• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela pada Masyarakat Non Pribumi dan Pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela pada Masyarakat Non Pribumi dan Pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG MERAH INDONESIA KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

LILIANA PUSPA SARI 077012013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(2)

THE FACTORS INFLUENCING BLOOD DONOR VOLUNTARY ON THE INDIGENT AND NON-INDIGENT COMMUNITIES

ON BLOOD TRANSFUSION UNIT OF INDONESIAN RED CROSS IN MEDAN REGION

THESIS

By

LILIANA PUSPA SARI 077012013/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

(3)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG MERAH INDONESIA KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LILIANA PUSPA SARI 077012013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(4)

Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA

MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG

MERAH INDONESIA KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Liliana Puspa Sari

Nomor Induk Mahasiswa : 077012013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kebijakan dan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Dr. Fikarwin Zuska) (Dra. Syarifah, M.S

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 8 Februari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Dr. Syarifah, M.S

(6)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDONOR DARAH SUKARELA PADA MASYARAKAT PRIBUMI DAN NON PRIBUMI

DI UNIT TRANSFUSI DARAH PALANG MERAH INDONESIA KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis di acu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, April 2012

(7)

ABSTRAK

Unit Transfusi Darah Kota Medan selain memenuhi kebutuhan darah untuk kota Medan, juga kota Binjai dan Langkat yang per harinya membutuhkan darah 100 kantong. Namun demikian hanya sekitar 30 kantong yang dapat terpenuhi. Dari 8.849 orang (56%) pendonor darah sukarela, 5.889 orang (67%) pendonor bersuku bangsa non pribumi dan 2.960 orang (33%) bersuku bangsa pribumi.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap dan kepercayaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pendonor darah baik untuk masyarakat pribumi maupun non pribumi. Perlunya dilaksanakan program sosialisasi tentang kegiatan donor darah melalui promosi kesehatan berupa iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dan memberikan jaminan akan kesterilan alat transfusi sehingga masyarakat berpartisipasi dalam mendonorkan darah untuk keperluan sesama manusia.

pengaruh pengetahuan, sikap, dan kepercayaanterhadap pendonor darah suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di PMI Kota Medan. Jenis penelitian menggunakan survey explanatory. Populasi adalah pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi sebanyak 8.849 orang. Jumlah sampel adalah 99 orang yang diambil secara Stratified Random Sampling. Pengumpulan data melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner penelitian. Analisis data dengan uji regresi linier berganda

(8)

ABSTRACT

Medan Blood Transfusion Unit not only meet the need of blood for the City of Medan, but also Binjai and Langkat which need 100 bags of blood per day, yet only 30 bags of blood that can be supplied. Of the 8.849 (56%) voluntary blood donors, 5,889 (67%) of them are from the non-indigenous communities and the other 2,960 (33%) are from the indigenous communities.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of knowledge, attitude, and trust on the indigenous and non-indigenous blood donors who voluntarily do it for Medan Red Cross (PMI Kota Medan). The population of this study was the 8,849 indigenous and non-indigenous community members who served as voluntary blood donors and 99 od them were selectes to be the samples for this study through stratified random sampling techique. The data for this study were obtained through questionnarie-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple liner regression test.

The result of study showed that knowledge, attitude, and trust had a significant influence on the behavior of both indigenous and non-indigenous blood donors. Medan Red Cross is suggested to implement the socialization program on blood donor activity through healtf promotion in the form of advertisement in mass media both printed and electronic and to guarantee that the transfusion equipment is sterile that community members participate in donating their blood for humanity.

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan hidayat-NYA sehingga dengan izin-NYA penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela pada Masyarakat Non Pribumi dan Pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan”.

Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan ridho Allah SWT serta ketulusan hati dan keikhlasan, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M. Sc (CTM), Sp.A (K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

5. Dr. Fikarwin Zuska selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga tesis selesai.

6. Dra. Syarifah, M.S selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga tesis selesai.

7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes dan Drs. Agus Suriadi, M.Si sebagai komisi pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Kepala Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan, yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada sekolah Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Studi Administrasi Kebijakan dan Kesehatan Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(11)

Teristimewa buat suami tercinta dan tersayang Irwansyah Putra, AP serta anak anaku tercnta Fariz Rizqy Ananda, Fadhil Rasyid Alfarsyi dan Fattan Hidayaturrahman yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta motivasi dan memberikan dukungan moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dibidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, April 2012 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Liliana Puspa Sari dilahirkan di Medan pada tanggal 09 Oktober 1975, anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm) H. Soeyono K. dan Ibunda Dra. Hj. Lela Sari, M.M. Menikah dengan Irwansyah Putra, AP pada tanggal 4 Oktober 1997 dan telah dikaruniai tiga orang putra yaitu Fariz Rizqy Ananda, Fadhil Rasyid AlFarisi dan Fattan Hidayaturrahman, sekarang menetap di Jl. Pelita II No. 25 Medan.

Memulai pendidikan di SD Harapan I Medan lulus tahun 1988, melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Medan lulus tahun 1991. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Medan lulus tahun 1994. selanjutnya meneruskan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara dan selesai tahun 2002.

(13)

DAFTAR ISI

2.2.1. Pengertian Pendonor Darah Sukarela ... 10

2.2.2. Jenis-jenis Pendonor Darah Sukarela ... 10

2.2.3. Manfaat Pendonor Darah Sukarela ... 12

2.2.4. Syarat-syarat Menjadi Pendonor Darah Sukarela ... 14

2.2.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendonor Darah Sukarela 15 2.2.6. Risiko Donor Darah ... 17

2.3. Perilaku ... 20

2.3.1. Pembentukan dan Perubahan Perilaku ... 22

2.3.2. Perilaku Kesehatan ... 29

2.3.3. Faktor Predisposisi (predisposing factors) ... 34

2.3.4. Faktor Sosiodemografi Pendonor Darah ... 41

2.3.5. Faktor Sosiobudaya Pendonor Darah ... 44

2.4. Perilaku Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi di Kota Medan 46

2.5. Landasan Teori ... 48

2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian ... 50

(14)

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 52

4.1.1. Sejarah Singkat Palang Merah Indonesia ... 56

4.1.2. Peran dan Tugas Palang Merah Indonesia ... 58

4.1.3. Sekilas Kinerja Palang Merah Indonesia dari Masa ke Masa ... 59

4.1.4. Prinsip Dasar Palang Merah Indonesia ... 62

4.2. Hasil Penelitian ... 67

4.2.1. Karakteristik Reponden ... 67

4.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Mendonorkan Darah ... 68

4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Sumber Informasi Kegiatan Donor Darah ... 69

