• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Kebijakan Pelindungan Dan Pengamanan Perdagangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

122

Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 2005

AK, Syahmin. Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analisis).

Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta, 2010

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI.

Perundingan-perundingan Multilateral Putaran Uruguay (Persetujuan Akhir yang Memuat Hasil-hasil dari Perundingan Perdagangan Multilateral) di Marrakesh, 15 April 1994

Black, Henry Campbel. Black’s Law Dictionary, Abridge 6th Ed (West Group)

Bossche, Peter van den. Pengantar Hukum WTO. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2010

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif:Pemahaman Filosofis dan

Metodologi ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Grafindo Persada,

Dirdjosoebroto, Soerdjono. Kaidah-kaidah Hukum Perdagangan Internasional

(Perdagangan Multilateral) Versi Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization=WTO), Cetakan Pertama. Bandung: CV. Utomo, 2004

Erawati, A.F. Elly. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional dan

Pengecualiannya Menurut GATT/WTO. Paper Kuliah Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, 1999

Erawati, A.F. dan J.S. Badudu. Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia.

Jakarta: Proyek ELIPS, 1996

Gautama, Sudargo. Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1994

Hata. Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO. Bandung: PT.

(2)

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayu Media, 2007

Kartadjoemena, H. S. GATT dan WTO. Jakarta: Universitas Indonesia Press (UI

Press), 1996.

Marceau, Gabrielle. Antidumping and Antitrust Issues in Free Trade Areas.

Oxford: Clareden Press, 1994.

Natabaya, H.A.S. Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Antidumping dan

Implikasinya bagi Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996

Nazil, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia,2010

Riyanto, Astim. World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia).

Bandung: Yapemendo, 2003

Siregar, Mahmul. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal. Medan:

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986

Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Rajawali Press,

2012

Sukarmi, Regulasi Antidumping dibawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Cetakan

Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2002

Sunandar, Taryana. Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT

1947 sampai terbentuknya WTO. Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman RI, 1996

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press,

2010

Suryabrata, Sumaidi. Metode Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo, 2004

Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia, Analisis dan Panduan

(3)

B. Peraturan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 33/M-Dag/Per/6/2014

Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2015 Tentang Kementerian Perdagangan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015 Tentang Kementerian Keuangan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

C. Makalah Seminar

Komite Antidumping Indonesia, Implementasi Trade Remedies di Indonesia,

Medan, 29 September 2015

D. Skripsi

Siregar, Suci Yunita, Penerapan Non Diskriminasi pada Sistem Perdagangan

Multilateral dalam Kerangka WTO (World Trade Organization), Ilmu

Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2007

E. Website

Perdagangan Internasional, http//:id.wikipedia.org/Perdagangan_internasional (Diakses 23 September 2015)

F. Lain-lain

Siregar, Mahmul. Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Ekonomi Internasional,

(4)

46

KERANGKA WTO A. Dumping dan Antidumping

1. Dumping

a. Pengertian Dumping

Menurut Black’s Law Dictonary, pengertian dumping dinyatakan sebagai

berikut, “The act of selling in quantity at very low price or practically regadless

of the price; also, selling goods abroad at less than the market price at home”.65

Dumping menurut pengertian diatas adalah kegiatan jual beli barang dengan

harga yang sangat rendah atau praktik yang tanpa memperdulikan harga pasar,

juga menjual barang luar negeri atau impor dengan lebih rendah dari harga pasar

di negaranya sendiri.

Beberapa pengertian dumping sebagaimana dikemukakan oleh beberapa

sarjana adalah sebagai berikut:66

1) Agus Brotosusilo: Dumping adalah bentuk diskriminasi harga

internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara

pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di

pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan

untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

2) Muhammad Ashari: Dumping adalah suatu persaingan curang dalam

bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di

65

Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionary, Abridge 6th Ed (West Group), hlm. 347

66

(5)

pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya

atau dari harga jual di negara ketiga.

3) Ralph H. Folsom and Michael W. Gordon: Dumping involves selling

abroad at a price that is less than the price used to sell the same goods

at home (the normal or fair value). To be unlawful, dumping must

threaten or cause material injury to an industry in the export market,

the market where price are lower. Dumping is recognized by most of

trading world as an unfair practice (again price discrimination as an

antitrust offense).

b. Jenis atau Tipe Dumping

Menurut Robert Willig, mantan ahli ekonomi pada divisi Antitrust

Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan

dari eksportir, kekuatan pasar, dan struktur pasar impor, yaitu sebagai berikut:67

1) Market Expansion Dumping: Perusahaan pengekspor bisa meraih

untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar

impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar

selama harga yang ditawarkan rendah.

2) Cycling Dumping: Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya

biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan

biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas

produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.

67

(6)

3) State Trading Dumping: Latar belakang dan motivasinya mungkin

sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah

akuisisi moneternya.

4) Strategic Dumping: Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor

yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui

strategi keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan

harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang

sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar

domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolak ukur

skala ekonomi, maka mereka memperoleh keuntungan dari besarnya

biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.

5) Predatory Dumping: Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor

dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasaran,

dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara

pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya

perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis di negara

pengimpor.

Menurut Kindleberger, apabila dilihat dari segi dampak bagi konsumen dan

industri dalam negeri pengimpor, ada dua jenis dumping yaitu:68

1) Dumping yang bersifat perampasan (predatory dumping), bentuk

seperti ini terjadi apabila perusahaan melakukan diskriminasi dan

menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk

menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga

68

H.A.S Natabaya, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Antidumping dan

(7)

dinaikkan kembali. Bentuk dumping ini sangat merugikan produk

industri dalam negeri negara pengimpor.

2) Dumping yang terjadi secara terus-menerus (persistent dumping),

bentuk dumping seperti ini pada dasarnya hanya akan menguntungkan

konsumen negara pengimpor, karena hanya bersaing dengan produk

impor lain.

c. Kriteria Dumping

Article IV GATT pada prinsipnya telah memberikan kriteria umum bahwa

dumping yang dilarang adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian

materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri (to an establishment industry)

maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik (the

establishment of domestic industry).

Bertitiktolak dari pengertian diatas, maka dumping dapat dikategorikan

menjadi tiga unsur/kriteria sebagai berikut:

1) Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual

dengan harga yang lebih rendah dari harga normal (less than normal

value) atau disebut dengan “less than fair value” (LTFV).

2) Akibat dari diskriminasi harga tersebut yang menimbulkan kerugian

materiil terhadap industri telah berdiri atau menjadi halangan terhadap

pendirian industri dalam negeri.

3) Adanya hubungan kausal antara penjualan barang impor yang LTFV

dengan kerugian yang diderita oleh negara pengimpor.69

69

(8)

Berdasarkan ketentuan dalam Article GATT 1994 bahwa kriteria dumping

dapat dirinci sebagai berikut:

1) Penentuan Dumping (the Determination of Dumping)

Penentuan dumping yang diatur dalam Bab I yang menyatakan bahwa, suatu

produk dianggap sebagai dumping apabila dalam perdagangan antarnegara,

produk tersebut dijual di bawah nilai normal, yaitu:70

a) Harga dari produk serupa (like product) di pasar dalam negeri

negara pengekspor. Dalam hal ini harga pembanding (comparable

price) harus dilakukan berdasarkan perhitungan ex factory price

(harga di luar pabrik) dari penjualan dalam negeri dengan

perhitungan ex factory price dari penjualan ekspor.

b) Bilamana tidak ada harga dalam negeri pengimpor yang dapat

dibandingkan di negara pengekspor, maka harga normal adalah ex

factory price yang berasal dari perhitungan harga produk sejenis di

negara tersebut yang diekspor ke negara ketiga.

c) Ongkos produksi di negara asal ditambah biaya administrasi, biaya

pemasaran, dan keuntungan normal adalah dengan menggunakan

definisi nomor 1 a, namun bilamana penjualan dalam negeri di

negara pengekspor sangat kecil (jarang) atau harga dalam negeri

tidak relevan, misalnya produk tersebut dijual oleh perusahaan

negara di negara yang menganut non-market economy dapat

menggunakan definisi 1 b dan 1.

