EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK LARUTAN NON ELEKTROLIT
DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN
Oleh
NI MADE PURNAMA RINI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Kimia
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK LARUTAN NON ELEKTROLIT
DAN ELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN MENYIMPULKAN
Oleh
NI MADE PURNAMA RINI
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran
problem solving yang efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan
dan menyimpulkan siswa. Sample dalam penelitian ini adalah siswa SMA Persada
Bandar Lampung kelas X3 dan kelas X4 semester genap Tahun Ajaran
2012-2013. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non
Equivalent (Pretest and Posttest) Control Group Design. Efektivitas pembelajaran
problem solving diukur berdasarkan peningkatan gain yang signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata n-gain keterampilan mengelompokkan
untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,39 dan 0,68 dan rerata
n-gain keterampilan menyimpulkan untuk kelas kontrol dan eksperimen
masing-masing 0,44 dan 0,66.
Berdasarkan uji hipotesis, diketahui bahwa kelas dengan pembelajaran problem
lebih tinggi dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving lebih efektif dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan.
Kata kunci: pembelajaran, problem solving, keterampilan mengelompokkan dan
iii
A. Efektivitas Pembelajaran ... 9
B. Pembelajaran Kontruktivisme ... 9
C. Model Pembelajaran Problem Solving ... 11
E. Instrumen Penelitian dan Validitas ... 22
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ……… 23
G. Teknik Analisis Data ... 26
1. Perhitungan n-Gain ... 27
2. Uji Normalitas ... 27
3. Uji Homogenitas Dua Varians ... 28
iv
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data ... 32
B. Pembahasan ... 40
V. SIMPULAN DAN SARAN ... 51
A. Simpulan ... 49
B. Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1.Silabus Kelas Eksperimen ... 53
2.Silabus Kelas Kontrol ... 58
3.RPP Kelas Eksperimen ... 63
4.RPP Kelas Kontrol ... 86
5.Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 93
6. Soal Pretest dan Postest ... 116
7.Rubrik Soal ... 126
8.Tabel Data Nilai Pretest, Postest dan n-Gain Kelas Eksperiment dan Kelas Kontrol ………..…….. 140
9.Perhitungan dan Analisis Data ... 144
10.Lembar Penilaian Aspek Aktivitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ………. 164
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kimia merupakan cabang dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat,
dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Ilmu kimia
dibangun melalui pengem-bangan keterampilan-keterampilan proses sains seperti
mengamati (observasi), inferensi, mengelompokkan, menafsirkan (interpretasi),
meramalkan (prediksi), dan mengkomunikasikan. Keterampilan proses sains
(KPS) pada pembelajaran sains lebih menekankan pembentukan keterampilan
untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasilnya. Penting bagi
seorang guru melatihkan KPS kepada siswa, karena dapat membekali siswa
dengan suatu keterampilan berpikir dan bertindak melalui sains untuk
menyelesaikan masalah serta menjelaskan fenomena-fenomena yang ada dalam
kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran kimia perlu
memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses, produk, dan sikap.
Faktanya, pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghadirkan
konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori saja; tanpa menyuguhkan bagaimana
proses ditemukanya konsep, hukum, dan teori tersebut; sehingga tidak tumbuh
daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya
menjadi objek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003).
Sebagian besar materi kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang
ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada materi elektrolit dan non elektrolit;
banyak sekali masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dihubungkan
dengan materi ini; misalnya tersengatnya tubuh, ketika tanpa sengaja menyentuh
kabel beraliran arus listrik yang isolatornya terkelupas,pemanfaatan listrik untuk
menangkap ikan disungai, dan penggunaan aki dalam kendaraan bermotor.
Namun yang terjadi selama ini pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit
dalam pembelajaran kimia di Sekolah Menengah Atas (SMA) lebih terkondisikan
untuk dihafal oleh siswa, akibatnya siswa mengalami kesulitan
menghubungkannya dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, dan tidak
merasakan manfaat dari pembelajaran larutan non elektrolit dan elektrolit,
sehingga keterampilan proses sains siswa tidak berkembang.
Hal ini diperkuat oleh hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan di
SMA Persada Bandar Lampung, pembelajaran kimia dominan menggunakan
metode ceramah, eksperimen dilakukan hanya untuk membuktikan teori kimia
yang sudah diberikan . LKS yang digunakan tidak membimbing siswa
menemukan konsep, sehingga KPS tidak dilatihkan dalam memecahkan masalah
secara ilmiah., mengemukakan hipotesis, merencanakan suatu eksperimen untuk
menguji hipotesis, dan mengambil suatu kesimpulan dari sekumpulan data yang
diperoleh siswa dari pelajaran kimia tersebut. Siswa hanya mencatat dan
menghafal materi pembelajaran kimia sehingga siswa sulit untuk memahami
Salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran adalah penggunaan
model-model pembelajaran, dilihat dari karakteristik siswa dan materi
pembelajaran. Salah satu upaya yang dilakukan agar pembelajaran kimia menjadi
lebih menarik, mudah dipahami oleh siswa, serta siswa dapat terlatih dalam
memecahkan masalah adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang
berbasis pemecahan masalah (problem solving), karena dengan menggunakan
model pembelajaran tersebut akan memberikansiswa kesempatan seluas-luasnya
untuk memecahkan masalah kimia dengan strateginya sendiri.
