PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGGUNA
IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI
YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT
TESIS
Oleh :
DESI NATALIA GINTING
107005046/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGGUNA
IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI
YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
DESI NATALIA GINTING
107005046/HK
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan terlarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian menggunakan teori pertanggungjawaban pidana, berdasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, disini peneliti mencoba untuk melihat ada tidaknya unsur kesalahan pada pelaku sehingga patut dicela sesuai dengan dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, mengatur tentang pemberian ijazah namun tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan ijazah dan bagaimana yang dikatakan dengan ijazah perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. Pasal 61 ayat (2) yaitu ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan, setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan berhak menyelenggarakan program pendidikan, dimana izin penyelenggaraan pendidikan diberikan oleh Menteri berdasarkan atas penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Pasal 21 ayat (1) yaitu perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan pendidikan tentu dapat memberikan gelar akademik sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
Pertanggungjawaban pidana sesuai dalam Pasal 68 ayat (2) yakni pengguna ijazah dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat, adalah merupakan perbuatan tercela dan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbuatan pelaku merupakan suatu tindak pidana dan bersifat melawan hukum. Perbuatan pelaku dilihat berdasarkan atas ada tidaknya kesalahan.
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak mememenuhi syarat ialah bahwa ijazah dikleuarkan oleh perguruan tinggi karena belum memperoleh izin penyelenggaraan program pendidikan dan terakreditasi (karena sarana dan prasarananya belum memenuhi persayaratan) sesuai dengan ketentuan hukum, dan konsep pertanggungjawaban pidana melanggar Pasal 68 ayat (2) adalah dilihat dari ada tidaknya kesalahan. kesalahan merupakan unsur utama patut di celannya perbuatan, kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kelalaian. Menentukan adanya unsur sengaja dan kelalaian tidak mudah, sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan peristiwa konkrit (fakta-fakta yang ada) pada tindak pidana tersebut.
ABSTRACT
Criminal Responsibility is to put a reproach on someone due to his/her violating what is prohibited or creating a prohibited condition.
The purpose of this study was to find out what category the certificate issued by the non-eligible university belongs to and how the concept of criminal responsibility of the user of the certificate issued by the non-eligible university is.
This normative legal study was conducted by analyzing the existing problems through the approach of legal principles referring to the legal norms found in regulation of legislation. This study employed the theory of criminal responsibility based on the principle of “no offence without mistakes” to look at whether or not the actor are with elements of mistakes that he/she deserves to be put a reproach on in accordance with Article 68 paragraph (2) of Law No.20/2003 on National Education System.
Law No.20/2003 on National Education System regulates the awarding of certificate but it does not define what is meant by certificate and how we can judge that a certificate is a certificate of non-eligible university. Article 61 paragraph (2) says that a certificate is awarded to the students as recognition after they passed the examination held by an accredited education unit. Eligible university has the right to hold education program whose permit issued by the Minister based on the evaluation given by the University National Accreditation Board. Article 21 paragraph (1) says that universities which meet the establishment requirements and entitled to run an education program are surely able to award an academic degree in accordance with the education programs run.
According to Article 68 paragraph (2), criminal responsibility is that the use of the certificate issued by a non-eligible education unit is a despicable act that the responsibility of the actor can be asked in accordance with existing provisions. What is done by the actor is a criminal act which is against the law but this act is also looked at based on whether or not there is a mistake in it.
The result of this study showed that the category of the certificate issued by a non-eligible university is that the certificate is issued by a university which has not yet had operational permit to run education program and is not yet accredited (because its facilities and infrastructures have not met the requirements) that in accordance with the provision of law and the concept of criminal responsibility, it is against Article 68 paragraph (2) seen from whether or not there is a mistake in it. Mistake is the main element that makes the actor’s action reprehensible. Mistake can be intentional and negligent. It is not easy to determine the element of intent and negligence because it must be first proven based on concrete events (existing facts) of the criminal act.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa dengan
berkat, Rahmat dan Karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan laporan
penelitian ini tepat pada waktunya.
Penulisan Tesis ini berjudul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PELAKU PENGGUNA IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH
PERGURUAN TINGGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT, Tesis ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam
rangkaian studi pada Program Pasca Sarjana pada Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan Tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak-Bapak Komisi
Pembimbing yang terhormat Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., Bapak Prof.
Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum.,
yang penuh dengan perhatian dan kesabaran telah meluangkan waktu Beliau untuk
memberikan kesempatan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga Tesis
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Dan tidak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung,
SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis
untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Dr.
Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan
kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program
Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku sebagai Penguji dalam menyelesaikan
tesis dan pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide dan
pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis
5. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis
serta pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide dan
pertanyaan-pertanyaan terhadap penulis.
6. Para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan
membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi
kehidupan dimasa yang akan datang.
7. Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Sedia Ginting, SH., M.Hum.
dan Arus Malem Bangun, senantiasa mengiringi penulis dengan doa dan kasih
materil yang sungguh besar nilainya bagi penulis dalam menyelesaikan studi
Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
8. Teristimewa kepada Kakak dan Adik-adik penulis tercinta Siska Ulina Ginting,
SH. Agus Tina Ginting, SP., dan Rezeki Petrus Ginting yang telah memberikan
perhatian dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2010 (Reguler B) dan teman-teman
saya terkasih yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di
Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yakni Iriani O.T. Siallagan,SH., Lamtiur Imelda Nababan SH., Maria
Simarmata, SH., Murni Sitorus, SH., Asrina Marina Tampubolon, SH., Chresbina
Tarigan, Spd., Eva Tiurma Samosir, SH., Eka Simanungklit, SE., Meri Natalia,
SE. Beserta Bapak Hoplen Sinaga, SH.MHum., di Kejaksaan Tinggi Sumatera
Uatara dan Bapak Adjiet Latuconsina, SH di Kejaksaan Tinggi Maluku (Ambon)
yang telah membantu penulis dalam memberikan masukan berupa materi
pengetahuan seputar ilmu hukum.
