2011-2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
ANDRI
109083000032
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
v
Skripsi ini menjelaskan mengenai kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership (TPP) pada tahun 2011-2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan apa saja yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk bisa memenuhi kepentingan ekonominya pada negosiasi perdangangan bebas TPP di kawasan Asia Pasifik. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara.
Kerangka teori yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah teori neoliberal institusionalisme yang dijelaskan oleh Keohane untuk melihat peran institusi dalam menciptakan kerjasama, teori comparative advantage untuk mengetahui pentingnya perdagangan bebas untuk kesejahteraan ekonomi, konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri untuk mengetahui faktor dan tujuan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan. Dari hasil analisa penulis menggunakan kerangka teori diatas, dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat telah menggunakan TPP sebagai instrumen untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang efisien dan rasional.
vi
nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini, tanpa ada dukungan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan beribu-ribu terimakasih kepada kedua orang tua beserta uda-uda dan uni-uni yang selalu memberikan berbagai bentuk dukungan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak A. Alfajri, MA selaku dosen pembimbing yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, motivasi, saran, dan masukan sehingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.
Terimakasih juga kepada Bu Rahmi Fitriyanti dan Bu Mutiara Pertiwi selaku dosen penasehat akademik, Pak Febri Dirgantara selaku dosen penguji, serta seluruh dosen dan staf Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengetahuan selama penulis menimba ilmu di kampus ini.
Penulis juga berterimakasih kepada Amrullah Rafioeddin, sebagai sahabat terbaik yang membantu penulis dalam banyak hal positif, serta sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka duka perkuliahan dan penulisan skripsi: Edwin Saputra, Fajar Shidiq, Dafi Hifzillah, Arif Rahman, Corryatul Filacano, Muhammad Nabil dan Team MAPOKUS 20.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih juga kepada rekan-rekan Hubungan Internasional 2009 A yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembelajaran hingga melalui proses sidang DPS dan sidang skripsi, special mention kepada: Waliyuddin, Robi, Deden, Imam Ojal, Vina, Andi, April, Wati, Hafiz, Agus, Kikay, Fuzi, Enny, Eky, Helmi, Ardhy, Wilda, Eca, Azay, Atina, Aqid, Friska, Nyimas, Abe, Myu, Kasyfi, Ibin, Daus dan Aqmal.
vii
Terimakasih juga kepada seluruh kolega dari berbagai organisasi yang pernah penulis geluti selama berada di uni-life. Global Citizen Corps dengan proyek-proyek sosial dan Qatar experience-nya, Indonesian Student Association For International Studies dengan Model United Nations, International Weeks, ISAFISian quality time-nya, Himpunan Mahasiswa Islam dengan ilmu dan pembelajarannya, dan last but not least, International Studies Club dengan seluruh semangat dan kegiatan-kegiatannya.
Harapan penulis, semoga Allah membalas semua dukungan dan kebersamaan tersebut dengan kebaikan. Mengutip sabda Rasulullah Muhammad SAW, ﺱﺎ ﻟﻠ ﻢﻬﻌﻔ ﺃ ﺱﺎ ﻠﺍ ﺮﻴﺧ. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dengan berbagai kekurangannya. Wallahu’alam.
viii
ABSTRAKSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Pernyataan Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Tinjauan Pustaka ... 10
E. Kerangka Pemikiran ... 11
1. Perspektif Neoliberal Institutionalisme ... 11
2. Teori Comparative Advantage ... 13
3. Kepentingan Nasional ... 14
4. Kebijakan Luar Negeri ... 15
F. Metode Penelitian ... 16
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT DAN KEIKUTSERTAANNYA DI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP ... 19
A. Gambaran Perekonomian Amerika Serikat ... 19
B. Krisis Finansial 2007 ... 22
C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership ... 26
ix
BAB II TRANS PACIFIC PARTNERSHIP ... 34
A. Sejarah Trans Pacific Partnership: TransPacific Strategic Economic Partnership ... 34
B. Potensi Trans Pacific Partnership ... 40
1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomiannya ... 41
2. Perjanjian Abad 21 dan Sindrom Noodle Bowl ... 43
C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation ... 46
BAB IV KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT UNTUK MEMENUHI KEPENTINGAN EKONOMINYA MELALUI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP PERIODE 2011-2013... 49
A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 2011-2012 ... 50
B. Menambah Keanggotaan TPP ... 53
1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011 ... 56
2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP ... 62
a. Korea Selatan ... 63
b. Indonesia ... 64
BAB V PENUTUP ... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 67
x
xi
Gambar I.A Gross Domestic Product Amerika Serikat 2007-2010 (Milyar) ... 5
Gambar II.A Ekspor Impor (Barang dan Jasa) Amerika Serikat ... 21
Gambar II.C.4 Gross Domestic Product Cina ... 32
Gambar III.C.2 Noodle Bowl di Asia Pasifik ... 44
Gambar IV.B Trans Pacific Partnership Tahun 2010 ... 54
xii
APEC : Asia Pacific Economic Cooperation ASEAN : Asoociation of South East Asian Nations DDA : Doha Developement Agenda
FED : the Federal Reserve
FTAAP : Free Trade of the Asia-Pacific
GATT : General Agreement on Tariffs and Trade GDP : Gross Domestic Product
NAFTA : North Amerika Free Trade Agreement OPEC : Organization of the Petroleum Countries
P4 : Pacific 4
SOM : Senior Official Meeting TPP : Trans Pacific Partnership
TPSEP : Trans Pacific Strategic Economic Partnership UNSD : United Nations Statistic Division
xiii
Lampiran 1. Outlines of the Trans Pacific Partnership Agreement... xviii Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan analis senior APEC Carlos Kuriyama.. xxiii Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Prof. Peter A. Petri ... xxv Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan pimpinan Temasek Foundation Centre for
1
A. Pernyataan Masalah
Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan perekonomian terkuat
di dunia. Bukti kekuatan ekonomi itu terlihat dari data statistik yang dikeluarkan
oleh World Bank (2013) bahwa sejak tahun 1961 hingga 2012, Gross Domestic
Product (GDP) Amerika Serikat selalu mengalami pertumbuhan dan juga
mempunyai jumlah terbanyak dari seluruh negara di dunia dengan $539 milyar
pada tahun 1961 dan $16.244 milyar pada tahun 2012 (n.h). Untuk mencapai
kemakmuran itu, Amerika Serikat sudah melakukan perdagangan internasional
sejak dahulu. Seperti yang dijelaskan oleh the United States Trade Representative
(USTR) bahwa proses pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan telah
dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1934 dan berperan penting dalam
perkembangan dan kemakmuran Amerika Serikat (Representative 2013: n.h).
Jika dilihat dari masa ke masa, fokus kebijakan ekonomi internasional
Amerika Serikat terus berubah. Bergsten (2005) menjelaskan bagaimana
perubahan-perubahan itu terjadi. Pada tahun 1960an, kebijakan ekonomi
internasional Amerika Serikat terpusat ke Eropa dikarenakan saat itu kawasan
tersebut merupakan kawasan industri dunia. Pada tahun 1970an fokus Amerika
Serikat berpindah ke negara-negara anggota Organization of the Petroleum
Exporting Countries (OPEC) dikarenakan terjadinya krisis minyak dunia. Tahun
fokus Amerika Serikat pun beralih ke dua negara tersebut. Tahun 1990an
berpindah ke Meksiko melalui North America Free Trade Agreement (NAFTA)
dan negara kawasan Asia Pasifik melalui forum Asia Pacific Economic
Cooperasion (APEC) (h.51). Pada tahun 2000an hingga tahun 2010an, fokus
Amerika Serikat masih berada di kawasan Asia Pasifik.
