PERBANDINGAN POLA KUMAN AEROB DAN
SENSITIFITASNYA TERHADAP ANTIBIOTIK ANTARA
CAVUM NASI DAN SINUS MAKSILA PADA PENDERITA
RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS
T E S I S
Abdul Gani
097111011 / PK
PROGRAM MAGISTER KLINIK – SPESIALIS ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP H.
ADAM MALIK MEDAN
PERBANDINGAN POLA KUMAN AEROB DAN
SENSITIFITASNYA TERHADAP ANTIBIOTIK ANTARA
CAVUM NASI DAN SINUS MAKSILA PADA PENDERITA
RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang
Patologi Klinik / M. Ked (Clin.Path) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
ABDUL GANI
097111011 / PK
PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RSUP H.
ADAM MALIK MEDAN
Judul Penelitian : Perbandingan pola kuman aerob dan
sensitifitasnya terhadap antibiotik antara cavum
nasi dan sinus maksila pada penderita
rinosinusitis maksila kronis
Nama Mahasiswa : Abdul Gani
Nomor Induk Mahasiswa : 197111011
Telah diuji pada
Tanggal : 01 Mei 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH (...)
Anggota : 1. Prof .DR.dr.Ratna Akbari Ganie,SpPK-KH (...)
2. Dr. Mangain Hasibuan,SpTHT-KL (...)
3. Prof.dr.Burhanuddin Nasution, SpPK-KN (...)
4. Prof.dr. Herman Hariman,PhD, SpPK-K (...)
5. Dr. Ricke Loesnihari, Mked(ClinPath),SpPK-K (...)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmannirrahim, saya panjatkan puji
dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga saya dapat mengikuti Program Pendidikan Megister Departemen
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Sumatera Utara dan dapat
menyelesaikan karya tulis (tesis) yang berjudul Perbandingan Pola Kuman
Aerob dan Sensitifitasnya terhadap Antibiotik antara Cavum Nasi dan
Sinus Maksila pada Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis.
Saya sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin masih jauh
dari sempurna baik isi maupun bahasannya, dengan semua keterbatasan
tersebut, saya berharap mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan
kita semua.
Selama saya mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian
untuk karya tulis ini, saya telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk,
bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai
pihak sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.
Untuk semua itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih yang tiada terhingga kepada :
Yth, dr. Ricke Loesnihari, SpPK-K, sebagai pembimbing saya dan
juga Sekretaris Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan,
petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan selama dalam pendidikan dan
proses penyusunan, sampai selesainya tesis ini.
Yth, dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, pembimbing II dari
departemen THT Fakultas Kedokteran Sumatera Utara yang sudah
memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan, dan bantuan mulai
dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai sampai
selesainya tesis ini.
Yth, Prof. dr. Adi Koesoema Aman SpPK-KH, FISH, Ketua
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
kesempatan kepada saya sebagai peserta Pendidikan Magister Patologi
Klinik dan telah memberikan pengarahan selama saya mengikuti pendidikan.
Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, sebagai Ketua dan
Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara, yang telah banyak memebimbing, mengarahkan dan
memotivasi sejak awal pendidikan dan menyelesaikannya.
Yth, Prof. dr. Herman Hariman, PhD, SpPK-KH, FISH, yang telah
banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi sejak awal pendidikan
dan menyelesaikan penulisan tesis ini.
Yth, Prof. dr. Burhanuddin Nasution, SpPK-KN, yang telah banyak
membimbing, mengarahkan dan memotivasi sejak awal pendidikan dan
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Yth, dr. Muzahar, DMM, SpPK-K, dr. Zulfikar Lubis, SpPK-K, FISH,
dr. Tapisari Tambunan, SpPK-KH, dr. Ozar Sanuddin, SpPK-K, dr. Nelly
Elfrida, SpPK, semuanya guru-guru saya yang telah banyak memberikan
petunjuk, arahan selama saya mengikuti pendidikan Megister di Departemen
Patologi Klinik dan selama penyelesaian tesis ini. Hormat dan terima kasih
saya ucapkan.
Yth, Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan
bimbingan, arahan dibidang statistik selama saya memulai penelitian sampai
selesainya tesis saya, terima kasih banyak saya ucapkan.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Rektor Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti Program Pendidikan di Departemen Patologi Klinik di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Dekan Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti Program Pendidikan di Departemen Patologi Klinik di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Direktur
dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja
dilingkungan Rumah Sakit ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Abdul
Rachman Saragih, Sp THT-KL (K), sebagai Kepala Departeman THT-KL FK
USU/RSUP H. Adam Malik yang telah memberikan izin tempat dalam
terlaksananya penelitian ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Delfitri
Munir, Sp. THT-KL (K), dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL, dr. Andrina Y.M.
Rambe, Sp. THT-KL, dr. Ferryan Sofyan, M. Kes, Sp THT-KL yang telah
banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan dibidang
THT-KL, baik teori maupun keterampilan sehingga selesai penelitian ini dikerjakan.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman teman
sejawat PPDS kepada dr. Edward, dr. Samsul, dr. Adrian, dr. Erika, dr.
Silvia dan seluruh PPDS di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam
Malik yang telah memberikan dukungan kerja samanya dalam pembuatan
penelitian ini hingga selesai.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh teman-teman
sejawat Program Pendidikan Megister Departemen Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, para analis, pegawai, serta semua
pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuan dan kerja
sama yang diberikan kepada saya sejak mulai pendidikan dan selesainya
tesis ini.
Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada yang
mulia ayahanda Alm. Muzif Aliludin dan ibunda Darmawati, dengan segala
upaya telah yang telah melahirkan, membesarkan, mengasuh, mendidik dan
membimbing dengan penuh kasih saying semenjak kecil sehingga dewasa
agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua Orang tua, Agama, Bangsa
dan Negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, ampunilah
dosa kedua orang tua saya serta sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangi saya sewaktu kecil. Terima kasih juga saya tujukan kepada
Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada mertua
saya Alm. Drs. H. Sjahrudin Shambas dan Hj. Halimah serta kakak ipar
dan abang ipar saya Ida Suryani, Antasari Syahril, Almh Andin
Handayani, Dian Anggraini, Linda Chairuni dan Andri Syahrial.
Kepada istriku tercinta Inong Atilani, SH, yang telah mendampingi
saya selama ini hingga memberikan motivasi serta dorongan semangat
kesabaran dalam suka dan duka. Juga kepada kedua anak saya tersayang
Ghina Syakirah Juliani dan Ghazir Rizky Ramadhan yang telah
memberikan waktunya selama ini, tiada kata yang lebih indah yang dapat
saya ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas
pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada
henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya sampai pada saat
yang berbahagia ini.
Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas
kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala
bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada aya selama mengikuti
pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT,
yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amiin, Amiin Ya
Robbal’alamin.
