingkup yang
luas. Dari hasil identifikasi terdapat sebanyak 34 pasal UUPT yang menentukan
2. Direksi
Seperti halnya RUPS, maka pengertian mengenai Direksi juga dituangkan dalam UUPT. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baikdidalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggarandasar.
Dari pengertian di atas tercermin beberapa hal penting antara lain penegasan
yang mendasar seperti halnya terhadap RUPS maka Direksi pun juga dinyatakan
merupakan organ perseroan, Direksi memiliki tanggungjawab penuh atas pengurusan
perseroan, dan memiliki kewenangan mewakili perseroan.
Ketentuan bahwa direksi sebagai agen dari perseroan ini sejalan dengan yang
berlaku dalam sistem hukum common law. Selain direksi, karyawan (officer) atau
orang lain juga dapat mewakili perseroan. Sehubungan dengan itu, undang-undang
membatasi dengan ketentuan bahwa karyawan dapat mewakili perseroan dengan
dibuatkannya kuasa tertulis dari direksi kepada salah satu karyawan perseroan atau
lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum
tertentu. Dalam hal ini, direksi bertindak selaku pimpinan dari karyawan atau orang
lain yang diberika kuasa.17
Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur direksi sebagai agen
dari perseroan, undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak mengatur lebih lanjut.
Secara umum, kewenangan direksi untuk memberikan kuasa atau mewakilkan
17
tugasnya tersebut tersebut diatur dalam anggaran dasar perseroan, seperti pemberian
kuasa untuk tugas-tugas mengenai pengangkatan dan pemberhentian pegawai,
pemberian penghargaan, atau pengenaan sanksi.
Direksi tidak diperbolehkan melakukan hal-hal dengan atas nama perseroan
atau menggunakan perseroan yang bertujuan bukan untuk kepentingan perseroan atau
bertentangan dengan tujuan perseroan. Direksi tidak boleh mengedepankan
kepentingan pribadi atau pihak luar perseroan. Direksi tidak dapat melakukan
tindakan yang sekalipun untuk kepentingan perseroan sebagaimana tentukan dalam
anggaran dasarnya. Misalnya, suatu perseroan yang di dalam anggaran dasarnya
ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan jasa pengerah tenaga kerja, tetapi
direksi melakukan kegiatan import. Sekalipun kegiatan tersebut yang dilakukan
direksi sangat menguntungkan perseroan, tetapi direksi dianggap melanggar
ketentuan