4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Donor Darah ... 69

5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 85

5.2. Pengaruh Sikap terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 87

5.3. Pengaruh Kepercayaan terhadap Perilaku Pendonor Darah ... 89

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 Populasi Penelitian ... 50

3.2 Alokasi Proposional Sampel ... 52

3.3 Variabel, Indikator, Hasil Pengukuran, Kategori dan Skala Ukur ... 54

4.1 Karakteristik Masyarakat Pribumi Berdasarkan Golongan Darah ... 67

4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Mendonorkan Darah ... 68

4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Sumber Informasi Kegiatan Donor Darah ... 69

4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Persyaratan Untuk Pendonor Darah ... 70

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pengetahuan Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 71

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Donor Darah ... 73

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Sikap Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 74

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap Responden ... 75

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Kepercayaan Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 76

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kepercayaan Responden ... 78

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Perilaku Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi ... 79

4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Tindakan Responden ... 81

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Health Care Utilization Model ... 32

2.2 Teori Perencanaan Perilaku ... 33

2.3 Health Belief Model ... 39

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ... 99

2. Surat Izin Penelitian dari Palang Medan Kota Medan ... 100

3. Kuesioner Penelitian ... 101

4. Frekuensi Tabel Masyarakat Pribumi ... 105

5. Frekuensi Tabel Masyarakat Non Pribumi ... 107

6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 109

7. Uji Regresi Linier Berganda ... 115

8. Tabel Frekuensi Variabel Penelitian ... 116

(18)

ABSTRAK

Unit Transfusi Darah Kota Medan selain memenuhi kebutuhan darah untuk kota Medan, juga kota Binjai dan Langkat yang per harinya membutuhkan darah 100 kantong. Namun demikian hanya sekitar 30 kantong yang dapat terpenuhi. Dari 8.849 orang (56%) pendonor darah sukarela, 5.889 orang (67%) pendonor bersuku bangsa non pribumi dan 2.960 orang (33%) bersuku bangsa pribumi.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap dan kepercayaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pendonor darah baik untuk masyarakat pribumi maupun non pribumi. Perlunya dilaksanakan program sosialisasi tentang kegiatan donor darah melalui promosi kesehatan berupa iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik dan memberikan jaminan akan kesterilan alat transfusi sehingga masyarakat berpartisipasi dalam mendonorkan darah untuk keperluan sesama manusia.

pengaruh pengetahuan, sikap, dan kepercayaanterhadap pendonor darah suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di PMI Kota Medan. Jenis penelitian menggunakan survey explanatory. Populasi adalah pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi sebanyak 8.849 orang. Jumlah sampel adalah 99 orang yang diambil secara Stratified Random Sampling. Pengumpulan data melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner penelitian. Analisis data dengan uji regresi linier berganda

(19)

ABSTRACT

Medan Blood Transfusion Unit not only meet the need of blood for the City of Medan, but also Binjai and Langkat which need 100 bags of blood per day, yet only 30 bags of blood that can be supplied. Of the 8.849 (56%) voluntary blood donors, 5,889 (67%) of them are from the non-indigenous communities and the other 2,960 (33%) are from the indigenous communities.

The purpose of this explanatory survey was to analyze the influence of knowledge, attitude, and trust on the indigenous and non-indigenous blood donors who voluntarily do it for Medan Red Cross (PMI Kota Medan). The population of this study was the 8,849 indigenous and non-indigenous community members who served as voluntary blood donors and 99 od them were selectes to be the samples for this study through stratified random sampling techique. The data for this study were obtained through questionnarie-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple liner regression test.

The result of study showed that knowledge, attitude, and trust had a significant influence on the behavior of both indigenous and non-indigenous blood donors. Medan Red Cross is suggested to implement the socialization program on blood donor activity through healtf promotion in the form of advertisement in mass media both printed and electronic and to guarantee that the transfusion equipment is sterile that community members participate in donating their blood for humanity.

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bagian vital dari tubuh manusia salah satunya adalah darah yang sampai saat ini belum dapat dibuat imitasinya, sehinggasecanggih apapun tehnologi yang dapat dilakukan dalam dunia medis, darah bukan merupakan benda sintetis yang dapat dibuat tetapi merupakan produk tubuh manusia sehingga cadangan darah hanya dapat diperoleh dari manusia. Sebagai manusia, dalam keadaan mengalami kecelakaan atau menderita suatu penyakit tertentu misalnya penderita leukemia, hemofilia atau penyakit yang lain, pengobatannya membutuhkan transfusi darah. Berbeda dengan donor mata atau ginjal, donor darah sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun yang berbadan sehat (Aziz, 2000).

Usaha transfusi darah merupakan suatu bentuk pertolongan yang sangat berharga kepada umat manusia. Transfusi darah itu sendiri adalah suatu rangkaian proses pemindahan dari seorang donor (penyumbang darah) kepada resipien (penerima darah). Proses transfusi darah diwujudkan secara nyata oleh para pendonor yang rela menyumbangkan darahnya secara sukarela (PMI Pusat, 2009).

(21)

sukarela. Negara Belanda dari total populasi 16 juta jiwa tercatat 500.000 donor penyumbang darah (Munandar, 2008).

Pelayanan transfusi darah di Inggris kini telah berhasil mengumpulkan lebih dari 1 juta unit darah setiap tahun sehingga negara Inggris sudah mampu menyediakan komponen darah yang cukup dan akan menjadi swasembada dalam produk darah di dunia. Bagi negara Asia tingkat donasi yang paling maju adalah Jepang yaitu 68 per 1000 penduduk, Korea 40 per 1000 penduduk, Singapura 24 per 1000 penduduk, Thailand 13 per 1000 penduduk dan Malaysia 10 per 1000 penduduk (WHO, 2008).

Transfusi darah di Indonesia merupakan salah satu tugas pemerintah di bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang diserahkan tanggung jawabnya kepada Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1980 tentang transfusi darah dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 478/Menkes/Per/X/1990 tentang upaya kesehatan bidang transfusi darah. Supaya tanggung jawab tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, PMI membentuk Unit Transfusi Darah (UTD) sebagai pelaksana teknis mulai tingkat pusat hingga kabupaten dan kota (PMI Pusat, 2009).

(22)

2.200.000 unit yaitu 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Provinsi Sumatera Utara terdapat 6 tempat UTD dari 28 kabupaten/ kota yang ada yaitu Medan, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Asahan, Padang Sidempuan dan Simalungun (Depkes RI, 2009). Fungsi Unit Transfusi Darah PMI (UTD-PMI) ini, selain melayani aspek pelayanan kesehatan juga berkaitan dengan aspek sosial dan organisasi. Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan yang bertujuan agar penggunaan darah berguna bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Kegiatan ini mencakup antara lain : pengerahan donor, penyumbangan darah, pengambilan, pengamanan, pengolahan, penyimpanan dan penyampaian darah kepada pasien .

Kegiatan transfusi darah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sesuai standar yang telah ditetapkan, sehingga darah yang dihasilkan adalah darah yang keamanannya terjamin. Demikian juga dengan pendonornya, pendonor yang menyumbangkan darahnya juga tetap selalu sehat. Kelancaran pelaksanaan upaya kesehatan transfusi darah di atas sangat terkait dengan dukungan faktor ketenagaan, peralatan, dana dan sistem pengelolaan (PMI Pusat, 2009).