10.Para Pegawai di lingkungan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yakni Kak Fika, Kak Juli, Kak Fitri, Ibu
Ganti, Ibu Niar, Bang Hendra, Bang Udin, yang tak bosan-bosannya memberikan
nasehat kepada penulis untuk tetap semangat, terima kasih atas dukungan dan
Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat, bukan hanya kepada diri
Penulis saja melainkan juga kepada kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan
ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum.
Medan, 7 Juni 2012
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Desi Natalia Ginting
Tempat/tanggal lahir : Medan, 17 Desember 1987
Agama : Katolik
Status : Belum Kawin
Nama orang tua
Ayah : Sedia Ginting, SH., MHum.
Ibu : Arus Malem Bangun
Alamat : Jl. Berdikari No.95 Pasar I Padang Bulan
Medan
e-mail : angeldena77@yahoo.com
Hp : 085211070477
Riwayat Pendidikan :
1. SD Swasta Maranatha Medan Lulus Tahun 1999
2. SLTP Negeri 10 Medan Lulus Tahun 2002
3. SMA Katolik Cahaya Medan Lulus Tahun 2005
4. Universitas HKBP Nommensen Medan Lulus Tahun 2009
Medan, 7 Juni 2012
DAFTAR ISI
ABSTRAK………...……….i
ABSTRACT………...…...ii
KATA PENGANTAR………...…....iii
RIWAYAT HIDUP………..…vii
DAFTAR ISI………viii
BAB I. PENDAHULUAN………...………..……….…...….1
A. Latar Belakang……….………....….…….…...1
B. Rumusan Masalah……….……….……...…..9
C. Tujuan Penelitia……….….…………9
D. Manfaat Penelitian……….………10
E. Keaslian Penelitian………11
F. Kerangka Teori Dan Konsepsional………...12
1. Kerangka Teori………...12
2. Kerangka Konsepsional………...21
G. Metode Penelitian……….…....25
1. Spesifikasi penelitian……….…….25
2. Sumber Bahan Hukum………...26
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum……….…26
4. Analisis Bahan Hukum………...27
BAB II. KATEGORI IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN TINGGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT………..…28
1. Ketentuan Tentang Perguruan Tinggi………...28
2. Syarat Dan Tata Cara Pendirian Perguruan Tinggi……….…..32
3. Akreditasi Perguruan Tinggi……….……38
B. Masalah Pemberian Ijazah……….…...46
1. Pengertian Ijazah……….……...46
2. Syarat Pemberian Ijazah……….……...48
2.1.Hak Dan Kewajiban Peserta Didik (Mahasiswa) Pada Perguruan Tinggi………49
2.2. Persyaratan Lulus Program Studi………...51
2.3.Predikata Kelulusan………...51
2.4.Pemberian Ijazah………52
3. Kerjasama Perguruan Tinggi Sebagai Penyelenggara Pendidikan..54
1. Tujuan Kerjasama Perguruan Tinggi Program Kembaran (Double Degree)……….55
2. Sasaran Kerjasama Program Kembaran (Double Degree)…….56
3. Bentuk Dan Manfaat Kerjasama………....56
4. Sistem Pendidikan Jarak Jauh……….59
C. Kategori Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat…...65
BAB. III. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Ijazah Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat………....68
B. Masalah Melawana Hukum Terhadap Tindak Pidana Menggunakan
Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak
Memenuhi Syarat……….75
C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pengguna Ijazah Yang Tidak Memenuhi Syarat………...81
D. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengguna Ijazah Yang Dikeluarkan Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat (Dalam Hal Turut Serta/Secara Bersama-Sama)…………107
BAB. IV. PENUTUP………...………..120
A. KESIMPULAN………...120
B. SARAN………...121
ABSTRAK
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan terlarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian menggunakan teori pertanggungjawaban pidana, berdasarkan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, disini peneliti mencoba untuk melihat ada tidaknya unsur kesalahan pada pelaku sehingga patut dicela sesuai dengan dalam Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, mengatur tentang pemberian ijazah namun tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan ijazah dan bagaimana yang dikatakan dengan ijazah perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat. Pasal 61 ayat (2) yaitu ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan, setelah lulus ujian yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan berhak menyelenggarakan program pendidikan, dimana izin penyelenggaraan pendidikan diberikan oleh Menteri berdasarkan atas penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Pasal 21 ayat (1) yaitu perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan pendidikan tentu dapat memberikan gelar akademik sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
Pertanggungjawaban pidana sesuai dalam Pasal 68 ayat (2) yakni pengguna ijazah dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat, adalah merupakan perbuatan tercela dan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbuatan pelaku merupakan suatu tindak pidana dan bersifat melawan hukum. Perbuatan pelaku dilihat berdasarkan atas ada tidaknya kesalahan.
Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kategori ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak mememenuhi syarat ialah bahwa ijazah dikleuarkan oleh perguruan tinggi karena belum memperoleh izin penyelenggaraan program pendidikan dan terakreditasi (karena sarana dan prasarananya belum memenuhi persayaratan) sesuai dengan ketentuan hukum, dan konsep pertanggungjawaban pidana melanggar Pasal 68 ayat (2) adalah dilihat dari ada tidaknya kesalahan. kesalahan merupakan unsur utama patut di celannya perbuatan, kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kelalaian. Menentukan adanya unsur sengaja dan kelalaian tidak mudah, sehingga harus dibuktikan terlebih dahulu berdasarkan peristiwa konkrit (fakta-fakta yang ada) pada tindak pidana tersebut.
ABSTRACT
Criminal Responsibility is to put a reproach on someone due to his/her violating what is prohibited or creating a prohibited condition.
The purpose of this study was to find out what category the certificate issued by the non-eligible university belongs to and how the concept of criminal responsibility of the user of the certificate issued by the non-eligible university is.