Williams (2012) menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik mempunyai 40%
populasi dunia dan lebih dari setengah GDP dunia. Pada tahun 2010, lebih dari
tiga perempat negara kawasan Asia-Pasifik mengalami pertumbuhan GDP di atas
3%, mencapai pertumbuhan GDP Amerika Serikat (h.2). Cossa, Glosserman,
McDevitt, Patel, Przystup dan Roberts (2009) juga menjelaskan bahwa kawasan
Asia Pasifik saat itu telah menjadi kawasan penting bagi Amerika Serikat
daripada sebelumnya. Geopolitik berpindah semakin cepat sebagai akibat dari
krisis ekonomi global yang terjadi (h.9). Namun APEC bukanlah satu-satunya
wadah Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan
Asia Pasifik. Institusi internasional lainnya adalah Trans Pacific Partnerhsip
(TPP). Seperti yang dijelaskan oleh USTR (2011) bahwa TPP adalah elemen
kunci dari strategi administrasi Obama untuk membuat keterlibatan Amerika
Serikat di kawasan Asia Pasifik menjadi prioritas utama (n.h).
TPP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang masih berada dalam
proses negosiasi yang dibuat oleh beberapa negara anggota APEC. Namun,
walaupun TPP masih berada dalam proses negosiasi, sebenarnya perjanjian
perdaganan bebas ini merupakan pengembangan dan lanjutan dari perjanjian yang
dan Selandia Baru yang dikenal dengan nama Trans Pacific Strategic Economic
Partnership (TPSEP). Selain itu pada tahun 2011, TPP mengeluarkan garis besar
institusi ini, sehingga memberikan gambaran mengenai latar belakang, instrumen,
konsep, dan tujuan dari negosiasi perdagangan ini. Beberapa tujuan dari
kerjasama ekonomi ini adalah membentuk area perdagangan bebas antara negara
anggota, seperti yang terdapat dalam pembukaan perjanjian TPSEP bahwa tujuan
dari kerjasama ini adalah: mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama di
antara anggota melalui liberalisasi dan investasi untuk menciptakan kemitraan
strategis di kawasan Asia Pasifik, membangun aturan jelas terkait perdagangan,
dan sebagainya (TPSEP 2005:1-2).
Mengenai sejarah TPSEP dan peralihannya menjadi TPP, Kuriyama (2011)
menjelaskan bahwa saat Leader’s Summit APEC di Meksiko pada tahun 2002, pemimpin negara dari Singapura, Chili, dan Selandia Baru mengumumkan bahwa
mereka akan melakukan negosiasi untuk pembuatan perjanjian perdagangan
bebas. Negosiasi negara-negara tersebut berlangsung sejak September 2003
hingga Juli 2005 dengan menghasilkan TPSEP. Sedangkan Brunei Darussalam
baru mengikuti proses negosiasi TPSEP sejak pertemuan kedua pada Juli 2004
sebagai observer dan akhirnya menyatakan diri bergabung dengan kerjasama
tersebut pada April 2005. Setelah TPSEP berjalan, beberapa negara APEC lainnya
tertarik untuk bergabung dengan perjanjian tersebut. Gabungan antara negara
TPSEP dan beberapa negara APEC lainnya ini lah yang kemudian disebut dengan
Amerika Serikat merupakan negara APEC pertama yang mengumumkan
diri untuk melakukan engagement dengan TPSEP pada tahun 2008 (Office of the
USTR 2008: n.h). Namun, kebijakan Amerika Serikat tersebut menimbulkan
pertanyaan, mengingat perundingan pembentukan kerjasama tersebut sudah
dimulai sejak tahun 2002 dan Amerika Serikat baru bergabung pada 2008. Salah
satu hal yang bisa menjelaskan hal tersebut adalah fenomena yang terjadi di
Amerika Serikat pada tahun 2008 yaitu krisis finansial yang sudah bermula sejak
tahun 2007.
Bagi Amerika Serikat, krisis finansial dapat mengganggu kestabilitasan
negaranya. Seperti yang dijelaskan oleh Nanto (2009) bahwa gejolak keuangan
menyinggung kepentingan nasional mendasar untuk melindungi keamanan
ekonomi Amerika Serikat. Gema krisis finansial tidak hanya dirasakan di Wall
Street dan Main Street saja tetapi juga berdampak pada ekspor dan impor, tingkat
pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (h.3).
Media Masa Amerika Serikat, New York Post melaporkan bahwa krisis finansial
telah membuat Amerika Serikat kehilangan $12,8 triliun perekonomiannya
dengan 23,1 juta pengangguran, $19 triliun jumlah kekayaan yang lenyap, 46,2
Juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan (Kennan 2012: n.h).
Selain itu, krisis finansial juga mengakibatkan terjadinya resesi di Amerika
Serikat. Seperti yang digambarkan oleh Gambar I.A bahwa GDP Amerika Serikat
yang awalnya berjumlah $14.720 milyar pada tahun 2008 menurun menjadi
Amerika Serikat tersebut, ia harus segara membangkitkan lagi perekoniannya
untuk mengembalikan kesejahteraannya.
Gambar I.A Gross Domestic Product Amerika Serikat 2007-2010
(Milyar)
Sumber : World Bank 2013
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sejak dahulu Amerika Serikat
mengandalkan pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan untuk
meningkatkan perekonomiannya. Dikarenakan Amerika Serikat tengah berada
dalam keadaan krisis ekonomi pada tahun 2008, dan di saat itu terdapat TPP yang
merupakan kerjasama ekonomi yang mempunyai konsentrasi utama dalam hal
liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Pasifik, maka keputusan Amerika
Serikat untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut adalah untuk
memulihkan kembali perekonomian negaranya yang rusak akibat krisis finansial
yang bermula pada tahun 2007. Dengan kata lain, TPP akan menjadi wadah bagi
Amerika Serikat untuk melebarkan perdagangan internasionalnya, agar stagnansi
perekonomian yang dialaminya bisa teratasi. Hal ini terlihat dari pidato Susan C. $14.480
$14.720
$14.418
$14.958
Schwab, pejabat USTR pada tahun 2008 saat mengumumkan keikutsertaan
Amerika Serikat di TPSEP:
“… to announce the launch of negotiations for the United States to join the comprehensive Trans Pacific Strategic Economic Partnership Agreement. …at a time when attention is focused on the challenges confronting the financial markets and our economy…… We need to ensure that our trade will continue to expand so that it can contribute
to U.S. economic growth in the future. Strengthening our economic
ties to the Trans Pacific region is vital to achieving this goal because
of the economic significance of this region now and in the future.
(USTR 2008)”
“…untuk mengumumkan peluncuran negosiasi Amerika Serikat dalam Trans Pacific Strategi Economic Partnership Agreement.…pada saat ini perhatian fokus pada tantangan yang dihadapi pasar finansial dan perekonomian kami.. Kami perlu memastikan bahwa perdangannya kami akan terus melakukan
ekspansi sehingga bisa berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kedepannya. Memperkuat hubungan ekonomi kami
ke kawasan trans pacific adalah hal penting untuk mencapai tujuan ini
dikarenakan signifikansi ekonomi kawasan ini pada saat ini dan masa mendatang”.
Hal ini menjadi menarik mengingat Amerika Serikat sudah mempunyai 20
perjanjian perdagangan bebas bilateral dan anggota perjanjian perdagangan
multilateral World Trade Organization (WTO), Amerika Serikat justru tertarik
untuk bergabung dengan TPP. Profesor Bernard K. Gordon (2012), menjelaskan
bahwa Amerika Serikat memerlukan TPP dikarenakan negara tersebut
memerlukan kerjasama ekonomi yang lingkupannya tidak terlalu multilateral
seperti WTO dan tidak sekecil bilateral. Mengingat negosiasi Doha Developement
memberikan hasil dan keuntungan perjanjian bilateral yang tidak maksimal (h.
1-2).