70

(9)

2) Menimbulkan Kerugian (injury) di dalam Negeri Negara Pengimpor

Penentuan Kerugian (injury) dalam Article VI GATT 1994 didasarkan pada

bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian objektif mengenai:71

a) Volume produk impor harga dumping dan dampaknya terhadap

harga-harga pasar dalam negeri untuk produk sejenis, dan

b) Dampak impor itu terhadap produsen dalam negeri yang

menghasilkan produk sejenis.

3) Adanya Hubungan Kausal (Causal Link)

Hubungan kausal antara praktik dumping yang dilakukan dengan akibat

kerugian (injury) yang terjadi. Adanya praktik dumping dalam impor harus

dibuktikan sebagai penyebab terjadinya kerugian. Hubungan sebab akibat antara

impor dumping dengan kerugian industri dalam negeri negara pengimpor harus

didasarkan pada pengujian semua bukti adanya indikasi dumping.

Pengujian dampak produk impor dengan harga dumping pada industri dalam

negeri negara pengimpor akan mencakup penilaian terhadap semua faktor

ekonomi seperti: penurunan penjualan potensial dan aktual, laba, output, pangsa

pasar produktivitas, pengembangan investasi atau pemakaian kapasitas;

faktor-faktor yang memengaruhi harga dalam negeri; besarnya selisih dumping;

pengaruh negatif pada cash flow potensial dan aktual persediaan tenaga kerja,

upah, pertumbuhan, kemampuan meningkatkan modal atau investasi.72

2. Antidumping

Antisipasi terhadap adanya praktik dumping dilakukan melalui suatu tindakan

yang disebut dengan antidumping. Antidumping adalah suatu tindakan balasan

71

H.A.S. Natabaya, Op. Cit., hlm. 24

72

(10)

yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor

yang melakukan dumping. Pengenaan bea masuk antidumping adalah pungutan

yang dikenakan terhadap barang dumping menyebabkan kerugian.73

a. Dasar Hukum Pengaturan Antidumping

Ketentuan antidumping diatur dalam Article VI General Agreement on Tariff

and Trade (GATT) 1947, dan sebagai upaya untuk mencegah praktik dumping,

maka tanggal 30 Juni 1967 telah ditandatangani “Antidumping Code” oleh sekitar

25 peserta GATT termasuk Amerika Serikat. Code ini merupakan peraturan

pelaksanaan antidumping dalam ketentuan GATT 1947.74

Usaha untuk mengimplementasikan penafsiran Article VI tersebut, maka

dalam Putaran Tokyo disepakati Antidumping Code (1979) oleh 22 negara tanggal

12 April 1980. Code ini secara umum memuat prosedur atau tata cara pelaksanaan

Article VI GATT melalui Agreement on Implementation of Article VI GATT.

Antidumping Code (1979) kemudian diganti dengan Antidumping Code (1994)

yang merupakan hasil perundingan Uruguay Round tahun 1994 yang berjudul

Agreement on Implementation of Article GATT 1994. Antidumping Code (1994)

sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement yang

ditandatangani bersama dengan Agreement of Establishing The World Trade

Organization (WTO) yang merupakan institusi yang bertujuan memajukan

perdagangan dunia antarnegara-negara anggota WTO. Dengan demikian,

kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi merupakan perjanjian tambahan

73

Muhammad Sood, Ibid., hlm. 117

74

(11)

dari GATT seperti halnya Antidumping Code (1979) melainkan merupakan bagian

integral dari Agreement Establishing The World Trade Organization itu sendiri.75

b. Pengaturan Antidumping dalam Tata Hukum Indonesia

Salah satu yang menjadi perhatian Indonesia pasca dikeluarkannya

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) Agreement on

Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Berdirinya Organisasi

Perdagangan Dunia/WTO) terhadap hasil persetujuan Putaran Uruguay adalah

masalah antidumping sebagaimana diatur dalam Article GATT 1994 yang

menyatakan bahwa setiap negara anggota GATT diperbolehkan untuk

mengenakan tindakan antidumping terhadap barang impor yang dijual dengan

harga ekspor dibawah nilai normal dari harga barang yang sama di pasar domestik

negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian terhadap industri dalam

negara pengimpor.76

Indonesia telah mempunyai perangkat hukum antidumping, baik berupa

peraturan perundang-undangan maupun Komite Antidumping untuk

melaksanakan tindakan antidumping. Beberapa peraturan yang mengatur tentang

antidumping adalah sebagai berikut.

1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang

dalam Pasal 18-20 diatur tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea

Masuk Imbalan.

2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

75

Yulianto Syahyu, Op. Cit., hlm. 45

76

(12)

3) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk

Antidumping dan Bea Masuk Imbalan

4) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

136.MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping

Indonesia

5) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

172/MPP/Kep/6/1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim

Organisasi Antidumping

6) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia

7) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

428/MPP/Kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite

Antidumping Indonesia.

8) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/9/1996 tentang

Tata Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping

dan Barang Mengandung Subsidi.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan

Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan

Perdagangan

10)Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 76/M-DAG/PER/12/2012

tentang Tata Cara Penyelidikan Dalam Rangka Pengenaan Tindakan

(13)

11)Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/9/2013

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Tentang Tata

Cara Penyelidikan Dalam Rangka Pengenaan Tindakan Antidumping

12)Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33/M-DAG/PER/6/2014

tentang Organisasi Dan Tata Kerja Komite Anti Dumping Indonesia

c. Penyelidikan dan Pembuktian

Penyelidikan untuk menentukan keberatan atas tuduhan dumping akan diawali

dengan permohonan tertulis oleh atau atas nama industri dalam negeri yang

merasa dirugikan. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) tentang Persetujuan

Pelaksanaan Pasal VI GATT 1994 yang menyatakan bahwa:

“Except as provided for in paragraph 6, an investigation to determine the

existence, degree and effect of any alleged dumping shall be initiated upon

written application by or on behalf of the domestic industry”.

Pasal diatas menunjukkan pengecualian sebagaimana diatur dalam Paragraf 6,

bahwa penyelidikan untuk menentukan keberatan tingkat dan akibat setiap

tuduhan dumping akan diawali dari permohonan tertulis oleh atau atas nama

industri dalam negeri.

Permohonan sebagaimana diatur dalam paragraf 6 ayat (1) tersebut akan

disertai dengan bukti tentang terjadinya dumping, menimbulkan kerugian

berdasarkan Article VI GATT 1994, dan adanya hubungan sebab akibat antara

pengimpor dumping dan kerugian yang dituduhkan. Apabila pemohon tidak dapat

menunjukkan bukti yang relevan dan tidak substansial sebagaimana diatur dalam

(14)

Dalam rangka melakukan penyelidikan, beberapa informasi atau data

diperlukan oleh penyidik (Komite Antidumping) yang merupakan persyaratan

harus dipenuhi oleh pemohon adalah sebagai berikut:77

1) Identitas pemohon dan gambaran volume serta nilai produksi dalam

negeri produk sejenis pemohon. Apabila permohonan tertulis dibuat

atas nama industri dalam negeri, maka permohonannya harus memuat

identifikasi industri tersebut, dengan membuat daftar semua produsen

dalam negeri (produk sejenis atau asosiasi produsen dalam negeri yang

menghasilkan) dan sejauh mungkin, gambaran volume dan nilai

produk dalam negeri untuk produk sejenis dari produsen dimaksud.