Medan, 1 April 2013 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Persetujuan Pembimbing ... i
Kata Pengantar ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR SINGKAT ... xii
Daftar Lampiran ... xiii
Abstrak ... xiv
2.4 Faktor Predisposisi ... 12
2.5 Klasifikasi... 13
2.6 Epidemologi ... 13
2.7 Sinusitis Maksilaris ... 14
2.8 Faktor Resiko ... 15
2.9 Penyebab ... 16
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 20
3.1 Rancangan Penelitian ... 20
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 20
3.3.1 Populasi ... 20
3.3.2 Sampel Penelitian ... 20
3.4 Perkiraan Besar ... 21
3.5 Variabel Penelitian ... 22
3.5.1 Definisi operasional variable ... 22
3.6 Bahan dan Cara Kerja ... 23
3.6.1 Bahan ... 23
3.6.2 Cara Kerja ... 28
3.6.3 Prosedur Kerja API 20 E ... 33
3.6 Pemantapan Kualitas ... 34
3.7 Kerangka Konsep ... 37
3.8 Kerangka Kerja ... 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 39
4.1 Pengelompokan Sampel Berdasarkan Umur ... 39
4.2 Pengelompokan berdasarkan Jenis Kelamin ... 40
4.3 Perbandingan Profil Kuman Cavum Nasi Dengan Sinus Maksila ... 41
4.4 Pertumbuhan Kuman ... 42
4.5 Perbandingan Kuman Gram Positif Dengan Kuman Negatif ………. . 42
4.6 Profil Kuman Aerob Pada Hasil Kultur Kuman Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis ... 43
4.7 Distribusi Kuman Yang Tumbuh Berdasarkan Lokasi Pada Cavum Nasi Dan Sinus Maksila ………... ... 44
4.8 Profil Antibiotik Yang Sensitif Pada Uji Sensitifitas Kuman Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis ... 45
BAB 5 PEMBAHASAN ... 48
5.1 Pengelompokan Sampel Berdasarkan Umur ... 48
5.2 Pengelompokan Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50
5.3 Perbandingan Profil Kuman Cavum Nasi dengan Sinus Maksila .. .... 50
5.4 Pertumbuhan Kuman ... 51
5.5 Perbandingan Kuman Gram Positif dengan Gram Negatif ... 51
5.6 Profil Kuman Aerob Pada Hasil Kultur Kuman Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis . ... 52
5.7 Distribusi Kuman Yang Tumbuh Berdasarkan Lokasi Pada Cavum Nasi dan Sinus Maksila ... 53
5.8 Profil Antibiotik Yang Sensitif Pada Uji Sensitifitas Kuman Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis ... 54
5.9 Pola Resistensi pada Kedua Spesimen ... 55
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
6.1 Kesimpulan ... 57
6.2 Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 60
DAFTAR TABEL
Tabel 3.6.1 Clasifikasi Laboratoriun Seluruh Indonesia ………... 27
Tabel 4.1.2 Pengelompokkan sampel berdasarkan umur 39
Tabel 4.3.3 Perbandingan prifil kuman cavum nasi dengan sinus maksila .. 41
Tabel 4.8.4 Antibiogram ……… 45
Tabel 4.9.5 Pola resistensi pada kedua specimen ……….. 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.2.1 Pengelompokkan sampel berdasarkan jenis kelamin ……. 40
Gambar 4.4.2 Pertumbuhan kuman ……….. 42
Gambar 4.5.3 Perbandingan kuman ………. 42
Gambar 4.6.4 Profil kuman aerob pada hasil kultur kuman
penderita rinosinusitis maksila kronis ………. 43
Gambar 4.7.5 Distribusi kuman yang tumbuh berdasarkan lokasi pada
cavum nasi dan sinus maksila ………. 44
DAFTAR SINGKATAN
API : Analytical Profile Index
BSEF : Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
CIT : Citrat
CWL : Cald Well Luc
Dkk : dan kawan-kawan
GEL : Gelatin Hydroplisis
H2S : Hydrogen Sulfat
MSA : Manitor Salt Agar
NCCLS : National Commite for Clinical Laboratory Standart
NIT : Nitrat
ODS : Ornithine Decarboxylase
PAL : B-Naphthyl Phosphate
SOP : Standard Operating Procedure
URE : Urease
VP : Voges Proskauer
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
Lampiran 3 Data Pasien
Lampiran 4 Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian
PERBANDINGAN POLA KUMAN AEROB DAN SENSITIFITASNYA
TERHADAP ANTIBIOTIK ANTARA CAVUM NASI DAN SINUS MAKSILA
PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS
Abdul Gani, Ricke.L, Mangain.H
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H.Adam Malik Medan
Abstrak. Latar belakang: Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus
paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut Rinosinusitis. Sinusitis maksila kronik adalah proses inflamasi mukosa sinus
maksila oleh karena infeksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan. Tujuan:
Mengetahui pola kuman aerob dan uji sensitivitas pada penderita sinusitis maksila kronis yang berasal dari spesimen cavum nasi dan sinus maksila. Metode dan materi: Penelitian ini dilakukan secara cross sectional study yang dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUP Haji Adam Malik Medan, pada bulan Juli s/d September 2012. Jumlah subjek penelitian 23. Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosa sinusitis maksila kronis dan yang menjalani pembedahan. Sampel diambil pada 2 lokasi yaitu sekret cavum nasal dan Sekret sinus maksila. Sampel yang didapat dilakukan pewarnaan gram, di kultur dan uji sensitifitas antibiotik dengan API 20 E. Hasil: Dari 23 pasien, dijumpai laki-laki 52.2%, perempuan 47.8%, Kelompok umur >40 (26.1%), 15-20 (21.8%), 21-25 (13%), 26-30 (13%), 36-40 (13%), 31-35 (8.8%). Kuman yang terbanyak pada cavum nasi adalah
Staphylococcus epidermidis sebanyak 36% dan sinus maksila Streptococcus
viridan ( ) dan paling sedikit Streptococcus pyogenes sebanyak 2%.
Kesimpulan: Data profil kuman dari hasil kultur kuman aerob dari sampel
cavum nasi dengan sinus maksila yang didapati pada penderita Rinosinusitis Maksila Kronis tidak ada profil kuman yang sama dan uji sensitifitas antibiotik yang sensitive terbanyak untuk kuman aerob gram positif pada penderita Rinosinusitis Maksila Kronis adalah Vancomisin dan gram negative Amikacin.
Aerobic bacteria PATTERN COMPARISON OF ANTIBIOTICS AND sensitivity BETWEEN RICE AND maxillary sinus cavity PATIENTS ON
CHRONIC maxillary rhinosinusitis
Abdul Gani, Ricke.L, Mangain.H
Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera / RSUP.H.Adam Malik
Abstract. Background: Sinusitis is an inflammation of the paranasal sinus mucosa. Generally accompanied or rhinitis triggered by so often called rhinosinusitis. Maxillary sinusitis is a chronic inflammatory process of the maxillary sinus mucosa due to infection and lasted more than 3 months. Objective: To determine the pattern of aerobic bacteria and test sensitivity in patients with chronic maxillary sinusitis specimens derived from rice and
maxillary sinus cavity. Methods and materials: This study was a cross
sectional study conducted in the Department of Clinical Pathology Haji Adam Malik Hospital in Medan, in July s / d September 2012. Number of subjects 23. The samples were all patients diagnosed with chronic maxillary sinusitis and underwent surgery. Samples were taken at 2 locations: nasal secretions cavity and maxillary sinus secretions. Samples obtained do gram staining, in
culture and antibiotic sensitivity testing with the API 20 E. Results: Of 23
patients, found 52.2% male, 47.8% female, age group> 40 (26.1%), 15-20 (21.8%), 21-25 (13%), 26-30 (13%), 36-40 (13%), 31-35 (8.8%). Germs are most at cavum nasi is as much as 36% of Staphylococcus epidermidis and Streptococcus viridan maxillary sinus () and Streptococcus pyogenes at least
as much as 2%. Conclusions: Data from the germs profile aerobic bacteria
culture results of samples of rice with maxillary sinus cavity is found in patients with chronic maxillary rhinosinusitis no germs same profile and antibiotic sensitivity test most sensitive to aerobic gram-positive bacteria in patients with chronic maxillary rhinosinusitis is Vancomisin and Amikacin gram negative.