Menurut Petri, Plummer, dan Zhai (2011) kepentingan Amerika serikat di
TPP adalah pertama, TPP akan menciptakan kesepakatan ekonomi yang
komprehensif (mencakup isu-isu yang tidak ada dari Doha Round seperti jasa,
investasi, kompetisi, dan regulasi yang koheren) dan bentuk perjanjian yang
modern sebagai alternatif kesepakatan di Kawasan Asia Pasifik yang melibatkan
Amerika Serikat. Kedua, TPP akan mendorong integrasi lebih dalam di Kawasan
Asia Pasifik. Ketiga, TPP akan menyediakan model yang bisa
mengkonsolidasikan perjanjian perdagangan yang ada sehingga bisa memetakan
jalan keluar dari the Noodle Bowl, yaitu perjanjian perdagangan internasional
yang terlalu banyak sehingga tidak terorganisir (Baldwin 2008:47), yang ada di
Asia Pasifik dan sekitarnya. Keempat, TPP akan membantu memperluas pasar
ekspor Amerika Serikat ke Asia (h. 6-7).
Namun, ternyata TPP mempunyai kekurangan yang membuat Amerika
Serikat tidak bisa sepenuhnya mencapai tujuannya, terutama pembukaan pasar
dan perluasan perdagangan ke kawasan Asia Pasifik. Kekurangan tersebut yakni
sedikitnya negara kawasan yang bergabung dengan TPP. Walaupun TPP
merupakan kerjasama ekonomi yang dibuat oleh negara anggota APEC dan
merujuk kepada Artikel 20.6 perjanjian TPSEP bahwa semua negara anggota
APEC dan negara lainnya boleh bergabung, namun hingga tahun 2010 hanya
ekonomi tersebut, yaitu: Australia, Selandia Baru, Brunei Darussalam, Singapura,
Malaysia, Chili, Peru, Vietnam, dan Amerika Serikat itu sendiri.
Amerika Serikat tentunya tidak bisa memenuhi kepentingan ekonominya
secara maksimal di kawasan Asia Pasifik melalui TPP dengan sumber daya yang
terbatas. Di samping negara anggota TPP yang hanya berjumlah sembilan negara,
Amerika Serikat juga sudah mempunyai perjanjian perdagangan bebas bilateral
dengan empat negara anggota, yaitu: Singapura, Australia, Chili, dan Peru.
Dengan kata lain, kesempatan Amerika Serikat untuk melakukan perdagangan
bebas melalui TPP di kawasan Asia Pasifik hanya terbuka ke Selandia Baru,
Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam.
Keempat negara tersebut cukup potensial bagi Amerika Serikat untuk
melakukan perdagangan bebas. Melihat dari data perdagangan Amerika Serikat ke
negara-negara tersebut, secara kuantitas perdagangan masih sedikit dan bahkan
defisit. Seperti ekspor yang dilakukan Amerika Serikat ke Brunei Darussalam
hanya sebanyak 0,2 milyar dan Selandia Baru hanya senilai 3,6 milyar. Sedangkan
terjadi defisit perdaganan dengan Malaysia senilai 11,6 milyar dan dengan
Vietnam senilai 13,1 milyar (Fergusson 2012:1). Sehingga dengan perdagangan
bebas bisa membuat penambahan kuantitas dan pengurangan defisit perdagangan.
Namun, jika dilihat dari jumlah perdagangan Amerika Serikat ke TPP hanya
sebesar 5% pada tahun 2010. Potensinya tidak terlalu besar jika dibandingkan
dengan perdaganan Amerika Serikat ke negara Asia Pasifik yang berjumlah 56%
(Williams 2012:8). Sehingga Amerika Serikat perlu memikirkan dan
bagi negara tersebut dalam memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia
Pasifik.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kepada kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan kekurangan
yang dimiliki oleh kerjasama ekonomi Trans Pacific Partnerhsip tersebut, maka
penulisan penelitian ini akan dibatasi dari tahun 2011 hingga 2013 dengan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apa kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya
melalui Trans Pacific Partnership (TPP) pada periode 2011-2013?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa upaya dan kebijakan
Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia
Pasifik dengan menggunakan Trans Pacific Partnership sebagai instrumennya,
mengetahui peran Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dan Trans Pacific
Partnership, dan mengetahui kontribusi perspektif neoliberal institutionalisme,
teori comparative advantage, kepentingan nasional dan konsep kebijakan luar
negeri dalam melihat permasalahan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan Hubungan Internasional terutama dalam hal
kebijkan luar negeri, studi kawasan Asia Pasifik, dan politik global Amerika
D. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia
Pasifik adalah hal yang sudah lazim dibahas, baik dari segi politik, ekonomi,
stratejik, dan sebagainya. Namum belum terlalu banyak penelitian yang lebih
fokus mengenai kepentingan ekonomi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik
dan Trans Pacific Partnership. Pembahasan beberapa tinjauan pustaka tentang
Amerika Serikat dan TPP di bawah ini diharapkan dapat memperlihatkan bahwa
penelitian ini tidak hanya menarik untuk dibahas, tapi juga penting untuk
dilakukan.
Studi yang dilakukan oleh Ian F. Ferguson dan Bruce Vaughn pada
Desember 2011 dalam tulisan “Trans Pacific Partnership Agreement”,
menjelaskan TPP secara umum serta tujuan dan kepentingan Amerika Serikat
bergabung dengan TPP. Studi tersebut juga menjelaskan mengenai bidang-bidang
yang menjadi fokus Amerika Serikat di perjanjian tersebut serperti produk
pertanian, kekayaan intelektual, lingkungan, buruh, dan sebagainya. Studi ini
sering di-cited oleh beberapa buku dan tulisan yang membahas mengenai Amerika
Serikat dan TPP.
Pada September 2012, Ian F. Ferguson juga melakukan penelitian dengan
William Cooper, Remy Jurenas, dan Brock R. William dalam tulisan “The Trans
Pacific Partnership Negotiations and Issues for Congress”. Studi ini membahas
TPP dalam beberapa hal serperti TPP dan kebijakan perdagangan Amerika
Serikat, TPP dan perjanjian perdagangan Asia Pasifik lainnya, TPP dan WTO, dan
Amerika Serikat dan negara TPP lainnya, bagaimana substansi dari negosiasinya,
area-area yang menjadi bahan negosiasi, dan bagaimana domestik merespon TPP
tersebut.
Studi lainnya dilakukan oleh Brock R. Williams pada Februari 2012 dengan
tulisannya ‘Trans Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and
Economic Analysis’. Studi ini menjelaskan kepentingan ekonomi Amerika Serikat
di Trans Pacific Partnership dengan memberikan analisis ekonomi komparatif
dari negara-negara yang sedang melakukan negosiasi dengan institusi tersebut.
Penelitian ini menganalisa kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi
kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik dengan menggunakan TPP
sebagai instrumen utamanya. Penelitian ini tentunya akan berbeda dengan
penelitian sebelumnya, di samping karena belum ada studi dan penelitian yang
membahas hal ini, studi ini bersifat deskriptif analitis dan menggunakan
perspektif neoliberal institusionalisme, teori comparative advantage, kepentingan
nasional, dan konsep kebijakan luar negeri.
E. Kerangka Pemikiran
Untuk membantu membentuk kerangka berfikir yang akademis dalam
mendudukan dan menjawab masalah penelitian yang telah dirumuskan, penelitian
ini menggunakan perspektif neoliberal institusionalisme, teori komparative
advantage, konsep kepentingan nasional, dan kebijakan luar negeri.
1. Perspektif Neoliberal Institutionalisme
negara sebagai aktor utama. Institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan praktek-praktek yang menetukan peran, memaksakan tindakan, dan membentuk pengharapan (Keohane 1989:3). Menurut neoliberal institusionalisme sifat dasar interaksi antara negara yakni kompetitif dan kadang-kadang terjadi konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama pada bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya (Keohane 1989:3).
Perspektif neoliberal institusionalisme mebantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama (Keohane 1989:2). Mengenai institusi ini, kaum neoliberal institusionalisme percaya akan asumsi rasionalitas. Sehingga negara sebagai aktor utama yang rasional akan lebih memilih bekerjasama daripada berkonflik, karena dengan bekerjasama mereka saling mendapatkan keuntungan. Dengan adanya kerjasama tersebut, maka akan tercipta interdependensi yang merupakan refleksi dari perdamaian.