Penelitian yang mengkaji tentang penerapan model problem solving dapat
meningkatkan penguasaan konsep siswa adalah hasil penelitian Lidiawati (2011),
yang dilakukan pada siswa SMA kelas XI SMA Negeri 1 Abung, menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan model problem solving memberikan
kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan mengkomunikasikan
dan penguasaan konsep materi koloid.
Model pembelajaran problem solving bukan hanya sekedar model mengajar, tetapi
juga merupakan suatu model berpikir, sebab dengan menggunakan model problem
solving, anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah secara ilmiah, melatih
mengemukakan hipotesis, melatih merencanakan suatu eksperimen untuk
menguji hipotesis, melatih mengambil suatu kesimpulan dari sekumpulan data
yang diperoleh anak-anak dari pembelajaran kimia.
Pembelajaran dengan model problem solving dapat berlangsung lancar dengan
ketersediaan LKS yang berisi masalah yang akan dipecahkan, menyusun hipotesis
menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menarik kesimpulan. Hal itu dapat
membantu siswa untuk meningkatkan penguasaan konsep dengan menganalisis
masalah yang ada sehingga siswa dapat menyelesaikannya.
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), siswa harus
menguasai standar kompetensi pada setiap jenjang pendidikannya dan standar
kompetensi ini dijabarkan dalam bentuk kompetensi dasar. Salah satu standar
kompetensi yang harus dicapai siswa kelas X semester genap adalah memahami
sifat-sifat larutan non elektrolit dan elektrolit. Pada materi larutan non elektrolit
dan elektrolit, siswa diajak untuk mengamati fenomena yg terjadi dalam
kehidupan sehari-hari mengenai larutan elektrolit dan non elektrolit, dan diajak
untuk melakukan praktikum. Contohnya pada materi sifat-sifat larutan non
elektrolit dan elektrolit, melalui praktikum, siswa bisa mendapatkan pengalaman
langsung dalam mempelajari materi tersebut. Dengan demikian pembelajaran
materi larutan non elektrolit dan elektrolit dapat menunjukkan keterampilan
proses sains. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan
keterampilan prosessains siswa adalah model pembelajaran problem solving.
Salah satu indikator dalam keterampilan proses sains adalah keterampilan
menyimpulkan dan mengelompokkan . kedua keterampilan ini sesuai dengan
tahapan-tahapan problem solving yaitu : adanya masalah yang jelas untuk
dipecahkan, mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan
masalah, menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut , menguji
Terampil mengelompokkan sekilas bukanlah keterampilan yang begitu penting
untuk dikuasai siswa, namun sebaliknya keterampilan inilah yang harus menjadi
dasar dalam pengamatan-pengamatan langsung yang mereka lakukan terhadap
suatu permasalahan, serta prospek kerja yang mungkin akan dijalani mereka di
esok hari yang sangat memerlukan keterampilan misalnya laboran dan apoteker.
Pengelompokan bahan-bahan atau obat-obatan yang memiliki sifat sejenis
sangatlah diperlukan untuk mempermudah dan menghindarkan bahan-bahan
tersebut dari pencampuran yang membahayakan. Melalui pengamatan langsung
yang banyak dilakukan pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit, siswa
dituntut agar mampu mencari perbedaan serta persamaan (membandingkan) data
hasil pengamatan; mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat, serta
mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan. Kemampuan-kemampuan ini
tidak lain merupakan indikator keterampilan mengelompokkan.
Keterampilan menyimpulkan akan menuntun siswa menemukan konsepnya
sendiri dari fakta dan data yang diperoleh serta menggunakan pola hasil
pengamatan untuk mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang
belum diamati. Dengan demikian, konsep-konsep kimia akan lebih bermakna
bagi siswa dan tidak hanya sekedar menjadi hafalan yang membebani siswa.
Model problem solving diharapkan menjadi salah satu model yang dapat
digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil
belajar kimia siswa. Dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa tersebut,
khususnya pada materi pokok larutan non elektrolit dan elektrolit, maka penulis
Solving pada Materi Larutan Non Elektrolit dan Elektrolit dalam Meningkatkan
Keterampilan Mengelompokkan dan Menyimpulkan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Apakah model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan
keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan siswa pada materi larutan
non elektrolit dan elektrolit?