(23)

senantiasa menyumbangkan darah tetapi pendonor darah pasif yang harus dimobilisasi oleh petugas PMI ataupun mendonorkan darah karena kebutuhan yang mendesak. Unit Transfusi Darah Kota Medan pada pelaksanaanya tidak hanya memenuhi kebutuhan darah untuk kota Medan tetapi juga kota Binjai dan Langkat yang mengakibatkan UTD-PMI Kota Medan membutuhkan darah 100 kantong per 1 hari. Pada kenyataanya hanya sekitar 30 kantong yang dapat terpenuhi (PMI Medan, 2009).

Menurut standar WHO jumlah pendonor darah sukarela sebesar 1% dari jumlah penduduk suatu wilayah. Jumlah penduduk di Kota Medan sekitar 2.200.000 jiwa belum dapat mencapai standar sebesar yang ditetapkan tersebut, Hal tersebut sebenarnya dapat terwujud apabila selama kontinuitas pendonor tetap terjaga atau keteraturan menyumbangkan darahnya 3 kali dalam setahun maka dapat diperoleh sekitar 66.000 kantong/tahun. Jadi kebutuhan UTD-PMI Kota Medan 100 kantong per hari atau 36.500 kantong/tahun sudah dapat terpenuhi (PMI Medan, 2009).

(24)

donatur yaitu Donor Pengganti (DP) 3025 kantong darah, Donor Sukarela (DS) yaitu 6075 kantong darah dan donor komersial 950 kantong darah (PMI Medan, 2009). Bila diamati dari data tersebut di atas pada tahun 2008 UTD-PMI Kota Medan memiliki 56% stok darah yang bersumber dari donor sukarela sementara 44% lainnya dari sumber donor pengganti dan donor komersial. Stok darah yang 56% dari total kebutuhan itu jelas sangat berisiko dalam pelayanan kesehatan di Medan. Unit Transfusi Darah Kota Medan sangat menyadari kekurangan persediaan stok darah dalam jumlah yang memadai (PMI Medan, 2009).

Dari 8.849 orang (56%) pendonor darah sukarela, 5.889 orang (67%) merupakan pendonor sukarela dari suku bangsa non pribumi, sedangkan 2.960 orang (33%) merupakan pendonor darah dari suku bangsa pribumi. Padahal jumlah masyarakat suku bangsa non pribumi lebih kecil dibandingkan jumlah penduduk suku bangsa pribumi tetapi mereka merupakan penyumbang donor darah sukarela terbesar (PMI Medan, 2009).

(25)

Namun tidak semua pendonor suku bangsa non pribumi itu merupakan masyarakat yang tingkat perekonomiannya baik. Ada beberapa Vihara di pinggir Kota Medan yang tingkat perekonomian masyarakatnya kurang, juga rutin melakukan kegiatan menjadi pendonor darah sukarela. Para pemuka agama di Vihara tersebut selalu memberikan motivasi kepada para pengikutnya untuk selalu berbuat kebaikan sesama manusia tanpa memandang suku, ras ataupun agama yang salah satunya kegiatan dengan menjadi pendonor darah sukarela setelah melakukan ibadah di Vihara tersebut (Depkes RI, 2009).

Masyarakat suku bangsa pribumi dengan tingkat perekonomian yang baik juga menunjukan populasi yang tinggi tetapi kesadaran dan kepedulian sesama manusia kurang dengan mengungkapkan berbagai alasan seperti takut akan jarum suntik, takut darah akan habis, darah yang telah didonorkan takut akan dijual untuk kepentingan pribadi seseorang atau petugas PMI (Depkes RI, 2010).

(26)

Disini peran petugas UTD-PMI Kota Medan sangat dibutuhkan dalam mensosialisasikan tentang peranan darah dalam menyelamatkan jiwa dan manfaatnya untuk kesehatan manusia sehingga masyarakat suku bangsa pribumi tertarik dan berkeinginan untuk menjadi pendonor darah sukarela.

Peran dari pemuka agama juga dapat diberdayakan dengan memberikan informasi bahwa dengan menjadi donor darah sukarela berarti juga merupakan suatu amal yang disunnahkan yang pahalanya bisa sampai 700 kali lipat karena dengan donor darah kita memberikan kehidupan yang baru bagi si penerima donor darah, ulama tersebut juga menerangkan dalam ayat Al-Quran dan hadist yang mengatakan bahwa kegiatan donor darah itu suatu perbuatan yang mulia dan tidak diharamkan (http//era muslim.ustd/apakah donor darah haram) (Muslichan, 1991).

Melihat dari angka pendonor darah sukarela dari suku bangsa non pribumi lebih tinggi dari suku bangsa pribumi, namun dari jumlah penduduk lebih tinggi suku bangsa pribumi di Kota Medan, maka perlu diadakan suatu penelitian sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pendonor darah sukarela pada suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di UTD-PMI Kota Medan.

1.2. Permasalahan

(27)

permasalahan penelitian adalah : “Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan non pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan non pribumi di Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Kota Medan

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah : Ada pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan kepercayaan terhadap pendonor darah sukarela pada masyarakat pribumi dan non pribumi di UTD-PMI Kota Medan.

1.5 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah

1. Manfaat teoritis yakni diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran dan upaya penajaman konsep tentang pengaruh pengetahuan, sikap, dan kepercayaan terhadap pendonor darah suku bangsa pribumi dan suku bangsa non pribumi menjadi pendonor darah sukarela di PMI Kota Medan.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Donor Darah

Donor darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabka 2009).

Donor darah secara sederhana adalah penderma darah atau orang yang menyumbangkan darahnya untuk menolong orang lain yang memerlukannya. Pemberian darah yang ada pada tubuh manusia kepada orang lain sangat bermanfaat bagi kesehatan penerimanya (Depdiknas, 2007).

(29)

2.2 Pendonor Darah Sukarela

2.2.1. Pengertian Pendonor Darah Sukarela

Pendonor darah sukarela adalah orang yang dan bisa memberi bagian dari tubuhnya untuk orang lain. Penyelenggaraan transfusi darah dilaksanakan atas satu tujuan kemanusiaan dan pada dasarnya kegiatan donor darah adalah untuk menyediakan suplai darah bagi mereka yang membutuhkannya. Meningkatkan kesadaran tentang keselamatan darah dan pentingnya donor sukarela yang akan menjadi fokus dari World Health Organisasi CITES (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan data WHO (2008) sekitar 75 juta unit darah di dunia dikumpulkan setiap tahun, tetapi hanya 53% dari yang sukarela, nonpaid donor. Sekitar 18 unit milhon tidak diuji untuk transfusi-jangkit infeksi; WHO mengatakan bahwa di antara 5% dan 10% dari kasus infeksi HIV disebabkan oleh transfusi dari kejangkitan darah dan produk darah. WHO berharap menggunakan hari untuk mendorong pemerintah dan kebijakan untuk mencapai pasokan darah yang aman.

