RESPON FISIOLOGI KAMBING BOERAWA JANTAN
DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI
Oleh :
ANDES FERNANDA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Peternakan
pada
Jurursan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
RESPON FISIOLOGI KAMBING BOERAWA JANTAN DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI
Oleh
ANDES FERNANDA
Respon fisiologis ternak adalah usaha ternak dalam rangka merespon kondisi tubuhnya dari lingkungan berupa cekaman panas atau cekaman dingin. Performan ternak dipengaruhi oleh lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan respon fisiologi kambing Boerawa jantan terbaik di dataran rendah dan dataran tinggi.
Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober - Desember 2012, di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus dan di Negerisakti, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei untuk mendapatkan data penelitian yang meliputi 30 ekor Kambing Boerawa jantan. Peubah yang diukur meliputi suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t.
Hasil penelitian menunjukkan suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi kambing Boerawa pada dataran rendah (P1) dan dataran tinggi (P2) berbeda sangat
nyata (P<0,01). Kambing Boerawa di dataran tinggi memiliki respon fisiologis yang lebih baik dibandingkan Kambing Boerawa di dataran rendah. Rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi ternak kambing Boerawa jantan yaitu masing-masing sebesar 39,25 0,0540C dan 39,06 0,078 0C; 77 0,847 kali/menit dan 72
0,563 kali/menit; 31 0,407 kali/menit dan 25 0,877 kali/menit.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C.Kegunaan Penelitian ... 3
D.Kerangka Pemikiran ... 4
E. Hipotesis ... ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A.Kambing Boerawa ... 7
B. Dataran Tinggi dan Dataran Rendah ... 8
C.Temperatur Lingkungan ... 9
1. Udara ... 10
2. Kelembaban lingkungan... 11
3. Radiasi matahari... ... 12
4. Angin... ... 13
D.Fisiologis Ternak... 13
1. Frekuensi denyut jantung ... 15
2. Respirasi... ... 16
A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 18
B. Pengaruh Dataran Terhadap Suhu Rektal Frekuensi Denyut Jantung dan Respirasi Kambing Boerawa Jantan ... 24
1. Pengaruh dataran terhadap frekuensi denyut jantung kambing boerawa jantan ... 25
2. Pengaruh dataran terhadap respirasi kambing boerawa jantan ... 27
3. Pengaruh dataran terhadap suhu rektal kambing boerawa jantan ... 28
V. KESIMPULAN ... 31 DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha
peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing.
Pada tahun 2010 dan 2011, populasi kambing di Provinsi Lampung mencapai
997.412 ekor hingga 1.090.647 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Lampung, 2011). Kambing berperan dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat sebagai ternak piaraan untuk tabungan hidup, usaha sampingan
bahkan usaha berskala besar. Kambing memiliki hasil produksi seperti susu dan
daging yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein untuk memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat.
Tahun 2011, produksi daging di Provinsi Lampung hanya 2.912 ton/tahun
sedangkan kebutuhannya sebanyak 4.334 ton/tahun (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2011). Hal ini berarti kebutuhan daging
tersebut belum terpenuhi dengan produksi kambing sebagai ternak penghasil
daging yang cukup sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan
produktivitasnya.
Genetik dan lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas
sedangkan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan
kemampuannya merupakan fungsi dari faktor lingkungan. Lingkungan merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap penampilan produksi
seekor ternak. Hal ini dibuktikan bahwa keunggulan genetik suatu bangsa ternak
tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai
(Rumetor, 2003). Faktor lingkungan tersebut antara lain pakan, pengelolaan,
perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit serta faktor iklim, baik
iklim mikro maupun iklim makro.
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung
terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap
faktor lingkungan yang lain. Iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya
oleh manusia sehingga untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien,
manusia harus menyesuaikan dengan iklim setempat.
Iklim mikro dan makro dapat berpengaruh langsung dan tidak langsung tehadap
penampilan produktivitas ternak. Pengaruh langsungnya adalah suhu panas,
sedangkan pengaruh tidak langsungnya adalah kesediaan hijauan pakan ternak
yang cepat tua dan menyebabkan tingginya serat kasar, sehingga ternak menderita
stress atau ternak merasa tidak nyaman yang berakibat terhadap penurunan
produksi dan reproduksi ternak (Payne, 1970).
