UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PREPARASI NANOPARTIKEL SAMBUNG SILANG
KITOSAN-TRIPOLIFOSFAT YANG MENGANDUNG
GINSENOSIDA
SKRIPSI
DINA PERMATA WIJAYA 109102000002
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
ii
PREPARASI NANOPARTIKEL SAMBUNG SILANG
KITOSAN-TRIPOLIFOSFAT YANG MENGANDUNG
GINSENOSIDA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Far)
DINA PERMATA WIJAYA 109102000002
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
vi
Nama : Dina Permata Wijaya
Program Studi : Farmasi
Judul :Preparasi Nanopartikel Sambung Silang
Kitosan-Tripolifosfat yang Mengandung Ginsenosida
Telah dibuat nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida sebagai bahan bioaktif untuk mengatasi kerontokan. Kitosan merupakan polimer alam yang bersifat kationik yang dapat berinteraksi melalui ikatan sambung silang dengan tripolifosfat yang bersifat anionik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida dengan metode gelasi ionik serta mengkarakterisasi nanopartikel yang terbentuk yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial, dan efisiensi enkapsulasi. Nanopartikel dibuat dalam tiga formula dengan memvariasikan konsentrasi larutan kitosan antara lain 0,1%, 0,2%, dan 0,3% yaitu F1, F2, dan F3. Nanopartikel F1, F2, dan F3 memiliki karakteristik dengan ukuran partikel pada hari ke-0 berturut-turut 2,5±0,9 nm, 60,9±19,5 nm, dan 1,5±0,3 nm, ukuran partikel pada hari ke-22 berturut-turut 14,9±8,1 nm, 33,2±7,6 nm, dan 43,4±13,4 nm, zeta potensial berturut-turut -44,08 mV, -36,93 mV, dan -42,57 mV, efisiensi enkapsulasi berturut-turut 100%, 100%, dan 88,47%. Nanopartikel sambung silang kitosan F1, F2, dan F3 belum menunjukkan stabilitas ukuran partikel yang baik setelah diuji pada hari ke-22.
vii
It has been cross-linked chitosan-tripolyphosphate nanoparticles which contain ginsenoside as bioactive materials to hair loss. Chitosan is a cationic natural polymers which has a cross-linked interaction with tripolyphosphate which is an anionic polymer. The purpose of this research were to study the preparation of cross-linked chitosan nanoparticles which contain ginsenoside with ionic gelation method and to characterize the cross linked chitosan nanoparticles which contain ginsenoside which include particle size, zeta potential, and effiency encapsulation. Nanoparticles were made in three formulas by varying the concentration of chitosans including 0,1%, 0,2%, and 0,3% were F1, F2, and F3. The nanopaticles F1, F2, and F3 has characterization with particle size on day 0 were 2,5±0,9 nm, 60,9±19,5 nm, and 1,5±0,3 nm, particle size on day 22 were 14,9±8,1 nm, 33,2±7,6 nm, and 43,4±13,4 nm, zeta potential were 44,08 mV, 36,93 mV, and -42,57, and efficiency encapsulation were 100%, 100%, and 88,47%. The cross-linked chitosan nanoparticles F1, F2, and F3 have not showed a nanoparticles
stability after evaluated until the 22nd day.
Keywords : ginsenoside, nanoparticle, chitosan, tripolyphosphate, ionic
viii
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima
kasih kepada :
(1) Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Ofa
Suzanti Betha, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua, yang memiliki andil
besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya ini, semoga
segala bantuan dan bimbingan ibu mendapat imbalan yang lebih baik
disisi-Nya.
(2) Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
(3) Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
(4) Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan
dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
(5) Kedua orang tua, Ayahanda Komali Wijaya, Ibunda Juliani, kakakku tercinta
Ronald dan adik-adikku tersayang Ullan dan Nia, yang telah memberikan
semangat, doa dan dukungan baik moral maupun material hingga terwujudnya
skripsi ini.
(6) Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
ix
(7) Kakak-kakak laboran FKIK, Ka Eris, Mba Lilis, Ka Liken, Mba Rani, Ka
Lisna, Ka Yopi, Ka Tiwi, dan Ka Rachmadi, Mba Hima atas dukungan dan
kerjasamanya selama kegiatan penelitian.
(8) Nova Yanti, Mutia Sari Wardana dan teman-teman satu laboratorium terima
kasih atas kerjasamanya, bantuan semangat dan kebersamaannya.
(9) Rekan-rekan Farmasi angkatan 2009, khususnya untuk kelas A, atas
dukungan, pertemanan dan kerjasamanya.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, 24 Juli 2013
xi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x
DAFTAR ISI ... xi
2.2 Manfaat Pembuatan Nanopartikel ... 6
2.3 Preparasi Nanopartikel ... 6
2.4 Karakteristik Nanopartikel ... 8
2.5 Kitosan ... 9
2.6 Tripolifosfat ... 10
2.7 Sambung Silang Kitosan Secara Ionik ... 11
2.8 Ginseng ... 12
2.9 Ginsenosida ... 14
2.10 Rambut ... 14
2.11 Folikel dan Perkembangan Rambut ... 15
xii
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 21
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
3.2 Alat dan Bahan ... 21
3.3 Prosedur Kerja ... 22
3.4 Evaluasi Karakterisasi Nanopartikel ... 24
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
4.1 Preparasi Nanopartikel ... 26
4.2 Karakteristik Nanopartikel Ginsenosida ... 29
4.3 Efisiensi Enkapsulasi ... 34
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36
5.1 Kesimpulan ... 36
5.2 Saran ... 36
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Kitosan ... 9
Gambar 2.2 Struktur Natrium Tripolifosfat ... 10
Gambar 2.3 Taut Silang Ionik Kitosan-Tripolifosfat ... 12
Gambar 2.4 Panax Ginseng ... 12
Gambar 2.5 Ginsenosida ... 13
Gambar 2.6 Anatomi Kulit ... 14
Gambar 2.7 Anatomi Rambut ... 15
Gambar 2.8 Siklus Pertumbuhan Rambut ... 18
Gambar 4.1 Hasil Preparasi Nanopartikel... 28
Gambar 4.2 Hubungan Ukuran Partikel dengan Formula... 30
Gambar 4.3 Hubungan Zeta Potensial dengan Formula ... 31
Gambar 4.4 Hubungan Persentase Transmitan dan Waktu... 32
Gambar 4.5 Hasil Nanopartikel Setelah 18 Hari ... 33
xiv
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penelitian ... 41
Lampiran 2. Evaluasi Karakteristik Nanopartikel Ginsenosida ... 42
Lampiran 3. Grafik Distribusi Ukuran Partikel ... 44
Lampiran 4. Panjang Gelombang Ginsenosida dalam Aquadest ... 46
Lampiran 5. Kurva Kalibrasi Ginsenosida ... 47
Lampiran 6. Evaluasi Efisiensi Enkapsulasi ... 48
Lampiran 7. Contoh Perhitungan Efisiensi Enkapsulasi Nanopartikel ... 49
Lampiran 8. Sertifikat Analisa Ginsenosida ... 50
Lampiran 9. Sertifikat Analisa Kitosan Larut Air... 51
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.1 Latar Belakang
Manusia yang mempunyai sifat suka dengan keindahan, menjadikan
rambut sebagai penunjang penampilan seseorang sehingga berusaha untuk
menjaga kesehatan rambut dari kerusakan ataupun kerontokan (Dalimartha &
Soedibyo, 1999). Kerontokan rambut adalah kehilangan rambut berkisar lebih dari
100 helai perhari dan bila kerontokan ini berlanjut dapat menyebabkan alopecia
(kebotakan) (Brown, Graham, &Tony, 2007). Kerontokan rambut dapat
dipengaruhi secara fisiologik dan patologik antara lain status gizi, hormonal,
pemakaian obat, stres dan lainnya (Soepardiman, 2002).