Motif yang biasanya melatari orang mendonorkan darahnya antara lain misi sosial atau menolong keluarga. Dari motif-motif tersebut, pendonor terbaik adalah mereka yang menyumbangkan darahnya secara rutin dan berkesinambungan secara sukarela yaitu sekali dalam tiga bulan.

2.2.2. Jenis-jenis Pendonor Darah Sukarela

(30)

a. Donor Keluarga atau pengganti

Pada sistem ini darah yang dibutuhkan pasien dicukupi oleh donor dari keluarga atau kerabat pasien. Biasanya pasien diminta untuk menyumbangkan darahnya, dan donor tidak dibayar oleh unit transfusi darah (UTD) atau Rumah Sakit, tetapi mereka mungkin diberi uang atau bayaran dalam bentuk lain oleh keluarga pasien. b. Donor Komersial

Donor menerima uang atau hadiah untuk darah yang disumbangkan bahkan mungkin mereka telah memiliki kontrak.

c. Donor Sukarela

Adalah orang yang memberikan darah, plasma atau komponen darah lainnya atas kerelaan sendiri dan tidak menerima uang tau bentuk pembayaran lainnya, mereka hanya membantu penerima darah yang mereka tidak kenal dan tidak menerima suatu keuntungan.

Donor ini tidak dibayar, karena niat si pendonor untuk menolong si pasien itu sendiri (Depkes RI, 2009). Hal-hal yang biasanya tidak dipandang sebagai pembayaran atau pengganti uang antara lain :

1. Tanda jasa atau penghargaan sederhana, seperti badge atau sertifikat yang tidak memiliki nilai komersil.

2. Pengganti biaya perjalanan secara khusus harus dilaksanakan dalam rangka menyumbangan darah

(31)

2.2.3. Manfaat Pendonor Darah Sukarela

Menurut Contreras (1995), beberapa keuntungan yang dimiliki donor sukarela dibanding dengan jenis donor lain, yaitu :

1. Donor sukarela tidak dalam tekanan untuk menyumbangkan darah, oleh karena itu cenderung lebih memenuhi syarat sebagai donor darah resiko rendah.

2. Donor sukarela bersedia menyumbangkan darah secara teratur, sangat penting untuk menjaga kecukupan persediaan darah.

3. Donor teratur cenderung lebih bebas dari infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi, karena mereka sadar akan pentingnya keamanan darah dan diperiksa setiap mereka menyumbangkan darah.

4. Donor sukarela cenderung lebih tanggap terhadap himbauan untuk menyumbangkan darah pada keadaan darurat, karena mereka telah menunjukkan kepedulian terhadap donasi darah.

Menurut pendapat Munandar (2008), bahwa alasan masyarakat melakukan transfusi darah adalah sebagai berikut :

1. Donor darah membuat orang menjadi lebih memperhatikan kesehatannya. Seseorang yang akan donor darah dan setelahnya akan selalu memperhatikan perkembangan kesehatan dirinya.

(32)

3. Donor darah menambah ilmu kesehatan. Orang yang akan donor, sering menunggu dan membaca artikel kesehatan, sehingga menambah khazanah ilmu kesehatannya.

4. Donor darah adalah silaturahmi dengan banyak orang, paramedis dan dokter. Pertemuan ini membuat terjadi saling tukar pengalaman tentang kesehatan.

5. Donor darah membuat metabolisme sumsum tulang menjadi lebih aktif

6. Donor darah membantu diet overweight. Banyak orang yang bingung ketika tubuhnya kegemukan. Darah 300cc bila dihitung kalorinya, bisa setara ribuan kalori. Bila setiap 3 bulan sekali diambil 300cc, maka ada pengurangan kalori yang signifikan dan alami.

7. Donor darah mengaktifkan titik akupunktur. Daerah volvair lengan yang menjadi area tusuk pada waktu donor merupakan area padat titik akupunktur. Tusukan pada daerah itu secara acak pun berpotensi mengaktifkan simpul syaraf atau limpha yang memengaruhi tubuh secara positif.

8. Donor darah menyehatkan tubuh dengan mekanisme totok darah. Pengambilan darah pada saat donor bisa merupakan pengaktifan mekanisme totok. Banyak orang yang merasa lebih enak setelah donor.

(33)

10.Donor darah merupakan perbuatan kemanusiaan bagi sesama. Pendonor darah adalah orang yang mau dan bisa memberi bagian dari tubuhnya untuk orang lain. Pahala tertinggi diberikan Tuhan bagi orang bersedekah paling banyak, bukan diukur dari jumlahnya tetapi berapa persen dari yang dimilikinya.

Menurut Trevor J. Cobain (2004), ketersediaan pendonor darah potensial terus meningkat. Terdapat beberapa komponen darah yang hilang sepanjang rangkaian produksi dari perekrutan donor, kehadiran, dan pendarahan yang dialami pendonor, proses produksi. Dibutuhkan persyaratan dan potensial untuk meningkatkan ketersediaan produk dengan strategi rekrutmen yang lebih baik, metode produksi, inventori manjemen, dan seleksi penerima.

2.2.4. Syarat-syarat Menjadi Pendonor Darah Sukarela

(34)

a. Umur 18 – 61 tahun

b. Berat badan 50 kg atau lebih

c. Tekanan darah110 – 160 / 70 – 100 mmHg

d. Tidak berpenyakit jantung, hati, paru-paru, ginjal, kencing manis, penyakit pendarahan, kejang, kanker, penyakit kulit kronis

e. Tidak hamil, menyusui dan menstruasi

f. Bagi donor tetap, penyumbang darah terakhir minimal 8 minggu yang lalu, maksimal 5 kali setahun.

g. Kulit lengan donor sehat

h. Tidak menerima transfusi / komponen darah 6 bulan terakhir dan tidak demam i. Tidak menderita penyakit HIV / AIDS

b. Bukan pecandu alkohol / narkoba

c. Tidak mendapat imunisasi dalam 2-4 minggu terakhir dan tidak demam d. Tidak digigit binatang yang menderita rabies dalam 1 tahun terakhir e. Beritahu petugas bila makan aspirin dalam 3 hari terakhir.

(35)

Menurut Masser (2008), faktor psikologi, sosiodemografi, organisasi, faktor-faktor yang memengaruhi kerelaan masyarakat untuk donor darah sebagai upaya untuk memusatkan perhatian terhadap donor darah. Pertumbuhan jumlah kajian juga telah menyoroti peran faktor psikologi dalam menjelaskan, memprediksi, dan mempromosikan perilaku donor darah.