PERBANDINGAN POLA KUMAN AEROB DAN SENSITIFITASNYA
TERHADAP ANTIBIOTIK ANTARA CAVUM NASI DAN SINUS MAKSILA
PADA PENDERITA RINOSINUSITIS MAKSILA KRONIS
Abdul Gani, Ricke.L, Mangain.H
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H.Adam Malik Medan
Abstrak. Latar belakang: Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus
paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut Rinosinusitis. Sinusitis maksila kronik adalah proses inflamasi mukosa sinus
maksila oleh karena infeksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan. Tujuan:
Mengetahui pola kuman aerob dan uji sensitivitas pada penderita sinusitis maksila kronis yang berasal dari spesimen cavum nasi dan sinus maksila. Metode dan materi: Penelitian ini dilakukan secara cross sectional study yang dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSUP Haji Adam Malik Medan, pada bulan Juli s/d September 2012. Jumlah subjek penelitian 23. Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosa sinusitis maksila kronis dan yang menjalani pembedahan. Sampel diambil pada 2 lokasi yaitu sekret cavum nasal dan Sekret sinus maksila. Sampel yang didapat dilakukan pewarnaan gram, di kultur dan uji sensitifitas antibiotik dengan API 20 E. Hasil: Dari 23 pasien, dijumpai laki-laki 52.2%, perempuan 47.8%, Kelompok umur >40 (26.1%), 15-20 (21.8%), 21-25 (13%), 26-30 (13%), 36-40 (13%), 31-35 (8.8%). Kuman yang terbanyak pada cavum nasi adalah
Staphylococcus epidermidis sebanyak 36% dan sinus maksila Streptococcus
viridan ( ) dan paling sedikit Streptococcus pyogenes sebanyak 2%.
Kesimpulan: Data profil kuman dari hasil kultur kuman aerob dari sampel
cavum nasi dengan sinus maksila yang didapati pada penderita Rinosinusitis Maksila Kronis tidak ada profil kuman yang sama dan uji sensitifitas antibiotik yang sensitive terbanyak untuk kuman aerob gram positif pada penderita Rinosinusitis Maksila Kronis adalah Vancomisin dan gram negative Amikacin.
Aerobic bacteria PATTERN COMPARISON OF ANTIBIOTICS AND sensitivity BETWEEN RICE AND maxillary sinus cavity PATIENTS ON
CHRONIC maxillary rhinosinusitis
Abdul Gani, Ricke.L, Mangain.H
Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera / RSUP.H.Adam Malik
Abstract. Background: Sinusitis is an inflammation of the paranasal sinus mucosa. Generally accompanied or rhinitis triggered by so often called rhinosinusitis. Maxillary sinusitis is a chronic inflammatory process of the maxillary sinus mucosa due to infection and lasted more than 3 months. Objective: To determine the pattern of aerobic bacteria and test sensitivity in patients with chronic maxillary sinusitis specimens derived from rice and
maxillary sinus cavity. Methods and materials: This study was a cross
sectional study conducted in the Department of Clinical Pathology Haji Adam Malik Hospital in Medan, in July s / d September 2012. Number of subjects 23. The samples were all patients diagnosed with chronic maxillary sinusitis and underwent surgery. Samples were taken at 2 locations: nasal secretions cavity and maxillary sinus secretions. Samples obtained do gram staining, in
culture and antibiotic sensitivity testing with the API 20 E. Results: Of 23
patients, found 52.2% male, 47.8% female, age group> 40 (26.1%), 15-20 (21.8%), 21-25 (13%), 26-30 (13%), 36-40 (13%), 31-35 (8.8%). Germs are most at cavum nasi is as much as 36% of Staphylococcus epidermidis and Streptococcus viridan maxillary sinus () and Streptococcus pyogenes at least
as much as 2%. Conclusions: Data from the germs profile aerobic bacteria
culture results of samples of rice with maxillary sinus cavity is found in patients with chronic maxillary rhinosinusitis no germs same profile and antibiotic sensitivity test most sensitive to aerobic gram-positive bacteria in patients with chronic maxillary rhinosinusitis is Vancomisin and Amikacin gram negative.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sinusitis merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
Rinosinusitis.1
Rinosinusitis dapat menyebabkan beban ekonomi yang tinggi
dan penurunan kualitas hidup yang cukup besar, serta dapat
menimbulkan produktifitas menurun demikian juga daya koensentrasi
bekerja.
Rinosinus merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan
dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. 1,2
Sinusitis maksila kronik adalah proses inflamasi mukosa sinus
maksila oleh karena infeksi dan berlangsung lebih dari 3 bulan. 1,2
Sinusitis maksila merupakan salah satu penyakit yang masih
banyak dijumpai dalam peraktek sehari-hari, biasanya sering dianggap
seperti penyakit saluran nafas biasa.
16
16
Pada tahun 2001, lebih dari 35 juta orang dewasa Amerika
menderita rinosinusitis dan lebih dari 460.000 pembedahan sinus
dilakukan setiap tahun, sehingga pembedahan ini menjadi salah satu
tindakan bedah yang paling sering dilakukan.
Data dari Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus
2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut
adalah 435 pasien 69% nya adalah rinosinusitis kronis.1
Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin
Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007
didapatkan 108 pasien (64,29%) penderita rinosinusitis kronis.
5
Data yang didapat pada departemen THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun
2006 – 2007 penderita rinosinusitis kronis 118 pasien.
6
Di Departemen THT-KL RS. Fakultas Kedokteran USU RSUP
H. Adam Malik Medan tahun 2008 didapatkan 296 penderita
rinosinusitis kronis dari 783 pasien yang datang ke divisi Rinologi
RSUP H. Adam Malik Medan.
7
Kuman penyebab rinosinusitis maksila kronis adalah kuman
aerob dan anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans dan Haemophylus
influenza.
Dari penelitian Evans dkk (1975) dan Hamory dkk (1978)
didapatkan kuman terbanyak yang dapat diisolasi pada penderita
sinusitis maksila akut/subakut adalah Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pneumoniae.
8
12,13 Kuman lain yang dapat diisolasi adalah
kuman anaerob (12%), Neisseria species (8,5%), Streptococcus
hemolytic Streptococcus (3%), Staphylococcus aureus (2%),
Pseudomonas aeruginosa (2%) dan Escherechia coli (2%).
Penelitian yang sama dibagian THT-KL RSCM mendapatkan
infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba pada sinusitis
kronis, seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans dan
Haemophylus influenzae dan anaerob seperti Peptostreptococcus dan
Fusobacterium.
14
Pola kuman pada penelitian Ika S dan Mulyarjo (1999) di RS
Soetomo Surabaya menemukan kuman aerob terbanyak dari sinus
maksila Staphylococcus aureus 33,3% dan kuman yang paling sedikit
adalah Klebsiella pneumonia sp dan Escherechia coli masing-masing
6,7%.
9
Pola kuman pada penelitian di Departemen THT RSUP H. Adam
Malik tahun 2002, dijumpai kuman aerob pada penderita rinosinusitis
maksila kronis adalah Streptococcus pneumoniae sebesar 45% dan
Pseudomonas sp 20%.10 Sedangkan penelitian yang sama pada tahun
2009-2010 didapati kuman aerob terbanyak pada uji kultur kuman
penderita rinosinusitis maksila kronis adalah Streptococcus viridans
sebanyak 17 penderita atau 36,2 % dan kuman yang terendah didapati
pada uji kultur kuman adalah Staphylococcus saprophyticus dan
Pada pengobatan sinusitis maksila keberhasilan dipengaruhi beberapa
faktor antara lain :
- Virulensi dan kepekaan kuman terhadap antibiotika. 14,24
- Daya tahan tubuh penderita, yaitu tergantung kondisi tubuh,
misalnya alergi, diabetes, penyakit neoplastik (khususnya penerima
sitostatika) dan penerima steroid jangka panjang.