2. Bagaimana karakteristik model pembelajaran problem solving dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan siswa pada
materi larutan non elektrolit dan elektrolit ?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk
1. Menentukan efektivitas model pembelajaran problem solving dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan siswa pada
materi larutan non elektrolit dan elektrolit
2. Mendeskripsikan karakteristik model pembelajaran problem solving yang
efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan bermanfaat antara lain :
1. Siswa
Penerapan model pembelajaran problem solving dalam kegiatan belajar
mengajar diharapkan dapat menumbuhkan motivasi dan minat belajar siswa
sehingga dapat mengembangkan keterampilan proses sains (KPS).
2. Guru
Pembelajaran dengan model problem solving diharapkan dapat menjadi salah
satu pilihan pemecahan masalah bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran
kimia di sekolah, dapat melaksanakan pembelajaran yang efektif, efisien dan
mempermudah guru dalam pelaksanaan pembelajaran serta dapat
meningkatkan kemampuan belajar siswa.
3. Sekolah
Penerapan model problem solving dalam pembelajaran merupakan alternatif
untuk meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.
E.Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1. Model pembelajaran dikatakan efektif apabila secara statistik hasil belajar
siswa menunjukkan perbedaan n-Gain yang signifikan antara kelas kontrol dan
kelas eksperimen.
2. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini
digunakan di SMA Persada Bandar Lampung. Guru mengajarkan konsep
ceramah), guru melakukan tanya jawab dengan siswa, lalu guru memberikan
latihan.
3. Langkah-langkah dalam model problem solving meliputi merumuskan
masalah, menentukan hipotesis masalah, pengujian hipotesis, menguji
kebenaran jawaban sementara, dan menarik kesimpulan.
4. Keterampilan mengelompokkan merupakan salah satu aspek keterampilan
proses sains tingkat dasar yang indikatornya meliputi mencari perbedaan dan
persamaan (membandingkan), mengontraskan ciri-ciri, serta mencari dasar
pengelompokkan atau penggolongan.
5. Indikator keterampilan menyimpulkan, yang meliputi siswa mampu membuat
suatu kesimpulan tentang suatu benda atau fenomena setelah mengumpulkan,
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Efektivitas Pembelajaran
Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan
ting-kat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran diting-katakan efektif
meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa
me-nunjukan perbedaan Gain yang signifikan antara keterampilan proses sains awal
dengan keterampilan proses sains setelah pembelajaran.
Kriteria keefektifan menurut Wicaksono (2008) mengacu pada:
a. Ketuntasan belajar, pembelajaran, dapat dikatakan tuntas apabila
sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 60 dalam peningkatan hasil belajar.
b. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembe-lajaran (gain yang signifikan).
c. Model pembelajaran dikatakan efektif jika dapat meningkatkan minat dan motivasi apabila setelah pembelajaran siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar lebih giat dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Serta siswa belajar dalam keadaan yang menyenangkan.
B.Pembelajaran Konstruktivisme
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan di kelompokkan dalam teori
pem-belajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai. Teori ini berkembang dari kerja
Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif
yang lain, seperti teori Bruner (Nur dalam Trianto, 2010).
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi. Asimilasi ialah
pemaduan data baru dengan stuktur kognitif yang ada. Akomodasi ialah
penye-suaian stuktur kognitif terhadap situasi baru, dan equilibrasi ialah penyepenye-suaian
kembali yang terus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Bell, 1994).
Prespektif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan pembelajaran problem
solving, banyak meminjam pendapat Piaget (1954). Prespektif ini mengatakan,
seperti yang dikatakan Piaget, bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat
secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengonstruksikan
pengeta-huannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berevolusi dan berubah secara
konstan selama pelajar mengkonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang
memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan
sebelumnya. Keyakinan Piaget ini berbeda dengan keyakinan Vygotsky dalam
beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan
intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya,
Vygot-sky menekankan pentingnya aspek sosial belajar. VygotVygot-sky percaya bahwa
interaksi sosial dengan orang lain memacu pengonstruksian ide-ide baru dan
me-ningkatkan perkembangan intelektual pelajar. Salah satu ide kunci yang berasal
dari minat Vygotsky pada aspek sosial pembelajaran adalah konsepnya tentang
perkembangan yang berbeda yakni tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual, menentukan fungsi
intelektual individu saat ini dan kemampuannya untuk mempelajari sendiri hal-hal
tertentu. Individu juga memiliki tingkat perkembangan potensial, yang oleh
Vygotsky didefinisikan sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh
individu dengan bantuan orang lain, misalnya guru, orang tua, atau teman
sebayanya yang lebih maju. Zona yang terletak diantara kedua tingkat
perkem-bangan inilah yang disebutnya sebagai zone of proximal development (Arends,
2007).