Penggunaan ekstrak tanaman dalam upaya pemeliharaan kesehatan dan
membantu mengatasi kerontokan rambut meningkat dari tahun ke tahun. Minyak
kelapa, minyak kemiri dan minyak cem-ceman telah digunakan secara
turun-temurun dalam mengatasi kerontokan rambut, tetapi mekanisme kerjanya belum
jelas (Komiarsih, 2003). Panax ginseng C.A. Meyer atau ginseng telah digunakan
sebagai obat tradisional di banyak negara Asia untuk kerontokan rambut (Matsuda
et al., 2003). Selain itu, Panax ginseng telah banyak ditambahkan pada produk
perawatan rambut yang aman (Park, Shin, & Ho, 2011). Salah satu komponen
kimia ginseng adalah ginsenosida yang termasuk ke dalam golongan saponin
triterpenoid dan telah diidentifikasi sebagai senyawa paling aktif terkait untuk
mengatasi kerontokan rambut. Ginsenosida Rb1 menstimulasi proliferasi pada
dermal papila rambut (Choi et al., 2007).
Rute pemberian menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan untuk
dapat mengoptimalkan kerja dari ginsenosida untuk mengatasi kerontokan rambut.
Untuk mencapai dermal papila maka ginsenosida harus masuk melalui folikel
rambut yang dikenal dengan rute transfolikular (Asmara et al., 2012). Ukuran
partikel menjadi hal penting bagi suatu zat aktif untuk melalui folikel rambut yang
mempunyai barier yaitu stratum korneum (Wosicka & Cal, 2010). Dengan
demikian, perlu dilakukannya modifikasi fisik ginsenosida meliputi perubahan
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nanopartikel memiliki kemampuan untuk menembus folikel rambut dan
lapisan epidermis (Baroli et al, 2007). Vogt et al (2006) melaporkan bahwa
nanopartikel dengan ukuran 40 nm yang dapat masuk secara efisien sebagai
pembawa melalui folikel rambut, namun tidak dengan molekul nanopartikel
dengan ukuran lebih besar dari 750 nm dan 1500 nm. Bahan aktif yang masuk ke
dalam folikel rambut akan berpartisipasi dan selanjutnya berdifusi ke dalam
sebum yang terdapat di dalam folikel rambut hingga mencapai epitel pada bagian
dalam folikel dan kemudian berdifusi menembus folikel. Selain itu dengan
nanopartikel dapat mempertahankan sepuluh kali lebih lama keberadaan bahan
aktif di dalam folikel rambut dibandingkan terapi stratum korneum (Asmara et al.,
2012).
Pembentuk nanopartikel yang banyak digunakan adalah kitosan. Kitosan
memiliki sifat biodegradabel, biokompatibel, dan tidak toksik. Selain itu kitosan
memiliki kemampuan dalam mengontrol pengeluaran zat aktif, tidak perlu
menggunakan pelarut organik karena kitosan larut di dalam asam. Dengan
mempertimbangkan stabilitas ginsenosida di dalam nanopartikel maka pada
penelitian ini digunakan kitosan larut air. Kitosan larut air mudah di modifikasi
sebagai pembawa atau barier agar zat aktif yang digunakan tetap stabil (Zhang et
al., 2010). Untuk membentuk nanopartikel sambung silang kitosan, bahan yang
digunakan adalah kitosan, tripolifosfat (TPP), dan surfaktan (Wahyono, 2010).
Penambahan TPP bertujuan untuk membentuk sambung silang ionik antara
molekul kitosan sehingga dapat digunakan sebagai bahan penguat (Mi et al.,
1999).
Pada penelitian ini akan dibuat nanopartikel ginsenosida dengan pembawa
kitosan larut air yang disambung silang dengan tripolifosfat dengan tujuan agar
ginsenosida mencapai tujuan target yaitu terlokalisasi di dermal papila dan dalam
upaya untuk mengatur pelepasan ginsenosida yang terdapat di dalam pembawa
kitosan-tripolifosfat. Nanopartikel ini dibuat dengan metode sambung silang, di
mana amin pada kitosan yang bersifat kationik akan membentuk ikatan silang
dengan anionik yang terdapat pada tripolifosfat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta zeta potensial dan efisiensi enkapsulasi dengan pembawa kitosan larut
air-tripolifosfat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang
mengandung ginsenosida dengan metode gelasi ionik dengan variasi
konsentrasi larutan kitosan ?
2. Bagaimana karakteristik nanopartikel sambung silang kitosan yang
mengandung ginsenosida yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial,
dan efisiensi enkapsulasi ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mempelajari preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang
mengandung ginsenosida dengan metode gelasi ionik dengan variasi
konsentrasi larutan kitosan.
2. Mempelajari karakteristik nanopartikel sambung silang kitosan yang
mengandung ginsenosida yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial,
dan efisiensi enkapsulasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung ginsenosida
dengan variasi konsentrasi larutan kitosan dengan metode gelasi ionik serta
karakterisasi nanopartikel yang meliputi ukuran partikel, zeta potensial, dan
efisiensi enkapsulasi nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nanopartikel
Nanopartikel merupakan suatu teknik penyalutan bahan yang ukurannya
sangat kecil, dengan diameter rata-rata 1-1000 nm (Singh & Deep, 2011).
Nanopartikel didefinisikan sebagai suatu padatan pengantar obat yang berukuran
submikron (nano), dapat bersifat biodegradabel (Reis et al., 2006). Penelitian
nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas
seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis, dan biomedis (Jain, 2008).
Pada dasarnya, nanopartikel dapat dibagi menjadi dua yaitu nanokristal
dan nanocarier. Nanocarier memiliki berbagai macam jenis seperti nanotube,
liposom, nanopartikel lipid padat (solid lipid nanoparticles/SLN), misel,
dendrimer, nanopartikel polimerik dan lain-lain (Rawat et al., 2006).
2.1.1 Nanokristal
Nanokristal adalah penggabungan dari ratusan atau ribuan molekul yang
membentuk kristal, terdiri dari senyawa obat murni dengan penyalutan tipis
dengan menggunakan surfaktan. Pembuatan nanokristal disebut nanonisasi. Tidak
seperti nanocarier, nanokristal hanya memerlukan sedikit surfaktan untuk
stabilisasi permukaan karena gaya elektrostatik sehingga mengurangi
kemungkinan keracunan karena bahan tambahan untuk pembawa (Rawat et al.,
2006).
2.1.2 Nanocarier
a. Nanotube
Nanotube adalah lembaran atom yang diatur dalam bentuk tube atau
struktur menyerupai benang dalam skala nanometer. Struktur ini memiliki rongga
di tengah, dan memiliki struktur menyerupai sangkar yang berbahan dasar karbon
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Nanopartikel Lipid Padat (Solid Lipid Nanoparticles/SLN)
SLN merupakan pembawa koloidal berbahan dasar lipid padat berukuran
submikronik (50-1000 nm) yang terdispersi dalam air atau dalam larutan surfaktan
dalam air. SLN berisi inti hidrofob yang padat dengan disalut oleh fosfolipid lapis
tunggal. Inti padat berisi senyawa obat yang dilarutkan atau didispersikan dalam
matrik lemak padat yang mudah mencair. Rantai hidrofob fosfolipid ditanamkan
pada matriks lemak. Emulgator ditambahkan pada sistem sebagai penstabil fisik
(Rawat et al., 2006).
c. Nanopartikel Polimerik
Nanopartikel adalah struktur koloidal berukuran nanometer yang terdiri
dari polimer sintesis atau semisintesis dengan rentang ukuran 10-1000 nm.
Nanopartikel polimerik meliputi nanokapsul dan nanosfer. Nanokapsul terdiri atas
polimer yang membentuk dinding yang melingkupi inti dalam tempat dimana
senyawa obat dijerat. Nanosfer dibuat matrik polimer padat dan didalamnya
terdispersi senyawa obat (Delie & Blanco, 2005).
Material polimer memiliki sifat-sifat yang menguntungkan meliputi
kemampuan terdegradasi dalam tubuh, modifikasi permukaan, dan fungsi yang
dapat disesuaikan dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat
farmakokinetik dari obat yang dimuatkan yang mengakibatkan obat berada dalam
keadaan stabil.
d. Nanopartikel Sambung Silang
Nanopartikel sambung silang merupakan nanopartikel yang terbentuk dari
proses sambung silang antara elektrolit dengan pasangan ionnya. Ikatan sambung
silang ini dapat terjadi secara ionik maupun kovalen. Pembuatan nanopartikel
sambung silang dapat dilakukan dengan metode sambung silang konvensional
menggunakan senyawa penyambung silang konvensional (misalnya glutaraldehid
sebagai senyawa penyambung silang untuk kitosan) atau dengan menggunakan
metode gelasi ionik (Vauthier, Bravo-Osuna, dan Ponchel, 2007).