Secara etimologi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Sedang jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior). Oleh karena sifatnya abstrak, maka hanya dapat diketahui gejalanya saja. Gejala kejiwaan (psikologi) yang menentukan perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya faktor pengalaman, keyakinan, fasilitas, sosiobudaya masyarakat (dalam Ahmadi, 1992). Menurut Spearman (dalam Notoatmodjo, 2007) didalam menyelidiki dan mencari sikap hakikatnya inteligensi orang mempergunakan teknik analisis faktor. Teknik analisis Spearman menemukan bahwa tiap tingkah laku manusia dimungkinkan oleh adanya dua faktor, yaitu (1) faktor umum (general factor) yang merupakan hal atau faktor yang mendasari segala tingkah laku individu,

(2) faktor khusus (special factor) yang berhubungan dengan keturunan dan pengalaman (lingkungan pendidikan).

(36)

internasional. Seluruh pendonor darah (apheresis pendonor di Australia) merupakan perilaku usaha secara sukarela dengan penghargaan-penghargaan yang secara jelas dan nyata (Healy, 2006).

Pada dekade-dekade terakhir, sejumlah tinjauan-tinjauan utama telah dijalankan untuk mempertimbangkan faktor kedudukan organisasi dan individu bisa berdampak terhadap keputusan untuk mendonorkan darah. Walaupun penelitian sebelumnya memiliki perhatian besar terhadap rekrutmen pendonor, khususnya, variabel demografi yang dihubungkan dengan perilaku donor darah. dan masalah kelangsungan donor darah menjadi sangat penting (Ferguson E, 1996).

2.2.6. Risiko Donor Darah

Berbagai macam cara telah ditemukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan donor darah sebagai langkah preventif untuk menyediakan suplai darah bagi mereka yang membutuhkannya. Kegiatan donor darah ini kerap diselenggarakan secara rutin oleh PMI dan unsur-unsur terkait untuk tujuan mulia, yaitu kemanusiaan dan kepedulian sosial. Donor darah penting dalam merawat banyak masalah medis, seperti kanker dan kelainan darah, dan juga dalam merawat luka tertentu dan prosedur bedah yang besar di mana terjadi banyak kehilangan darah (Depkes RI, 2009).

(37)

dan jarangnya, bahkan maut. Reaksi imun atau alergi mungkin terjadi. Mungkin ada risiko yang bertambah untuk infeksi setelah operasi dan jangka waktu rawat inap yang lebih panjang untuk pasien bedah. Reaksi ringan pada kulit atau demam kadang-kadang terjadi (satu atau dua reaksi untuk setiap ratus transfusi).

Pasien yang menerima transfusi secara berkala menghadapi risiko lebih besar akan menderita reaksi tersebut. Walaupun diuji semua darah yang disumbangkan, risiko penularan bahan menular (termasuk virus hepatitis, HIV dan bakteria) tidak dapat dipastikan sepenuhnya bahwa tidak akan terjadi. Risiko ini teramat rendah (O’Brien, 2006).

(38)

Donor darah tidak bebas dari risiko, dan penting agar mempertimbangkan alternatif untuk transfusi, dan cara untuk mengurangi jumlah darah yang digunakan. Alternatifnya termasuk mendeteksi dan merawat anemia sebelum pembedahan yang dijadwalkan mengambil darah yang hilang ketika pembedahan dan mengembalikan darah. Walaupun pengambilan dan transfusi darah otologus tampaknya bebas dari risiko, sebenarnya demikian. Pengambilan darah sebelum pembedahan umumnya tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan khusus, seperti kelompok darah jarang di mana sulit untuk mendapatkan padanan darah (Prawira, 2010).

David (2006) menambahkan bahwa risiko yang timbul selama/setelah melakukan transfusi darah antara lain:

1. Reaksi tranfusi cepat yang timbul selama tranfusi sampai 48 jam sesudahnya. Terdiri dari :

a. Reaksi tranfusi panas b. Reaksi tranfusi alergi c. Reaksi tranfusi hemolitik

d. Reaksi tranfusi Bakteremia/seplis

2. Reaksi tranfusi lambat yang timbul ( 48 jam. Terjadi setelah 3 – 21 hari sesudah tranfusi karena efek antibodi yang terbentuk

3. Circulatory Overload

(39)

a. Penyakit Hepatitis B,C,D dan Hepatitis Pasca tranfusi terjadi antara 2 minggu sampai 6 bulan setelah tranfusi, ditandai dengan gangguan faal hati, dari darah donor yang mengandung virus hepatitis.

b. HIV/AIDS dari donor darah yang mengandung virus HIV/AIDS. Masa inkubasi bertahun–tahun dan tanpa gejala sampai suatu saat timbullah ”AIDS Related Complex” lalu ”Full Blown AIDS” terjadi antara tranfusi sampai

diagnosa AIDS positif pada orang dewasa (30 bulan & pada anak- anak 13,5 bulan).

c. Malaria

Disebabkan parasit dalam darah donor yang sakit atau pernah sakit lalu menjadi carrier masa inkubasi pada resipien 6-100 hari.

d. Syphilis

Dari donor darah yang mempunyai TPHA positif. Dalam darah donor mengandung Treponema Pallidum.

(40)

2.3 Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung.

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia.

Hereditas atau faktor keturunan adalah adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah suatu kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process).

(41)

diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia .

Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun perilaku juga dapat bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi. Bloom (dalam Notoatmodjo, 2003) membedakan menjadi tiga macam bentuk perilaku yang kognitif, afektif dan psikomotor. Notoadmojo (2005) menambahkan menyebutkan bahwa perilaku terdiri dari unsur-unsur knowledge (pengetahuan), attitude (sikap), dan practise (tindakan). Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan cipta, rasa, dan karsa atau peri akal, dan peri tindakan.

2.3.1. Pembentukan dan Perubahan Perilaku

(42)

dalam perilaku manusia karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk menjadi perbuatan atau tindakan (Notoatmodjo, 2007).

(43)

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk melakukan responsi menurut cara tertentu terhadap suatu objek.

Skiner (dalam Notoadmodjo, 2005) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Manusia adalah kotak tertutup, dan seluruh variabel yang menjelaskan tingkah laku dan output-output tingkah laku (motif, dorongan, emosi, dan sebagainya) harus dikesampingkan dalam penyelidikan psikologi.

Skinner (1938) membedakan adanya 2 respons, yakni : a. Respondent Respons atau Reflexive Respons.

Adalah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-perangsangan semacam ini disebut eliciting stimuli karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent respons (respondent behaviour) ini mencakup juga emosi respons atau emotional behaviour.

(44)

b. Operant Respons atau Instrumental Respons.

Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu perilaku yang telah dilakukan.