2) Deskripsi lengkap dari produk yang dituduh dunping, nama-nama

negara pengekspor atau negara asal, identitas dari setiap pengekspor

atau produsen asing serta daftar pengimpor produk tersebut yang

diketahuinya.

3) Informasi harga produk yang dipermasalahkan ketika diperuntukkan

tujuan konsumsi dalam negeri negara asal atau negara pengekspor

(atau, apabila pantas, informasi harga produk yang dijual dari negara

ketiga atau ada nilai yang dibuat untuk produk itu) dan informasi harga

ekspor atau, apabila pantas pada harga-harga produk itu pertama dijual

kembali kepada pembeli bebas di negara pengimpor.

4) Informasi mengenai evolusi volume dumping impor yang dituduhkan,

pengaruh impor itu terhadap harga-harga produk sejenis di pasar dalam

negeri dan dampak impor itu pada industri dalam negeri.

77

(15)

Menurut Pasal 3 PP Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping,

Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan menyatakan bahwa

proses penyelidikan dalam pengenaan Bea Masuk Antidumping adalah sebagai

berikut:

1. Bea Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh KADI

2. Penyelidikan oleh KADI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan berdasarkan permohonan atau berdasarkan inisiatif KADI

Lebih lanjut dalam Pasal 4 PP Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan

Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

menyatakan bahwa:

1. Produsen dalam negeri Barang Sejenis dan/atau asosiasi produsen

dalam negeri Barang Sejenis dapat mengajukan permohonan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) secara tertulis kepada

KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan

Tindakan Antidumping atas barang impor yang diduga sebagai Barang

Dumping yang menyebabkan Kerugian.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan oleh produsen dalam negeri Barang Sejenis dan asosiasi

produsen dalam negeri Barang Sejenis yang mewakili Industri Dalam

Negeri

3. Produsen dalam negeri Barang Sejenis dan asosiasi produsen dalam

negeri Barang Sejenis dianggap mewakili Industri Dalam Negeri

(16)

a. Produksinya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah

produksi pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

produsen dalam negeri Barang Sejenis yang menolak permohonan

penyelidikan; atau

b. Produksi dari pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

produsen dalam negeri Barang Sejenis yang mendukung

permohonan penyelidikan menjadi lebih dari 50% (lima puluh

persen) dari jumlah produksi pemohon, pendukung, dan yang

menolak permohonan penyelidikan.

4. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat

bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya:

a. Barang Dumping;

b. Kerugian; dan

c. Hubungan sebab akibat antara Barang Dumping dan Kerugian

yang dialami oleh pemohon..

5. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) terdiri atas data yang

bersifat rahasia dan data yang bersifat tidak rahasia.

6. Dalam hal data yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam

ayat (5) tidak didukung alasan yang kuat bahwa bersifat rahasia, KADI

dapat mengabaikan kerahasiaan data tersebut.

7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan

(17)

Barang Sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama

dalam segala hal dengan barang impor atau barang yang memiliki karakteristik

menyerupai barang yang diimpor.78

Penyelidikan yang dilakukan berdasarkan inisiatif KADI haruslah memiliki

bukti awal yang cukup mengena adanya Barang Dumping, Kerugian Industri

Dalam Negeri, dan hubungan sebab akibat antara Barang Dumping dan Kerugian

Industri Dalam Negeri seperti yang tercantum Pasal 5 PP Nomor 34 Tahun 2011

tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan

Perdagangan, yaitu:

“Penyelidikan berdasarkan inisiatif KADI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya Barang Dumping, Kerugian Industri Dalam Negeri, dan hubungan sebab akibat antara Barang Dumping dan Kerugian Industri Dalam Negeri.”

Ketentuan penyelidikan dalam pengenaan Tindakan Antidumping menurut PP

Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan

Tindakan Pengamanan Perdagangan tercantum dalam Pasal 6 ayat (1), yaitu:

1. produksi dari pemohon atau produksi dari pemohon dan yang

mendukung permohonan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau

lebih dari total produksi Barang Sejenis yang dihasilkan oleh Industri

Dalam Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan

permohonan; atau

2. produksi dari Industri Dalam Negeri yang mendukung dilakukannya

penyelidikan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari

78

(18)

total produksi Barang Sejenis yang dihasilkan oleh Industri Dalam

Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan inisiatif KADI.

Penyelidikan tidak dapat dilakukan atau segera harus dihentikan terhadap

eksportir, eksportir produsen, atau negara pengekspor tertentu apabila KADI

menemukan:79

1) besarnya Marjin Dumping kurang dari 2% (dua persen) dari Harga

Ekspor; dan/atau

2) volume impor Barang Dumping dari:

a) satu negara kurang dari 3% (tiga persen); dan

b) beberapa negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.1

secara kumulatif 7% (tujuh persen) atau kurang, dari total impor

Barang Sejenis.

Pemohonan dalam hal penyelidikan Bea Masuk Antidumping tercantum

dalam Pasal 7 PP Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping,

Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, yaitu:

1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

diterima secara lengkap, KADI memberitahukan mengenai adanya

permohonan kepada pemerintah negara pengekspor.

2) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung

sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) diterima secara lengkap, KADI:

a) melakukan kajian atas kecukupan dan ketepatan bukti awal yang

disampaikan dalam permohonan; dan

79

(19)

b) memberikan keputusan:

(1) menolak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan

Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a; atau

(2) menerima dan menetapkan dimulainya penyelidikan, dalam hal

permohonan memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1)

huruf a.

Dimulai dan berakhirnya penyelidikan terhadap pengenaan Tindakan

Antidumping terdapat dalam Pasal 8 PP Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan

Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, yaitu:

1) Penyelidikan dalam rangka pengenaan Tindakan Antidumping dimulai

pada saat diumumkan kepada publik.

2) Selain diumumkan kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), KADI memberitahukan dimulainya penyelidikan kepada:

a) eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui

pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik

Indonesia di negara pengekspor, importir, dan pemohon, dalam hal

penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan; atau

b) eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui

pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik

Indonesia di negara pengekspor, importir, dan Industri Dalam

Negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan inisiatif

KADI.

(20)

Jangka waktu dalam proses penyelidikan pengenaan Tindakan Antidumping

tercantum dalam Pasal 9 PP Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan

Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, yaitu:

1) Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan dalam

jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal

penyelidikan dimulai.

2) Dalam keadaan tertentu, jangka waktu penyelidikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 18

(delapan belas) bulan.

3) Apabila dalam masa penyelidikan tidak ditemukan adanya bukti

Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian, KADI segera

menghentikan penyelidikan dan melaporkan kepada Menteri.

4) Penghentian penyelidikan harus segera diberitahukan kepada eksportir

dan/atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah

negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara

pengekspor, pemohon atau Industri Dalam Negeri, dan importir,

disertai dengan alasan.

Mengenai laporan akhir hasil penyelidikan, PP Nomor 34 Tahun 2011

tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan

Pengamanan Perdagangan menyatakan bahwa:

1) KADI menyampaikan laporan akhir hasil penyelidikan kepada Menteri

dan kepada eksportir dan/atau eksportir produsen secara langsung atau

melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik

(21)

dan importir dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja

terhitung sejak tanggal penyelidikan berakhir.

2) Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan terbukti adanya Barang

Dumping yang menyebabkan Kerugian, KADI menyampaikan

besarnya Marjin Dumping dan merekomendasikan kepada Menteri

mengenai pengenaan Bea Masuk Antidumping.

3) Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan tidak terbukti adanya

Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian, KADI melaporkan

kepada Menteri mengenai penghentian penyelidikan.