This normative legal study was conducted by analyzing the existing problems through the approach of legal principles referring to the legal norms found in regulation of legislation. This study employed the theory of criminal responsibility based on the principle of “no offence without mistakes” to look at whether or not the actor are with elements of mistakes that he/she deserves to be put a reproach on in accordance with Article 68 paragraph (2) of Law No.20/2003 on National Education System.
Law No.20/2003 on National Education System regulates the awarding of certificate but it does not define what is meant by certificate and how we can judge that a certificate is a certificate of non-eligible university. Article 61 paragraph (2) says that a certificate is awarded to the students as recognition after they passed the examination held by an accredited education unit. Eligible university has the right to hold education program whose permit issued by the Minister based on the evaluation given by the University National Accreditation Board. Article 21 paragraph (1) says that universities which meet the establishment requirements and entitled to run an education program are surely able to award an academic degree in accordance with the education programs run.
According to Article 68 paragraph (2), criminal responsibility is that the use of the certificate issued by a non-eligible education unit is a despicable act that the responsibility of the actor can be asked in accordance with existing provisions. What is done by the actor is a criminal act which is against the law but this act is also looked at based on whether or not there is a mistake in it.
The result of this study showed that the category of the certificate issued by a non-eligible university is that the certificate is issued by a university which has not yet had operational permit to run education program and is not yet accredited (because its facilities and infrastructures have not met the requirements) that in accordance with the provision of law and the concept of criminal responsibility, it is against Article 68 paragraph (2) seen from whether or not there is a mistake in it. Mistake is the main element that makes the actor’s action reprehensible. Mistake can be intentional and negligent. It is not easy to determine the element of intent and negligence because it must be first proven based on concrete events (existing facts) of the criminal act.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kunci pembangunan bagi masa mendatang bangsa Indonesia ialah
pendidikan. Lewat perolehan pendidikan diharapkan setiap individu dapat
meningkatkan kualitas keberadaannya, dan mampu berpartisipasi dalam gerak
pembangunan. Pendidikan merupakan alat untuk memperbaiki keadaan sekarang,
juga juga untuk mempersiapkan dunia esok yang lebih baik serta lebih sejahtera.
Disamping itu pendidikan merupakan masalah yang amat kompleks dan teramat
penting karena menyangkut macam-macam sektor kehidupan, bagi pemerintah dan
rakyat.1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang, hal ini tercantum dalam Pasal 31 menyebutkan
bahwa;
“Ayat (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan ayat (2) menegaskan bahwa, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.2
1
Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional,(Bandung : Mandar Maju, 1990), hal.v
2
Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.3 Pendidikan bertugas untuk
mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab setiap warga negara terhadap
kelanjutan hidupnya, bukan saja terhadap lingkungan masyarakatnya dan negara
tetapi juga terhadap manusia.4 Pendidikan kini antara lain juga berfungsi untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki perilaku, nilai, dan
norma sesuai sistem yang berlaku, sehingga mewujudkan totalitas manusia yang utuh
dan mandiri sesuai tata cara hidup bangsa.5
Ketentuan lain mengenai Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam konsep
peraturan yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan,
Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan
Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum pendidikan. Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan
3
Pasal 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,(Jakarta: Sinar Grafika, 2003)
4
H.A.R.Tilaar,Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,1992), hal.4
5
Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi (PT). Kepmendiknas
RI Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi (PPPT).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005
Tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (selanjutnya disingkat
BAN-PT). Kepmendiknas RI. No.178/U/2001 Tentang Gelar dan lulusan Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan formal tertinggi yang
melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.6 Perguruan
tinggi merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi,
selanjutnya perguruan tinggi dibagi menjadi beberapa jenis yaitu akademi, politeknik,
pendidikan tinggi, institut dan universitas. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
1999 Tentang Pendidikan Tinggi mengatur bahwa penyelenggara perguruan tinggi
yang dilakukan oleh masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat
sosial. Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan status badan
hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi7
Seseorang yang ingin memperoleh sertifikat berupa ijazah haruslah melalui
suatu proses yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Kenyataannya pada masa
sekarang ini, masih banyak pihak-pihak yang ingin memperoleh ijazah melalui tanpa
proses yang sebenarnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan hukum. Faktor
inilah yang menyebabkan semakin maraknya pengguna ijazah yang tidak memenuhi sebagai satuan pendidikan yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
6
Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi,(Bogor:1994), hal.3
7
syarat. Ijazah seharusnya diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap
prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi8
Pelanggaran yang terjadi di dunia pendidikan sangat heterogen sifatnya dan
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, secara fulgar maupun
terselubung. Pelanggaran yang terjadi di dunia pendidikan dilakukan secara
kelembagaan maupun secara personal yang semuanya mencoreng citra dunia
pendidikan. Misalnya, seperti dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan
No.629/Pid.B/2007/PN.MDN tanggal 27 Juni 2007, dalam perkara ini menyatakan
bahwa terdakwa (HM) telah melakukan tindak pidana menggunakan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, yang diperolehnya dari satuan pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan berupa gelar kehormatan DR (H.C) dan gelar akademis
(S.Sos).
, tetapi bisa
didapatkan dan digunakan oleh para pihak yang memiliki tujuan dan kepentingan
tertentu.
Permasalahan di negara Indonesia sebetulnya bukanlah dalam hal sumber
daya manusia (SDM), tetapi sesungguhnya dari kualitas sumber daya manusianya.