Pembentukan nanopartikel dengan teknik gelasi ionik pertama
diperkenalkan oleh Calvo et al. dan telah diuji dan dikembangkan secara luas.
Mekanisme pembentukan nanopartikel kitosan didasarkan dengan interaksi
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tripolifosfat. Teknik ini sangat sederhana dan metode penyiapan dengan
lingkungan yang mengandung air. Kitosan dapat dilarutkan dengan asam asetat
atau dengan adanya zat penstabil, seperti poloxamer, yang bisa ditambahkan pada
larutan kitosan sebelum dan setelah penambahan polianion. Polianion atau
polimer anionik kemudian ditambahkan dan terbentuk nanopartikel secara spontan
dengan pengadukan magnetic stirrer pada suhu kamar (Sailaja, Amareshwar, &
Chakravarty, 2010).
2.2 Manfaat Pembuatan Nanopartikel
Manfaat dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem
penghantaran obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan,
dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagai sasaran
pengobatan. Kelebihan menggunakan nanopartikel sebagai sistem penghantaran
obat antara lain ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat
dengan mudah dimanipulasi sesuai dengan target pengobatan, nanopartikel
mengatur dan memperpanjang pelepasan obat selama proses transpor obat ke
sasaran, obat dapat dimasukkan ke dalam sistem nanopartikel tanpa reaksi kimia
dan sistem nanopartikel dapat diterapkan untuk berbagai sasaran pengobatan
karena nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan dibawa oleh
darah menuju target pengobatan (Mohanraj & Chen, 2006).
2.3 Preparasi Nanopartikel
Nanopartikel banyak dipreparasi dengan menggunakan 4 metode, yaitu :
1. Metode Penguapan Pelarut
Metode ini, polimer dilarutkan dalam pelarut organik seperti diklorometan,
kloroform atau etil asetat dimana biasa digunakan juga sebagai pelarut dalam
melarutkan obat yang bersifat hidrofob. Campuran dari polimer dan larutan obat
ini lalu diemulsifikasi dalam larutan yang mengandung surfaktan dan menjadi
bentuk emulsi minyak dalam air (o/w). Setelah terbentuk emulsi yang stabil,
pelarut organik kemudian diuapkan dengan ditekan atau diputar secara terus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan konsentrasi penstabil yang digunakan, kecepatan homoginezer dan
konsentrasi polimer (Mohanraj dan Chen, 2006).
2. Emulsifikasi Spontan
Metode ini merupakan modifikasi dari metode penguapan pelarut. Dalam
metode ini air yang larut dalam pelarut dalam jumlah kecil dari air yang tidak
larut dalam pelarut organik digunakan sebagai fase minyak. Karena difusi spontan
dari pelarut menyebabkan turbulensi antarmuka antara 2 fase yang membentuk
partikel kecil. Semakin banyak konsentrasi air yang larut dalam pelarut, ukuran
dari partikel yang dihasilkan akan semakin kecil (Mohanraj dan Chen, 2006).
3. Metode Polimerisasi
Pada metode ini monomer-monomer dipolimerisasi menjadi bentuk
nanopartikel di dalam larutan. Obat akan dimasukkan dengan cara dilarutkan
dalam medium polimerisasi atau dengan adsorpsi ke dalam nanopartikel setelah
polimerisasi selesai. Suspensi nanopartikel ini kemudian dimurnikan untuk
menghilangkan aneka penstabil dan surfaktan yang digunakan untuk polimerisasi
dengan cara ultrasentrifugasi (Mohanraj dan Chen, 2006).
4. Gelasi Ionik
Metode gelasi ionik melibatkan proses sambung silang antara polielektrolit
dengan adanya pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik seringkali diikuti dengan
kompleksasi polielektrolit dengan polielektrolit yang berlawanan. Pembentukan
ikatan sambung silang ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang
terbentuk. Contoh pasangan polimer yang dapat digunakan untuk gelasi ionik ini
antara lain kitosan dengan tripolifosfat dan kitosan dengan karboksimetilselulosa
(Park dan Yeo, 2007).
Kitosan yang merupakan polimer kationik dapat bereaksi dengan anion
multivalen seperti tripolifosfat. Pembentukan mikropartikel dengan metode gelasi
ionik dapat dilakukan antara lain dengan pengerasan tetesan cair yang
didispersikan pada fase minyak atau organik. Prosedur sederhana tersebut
meliputi pencampuran dua fase cair dimana fase yang satu mengandung kitosan
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4 Karakteristik Nanopartikel
2.4.1 Ukuran dan Distribusi Partikel
Ukuran dan distribusi partikel merupakan karakteristik yang paling
penting dalam sistem nanopartikel. Hal ini dapat digunakan untuk memperkirakan
distribusi secara in vivo, biologis, toksisitas dan kemampuan untuk targetting dari
sistem nanopartikel. Pelepasan obat juga dipengaruhi dari ukuran partikel.
Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas area permukaannya.
Namun, semakin banyak obat yang bergabung menjadi atau mendekati permukaan
partikel, akan meyebabkan pelepasan obat yang cepat. Bagaimanapun, partikel
yang lebih besar memiliki inti yang besar dimana akan memungkinkan lebih
banyak obat yang dapat dienkapsulasi dan sedikit demi sedikit berdifusi keluar.
Partikel-partikel yang memiliki ukuran kecil juga memiliki resiko tinggi
mengalami agregasi selama penyimpanan dan distribusi. Hal ini selalu menjadi
tantangan dalam memformulasikan nanopartikel dengan ukuran yang paling kecil
namun dengan stabilitas yang paling maksimum (Mohanraj dan Chen, 2006).
2.4.2 Zeta Potensial
Zeta potensial dari sebuah nanopartikel biasanya digunakan untuk
mengkarakterisasi sifat muatan permukaan yang berkaitan dengan interaksi
elektrostatik nanopartikel. Partikel-partikel yang terdiri dari molekul heteroatomik
biasanya memiliki muatan permukaan, yang mungkin menjadi positif atau negatif,
tergantung pada orientasi dan ionisasi komponen partikel. Interaksi elektrostatik
antara partikel akan menentukan kecenderungan agregasi dan fenomena tolak
menolak. Zeta potensial adalah ukuran permukaan muatan partikel yang tersebar
dalam kaitannya dengan medium pendispersi. Partikel harus memiliki muatan atau
zeta potensial yang tinggi dibandingkan dengan medium pendispersi untuk
mencegah agregasi. Kekuatan tolak menolak yang dibawa oleh muatan ion serupa
pada partikel permukaan akan mencegah gaya tarik menarik yang ditentukan oleh
ikatan hidrogen dan ikatan van der waals. Dengan mengendalikan zeta potensial
akan didapatkan kondisi yang ideal untuk terjadi agregasi (Vaughn dan Williams,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.3 Efisiensi Enkapsulasi
Sebuah sistem nanopartikel yang sukses adalah yang memiliki kapasitas
pembawa obat yang tinggi sehingga akan mengurangi jumlah material matriks
yang digunakan. Drug loading dan efisiensi enkapsulasi sangat bergantung pada
kelarutan obat yang stabil dalam material matriks atau polimer, dimana akan
berkaitan dengan komposisi polimer, bobot molekul, dan interaksi antara obat
dengan polimer (Mohanraj dan Chen, 2006).
2.5 Kitosan
Kitosan merupakan senyawa berbobot molekul besar yang memiliki
rantai polisakarida β(1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa dengan rumus kimia
(C6H11NO4)n. Gugus amino menggantikan –OH pada atom C2 (Muzzarelli et al.,
1997). Kitosan diperoleh dari limbah perikanan seperti kulit udang, kepiting,
rajungan, dan lain-lain. Kitosan diketahui memiliki sifat yang istimewa yaitu
biokompatibel, biodegradabel, dan non toksik, sehingga merupakan biomaterial
yang menarik dikarenakan memiliki kemampuan sebagai bahan pembawa obat
dan dapat dimodifikasi (Dong-Gon, 2006).