Aktor rasional (individu maupun negara) diasumsikan bersifat atomistik,
mementingkan diri sendiri, dan rasional. Aktor akan mementingkan diri mereka
sendiri untuk memenuhi kepentingannya dan ia juga rasional yang mampu
membangun cara yang paling efektif dan efisien untuk mewujudkan kepentingan
mereka dalam kendala yang mereka hadapi (Burchill 1996:192). Dikarenakan
aktor rasional itu bersifat profit-seeking, maka ia akan melakukan kalkulasi
untung dan rugi dalam mengambil suatu kebijakan agar mengeluarkan kebijakan
yang mendapatkan keuntungan yang maksimal (Snidal 2002:75).
negara sebagai aktor yang utama merupakan aktor rasional. Keempat, perilaku negara sebagai aktor utama dipengaruhi beberapa faktor seperti sistem internasional, insentif, dan interdependensi (Keohane 1989:3).
2. Teori Comparative Advantage
Teori comparative advantage berasal dari pemikiran dari David Ricardo
yang berargumen bahwa suatu negara akan mendapatkan keuntungan jika dapat
menghasilkan atau memproduksi sesuatu yang dibutuhkan secara efisien daripada
negara lain, dan akan mendapatkan keuntungan juga jika melakukan spesialisasi
dalam produksi dan menggunakan keuntungan dari spesialisasi tersebut untuk
membeli hal-hal yang diinginkan di tempat atau negara lain (Patrick Love dan
Lattimore Ralph 2009: 26). Kemampuan negara dalam memproduksi barang dan
jasa secara efisien (dengan harga yang murah) dapat menjadi faktor pendukung
untuk melakukan perdagangan (Burchill 1996: 73)
Menurut teori comparative advantage, perdagangan bebas bagaimanapun
adalah cara yang lebih damai untuk mencapai kekayaan nasional. Masing-masing
negara akan lebih baik secara ekonomi dengan melakukan perdagangan bebas
daripada negara tersebut berusaha untuk mandiri (tidak melakukan perdagangan)
dengan alasan nasionalisme (Burchill 1996: 63).
Perdagangan bebas juga akan menyatukan domestik dan menyatukan
berbagai individu-individu dalam satu komunitas. Hal ini dikarenakan hambatan
perdagangan telah mendistorsi persepsi dan hubungan antar individu sehingga
menyebabkan ketegangan internasional. Sedangkan perdagangan bebas akan
memperluas jangkauan dan mendorong pertemanan di tingkat internasional.
antara bangsa di dunia akan menyatukan mereka dalam suatu kerjasama yang
damai. Demikian pula Ricardo percaya bahwa perdagangan bebas mengikat
negara dalam kebersamaan (h.63).
3. Kepentingan Nasional
Konsep kepentingan nasional oleh kaum neoliberal berakar dari konsepsi
Adam Smith bahwa kebiasaan individu meraih kemakmuran sendiri merupakan
kondisi yang normal dalam kehidupan manusia. Lalu kepentingan masing-masing
individu tersebut terakumulasi menjadi satu yang kemudian dikenal dengan
kepentingan nasional. Kepentingan nasional itu juga menjadi dasar untuk
pembangunan kedamaian global, salah satunya dengan melakukan perdagangan
bebas (Burchill 2005:104).
Kaum Neoliberal Institusional juga mengadopsi pemahaman kaum realis
dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Kaum realis seperti Rosenau (2006)
menjelaskan bahwa kepentingan nasional juga dikenal dengan istilah national
honor, the public interest, dan the general will (h.247). Selain itu Holsti (1992)
menyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan alat untuk menganalisis
tujuan dari kebijakan luar negeri suatu negara (h.168). Rosenau (2006) juga
menyatakan bahwa konsep ini digunakan sebagai alat analisa kebijakan luar
negeri dan sebagai instrumen tindakan politik internasional. Sebagai alat analisis,
Ia digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, atau mengevaluasi sumber
atau kecukupan kebijakan luar negeri suatu negara. Sebagai instrumen dari
tindakan politik internasional, ia berfungsi sebagai sarana membenarkan, mencela,
Perbedaan mendasar antara kaum realis dan neoliberal dalam hal penerapan
kepentingan nasional. Kaum realis berasumsi bahwa aktor concern dalam hal
memaksimalkan relative gains mereka, yaitu keuntungan yang didapatkan negara
bersifat relatif, tergantung dari berapa besar kontribusi yang diberikan suatu
negara. Neoliberal Institusionalisme berasumsi bahwa dalam hal memenuhi
kepentingan nasional, aktor negara concern dalam hal memaksimalkan absolut
gains, yaitu keuntungan yang sama didapatkan oleh masing-masing negara dalam
suatu kerjasama (Burchill 2005: 122).
Keohane juga mengkritik pandangan kaum realis mengenai pemahaman
implementasi kepentingan nasional, terutama pandangan Morghentau yang
mengatakan bahwa kepentingan nasional lebih didahului daripada tujuan atau
kepentingan internasional. Menurutnya, Morghentau melihat kepentingan nasional
secara dangkal, tanpa memperhatikan efek dari tindakan aktor pada isu-isu atau
nilai-nilai lain, atau dengan cara yang lebih berpandangan jauh, dengan
mempertimbangkan dampak melanggar aturan dan norma-norma internasional
oleh tujuan negara lain. Hal yang terpenting adalah bagaimana kepentingan
didefinisikan, dan bagaimana institusi mempengaruhi negara untuk
mendefinisikan kepentingan mereka sendiri (Keohane 2005: 99-100).
4. Kebijakan Luar Negeri
Secara umum, kebijakan luar negeri merupakan suatu upaya, perangkat
formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan,
dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional
negeri untuk menjelaskan bagaimana individu, kekuatan sosial (kapitalisme dan
pasar), dan institusi politik bisa memberikan efek langsung kepada hubungan luar
negeri (Smith, Hadfield, dan Dunne 2008: 54).
Keohane seperti yang di kutip oleh Carlsnaes (2008) menjelaskan bahwa
pembuatan kebijakan luar negeri sebagai proses pembatasan pilihan pada negara
untuk bertindak secara rasional dan strategis, dimana pembatasan ini bukan dalam
hal kapabilitas power yang dihadapi negara di internasional, tetapi dalam hal
sistem anarkis yang menumbuhkan ketidakpastian. Oleh karena itu masalah
keamanan, harus tetap dipengaruhi oleh penciptaan rezim untuk memberikan
informasi dan aturan umum, sehingga mendorong kerjasama internasional
(h.121).
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik
studi pustaka. Menurut Prof. Dr. Sugiyono (2009), metode kualitatif merupakan
metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, yang
mana seorang peneliti diagggap sebagai instrumen kunci (h.9). Pendapat lain, Dr
Husaini Usman (2009) menyatakan bahwa alat pengumpul data atau instrumen
penelitian dalam metode kualitatif adalah peneliti. Jadi, seorang peneliti
merupakan key instrument dalam pengumpulan data dengan menggunakan teknik
pengumpulan data seperti obeservasi partisipasi, wawancara dan dokumentasi.
Penelitian Kualitatif pada dasarnya dilakukan dalam situasi yang wajar (natural
setting) dan data yang dikumpulkan juga berupa data yang umumnya bersifat
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak bersifat kaku, melainkan selalu
disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Selain itu juga, hubungan antara peneliti
dengan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak dapat dipisahkan (h.169).
Skripsi ini menggunakan data premier dari website resmi pemerintahan
Amerika Serikat, APEC, dan institusi-institusi lain yang penulis bahas dalam
penelitian ini. Selain itu, data dikumpulkan melalui wawancara dengan staf dan
senior analis APEC, Carlos Kuriyama, yang telah menerbitkan beberapa
penelitian, salah satunya the Mutual Usefulness between APEC and TPP,
kontributor analis di Peterston Institute for International Economic Prof. Peter A.