Terdapatnya ketidak mampuan bersaing, bertindak dengan cepat, berpikir dengan
logis dan untuk kepentingan rakyat, mewarnai hampir sebagian besar pemimpin dan
aparat negara ini. Ironis, dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya berupaya
meningkatkan kualitas SDM Indonesia, melalui berbagai program pembangunan,
salah satunya melalui program pendidikan mengalami hambatan. Terhambatnya
8
segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akibat adanya pihak-pihak
yang bersedia “memudahkan” bagi orang yang ingin memperoleh ijazah tanpa perlu
mengikuti jenjang pendidikan yang legal. Tindakan ini jika dibiarkan terus-menerus
maka nantinya jabatan-jabatan penting pemerintahan dapat diisi oleh orang-orang
yang tidak berkompeten karena ijazahnya tersebut tidak memenuhi syarat atau ijazah
palsu.9
Tindak pidana pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang
tidak memenuhi syarat merupakan kejahatan terhadap sistem pendidikan nasional,
serta dapat dimintai pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan
seseorang yang dilarang dan diancam pidana. Perbuatannya bersifat melawan hukum,
terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
Aturan hukum mengenai tindak pidana mempunyai struktur yang berbeda
dengan aturan mengenai bagaimana reaksi terhadap mereka yang melanggarnya
tersebut. Artinya penegakan terhadap kewajiban-kewajiban tersebut memerlukan
suatu program aplikasi yang dinamakan sistem pertanggungjawaban pidana. Aturan
mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan standar perilaku yang wajib
ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang
melanggar kewajiban tersebut. Kesalahan dalam hal ini merupakan faktor penentu
bagi pertanggungjawaban pidana. Terdapat tidaknya kesalahan terutama penting bagi
9
penegak hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana
dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya patut dipidana.10
Melihat kasus dalam dunia pendidikan ini menunjukan bahwa pada
hakekatnya bidang pendidikan sangat perlu adanya perlindungan hukum. Peraturan
yang berkaitan dengan kejahatan pendidikan perlu dirumuskan secara terinci dan
sejelas-jelasnya, sehingga dapat dijadikan sarana dalam menyelesaikan persoalan
kejahatan pendidikan secara efektif dan efisien.
Kedaulatan hukum jelas-jelas berkaitan erat dengan keadilan. Kita dapat
melihatnya dengan melihat gagasan tentang sistem hukum dan hubungan dekatnya
dengan prinsip definitif keadilan sebagai keteraturan. Sistem hukum adalah sebuah
urutan aturan publik yang memaksa yang ditujukan pada orang-orang rasional.
Tujuannya mengatur perilaku mereka dan memberikan kerangka kerja bagi kerja
sama sosial, dan ketika aturan-aturan ini adil mereka menegakkan sebuah dasar bagi
harapan-harapan yang sah. Mereka merupakan landasan tempat orang atau satu sama
lain bersandar dan berhak berkeberatan ketika harapan-harapan mereka tidak
terpenuhi.11
Memandang bahwa tidak terdapatnya batasan yuridis, dalam praktik selalu
diartikan, bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam
Undang-Undang”. Landasan ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam
Pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine lege” dan sekaligus
mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. Ketentuan secara teoritis dan
10
Chairul huda, Dari Tiada Pidana Tanp kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.19-20
11
menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak
pidana dan pemidanaan tanpa sifat melawan hukum (secara materil)”.12
Upaya dalam mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum,
sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengaturan pemidanaan berupa tindak pidana
menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat mutlak perlu diformulasikan dalam
peraturan hukum pidana positif. Pembahasan mengenai pemidanaan terhadap
seseorang juga sering menjadi perdebatan yang panjang, karena ketika menjatuhkan
pidana seseorang harus menjalani hukuman tertentu.13
Peraturan pemidanaan tentang tindak pidana menggunakan ijazah yang
dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang tidak memenuhi syarat telah diatur dalam
hukum pidana positif. Di Indonesia hal ini telah diatur dengan baik didalam KUHP
maupun dalam Undang-undang di luar KUHP. Tindak pidana ini di dalam KUHP
digolongkan kedalam kejahatan pemalsuan surat (Buku II, Bab XII KUHP),
sedangkan di luar KUHP ketentuan mengenai tindak pidana ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Berbicara mengenai pertanggungjawaban terhadap pengguna ijazah yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat telah diatur dalam
Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa;
“Setiap orang yang menggunakan ijazah, serfitikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”
12
18.35 Wib.
13
Meninjau dari ketentuan pidana Undang-Undang Sisdiknas, subjek tindak
pidana yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah tidak hanya perseorangan
(sebagai pengguna) ijazah yang tidak memenuhi syarat tersebut, tetapi juga
perseorangan, organisasi ataupun penyelenggara pendidikan sesuai (Pasal 67 ayat (1)
UU Sisdiknas, dengan kata lain korporasi juga dapat dibebani pertanggungjawaban
pidana.
Berbicara tentang bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi tersebut dan sanksi apa yang dijatuhkan padanya sama sekali tidak diatur
secara tegas dalam ketentuan pidana yang tercantum dalam Undang-Undang
Sisdiknas tersebut. Ketentuan dalam hukum pidana menyatakan bahwa korporasi
diterima sebagai subjek tindak pidana meskipun masih terbatas pada beberapa
peraturan perundang-undangan di luar KUHP. KUHP sebagai peraturan umum
hukum pidana belum mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan yang
harus bertanggung jawab. 14
Ketentuan ini sesuai dengan pasal 59 KUHP yang berbunyi : dalam hal
menentukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu
pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau
komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya.
15
14
H.Setiyono, Kejahatan Korporasi : Analisis Viktimonologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang :Averroes Press Pustaka Pelajar,2002), hal.23.
Berarti dalam hal ini KUHP masih mengikuti sistem pertanggungjawaban yang
pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus itu yang harus
15
bertanggungjawab. Berarti pengembangan pengaturan korporasi sebagai subjek
tindak pidana saat ini, masih tergantung pada perkembangan peraturan-peraturan
hukum pidana di luar KUHP.16
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik
untuk mengangkat judul tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna
ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian pada bagian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan
yang menjadi pokok pembahasan pada bab selanjutnya yaitu:
1. Bagaimana kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak
memenuhi syarat?
2. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan yang hendak di peroleh dari penelitian yaitu :
1. Mengetahui kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak
memenuhi syarat.
2. Mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.
16
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang dikemukakan diatas penulisan karya ilmiah ini juga
bermanfaat antara lain untuk :
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah
serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai kategori ijazah yang
dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep
pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh
perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.
b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan.
2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan :
a. Memberi kontribusi pemikiran kepada masyarakat tentang kategori ijazah
yang dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan
konsep pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan
oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat.
b. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum, dalam hal menerapkan
efektifitas hukum terhadap kategori ijazah yang dikeluarkan oleh Perguruan
Tinggi yang tidak memenuhi syarat dan konsep pertanggungjawaban pidana
pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang :
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengguna Ijazah Yang Dikeluarkan
Oleh Perguruan Tinggi Yang Tidak Memenuhi Syarat.
Belum pernah dilakukan, namun ada beberapa penelitian yang dilakukan
oleh mahasiswa terdahulu yang membahas tentang ijazah palsu, diantaranya yaitu :
1. Tarima Saragih, Aspek Hukum Pidana Dalam Kasus Penggunaan Ijazah Palsu
Pada Pencalonan Anggota Legislatif.
2.
(Studi Putusan PN Medan Reg. NO. 1932/Pid.B/2005/PN.MDN)17
Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut yang juga membahas
kejahatan tentang ijazah. Penelitian ini berfokus kepada pertanggungjawaban pidana
pelaku pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi
syarat. Topik dari pada penelitian ini sengaja dipilih dan ditulis, karena topik dari
pada penelitian ini juga merupakan lanjutan dari tulisan penulis yang sebelumnya.
Penulis ingin memperluas kajian dari pada sistem pertanggungjawaban pidana
penyalahgunaan ijazah, dengan demikian keaslian penulisan penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
17
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Dasar dari pada penjatuhan pidana terhadap suatu tindak pidana, harus
dilandasai oleh suatu teori pendukung, dimana mengenai teori-teori ini (dalam bentuk
literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana/strafrech-theorien) yang
berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut.18
Hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik
perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak
pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban.
Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana.
Berbicara tentang pertanggung jawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, tidak dapat
dilepaskan dengan tindak pidana.
19
Ketentuan dalam
hukum pidana menyatakan bahwa manusia itu terkait dengan suatu cara yang tidak
hanya mendalam tetapi juga banyak segi.20
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan sebagai
”perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman
atau sampai yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan
Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana
adalah perbuatan jahat sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan
pidana.
18
Purnadi Purbacaraka dan .Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, (Jakarta: CV.Rajawali, 1987), hal.35.
19
Iswanto, dalam A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : UMM Press, 2004), hal.32
20
tersebut.21 Beliau memisahkan antara pengertian ”perbuatan pidana” (criminal act)
dan ”pertanggungjawaban pidana” sebab ”perbuatan pidana” disini tidak
dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban bagi orang
yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau
dilanggar.22
Simons mengartikan bahwa tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan
(handeling) kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum,
yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggungjawab.23
Memperhatikan rumusan ”strafbaar feit” diatas jelas, bahwa disamping adanya perbuatan pidana (feit), juga harus ada sifat melawan hukum, kesalahan, dan
kemampuan bertanggung jawab. Osman Simanjuntak, menyatakan bahwa agar tidak
menimbulkan kesalah pahaman, maka sebaiknya istilah ”Strafbaar feit” dapat
diterjemahkan istilah ”Perbuatan yang dapat dihukum”, dan untuk perbuatan pidana
dipergunakan istilah ”Feit ”. Melihat realita yang ada, tidak semua feit (perbuatan
pidana) menjadi ”strafbaar feit”, namun untuk adanya ”strafbaar feit”harus ada
terlebih dahulu perbuatan pidana (feit), dan untuk adanya feit (perbuatan pidana),
harus ada terlebih dahulu handeling (perbuatan), semua kejahatan ataupun Kedua pendapat diatas mengenai pengertian tindak pidana
memang memiliki pemikiran tersendiri namun sama-sama mengarah kepada satu hal
yaitu ”perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”.
21
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Djambatan,2003), hal.3
22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), hal 62.
23
pelanggaran harus didahului suatu perbuatan (handeling) : yaitu adanya kejadian
yang ditimbulkan gerakan phisik (gedraging).24
Perbuatan (handeling), bilamana melanggar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku maka perbuatan itu, menjadi perbuatan pidana (feit). Perbuatan pidana
jika terbukti ada sifat melawan hukum ; ada kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
ada juga kemampuan bertanggungjawab, maka dari feit, meningkatkan menjadi
perbuatan yang dapat di hukum (Strafbaar feit) dengan demikian dalam setiap
terjadinya suatu kejadian ada 3 (tiga) komponen yang harus dikuasai yaitu : 1.
Perbuatan pidana (feit), 2. Sifat melawan hukum (wederrechtlijk), 3.
Pertanggungjawaban pidana.
25
Perbuatan pidana dalam hal menggunakan ijazah yang tidak sah merupakan
suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, perbuatan yang dilarang
merupakan (perbuatan manusia yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya sementara itu
ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.26
24
Osman Simanjuntak, Teknik Perumusan Perbuatan Pidana Dan Azas-Azas Umum, (Jakarta,1997), hal.131.
Perbuatan pidana (perbuatan yang
dilarang) dalam pelaku pengguna ijazah tidak sah jelas tercantum dalam ketentuan
Pasal 68 ayat (2) yang menyatakan : setiap orang yang menggunakan ijazah,
serfitikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang diperoleh dari
satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, adalah perbutaan yang dilarang
oleh undang-undang dan tercela dimasyarakat.
25
Ibid. 26
Perbuatan pidana (feit) didalamnya terdapat perbuatan-perbuatan yang
bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam
dengan pidana. Langemeyer menyatakan “untuk melarang perbuatan yang tidak
bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”.