Iklim merupakan bagian terpenting dari penentuan kerja status faali yang
berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak. Penentuan status faali dari
ternak sangat penting untuk diketahui karena dengan mengetahui status faali pada
3
yang baik dan buruk terhadap ternak serta mengetahui temperatur dan kelembaban
yang cocok untuk ternak agar dapat berproduksi dengan baik dan efisien.
Daerah dengan ketinggian rendah (100--450 mdpl) memiliki suhu yang relatif
normal dengan kelembaban yang stabil, sedangkan pada daerah tinggi (>450
mdpl) memiliki suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi (Liem,
2004). Kelembaban udara yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas ternak
khususnya pada suhu lingkungan yang tinggi karena akan menghambat proses
pembuangan panas melalui penguapan dari permukaan tubuh (Esmay, 1978).
Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai respon fisiologi
ternak kambing Boerawa jantan di dataran rendah dan dataran tinggi.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan respon fisiologi
kambing Boerawa jantan di dataran rendah dan dataran tinggi.
C. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting kepada
masyarakat dan para peternak khususnya tentang respon fisiologi kambing
Boerawa jantan di dataran rendah dan dataran tinggi sehingga produktivitas ternak
menjadi optimal dan dapat membantu pengembangan populasi kambing di
D. Kerangka Pemikiran
Lampung merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak kambing
salah satunya adalah kambing Boerawa. Kambing Boerawa adalah hasil
persilangan antara kambing Boer dan Peranakan Ettawah (PE). Kambing Boerawa
merupakan jenis ternak ruminansia yang memiliki kemampuan beradaptasi yang
baik terhadap berbagai keadaan lingkungan, laju pertumbuhan yang cepat, dan
mampu memanfaatkan berbagai jenis hijauan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh
ternak ruminansia lain seperti domba dan sapi sehingga kambing dapat hidup dan
berkembang biak sepanjang tahun.
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus dan Negerisakti Kecamatan
Gedongtataan Kabupaten Pesawaran memiliki potensi alam yang cukup besar
untuk mengembangkan ternak kambing termasuk kambing Boerawa. Kecamatan
Gisting terletak di dataran tinggi yaitu pada 650 m di atas permukaan air laut,
memiliki rata-rata suhu udara 180--32 0C, kelembaban udara 65--100%, dan curah
hujan 3.500 mm/tahun (Monografi Kecamatan Gisting, 2005). Negerisakti
Kecamatan Gedongtataan terletak di dataran rendah yaitu pada 300 m di atas
permukaan laut, memiliki rata-rata suhu udara 240--30 0C, kelembaban udara
50--85% (Monografi Negeri Sakti Kecamatan Gedongtataan, 2007). Menurut Smith
dan Mangkuwidjojo (1988), daerah nyaman bagi kambing berkisar antara 18 0C
sampai 300C.
Daerah dengan ketinggian rendah (6--100 mdpl) memiliki suhu yang relatif tinggi
dengan kelembaban rendah, daerah dengan ketinggian sedang (100--450 mdpl)
5
pada daerah tinggi (>450 mdpl) memiliki suhu relatif rendah dengan kelembaban
yang tinggi (Liem, 2004).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak ialah iklim.
Perubahan iklim seperti suhu dan kelembaban udara akan nyata mempengaruhi
respons fisiologi ternak, seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan dan denyut
jantung (Purwanto, et al., 1991). Suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat
menghambat proses pembuangan panas melalui penguapan dari permukaan tubuh
(Esmay, 1978).
Menurut Esmay (1978), bila terjadi cekaman panas akibat temperatur lingkungan
yang cukup tinggi maka akan menyebabkan frekuensi pulsus ternak akan
meningkat, hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang
menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat
pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan
panas tubuh.
Suhu rektal, denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan jumlah sel darah dalam
tubuh merupakan petunjuk praktis yang erat kaitannya dengan respon fisiologis
ternak terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, kambing harus dipelihara pada
ketinggian tempat yang sesuai sehingga proses fisiologis dalam tubuh dapat
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kambing Boerawa jantan
yang berada di dataran tinggi memiliki respon fisiologi yang lebih baik
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kambing Boerawa
Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer
jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing
merupakan hewan yang dijinakkan oleh manusia. Kambing yang dikenal
sekarang diperkirakan dari keturunan kambing liar yang hidup di lereng-lereng
pegunungan. Kambing memiliki kebiasaan makan dengan cara berdiri, mencari
daun-daunan yang berada di atas, dan tidak senang mengelompok (Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, 1986).