2.6
[Sumber : Wu Yan et al., 2005]
Gambar 2.1 Struktur Kitosan
Kitosan merupakan bahan yang tidak berbau, berupa serbuk atau serpihan
berwarna krim sampai putih. Kitosan merupakan polisakarida yang terdiri dari
kopolimer glukosamin dan N-asetil glukosamin. Derajat deasetilasi yang penting
untuk mendapatkan kelarutan produk yang baik adalah sekitar 80-85%. Kitosan
secara komersial terdapat dalam berbagai tipe dan grade dengan beragam berat
molekul (antara 10.000 sampai 1.000.000), beragam derajat deasetilasi dan
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kitosan larut dalam sebagian besar larutan asam organik pada pH kurang
dari 6,5 seperti formiat, asetat, tartarat, dan asam sitrat serta tidak larut dalam
asam fosfat dan asam sulfat. Berat molekul dan derajat deasetilasi adalah faktor
utama yang mempengaruhi ukuran partikel, pembentukan partikel dan agregasi
(Tiyaboonchai, 2003). Meskipun kitosan merupakan polimer yang memiliki
toksisitas rendah, kelarutan kitosan pada pH fisiologis adalah kendala utama
untuk aplikasi. Kitosan merupakan basa lemah dengan nilai pKa 6,2-7,0. Kitosan
larut dalam air pada pH lebih kecil dari 6,5 dimana hanya sebagian gugus amin
yang terionisasi. Berbagai modifikasi kimia telah digunakan untuk meningkatkan
kelarutan kitosan. Kitosan memiliki tiga gugus yang reaktif, yaitu gugus hidroksil
primer di C-6 dan gugus hidroksil sekunder di C-3, dan gugus amino pada C-2
pada setiap gugus deasetilasi. Gugus-gugus reaktif tersebut telah mengalami
modifikasi kimia yaitu dengan glisidil trimetilamonium klorida, karboksimetilasi,
dan sulfonasi. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa modifikasi kimia
dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam air dengan berbagai pH (Tungtong et
al., 2012).
2.6 Tripolifosfat
[Sumber : Wu Yan et al., 2005]
Gambar 2.2 Struktur Natrium Tripolifosfat
Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan
menggunakan senyawa tripolifosfat. Penggunaan tripolifosfat untuk pembentukan
gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel yang terbentuk. Hal ini karena
tripolifosfat memiliki muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan
polikationik kitosan akan lebih besar (Shu & Zhu, 2002). Pembentukkan
nanopartikel hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Yongmei & Yumin, 2003). Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang
terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan
meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta
semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (Wahyono,
2010).
2.7 Sambung Silang Kitosan Secara Ionik
Kitosan-tripolifosfat adalah senyawa turunan dari kitosan yang dihasilkan
dari proses taut silang ionik kitosan dengan senyawa tripolifosfat, seperti natrium
tripolifosfat. Proses modifikasi kitosan dengan natrium tripolifosfat bergantung
pada beberapa faktor, yaitu konsentrasi kitosan, pH dan natrium tripolifosfat dan
waktu terjadinya taut silang (J.A. Ko et al., 2003).
Kitosan dengan pKa 6,5 merupakan polikationik, ketika dilarutkan dalam
asam, amin bebas dari kitosan akan terprotonasi menghasilkan –NH3+. Natrium
tripolifosfat dilarutkan dalam air hingga didapatkan ion hidroksil dan ion
tripolifosfat. Ion tersebut dapat bergabung dengan struktur dari kitosan. Bhumkar
dan Pokharkar (2006) menyatakan bahwa derajat taut silang kitosan dengan
natrium tripolifosfat dipengaruhi oleh keberadaan sisi kationik dan senyawa
anionik sehingga pH dari natrium tripolifosfat memiliki peran penting selama
proses taut silang. Proses taut silang dilakukan pada dua kondisi pH, yaitu pH 3
dan 9. Pada pH 3 hanya dihasilkan ion tripolifosfat yang akan berinteraksi dengan
–NH3+ dari kitosan sehingga pada kondisi tersebut didapatkan kitosan-tripolifosfat
yang didominasi oleh interaksi ionik. Pada pH 9, dihasilkan ion hidroksil dan
tripolifosfat. Kedua ion tersebut berkompetisi untuk berinterkasi dengan –NH3+.
Pada kondisi tersebut, taut silang kitosan didominasi oleh deprotonasi oleh ion
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sumber: Bhumkar dan Pokharkar, 2006]
Gambar 2.3 Proses a) Deprotonasi b) Taut silang ionik kitosan-TPP 2.8 Ginseng
[Sumber: Arpia et al., 2007)
Gambar 2.4Panax ginseng
Ginseng diklasifikasikan sebagai berikut (T. Lakshmi, Roy, & R.V, 2011)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Angiospermae
Kelas : Asterid
Ordo : Apiales
Famili : Araliaceae
Genus : Panax
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kata ginseng dari bahasa Cina yaitu jen dan shen. Jen berarti manusia,
kata ini dipakai karena bentuk akar ginseng menyerupai bentuk tubuh manusia.
Shen berarti akar, akar merupakan bagian paling penting dan berguna. Akar
ginseng yang masih muda bentuknya menyerupai bagian tubuh manusia, seperti
tangan dan kaki dan kadang-kadang seperti organ reproduksi manusia
(Moramarco, 1998).
Ginseng mengandung dua bahan aktif, yakni fitokimia dan nutrien.
Fitokimia berupa betasitosterol, kampesterol, kariofilen, asam sinamik, escin,
asam ferulik, asam fumarik, ginsenosides, kaempferol, asam oleanolik, asam
panasik, saponin, stigmasterol, asam vanilik. Nutrien yang dikandung adalah
kalsium, serat, folat, zat besi, magnesium, mangan, fosfor, potassium, silikon,
zink, vitamin B1, B2, B3, B5, dan C. Ginsenosida merupakan elemen terpenting
dari tanaman ginseng yang berguna bagi kesehatan (Samuel, 2000). Ginseng
mengandung komponen serta kandungan kimia seperti lemak, protein, fenolik,
vitamin, karbohidrat (Mazza & Oomah, 2000).
Komponen utama aktif dari Panax ginseng adalah 30 saponin triterpenoid
yang berbeda, atau disebut juga sebagai ginsenosida, yang bervariasi dari spesies
yang berbeda dari ginseng. Berdasarkan struktur dammarane, lebih dari empat
puluh ginsenosida telah diidentifikasi dan salah satunya adalah ginsenosida Ro,
yang berasal dari asam olenoat. Saponin dammarane adalah turunan dari
protopanaksadiol atau protopanaksatriol. Secara umum ekstrak ginseng biasanya
mengandung ginsenosida. Ada 6 Ginsenosida terbanyak yang telah diidentifikasi
(Rb1, Re, Rc, Rd, Rb2, dan Rg1) yang merupakan standar dari produk ginseng
14
berhubungan dengan penumbuh rambut dalam pengobatan tradisional (Choi et al.,
2007). Total saponin pada Panax ginseng memiliki efek merangsang folikel
rambut menggunakan organ yang telah dikulturasi. Folikel rambut manusia dan
folikel vibrissa tikus diobati dengan total saponin pada Panax ginseng akan
meningkatkan penyerapan sistein. Sistein adalah komponen utama dari batang
rambut yang kaya filamen keratin. Total saponin juga menunjukkan efek
menstimulasi proliferasi pada dermal papila rambut manusia yang dikultur secara
in vitro. Dermal papila merupakan turunan dari sel mesenkim yang berperan pada
regulasi dalam menentukan jenis rambut yang diproduksi. Morfologi dari dermal
papila dapat berubah melalui siklus pertumbuhan rambut, fase pertumbuhan
(anagen), dan fase istirahat (telogen). Hal ini diakibatkan oleh perubahan jumlah
sel dan jumlah dari extracellular matrix (ECM) dalam dermal papila. Dengan
demikian proliferasi dari dermal papila dianggap salah satu parameter penting
dalam pertumbuhan rambut (Choi et al., 2007).