Melawan hukum disini memiliki dua pembagian yaitu melawan hukum formil dan
melawan hukum materil. Melawan hukum formil adalah perbuatan tersebut telah
sesuai dengan ketentuan undang-undang, letak melawan hukumnya perbuatan sudah
ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk
pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Melawan hukum
materil adalah hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang
(hukum tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.27
Sifat melawan hukum dalam tindak pidana pelaku pengguna ijazah yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat merupakan perbuatan
pidana (feit). Perbuatan telah sesuai dengan ketentuan undang-undang (hukum
positif) berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas. Perbuatan disini telah sesuai sesuai
dengan sifat melawan hukum formil. Didukung juga dengan melawan hukum materil
karena perbuatan dari pada pelaku tidak sesuai dengan apa yang dianggap baik oleh
kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan masyarakat (perbuatan dianggap
tercela). Terpenuhinya komponen perbuatan pidana dan dengan adanya sifat melawan
hukum, maka perbuatan tersebut harus dapat di pertanggunggjawabkan.
27
Asas pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana yang secara tegas
menyatakan ; “Tiada dipidana tanpa ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa Belanda
berbunyi ; “geen straf zonder schuld”. Asas tersebut dalam bahasa Latin dirumuskan
dengan “Actus non tacit reum misi mens sit rea”. Berdasarkan pada asas tersebut
diatas dapat disimpulkan suatu pendapat bahwa pertanggungjawaban pidana sangat
erat berkaitan dengan kesalahan serta untuk menentukan apakah seseorang pelaku
tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat
apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.28
Simons “kesalahan adalah adanya keadaan physis yang tertentu pada orang
yang melakukan perbuatan pidana dan ada hubungannya antara keadaan tersebut
dengan perbuatan pidana yang dilakukan sedimikian rupa, hingga orang ini dapat
dicela karena melakukan perbuatan tadi”. Pertanggungjawaban pidana terdiri atas 3
(tiga) hal yaitu:
29
1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvaatbaarheid) dari pelaku atau
keadaan physis dari pelaku yaitu Keadaan batin yang normal ditentukan oleh
faktor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh
dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang
bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika
melakukan suatu tindak pidana.30
2. Kesalahan adalah hubungan sikap batin (physis) pembuat (pelaku) dengan
perbuatannya, yaitu adanya faktor :
28
A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : UMM Press, 2004), hal.74.
29
Osman Simanjuntak, Op.Cit.,.,hal.170.
30
a. Kesengajaan, adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan,
artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum
orang itu sungguh-sungguh berbuat. Dalam doktrin hukum pidana, dikenal
ada tiga bentuk kesengajaan yaitu :
1. Kesengajaaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) artinya dengan
menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana
aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum
(tindak pidana pasif) dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari
perbuatan itu (tindak pidana materil).
2. Kesengajaan sebagai kemungkinan ialah kesengajaan untuk melakukan
perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat
timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya
kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap
mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu.
3. Kesengajaan sebagai kepastian adalah kesadaran seseorang terhadap suatu
akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh
dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Perbuatan tertentu yang
disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya
juga maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.31
b. Kealpaan (kelalaian),sering juga disebut tidak sengaja merupakan lawan dari
kesengajaan (opzettelijk atau dolus), dalam rumusan tindak pidana sering
disebut dengan schuld dalam arti sempit. Pebedaannya adalah dolus
31
merupakan kesalahan yang berat, sedangkan culpa merupakan bentuk
kesalahan yang lebih ringan. Dasar pembedanya dapat dilihat sebagai
berikut: Dolus
Culpa : perbuatan dilakukan dengan kealpaan, perbuatan itu disebut
“colpeuse delicten”, ancaman pidana lebih ringan dari pada delik
sengaja/dolus.
: perbuatan dilakukan dengan sengaja, perbuatan itu disebut
“doleusa delicten”, diancam dengan pidana lebih berat dari pada delik culpa.
3. Ada tidaknya alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana
dari pelaku yang dapat dibedakan menjadi :
a. Alasan pembenar ; yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yang patut dan benar.
b. Alasan pemaaf ; yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum
jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena
tidak ada kesalahan.
c. Alasan penghapus penuntutan ; disini sebenarnya bukan ada alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya
perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi
pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya
disini ialah kepentingan umum, kalau perkaranya tidak dituntut tentunya
yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana.32
Konsepsi dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi
mengenai satu perbuatan, mengenai satu manifestasi kehendak didalam dunia luar.
33
Tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi
yang tidak memenuhi syarat jelas diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional. Berdasarkan Pasal 61 UU Sisdiknas, bahwa ijazah adalah salah satu bentuk
serfitikat selain sertifikat kompetensi yang diberikan kepada peserta didik
Jelas bahwa untuk dapat dimintainya suatu pertanggungjawaban pidana dari pelaku
pengguna ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat,
harus terlebih dahulu terdapat kesalahan sehingga dengan adanya kesalahan tersebut
maka dapat di mintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan
undang-undang (Undang-Undang Sisdiknas) berdasarkan unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana.
34
32
Moeljatno, Op.Cit.,hal.148.
sebagai
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan
setelah ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. Pasal
53 UU Sisdiknas, disebutkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. Kemudian dalam Bab XVII Pasal 62 UU Sisdiknas disebutkan mengenai
syarat-syarat bagi setiap satuan pendidikan formal dan non formal untuk memperoleh
33
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Penerjemah: DRS.Mohamad Radjab, (Jakarta:Bhratara Karya Aksara, 1982), hal.87.
34
izin pendirian satuan pendidikan sehingga berhak menyelenggarakan program
pendidikan dan memberikan ijazah, gelar akademik, profesi atau vokasi yaitu antara
lain meliputi; isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan, sistem evaluasi dan
sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan.35
Formulasi pertanggungjawaban pidana pelaku pengguna ijazah yang
dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang tidak memenuhi syarat, telah diatur dalam
Pasal 68 ayat (2) UU Sisdiknas. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintai
kepada para pembuat (pelaku pidana) apabila unsur-unsur tindak pidana telah
terpenuhi. Sikap mampu bertanggung jawab dan untuk dapat dimintainya
pertanggungjawaban pidana harus terdapat suatu kesalahan (perbuatan yang
dilarang).
Perbuatan pidana secara otomatis tidak hanya akan dapat dilakukan oleh
seorang pelaku saja khususnya pada tindak pidana menggunakan ijazah yang tidak
memenuhi syarat. Perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan
bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan.
Perbuatan ini sering dikatakan sebagai penyertaan atau deelneming36
35
Karya ilmiah (Skripsi : Tindak Pidana Memberikan Ijazah Tanpa Hak Dalam Undang-Undang Sisdiknas), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hal.21.
dan diatur
dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penyertaan
terdiri atas; orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen
pleger), orang yang turut melakukan (medepleger), orang yang dengan pemberian,
36
salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya, dengan sengaja
membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker).
Tindak pidana menggunakan ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi
yang tidak memenuhi syarat merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dikaitkan
dengan unsur penyertaan (turut serta), karena seperti diketahui bahwa tidak mungkin
seseorang dapat menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat apabila tidak ada
yang memproses serta memberikan kepada pengguna ijazah yang tidak memenuhi
syarat tersebut.
2. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang mengambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti dan/atau diuraikan dalam
karya ilmiah.37 Konsep yang di pergunakan dalam penelitian adalah konsep yang
terkait langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang
berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu penulis
merumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional.38
1. Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana.39
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal.132.
38
Fotokopi : Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hal.5.
39
2. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan diwujudkan dalam bentuk
larangan (ancaman dengan pidana) atas perbuatan tersebut. Gambaran ini
merupakan suatu sikap, bahwa masyarakat melalui Negara telah mencela
perbuatan tersebut. Celaan tersebut ditujukan terhadap pembuat karena tindak
pidana yang dilakukannya. “We blame people for what they have done; we blame
them for their conduct”. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan
terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau
menimbulkan keadaan terlarang.40
3. Ijazah adalah salah satu bentuk serfitikat selain serfitikat kompetensi yang
diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.41
4. Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menjadi terminal terakhir
bagi seseorang yang berpeluang belajar setinggi-tingginya melalui jalur
pendidikan sekolah,42
40
Chairul Huda, Op.Cit.,hal.70-71.
selain itu Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan
41
Pasal 61, UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
42
formal tertinggi yang melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.43
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi,
mengatur bahwa penyelenggara perguruan tinggi yang dilakukan oleh
masyarakat haruslah berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial.
Ketentuan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memberikan status badan
hukum pada penyelenggara pendidikan tinggi
44
Peserta didik perguruan tinggi disebut
sebagai satuan pendidikan yang
memenuhi persayaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
perguruan tinggi disebut
menjadi dua:
a. Perguruan tinggi negeri adalah perguruan tinggi yang pengelolaan dan
regulasinya dilakukan oleh negara.
b. Perguruan tinggi swasta adalah perguruan tinggi yang pengelolaan dan
regulasinya dilakukan oleh swasta.45
5. Akreditasi adalah pengakuan terhadap perguruan tinggi atau program studi yang
menunjukkan bahwa perguruan tinggi atau program studi tersebut dalam
melaksanakan program pendidikan dan mutu lulusan yang dihasilkannya, telah
memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT). Penetapan akreditasi oleh BAN-PT dilakukan dengan menilai
43
Kumpulan Makalah Lokakarya Kelembagaan Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, (Bogor:1994), hal.3
44
Eko Indrajit dan Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, (Yogyakarta:Andi,2005),hal.6.
45
proses dan kinerja serta keterkaitan antara tujuan, masukan, proses dan keluaran
suatu perguruan tinggi atau program studi, yang merupakan tanggung jawab
perguruan tinggi atau program studi masing-masing.46 Akreditasi dilakuan untuk
menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan formal dan non formal
pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.47
6. Kategori adalah bagian dari sistem klasifikasi misalnya seperti pengolongan,
jenis, yang dibedakan atas bentuk, fungsi dan makna.48
7. Konsep adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau suatu ide yang umum
dan abstrak. Konsep juga merupakan penyajian-penyajian internal dari
sekelompok stimulus-stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, konsep
harus diamati dari perilaku.49 Soedjadi mendefinisikan konsep adalah ide abstrak
yang digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada
umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangakaian kata.50
46
Lihat;http://www.google.co.idakreditasi+adalah&pf=luk.staff.ugm.ac.id/.../
Buku_1Naskah_Akademik_Akreditasi_PS.doc, Diakses pada tanggal 12 Januari 2012, Pikul 22 32 Wib.
47
Pasal 61, UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, hal.38.
48
22.12 wib.
49
Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta; Erlanga, 1989), hal 79.
50
G. METODE PENELITIAN
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif.
penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan cara menganalisis permasalahan
yang ada dalam penelitian ini melalui pendekatan terhadap asas-asas51 hukum serta
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan penulisan tesis.
2. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini adalah menggunakan bahan hukum
sekunder, yaitu data atau informasi yang diperoleh dari hasil penelaahan
tulisan-tulisan serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, dimana sebagai bahan hukum
sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan
disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum lainnya,52
1. Bahan hukum primer antara lain :
yang sesuai dengan penelitian
yang akan dibahas, yang meliputi :
a. Norma atau kaedah dasar
b. Peraturan dasar
c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana
menggunakan ijazah yang tidak memenuhi syarat berdasarkan ketentuan
51
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), hal.14.
52
Undang-Undang yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikana Nasional, KUHP, dan KUHAP.
2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, sperti berbagai tulisan , jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini.