B. Subsidi dan Tindakan Imbalan

1. Subsidi

Menurut Pasal 1 ayat (1)a persetujuan tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan

(Agreement on Subsidies and Countervailing Measures), bahwa pengertian

subsidi adalah kontribusi finansial oleh pemerintah atau badan pemerintah dalam

wilayah anggota meliputi:80

a. Suatu kegiatan pemerintahan melibatkan penyerahan dana secara

langsung, seperti hibah, pinjaman dan penyerahan atau pemindahan dana

atau kewajiban secara langsung, misalnya jaminan utang.

b. Pendapatan pemerintah yang seharusnya sudah dibayar menjadi hapus atau

tidak ditagih, misalnya insentif fiskal, seperti keringan pajak.

c. Pemerintah menyediakan barang atau jasa selain dari infrastruktur atau

pembelian barang.

80

(22)

d. Pemerintah melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan atau

menunjuk suatu organisasi atau badan swasta untuk melaksanakan satu

atau lebih jenis fungsi sebagaimana yang disebutkan dalam butir a sampai

c diatas, yang diberikan pada pemerintah dan pelaksanaannya berbeda dari

yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.

Pemberian subsidi pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:81

a. Untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Maksudnya ialah agar pengusaha

yang memperoleh subsidi dapat memproduksi produknya dengan biaya

yang lebih rendah/murah, sehingga produk tersebut dapat di ekspor dengan

harga yang dapat bersaing dengan produk serupa dari negara pengimpor

dari negara ketiga lainnya.

b. Untuk mengurangi impor. Artinya bahwa pemberian subsidi terhadap

komponen produk tertentu yang diproduksi di dalam negeri mendorong

produsennya untuk tidak lagi membeli komponen produk serupa dari luar

negeri. Meskipun demikian, subsidi seperti ini tidak menjamin bahwa

produk lokal tersebut akan benar-benar baik kualitasnya dan rendah

harganya dibandingkan dengan produk impor.

Sehubungan dengan tujuan tersebut diatas, selanjutnya John H. Jackson dalam

Taryana Sunandar82 menyatakan bahwa:

In international trade policy terms, there are basically two tipes of subsidies:

like production subsidies and export subsidies”:

81

A.F. Elly Erawati, Op. Cit., hlm. 1-2.

82

(23)

a. Production Subsidy is a subsidy granted to an industry merely for the

“production”product regardless of the of whether the product is exported

or not.

b. Export Subsidy is one which is paid to an industry for each of its product

which is exported.”

Berdasarkan pendapat diatas, bahwa penggolongan “subsidi yang tidak

dilarang” dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produksi dan

menggalakkan ekspor meliputi:83

a. Subsidi produksi adalah subsidi yang memberikan jaminan kepada suatu

industri hanya untuk mendorong kegiatan produksi tanpa memerhatikan

apakah produksi tersebut di ekspor atau tidak.

b. Subsidi ekspor adalah subsidi yang dibayar kepada suatu industri untuk

setiap produksinya yang diekspor.

Kriteria subsidi yang masuk dalam pengawasan WTO disepakati melalui

pertemuan GATT Putaran Uruguay 1994, maka kriteria subsidi yang masuk dalam

pengawasan WTO, diatur dalam Article I on Subsidies and Countervailing

MeasuresGATT/WTO 1994, adalah sebagai berikut.84

a. Kontribusi financial yang berasal dari pemerintah seperti, hibah;

pinjaman; penyertaan modal; pengalihan kewajiban atau modal, misalnya

jaminan utang; pengalihan pemasukan kas negara, misalnya, pengurangan,

penghapusan pajak; penyediaan barang/fasilitas pelayanan yang bukan

berupa barang atau sarana publik.

83

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 191

84

(24)

b. Khusus bidang pertanian, subsidi dianggap ada jika terdapat apa yang

disebut sebagai price support atau income support.

c. Subsidi tersebut harus menimbulkan keuntungan bagi pihak yang

menerimanya.

d. Subsidi tersebut harus bersifat spesifik, artinya subsidi itu memang

diberikan oleh pemerintah hanya kepada sebuah perusahaan atau industri,

atau ke sekelompok perusahaan atau sekelompok industri.

Menurut Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Article

3-Article 8) bahwa jenis subsidi meliputi:85

a. Subsidi yang terlarang (prohibiet subsidies) dalam Article 3 yaitu:

1) Kelompok subsidi yang diberikan kepala pelaksana ekspor misalnya

subsidi ekspor (yang berhubungan dengan kinerja ekspor). Larangan

subsidi ekspor ini tidak berlaku untuk negara yang tergolong sangat

terbelakang, dan untuk negara berkembang dalam jangka waktu 8

tahun terhitung sejak berlakunya persetujuan WTO mengenai subsidi

tersebut.

2) Kelompok subsidi yang diberikan untuk pemakaian produk lokal

(penggunaan barang dalam negeri) sebagai pengganti produk impor.

Larangan subsidi ini tidak berlaku bagi negara berkembang dalam

jangka waktu 5 tahun, dan negara terbelakang selama jangka waktu 8

tahun sejak berlakunya persetujuan WTO.

b. Subsidi yang dapat terkena tindakan (actionable subsidies), Article 5

Kelompok subsidi jenis ini adanya kemungkinan terkena sanksi apabila:

85

(25)

1) Mengakibatkan kerugian (injury dan threat of injury) industri dalam

negeri dari negara yang mengimpor produk yang disubsidi tersebut.

2) Menghilangkan atau merusak keuntungan baik secara langsung

maupun tidak langsung yang seharusnya dinikmati oleh negara lain.

c. Subsidi yang tidak terkena tindakan (non-actionable subsidies), Article 8

Kelompok subsidi jenis ini meliputi:

1) Subsidi yang tidak spesifik dalam pengertian Article 2.

2) Subsidi berupa bantuan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan,

universitas, lembaga penelitian, sepanjang besarnya bantuan itu tidak

melebihi 75% dari biaya penelitian industri, atau bila riset itu masih

pada tahap precompetitive development activity seperti biaya

pengembangan sebelum dipasarkan tidak lebih dari 50% dari total

biaya.

a) Subsidi untuk wilayah yang terbelakang, sepanjang kriteria daerah

terbelakang itu disusun secara objektif, transparan, dan eksplisit

melalui peraturan perundang-undangan dengan menggunakan

tolak ukur pembangunan ekonomi yang minimal terdiri dari faktor

pendapatan per kapita, angka pengganguran.

b) Subsidi untuk membantu penyesuaian fasilitas persyaratan

lingkungan hidup sesuai dengan undang-undang, sepanjang

bantuan itu hanya untuk satu kali saja dan besarnya 20% dari

biaya yang dibutuhkan.

2. Bea Masuk Imbalan

(26)

1) Penyelidikan dan Pembuktian Adanya Kerugian

Penyelidikan dan pembuktian mengenai adanya kerugian materiil sebagai

akibat dari produk impor subsidi merupakan bagian dari proses penerapan bea

masuk imbalan. Hal ini sebagaimana dunyatakan dalam Code on Subsidies and

Countervailing Duties (Article VI GATT), bahwa negara yang terkena dampak

subsidi dapat:86

a) Melakukan “injury test” yaitu penyelidikan dan pembuktian

tentang adanya kerugian materiil

b) Melakukan pengujian yang objektif tentang pengaruh harga

barang impor terhadap produk domestik

c) Mengajukan permintaan tertulis kepada negara yang melakukan

subsidi bahwa ia akan melakukan countervailing duty dengan

disertai keterangan sebagai berikut

(1) Subsidi yang telah dikenakan terhadap barang ekspor tertentu

(2) Jumlah kerugian materiil yang diduga telah diderita oleh

industri domestik

d) Apabila para pihak tidak mampu menyelesaikan

persengketaannya, maka persoalan akan diserahkan kepada

sebuah Komite (di Indonesia: Komite Antidumping

Indonesia/KADI). Kemudian Komite akan terlibat mencari fakta

yang objektif tentang kebenaran adanya kerugian materiil.