2.10 Rambut
Rambut termasuk salah satu dari adneksa kulit yang tumbuh berasal dari
kulit. Rambut tumbuh dari akar rambut yang ada di dalam lapisan dermis kulit dan
melalui saluran folikel rambut keluar dari kulit. Bagian rambut yang keluar dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Sumber: Gawkrodger, 2002]
Gambar 2.6 Anatomi kulit
2.11 Folikel dan Perkembangan Rambut
Folikel rambut merupakan selubung yang terdiri atas sarung jaringan ikat
di bagian luar (sarung akar asal dermis) yang berasal dari dermis dan sarung akar
asal epiteldi bagian dalam yang berasal dari epidermis. Sarung asal epitel terbagi
menjadi dua yaitu lapis dalam dan luar. Mengarah ke ujungnya, folikel
mengembung membentuk bulbus rambut tempat akar rambut dan selubungnya
menyatu sebagai massa sel-sel primitif yang disebut matriks. Dasar bulbus
didesak oleh jaringan ikat papila dan yang berhubungan papilla tempat persatuan
antara akar rambut dan selubungnya. Papila rambut, walaupun jauh lebih besar,
strukturnya sama dengan papila dermis yang lain dan mengandung serat jaringan
ikat halus, unsur sel dan kaya akan pembuluh darah serta saraf (Lesson T, Lesson
C, & Paparo, 1990).
Struktur di dalam kulit yang dapat menumbuhkan rambut disebut folikel
rambut. Rambut mulai tumbuh pada pangkal folikel rambut (hair bulb) sebagai
hasil keratinisasi dari sel-sel epitelial. Sel-sel tersebut terdorong keluar permukaan
dikarenakan mitosis yang terjadi pada sel germinal matriks (hair bulb epithelium)
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Sumber : Gawkrodger, 2002]
Gambar 2.7 Anatomi rambut
Akar rambut adalah seluruh bagian rambut yang terbenam dalam kulit,
akar rambut ini diselubungi oleh kantong yang disebut folikel. Pada dasar folikel
terdapat dermal papila yang terdiri dari jaringan-jaringan penghubung dan dari
sinilah dimulainya pertumbuhan rambut baru. Selama folikel rambut sehat dan
berhubungan dengan dermal papila, rambut baru akan tumbuh. Folikel tidak tegak
lurus pada permukaan kulit, tapi membentuk sudut sehingga bagian rambut di
permukaan tumbuh merebah ke satu arah (Paulsen, 1980).
2.12 Siklus Rambut
Kecepatan pertumbuhan rambut di kulit kepala tidak seragam di sepanjang
usia. Rambut akan tumbuh sekitar 1/3 milimeter setiap hari atau 1 cm per bulan.
Rambut baru akan tumbuh terus secara aktif, tetapi pada suatu saat pertumbuhan
itu akan berhenti, istirahat sebentar, dan rambut lama akan rontok, digantikan
rambut baru yang telah disiapkan oleh papila rambut yang sama (Iswari &
Latifah, 2007).
Fase rambut tumbuh disebut fase anagen, lamanya antara 2-5 tahun,
dengan rata-rata 3,5 tahun (1.000 hari). Tetapi pada keadaan-keadaan tertentu atau
dengan perawatan yang baik, fase anagen dapat diperpanjang. Fase istirahat yang
disebut fase katagen (pendek), yaitu hanya beberapa minggu. Sedangkan fase
kerontokan atau fase telogen berlangsung kurang lebih selama 100 hari (Iswari &
Latifah, 2007).
Selama fase istirahat (katagen), rambut berhenti tumbuh, umbi rambut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atau rambut gada (club hair), tetapi rambut belum rontok. Sementara itu, papila
mulai membentuk rambut baru. Ketika rambut baru sudah cukup panjang dan
akan keluar dari kulit, rambut lama terdesak dan rontok (Iswari & Latifah, 2007).
Folikel rambut memiliki siklus fase pertumbuhan rambut yang lama tiap
fasenya tergantung dari tempat tumbuh rambut tersebut, umur, nutrisi, hormon,
dan fisiologi serta faktor patologi. Siklus rambut tersebut dibagi menjadi 3 fase
yang diantaranya adalah (Happle, 2000):
a. Fase Anagen
Selama fase anagen disebut juga fase aktif atau fase pertumbuhan, pada
fase ini folikel berada di bagian dermis kulit dimana keadaan sel-sel matriks,
lapisan batang rambut (medula, korteks, kutikula) dan selubung akar rambut
bagian dalam (kutikula, Huxley layer;s, Henle’s layer) dalam keadaan aktif.
b. Fase Katagen
Fase katagen merupakan fase disaat folikel rambut diubah dari keadaan
aktif pada fase pertumbuhan ke fase istirahat. Selama fase katagen, folikel rambut
mengalami perubahan morfologi dan fungsi. Pertumbuhan folikel berada pada
lapisan kulit dermis yang mengalami penyusutan sekitar sepertiga dari
panjangnya, sehingga struktur pertumbuhan rambut dieliminasi menjadi struktur
baru berupa folikel rambut fase istirahat.
c. Fase Telogen
Selama fase telogen atau disebut juga fase istirahat, folikel rambut telah
berada pada tahapan akhir yang stabil. Struktur rambut fase istirahat sangat
berbeda sekali dari struktur rambut fase pertumbuhan. Struktur dan lapisan sel
pada fase pertumbuhan seperti matriks, selubung akar rambut bagian dalam,
selubung akar rambut bagian luar dan kutikula rambut berkurang, dermal papila
cenderung membentuk bulb yang terletak di bawah kapsul-kapsul germs cell.
Panjang rambut fase istirahat sekitar setengah sampai sepertiganya dari panjang
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [Sumber : Cotsarelis et al., 2001]
Gambar 2.8 Siklus Pertumbuhan Rambut
2.13 Jalur Transfolikular
Bahan aktif yang masuk ke dalam folikel rambut akan berpartisipasi dan
selanjutnya berdifusi ke dalam sebum yang terdapat di dalam folikel rambut
hingga mencapai lapisan epitel pada bagian dalam folikel dan kemudian berdifusi
menembus epitel folikel hingga mencapai lapisan epidermis (Asmara et al., 2012).
Untuk mengetahui adanya penyerapan obat melalui jalur ini, digunakan
kombinasi teknik tape stripping dan cyanoacrylate surface biopsy. Dengan
menggunakan kombinasi teknik tersebut, kadar suatu zat di dalam folikel rambut
setelah diaplikasikan pada kulit dapat ditentukan (Asmara et al., 2012).
2.14 Sifat-Sifat Optik Koloid
Efek Faraday-Tyndall. Bila suatu berkas cahaya yang kuat dilewatkan melalui sol koloid, akan terlihat suatu kerucut yang dihasilkan dari pemendaran
cahaya oleh partikel-partikel koloid. Hal ini disebut Efek Faraday-Tyndall
(Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).
Ultramikroskop; dikembangkan oleh Zsigmondy. Dengan alat ini dapat
diuji titik-titik cahaya yang menimbulkan kerucut Tyndall. Seberkas cahaya yang
kuat dilewatkan melalui sol yang berlatar belakang gelap dari sudut kanan ke
bidang pengamatan. Walaupun partikel-partikel tidak dapat dilihat secara
langsung, namun dapat diamati spot terang yang sesuai dengan partikel, serta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mikroskop Elektron. Sekarang, penggunaan ultramikroskop sudah berkurang, karena ultramikroskop seringkali tidak dapat digunakan untuk melihat
koloid liofilik. Mikroskop elektron sekarang banyak digunakan untuk mengamati
ukuran, bentuk dan struktur partikel-partikel koloid. Mikroskop elektron mampu
menghasilkan gambar partikel-partikel secara aktual, bahkan mendekati dimensi
molekular (Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).
Keberhasilan mikroskop elektron karena daya resolusinya yang tinggi,
yang bisa didefinisikan sebagai batasan d, jarak terkecil dua objek dipisahkan tapi
masih tetap dapat dibedakan. Makin kecil panjang gelombang radiasi yang
digunakan, makin kecil d dan makin besar daya resolusinya. Mikroskop optik
menggunakan cahaya tampak sebagai sumber sinar dan hanya sanggup meresolusi
dua partikel yang dipisahkan oleh kira-kira 2000 A. Sumber sinar mikroskop
elektron adalah seberkas elektron yang berenergi tinggi dan mempunyai panjang
gelombang pada daerah 0,1 A. Dengan peralatan tersebut, menghasilkan d
kira-kira 5 A, suatu kekuatan resolusi yang jauh meningkat melebihi mikroskop optik
(Martin, Swarbrick, & Cammarata, 1983).