Kambing Boerawa saat ini telah berkembang biak dan menjadi salah satu
komoditi ternak unggulan Propinsi Lampung. Perkembangan kambing Boerawa
yang pesat tersebut berkaitan erat dengan potensi Propinsi Lampung yang besar
dalam penyediaan pakan ternak, baik hijauan maupun limbah pertanian,
perkebunan, dan agroindustri (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004).
Kambing tersebut dipelihara oleh masyarakat sebagai penghasil daging karena
laju pertumbuhannya yang tinggi dengan postur tubuh yang kuat dan tegap
sehinga harga jualnya juga tinggi dan permintaan pasar terhadap kambing
Boerawa tingi (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung,
Kambing dapat diklasifikasikan berdasarkan asal-usul, kegunaan, besar tubuh, dan
bentuk serta panjang telinganya (Williamson dan Payne, 1993). Kambing
Boerawa memiliki ciri - ciri diantara kambing Boer dengan kambing PE sebagai
tetuanya. Kambing Boerawa memiliki telinga yang agak panjang dan terkulai ke
bawah sesuai dengan ciri - ciri kambing PE, namun memiliki bobot tubuh yang
lebih berat daripada kambing PE, yang diwariskan dari kambing Boer dengan
profil muka yang sedikit cembung dan pertambahan bobot tubuh 0,17 kg/hari
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2011). Selain itu,
kambing Boerawa juga memiliki badan yang lebih besar dan padat yaitu dapat
mencapai 40 kg pada umur 8 bulan dibandingkan dengan kambing PE yang
beratnya hanya mencapai 28 kg, sehinggga jumlah daging yang dihasilkan lebih
banyak (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004).
B. Dataran Tinggi dan Dataran Rendah
Ketinggian dataran dapat dibagi menjadi 3 wilayah yaitu wilayah rendah atau
dataran rendah, wilayah pertengahan atau dataran sedang, dan wilayah dataran
tinggi. Wilayah rendah atau dataran rendah yang merupakan bagian dari muka
bumi yang letaknya antara 6--100 m dari permukaan laut sampai wilayah
endapan. Istilah ini diterapkan pada kawasan manapun dengan hamparan yang
luas dan relatif datar yang berlawanan dengan dataran tinggi.
Suhu udara di dataran rendah, khususnya untuk wilayah Indonesia berkisar antara
9
udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan dataran rendah. Tingkat kelembaban
udara dan curah hujan yang berlangsung juga cukup tinggi.
Kriteria dataran rendah ditandai dengan suhu udara yang tinggi dan tekanan udara
maupun oksigen yang tinggi (Hafez, 1968).
Wilayah pertengahan atau dataran sedang adalah bagian wilayah yang terletak
antara 100--450 m dari permukaan laut, permukaan buminya sudah tidak lagi
datar dan mulai terasa segar dan memiliki suhu berkisar antara 22°C--17,1°C;
Sedangkan wilayah pegunungan atau dataran tinggi adalah wilayah dengan
ketinggian di atas 450 m dari permukaan laut dan sudah berbeda gambaran umum
daerah tropis (panas, lembap, pengab), udara terasa sejuk sampai dingin dan
banyak turun hujan, suhunya berkisar antara 17,1°C--11,1°C (Liem, 2004).
Wilayah dataran tinggi adalah daerah berbentuk datar di permukaan bumi yang
mempunyai ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Dataran tinggi
biasanya memiliki suhu udara yang sejuk sehingga dapat digunakan untuk
pengembangan daerah peternakan. Tidak semua dataran tinggi di atasnya sempit,
melainkan terdapat pula dataran tinggi yang puncaknya datar dan cukup luas,
dataran tinggi semacam ini biasa disebut plato. Dataran tinggi terbentuk sebagai
hasil erosi dan sedimensi (Liem, 2004).
C. Temperatur Lingkungan
Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan
biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius. Secara umum, temperatur
hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal. Temperatur
lingkungan yang sesuai untuk ternak kambing adalah 13--18 oC atau Temperature
Humidity Index (THI) < 72. Setiap hewan mempunyai kisaran temperatur
lingkungan yang paling sesuai yang disebut Comfort Zone. Temperatur
lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah
10°C--27°C (50°F--80°F). (Sientje, 2003).
Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu :
1. Abiotik : semua faktor fisik dan kimia
2. Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit
serta interaksi sosial dan seksual.
Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam
menyebabkan stres fisiologis. Komponen lingkungan abiotik yang berpengaruh
nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban, curah hujan, angin dan
radiasi matahari (Sientje, 2003).
Faktor lingkungan fisik yang mempunyai peranan penting dalam produksi ternak
yaitu udara, kelembaban lingkungan, radiasi matahari, dan kecepatan angin.
1. Udara
Suhu lingkungan merupakan sebuah ukuran dari intensitas panas dalam artian
sebuah unit standar dan biasanya ditunjukkan dalam satuan derajat Celcius (°C).
Dalam kaitan dengan istilah umum untuk panas dalam arti fisiologis, suhu udara
11
sekitar tubuh ternak (Bligh dan Johnson, 1973). Suhu lingkungan nyaman untuk
ternak bekisar 18--30°C. (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
2. Kelembaban Lingkungan
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting,
karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat
menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran
pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif
(Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap
air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada
temperatur dan tekanan yang sama. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi
secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi
keseimbangan termal ternak (Sientje, 2003).
Iklim di Indonesia adalah Super Humid atau panas basah yaitu klimat yang
ditandai dengan panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus.
Temperatur udara berkisar antara 21.11°C--37.77°C dengan kelembaban relatir
55--100 persen (Umar, 1991). Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan
menyebabkan stres pada ternak sehingga suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung
meningkat, serta konsumsi pakan menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas
ternak rendah.
Iklim berpengaruh langsung dan tidak langsung tehadap penampilan produktivitas
ternak. Pengaruh langsungnya adalah suhu lingkungan tinggi, sedangkan
yang menyebabkan tingginya serat kasar, sehingga ternak menderita stress atau
ternak merasa tidak nyaman yang berakibat terhadap penurunan produksi dan
reproduksi ternak (Payne, 1970).
Rosenberg (1983) mendefinisikan iklim mikro sebagai keadaan iklim daerah yang
terlindungi, sedangkan Gebremedhin (1985) dan Payne (1970) mendifinisikan
iklim mikro sebagai interaksi beberapa faktor iklim di lokasi yang spesifik atau
keadaan iklm disekitar ternak berada.
Iklim makro merupakan iklim suatu negara, benua, atau daerah tertentu. Iklim
tersebut menurut sifat pokoknya (letak geografis, tinggi diatas permukaan laut,
pesisir laut, arah angin, berhubungan dengan pegunungan) berhubungan dengan
suhu rata-rata, kelembaban udara serta kemusiman yang menciptakan ciri khas
tertentu yang digolongkan sebagai daerah tropis lembab (daerah hutan hujan
tropis, daerah musim, dan savana lembab), daerah tropis kering (daerah padang
pasir dan daerah savana kering), daerah pegunungan (Lippsmeter, 1994).
3. Radiasi Matahari
Menurut Sientje (2003), radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua
sumber utama yaitutemperatur matahari yang tinggi dan. radiasi termal dari tanah,
pohon, awan dan atmosfir. Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari,
penting untuk mendesain perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi
proses fisiologi ternak.
Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak..
13
yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam
menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk
mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan
(Sientje, 2003).
4. Angin
Angin diturunkan oleh pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan
dengan sumber panas atau daerah panas dan dingin pada atmosfir. Kecepatan
angin selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena
transfer panas melalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya
dipengaruhi oleh kecepatan angin (Sientje, 2003).
D. Fisiologis Ternak
Respon fisiologis ternak adalah usaha ternak dalam rangka merespon kondisi
tubuhnya dari lingkungan berupa cekaman panas atau cekaman dingin. Performan
ternak dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan yang buruk, peralatan dan
fasilitas penangan ternak mengakibatkan perubahan fisiologis dan tingkah laku
ternak (Brody, 1948).
Ketinggian tempat erat hubungannya dengan suhu dan kelembaban lingkungan
tempat ternak dipelihara yang secara nyata mempengaruhi respon fisiologis
ternak, seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan, denyut jantung, dan jumlah sel
Termoregulasi atau pengaturan keseimbangan panas merupakan upaya ternak atau
hewan untuk mempertahankan suhu tubuh agar relatif konstan terhadap
perubahan-perubahan lingkungan yang berlebihan (Robertshaw, 1985).