- Pemberian antibiotika yang tidak tepat, sehingga penderita sinusitis
maksila akut/subakut masuk ketahap kronik.
- Aerasi dan drainase sinus.
Dahulu terapi sinusitis maksila tanpa komplikasi yang menjadi
pilihan pertama adalah Penisilin dan derivatnya termasuk
amoksisilin14,25,26
Salah satu kelemahan amoksisilin adalah dapat dirusak oleh β
laktamase yang diproduksi oleh sebagian strain H. Influenzae dan M.
Cataralis yang merupakan kuman penyebab sinusitis akut. Menurut
Brook (1996) kuman penghasil β laktamase dalam secret penderita
sinusitis maksila sebesar 30%-40%.
27
Pola kuman dan kepekaannya dapat berubah karena
banyaknya kuman yang resisten terhadap antibiotika tertentu,
sehingga identifikasi kuman penting untuk memilih antibiotika yang
sesuai. Wald melaporkan terjadi peningkatan resistensi kuman S.
pneumoniae terhadap Kotrimoxazol dari 5% (1979) menjadi 30%
(1984).
Maka hal ini yang menyebabkan
gagalnya terapi dengan menggunakan Amoksisilin.
Pada penelitian Hannele R, Seppo dan Jukka S (1989) di RSP
Militer Helsinki, Finland dalam penelitian perbandingan flora kuman
pada cavum nasal orang sehat dengan penderita sinus maksila akut
mendapatkan yang sehat H. influenzae 4%, Streptococcus
pneumoniae 1%, B. catarrhalis 3%. Streptococcus pyogenes 1% dan
yang sinus maksila akut H. influenzae 61%, S. pneumoniae 25%, B.
catarrahalis 7% dan S. pyogenes 6%.39
Dari hasil penelitian tersebut diatas bahwa pola kuman cavum nasi
dan penderita sinus maksila pada penderita rinosinusitis maksilaris
akut hampir sama, untuk itu peneliti ingin membandingkan pada pasien
sinusitis maksila kronis apakah spesimen dari cavum nasi dengan
spesimen dari sinus maksila memiliki pola kuman yang sama.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu apakah ada pola kuman aerob dari kultur kuman serta
uji sensitivitas terhadap antibiotik antara spesimen cavum nasi dengan
sinus maksila pada pasien sinusitis maksila kronis yang dilakukan
pemeriksaan pada Departemen Patologi Klinik divisi Penyakit Tropik
Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.
Adam Malik Medan yang dilakukan irigasi sinus maksila pada
Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan dan ditambah dari RSU
Haji Mina Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui pola kuman aerob dan uji sensitivitas pada penderita
sinusitis maksila kronis yang berasal dari spesimen cavum nasi dan
sinus maksila yang dilakukan di Departemen Patologi Klinik divisi
Penyakit Tropik Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3.2. Tujuan khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1.3.2.1 Untuk mengetahui pola dari kuman cavum nasi dan pola kuman
sinus maksila pada sinusitis maksila kronis.
1.3.2.2 Untuk mengetahui apakah ada hubungan pola kuman pada cavum
nasi dengan pola kuman pada sinus maksila.
1.3.2.3 Mengetahui distribusi antibiotik yang sensitif pada uji sensitifitas
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Memberikan masukan tentang pemberian antibiotika yang tepat untuk
pengobatan terapi impirik pada penderita sinusitis maksila kronis
sebelum adanya hasil kultur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sinusitis
Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau
lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari
mekanisme drainase normal.9,15 Secara tradisional terbagi dalam akut
(simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai
3 bulan), dan kronik.15
Sinus paranasal adalah rongga di dalam tulang kepala yang
terletak disekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga
hidung melalui ostiumnya.
9
Ada 4 pasang sinus yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontalis dan sfenoid kanan dan kiri dan beberapa sel-sel kecil yang
merupakan sinus etmoid anterior dan posterior.
1,9
Sinusitis dapat berkembang dari demam yang lebih dari
seminggu, tetapi tidak semua orang dengan demam berkembang
menjadi sinusitis.
12 Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus
adalah menyadari bahwa hidung dan sinus paranasalis hanyalah
sebagian dari sistem pernafasan. Penyakit yang menyerang bronkus
dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasalis.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh
saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus dianggap
Diperkirakan kasus sinusitis di Amerika lebih dari 37 juta orang
setiap tahun. Dilaporkan ke Centers for Disease Control and
Prevention sebanyak 32 juta kasus sinusitis kronik setiap tahunnya11
2.2. Anatomi
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia
yang paling sulit didiskripsikan oleh karena bentuknya yang sangat
bervariasi pada setiap individu, ada empat pasang sinus paranasal
yaitu sinus maxilla, sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sfenoid1.
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami
modifikasi dan menghasilkan mukus dan silia, sekret disalurkan
kedalam rongga hidung melalui ostium masing-masing sinus9. Secara
klinis sinus paranasal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
anterior yang terdiri sinus frontalis, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior, muara sinus kelompok ini bermuara di meatus media, dekat
infundibulum, sedangkan kelompok posterior terdiri dari sinus etmoid
posterior dan sphenoid, ostiumnya terletak di meatus superior.
Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga
pneumatic berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya
menghadap ke fosanasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus
zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan sinus yang terbesar
diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila dapat di
lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada
saat lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 – 8 ml dan
kira -kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas antara laki-laki dan
perempuan.
Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama,
tetapi diantara sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling
simetris antara kanan dan kiri serta paling sedikit mengalami variasi
dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus maksila terutama
tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus.35,36,37 Ukuran rata-rata
pada bayi baru lahir 7 - 8 x 4 – 6 mm dan untuk 15 tahun 31 – 32 x 18
– 20 x 19 – 20 mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu
anteroposteror 34 mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm.
Sinus mempunyai beberapa dinding, anterior dibentuk oleh
permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding
posterior dibentuk oleh permukaan infratemporal maksila. Dinding
medial dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung. Dinding superior
dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus alveolaris
dan palatum.
Kompleks Osteomeatal (KOM)
Kompleks osteomeatal (KOM) daerah yang rumit dan sempit
pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media,
ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus etmoid anterior.
Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan serambi muka bagi sinus
maksila dan frontal memegang peranan penting dalam terjadinya
sinusitis. Pada potongan koronal sinus paranasal terlihat gambaran
suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus
unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel
etmoid anterior dengan astiumnya dan ostium sinus maksila
2.3. Patofisiologi
40,41
Sinus paranasal adalah bagian dari traktus respiratorius yang
Dengan adanya obstruksi, flora normal nasofaringeal dapat
dapat menyebabkan infeksi.
Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang
letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat
bergerak dan lendirnya berhadapan akan saling bertemu, dan lender
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di
dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media
yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan
berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lender, sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista.
2.4. Faktor Predisposisi
1,9,16
Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka
media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga
hidung merupakan factor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu
rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obtruksi ostium sinus
serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk
tumbuhnya bakteri.
Sebagai factor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara
dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada
2.5. Klasifikasi.
Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut
bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu,
sinusitis subakut bila gejala berlangsung 4 sampai 8 minggu
sedangkan kronis berlangsung lebih dari 2 bulan.
Tetapi apabila dilihat dari gejala, maka sinusitis dianggap
sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut. Dikatakan
sinusitis subakut bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik
mukosa sinus masih reversible, misalnya sudah berubah menjadi
jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi yang tepat
ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi
pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.
4,9
Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang
diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. 4,9
2.6 Epidemologi
32
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena
tidak ada batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering
terserang sinusitis dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya
infeksi saluran nafas atas pada dewasa yang berhubungan dengan
2.7. Sinusitis Maksila
Sinus maksila disebut juga antrum High-more merupakan sinus
paranasal yang terbesar.1,9 Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa dan merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena9
1. Merupakan sinus paranasal yang terbesar. :
2. Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret
(drainase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.
3. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila.
4. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi
saluran nafas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan
deviasi septum nasi merupakan factor-faktor predisposisi lokal yang
paling sering ditemukan. Deformitas rahang wajah, terutama
palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini
cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan
angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan ganguan geligi
bertanggung jawab atas sekitar 10 persen infeksi sinus maksilaris
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan
nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasa aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa
nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau
turun tangga11,15,16. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen
dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non
produktif seringkali ada. Selama berlangsungnya sinusitis maksilaris
akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan adanya pus dalam
hidung, biasanya dari meatus media, pus atau sekret mukopurulen
dalam dalam nasofaring.
Signs dan symptoms sinusitis maksilaris kronis kongesti hidung,
sakit tenggorokan (dari postnasal), pada sekitar mata pipi atau dahi
sakit lunak dan bengkak, sakit kepala, demam, penciuman berkurang,
batuk, sakit gigi, susah bernafas, mudah lelah. Hal ini di keluhkan lebih
dari 1 minggu.
11,18
11,12,15,18,19
2.8. Faktor Resiko
Kondisi lain yang menyebabkan berkembangnya obstruksi sinus
- Alergi. Inflamasi yang terjadi bersama alergi mungkin memblok
sinus.
- Deviasi septum nasi. Hal ini akan membatasi atau memblok aliran
sinus, menciptakan lingkungan untuk infeksi.
- Polip nasal. Pertumbuhan jaringan lunak ini mungkin membatasi
aliran nasal, memperlambat drainase dan memudahkan infeksi
berkembang.
- Kondisi sakit yang lain. Penderita cystic fibrosis atau HIV dan
penyakit defisiensi imun.
2.9. Penyebab
Infeksi virus, bakteri atau jamur dari traktus respiratori atas
lokasi lintasan udara pada hidung, faring, sinus-sinus dan tenggorokan
terbasuk infeksi virus yang menyebabkan common cold, dapat
berperan penting menjadi sinusitis. Jika infeksi seperti cold inflames
dan membrane mukosa hidung bengkak,pembengkakan membrane
dapat menyebabkan obtruksi sinus sehingga cairan mukosa tidak
dapat keluar. Karena saluran pembuang tertutup, sehingga tercipta
lingkungan yang mana bakteri dan virus terperangkap pada sinus dan
2.10. Pemeriksaan Diagnostik Sinusitis Maksilaris Kronik
2.10.1. Pemeriksaan
a. Anamnese.
Pemeriksaan pada anamnese didapati keluhan pasien
Kongesti hidung/sumbatan hidung, sekret hidung purulen, sakit
kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah, ganguan
penghidu, sedangkan untuk anak: batuk dan iritabilitas. Kriteria
minor antara lain : demam dan halitosis2,31
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior
serta palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada
daerah sinus yang terkena.
c. Pemeriksaan radiologi 1,30
Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain:
1. Waters
2. PA
3. Lateral.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas
pada resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi
akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah
periodontal. 1
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu
dapat dilihat adanya batas cairan (air fluid level) pada foto
dengan posisi tegak.
CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
29,30
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka
terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada
sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara yang
terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk
pembedahan, memberikan visualisasi yang baik tentang
anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga
sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi
pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan
terlihat jelas.
30
c. Nasoendoskopi 30
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas
pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga
hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab
sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya
kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan
inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor. 9,30
2.10.2. Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan
berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12
minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan
tanda menurut International Consensus on Sinus Disease,
1993 dan 2004.
Kriteria mayor antara lain : Kongesti hidung/sumbatan
hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa
tertekan pada wajah, ganguan penghidu, sedangkan untuk
anak: batuk dan iritabilitas. Kriteria minor antara lain : demam
dan halitosis
31,32
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional study.
3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Sampel diambil pada pasien yang berobat di Departemen THT-KL FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan penelitian dilakukan di
Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan
sejak Juli 2012 sampai dengan September 2012.
3.3. Populasi Dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang di diagnosa sinusitis
maksila kronis yang datang di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H.
Adam Malik Medan.
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah seluruh pasien yang didiagnosa sinusitis
maksila dan yang menjalani pembedahan di Departemen
THT-KL/RSUP H. Adam Malik Medan sejak bulan Juli 2012 sampai dengan
3.4 Perkiraan Besar Sampel
�=��
1− ∝2� ���(1− ��) +�(1− �)���(1− ��
(�� − ��)2 �
Z ( 1- �
2 ) = derivate baku alpha, untuk α = 0,05 1,96
Z (1-β) = derivate baku beta, untuk β= 0,10 1,282
Po = proporsi pasien infeksi nosokomial pathogen = 0.378
Po-Pa = selisih proporsi yang bermakna, ditetapkan sebesar
= 0.30
Pa = perkiraan proporsi I.N.P.O pada saat penelitian = 0,678
Jadi jumlah sampel yang dihitung berdasarkan rumus dia atas:
�= �1,96�0,378(1−0,378) + 1,282�0,678(1−0,678
(0,30)2 �
3.5 Variabel Penelitian
a. Variabel bebas
1. Sekret cavum nasi.
2. Sekret sinus maksila.
b. Variabel tergantung.
Sinusitis maksila kronis
3.5.1. Definisi operasional variable
a. Sinusitis maksila kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung
dan sinus paranasal, yang dapat ditegakkan berdasarkan
riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, serta
sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor. Kriteria mayor antara lain: kongesti hidung
sumbatan hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri
atau rasa tertekan pada wajah, gangguan penghindu. Kriteria
minor antara lain: demam dan halitosis.
Pada penelitian ini diagnosa ditegakkan berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan THT serta pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan radiologi berupa foto polos hidung sinus paranasal
posisi Waters dan later serta pemeriksaan CT Scan Hidung
sinus Paranasal potongan coronal.
b. Pola kuman yang dideteksi / diidentifikasi dari sekret sinus dari
cavum nasi dan secret sinus maksila yang diduga sebagai
c. Pemeriksaan kepekaan kuman terhadap berbagai antibiotik
seperti amoksilin, amoksiclav, kloramfenikol, , kotrimoksazol,
eritromisin, ciprofloksasin, cefadroksil, cefuroksime, cefepime,
cefaclor, erythromycin, norfloxacin, kanamycin dan vancomycin,
3.6. Bahan dan Cara Kerja
3.6.1. Bahan
a. Sampel
Sampel diambil pada 2 lokasi yaitu sekret cavum nasal dan
Sekret sinus maksila yang akan di irigasi.
b. Media transport.
Tujuannya guna mempertahankan pH, mencegah kekeringan
dan mempertahankan agar mikroba pathogen tetap hidup. Jenis
media transport: Swab lidi kapas BD BBLTMCulturTM
c. Pewarnaan gram.
Plus
1. Pemeriksaan pewarnaan gram dilakukan pada spesimen yang
mana untuk mengetahui adanya bakteri atau mikrooganisme
penyebab infeksi dan untuk mengetahui jenis gram positif atau
gram negative.
d. Media kultur.
a. Blood Agar (Agar Darah)
Agar blood biasanya digunakan untuk melihat bakteri
gram positif, dan untuk melihat terjadinya hemolisis pada
beberapa mikroorganisme yang diakibatkan oleh produk enzim
ektraseluler (streptolisin O) yang bereaksi dengan eritrosit dan
bersifat antigenic. Reaksi hemolisis terjadi ketika dilakukan
penggoresan atau penusukan pada media.
Semua bahan dilakukan kedalam aqudest sampai
volume 1,0 liter. Panaskan selama 15 menit sampai mendidih
yaitu suhu 121
C
O C, kemudian diinginkan sampai tunggu sampai
suhunya menjadi 45O – 50O C untuk dilakukan penambahan
darah defebrinasi (darah domba), diaduk rata, tuangkan
kedalam piring petri. Hindari gelembung udara, disimpan
dilemari es 2 – 8OC sebelum digunakan.
(39,40)
b. McConkey Agar
Agar McConkey lebih sering digunakan sebagai media
differensial oleh karena adanya kandungan kristal violet yang
dapat menghambat pertumbuhan coccus Gram positif,
sebaliknya Gram negative tumbuh dengan mudah.
Semua bahan dilarutkan didalam aquadest sampai volume 1
liter, panaskan sampai mendidih pada suhu 121 C
oC selama 15
menit kemudian dituangkan kedalam piring petri didinginkan
pada suhu 2-8oc sebelum digunakan.
c.
20,21
Agar chocolate adalah media non selektif. Merupakan
varian dari agar Blood. Media ini mengandung sel darah merah
yang telah dilisiskan oleh pemanasan secara perlahan lahan
pada suhu 50 C sampai 55 C. Agar Chocolate digunakan
untuk pertumbuhan bakteri saluran pernafasan yang
fastidious,seperti H. Influenzae dan Nesseria.
Agar Chocolate
Komposisi perliter : Komposisi perliter:
Beef heart ... 10,0 g
Agar ... 15,0 g
Tryptose ... 10,0 g
NaCl ... 5,0 g
pH 6,8 ± 0,2 pada suhu 250 C.
e. Mekanisme untuk pemantapan sensitivitas antibiotik
Muller Hilton Agar
Agar muller Hinton digunakan untuk uji kepekaan bakteri
terhadap obat-obatan yang bertujuan untuk mengetahui obat
antimikroba yang dapat digunakan untuk mengatasi infeksi oleh
mikroba tersebut.
Komposisi perliter
Beef extra ……….. 2.0 g
Acid hydrolysate of casein ……….. 17,5 g
Starch ……… 1,5 g
Agar ………. 17,0 g
Larutkan semua bahan dalam aquadest sampai volume 1,0 liter,
panaskan sampai mendidih selama 15 menit, sampai suhu 121OC,
tuangkan kedalam piring petri. Dilanjutkan dengan pemakaian disc.
20,21
f. Tehnik Identifikasi Bakteri
API 20 E
API 20 E (Analytical Profile Index) adalah identifikasi bakteri
berdasarkan pemeriksaan biokimia.
g. Disk Antibiotik
Cotrimoxazole 1,25 / 23,75 µg
0 – 10 11-15 ≥ 16
Erythromycin 15 µg 0 – 14 14-16 ≥ 18
Norfloxacin 10 µg 0 -12 13-16 ≥ 17
3.6.2. Cara Kerja
3.6.2.1. Pengambilan sampel
Semua penderita dianamnesis yang berhubungan dengan
keluhan pasien dan dilakukan pemeriksaan THT rutin dan pemeriksaan
radiologi foto polos sinus paranasal dan CT scan sinus paranasal dan
ditegakkan dengan diagnosa sinusitis maksila kronis. Sebelum
dilakukan tindakan pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan
mengenai tindakan yang akan dilakukan sekaligus membuat informed
consent.
Sampel diambil dari dua tempat yaitu:
1. Sampel diambil pada cavum nasi.
Sebelum dilakukan irigasi sinus sampel diambil dengan
menggunakan swab kapas lidi steril melalui cavum nasal dengan
membuka rongga hidung dengan bantuan alat pemeriksaan THT
speculum hidung dan media transfer yang digunakan dalam
keadaan di tutup rapat.
2. Sampel diambil pada secret sinus maksila. 51
1. Pengambilan sampel dilakukan dikamar operasi.
Teknik ini dilakukan dengan cara bfes dengan menggunakan alat
irigasi sinus (Coacley trocars) mengirigasi sinus dari meatus nasi
inferior. Sekret di dalam sinus maksila dihisap dengan
menggunakan spuit 5 cc steril yang ujungnya disambung selang
Jika tidak didapati secret maka terlebih dahulu dimasukkan 2-4
cc NaCl 0,9% secara aseptik melalui spuit ke sinus maksila dan
kemudian dihisap kembali dengan spuit tersebut.51
3.6.2.2. Pewarnaan gram
Spuit yang
terisi secret tersebut langsung dimasukkan pada swab kapas lidi
dan ditutup rapat dan segera dibawa ke Departemen Patologi
Klinik devisi Penyakit Tropik Infeksi FK USU/RSUP H. Adam
Malik Medan untuk dilakukan pemeriksaan pewarnaan gram,
kultur kuman serta sensitifitasnya terhadap antibiotik.
Setelah sampai di laboratorium, segera dilakukan pemeriksaan
kultur dan diikuti perwarnaan Gram. Pewarnaan Gram sebagai
tindakan antisipasi terhadap representasi dari bahan sampel dan
informasi awal dari mikroorganisme yang ada pada spesimen.
Cara pewarnaan Gram :
1. Buat hapusan diatas kaca objek dengan diameter ± 2 cm.
2. Lakukan fiksasi diatas api bunsen.
3. Tuang Kristal violet datas hapusan menggenangi seluruh media,
diamkan selama 1 menit
5. Buang sisa pewarnaan dan bilas dengan alcohol 96% hingga
warna violet hilang, cuci dengan air.
6. Tuangkan safranin, diamkan selama 30 detik.
7. Bilas dengan air, keringkan diudara dengan meletakkan slid pada
posisi dimiringkan.
8. Baca sediaan dibawah mikroskop, pembesaran 100 X dengan
minyak emersi.20
3.6.2.3. Media kultur
Blood Agar
Cara kerja :
Ambil swab kultur, kemudian lakukan penanaman kuman
dengan melakukan goresan secara zig zag. Kemudian ditutup dan
masukkan kedalam incubator pada suhu 37O
Uji katalase : 1 tetes H
C, dengan posisi tutup
dibawah. Biarkan selama 24 jam. Kemudian apabila koloni tumbuh
akan dilanjutkan dengan pemeriksaan identifikasi dengan uji
katalase.
2O2
Apabila terbentuk gas, berarti bakteri tersebut adalah
Staphylococcus.
20% ditambahkan 1-2 koloni bakteri.
Apabila tidak terbentuk gas, maka :
- Untuk Streptococcus β hemolyticus, pada blood agar tampak
- Untuk Streptococcus α hemolitycus, terbentuk zona hemolisis
parsial, yang berwarna kehijauan.
Untuk Streptococcus γ hemolyticus, tidak terjadi hemolisis pada
eritrosit, sehingga tidak terlihat perubahan pada permukaan koloni.
McConkey Agar
Cara kerja :
Ambil swab kultur, kemudian lakukan penanaman kuman
dengan melakukan penanaman kuman dengan melakukan goresan
secara zig zag. Kemudian ditutup dan masukkan kedalam incubator
pada suhu 37O
C, dengan posisi tutup terbalik. Biarkan selama 24
jam. Jika tumbuh lanjutkan dengan pewarnaan Gram kembali dan
identifikasi dengan API 20 E.
Agar Chocolate
cara kerja :
Ambil swab kultur, kemudian lakukan penanaman kuman dengan
melakukan goresan secara zig zag. Kemudian media dimasukkan
kedalam toples yang berisi lilin yang sedang menyala. Tutup toples
dan biarkan sampai lilin mati. Masukkan toples yang berisi media
Chocolate kedalam inkubator pada suhu 35 C – 37 C. biarkan
Jika terdapat pertumbuhan pada media – media diatas maka
dilakukan pengecatan Gram kembali sebagai identifikasi bakteri.
Katalase dilakukan pada koloni yang tumbuh pada Blood Agar
Mannitor Salt Agar (MSA)
Tes Mannitor Salt Agar (MSA) dilakukan jika hasil uji katalis (+)
didasarkan atas kemampuan staphylococcus aureus untuk
memfermentasi manitol.
MSA positif (+) Staphylococcus aureus dan staphylococcuc
saprophyticus.
Tes Koagulase
Tes koagulase adalah tes untuk menentukan adanya enzim
koagulase yang dihasilkan oleh staphylococcus aureus dan
merupakan suatu tes yang penting dalam mikrobiologi diagnostik.
Tes ini dapat membedakan staphylococcus aureus dari
staphylococcus yang lain dimana staphylococcus aureus
satu-satunya memiliki enzim koagulase.
Tes koagulase positif : staphylococcus aureus.
3.6.2.4. Muller Hilton Agar
Cara kerja :
1. Ambil tiga sampai lima koloni kuman yang tumbuh pada media
(±5 ml), bandingkan suspense dengan standart kekeruhan Mc
Farland 0,5.
2. Suspensi kuman 1 cc disebarkan secara merata pada permukaan
media agar Muller Hinton.
3. Letakkan cakram antibiotik yang dijumpai pada :
Amoxicillin (10 µg), Ampicillin (10 µg), Amicacin(30 µg),
Erythromycin (15 µg), Vancomy (30 µg), Cefepime (5 µg),
Ceftriaxone (30 µg), Cefuroxime (30 µg), Ciprofloxacin (5 µg),
Norfloxacin (10 µg), Cotrimoxazole (1,25/23, 75 µg),
Amoxicillin-clavulanat acid (20/10 µg), Cakram antibiotik diletakkan pada
permukaan agar dengan sedikit penekanan agar melekat dengan
sempurna.
4. Petri dimasukkan dan diletakkan secara terbalik kedalam incubator
37O
Keesokan harinya dibaca zona hambatan pertumbuhan bakteri
berdasarkan criteria NCCLS untuk ditentukan sensitifitasnya. C selamat 24 jam.
3.6.3. Prosedur kerja API 20 E
Cara kerja :
1. Koloni yang tumbuh pada media agar McConkey, dimasukkan
kedalam tabung yang berisi 5 cc NaCl 0,9%.
2. Bandingkan warna dalam tabung tersebut dengan tabung warna
3. Dengan menggunakan pipet, isi semua tabung API 20 E dengan
suspense bakteri hanya pada bagian tabungnya saja (jangan
mengisi penuh mulut tabung), kecuali untuk tes CIT, VP dan GEL
dimana pengisiannya dilakukan sampai penuh mulut tabungnya.
4. Pada uji tes ADH, LDC, ODC, H2
5. Tutup box dengan penutupnya dan inkubasi pada suhu 37 S dan URE, teteskan tabung
tersebut dengan mineral oil.
O
6. Nilai perubahan warna yang terjadi pada API 20 E dengan
menggunakan software API lab plus.
C
selama 24 jam.
3.7. Pemantapan Kualitas
22
Pemantapan kualitas internal dilakukan untuk pewarnaan Gram
pada setiap media kultur yang baru dan kontrol terhadap disc antibiotik
dengan menggunakan stamm kuman yang telah disediakan
1. Pemantapan kualitas pewarnaan
Dilakukan stamm kuman untuk gram positif (berwarna ungu)
yaitu staphylococcus aureus (bentuk koloni coccus kecil
berkelompok tidak teratur dan menyerupai buah anggur) dan untuk
Gram negatif (berwarna merah) yaitu klebsiella pneumoniae dari
sampel secara bersamaan dilakukan pewarnaan atau dilakukan
2. Pemantapan kualitas media kultur
Dimana stamm kuman yang telah diketahui dan sampel ditanam
pada media yang sesuai untuk mengontrol media-media yang baru
dibuat dan mengevaluasi morfologi koloni yang tumbuh. Pemilihan
stamm kuman berdasarkan media yang akan dilakukan terhadap
pemeriksaan tersebut.
1. Kuman Escherichia coli ditanamkan pada agar Mac Conkey
inkubasi 18-24 jam dan dilihat hasilnya.
2. Kuman Staphylococcus aureus ditanamkan pada agar darah dan
diinkubasi selama 18-24 jam dan lihat hasilnya.
3. Kuman Streptococcus pneumoni pada agar coklat
Caranya :
Ambil swab kultur, kemudian lakukan penanaman kuman
dengan melakukan goresan secara zig zag. Kemudian media
dimasukkan kedalam toples yang berisi lilin yang sedang menyala.
Tutup toples dan biarkan sampai lilin mati. Masukkan toples yang
berisi media Chocolate kedalam inkubator pada suhu 35 C – 37
C. biarkan selama 24 jam.
Jika terdapat pertumbuhan pada media – media diatas maka
4. Pemantapan kualitas untuk identifikasi kuman
Dilakukan pemeriksaan sampel dalam satu kali jalan bersamaan
dengan stamm kuman yang telah diketahui. Dimana berdasarkan
hasil pewarnaan yang Gram negative batang dilanjutkan pada API
20 E dan Gram positif coccus dengan pemeriksaan katalase,
koagulase dan MSA. Untuk penetapan kwalitas katalase, koagulase
dan MSA menggunakan Staphylococcus aureus karena
menghasilkan gram positif, sedangkan Escheria coli karena dengan
menghasilkan gram negative.
5. Pemantapan internal untuk disc antibiotic
Setiap penggunaan disc baru pemeriksaan sensitifitas disc
dilakukan pemeriksaan menggunakan stamm kuman yang telah
diketahui sensitifitasnya sehingga disc yang tidak sesuai dengan
sensitifitasnya diganti dengan disc lain yang sejenis dan
memberikan hasil sensitifitas yang sesuai.
Untuk itu menggunakan stamm kuman Escheria coli untuk disc
antibiotik spectrum luas untuk disc antibiotik gram negative dan
untuk stamm kuman staphylococcus aureus disc antibiotik yang
3.8. Kerangka Konsep
Sinusitis Maksila Kronis
- Anamnesa -Pemeriksaan THT - Radiologi
- Foto polos dan atau CT Scan
Sekret Cavum Nasal
Kultur dan Sensitifitas anti
mikroba Kultur dan
Sensitifitas anti mikroba
Sekret Sinus Maksila
Pewarnaan
Gram Pewarnaan
3.9. Kerangka Kerja
BAB 4 Sekret cavum nasal
Kultur
Blood Agar McConkey
Agar
Identifikasi dengan API 20 E, uji katalase, uji MSA dan uji koagulase
Sensitivitas (Muller Hilton Agar)
Pola Kuman & Sensitivitas
Sekret Sinus Maksila
Pasien sinusitis
maksilaris kronis
Kultur
Pola Kuman & Sensitivitas
Gram
Gram
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional study yang di lakukan
pada Departemen Patologi Klinik FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan
periode Juli 2012 sampai dengan Pebruari 2013. Jumlah sampel yang
dikumpulkan berdasarkan statistic sebanyak 23 sampel. Data yang
dikumpulkan disajikan dalam bentuk table.
4.1. Pengelompokan Sampel Berdasarkan Umur
Tabel 4.1.2 Pengelompokan sampel berdasarkan umur dan jenis
kelamin.
Dari Tabel tersebut diatas didapati bahwa jumlah penderita
rinosinusitis maksila kronis terbanyak adalah pada kelompok umur
diatas 40 tahun sebanyak 6 penderita atau sebesar 26,1% diikuti
yang terendah pada kelompok umur <15 tahun sebanyak 1 penderita
atau sebesar 4,3%.
4.2. Pengelompokan Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin.
Gambar 4.2.1 Pengelompokan sampel berdasarkan jenis kelamin.
Dari diagram diatas didapatkan penderita Rinosinusitis Maksila
Kronis terbanyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 12
4.3. Perbandingan Profil kuman Cavum Nasi Dengan Sinus Maksila.
Tabel 4.3.3 Perbandingan profil kuman cavum nasi dengan sinus
Maksila.
CAVUM NASI SINUS MAKSILA
1 L Staphylococcus Saprophyticus TAP
2 L Staphylococcus Epidermidis Staphylococcus Saprophyticus 3 L Staphylococcus Epidermidis TAP
4 P Staphylococcus Epidermidis Streptococcus Viridans 5 L Staphylococcus Epidermidis Providencia Rettgeri 6 P Staphylococcus Epidermidis Staphylococcus Aureus
7 P Escheria Coli Staphylococcus Saprophyticus 8 L Staphylococcus Epidermidis Staphylococcus Aureus
9 L Klebsiella Oxytoca Providencia Rettgeri 10 L Staphylococcus Saprophyticus Streptococcus Pyogenes 11 P Staphylococcus Epidermidis Staphylococcus Aureus 12 L Staphylococcus Epidermidis Staphylococcus Epidermidis 13 P Staphylococcus Saprophyticus Streptococcus Viridans 14 l Staphylococcus Epidermidis Escherichia Coli 15 P Pseudomonas Aeroginosa Staphylococcus Aureus 16 P Staphylococcus Epidermidis Streptococcus Viridans 17 L Staphylococcus Epidermidis TAP
18 P Staphylococcus Epidermidis Streptococcus Viridans 19 P Staphylococcus Saprophyticus Streptococcus Viridans 20 P Staphylococcus Saprophyticus TAP
21 P Staphylococcus Epidermidis Staphylococcus Saprophyticus 22 L Klebsiella Oxytoca Providencia Rettgeri
23 L Staphylococcus Epidermidis Streptococcus Viridans
Dari hasil tabel diatas kuman aerob yang didapat pada setiap pasien
yang diambil dari cavum nasi dan sinus maksila didapati hasil pertumbuh
kuman yang berbeda. Dari hasil penelitian tersebut tidak adanya pola kuman
Gram Positif Gram Negatif
yang sama dari sampel yang dari cavum nasi dan dari sinus maksila pada
penderita rinosinusitis maksila kronis.
4.4. Pertumbuhan Kuman
Gambar 4.4.2 Pertumbuhan kuman
Dari diagram diatas yang didapati pada penelitian ini ada 19
sampel yang tumbuh kuman atau 89% dan 4 sampel atau 11% sampel
yang tidak ada tumbuh kuman pada sampel yang bersal dari sinus
maksila.
4.5. Perbandingan Kuman Gram Positif Dengan Kuman Negatif
Gambar 4.5.3 Perbandingan kuman gram positif dengan kuman gram
Dari diagram diatas didapati dari cavum nasi kuman gram positif
sebanyak 82% lebih banyak dari kuman gram negatif sebanyak 17%. Pada
sinus maksila gram pasitif sebanyak 78% lebih banyak dari kuman gram
negatif sebanyak 21%.
4.6 . Profil Kuman Aerob Pada Hasil Kultur Kuman Penderita
Rinosinusitis Maksila Kronis.
Gambar 4.6.4 Profil kuman aerob pada hasil kultur kuman penderita
rinosinusitis maksila kronis.
Dari gambar diagram diatas dari seluruh kuman yang tumbuh
pada cavum nasi dan sinus maksila adalah Staphylococcus
epidermidis sebanyak 36% dan paling sedikit Streptococcus pyogenes
4.7. Distribusi Kuman Yang Tumbuh Berdasarkan Lokasi Pada Cavum
Nasi Dan Sinus Maksila
Gambar 4.7.5 Distribusi kuman yang tumbuh berdasarkan lokasi
pada cavum nasi dan sinus maksila
Dari diagram diatas, kuman aerob terbanyak pada uji kultur
kuman penderita Rinosinusitis Maksila Kronis pada cavum nasi ada
pertumbuhan kuman yang tidak sama dan juga jumlah yang tidak
sama seperti hasil terlihat pada table kuman Streptococcus pyogenes
tumbuh pada sinus maksila tapi pada cavum nasi tidak ada tumbuh
serta jumlah yg didapat pun berbeda seperti Staphylococcus
epidermidis sebanyak 14 sampel pada cavum nasi tetapi pada sinus
maksila didapati sebanyak 1 kuman. Sedangkan kuman yang
terbanyak pada sinus maksila Streptococcus viridan sebanyak 6
sampel tetapi pada cavum nasi tidak didapati pertumbuhan
4.8. Profil Antibiotik Yang Sensitifitas Kuman Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis.
s Beta Laktam Polipeptida
S
S dan R dinyatakan dalam bentuk persentase (%)
Persentasi tertinggi Anti Biotik yang Sensitif
Dari tabel antibiogram diatas didapati sampel yang berasal dari cavum
nasi bahwa antibiotik yang paling sensitif Amikasin yang masih didapati
bervariasi sensitifnya sebesar 82.6% dan norfloxacin sebesar 86.7%.
Sedangkan yang resisten didapati Amoxicillin, Ampicilin sebesar 100%,
Sulfamethoxazole sebesar 95.3%, Tetraciklin sebesar 93.8% dan
Cloramfenicol sebesar 84.2%.
Sedangkan yang didapati sampel yang berasal dari sinus maksila
bahwa kuman yang antibiotik yang paling sensitif Norfloxacin sebesar 90.9%
serta Amikacin sebesar 88.9%. Sedangkan yang resisten Amoxillin, Ampicilin,
ceftriaxone sebesar 100%, Cefuroxime sebesar 94.7%, Cefotaxime sebesar
89.5%, Sulfamethoxazole sebesar 87.5% dan Cloramfenicol sebesar 83.3%.
Sedangkan untuk kuman yang gram positif dari cavum nasi maupun
dari sinus maksila uji antibiotik yang paling sensitif Vancomicin sebesar
4.9. Pola Resistensi Pada Kedua Spesimen
Tabel 4.9.5 Pola residen pada kedua spesimen
RESISTEN 12 Sulfamethoxazole 95.7% 87.5%
13 Vancomycin 0.0% 0.0%
14 Cyprofloxacin 35.0% 0.0% 15 Norfloxacin 13.3% 9.1% 16 Chloramfenicol 84.2% 83.3%
Dari tabel resistensi antibiotik diatas dapat dilihat perbandingan
dari kedua sampel yang berasal dari cavum nasi dan sinus maksila
didapati antibiotik Amoxicillin dan Ampicilin sebesar 100% sama
resistensinya, Sulfamethoxazole sebesar 95.7% dari cavum nasi
mendekati dengan senus maksila sebesar 87.5%