Didalam kehidupan sehari-hari, respons jenis pertama (responden respons atau respondent behaviour) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons, kemungkinan untuk memodifikasinya adalah sangat kecil. Sebaliknya operant respons atau instrumental behaviour merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar bahkan dapat dikatakan tidak terbatas. Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respons ini berbentuk 2 macam, yakni :

(45)

belum melakukan secara konkret terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behaviour).

b. Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh di atas, si ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi dan orang pada kasus kedua sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata maka disebut overt behaviour.

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Menurut Notoadmojo (2005), determinan perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

(46)

faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga merupakan dampak atau ulah perilaku manusia (life stile).

Perilaku seseorang, menurut Lewin (1947), harus dilihat dalam konteksnya, artinya dalam situasi dan kondisi apa perilaku itu terjadi. Perhatian pada konteks ini perlu, karena perilaku manusia bukan sekedar respons terhadap stimuli yang diterimanya, akan tetapi merupakan produk atau resultan dari berbagai gaya yang memengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut gaya-gaya tersebut sebagai ruang hayat (life space), yang terdiri dari tujuan, serta semua faktor yang disadarinya dan kesadaran dirinya sendiri. Perilaku seseorang merupakan totalitas dari interaksi antara faktor personal, yaitu unsur-unsur internal di dalam dirinya, dengan faktor lingkungannya, yaitu unsur-unsur eksternal, yang secara psikologis memengaruhi dirinya (Rakhmat, 2007).

(47)

a. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif memengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

b. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting.

(48)

terjadi keseimbangan dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).

Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat 2 elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan, pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda/ bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah dissonance.

Teori Fungsi. Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa : a. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan

memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negatif.

(49)

c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu perilaku itu dapat merupakan "layar" dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.

Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.

2.3.2. Perilaku Kesehatan

Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) sebagai berikut :

i. Perilaku kesehatan (health behavior) yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.

(50)

pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

iii. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping berpengaruh terhadap kesehatan / kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain terutama kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya.

Menurut Green (1980), menganalisa perilaku dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan diluar perilaku (non-behavior causes), selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu:

1. Faktor- faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

(51)

Teori Andersen (Andersen & Newman, 1973) yang tergabung dalam kelompok tiga urutan bagian yang logis (logic sequence three clusters) atau kategori faktor-faktor (predisposing, enabling dan need) yang dapat memengaruhi perilaku kesehatan. Contoh faktor-faktor yang dikelompokkan dalam beberapa kategori Health Care Utilisation Modelyaitu:

1. Predisposing factors, meliputi: umur, jenis kelamin, agama, penilaian kesehatan global, pengalaman-pengalaman sebelumnya mengenai penyakit, pendidikan formal, sikap umum terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit, dll.

2. Enabling factors, meliputi: ketersediaan pelayanan, sumber-sumber keuangan

untuk mendapatkan pelayanan, asuransi kesehatan, dukungan jaringan sosial, dll. 3. Need factors, meliputi: persepsi beratnya sakit penyakit, jumlah hari sakit untuk

sebuah laporan penyakit, jumlah hari istirahat karena sakit, jumlah hari kerja atau hari sekolah yang hilang karena sakit, serta pertolongan dari pelayanan luar. Health Care Utilisation Model dapat digambarkan sebagai berikut :

Teori Planned Behaviour adalah teori yang terfokus pada faktor-faktor yang berhubungan dengan maksud untuk bertindak yang spesifik atau behavioural

(52)

intention, dimana TPB disituasikan antara sikap dan perilaku. Pemusatan behavioural

intention mempertanyakan model klasik kepercayaan, sikap, dan perilaku (Conner &

Sparks, 1995).

Menurut Ferguson (2007), teori perilaku yang terencana (TPB) merupakan suatu perluasan dari teori aksi yang beralasan (TRA) di dalam memprediksi perilaku dan maksud-maksud pendonor darah. Secara garis besar, TRA menyatakan bahwa perilaku (behavior-B) individu dapat diprediksi dari minat berperilaku (behavior intention BI). Adapun minat berperilaku individu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu

sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior = Ah) dan norma subyektif (subjective norms - SN). Secara sederhana TRA menyatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Semakin positif sikap dan norma subyektif seseorang atas perilaku tertentu, maka kecendemngan minat dan perilaku aktualnya juga semakin kuat (Schillawaert, 2001).

(53)

kepercayaan mengenai akses untuk sumber-sumber yang digunakan agar dapat bertindak dengan baik, ditambah dengan persepsi yang benar dari sumber-sumber tersebut (informasi, kemampuan, keahlian, keterikatan atau kebebasan dari pihak yang lain, batasan, kesempatan, dll). Hal tersebut diatas dapat dijelaskan pada pada gambar berikut:

Gambar 2.2. Teori Perencanaan Perilaku

Sumber :Transfusion Medicine Reviews, Vol 22, No 3 (July), 2008: pp 215-233

Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap dan norma memiliki efek adiktif terhadap tujuan, sedangkan kekuatan yang relatif berseberangan terhadap perilaku dan populasi. Pada dasarnya harapan adalah nilai model sikap, sikap masyarakat sering terlihat dipengaruhi oleh kepercayaan mereka mengenai akibat-akibat perilaku. Norma subjektif ditentukan oleh pengharapan yang diterima dari individu-individu tertentu dan kelompok-kelompok yang dinilai dengan motivasi masyarakat. Sama

(54)

halnya dengan sikap dan norma-norma subjektif, pertimbangan-pertimbangan dari persepsi pengontrolan perilaku yang terkonsep sebagai fungsi dari keyakinan masyarakat mengenai kemungkinan perbedaan faktor-faktor kontrol keyakinan mungkin mengganggu kinerja dari perilaku yang dinilai dengan kekuatan dari faktor-faktor kontrol.

Di dalam mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan psikologi dari pendonor darah memprediksikan maksud dan perilaku donor darah. Selanjutnya terhadap psikologi dari pendonor darah juga mempertimbangkan bukti-bukti untuk mengukur faktor-faktor yang memengaruhi maksud dan tujuan si pendonor darah.

2.3.3. Faktor Predisposisi (predisposing factors) 1. Pengetahuan

(55)

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan pengetahuan dibagi atas 6 tingkatan :

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dan merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

(56)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini artinya dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintensis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi atau objek.

Dari segi pengetahuan, sebuah perbedaan diambil dari faktual antara pengetahuan dan evaluasi pengetahuan individu. Faktual adalah pengetahuan dinilai terhadap pilihan ganda. Evaluasi pengetahuan mungkin dinilai untuk memberikan keyakinan (Ferguson. 2001). Mempertimbangkan risiko dan pengetahuan merupakan hubungan yang lebih luas untuk kepercayaan sumber informasi tentang pendonor darah (Frewer dkk., 1996; Jungermann dkk., 1996).