Apabila terbukti ditemukan fakta tentang kerugian materiil, maka

86

(27)

berdasarkan penyelidikan tersebut, maka suatu negara baru dapat

mengenakan bea balasan setelah disetujui oleh Komite.

Dalam melaksanakan penyelidikan, pembuktian dan pengujian terhadap

produk impor yang terindikasi subsidi dan pengaruhnya terhadap produk

domestik, pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelidikan tersebut

meliputi:87

a) Produsen/asosiasi produsen,

b) Pengekspor,

c) Pengimpor/asosiasi importer,

d) Pengguna akhir/asosiasi pengguna akhir di negara penuduh, dan

e) Pemerintah negara yang dituduh

Adapun secara garis besar tahapan-tahapan dalam melakukan penyelidikan

subsidi adalah sebagai berikut:88

a) Negara penuduh/pengimpor terlebih dahulu melakukan konsultasi

dengan pihak-pihak yang terkait

b) Negara pengimpor melakukan pemberitahuan (notification)

kepada negara asal barang subsidi

c) Memulai penyelidikan subsidi, meliputi penyampaian

pengumuman, petisi dan daftar pertanyaan (kuesioner) kepada

semua pihak yang terkait

d) Melakukan verifikasi atas jawaban kuesioner dari pihak terkait

e) Melakukan dengar pendapat (hearing)

f) Mengenakan bea masuk imbalan sementara

87

Ibid., hlm. 206

88

(28)

g) Menetapkan keputusan akhir yang dapat berupa pengenaan bea

masuk imbalan tetap, penyesuaian harga atau penghentian

penyelidikan.

Menurut PP No. 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan

Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dalam pasal 39, proses dalam

mengajukan permohonan penyelidikan subsidi adalah sebagai berikut:

a) Produsen dalam negeri Barang Sejenis dan/atau asosiasi produsen

dalam negeri Barang Sejenis dapat mengajukan permohonan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) secara tertulis

kepada KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka

pengenaan Tindakan Imbalan atas barang impor yang diduga

mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian.

b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan oleh produsen dalam negeri Barang Sejenis dan asosiasi

produsen dalam negeri Barang Sejenis yang mewakili Industri

Dalam Negeri.

c) Produsen dalam negeri Barang Sejenis dan asosiasi produsen

dalam negeri Barang Sejenis dianggap mewakili Industri Dalam

Negeri apabila:

(1) Produksinya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah

produksi pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

produsen dalam negeri Barang Sejenis yang menolak

(29)

(2) Produksi dari pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan produsen dalam negeri Barang Sejenis yang mendukung

permohonan penyelidikan menjadi lebih dari 50% (lima puluh

persen) dari jumlah produksi pemohon, pendukung, dan yang

menolak permohonan penyelidikan.

d) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat

bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai

adanya:

(1) Subsidi;

(2) Kerugian; dan

(3) Hubungan sebab akibat antara barang impor yang

mengandung Subsidi dan Kerugian yang dialami oleh

pemohon.

e) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas data

yang bersifat rahasia dan data yang bersifat tidak rahasia.

f) Dalam hal data yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud pada

ayat (5) tidak didukung alasan yang kuat bahwa bersifat rahasia,

KADI dapat mengabaikan kerahasiaan data dimaksud.

g) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Menteri.

Penyelidikan pada dasarnya dilakukan berdasarkan permohonan Industri

Dalam Negeri yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Namun, apabila

(30)

mengandung subsidi yang menyebabkan kerugian, maka penyelidikan dapat

dilakukan secara langsung atas prakarsa Komite tanpa adanya permohonan dari

industri dalam negeri, seperti yang tercantum dalam pasal 40 PP Nomor 34 Tahun

2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan

Pengamanan Perdagangan, yaitu :

“Penyelidikan berdasarkan inisiatif KADI sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (2) dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya Subsidi Neto, Kerugian Industri Dalam Negeri, dan hubungan sebab akibat antara Subsidi Neto dan Kerugian Industri Dalam Negeri.”

Mengenai hasil akhir dari penyelidikan, dalam Pasal 45 PP No. 34 Tahun

2011, menyatakan bahwa:

a) KADI menyampaikan laporan hasil akhir penyelidikan kepada Menteri

dan kepada eksportir dan/atau produsen secara langsung atau melalui

pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia

di negara pengekspor, pemohon atau Industri Dalam Negeri, dan

Importir dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja

terhitung sejak tanggal penyelidikan berakhir.

b) Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan terbukti adanya barang

mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian, KADI

menyampaikan besarnya Subsidi Neto dan merekomendasikan kepada

Menteri mengenai pengenaan Bea Masuk Imbalan.

c) Dalam hal laporan akhir hasil akhir penyelidikan tidak terbukti adanya

barang yang mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian, KADI

(31)

Adapun yang dimaksud dengan Subsidi Neto adalah selisih antara subsidi

dengan:89

a) Biaya permohonan, tangg2ungan atau pungutan lain yang dikeluarkan

untuk memperoleh subsidi dan/atau

b) Pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti subsidi

yang diberikan kepada barang ekspor.

2) Pengenaan Bea Masuk Imbalan

Menurut Pasal 21 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan, bahwa bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor dalam

hal:

a) Ditemukan adanya subsidi yang diberikan di negara pengekspor

terhadap barang tersebut, dan

b) Impor barang tesebut:

(1) Menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang

memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;

(2) Mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri

yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;

(3) Menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam

negeri.

Menurut Pasal 22 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995, dinyatakan bahwa

bea masuk imbalan dikenakan terhadap barang impor sebagai disebut diatas

setinggi-tingginya sebesar selisih antara subsidi dengan:

89

(32)

a) Biaya permohonan, tanggungan atau pungutan lain yang

dikeluarkan untuk memperoleh subsidi, dan/atau

b) Pungutan yang dikenakan pada saat ekspor untuk pengganti subsidi

yang diberikan kepada barang ekspor tersebut.

Bea masuk imbalan tersebut merupakan tambahan dari Bea Masuk terhadap

barang impor yang dipungut berdasarkan tarif setinggi-tingginya 40% Nilai

Pabean untuk perhitungan Bea Masuk.

Penetapan bea masuk imbalan adalah berdasarkan hasil penyelidikan yang

dilakukan oleh Komite (Komite Antidumping Indonesia/KADI) yang

membuktikan bahwa barang tersebut mengandung subsidi yang menyebabkan

kerugian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (2), maka berdasarkan

informasi yang disampaikan oleh Komite, Menteri Perindustrian dan Perdagangan

memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan bea masuk imbalan yang

besarnya sama dengan atau lebih kecil dari “Subsidi Neto”. Jangka waktu

pengenaan bea masuk imbalan oleh negara pengimpor terhadap barang subsidi

selama lima tahun, dan dapat diperpanjang untuk lima tahun berikutnya.

3) Upaya-upaya dalam Menghadapi Tuduhan Subsidi di Negara

Pengimpor

Pemerintah maupun perusahaan terutama pihak produsen dan/atau pengekspor

dalam menghadapi tuduhan subsidi di negara pengimpor harus melakukan

beberapa upaya antisipasi, upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan jika ada

tuduhan subsidi adalah sebagai berikut:90

90

(33)

a) Para produsen/pengekspor hendaknya terus merespons secara aktif

dan kooperatif setiap tahapan dalam proses penyelidikan subsidi.

b) Mereka membentuk tim khusus untuk mengantisipasi adanya

tuduhan subsidi terhadap produk Indonesia di luar negeri.

c) Para pengekspor hendaknya selalu memerhatikan setiap periode

investigasi.

d) Setiap pengekspor yang terkena tuduhan subsidi harus menjawab

kuesioner dari negara penuduh dengan baik, benar, lengkap dan

tepat waktu.

e) Para produsen/pengekspor harus menyimpan semua dokumen

penting yang berkaitan dengan keuangan.

f) Para produsen/pengekspor harus menerima dan melayani dengan

baik tim investigator yang akan melakukan verifikasi data (on spot

verification).

g) Para produsen/pengekspor harus memahami ketentuan subsidi

negara tujuan ekspor.

h) Para produsen/pengekspor harus mampu menyusun sanggahan

(submisi) terhadap segala tuduhan subsidi.