Petri yang telah mengeluarkan beberapa penelitian terkait TPP, salah satunya The
Trans Pacific Partnership and Asia-Pacific Integration: A Quantitative
Assessment, dan Kepala Temasek Foundation Centre for Trade & Negotiations of
Rajaratnam School of International Studies, Deborah K. Elms, yang telah
mengeluarkan puluhan tulisan terkait TPP.
Skripsi ini juga menggunakan data dari media-media internasional dan
lokal, jurnal-jurnal terkait yang telah penulis kumpulkan dari Information
Research Center kedutaan Amerika Serikat dan American Corner yang terdapat di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:
BAB I Pendahuluan A. Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian
E. Kerangka Pemikiran
BAB II. Perekonomian Amerika Serikat dan Keikutsertaannya di Trans Pacific Partnership
A. Gambaran Amerika Serikat B. Krisis Finansial 2007
C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership
1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial 2. Potensi Asia Pasifik
3. Potensi Trans Pacific Strategic Economic Partnerhsip 4. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral 5. Pivot to Asia dan the Rise of China
BAB III. Trans Pacific Partnership
A. Sejarah Trans Pacific Partnership: Trans Pacific Strategic Economic Partnership
B. Potensi Trans Pacific Partnership
1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomiannya 2. Perjanjian Abad ke-21 dan Sindrom Noodle Bowl
C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation
BAB IV. Kebijakan Amerika Serikat dalam Memenuhi Kepentingan Ekonominya di Trans Pacific Partnerhsip Periode 2011-2013
A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 2011-2012
B. Menambah Keanggotaan TPP
1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011
2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP a. Korea Selatan
b. Indonesia
19
Untuk mengetahui kebijakan Amerika Serikat dalam memenuhi kepentingan
ekonominya melalui Trans Pacific Partnership, maka perlu mengetahui keadaan
perekonomian Amerika Serikat beserta faktor yang menyebabkan negara ini
bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut. Bab ini akan menjelaskan
gambaran ekonomi Amerika Serikat, krisis finansial 2007, dan keikutsertaan
Amerika Serikat di Trans Pacific Partnership.
A. Gambaran Perekonomian Amerika Serikat
Amerika Serikat merupakan developed country yang mempunyai
perekonomian terkuat di dunia. Data statistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia
menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 hingga 2012, pendapatan nasional Amerika
Serikat secara konsisten berada di peringkat pertama sebagai negara dengan
pendapatan terbanyak di dunia dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tidak
hanya itu, pendapatan negara yang berjumlah $15.684 M pada tahun 2012
tersebut besarnya hampir seperempat dari pendapatan semua negara. Jika dibagi
dengan jumlah penduduknya, maka pendapatan per kapita negara tersebut sebesar
$48.100, jauh di atas pendapatan perkapita rata-rata dunia yaitu $11.800 (Bank
Kekayaan Amerika Serikat tersebut juga di dukung dengan sumber daya
yang melimpah. Sumber daya manusia dan alam yang dimilikinya bisa
menjadikan negara ini sebagai negara produsen energi terbanyak di dunia, negara
yang mempunyai infrastruktur baik dan teknologi maju, dan negara yang
mempunyai produktivitas tinggi yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang
bernilai $40 milyar perharinya (Friedman 2012:4).
Selain sumber daya berlimpah, kemakmuran yang dimiliki Amerika Serikat
juga didapati dari aktifitas perdagangan bebas yang sudah dilakukan sejak dahulu.
Seperti yang dijelaskan oleh the United States Trade Representative (USTR)
bahwa proses pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan telah dimulai di
Amerika Serikat pada tahun 1934 dan berperan penting dalam perkembangan dan
kemakmuran Amerika Serikat (Office of the USTR 2013:n.h).
Perdana Menteri Amerika Serikat ke 47, Cordel Hull pada tahun 1948
pernah mengatakan bahwa perdagangan bebas:
“dovetailed with peace; high tariffs, trade barriers, and unfair economic competition, with war. … If we could get a freer flow of trade … freer in the sense of fewer discriminations and obstructions … so that one country would not be deadly jealous of another and the living standards of all countries might rise, thereby eliminating the
economic dissatisfaction that breeds war, we might have a reasonable
chance of lasting peace(Friedman 2012:117)”
"serupa dengan kedamaian; (sedangkan) tarif tinggi, hambatan
perdagangan, dan persaingan ekonomi yang tidak adil, (sama) dengan
perang. Jika kita bisa mendapatkan aliran bebas perdagangan... dalam
arti lebih sedikit diskriminasi dan penghalang... maka satu negara
tidak akan iri dengan (negara) lain dan standar hidup semua negara
menghasilkan perang, kita bisa memiliki kesempatan yang wajar
perdamaian abadi."
Pada tahun 1948 tersebut, Amerika Serikat beserta 22 negara lainnya
menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang berisi
seperangkat aturan internasional yang secara signifikan mengurangi tarif dan
hambatan lain untuk arus perdagangan internasional. Pertemuan anggota GATT
terus dilakukan, dan anggota semakin bertambah dari masa ke masa, hingga tahun
1995 terciptalah World Trade Organization (WTO) di Jenewa, Swiss yang salah
satu wewenangnya adalah mengawasi kepatuhan negara anggota dengan
perjanjian perdagagan (Friedman 2012:117). Sehingga dengan demikian proses
GATT telah berkontribusi secara umum kepada perekonomian dunia dalam hal
aktivitas perdagangan dan penurunan tarifnya, secara khusus kepada kemakmuran
Amerika Serikat.
Gambar II.A. Ekspor Impor (Barang dan Jasa) Amerika Serikat
Sumber: World Trade Organization 2013 $-
$500.000 $1.000.000 $1.500.000 $2.000.000 $2.500.000 $3.000.000
Gambar III.A menjelaskan bahwa, meskipun perdagangan Amerika Serikat
selalu defisit dari segi balance of tradenya, namun terus mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun. Awalnya total ekspornya dari tahun 1982 - 1988 masih di bawah
$500 milyar, di tahun 2012 sudah berada di atas $2 Triliun. Sedangkan untuk
impor, tahun 1982 – 1985 masih berada di bawah $500, di tahun 2012 sudah
melebihi $2,5 Triliun. Sehingga dengan perdagangan yang terbuka, dinamis,
kompetitif, dan nilai perdagangan yang sebesar itu tidak hanya menjadikan
Amerika Serikat sebagai negara perekonomian terbesar di dunia, tetapi juga
negara ekportir dan importir terbesar di dunia yang selalu menjadi pilihan terbaik
untuk melakukan bisnis dan investasi (Office of the USTR 2013:n.h).
Total perdagangan dengan jumlah sebesar itu tentunya membawa benefit
yang banyak bagi Amerika Serikat. USTR (2013) menjelaskan bahwa kegiatan
ekspor dan impor telah membuka 9,8 juta lapangan pekerjaan, mermberikan
pekerjaan yang lebih produktif dengan standar gaji tinggi, memperbanyak jenis
produk untuk konsumen dan bisnis, dan mendorong investasi dan pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat (Office of the USTR 2013: n.h)..
B. Krisis Finansial 2007
Perekonomian Amerika Serikat yang kuat, tidak menjamin negaranya bisa
bebas dari krisis. Bermula dari tahun 2007, Amerika Serikat dan dunia
menghadapi krisis finansial global. Banyak pendapat mengenai penyebab
terjadinya krisis finansial tersebut seperti housing bubble di Amerika Serikat,
lembaga penyalur kredit rumah Amerika Serikat yang tidak bijaksana dan tidak
lainnya (Jickling 2009:5-10). Namun dari sekian literatur yang ada, krisis finansial
tersebut memang berakar dari Amerika Serikat.