2. Sikap

(57)

Sikap adalah suatu keteraturan perasaan dan pikiran dan kecenderungan bertindak terhadap aspek lingkungannya. Sikap seseorang tercermin dari kecendrungan perilakunya dalam menghadapi suatu situasi lingkungan yang berhubungan dengannya. Adapun yang menjadi komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Kompenen kognitif adalah segmen pendapat atau keyakinan dari sikap. Kompenen afektif adalah komponen emosional atau perasaan seseorang. Komponen afektif dipelajari dari orang tua, teman, guru. Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan komponen perilaku sikap adalah maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu (Notoatmodjo, 2007).

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Allport (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek

3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)

(58)

1. Menerima (Receiving )

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang tinggi.

Pengetahuan dan sikap adalah merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung dan disebut covert behaviour.

3. Kepercayaan

(59)

pencegahan yang berbeda meskipun gangguan kesehatannya sama. Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis.

Sedangkan menurut Becker (1979), Health Belief Model ditentukan oleh : 1. Percaya bahwa mereka rentan terhadap masalah kesehatan

2. Menganggap serius masalah

3. Yakin terhadap efektivitas pengobatan 4. Tidak mahal

5. Menerima anjuran untuk mengambil tindakan kesehatan

Diagram di bawah ini menunjukkan Health Belief Model yang dipresentasikan oleh Sheeran dan Abraham (1995).

(60)

Berdasarkan versi ini, tindakan dalam Health Belief Model dipandu melalui: 1. Kepercayaan mengenai dampak penyakit dan konsekuensinya (ancaman persepsi)

yang tergantung pada:

a. Persepsi kerentanan atau kepercayaan mengenai bagaimana seseorang yang mudah diserang penyakit menganggap adanya hubungan antara dirinya dengan penyakit tertentu atau dengan permasalahan kesehatan.

b. Persepsi beratnya sakit penyakit atau permasalahan kesehatan dan konsekuensinya;

2. Motivasi kesehatan atau kesiapan untuk memfokuskan pada masalah kesehatan.

3. Kepercayaan mengenai konsekuensi praktik kesehatan dan mengenai kemungkinan serta usaha untuk melakukannya dalam sebuah praktik kesehatan. Evaluasi perilaku tergantung pada:

a. Persepsi keuntungan dari praktik pencegahan atau pengobatan kesehatan; b. Persepsi pembatasan, antara material dan psikologikal (contoh: kekuatan

keinginan) dengan memperhatikan praktik kesehatan yang sebenarnya. 4. Alasan untuk bertindak yang meliputi perbedaan faktor internal dan eksternal

(61)

Menurut Redding (2000), berdasarkan Health Belief Model, kemungkinan bahwa seseorang akan melakukan sebuah tindakan untuk mencegah penyakit tergantung pada persepsi masing-masing individu, yakni:

a. Secara individu mereka ada dalam kondisi yang mudah terserang penyakit; b. Konsekuensi dari kondisi tersebut akan semakin serius;

c. Perilaku pencegahan penyakit akan mencegah kondisi ini secara efektif;

d. Keuntungan dari pengurangan ancaman kondisi ini melampaui biaya suatu tindakan yang diambil.

2.3.4. Faktor Sosiodemografi Pendonor Darah

Pertumbuhan lingkungan yang cepat ternyata membawa permasalahan sosial yang berdampak pada lingkungan. Kepedulian dan kesadaran donor darah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio demografi, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, daerah asal, pekerjaan, dan statusnya.

1. Usia

(62)

menginjak menopause, donor darah berarti dapat mengurangi kadar zat besi dalam darah yang sebelumnya dapat dikeluarkan secara rutin melalui siklus menstruasi (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan di White River Junction, Vermont oleh para peneliti dari Veteran Affairs Medical Center dan Dartmouth Medical School, bahwa donor darah dapat menjaga kesehatan sistem peredaran darah dalam tubuh dengan mengurangi penumpukkan zat besi, namun efek tersebut mungkin tidak berlaku pada mereka yang berusia lanjut (Ketan, 2000)..

2. Berat Badan

Menurut UTD. PMI Medan (2009), darah pada orang dewasa mencapai 8% dari berat badan. Misalnya berat badan seseorang 50 kg maka darah yang mengalir dalam tubuhnya berkisar 4000cc dan darah yang akan diambil saat donor hanya berkisar 350cc atau 8,75% dari jumlah seluruhnya. Seorang wanita yang memiliki bentuk badan besar biasanya dihubungkan dengan kegemukan akibat diet (68%) dan bias menjalani rawat inap di ruang ICU, resiko ini tidak terjadi pada pria.

(63)

3. Jenis Kelamin

Gender mengacu pada peran lingkungan, sifat, sikap, perilaku, nilai, kekuatan, dan pengaruh individual yang berasal dari dua dasar seks yang berbeda. Norma ”gender” memengaruhi praktik dan prioritas sistem kesehatan. Banyak permasalahan kesehatan yang merupakan sebuah fungsi status sosial atau peran dasar gender. Gender secara eksplisit atau implisit muncul dari sebuah ide bahwa perilaku sehat tidak hanya tergantung pada pengetahuan, keinginan, kapasitas seseorang, tetapi juga pada posisi dimana mereka mendiami sebuah lingkungan.

Gender merupakan penentu utama transfusi darah pada pasien CABG dan hal itu dapat berkaitan dengan usia, berat badan, praoperatif Htc, lama bedah, dan faktor lainnya yang menentukan probabilitas transfusi (Ketan 2000). Healy (2006) menambahkan bahwa struktur utama untuk memaksimalkan kesempatan untuk pendonoran dan akhir resolusi untuk mendonasikan darah secara berkala, menyisakan suatu keputusan pribadi yang tidak dapat dipisahkan. Persepsi ini mempertimbangkan banyak faktor yang akhirnya akan menentukan perilaku baik pria maupun wanita. 4. Pendidikan

(64)

1. Adanya bentuk pendidikan (apakah berbentuk usaha, pertolongan, bantuan, bimbingan, pelayanan atau pembinaan);

2. Adanya pelaku pendidikan (orang dewasa, pendidik, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ataupun pimpinan organisasi);

3. Adanya sasaran pendidikan (orang yang belum dewasa, anak didik, peserta didik); adanya sifat pelaksanaan pendidikan (dengan sadar, dengan sengaja, dengan sistematis, dengan atau secara terencana);

4. Adanya tujuan yang ingin dicapai (manusia susila, kedewasaan, manusia yang patriot atau warga negara yang bertanggung jawab).

Proses pendidikan tersebut berlangsung didalam suatu lingkungan pendidikan atau tempat dimana pendidikan itu berlangsung, biasanya dibedakan menjadi tiga yaitu tri pusat pendidikan yaitu didalam keluarga (pendidikan informal), didalam sekolah (pendidikan formal), dan didalam masyarakat (Nasution, 2004).