C.Model Pembelajaran Problem Solving
Salah satu pembelajaran kontruktivisme adalah pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran problem solving (metode pemecahan masalah). Menurut
Sriyono (1992), model pembelajaran problem solving adalah suatu cara mengajar
dengan menghadapkan siswa kepada suatu masalah agar dipecahkan atau di-
selesaikan. Metode ini menuntut kemampuan untuk melihat sebab akibat,
meng-observasi masalah, mencari hubungan antara berbagai data yang terkumpul
kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan masalah.
Menurut Sukarno (1981) dengan menggunakan model pembelajaran problem
solving, anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah secara ilmiah, melatih
mengemukakan hipotesis, melatih merencanakan suatu eksperimen untuk
men-guji hipotesis itu, melatih mengambil suatu kesimpulan dari sekumpulan data
yang diperoleh anak-anak dari pelajaran sains itu, juga segi-segi lainnya yang
Djamarah dan Zain (2010) mengemukakan bahwa salah satu model mengajar
adalah model pembelajaran problem solving. Namun model pembelajaran
problem solving bukan hanya sekedar model mengajar, tetapi juga merupakan
suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan
metode-metode lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik
kesimpulan. Langkah-langkah dalam penggunaan model pembelajaran problem
solving yaitu sebagai berikut:
1. Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2. Mencari data atau keterangan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi, dan lain-lain.
3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dengan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas.
4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawab-an ini tentu saja diperlukjawab-an metode-metode lainnya seperti demonstrasi, tugas diskusi, dan lain-lain.
5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
Dengan model pembelaran problem solving siswa harus berpikir, mencobakan
hipotesis dan bila berhasil memecahkan masalah tersebut, siswa akan mempelajari
sesuatu yang baru. Dalam memecahkan masalah harus dilalui berbagai langkah
seperti mengenal setiap unsur dalam masalah itu, mencari aturan-aturan yang
berkenaan dengan masalah itu dan harus berpikir kritis sehingga siswa akan
terlatih dalam memecahkan masalah-masalah baru (Nasution, 2008).
Model pembelajaran problem solving dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas
secara ilmiah. Terdapat 3 ciri utama dari model pembelajaran problem solving
yaitu sebagai berikut:
a. Model pembelajaran problem solving merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran.
Artinya dalam implementasi problem solving ada sejumlah kegiatan yang
harus dilakukan siswa.
b. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Model
pembelajaran ini menempatkan masalah sebagai kunci dari proses pem-
belajaran.
c. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir
secara ilmiah.
Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran problem solving menurut
Dzamarah dan Zain (2010) adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan model pembelajaran problem solving
a. Model ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.
b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil. c. Model ini merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara
kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi da-lam rangka mencari pemecahannya.
2. Kekurangan model pembelajaran problem solving
a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan ting-kat berfikir siswa, tingting-kat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pe-ngalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru
c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa.
3. Cara-Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemahan Metode Problem Solving
a. Masalah yang diajukan untuk diselesaikan, carilah masalah yang aktual, sering terjadi. Untuk itu juga perlu kiranya memperoleh input dari peserta diklat terlebih dahulu. Bagaimana menurut pendapat mereka tentang masalah itu. Apakah kemampuan dan pengetahuan peserta diklat diperkirakan masih sanggup untuk menyelesaikannya.
b. Diusahakan agar melihat sesuatu masalah dari sudut lain, dalam arti masalah itu harus diolah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prior knowledge dan kemampuan peserta diklat. Misalnya masalah
perselingkuhan, tidak bisa hidup bersama mertua, memilihkan pendidikan bagi anak-anak.
c. Uraikanlah suatu masalah menjadi unsur-unsur sebab akibat, dan pilihlah mana yang betul-betul relevan serta cocok dengan keadaan peserta diklat. Jangan sampai terjadi kekaburan bagi peserta diklat tentang dari mana mereka harus memulai tugasnya.
d. Cara menyelesaikan masalah, peserta didik bisa dibantu dengan membuat model pohon masalah, atau memetakan masalah (problem mapping) dan masing-masing dicarikan alternatif penyelesaiannya.
D.Keterampilan Proses Sains
Keterampilan proses sains (KPS) dibutuhkan untuk menggunakan dan memahami
sains ( Hartono, 2007). Untuk dapat memahami hakikat IPA secara utuh, yakni
IPA sebagai proses, produk, dan aplikasi, siswa harus memiliki kemampuan KPS.
Dalam pembelajaran IPA aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil
akhir dan berpikir benar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang benar.
Dengan kata lain bila seseorang telah memiliki KPS, IPA sebagai produk akan
mudah dipahami, bahkan mengaplikasikan dan mengembangkannya. KPS adalah
semua keterampilan yang terlibat pada saat proses berlangsungnya sains. KPS
pengetahuan/ informasi baru kepada siswa atau mengembangkan pengetahuan
atau informasi yang telah dimiliki siswa.
Semiawan (1992) berpendapat bahwa terdapat empat alasan mengapa pendekatan
keterampilan proses sains diterapkan dalam proses belajar mengajar sehari-hari,
yaitu : Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung semakin cepat
sehingga tidak mungkin lagi guru mengajarkan semua konsep dan fakta pada
siswa. Adanya kecenderungan bahwa siswa lebih memahami konsep-konsep yang
rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh yang konkret. Penemuan dan
per-kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bersifat mutlak 100 %, tapi
bersifat relatif. Dalam proses belajar mengajar, pengembangan konsep tidak
terlepas dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak didik.
Menurut Indrawati (1999) mengemukakan bahwa KPS merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori, untuk mengembangkan konsep yang telah ada
sebelumnya, ataupun untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan (falsifikasi)".
Jadi KPS adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam
me-mahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat
pen-ting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam
mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau
me-ngembangkan pengetahuan yang telah dimiliki.
KPS bukan tindakan instruksional yang berada di luar kemampuan siswa. tetapi
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki
keterampilan proses dasar (Basic Science Proses Skill) meliputi observasi,
klasi-fikasi/mengelompokkan, pengukuran, berkomunikasi, dan menarik kesimpulan.
Tabel 1. Indikator keterampilan proses sains dasar
Keterampilan dasar Indikator
Mampu menggunakan semua indera (penglihatan, pembau, pendengaran, pengecap, dan peraba) untuk mengamati, mengidentifikasi, dan menamai sifat benda dan kejadian secara teliti dari hasil pengamatan.
Mampu menentukan perbedaan, mengkontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan dan menentu-kan dasar penggolongan terhadap suatu obyek
Mampu memilih dan menggunakan peralatan untuk menentukan secara kuantitatif dan kualitatif ukuran suatu benda secara benar yang sesuai untuk panjang, luas, volume, waktu, berat dan lain-lain. Dan mampu
mendemontrasikan perubahan suatu satuan pengukur-an ke satuan pengukuran lain
Memberikan/menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan tabel, menyusun dan
menyampaikan laporan secara sistematis, men-jelaskan hasil percobaan, membaca tabel, mendiskusi-kan hasil kegiatan suatu masalah atau suatu peristiwa.
Mampu membuat suatu kesimpulan tentang suatu benda atau fenomena setelah mengumpulkan, menginterpretasi data dan inormasi
Menurut Mahmuddin (2010) keterampilan proses dasar diuraikan oleh sebagai
berikut
1. Observasi atau mengamati, menggunakan lima indera untuk mencari tahu informasi tentang obyek seperti karakteristik obyek, sifat, persamaan, dan fitur identifikasi lain.
2. Klasifikasi, proses pengelompokan dan penataan objek
3. Mengukur, membandingkan kuantitas yang tidak diketahui dengan jumlah yang diketahui, seperti: standar dan non-standar satuan pengukuran. 4. Komunikasi, menggunakan multimedia, tulisan, grafik, gambar, atau cara
lain untuk berbagi temuan.
6. Prediksi, mengembangkan sebuah asumsi tentang hasil yang diharapkan. Keenam keterampilan proses dasar di atas terintegrasi secara bersama-sama ketika ilmuan merancang dan melakukan penelitian, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Semua komponen keterampilan proses dasar penting baik secara parsial maupun ketika terintegrasi secara bersama-sama. Oleh karena itu, sangat penting dimiliki dan dilatihkan bagi siswa.
Keterampilan proses sebagaimana disebutkan di atas merupakan KPS yang
diapli-kasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan keterampilan dalam memperoleh
pengetahuan merupakan salah satu penekanan dalam pembelajaran sains. Oleh
ka-rena itu, penilaian terhadap keterampilan proses siswa harus dilakukan terhadap
semua keterampilan proses sains baik secara parsial maupun secara utuh.
E.Kerangka Berpikir
Untuk melatih keterampilan proses sains siswa, diperlukan model pembelajaran
yang menitikberatkan pada keaktifan siswa dan mengharuskan siswa membangun
pengetahuannya sendiri. Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat
memacu dan meningkatkan keterampilan proses sains siswa adalah model
pembelajaran problem solving. Problem solving adalah model pembelajaran yang
digunakan untuk membantu siswa agar memahami dan menguasai materi
pembelajaran dengan menggunakan strategi pemecahan masalah. Ada lima
tahapan model Problem solving. Tahap yang pertama adanya masalah yang jelas
untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf
kemampuannya. Pada tahap kedua siswa mencari data atau keterangan yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ketiga, dari
data atau keterangan yang telah diperoleh, siswa menetapkan jawaban sementara
sementara, pada tahap ini siswa diminta untuk menguji kebenaran jawaban
sementara dari masalah berdasarkan data yang telah mereka peroleh. Siswa diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi
sebanyak-banyaknya sehingga siswa lebih aktif dalam proses belajar. Pada tahap ini siswa
akan mencari tahu jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana. Proses
mencari tahu pertanyaan-pertanyaan tersebut melatih keterampilan proses sains
siswa salah satunya keterampilan mengelompokkan. Pada tahap lima siswa
diminta untuk menarik kesimpulan dari pemecahan masalah tersebut, disinilah
siswa dilatih dalam meningkatkan keterampilkan proses sains yang lainnya yaitu
menyimpulkan. Pada tahap dua, tiga, empat, dan lima ini terjadi proses
akomodasi yaitu penyesuaian stuktur kognitif terhadap situasi baru. Siswa akan
mencari tahu jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana sehingga terjadi
proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa
dengan konsep-konsep yang baru dipelajari, begitu seterusnya sehingga terjadi
keseimbangan antara struktur kognitif dengan pengetahuan yang baru
(ekuilibrasi).
F. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Siswa-siswa kelas X semester genap SMA Persada Bandar Lampung tahun
ajaran 2012-2013 yang menjadi populasi mempunyai kemampuan dasar yang
sama dalam penguasaan konsep kimia.
2. Perbedaan keterampilan mengelompokkan dan keterampilan menyimpulkan
larutan non elektrolit dan elektrolit semata-mata karena perbedaan perlakuan
dalam proses pembelajaran.
G.Hipotesis Umum
Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah pembelajaran model problem solving
pada materi larutan non elektrolit dan elektrolit efektif dalam meningkatkan
keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan pada siswa efektif
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Persada Bandar
Lampung, Tahun Ajaran 2012-2013 yang berjumlah 128 siswa dan tersebar dalam
empat kelas. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu.
Dengan pertimbangan kemampuan kognitif siswa yang sama, maka dipilihlah X2 dan X3 sebagai sampel penelitian. Selanjutnya diperoleh kelas X3 sebagai kelas
eksperimen yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
problem solving, dan X2 sebagai kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional.
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang menggunakan
metode problem solving dan pembelajaran konvensional.
b. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan mengelompokkan dan
C. Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat
kuantitatif dan data sekunder yang bersifat kualitatif. Data kuantitatif yaitu data
hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah
pembelajaran diterapkan (postest) siswa. Data kualitatif berupa data dan aktivitas
belajar siswa.
Sumber data kuantitatif dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Data hasil pretest dan postest kelompok eksperimen
2. Data hasil pretest dan postest kelompok control
D. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen. Desain penelitian yang
digunakan adalah non equivalent control group design yaitu desain kuasi ekperimen
dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol (Purwanto, 2007). Di dalamnya terdapat langkah-langkah yang
menunjukkan suatu urutan kegiatan penelitian yaitu:
Tabel 2. Desain penelitian
Pretest Perlakuan Postest
Kelas eksperimen O1 X1 O2
Kelas kontrol O1 - O2
Keterangan :
X1 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan model pembelajaran problem
O1 : Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi pretest O2 : Kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi posttest
E. Instrumen Penelitian dan Validitas
Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu. Instrumen pengumpulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data
untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data (Arikunto, 2010). Ada beberapa
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
a. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan
standar Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
b. LKS kimia berbasis problem solving dan LKS kimia yang digunakan di sekolah
tempat penelitian dengan materi larutan non elektrolit dan elektrolit, yang
berjumlah dua LKS yaitu LKS 1 berisi sub materi larutan non elektrolit dan
elektrolit dan LKS 2 berisi sub materi sifat hantar listrik larutan elektrolit.
c. Soal-soal pretest dan posttest yang masing-masing terdiri dari dua bagian, yaitu
soal-soal keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan dalam bentuk soal
uraian. Soal Pretest dan Posttest pada penelitian adalah materi larutan non
elektrolit dan elektrolit yabg terdiri 6 butir soal uraian. Dalam pelaksanaannya
kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan soal yang sama.
Untuk mengetahui instrumen yang digunakan valid atau tidak, maka dilakukan
pengukuran validitas instrumen. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan
kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang
Soal uraian pretest dan posttes menggunakan uji validitas isi dengan cara judgment
(penilaian). Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan
keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini
dilakukan oleh Ibu Dra. Ila Rosilawati, M.Si. dan Bpk Drs. Tasviri Efkar, M.S.
sebagai Pembimbing penelitian untuk memvalidasinya.
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Langkah-langkah yang digunakan penelitian ini adalah:
1. Observasi pendahuluan
a. Meminta izin kepada Kepala SMA Persada Bandar Lampung untuk
melaksanakan penelitian.
b. Menentukan populasi dan sampel penelitian.
2. Pelaksanaan penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap persiapan
Menyiapkan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan instrumen
tes.
b. Tahap pelaksanaan penelitian
Pada tahap pelaksanaannya, penelitian dilakukan dalam dua kelas yaitu kelas
eksperimen yang diterapkan pembelajaran problem solving dan kelas kontrol
dengan pembelajaran konvensional.
Urutan prosedur pelaksanaanya sebagai berikut :
1. Melakukan pretes dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen dan
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran pada materi larutan non elektrolit
dan elektrolit sesuai dengan model pembelajaran yang telah ditetapkan
masing-masing kelas.
(1) . Kelas eksperimen
Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran, guru mengelompokkan siswa dalam 5
kelompok secara heterogen berdasarkan kemampuan kognitif siswa yang telah
teramati berdasarkan nilai ujian akhir semester ganjil.
a) Tahap 1 :Orientasi pada masalah
Guru menggali pengetahuan awal siswa dengan suatu fenomena sebagai langkah
permasalahan bagi siswa.
b) Tahap 2 : Merumuskan hipotesis masalah
Guru membimbimbing siswa untuk mencari data atau keterangan yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah
c) Tahap 3 : Pengujian hipotesis
Guru membimbing siswa dalam menetapkan jawaban sementara dari masalah
tersebut.
d) Tahap 4 : Menguji kebenaran
1) Guru membimbing siswa dalam melakukan percobaan bersama dengan
teman sekelompokknya. Meminta siswa pada setiap kelompok untuk
mempresentasikan hasil diskusi dan pengamatannya.
2) Guru membimbing siswa dalam diskusi kelompok.
3) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan pendapat
e) Tahap 5 : Membuat kesimpulan
1) Guru membimbing siswa dalam menarik kesimpulan berdasarkan hasil
diskusi siswa dan guru.
2) Guru memberikan penguatan dari kesimpulan siswa tentang materi yang
telah dipelajari.
(2). Kelas kontrol
a). Kegiatan awal
Guru membuka pelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
b). Kegiatan inti
1) Guru memberikan uraian materi dan penjelasan kepada siswa.
2) Siswa mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang penting.
3) Guru meminta siswa untuk mengerjakan latihan soal.
4) Siswa mengerjakan latihan soal yang diberikan guru.
5) Guru bersama siswa membahas latihan tersebut.
c). Kegiatan akhir
1) Guru meminta siswa untuk menyimpulkan materi yang baru saja mereka
dapatkan.
2) Guru memberikan tugas kepada siswa.
3) Melakukan posttest dengan soal-soal yang sama pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol.
4) Analisis data
Prosedur pelaksanaan penelitian ini digambarkan dalam bentuk bagan seperti sebagai
berikut :.
Gambar 1. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
G. Teknik Analisis Data
Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti,
yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah,
tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Nilai pretest dan postest dirumuskan sebagai berikut:
Data yang diperoleh kemudian dianalisis, dengan menghitung n-Gain yang
selanjut-nya digunakan untuk menguji kenormalan dan homogenitas dua varians.
1. Perhitungan n-Gain
Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran metode problem solving dalam
meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan, maka dilakukan
analisis skor gain ternormalisasi. Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui
peningkatan nilai pretest dan posttest dari kedua kelas. Rumus n-Gain menurut
Meltzer adalah sebagai berikut :
………(2)
Kriteria interpertasi indeks gain yang dikemukakan oleh Hake, yaitu:
g ≥ 0,7 (indeks gain tinggi)
0,3 ≤ g < 0,7 (indeks gain sedang)
g < 0,3 (indeks gain rendah)
2. Uji Normalitas
Hipotesis untuk uji normalitas :
Ho = data penelitian berdistribusi normal
H1 = data penelitian berdistribusi tidak normal
Untuk uji normalitas data digunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan : X2 = uji Chi- kuadrat
fo = frekuensi observasi
fe= frekuensi harapan
Kriteria : Terima Ho jika X2 hitung X2 tabel
3. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok
sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Untuk uji homogenitas dua
varians ini, rumusan hipotesisnya adalah :
H0: σ12 = σ22 Data n-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians homogen.
H1: σ12 ≠ σ22 Data n-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians yang tidak homogen.
Keterangan:
varians skor kelompok I
varians skor kelompok II
Untuk menguji homogenitas kedua varians kelas sampel, digunakan uji kesamaan
dua varians, dengan rumusan statistik :
……… (4)
Keterangan :
varians terbesar
Dengan kriteria uji adalah terima Ho jika FHitung < FTabel pada taraf nyata 5% 4. Pengujian hipotesis
Untuk data sampel yang berasal dari populasi berdistribusi normal, maka uji
hipotesis yang digunakan adalah uji parametik (Sudjana, 2005). Teknik pengujian
hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis dirumuskan
dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Pengujian hipotesis disini dilakukan dengan menggunakan rumusan statistik uji kesamaan dua
rata-rata. Rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut :
1) Hipotesis 1 (keterampilan mengelompokkan)
H0 µ1x≤ µ2x : Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan yang diterapkan pembelajaran dengan metode problem solving kurang dari atau
sama dengan dengan pembelajaran konvensional siswa SMA
Persada Bandar Lampung.
H1 µ1x> µ2x: Rata-rata n-Gain keterampilan mengelompokkan yang diterapkan pembelajaran dengan metode problem solving lebih tinggi
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional siswa SMA
Persada Bandar Lampung.
2) Hipotesis 2 (keterampilan menyimpulkan)
H0 µ1y≤ µ2y :Rata-rata n-Gain keterampilan menyimpulkan yang diterapkan pembelajaran dengan metode problem solving lebih rendah atau
sama dengan pembelajaran konvensional siswa SMA Persada
Bandar Lampung.
dibandingkan dengan yang diberi pembelajaran konvensional siswa
SMA Persada Bandar Lampung.
Keterangan:
µ1 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan non elektrolit dan elektrolit pada kelas yang diterapkan pembelajaran dengan metode problem solving
µ2 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan non elektrolit dan elektrolit pada kelas dengan pembelajaran konvensional
x: keterampilan mengelompokkan
y : keterampilan menyimpulkan
Dalam penelitian ini digunakan uji-t, yakni uji kesamaan dua rata – rata. Rumus
statistik yang digunakan adalah:
a) Jika (Sampel mempunyai varian yang homogen), maka :
Keterangan:
= Rata-rata gain mengelompokkan larutan non elektrolit dan elektrolit /
keterampilan menyimpulkan yang diterapkan pembelajaran metode problem
solving.
= Rata-rata gain keterampilan mengelompokkan larutan non elektrolit dan
elektrolit keterampilan menyimpulkan yang diterapkan pembelajaran
konvensional.
= Jumlah siswa pada kelas yang diterapkan pembelajaran metode problem
solving
= Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
= Simpangan baku siswa yang diterapkan pembelajaran metode problem solving
= Simpangan baku siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
Dengan kriteria uji :
Terima H0 jika thitung < t(1-α) dengan derajat kebebasan d(k)= n1 + n2 – 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Dengan menentukan taraf signifikan α = 5% peluang (1-α).
V. SIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Model pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan
keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan pada materi larutan non
elektrolit dan elektrolit.
2. Model pembelajaran problem solving pada tahapan pengumpulan data, siswa
dapat dilatih keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan menggunakan
LKS berbasis problem solving, dengan demikian model problem solving efektif
dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan menyimpulkan.
B.Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa:
1. Model pembelajaran problem solving dapat dipakai sebagai alternatif model
pembelajaran bagi guru dalam membelajarkan materi pokok larutan non
2. Bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian agar penerapan
pembelajaran problem solving berjalan efektif, hendaknya guru menguasai
kelas dengan baik, pengelolaan waktu dalam proses pembelajaran menjadi
maksimal dan efisien.
Kendala :
1. Tidak semua siswa dapat merumuskan masalah dengan tepat.
2. Waktu yang digunakan untuk melaksanakan penelitian kurang, dikarenakan
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2004. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Kurikulum 2004. Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Djamarah, B.S. dan A. Zein. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.
Djamarah, B.S. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Rineka Cipta. Jakarta.
Hartono. 2007. Prifil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Program Pendidikan Jarak Jauh S1 PGSD Universitas Sriwijaya. FKIP Universitas Sriwijaya. Palembang.
Indrawati dan Setiawan, wanwan. 2010. Pembelajaran Inovatif Kreatif dan Edukatif Untuk Siswa Sekolah Dasar.
Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Konstektual Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.
Lidiawati. 2011. Efektivitas Penerapan Metode Problem Solving Dalam Meningkatkan
Keterampilan Mengkomunikasikan dan Penguasaan Konsep Koloid (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.
Mahmudin. 2010. Komponen Penilaian KPS. Mahmudin (Ed). Oktober 2010. 9 Juli 2011 .
Purba, M. 2006. Kimia SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta. .
Sudjana, N. 2005. Metode Statistika. PT. Tarsito. Bandung.
Semiawan, Cony. 1992. Pendidikan Keterampilan Proses. Jakarta : Gramedia.