Pemendaran Cahaya (Light Scattering). Sifat ini berdasarkan efek Tyndall-Faraday dan merupakan metode yang banyak digunakan untuk
menentukan berat molekul koloid. Sifat ini juga digunakan untuk memperoleh
informasi seperti bentuk dan ukuran partikel. Pemendaran dapat diuraikan dalam
batasan kekeruhan, T, yakni penurunan fraksional intensitas karena pemendaran
ketika cahaya melewati 1 cm larutan. Pada suatu konsentrasi fase terdispers
tertentu, kekeruhan sebanding dengan berat molekul koloid liofilik. Karena
kebanyakan koloida liofilik mempunyai turbiditas (kekeruhan) rendah, maka
relatif lebih mudah mengukur cahaya yang terpendar pada suatu sudut tertentu
terhadap berkas sinar, bukan mengukur cahaya yang ditransmisikan (Martin,
Swarbrick, & Cammarata, 1983).
Kekeruhan kemudian dapat dihitung dari intensitas cahaya yang tersebar
dengan syarat dimensi partikel kecil dibandingkan dengan panjang gelombang
yang digunakan. Bila molekul asimetris, intensitas cahaya tersebut bervariasi
dengan berbedanya sudut pengamatan. Dengan data tersebut dapat diperkirakan
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta protein, polimer sintetis, koloid gabungan, dan sol liofobik (Martin, Swarbrick, &
Cammarata, 1983).
Chang dan Cardinal menggunakan pemendaran sinar untuk mengkaji pola
penggabungan sendiri (self-association) dalam larutan air dari garam-garam
empedu, natrium deoksikolat dan natrium taurodeoksikolat. Analisis data
menunjukkan bahwa garam-garam empedu bergabung membentuk dimer, trimer,
dan tetramer serta agregat yang lebih besar dengan ukuran yang
berbeda-beda.Warna mencolok dari kebanyakan koloid disebabkan oleh absorbansi cahaya
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pharmacy Bioavailability
Bioequivalency (PBB), Laboratorium Pharmacy Drug Research (PDR) Prodi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Laboratorium Multiguna Prodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Nanotech
Indonesia Serpong.
3.1.2 Waktu Penelitian
Proses penelitian ini berlangsung selama Maret sampai Juni 2013.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Particle Size Analyzer (PSA) (Delsa Nano, Beckman coulter),
zetasizer(Delsa Nano C, Beckman coulter), pengaduk magnetik (SRS 710
HA-ADVANTEC), spuit, Spektrofotometer UV-Vis (HITACHI), timbangan analitik
(AND GH-120), peralatan gelas, membran dialisis 3,5 kDa.
3.2.2 Bahan
Ginsenosida 80% dari ekstrak Panax ginseng (PT. Phyto Nutraceutical
Inc-China), kitosan larut air (PT. Biochitosan Indonesia), natrium tripolifosfat
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Penelitian Pendahuluan
a. Pemilihan Konsentrasi Larutan Kitosan pada Pembuatan Nanopartikel
Sambung Silang Kitosan yang Mengandung Ginsenosida
Dibuat laruran kitosan 0,2% b/v dalam aquades. Larutan kemudian disaring
menggunakan vakum untuk menghilangkan partikel pengotor yang tidak larut,
kemudian pH diperiksa. Natrium tripolifosfat sebanyak 10 mL ditambahkan ke
dalam 50 mL larutan kitosan 0,2% b/v dengan menggunakan spuit sambil diaduk
dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Diamati perubahan larutan yang
jernih menjadi larutan yang keruh.
b. Pemilihan Perbandingan Ginsenosida yang Digunakan pada Pembuatan
Nanopartikel Sambung Silang Kitosan yang Mengandung Ginsenosida
Dibuat larutan kitosan 0,2% b/v dalam aquades. Larutan kemudian disaring
menggunakan vakum untuk menghilangkan partikel pengotor yang tidak larut.
Kemudian ditambahkan beberapa perbandingan ginsenosida dan kitosan yang
akan digunakan yaitu 5:1, 1:2, dan 1:5 dalam masing-masing 50 mL larutan
kitosan. Natrium tripolifosfat sebanyak 10 mL ditambahkan ke dalam 50 mL
larutan kitosan 0,2% b/v dengan menggunakan spuit sambil diaduk dengan
pengaduk magnetik selama 30 menit. Diamati larutan yang terbentuk secara
visual.
3.3.2 Pembuatan Nanopartikel Ginsenosida dari Ekstrak Ginseng dengan
Pembawa Kitosan-Tripolifosfat
Tabel 3.1 Formulasi Nanopartikel Ginsenosida
Formula F1 F2 F3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Pembuatan Larutan Kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% dengan Volume 200 mL
Kitosan ditimbang masing-masing sebanyak 0,2 gram, 0,4 gram, 0,6 gram
dengan menggunakan kaca arloji, kemudian kitosan didispersikan ke dalam
masing-masing gelas kimia yang berisi aquades sebanyak 50 mL dan
kemudian ditambahkan aquades sampai 200 mL dan diaduk dengan pengaduk
magnetik hingga larut. Setelah itu, larutan kitosan disaring dengan bantuan
vacuum menggunakan corong porselen yang dilapisi kain.
2. Pembuatan Larutan Natrium Tripolifosfat 0,1% dengan Volume 100 mL
Natrium tripolifosfat 0,1 gram ditimbang dengan menggunakan kaca arloji,
kemudian dilarutkan dengan aquadest 80 mL di dalam gelas kimia. Setelah itu,
dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dan digenapkan dengan aquadest sampai
tanda batas.
3. Pembuatan Nanopartikel Sambung Silang Kitosan (blanko)
Masing-masing larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% dimasukkan ke dalam gelas
kimia sebanyak 50 mL. Kemudian tween 80 sebanyak 0,5 mL dilarutkan
dalam larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% menggunakan pengaduk magnetik.
Setelah itu, ke dalam larutan kitosan ditambahkan 10 mL natrium tripolifosfat
0,1% tetes demi tetes dan sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama
30 menit.
4. Pembuatan Nanopartikel Sambung Silang Kitosan yang Mengandung
Ginsenosida
Masing-masing larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3% dimasukkan ke dalam gelas
kimia sebanyak 50 mL. Kemudian pada masing-masing konsentrasi larutan
kitosan ditambahkan 0,5 mL tween 80 dan dihomogenkan dengan pengaduk
magnetik. Kemudian ginsenosida dengan perbandingan 1:5 sebanyak 10 mg,
20 mg, 30 mg dilarutkan dalam larutan kitosan 0,1%, 0,2%, 0,3%
menggunakan pengaduk magnetik. Setelah itu, ke dalam masing-masing
konsentrasi larutan kitosan ditambahkan 10 mL natrium tripolifosfat 0,1%
tetes demi tetes dan sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 30
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Ginsenosida
Pembuatan dilakukan dengan cara menimbang secara akurat 100 mg
ginsenosida dengan menggunakan timbangan analitik kemudian dicukupkan
dalam 100 mL aquades sehingga diperoleh larutan induk standar sebesar 1000
µg/mL. Dari larutan tersebut diambil sebanyak 5, 4, 3, 2, dan 1 mL kemudian
dicukupkan volumenya hingga 100 mL, sehingga dihasilkan larutan standar
dengan konsentrasi 50, 40, 30, 20, dan 10 ppm. Selanjutnya larutan standar
ginsenosida ditentukan panjang gelombang maksimumnya dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200-400
nm. Masing-masing konsentrasi larutan standar ginsenosida diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 203 nm sehingga diperoleh kurva
kalibrasi ginsenosida yang linear.
3.4 Evaluasi Karakterisasi Nanopartikel
3.4.1 Ukuran Partikel (Saha, Goyal, & Rath, 2010)
Ukuran partikel diukur dengan menggunakan alat Particle Size Analyzer
(PSA). Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung
gisenosida diukur diameternya menggunakan alat Particle Size Analyzer.