2.3.5. Faktor Sosiobudaya Pendonor Darah

(65)

memberikan harapan dan menyangkut hubungan yang bersifat hipotesis antara orientasi kesehatan atau perilaku dengan hubungan sosial atau struktur kelompok. 1. Etnis

Kebutuhan untuk meningkatkan donor darah yang hanya dapat dicapai dengan memahami perbedaan ras dan etnik juga merupakan faktor yang memengaruhi dalam perekrutan pendonor. Masalah unik dalam transfusi darah dan donor darah sehubungan dengan ras Afrika Amerika (AA) di Amerika melingkupi proses pendonoran, pemeroduksian, dan layanan transfusi di rumah sakit. Karena ras AA merupakan penduduk yang besar jumlahnya, suplai langsung darah yang didonorkan oleh ras AA sangat penting untuk mendukung pertumbuhan. Secara nasional, ras AA merupakan kurang representatif dalam pengumpulan darah yang mana ras AA (Beth, 2008).

(66)

2. Agama

Pemerintah memberikan pengakuan resmi dalam bentuk perwakilan di Departemen Agama kepada lima agama besar yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Mayoritas agama pribumi di Kota Medan adalah Islam.

Kota Medan dikenal dengan karakteristik penduduknya yang multietnik atau memiliki keberagaman ras, suku maupun agama. Mayoritas penduduk Kota Medan beragama Islam, selebihnya Kristen Protestan, Katolik, Budha dan Hindu. Kultur budaya masyarakat yang heterogen ini menyebabkan warga Kota Medan menjadi sangat terbuka,toleran dan akomodatif terhadap para pendatang.

Menurut agama Islam, hukum mendonorkan darah adalah boleh, dengan syarat dia tidak boleh menjual darahnya. Sedangkan darah termasuk dari hal-hal yang dilarang untuk memakannya, sehingga harganya pun (diperjual belikan) diharamkan. Adapun jika yang membutuhkan darah memberikan kepadanya sesuatu sebagai balas jasa, maka boleh bagi sang pendonor untuk mengambilnya, tapi dengan syarat, tidak meminta sebelum dan sesudah donor, tidak mempersyaratkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara jelas maupun dengan isyarat, baik secara zhohir maupun batin (Anonimus, 2010).

(67)

bermoral (sila), yang akan membawa kepada keadaan berhati-hati (bhavana). Ini yang akan menciptakan kebebasan dan kebahagian sejati.

2.4. Perilaku Masyarakat Pribumi dan Non Pribumi di Kota Medan

Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berperilaku dalam segala aktivitas. Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Perilaku berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia.

Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan memengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan atau norma-norma sosial tertentu maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung didalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap masalah-masalah kesehatan.

(68)

“modernis” nasional terdepan adalah Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912 dan memiliki sekitar 30 juta pengikut dan cabang-cabang di seluruh negeri. Kelompok ini mendirikan masjid, tempat ibadah, klinik, panti asuhan, tempat penampungan orang-orang miskin, sekolah dan perpustakaan umum, dan mengelola universitas.

Organisasi sosial “tradisionalis” terbesar adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang punya 40 juta anggota, yang terkonsentrasi di Jawa dan didirikan pada tahun 1926, sebagian sebagai reaksi atas berdirinya Muhammadiyah. NU berfokus pada banyak kegiatan yang sama (Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Perburuhan, 2003).

(69)

Atas latar belakang tersebut masyarakat Tionghoa selalu melakukan tindakan donor darah (Hood, 1995).

2.5. Landasan Teori

Perilaku merupakan faktor terbesar yang memengaruhi kesehatan. Menurut Green (1980), menganalisa perilaku terbentuk dari salah satunya faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

Kepedulian dan kesadaran donor darah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio demografi, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, daerah asal, pekerjaan, dan statusnya. Menurut Barbara (2008), faktor psikologi, sosiodemografi, organisasi, faktor-faktor yang memengaruhi kerelaan masyarakat untuk donor darah sebagai upaya untuk memusatkan perhatian terhadap donor darah.

(70)

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

PREDISPOSISI

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

PERILAKU

PENGETAHUAN (X1)

MENDONORKAN DARAH SUKARELA (Y) • Masyarakat Pribumi • Masyarakat Non Pribumi SIKAP (X2)

KEPERCAYAAN (X3) PENGETAHUAN (X1)

SIKAP (X2)

Karakteristik:

1.Golongan Darah 2.Usia

3.Berat Badan 4.Jenis Kelamin 5.Alasan

(71)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan explanatory research yaitu mencari penjelasan atau menguji pengaruh antar variabel yang terumus pada hipotesis penelitian.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di UTD-PMI Kota Medan. Waktu yang digunakan dalam penelitian di lapangan berlangsung selama 1 bulan, terhitung sejak bulan Januari 2010 sampai bulan Februari 2010.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah pendonor darah sukarela pada masyarakat Pribumi dan masyarakat Non Pribumi di UTD PMI Kota Medan pada Tahun 2009. Jumlah pendonor darah pribumi (2960 orang) lebih sedikit dibandingkan pendonor darah non pribumi (5889 orang), maka jumlah populasi adalah 8849 orang. Adapun datanya sebagai berikut :

Tabel 3.1 Populasi Penelitian UTD PMI Kota

No Populasi Jumlah Pendonor Darah

1 Pribumi 2960 orang 33%

2 Non Pribumi 5889 orang 67%

Gambar

Tabel Frekuensi Variabel Penelitian ......................................................
Gambar.2.1. Health Care Utilization Model
Gambar 2.2. Teori Perencanaan Perilaku
Gambar.2.3 Health Belief Model yang dipresentasikan  oleh Sheeran dan Abraham (1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan mengintegrasikan dengan bagian tatausaha (keuangan), bagian P2D2S (Pencari Pelestari Donor Darah Sukarela) dan bagian Pengembangan Mutu sehingga akan tercipta

PMI UTDC Kota Depok akan melakukan pengambilan darah sesuai dengan kuantitas optimumnya yaitu sebanyak 44 kantong darah, ketika darah untuk golongan darah A di persediaan

Namun dalam perkembangannya tugas pokok dari PMI saat ini juga meliputi Penanganan Bencana, dan kesiap siagaan terhadap penanganan gawat darurat sebelum ditangani

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan dalam donasi darah dengan kadar hemoglobin pada remaja putri sebelum dan sesudah melakukan donor darah di Unit Donor Darah

Sikap positif terhadap donor darah dapat memberikan dorongan bagi seorang individu untuk melakukan donor darah secara teratur(6).Tujuan dalam penelitian ini adalah

Hasil dari penelitian Teknik Komunikasi Persuasif Pencari Pelestari Donor Darah Sukarela Di Palang Merah Indonesia Kota Samarinda yang menggunaka teknik asosiasi,

• Tidak dapat digunakannya darah untuk transfusi, oleh karena hasil uji saring reaktif terhadap IMLTD ( parameter uji saring dengan hasil reaktif yang

KESIMPULAN Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan strategi komunikasi publik UTD PMI Kota Makassar dalam pelestarian donor darah: UTD PMI Kota