Adapun peranan Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) dalam upaya

menghadapi tuduhan antidumping yaitu:91

a) Memberitahukan adanya inisiasi tuduhan.

b) Memonitoring prosedur antisubsidi.

91

(34)

c) Koordinasi dengan produsen dan pengekspor yang dituduh,

asosiasi, unit Pembina, KBRI, Atase Perdagangan dan Instansi

terkait lainnya.

d) Mengagendakan permasalahan subsidi dalam forum bilateral.

e) Bersama dengan pengekspor/produsen tertuduh menghadiri

hearing.

f) Menyusun sanggahan (submisi) versi pemerintah.

g) Bersama dengan pengekpor mengidentifikasi dan memobilisasi

pressure group dari negara penuduh (asosiasi importer dan user)

h) Melakukan pendekatan ke otoritas antisubsidi negara penuduh dan

mengarahkan kepada upaya win-win solution.

i) Membawa kasus ke WTO apabila terjadi tindakan unfair dalam

pelaksanaan proceeding.

C. Pengamanan Perdagangan (Safeguard) 1. Safeguard

a. pengaturan safeguard sebelum Perundingan Uruguay Round

Perdebatan tentang pengaturan tindakan pengamanan (safeguard) pertama kali

dilakukan melalui perundingan GATT di Jenewa tahun 1947, namun dalam

penerapannya tidak mudah untuk dilaksanakan. Hal ini karena belum tercapainya

kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang yang mengacu pada

prinsip nondiskriminasi, selain itu sulitnya pembuktian apakah suatu produk

(35)

barang sejenis di negara pengimpor sementara pembuktian tersebut merupakan

salah satu persyaratan untuk melakukan tindakan pengamanan (safeguard).92

Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan

tindakan safeguard oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi

industri dalam negeri dan bersifat nondiskriminatif. Hal ini berarti bahwa tindakan

safeguard melalui pembatasan impor ditetapkan karena telah terjadi peningkatan

produk impor, sehingga menimbulkan kerugian (injury) yang serius di dalam

negeri (negara pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus

dibatasi aksesnya di negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara

yang menghadapi negara safeguard, yakni yang terkena pembatasan ekspor harus

diberi kompensasi. Selanjutnya, ditentukan pula bahwa remedy yang dikenakan

dalam upaya safeguard adalah tarif walaupun pembatasan kuantitatif juga

diperbolehkan.93

Mengingat persyaratannya sangat ketat, maka sejak perjanjian GATT 1948

penggunaan mekanisme safeguard dianggap tidak memuaskan. Aturan untuk

menerapkan safeguard sering tidak efektif sehingga mekanisme ini semakin

jarang digunakan. Dengan sistem safeguard yang tidak memuaskan, maka

semakin banyak negara menggunakan tindakan di luar GATT untuk membendung

impor. Untuk mencapai tujuan yang sama, yakni membatasi peningkatan impor,

yang terjadi adalah timbul praktik-praktik perjanjian yang diterapkan secara

informal walaupun inti sesungguhya melanggar GATT, namun secara politis dan

teknis sulit dicegah, hal ini dikenal sebagai grey area measures.94

92

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 215

93

Ibid .

94

(36)

Adapun cara yang diambil dalam berbagai perjanjian sebagai upaya

pembatasan impor tersebut, antara lain berupa Voluntary Export Restraint (VER)

dan Orderly Marking Arrangement (OMAs). VER sebagai perjanjian untuk

membatasi ekspor secara sukarela atau OMAs sebagai perjanjian untuk mengatur

pemasaran sesuatu barang, pada intinya merupakan penentuan sepihak dari negara

besar dan kuat terhadap negara yang lebih lemah untuk menentukan kuota

ekspor.95

b. pengaturan safeguard pasca perundingan Uruguay Round

1) pertemuan Punta del Este (Uruguay) 1986-1988

Hasil perundingan safeguard di Punta del Este (Uruguay) diatur dalam Article

XIX GATT bertujuan untuk mencapai suatu perjanjian yang komprehensif yang

pada gilirannya akan menyempurnakan aturan main sistem perdagangan

multilateral. Selanjutnya dapat dicatat bahwa Deklarasi Pulta del Este juga

menetapkan agar perjanjian dapat dicapai dalam negosiasi mengenai safeguard

harus berdasarkan pada prinsip dasar dari GATT yang dalam hal ini menyangkut

prinsip nondiskriminasi (Most Favoured Nation Principles).96

Permasalahan utama yang dihadapi para perunding adalah bagaimana

merumuskan suatu bentuk persetujuan tentang safeguard yang memuat semua

unsur-unsur sebagaimana ditetapkan mandat deklarasi. Dari semua unsur tersebut

penerapan prinsip nondiskriminasi khususnya MFN merupakan masalah masalah

utama yang paling banyak menimbulkan pertentangan khususnya antara negara

maju dan negara berkembang.97

95

Ibid., hlm. 156

96

Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 216-217

97

(37)

Negara-negara maju tetap bersikeras mempertahankan agar tindakan

safeguard dapat dilakukan secara selektif, sementara negara berkembang tetap

bertahan agar prinsip utama GATT yaitu nondiskriminasi (MFN) berlaku untuk

safeguard. Artinya safeguard belaku kepada semua negara anggota tanpa kecuali.

Hal tersebut menyebabkan teks perjanjian safeguard sebagai dasar untuk proses

perjanjian lebih lanjut gagal disepakati para menteri pada sidang Mid-Term

Review yang diselenggarakan pada bulan Desember 1988 di Montreal.98

2) Sidang Mid-Term Review Montreal (Canada) 1988

Perbedaan posisi antara negara maju dan negara berkembang khusus

perdebatan antara penggunaan prinsip nondiskriminasi (MFN) dan selektivitas

telah menyebabkan bidang safeguard gagal disepakati pada sidang Mid-Term

Review di Montreal (Canada) tahun 1988. Masalah ini kemudian dibahas kembali

dalam kelanjutan sidang Mid-Term yang diselenggarakan di Jenewa hingga April

1989.99

Menteri-menteri yang menjadi perwakilan negara-negara hanya memberikan

petunjuk mengenai langkah-langkah perundingan safeguard yang berdasarkan

pada prinsip-prinsip dasar dari persetujuan umum yang bertujuan untuk

mengembangkan pengawasan safeguard dengan melakukan tindakan pembatasan

serta selaku melakukan kontrol. Para menteri juga mengakui bahwa melalui

persetujuan tersebut sebagai suatu hal yang sangat penting untuk memperkuat

sistem GATT dalam rangka mengembangkan negosiasi perdagangan secara

98

Ibid.

99

(38)

multilateral (Multilateral Trade Negotiation). Selanjutnya, para menteri juga

memberikan mandat untuk melakukan hal-hal sebagai berikut.100

(a) Melaksanakan pengkajian dan analisis yang mendalam terhadap

elemen-elemen yang menunjang saling pengertian di antara para

peserta dalam menghadapi segala permasalahan.

(b) Memperkuat hubungan baik antarelemen-elemen,

persetujuan-persetujuan yang mendasar tersebut tidak dapat dicapai jika

dilakukan secara tersendiri dan terpisah.

(c) Mengakui bahwa tindakan pengamanan (safeguard) merupakan

definisi pembatasan jangka waktu.