Krisis bermula di saat banyaknya muncul bisnis subprime mortgage dalam
bentuk properti pada tahun 2000-an. Subprime mortgage merupakan kebalikan
dari prime mortgage, yaitu pemberian kredit kepada nasabah atau konsumen yang
memiliki sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama
sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran
subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200
miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005 (Qomariah 2009:n.h). Dilihat
dari peningkatan tersebut, tentunya terdapat banyak properti dan lembaga
penyalur properti di Amerika Serikat saat itu, sehingga berbagai cara dilakukan
para penyalur untuk memasarkan produk tersebut, salah satu yang terkenal adalah ‘produk 2/28’.
Produk 2/28 ini memiliki fitur fix rate pada dua tahun pertama dan akan
berubah pada akhir tahun kedua menjadi adjustable rate untuk 26 tahun sisa
kreditnya. Pada saat suku bunga kredit berubah, pembayaran bulanan konsumen
dapat meningkat secara drastis. Hal ini menyebabkan konsumen yang memang
kurang layak kredit mengalami kesusahan membayar cicilan, dan kemudian gagal
bayar atau default (Kusuma 2007:n.h).
Gagal bayar konsumen tersebut memicu terjadinya krisis finansial global,
hal ini dikarenakan subprime mortgage melibatkan banyak lembaga investasi dan
investor dengan melakukan skema sekuritisasi yang rumit. Seperti yang dijelaskan
konsumen, penyalur melakukan sekuritisasi dengan menjual surat kredit ke
mortgage bank. Lalu mortgage bank membuat obligasi yang bisa dijual ke bank
investasi. Kemudian bank investasi menggabungkan beberapa obligasi dan
menjadikanya Mortgage-Backed Security (MBS) agar bisa di jual ke pasar dan
dibeli oleh berbagai lembaga investasi dan investor di seluruh dunia (termasuk
bank komersial, perusahaan asuransi, dan individu). Tidak hanya itu, MBS
tersebut juga didaftarkan kedalam lembaga pemeringkat kredit dan memberi 80%
MBS yang ada dengan grade AAA (tingkat kredit peringkat tertinggi) sehingga
wajar jika banyak investor yang tertarik bermain dipasar subprime mortgage.
Investor MBS akan mendapatkan keuntungan berupa bunga yang dibayarkan oleh
konsumen dan dijamin oleh bank investasi, jika mengalami default, investor akan
tetap mendapatkan agunan yang nantinya bisa kembali di jual dengan harga yang
tinggi (h.15-7).
Namun gagal bayar yang berujung kepada penyitaan rumah yang terjadi
pada subprime mortgage Amerika Serikat pada tahun 2007 itu terjadi terjadi
secara massive. RealtyTrac melaporkan bahwa pada tahun 2007 terdapat
2.203.295 pengajuan penyitaan rumah, meningkat sebanyak 75% dari tahun 2006
(White 2008:n.h). Gagal bayar dan penyitaan tersebut tentunya membuat nilai
properti di Amerika Serikat turun drastis, karena tingginya penawaran dan
sedikitnya permintaan. Selain itu, gagal bayar masal ini juga membuat perusahaan
yang terlibat dalam subprime mortgage, baik perusahaan asuransi, bank komersial
maupun bank investasi mengalami kerugian. Beberapa bank Amerika Serikat
Bank of Amerika, Lehman Brothers, JPMorgan Chase, dan sebagainya.
Sedangkan bank diluar Amerika Serikat yang mengalami kerugian adalah BNP
Paribas Perancis, USB Swiss, HSBC Inggris, Deutsche Bank Jerman, Mizuho
Financial Group Jepang, Fortis Belgia, ICIC India, ICBC Cina dan sebagainya
(BBC News 2008:n.h).
Muhammad Rumi Arrafat (2009) menjelaskan kerugian yang dialami oleh
perusahaan-perusahaan tersebut, pada kenyataannya tidak hanya mempengaruhi
pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan subprime mortgage, namun juga
pihak-pihak yang tidak mempunyai kaitan secara langusng. Investor mengalami
kepanikan karena dipicu oleh penurunan harga saham bank atau lembaga besar
lainnya yang terkena imbas subprime mortgage. Penurunan tersebut dilihat
investor bahwa perusahaan-perusahaan raksasa dan pasar modal Amerika Serikat
sedang mengalami permasalahan serius. Sebagai tindakan rasional, para investor
berlomba-lomba untuk menarik dananya dari pasar modal untuk menghindari
kerugian. Prilaku investor-investor yang menarik dananya tentu saja
menyebabkan kekeringan likuiditas di pasar modal dan krisis finansial terjadi
(Arrafat 2009: 48).
Bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve (FED) telah beberapa
kali mengeluarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga. Seperti
yang dilaporkan media Amerika Serikat bahwa pemerintahnya menurukan suku
bunga menjadi 4,75% pada Agustus 2007 (Edmund et al 2007: n.h). Pemotongan
suku bunga tersebut terus dilakukan oleh Amerika Serikat untuk mendorong
memotong suku bunga, pemerintah Amerika Serikat juga menyuntikkan banyak
dana ke pasar modal dan menyelamatkan beberapa perusahaan raksasa Amerika
Serikat dari kebangkrutan (Qomariah 2009: n.h). Hal tersebut menggambarkan
betapa parahnya keadaan finansial negara perekonomian terkuat di dunia tersebut.
C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership
Di saat Amerika Serikat masih menghadapi gejolak finansial di negaranya,
pada 4 February 2008 pejabat USTR mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan
berusaha untuk bergabung dengan sebuah kerjasama perdagangan bebas yang
dikenal dengan Trans Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) (Office of
the USTR 2008:n.h). Amerika Serikat adalah negara kawasan Asia Pasifik
pertama yang ingin bergabung dengan kerjasama ekonomi yang memang dibuat
untuk negara-negara kawasan tersebut. Beberapa bulan kemudian, negara-negara
lain di kawasan pun ingin bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut, dan
TPSEP pun bertransformasi menjadi TPP. Awalnya TPSEP hanya beranggotakan
Singapura, Selandia Baru, Chili, dan Brunei Darussalam, dan bertransformasi
menjadi TPP dengan tambahan anggota Amerika Serikat, Malaysia, Vietnam,
Australia, dan Peru hingga tahun 2010. TPP saat ini masih berada dalam proses
negosiasi.
Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi Amerika Serikat untuk
bergabung dengan TPP, yaitu:
1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Amerika Serikat
Gejolak keuangan ini telah menyinggung kepentingan nasional mendasar bagi
negara tersebut terutama dalam hal keamanan ekonomi yang dampaknya tidak
hanya disektor finansial saja, tertapi juga pada ekspor dan impor, tingkat
pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (Nanto
2009:3). Selain itu juga terjadi resesi di Amerika Serikat seperti yang
digambarkan oleh Gambar I.A (BAB I) bahwa GDP Amerika Serikat yang
awalnya berjumlah $14.720 milyar pada tahun 2008 menurun menjadi $14.418
pada tahun 2009.
Krisis finansial juga menyebabkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan
raksasa Amerika Serikat, tentunya membuat banyak pegawainya kehilangan
pekerjaan, melemahnya nilai mata uang Amerika Serikat yang juga mata uang
perdagangan internasional membuat berkurangnya kegiatan perdagangan
internasional, sehingga mengurangi pemasukan negara. Seperti yang diwartakan
oleh New York Post (2012) bahwa krisis finansial telah membuat Amerika Serikat
kehilangan setidaknya $12,8 Triliun perekonomiannya dengan 23,1 juta
pengangguran, $19 Triliun jumlah kekayaan negara, dan 46,2 Juta masyarakat
berada di bawah garis kemiskinan (Kennan 2012: n.h).