3.4.2 Zeta Potensial (Saha, Goyal, & Rath, 2010)
Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung
ginsenosida diukur dengan alat zetasizer (Delsa Nano C, Beckman courter).
3.4.3 Persentase Transmitan (Winardi, Kusdianto, dan Widiyastuti, 2011)
Sebanyak 3 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung
ginsenosida masing-masing formula diukur persen transmitan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 540 nm.
Persen transmitannya, diukur pada hari ke-0, 5, 7, 14, dan 18. Sebelum diukur
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4 Efisiensi Enkapsulasi (Rafeeq et al., 2010)
Sebanyak 5 mL nanopartikel sambung silang kitosan yang mengandung
ginsenosida dimasukkan ke dalam kantung dialisis. Kemudian kantung dialisis
direndam dalam 50 mL aquadest sebagai medium. Medium diaduk dengan
pengaduk magnetik pada suhu kamar. Setelah 1 jam, 10 mL sampel medium
diambil untuk mengukur ginsenosida yang tidak terenkapsulasi di dalam pembawa
kitosan-tripolifosfat. Hasil yang diperoleh diukur dengan spektrofotometer UV
pada λmaks. Efisiensi enkapsulasi dihitung dengan persamaan:
4 5
Efisiensi enkapsulasi = jumlah total ginsenosida −jumlah ginsenosida bebas
26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nanopartikel didefinisikan sebagai partikel yang berbentuk padat dengan
ukuran sekitar 1-1000 nm (Singh & Deep, 2011). Teknologi pembuatan
nanopartikel ini sangat bergantung pada metode preparasi yang dilakukan, baik
dalam bentuk nanopartikel, nanosphere, atau nanokapsul. Dalam sistem
penghantaran obat, nanopartikel berperan sebagai pembawa (carrier) dengan cara
melarutkan, menjebak, mengenkapsulasi obat di dalam matriksnya atau
pembawanya. Tujuan utama dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai
sistem penghantaran obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat
permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh
sebagai sasaran pengobatan. Kelebihan menggunakan nanopartikel sebagai sistem
penghantaran obat antara lain adalah ukuran partikel dan karakteristik permukaan
nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai dengan target pengobatan,
nanopartikel mengatur dan memperpanjang pelepasan obat selama proses transpor
obat ke sasaran, obat dapat dimasukkan ke dalam sistem nanopartikel tanpa reaksi
kimia, dan sistem nanopartikel dapat diterapkan untuk berbagai sasaran
pengobatan, karena nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan
dibawa oleh darah menuju target pengobatan (Mohanraj & Chen, 2006). Pada
akhir-akhir dekade ini penelitian mengenai nanopartikel kitosan telah banyak
dikembangkan.
Nanopartikel bisa dibentuk secara top-down dan bottom up (Raval & Patel,
2011). Pada penelitian ini pembentukan nanopartikel secara bottom up yaitu
dengan cara merangkai atom atau molekul dengan menggabungkannya melalui
reaksi kimia untuk membentuk nanopartikel (Raval & Patel, 2011).
4.1Preparasi Nanopartikel
Tahap pertama pada penelitian ini yaitu pembuatan nanopartikel dengan
menggunakan metode gelasi ionik. Pencampuran polimer kitosan dan natrium
tripolifosfat akan menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertujuan untuk membentuk ikatan silang ionik antarmolekul kitosan sehingga
dapat digunakan sebagai bahan penjerap. Natrium tripolifosfat dianggap sebagai
zat pengikat silang yang paling baik (Mohanraj & Chen, 2006). Muatan yang
berlawanan antara kitosan dan tripolifosfat dapat menyebabkan pembentukan
partikel secara spontan (Boonsongrit, Ampol, dan Bernd, 2006). Penambahan
surfaktan berfungsi untuk menstabilkan suspensi partikel dalam larutan dengan
cara mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi) antarpartikel. Dengan
adanya surfaktan, partikel-partikel kitosan di dalam larutan akan terselimuti dan
terstabilkan satu dengan yang lain sehingga proses pembentukan nanopartikel
akan semakin efektif.
Bahan yang digunakan pada preparasi nanopartikel adalah kitosan larut air,
natrium tripolifosfat, dan tween 80 sebagai surfaktan. Pada tahap awal penentuan
dari konsentrasi larutan kitosan yang dipakai dalam formula adalah dengan
melakukan studi pendahuluan dengan membuat suatu formula nanopartikel
kosong tanpa ginsenosida dengan konsentrasi kitosan 0,1%, 0,2%, dan 0,3%
dengan konsentrasi tripoliposfat 0,1 % dan penambahan surfaktan tween 80 0,5
mL dengan volume larutan kitosan sebanyak 50 mL. Larutan kitosan yang
dilarutkan di dalam aquades menghasilkan larutan yang jernih. Adapun hasil yang
didapat bahwa larutan yang jernih menjadi larutan yang transparan translusen
karena tidak terlihat mikropartikel yang terbentuk secara kasat mata karena
terbentuk larutan koloidal dengan partikel yang sangat halus setelah tripolifosfat
ditetesi ke dalam larutan kitosan dengan menggunakan spuit.
Setelah itu dilakukan juga studi pendahuluan pada perbandingan ginsenosida
yang akan dipakai dalam preparasi nanopartikel sambung silang kitosan yang
mengandung ginsenosida. Apabila banyaknya ginsenosida yang dimasukkan pada
proses preparasi nanopartikel sebanyak 5:1 sesuai dosis terapi ginsenosida, maka
larutan yang terbentuk menjadi keruh sehingga terlihat mikropartikel dengan kasat
mata dan larutan yang terbentuk akan cepat teraglomerasi atau terjadinya
agregasi karena ketidakmampuan konsentrasi kitosan untuk mengenkapsulasi
ginsenosida yang memiliki konsentrasi lebih besar dibandingkan konsentrasi
larutan kitosan. Nanopartikel yang terbentuk dengan perbandingan ginsenosida
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta nanopartikel yang terbentuk cepat mengalami aglomerasi pada saat beberapa jam
setelah proses pembuatan. Namun perbandingan ginsenosida dan kitosan 1:5
menghasilkan nanopartikel tidak cepat teraglomerasi. Perbandingan konsentrasi
ginsenosida yang dipakai adalah 1:5. Menurut penelitian Singh & Deep (2011)
pada perbandingan zat aktif dan kitosan 1:5 memiliki persen penjerapan (efisiensi
enkapsulasi) yang baik.
Dari hasil uji pendahuluan ini diperoleh kondisi yang optimum untuk
pembentukan ikatan sambung silang sehingga dihasilkan nanopartikel dengan
kondisi larutan yang transparan tranlusen. Kondisi optimum tersebut yaitu
konsentrasi larutan kitosan 0,1%, 0,2%, dan 0,3% dan larutan tripolifosfat 0,1%,
dan perbandingan ginsenosida dengan kitosan yang dipakai yaitu 1:5.
Perubahan larutan dari jernih menjadi transparan translusen pada setiap
formula berbeda-beda. Apabila dilihat dari tingkat kekeruhan F1 lebih keruh
daripada F2 dan F3. Hal ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi larutan
kitosan yang dipakai pada setiap formula dan kemampuan antara amin pada
kitosan dan ion fosfat pada tripolifosfat untuk berikatan dan berinteraksi secara
ionik.
Keterangan: F1: Larutan Kitosan 0,1%; F2: Larutan Kitosan 0,2%; F3: Larutan Kitosan 0,3%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Distribusi ukuran partikel adalah karakteristik paling penting di dalam suatu
sistem nanopartikel (Jahanshahi dan Babaei, 2008). Untuk melihat suatu formula
menjadi nanopartikel dapat diketahui dengan melihat distribusi ukuran partikel
sampel tersebut. Hasil particle size analyzer (PSA) F1 dengan konsentrasi larutan
kitosan 0,1 % menunjukkan rerata distribusi ukuran partikel ± 2,2-2,8 nm dengan
rata-rata ukuran partikel 2,5±0,9 nm. Hasil PSA F2 dengan konsentrasi larutan
kitosan 0,2% menunjukkan rerata distribusi ukuran partikel ± 53,2-70,5 nm
dengan rata-rata ukuran partikel 60,9±19,5 nm. Hasil PSA F3 dengan konsentrasi
larutan kitosan 0,3 % menunjukkan rerata distribusi ukuran partikel ± 1,4-1,6 nm
dengan rata-rata ukuran partikel 1,5±0,3 nm. Grafik distribusi ukuran partikel
dapat dilihat pada lampiran 3.