(d) Sesuai dengan keputusan kelompok negosiasi atas nama ketua

sidang, serta asisten sekretariat dan konsultasi bersama para

delegasi mempersiapkan rancangan teks persetujuan secara

keseluruhan sebagai dasar negosiasi, tanpa merugikan hak-hak

peserta untuk memperoleh teks dan proposal yang sempurna

sebelum akhir April 1989.

(e) Menyetujui untuk memulai negosiasi rancangan naskah/teks

selambat-lambatnya pada Juni 1989.

3) Sidang Tingkat Menteri di Brussel (Swedia) Desember 1990

Sidang tingkat menteri di Brussel pada bidang safeguard masih memerlukan

keputusan politis karena hal tersebut belum dapat diselesaikan dalam perundingan

sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa masalah utama

yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguard secara selektif

100

(39)

(selecvity). Selain itu, masalah aturan permainan di bidang safeguard juga

semakin jarang dilaksanakan karena syaratnya dianggap terlampau berat untuk

dipenuhi. Oleh karena itu, ada pemikiran untuk memberikan insentif dalam

penggunaan safeguard dengan menambah syarat agar tidak melakukan tindakan

pembalasan (retaliation).

Selanjutnya karena mekanisme safeguard dianggap terlalu kompleks, maka

suatu negara dapat memaksa negara lain untuk tunduk pada ketentuan pembatasan

ekspor dalam bentuk grey area measures. Karena terjadi kontroversial mengenai

bagaimana mengatasi masalah untuk dapat membatasi adanya grey area

measures.101

Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila suatu industri dalam

negeri menghadapi kesulitan karena membanjirnya produk impor. Namun, bagi

negara berkembang diberikan perlakuan khusus yang meringankan. Hal ini

merupakan prinsip yang berlaku dalam perjanjian sebagai suatu masalah special

and defferential treatment yang harus mendapat penyelesaian, antara slain,

masalah waktu safeguard yang juga masih memerlukan penyelesaian politis,

demikian pula semakin banyaknya negara yang bergabung dalam free trade area

dan custom union.

Masalah-masalah tersebut merupakan pertanyaan di bidang safeguard yang

bersifat fundamental dalam Chairman’s Comentary. Chairman’s Comentary

tersebut merupakan rangkuman komprehensif dari permasalahan yang timbul

dalam perumusan penyempurnaan aturan main dalam safeguard, sementara

negara peserta harus mencapai kesepakatan mengenai hal-hal tersebut. Segala apa

101

(40)

yang disepakati dalam perundingan selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan

dalam penyusunan draft akhir.

Beberapa hal yang belum disepakati dalam perundingan terutama masalah

yang menyangkut pelanggaran gray are measures, sehingga ketu kelompok

negosiasi perlu mengeluarkan teks baru tentang revisi klausula mengenai gray are

measures dan masalah-masalah lainnya. Teks tersebut selanjutnya menjadi teks

perjanjian safeguard (Draft Agreement on Safeguard) sebagai salah satu bagian

dalam Draft Final Act (DFA) yang dikeluarkan pada 20 Desember 1991.102

Draft Agreement on Safeguard merupakan upaya untuk melakukan

perombakan besar dengan mengadakan larangan terhadap apa yang dikenal

dengan gray are measures, menentukan suatu sunset klause, yaitu batasan waktu

berlangsung suatu tindakan safeguard.103

Agreement ini menetapkan bahwa negara anggota tidak boleh menggunakan

atau mempertahankan pembatasan ekspor “sukarela” atau VER, pembatasan

permasalahan yang diatur dalam OMAs maupun kebijaksanaan yang serupa

terhadap sisi ekspor maupun impor. Setiap kebijaksanaan yang sejenis itu masih

berlaku pada saat agreement ini dinyatakan berlaku harus disesuaikan dengan

ketentuan dalam agreement ini atau harus dihapus secara bertahap dalam waktu 4

(empat) tahun. Pengecualiannya dapat dibuat untuk suatu kebijaksanaan khusus,

namun harus disetujui bersama oleh anggota GATT lainnya yang berkepentingan

dan penghapusannya dilakukan secara bertahap sampai 31 Desember 1999.104

Semua kebijaksanaan safeguard yang dibuat berdasarkan Article XIX GATT

harus diakhiri dalam waktu tidak kurang dari 8 (delapan) tahun sesudah tanggal

102

Ibid., hlm. 219-220

103

H.S. Kartadjoemena, Op. Cit., hlm. 161

104

(41)

saat pertama sekali kebijaksanaan tersebut diterapkan atau 5 (lima) tahun sesudah

tanggal berlakunya agreement ini. Ketentuan tanggal investigasi safeguard

meliputi:105

(a) Pengumuman untuk mengadakan dengar pendapat (hearing)

(b) Ketentuan mengenai cara para pihak yang berkepentingan untuk

menyampaikan keterangan atau fakta, termasuk tentang apakah

suatu kebijaksanaan di permasalahkan itu merupakan kepentingan

umum.

Kebijaksanaan safeguard sementara (provisional safeguard) dapat diterapkan

dalam keadaan mendesak atas dasar penetapan pendahuluan menghadapi kerugian

yang riil. Jangka waktu berlakunya kebijaksanaan safeguard sementara tersebut

tidak boleh melebihi 200 (dua ratus) hari.

Perjanjian ini juga menentukan kriteria untuk penetapan adanya suatu serious

injury dan pengaruh spesifiknya terhadap impor adalah:

(a) Tindakan safeguard dapat diterapkan hanya sepanjang diperlukan

untuk melindungi atau mengawasi kerugian yang serius dan

memudahkan penyesuaiannya.

(b) Apabila pembatasan digunakan, diterapkan dalam bentuk

pembatasan kuantitatif (quantitative restriction), maka hal itu tidak

boleh mengurangi jumlah impor di bawah rata-rata per tahun

selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, sesuai dengan data statistik

yang tersedia. Kecuali ada alasan yang secara jelas diberikan, yaitu

105

(42)

bahwa tingkat perbedaan tersebut diperlukan untuk melindungi

atau mengatasi kerugian yang serius.

4) Hasil Akhir Perundingan Safeguard di Marrakech (Marocco) 1994

Perkembangan perundingan di bidang safeguard sangat lamban, hal ini terjadi

karena berbagai permasalahan di bidang safeguard yang belum terselesaikan dan

masih memerlukan kompromi tpolitis antara para peserta sidang.106

Permasalahan-permasalahan yang dianggap belum terselesaikan di bidang

safeguard pada tingkat teknis dibahas pada tingkat head of delegation untuk

mencapai kompromi politis. Hal ini dilaksanakan sejak 15 November 1993

sampai dengan rencana akhir perundingan Uruguay Round, yaitu tanggal 15

Desember 1993. Namun demikian, hingga akhir perundingan, persetujuan tentang

safeguard belum dapat disepakati oleh para peserta.107

Diselenggarakannya putaran akhir perundingan Uruguay Round di Marrakech

(Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati hasil persetujuan di bidang

safeguard. Adapun ringkasan hasil perundingan di bidang safeguard adalah

sebagai berikut.108

(a) Safeguard adalah hak darurat membatasi impor adalah apabila

terjadi peningkatan impor yang menimbulkan serious injury

terhadap industri domestik.

(b) Negara berkembang khawatir akan adanya langkah yang semakin

efektif.

(c) Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional

selama penyidikan apabila

106

Muhammad Sood., Op. Cit., hlm. 222

107

H.S. Kartadjoemena, Op. Cit., hlm. 164

108

(43)

(1) Ada bukti yang jelas bahwa peningkatan impor telah atau akan

menimbulkan serious injury.

(2) Apabila keterlambatan penerapan safeguard akan menimbulkan

kerugian yang sulit diperbaiki.

(d) Ketentuan seperti voluntary export restrains (VER) tidak boleh

diterapkan

(e) Safeguard tidak boleh diterapkan lebih dari 4 (empat) tahun kecuali

bila masih perlu untuk mencegah injury dan industri yang terkena

sedang dalam restrukturisasi.