Untuk menghadapi krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat telah
mengeluarkan beberapa kebijakan moneter, seperti menurunkan suku bunga,
menyuntikkan dana ke pasar modal, menyelamatkan bank-bank besar dari
kebangkrutan, dan sebagainya (BBC News 2009: n.h). Namun Amerika Serikat
juga perlu menyelesaikan permasalahan yang diakibatkan oleh krisis finansial
yang bisa dilakukan oleh negara tersebut adalah dengan melakukan kerjasama
perdangangan dengan negara lainnya untuk mendorong perekonomian,
meningkatkan perdagangan, dan menambah lapangan pekerjaan. Seperti yang
dijelaskan oleh pejabat USTR saat itu Susan Schwab:
“We make this announcement... at a time when attention is focused on the challenges confronting the financial markets and our economy. The
Administration is taking extraordinary measures to address these challenges
and will continue to act to strengthen and stabilize the financial markets.
Meanwhile, we have an opportunity to build on one of the strengths of our
economy... Robust international trade is crucial to the health of the U.S. economy, particularly during the uncertain times we are experiencing.” "Kami membuat pengumuman ini (bergabungnya Amerika Serikat ke
TPSEP)... pada saat perhatian difokuskan pada tantangan yang dihadapi
pasar keuangan dan perekonomian kami. Administrasi (negara) mengambil
langkah-langkah yang luar biasa untuk mengatasi tantangan ini dan akan
terus bertindak untuk memperkuat dan menstabilkan pasar keuangan.
Sementara itu, kami (USTR) memiliki kesempatan untuk membangun salah
satu kekuatan ekonomi kami... Perdagangan internasional yang kuat sangat
penting untuk kesehatan ekonomi Amerika Serikat, terutama selama masa
yang tidak menentu yang kami alami. ]"
2. Potensi Asia Pasifik dan Trans Pacific Economic Strategic Partnership
TPSEP merupakan kerjasama ekonomi yang akan beroperasi dikawasan
Asia Pasifik. Sementara kawasan ini merupakan kawasan dengan perekonomian
yang dinamis di dunia. Seperti yang dijelaskan oleh USTR pada tahun 2008 dalam
sebuah press realese untuk memberitakan kepada media dan masyarakatnya
mengenai bergabungnya Amerika Serikat dengan TPSEP, potensi perekonomian
USTR menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik merupakan pendorong
utama pertumbuhan ekonomi global, yang mewakili hampir 60 persen dari GDP
global dan sekitar 50 persen dari perdagangan internasional. Tingkat rata-rata
pertumbuhan GDP di negara-negara berkembang pesat dan dinamis di kawasan
ini dengan 5,1 persen pada 2006, dibandingkan dengan rata-rata dunia 3,9 persen.
Sejak tahun 1990, total perdagangan barang Asia Pasifik telah meningkat sebesar
300 persen, sedangkan investasi global di wilayah ini telah meningkat lebih dari
400 persen. Perdagangan barang dan jasa Amerika Serikat dengan kawasan ini
melebihi $2 triliun pada 2006, lebih dari dua kali lipat dalam 12 tahun terakhir.
Arus investasi antara Amerika Serikat dan negara-negara Asia Pasifik juga
substansial, foreign direct investment Amerika Serikat di kawasan ini mencapai
$774 milyar pada tahun 2006, naik 10 persen dibanding tahun sebelumnya,
sementara foreign direct investment Asia Pasifik di Amerika Serikat mencapai $
424 miliar, meningkat 8 persen dari tahun 2005 (Sean Spicer dan Gretchen
Hamel 2008:n.h)
Konsep yang ditawarkan oleh TPSEP seperti the 21 century atau high
standard agreement yang disertai dengan keanggotaan yang bersifat ekspansif
terutama bagi negara kawasan Asia Pasifik bahkan di luar kawasan, tentunya
membuat Amerika Serikat tertarik untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi
ini. Terlebih lagi ini berkaitan dengan perekonomian bebas yang sejalan dengan
kepentingan nasional Amerika Serikat. Seperti yang dijelaskan oleh Susan
Schwab:
liberalization and integration across the Trans pacific region and
perhaps beyond. Ultimately, the objective is to expand the
membership of the Agreement to other nations that share our vision of
free and fair trade (Office of the USTR 2008: n.h).”
“Kami sangat tertarik dalam perjanjian high standard (ini) yang berpotensi berfungsi sebagai kendaraan untuk memajukan liberalisasi
perdagangan dan investasi, dan integrasi di seluruh wilayah trans
pasifik dan mungkin di luar (kawasan). Pada akhirnya, tujuannya
adalah untuk memperluas keanggotaan perjanjian ke negara-negara
lain yang berbagi visi kami perdagangan bebas dan adil.”
3. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral
Amerika Serikat telah bergabung dengan kerjasama ekonomi global, World
Trade Organization (WTO) sejak organisasi ini berdiri pada 1 Januari 1995. WTO
adalah organisasi yang mendorong liberalisasi perdagangan dan memonitor 159
negara anggotanya agar menaati peraturan perdagangan internasional. WTO juga
merupakan wadah untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan, pembukaan
perdagangan, dan penyelesaikan sengketa perdagangan internasional (WTO
2013:n.h).
Pada tahun 2001, WTO melansir sebuah negosiasi perdagangan bebas yang
bernama Doha Developement Agenda (DDA) yang bertujuan untuk mereformasi
sistem perdagangan internasional melalui pengenalan hambatan perdagangan yang
lebih rendah dan pengkajian ulang aturan perdagangan. Program kerja ini
mencakup 20 bidang perdagangan. Perjanjian yang buat saat konferensi WTO
keempat di Doha Qatar ini awalnya direncanakan akan terealisasi pada tanggal 1
menargetkan lagi pada tahun 2006. Namun, hingga 2012 DDA tidak memberikan
hasil dan proses negosiasinya telah mengalami kegagalan (Gordon 2012:n.h).
Karena kegagalan tersebut, Amerika Serikat mencoba menjalin kerjasama
perdagangan bilateral dengan Panama, Kolombia, dan Korea Selatan (Gordon
2012:n.h) yang akhirnya terealisasi pada tahun 2011 (Office of the USTR
2013:n.h). Selain dengan tiga negara tersebut, Amerika Serikat sudah memiliki
kerjasama bilateral dengan 17 negara lainnya yaitu Australia, Bahrain, Kanada,
Chile, Costa Rica, Republik Dominican, El Salvador, Guatemala, Honduras,
Israel, Jordania, Meksiko, Maroko, Nicaragua, Oman, Peru, dan Singapore.
Ditambah Korea Selatan, Kolombia, dan Panama pada tahun 2011. Namun
ternyata pendekatan bilateral juga tidak bisa menawarkan banyak keuntungan
(Gordon 2012:n.h). Hal ini disebabkan negara masih memberikan beberapa
hambatan perdagangan kepada Amerika Serikat.
Dikarenakan kegagalan negosiasi organisasi yang berskala global (WTO)
dengan Doha Development Agenda dan tidak maksimalnya keuntungan yang bisa
didapatkan Amerika Serikat dengan melakukan kerjasama perdagangan bilateral,
maka Amerika Serikat pun perlu bergabung dengan institusi yang tidak seluas
WTO dan sesempit bilateral.
4. Pivot to Asia dan the Rise of China
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya kebangkitan Cina adalah sebuah
fenomena internasional. Cina dengan beberapa kebijakannya lambat laun
membangun perekonomiannya. Dimulai dengan kebijakan Open Door Policy
perekonomian dengan dua kebijakan utamanya keterbukaan terhadap investasi
asing serta pembukaan institusi-institusi tertentu secara nation wide (Galbraith
dan Lu 2000:9). Alhasil, Cina bisa menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi
tertinggi di dunia. Seperti yang digambarkan oleh gambar III.C.4, pendapatan
Cina dari tahun ke tahun meningkat tinggi. Sebelum tahun 1998, pendapatan Cina
masih berada di bawah $1.000 milyar, sedangkan pada tahun 2012 sudah melebihi
$8.000 milyar.