3. Baham hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder,53 seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnar ilmiah, serta
bahan-bahan diluar bidang hukum yang sesuai dan dapat di pergunakan untuk
melengkapi data yang di perlukan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik
penelitian kepustakaan (library research), dimana dalam penggunaan teknik ini
penulis tidak lain hanya melakukan pengumpulan data melalui studi kepustakaan
yakni buku-buku, putusan pengadilan, jurnal, dokumen-dokumen, serta sumber
teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok permasalahan dalam penulisan tesis
ini. Keseluruhan dari pada data tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan
landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tuliskan para
ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui
naskah resmi.
53
4. Analisis Bahan Hukum
Bahan yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis secara
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta
norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.54
Bahan yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk
uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan,
selanjutnya semua bahan diseleksi dan diolah kemudian disajikan secara deskriptif
sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan
solusi atas pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini.
54
BAB II
KATEGORI IJAZAH YANG DIKELUARKAN OLEH PERGURUAN
TINGGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT
A. Perguruan Tinggi Yang Memenuhi Syarat
1. Ketentuan Tentang Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi sebagai lembaga sosial yang secara tradisional bertugas
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu lembaga yang
paling merasakan tuntutan sosial untuk perubahan global tersebut. Dunia usaha,
pemerintah dan masyarakat yang memerlukan ilmu pengetahuan baru yang berbasis
teknologi informasi, bioteknologi serta ilmu-ilmu multidisiplin lainnya akan
menuntut perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang lebih tinggi.55
Globalisasi ekonomi yang sedang berlangsung dengan cepat pada beberapa
dekade ke depan. Globalisasi di satu pihak akan memberikan kesempatan yang amat
besar kepada perguruan tinggi untuk memberikan pelayanan ilmu pengetahuan dan
teknologi baik kepada pemerintah, masyakarat maupun kepada dunia usaha.
Perguruan tinggi jika terlalu terjerumus pada kegiatan tersebut, mengakibatkan
peranan yang selama ini hampir monopolisitik dalam pengembangan ilmu pasti, akan
mengalami perubahan drastis. Penting, untuk selalu diperhatikan adalah peranan
perguruan tinggi Indonesia sebagai lembaga menghasilkan calon pemimpin bangsa
yang bermoral dan berbudaya demokratis, kalau perguruan tinggi terlalu terjebak
dalam arus globalisasi yang merupakan suatu proses yang nir-demokratis, secara pasti
perguruan tinggi akan tidak mampu melaksanakan salah satu tugas utamanya
tersebut.56
Ketentuan mengenai perguruan tinggi telah diatur dalam peraturan tertulis
seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas pada (Pasal 19
sampai Pasal 25), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang BHP. Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik
Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi
Sebagai Badan Hukum pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999
Tentang Pendidikan Tinggi. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Kepmendiknas RI Nomor 234/U/2000
Tentang PPPT dan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas R.I Nomor:
108/Dikti/Kep/2001Tentang Pedoman Pembukaan Program Studi Dan/Atau Jurusan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005
Tentang BAN-PT. Kepmendiknas RI. No.178/U/2001 Tentang Gelar dan lulusan
Perguruan Tinggi.
Ketentuan tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan perguruan
tinggi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, dalam Pasal 1
ayat 17 berbunyi;
“Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah yang dapat berupa program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi”.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (17) tersebut bahwa yang dapat
menyelenggarakan pendidikan tinggi dalam berbagai program yang telah ditentukan
adalah perguruan tinggi. Pengelolaan satuan pendidikan perguruan tingi bertujuan
untuk memajukan pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan UUD RI 1945,
serta untuk dapat terwujudnya tujuan tersebut suatu perguruan tinggi ssbagai
penyelenggara pendidikan haruslah dapat memberikan pelayanan yang bermutu
kepada masyarakat. Penjaminan mutu yaitu kegiatan sistematik kegiatan sistemik
satuan pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi
atau melampaui Standar Nasional Pendidikan secara berkelanjutan.57
Perguruan tinggi sebagai suatu satuan pendidikan haruslah telah memenuhi
izin penyelenggaraan pendidikan dan terakreditasi berdasarkan ketetapan
pemerintah. Ketentuan mengenai izin penyelenggaraan pendidikan baik satuan
pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat telah terdapat
dalam Peraturan Pemerintah.58
57
Pasal 49 ayat (2) butir (c) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Satuan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah
terdapat dalam Pasal 58D sampai dengan Pasal 58F, sedangkan satuan pendidikan
58
yang diselenggarakan oleh masyarakat terdapat dalam Pasal 58G Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan (PPP).59
Ketentuan selanjutnya mengenai izin pendirian program atau satuan
pendidikan formal pada perguruan tinggi terdapat pada Pasal 182 ayat (1) dan Pasal
182 ayat (8, 9, 9 a, 10, dan 11) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang
PPP. Syarat-syarat pendirian satuan pendidikan formal diatur dalam Pasal 184 dan
perubahan perguruan tinggi pada Pasal 184A,
60
Ketentuan-ketentuan tentang perguruan tinggi tersebut diatas apabila di
perhatikan dengan seksama maka belum mengatur tentang sanksi pidana yang secara
tegas dapat di berlakukan bagi para pelanggar ketentuan dalam dunia pendidikan,
dalam hal (subjek hukum) baik manusia sebagai perorangan maupun terutama
korporasi sebagai pendukung jalannya satuan pendidikan. Maraknya pelanggaran
dalam dunia pendidikan disebabkan karena kurangnya formulasi
perundang-undangan serta ketidak tegasan tindakan hukum, mengakibatkan banyaknya
pelanggaran dalam dunia pendidikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak tidak
hanya bagi perorangan melainkan bangsa dan negara.
dan ketentuan lain mengenai izin
opersional penyelenggara pendidikan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.
59
Pasal 58D s.d.Pasal 58G Peraturan Pemerintah Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
60