Pengaturan suhu tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor pengatur suhu, yaitu
sensor panas dan sensor dingin yang berbeda tempat pada jaringan sekeliling
(penerima di luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh. Dari kedua
jenis sensor ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat
dan kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan
produksi panas untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh. Setelah
itu terjadi umpan balik, dimana isyarat, diterima kembali oleh sensor panas dan
sensor dingin melalui peredaran darah (Bligh dan Johnson, 1985).
Cekaman panas pada ternak akan menyebabkan terjadinya penurunan kondisi
pakan, produksi susu, dan bobot badan. Penurunan tersebut dikarenakan ternak
berusaha menurunkan produksi panas yang berasal dari tambahan panas (heat
gain) dari luar tubuh, dengan cara mengeluarkan beban panas yang diterimanya
dengan evaporasi melalui saluran pernapasan. Menurut Morrison (1972),
cekaman panas selain disebabkan oleh temperatur yang tinggi, dapat juga
disebabkan oleh kelembaban udara yang tinggi, radiasi, suhu, dan aliran udara
yang lamban
Bligh dan Johnson (1985) mengatakan jika suhu lingkungan panas maka terjadi
peningkatan denyut jantung dan frekuensi pemapasan sehingga panas tubuh
langsung diedarkan oleh darah kepermukaan kulit untuk dikeluarkan secara
15
lingkungan dingin maka produksi panas akan digunakan untuk menjaga
keseimbangan panas tubuh agar suhu tubuh tidak turun
Peningkatan suhu tubuh yang merupakan fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit,
akibat kenaikan suhu udara, akan meningkatkan aktivitas penguapan melalui
keringat dan peningkatan jumlah panas yang dilepas paersatuan luas permukaan
tubuh. Demikian juga dengan naiknya frekuensi nafas akan meningkatkan jumlah
panas persatuan waktu yang dilepaskan melalui saluran pernapasan (Mc Lean dan
Calvert, 1972), oleh sebab itu ternak harus mengadakan penyesuaian secara
fisiologis agar suhu tubuhnya tetap konstan (38,5--40°C). Untuk mempertahankan
kisaran suhu tubuhnya, ternak memerlukan keseimbangan antara produksi panas
dengan panas yang dilepaskan tubuhnya (Yusuf, 2007).
1. Frekuensi Denyut Jantung
Frekuensi denyut jantung dapat dideteksi melalui denyut jantung yang
dirambatakan pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi
denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu
lingkungan. Disebutkan pula bahwa hewan muda mempunyai denyut nadi yang
lebih frekuen daripada hewan tua. Frekuensi denyut nadi kambing normal berkisar
antara 70--80 kali per menit (Duke’s 1995).
Pada suhu lingkungan tinggi, denyut jantung meningkat. Peningkatan ini
berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya
aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk
peningkatan denyut jantung. Bila terjadi cekaman panas akibat temperatur
lingkungan yang tinggi maka frekuensi denyut jantung ternak akan meningkat, hal
ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan
meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan
darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.
2. Respirasi
Respirasi adalah semua proses kimia maupun fisika berupa pertukaran udara
dengan lingkungannya yang dilakukan oleh organisme. Respirasi menyangkut dua
proses, yaitu respirasi eksteral dan respirasi internal. Terjadinya pergerakan
karbon dioksida ke dalam udara alveolar ini disebut respirasi eksternal. Respirasi
internal dapat terjadi apabila oksigen berdifusi ke dalam darah. Respirasi eksternal
tergantung pada pergerakan udara kedalam paru-paru (Frandson, 1992).
Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai pedoman
untuk mengetahui fungsi organ-organ tubuh bekerja secara normal. Pengukuran
terhadap parameter terhadap fisiologis yang biasa dilakukan di lapangan tanpa
alat-alat laboratorium adalah pengukuran respirasi, detak jantung dan temperatur
tubuh (Kasip, 1995). Respirasi kambing normal berkisar antara 25-54 kali/menit
(Frandson, 1992).
3. Suhu Rektal
Suhu rektal digunakan sebagai ukuran temperatur suhu tubuh karena pada suhu
rektum merupakan suhu yang optimal. Suhu rektal kambing normal berkisar
17
suhu tubuhnya tetap berada pada kondisi normal adalah dengan cara melepaskan
panas melalui saluran pernapasan. Esmay (1978) menyatakan bahwa, untuk
menurunkan kenaikan suhu tubuh agar mencapai suhu tubuh normal dengan
melakukan pembuangan panas dari tubuh dilakukan dengan peningkatan frekuensi
pernapasan.