Gambar III.C.4. Gross Domestic Product Cina
Sumber: World Bank 2013
Untuk memacu pertumbuhan ekonominya, Cina juga melakukan kerjasama
perdagangan, tidak terkecuali dengan negara-negara Asia. Cina sudah terhubung
dengan beberapa perdagangan di regional Asia seperti Northeast Asia Free Trade $-
$1.000 $2.000 $3.000 $4.000 $5.000 $6.000 $7.000 $8.000 $9.000
Area antara Cina, Korea Selatan, dan Jepang, dan Association of South East Asian
Nations (ASEAN) + 3 yang terdiri dari 10 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia,
Singapura, Vietnam, Thailand, Myanmar, Filipina, Kamboja, Laos, dan Brunei
Darussalam), dan ASEAN + 6 yang beranggotakan negara ASEAN+3 beserta
India, Selandia Baru, dan Australia (5-6). Sehingga Cina memiliki peran penting
di kawasan Asia.
Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan Pivot to Asia, dengan perspektif
bahwa pusat gravitasi kebijakan luar negeri, ekonomi, dan militer bergeser ke
kawasan Asia Pasifik. Salah satu alasannya adalah untuk penyeimbang
kebangkitan dan pengaruh Cina tersebut (Fergusson dan Vaughn 2011:8), dan
dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat menjadikan TPSEP/TPP sebagai
34
Untuk mengetahui kebijakan Amerika Serikat dalam memenuhi kepentingan
ekonominya di kawasan Asia Pasifik melalui Trans Pacific Partnership (TPP),
maka penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan TPP. Mulai dari latar
belakang, struktur, instrumen, dan sebagainya. Bab ini akan membahas mengenai
alat yang dijadikan oleh Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan
ekonominya tersebut (TPP).
A. Sejarah Trans Pacific Partnership: TransPacific Strategic Economic
Partnership
TPP merupakan negosiasi perdagangan yang bermula dari perjanjian
perdaganan khusus yang bernama Trans Pacific Strategic Economic Partnerhsip
(TPSEP). Dalam sela-sela pertemuan sebuah forum ekonomi antara dua puluh
satu negara di kawasan Asia Pasifik yang bernama Asia Pasific Economic
Cooperation (APEC) pada tahun 1990-an, lima negara yaitu Amerika Serikat,
Australia, Singapura, Chili, dan Selandia Baru mengadakan diskusi informal yang disebut ‘Pacific 5 – P5’, untuk mendiskusikan kemungkinan mekanisme
penciptaan perjanjian perdagangan baru antara negara-negara tersebut (Elms dan
Lim 2012:1). Namun, Amerika Serikat dan Australia saat itu tidak antusias dalam
Singapura, Chili, dan Selandia Baru (Elms 2009:4), yang dijuluki sebagai negara
P3.
Negara P3 terus berdiskusi mengenai kemungkinan melakukan kerjasama
ekonomi tersebut. Pada pertemuan APEC tahun 2002 di Meksiko, mereka (P3)
mengumumkan kepada semua negara anggota APEC mengenai intensinya untuk
membuat suatu perjanjian perdagangan khusus. Setelah itu, mereka pun mulai
melakukan negosiasi perdagangan.
Negosiasi antara negara P3 pun mulai dilakukan, baik pertemuan khusus
maupun disela-sela pertemuan APEC. Dari tahun 2003 hingga tahun 2005, P3
sudah melakukan empat kali pertemuan (Elms dan Lim 2012:1). Di tengah
perjalanan negosiasi, tepatnya pada negosiasi ke 5 pada tahun 2004, Brunei
Darussalam meminta untuk bergabung dalam proses negosiasi dengan maksud
ingin menjadi anggota pertama dalam perjanjian tersebut (Foreign Affairs and
Trade of New Zealand 2012:n.h)
Proses negosiasi tersebut akhirnya mencapai resolusi dan diumumkan pada
pertemuan menteri perdagangan APEC tahun 2005 di Korea Selatan oleh negara
P4 yaitu Singapura, Chili, Selandia Baru dan Brunei Darussalam (Foreign Affairs
and Trade of New Zealand 2012:n.h). Perjanjian TPSEP dibuat dalam 20 bab
perjanjian yang didampingi dengan dua nota kesepahaman (MoU) mengenai
kerjasama lingkungan dan tenaga kerja. Namun, meskipun MoU lingkungan dan
tenaga kerja diumumkan sebagai dokumen terpisah dari TPSEP, negara manapun
yang keluar dari salah satu dari tiga perjanjian tersebut, secara otomatis keluar
Saat negara P4 mengumumkan mengenai TPSEP dan 2 MoU tersebut,
mereka tidak langsung meratifikasinya saat itu juga. Penandatangan kerjasama
tersebut dilakukan pada 18 Juli 2005 oleh Chili, Selandia Baru dan Singapura,
disusul oleh Brunei Darussalam pada 2 Agustus 2005. Sementara
pemberlakukannya pada tanggal 1 Mei 2006 bagi Selandia Baru dan Singapura,
tanggal 8 November 2006 bagi Chili, sedangkan Brunei menerapkan perjanjian
tersebut secara parsial pada 12 Juni 2006 dan secara penuh pada 12 Juli 2009
(Kuriyama 2011:5).
Mengenai tujuan dibentuknya kerjasama ini, menurut pasal 1.1 perjanjian
TPSEP (2005), perjanjian ini berdasarkan kepada kepentingan bersama untuk
memperdalam hubungan dalam berbagai bidang, diantaranya keuangan, teknologi,
pendidikan, ekonomi dan kerjasama lapangan. Namun, tidak terbatas kepada
bidang-bidang itu saja karena juga dapat diperluas ke bidang lainnya. Sehingga
dengan demikian, setiap negara anggota juga berupaya mendukung proses
liberalisasi APEC secara konsisten dengan melakukan perdagangan dan investasi
yang bebas dan terbuka.
Secara spesifik pasal 1.1 menjelaskan bahwa TPSEP ini bertujuan untuk:
1. Mendorong ekspansi dan diversifikasi perdagangan di antara wilayah
masing-masing;
2. Menghilangkan hambatan perdagangan dan memfasilitasi pergerakan
lintas batas barang dan jasa antara wilayah;
3. Mendorong persaingan sehat di area perdagangan bebas;
5. Memberikan perlindungan yang memadai dan efektif, serta
menegakkan hak kekayaan intelektual di wilayah masing-masing
pihak;
6. Menciptakan mekanisme yang efektif untuk mencegah dan
menyelesaikan sengketa perdagangan (h.1-1).
TPSEP adalah perjanjian perdagangan bebas pertama yang menghubungkan
Asia, Pasifik, dan Amerika Latin. Brunei Darussalam dan Singapura yang berada
di Asia, Selandia Baru yang berada di Pasifik, dan Chili yang berada di Amerika
Latin dihubungkan secara perdagangan oleh TPSEP tersebut.
Selain keragaman geografis, perjanjian ini juga mempunyai cakupan yang
luas. Hal ini dikarenakan perjanjian ini meliberalisasikan hampir semua produk
barang, termasuk produk kebutuhan pokok. Hingga akhirnya pada tahun 2017, P4
harus benar-benar menjadikan tarif mereka menjadi nol pada semua barang,
kecuali Brunei Darussalam dalam beberapa produk (Lewis 2010:31-32).
Selain itu perjanjian ini juga merespon permasalahan-permasalahan baru
yang terkait dengan perdaganan internasional, sehingga perjanjian ini sering
disebut dengan perjanjian High Level dan atau 21 Century. Akan terus ada
pembahasan lanjutan terkait isu-isu perdangan. Misalnya, pada perjanjian TPSEP
bab 20 pasal 20.1 dan 20.2 mengatakan bahwa tidak lebih dari 2 tahun setelah
TPSEP diberlakukan, negara anggota harus melakukan negosiasi lanjutan terkait
investasi dan layanan finansial. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan bahwa