(f) Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan

jika melebihi 3 (tiga) tahun harus ditinjau dalam satu setengah

tahun.

(g) Safeguard tidak dikenakan untuk negara berkembang apabila

pangsa negara tersebut 3% (tiga persen) atau kurang dari total

impor negara penerap safeguard dan apabila pangsa kolektif

negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari

total impor negara tersebut.

Persetujuan di bidang safeguard yang berakhir di Marrakech (Marocco) 15

April 1994 bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem perdagangan

internasional berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan sebagai

berikut.109

(a) Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994, dan

khususnya Article XIX GATT (Tindakan Darurat atas Impor Produk

109

(44)

tertentu), untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral

tentang tindakan pengamanan, dan menghilangkan yang lolos dari

pengendalian tersebut.

(b) Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk

meningkatkan dan bukan membatasi persaingan dalam pasar

internasional.

(c) Pertimbangan lebih lanjut bahwa untuk tujuan ini, persetujuan

menyeluruh yang diterapkan oleh semua anggota berdasarkan

(45)

87

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pelindungan dan Pengamanan

1. Pengertian

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dalam salah satu

babnya, yaitu mengenai kebijakan pelindungan dan pengamanan perdagangan

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu dalam Pasal 67 ayat (3) bahwa

tidak terdapat pengertian yang secara eksplisit tentang kebijakan pelindungan dan

pengamanan perdagangan, dalam Pasal 67 ayat (3) hanya disebutkan bahwa yang

menjadi kebijakan pelindungan dan pengamanan perdagangan adalah sebagai

berikut:

a. Pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap ekspor barang

nasional;

b. Pembelaan terhadap eksportir yang barang ekspornya dinilai oleh negara

mitra dagang telah menimbulkan lonjakan impor di negara tersebut;

c. Pembelaan terhadap ekspor barang nasional yang dirugikan akibat

penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain;

d. Pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi

praktik perdagangan yang tidak sehat;

e. Pengenaan tindakan pengamanan perdagangan untuk mengatasi lonjakan

impor;

f. Pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait perdagangan yang di

(46)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari kebijakan pelindungan dan pengamanan perdagangan

berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan seperti

yang tercantum dalam Pasal 67 ayat (3) adalah sebagai berikut:

a. Pembelaan atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap ekspor barang

nasional

Pembelaan dalam hal apabila eksportir dalam negeri yang melakukan

perdagangan di negara tujuan ekspor tersebut terkena tuduhan tindakan dumping

atau tindakan subsidi terkait barang ekspor nasionalnya di negara mitra dagang.

Dalam hal ini pemerintah melalui kementerian perdagangan dapat melakukan

upaya untuk melindungi dan mengamankan industri dalam negeri dengan upaya

pembelaan tersebut.

b. Pembelaan terhadap eksportir yang barang ekspornya dinilai oleh negara

mitra dagang telah menimbulkan lonjakan impor di negara tersebut

Pembelaan apabila di negara mitra dagang tujuan ekspor tersebut terjadi

lonjakan terkait barang impor di negara mitra dagang tujuan ekspor tersebut yang

mana eksportir barang nasional dinilai sebagai penyebab terjadinya lonjakan

barang impor di negara tersebut.

c. Pembelaan terhadap ekspor barang nasional yang dirugikan akibat

penerapan kebijakan dan/atau regulasi negara lain

Pembelaan yang dilakukan kepada eksportir barang nasional terkait dengan

ekspor barang nasional yang mana di negara mitra dagang tujuan ekspor tersebut

dirugikan akibat penerapan dari peraturan perundang-undangan atau kebijakan

(47)

d. Pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi

praktik perdagangan yang tidak sehat

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi Industri Dalam

Negeri dalam mengatasi praktik perdagangan yang tidak sehat seperti praktik

dumping melalui pengenaan tindakan antidumping atau tindakan imbalan.

e. Pengenaan tindakan pengamanan perdagangan untuk mengatasi lonjakan

impor

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi Industri Dalam

Negeri dalam mengatasi lonjakan barang impor barang sejenis dan barang impor

atau barang yang secara langsung bersaing melalui pengenaan tindakan

pengamanan perdagangan.

f. Pembelaan terhadap kebijakan nasional terkait perdagangan yang di

tentang oleh negara lain

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi Industri Dalam

Negeri melalui pembelaan terhadap kebijakan nasional yang terkait dengan

perdagangan internasional dengan negara mitra dagang yang dikarenakan

kebijakan nasional yang ditentang oleh negara mitra dagang tersebut.

B. Pengamanan terhadap Lonjakan Barang Impor

Pengamanan terhadap lonjakan barang impor tercantum dalam Pasal 68-69

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Adapun pengaturan

dalam pasal 68 adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal adanya ancaman dari kebijakan, regulasi, tuduhan praktik

(48)

mitra dagang atas Ekspor Barang nasional, Menteri berkewajiban

mengambil langkah pembelaan.

2. Dalam mengambil langkah pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1):

a) Eksportir yang berkepentingan berkewajiban mendukung dan

memberikan informasi dan data yang dibutuhkan; dan

b) Kementrian/lembaga Pemerintah nonkementerian terkait berkewajiban

mendukung dan memberikan informasi dan data yang dibutuhkan.

Pada pasal ini dijelaskan bahwa, dalam hal adanya ancaman dari kebijakan,

regulasi, tuduhan praktik perdagangan tidak sehat, dan/atau tuduhan lonjakan

impor dari negara mitra dagang atas ekspor barang nasional, menteri berkewajiban

mengambil langkah pembelaan110. Pembelaan yang dimaksud adalah upaya yang

dilakukan untuk melindungi dan mengamankan industri dalam negeri dari adanya

ancaman kebijakan, regulasi, tuduhan praktik perdagangan tidak sehat, dan/atau

tuduhan lonjakan Impor dari negara mitra dagang atas Barang Ekspor nasional111.

Dalam pengambilan langkah pembelaan tersebut eksportir yang berkepentingan

dan kementrian atau lembaga nonpemerintah berkewajiban mendukung dan

memberikan informasi dan data yang dibutuhkan.

Pemerintah dalam hal terjadinya lonjakan barang impor memiliki kewajiban

mengambil tindakan pengamanan perdagangan sebagaimana yang tercantum

dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

sebagai berikut.

110

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Pasal 69 (1)

111

(49)

1. Dalam hal terjadi lonjakan jumlah Barang Impor yang menyebabkan

produsen dalam negeri dari Barang sejenis atau Barang yang secara

langsung bersain

Referensi

Dokumen terkait

hMailServer merupakan salah satu program MailServer yang berbasis Windows yang dipublikasikan kepada umum secara gratis dengan beberapa fasilitas yang cukup baik dan juga

3 keputusan Bupati Probolinggo Nomor 36 Tahun 2008 tentang Tugas Fungsi dan Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja... Menjadi kerangka dasar bagi Kantor Satuan Polisi

To have a better evaluation of the wavelet based reconstruction method, it is necessary to use a large number of noise sample sequences and use curve fitting to obtain the

7.Fotokopi Surat Kewarganegaraan/ganti nama yang meninggal dunia 8.Melampirkan fotokopi KTP dua orang saksi dari keluarga dekat 9.Fotokopi KTP pelapor yang masih berlaku.

For real-time GNSS positioning users, the broadcast navigation message including ephemeris data, are used to calculate the satellite orbits and clock corrections

Using three-line arrays image of testing fields, initial exterior orientation parameters and on-orbit calibration camera parameters, the EFP Multi-functional bundle

Wajib dilaporkan oleh orang tua kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan. LAMANYA PEMBUATAN 8 (DELAPAN)

Universitas Negeri