Tabel 4.2 pH larutan kitosan
Perbedaan ukuran partikel dalam masing-masing formula dapat disebabkan
oleh adanya perbedaan konsentrasi larutan kitosan yang dipakai pada setiap
masing-masing formula. Hal ini juga dapat dipengaruhi perbedaan pH pada
masing-masing konsentrasi larutan kitosan apabila konsentrasi larutan kitosan
semakin besar maka pH yang dihasilkan semakin kecil. Pada pH <4 sebagian
besar gugus amino dari kitosan akan terprotonasi (Nystrom et al., 1999). Dengan
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta amino yang terprotonasi. Semakin banyaknya gugus amino yang terprotonasi
maka semakin banyak juga gugus fosfat yang dibutuhkan untuk membentuk
ikatan secara ionik. Namun pada penelitian ini banyaknya gugus fosfat yang
ditambahkan pada setiap konsentrasi larutan kitosan sama banyaknya sehingga
kemampuan fosfat berikatan dengan masing-masing konsentrasi larutan kitosan
tidak sama. Gugus amin yang terprotonasi pada larutan kitosan F1 sedikit
sehingga untuk berikatan secara ionik dengan fosfat juga lebih sedikit sehingga
partikel yang terbentuk memiliki ukuran partikel yang kecil. Gugus amin yang
terprotonasi pada larutan kitosan F2 semakin banyak dibandingkan dengan larutan
kitosan pada F1 sehingga untuk berikatan secara ionik dengan fosfat akan lebih
banyak sehingga partikel yang terbentuk juga semakin besar dan akan
menghasilkan struktur partikel yang lebih kompak (rigid) (Liu & Gao, 2008).
Gugus amin yang terprotonasi pada larutan kitosan F3 lebih banyak dibandingkan
pada F1 dan F2 tetapi partikel yang terbentuk semakin kecil hal tersebut
dikarenakan jumlah gugus fosfat yang ditambahkan terlalu sedikit sehingga tidak
cukup untuk berikatan silang dengan gugus amin dan membentuk partikel yang
tidak stabil (Liu & Gao, 2008). Ukuran partikel akan semakin besar jika gugus
amin pada kitosan dan gugus fosfat pada natrium tripolifosfat berinteraksi secara
intermolekul dibandingkan jika berinteraksi secara intramolekul.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Distribusi ukuran partikel dinyatakan dalam indeks polidispersitas. Rentang
indeks polidespersitas berada di antara 0 sampai dengan 1. Nilai indeks
polidispersitas mendekati 0 menunjukkan dispersi ukuran yang homogen.
Sedangkan indeks polidespersitas dengan nilai lebih dari 0,5 menunjukkan
heterogenitas yang tinggi (Avadi et al., 2010). Hasil dari ketiga formula ini
memiliki indeks polidispersitas sekitar 0,2-0,4 sehingga ketiga formula
menunjukkan dispersi ukuran yang relatif homogen.
Zeta potensial diukur untuk mengetahui kestabilan dari koloid. Zeta potensial
merupakan ukuran kekuatan tolak menolak antarpartikel. Nanopartikel dengan
nilai zeta potensial lebih dari +/- 30 mV telah terbukti stabil dalam suspensi
sebagai muatan permukaan yang mencegah agregasi (Mohanraj & Chen, 2006).
Mengukur zeta potensial juga dapat menentukkan muatan permukaan pada
nanopartikel.
Gambar 4.3 Hubungan zeta potensial dengan formula nanopartikel ginsenosida Dari hasil pengukuran setiap formulasi memiliki muatan permukaan negatif.
Apabila nilai zeta potensial semakin tinggi maka semakin stabil koloid
nanopartikel yang terbentuk. Hal ini berhubungan dengan pengikatan gugus
anionik oleh gugus amin yang panjang dari kitosan untuk menjaga elektrik yang
tinggi sehingga dapat mencegah terjadinya agregasi (Avadi et al., 2010).
Penelitian ini menggunakan surfaktan non ionik sebagai bahan untuk mencegah
terjadinya aglomerasi (agregasi). Golongan surfaktan memiliki mekanisme kerja
menurunkan tegangan permukaan/antarpermukaan serta dapat membentuk lapisan
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pengukuran zeta potensial maka F1 memiliki zeta potensial yang paling tinggi
dibandingkan dengan zeta potensial pada F2 dan F3.
Untuk mengetahui tingkat kekeruhan nanopartikel sambung silang kitosan
yang mengandung ginsenosida digunakan metode spektrofotometri yakni
mengukur penurunan intensitas cahaya yang diteruskan akibat adanya hamburan.
Penurunan intensitas tersebut disebabkan karena koloid memiliki efek
penghamburan cahaya yang disebut efek tyndal ini cocok untuk mengukur koloid
yang memiliki konsentrasi besar atau ukuran partikel yang besar. Tingkat
kekeruhan nanopartikel ginsenosida diukur dengan cara menentukan persen
transmitan pada masing-masing formula yang telah dibuat.
Gambar 4.4 Hubungan persentase transmitan terhadap waktu penyimpanan (hari)
Jika dilihat secara fisik F1, F2, F3 memiliki tingkat kekeruhan yang berbeda.
Tingkat kekeruhan semakin besar jika konsentrasi larutan kitosan semakin kecil,
F1>F2>F3. Jika dilihat dari persentase transmitan F1 memiliki persentase
transmitan paling kecil dibandingkan dengan F2 dan F3 pada hari ke-0. Persentase
transmitan diukur pada hari ke-0, 5, 7,14, dan 18 pada masing-masing formula
yang dibuat. Jika dilihat dari persentase transmitan terhadap waktu maka pada
setiap formula mengalami penurunan persentase transmitan. Hal ini menunjukkan
bahwa nanopartikel ginsenosida dengan pembawa kitosan-tripolifosfat semakin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ginsenosida bisa dilihat pada lampiran 8. Dengan semakin keruhnya koloid
nanopartikel ginsenosida maka semakin besar ukuran partikel yang terbentuk.
Oleh karena tingkat kekeruhan nanopartikel semakin besar setelah 18 hari
maka ukuran partikel nanopartikel ginsenosida diukur setelah 22 hari dengan
menggunakan PSA (Particle Size Analyzer). Setelah 22 hari nanopartikel F1
memiliki ukuran partikel ± 12,0-17,6 nm dengan rata-rata ukuran partikel
14,9±8,1 nm. Nanopartikel F2 memiliki ukuran partikel ± 30,5-34,9 nm dengan
rata-rata ukuran partikel 33,2±7,6 nm, nanopartikel F3 memiliki ukuran partikel ±
41,5-45,3 nm dengan rata-rata ukuran partikel 43,4±13,4 nm. Pada F1 dan F3
ukuran partikel setelah 22 hari terjadi aglomerasi yang meyebabkan ukuran
partikel F1 dan F3 semakin besar. Apabila dilihat dari besar zeta potensial yang
diukur pada saat hari ke-0 F1 dan F3 memiliki zeta potensial yang baik. Zeta
potensial yang baik dikarenakan penambahan surfaktan non ionik pada setiap
formula sebagai bahan untuk mencegah aglomerasi dengan konsentrasi yang
tinggi. Namun tidak memberikan kestabilan yang baik hal ini karena
partikel-partikel yang memiliki ukuran partikel-partikel yang kecil memiliki resiko yang tinggi
untuk mengalami agregasi selama penyimpanan dan distribusi (Mohanraj & Chen,
2008). Pada F2 setelah 22 hari ukuran partikel semakin kecil dari ukuran partikel
awal. Hal ini menunjukkan berkurangnya kekuatan ikatan antara gugus amin dan
gugus fosfat (Liu & Gao, 2008). Pada ketiga formula menunjukkan
ketidakstabilan.
Keterangan: F1:Larutan Kitosan 0,1%; F2:Larutan Kitosan 0,2%; F3:Larutan Kitosan 0,3%