Hewan homeoterm sudah mempunyai pengatur panas tubuh yang telah
berkembang biak. Temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor
yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan.
Produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung bergantung pada makanan yang
diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dan saluran pencernaan
III. BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2012 – Desember 2012. Pengambilan
data dilakukan di dataran rendah (Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan,
Kabupaten Pesawaran) dan dataran tinggi (Desa Campang, Kecamatan Gisting,
Kabupaten Tanggamus).
B. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat Penelitian.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : thermohigrometer, timbangan
dengan kapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg untuk mengukur berat sampel, alat
tulis, alat hitung, dan kamera.
2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah ternak kambing Boerawa yang
ada di dataran rendah (Desa Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten
Pesawaran) dan dataran tinggi (Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten
19
C. Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode
Survei Purposive Random Sampling di Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten
Tanggamus, Provinsi Lampung dan di Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan,
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Kambing sampel diambil dari beberapa
desa di Campang dan Negerisakti yang memiliki populasi kambing Boerawa
dengan presentase pengambilan sampel sama besar (proposional). Data yang
digunakan pada penelitian ini berupa data primer. Data primer diperoleh dari
penentuan umur kambing sampel, pengukuran fisiologi ternak kambing Boerawa
yaitu penimbangan bobot tubuh, pengukuran suhu rektal, frekuensi denyut jantung
dan respirasi kambing sampel, pengukuran suhu dan kelembapan kandang serta
lingkungan melalui pengamatan langsung ke lapangan.
2. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji-t.
D. Peubah yang Diamati
1. Frekuensi Denyut Jantung
Frekuensi denyut jantung dapat dihitung dengan menempelkan telapak tangan
atau stetoskop pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi
denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu
2. Respirasi
Pengukuran respirasi dilakukan dengan menghitung pergerakan kembang
kempisnya perut selama 1 menit (Hartono, et al, 2002).
3. Suhu Rektal.
Suhu rektal diukur dengan menggunakan thermometer yang dimasukkan ke dalam
rektal kambing selama 5 menit (Hartono, et al, 2002).
E. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Umur
Umur kambing yang dipakai seragam. Umur kambing adalah 1 tahun. Penentuan
umur kambing berdasarkan atas susunan gigi dan informasi langsung dari pemilik
kambing tersebut.
2. Penimbangan Berat Badan.
Berat badan kambing Boerawa jantan yang dipakai seragam yaitu 25kg.
Penimbangan kambing dilakukan satu kali pada awal penelitian dengan
menggunakan timbangan berkapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg.
3. Pengukuran Suhu dan Kelembapan Kandang dan Lingkungan.
Pengukuran suhu kandang dan lingkungan ternak dilakukan tiga kali dalam sehari
yaitu yaitu pagi pada pukul 07.00 WIB, siang pada pukul 13.00 WIB, dan sore
21
4. Pengukuran Fisiologis Ternak
Pengukuran suhu rektal, frekuensi pernapasan (respirasi), dan frekuensi denyut
jantung dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 07.00 WIB, siang
pada pukul 13.00 WIB, dan sore pada pukul 17.00 WIB. Masing-masing tempat
dilakukan pengukuran respon fisiologis ternak setiap 3 hari sekali selama 1 bulan
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan dataran berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap respon fisiologis kambing Boerawa Jantan yang dipelihara di dataran rendah
(P1) dan dataran tinggi (P2). Kambing Boerawa Jantan yang berada di dataran tinggi
(P2) memiliki respon fisiologis yang lebih baik dibandingkan Kambing Boerawa
Jantan yang berada di dataran rendah (P1). Rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut
jantung, dan respirasi ternak kambing Boerawa jantan di dataran rendah (P1) sebesar
39,25 0C; 77 kali/menit; 31 kali/menit; sedangkan yang dipelihara di dataran tinggi
(P2) sebesar 39,057 0C; 72 kali/menit; 25 kali/menit.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang telah dikemukakan dapat disampaikan
saran yaitu
1. Bagi pemerintah atau peternak, disarankan agar lebih mengembangkan peternakan
kambing Boerawa pada dataran tinggi karena memiliki suhu dan kelembaban
lingkungan yang baik untuk ternak kambing;
2. Masyarakat khususnya peternak yang berada di dataran rendah (P1) jika
memelihara kambing Boerawa sebaiknya memodifikasi kandang agar suhu dan
DAFTAR PUSTAKA
Adisuwryo, D, Soetrisno, dan S.J.A. Setyawatl. 2001. Dasar Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto
Anonimus. 2010. Monografi Kecamatan Gisting dan Kecamatan Negerisakti. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pesawaran. Provinsi Lampung
Badan Pusat Statistik. 1992. “Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung”. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 13 Januari 2012
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 1986. Beternak Kambing. Departemen Pertanian. Nusa Tenggara Barat
Barry, D. M. dan R. A. Godke. 2005. The Boer Goat the Potential for Cross Breeding Department of Animal Scien. LSU. Agricultural Center Lousiana State
University. Baton Rouse. Lousiana
Bligh, J. and K. G. Johnson. 1973. Glosary of terms for thermal physiology. J. appl. Physiology., 35:941
Brody, S. 1948. “Environmental physiology with special reference to animal: J.
Physiological Backgrounds”. Miss. Agr. Exp. Sta. Res. Bull. No 423
Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta
Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2011. Peternakan Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung
Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 15 April 2012
Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing : New York
Esmay, M. L. 1978. Principle of Animal environmental. AVI Publishing Company, Inc. Wespost, Connecticut
Fitra, A. P., Simon, E., dan Fera, M. 2005. Respon Fisiologi Kambing Boer Pada Kondisi Iklim Tropis Basah. Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Sumatra Utara
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Gebremedhin. 1985. The Goats of Indonesia. FAO Regional Office. Bangkok
Ginting, S. P. 2009. Pedoman Teknis Pemeliharaan Induk dan Anak Kambing Masa Pra-sapih. Loka Penelitian Kambing Potong. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Medan
Hafez, E. S. E. 1968. Adaptasion of Domestic Animal. Lea and Fabinge. Philadelpia
Hardjosubroto, W. dan J. V. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Hartono, M., S. Suharyati, dan P. E. Santoso. 2002. “Dasar Fisiologi Ternak”. Penuntun Praktikum. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Kasip. 1995. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya, Jakarta.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta
Liem. 2004. “Pengelolaan Berbasis Birogion”.
http://www.walhi.or.id/bioregion/nas/peng_basis_bioreg/. Diakses pada 27 Februari 2012 pukul 21.19 WIB
Lippsmeter, G. 1994. Bangunan Tropis. Erlangga. Jakarta
Mc Dowell, R. E. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman and Company, San Fransisco
Mc Lean and Calvert. 1972. “Production of Boer Goat in Germany”. Boer Goat News. 4:25—26. http://boergoat.com/clean/articles
Morrison. 1972. ”A World Dictionary of Livestock, Breeds, Types, and Varieties”. Fourth Ed. The English Language Book Soc. CAB International, Wallingford. Oxon
34
Purwanto., W. Hardjosubroto, Kustono, dan Ngadiyono. 1991 “Performan produksi
dan reproduksi kambing Peranakan Etawah dan Bligon”. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan. 104—108. Yogyakarta
Robertshaw, D. 1985. “Heat Lost of Cattle”. In: M. K. Yousef. Stress Physiology of
Livestock. Vol. 1. RCR Press, Inc. Boca Raton, Florida. P. 55
Rosenberg. 1983. “Goat Production in The Tropic”.
http://boergoat.com/clean/articles. Diakses pada 1 April 2010
Rumetor. 2003. Responses of lactacing Holstein cows to chilled drinking water in high ambient temperatures. J.Dairy Sci. 73:1091 -1099
Sarwono, B. 1994. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta
Sientje. 2003. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Fisiologi Ternak Kambing. Makalah Falsafah Sains (PPs 702)Program Pasca Sarjana /S3Institut Pertanian Bogor Mei 2003
Smith dan Mangkuwidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Sosroamidjojo. 1990. Peternakan Umum. CV. Yasaguna. Jakarta
Steel, C. J. dan J. H. Torrie.1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia. Jakarta
Sulastri. 2007. ”Estimasi Parameter Genetik Sifat-Sifat Pertumbuhan Kambing
Boerawa di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus”.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Umar, Ar. 1991. Pengaruh frekuensi penyiraman/memandikan terhadap status faali Sapi Perah yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok Barat. Prosiding Fisiologi Ternak Tracback. University Press, Mataram
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Yusuf, M. K. 2007. Physiology Stress in Livestock. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida