• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Sembukan (Paederia foetida L) Terhadap Tikus Putih Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Sembukan (Paederia foetida L) Terhadap Tikus Putih Jantan"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Lampiran 3. Gambar Tumbuhan Daun Sembukan

(4)

Lampiran 4.Simplisiadan Serbuk Simplisia DaunSembukan

(5)

Lampiran 5. Hasil Mikroskopik Daun Sembukan

Gambar Mikroskopik daun segar dan simplisia daun sembukan perbesaran 10 x 40

Keterangan:

1. Rambutpenutupbentukbintang 2. Stomata tipeparasitik

3. Kristal kalsiumoksalatbentukjarum

1

2

(6)

Lampiran 6. Perhitungan Hasil Karakteristik Simplisia Daun Sembukan 1. PerhitunganPenetapan Kadar Air Simplisia

a. Sampel 1

2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air Kadar air =volume air (mL)

berat sampel (g)

x

100%

Kadar sari larut air

=

berat sari

berat simplisia

x

100

(7)

Lampiran 6. (lanjutan)

3. Kadar sari larutair III

Berat sampel = 5,021 g

Kadar sarilarut air rata-rata=13,28% +11,06%+12,17%

3 = 12,17 %

3. PerhitunganPenetapan Kadar Sari LarutdalamEtanol

a. Kadar sari yang larut dalam etanol I

Berat sampel = 5,002 g

Berat sari = 0,357 g

Kadar sari yang larutdalametanol = 0,57

5,002 x 100

20 x 100%

= 35,68% b. Kadar sari yang larutdalametanol II

Berat sampel = 5,010 g

Berat sari = 0,435 g

Kadar sariyang larutdalametanol = 0,435

5,010x 100

20 x 100%

= 43,41 % Kadar sari larut etanol

=

berat sari

berat simplisia

x

100

(8)

Lampiran 6. (lanjutan)

c. Kadar sari larut dalam etanol III

Beratsampel = 5,008 g

Berat sari = 0,374 g

Kadar sari yang larutdalametanol = 0,374

5,008x 100

20x 100%

= 37,34 %

Kadar sari yang larutdalametanol rata – rata = 35,68%+43,41%+37,34%

3 = 38,81%

4. PerhitunganPenetapan Kadar Abu Total

a. Sampel I

Berat sampel = 2,001 g

Berat abu = 0,194 g

Kadar abu = 0,194 g

2,001 gx 100% = 9,69 %

b. Sampel II

Berat sampel = 2,005 g

Berat abu = 0,149 g

Kadar abu = 0,149 g

2,005 gx 100% = 7,43 %

c. Sampel II

Kadar abu total = berat abu

(9)

Lampiran 6. (lanjutan)

Kadar abu total rata-rata = ����� ���� (������ �+������ ��+������ ���)

3

= 9,69 %+7,43 %+4,74 %

3 = 7,28 %

5. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

a. Sampel I

Kadar abutidaklarutasam = Berat abu

(10)

Lampiran 7.Bagan Alur Uji Pendahuluan

Dibersihkan dari pengotor Dicuci dibawah air mengalir hinggabersih, tiriskan Ditimbang berat basah Dikeringkandalamlemari pengering

Ditimbangberatnya Dihaluskanmenjadiserbuk dengan blender

Ditimbangserbuknya Daun Sembukan segar

Simplisia Daun Sembukan

Serbuk Simplisia

Karakterisasi Simplisia Skrining Fitokimia

Pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan penetapan :

1. Kadar air

2. Kadar sari larut air

Pemeriksaan :

1. Glikosida 2. Saponin

(11)

Lampiran 8.Bagan Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sembukan

Dimasukkan kedalam sebuah bejana

Ditambahkan pelarut etanol 96% sebanyak 75 bagian

Direndam selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambal sering diaduk

Disaring dengan kertas saring

Dicuci ampas dengan etanol 96 %

Disaring dengan kertas saring hingga diperoleh 100 bagian

Dipindahkan kedalam bejana tertutup

Dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari

Cahaya selama 2 hari

Dienap tuangkan atau saring

Dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 400 C dan dikeringkan dengan hairdryer

Maserat I Ampas

Serbuk simplisia Daun sembukan

Ekstrak kental

Maserat II

(12)

Lampiran 9. Bagan Kerja Antiinflamasi

Dipuasakanselama ± 18 jam,tetap

diberiminum

Dibagilimakelompokdanmasing-masingdiberiperlakuansecaraperoral

30 menitkemudianmasing-masing kaki tikusdarisetiapkelompokdiinduksidengan 0,1 ml karagenan 1% secara intraplantar

Diukur volume kaki

tikusdenganmencelupkan kaki tikussampaibatas yang

yangtelahditandaipadamata kaki kedalamalatpletismometer

Diukurpenambahan volume kaki tikusdengancara yang

samapadapengukuran kaki tikusmula-mula

HewanUji (tikus)

D II

Volume telapak kaki tikusmula-mula D I

(13)

D II : dosis 400 mg/kg bb D III : dosis 500 mg/kg bb

Lampiran 10. Alat Pletismometer

(14)
(15)

Lampiran 12. Telapak Kaki Tikus

Gambar Kaki tikus sebelum diinduksi λ-karagenan

(16)

Lampiran 13. Contoh Perhitungan Dosis

Tabel. Konversi Dosis Antara Jenis Hewan Dengan Manusia (Suhardjono, 1995) Mencit

- Dosis suspense ekstraketanol daun sembukan yang akandibuatadalah 300

mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 500 mg/kg bb. Berartidosis 300 mg, 400 mg dan

500 mg tersebutdiberikanuntukhewandengan 1 kg beratbadan. Karena 1

100 x 1 kg

= 1

100 x 1000 g = 10 mL. Maka tiap dosis dilarutkan dalam 10,0 ml suspensi Na-CMC.

- Volume suspensi ekstrak etanol daun sembukan yang diberikan kepada tikus

(17)

- Dosis maksimum untuk manusia dewasa = 25 – 50 mg

- Konversi dosis manusia (70 kg) kedosis hewan uji tikus dikali 0,018

Pemberianlarutannatriumdiklofenak

Konversidosisuntuktikus = 50 mg x 0,018 = 0,90 mg

Maka dosis natrium diklofenak yang digunakan adalah 0,90 mg untuk tikus 200

g, sehingga dosis dalam mg/kg bb adalah :

0,90 mg

200 g =

x 1 kg

x = 0,90 mg

200 g x 1000 g

x = 4,5 mg/kg bb

- Volume pemberian 1% dari bb tikus

Misal bb tikus = 200 g

Maka volume suspense natrium diklofenak yang diberikan 1

(18)

Lampiran 14.Contoh Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang

1. Persen Radang

dimana: Vt = volume radang setelah waktu t Vo = volume awal kaki tikus

Misalnya: Ekstrak daun sembukan dosis 300 mg/kg bb pada menit ke-30

Diketahui : Vt = 04,59

Vo = 03,52

Persen Radang (%R)

=

04,59 - 03,52

03,52

x

100 = 30,39 %

2. Persen Inhibisi Radang

Dimana : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok perlakuan yang mendapat bahan uji atau obat pembanding

Misalnya, diketahui a = 54,20 %, b = 20,60 %

Persen Inhibisi Radang (%IR)

=

54,20 - 20,60

20,60

x

100% = 61,48 %

Persen Radang (%R)

=

Vt-Vo

Vo

x

100%

Persen Inhibisi Radang (%IR)

=

a-b

(19)

Lampiran 15.Tabel Data Penelitian

Jumlah Hewan

Uji

Perlakuan

Volume Telapak Kaki Tikus

(20)

Lampiran 15. (lanjutan)

1

EEDS 500 mg/kg BB

03.27 03.71 03.83 03.90 03.99 04.25 04.28 04.19 04.18 04.10 04.10 04.00 03.90 2 02.89 03.34 03.45 03.56 03.66 03.79 03.80 03.72 03.65 03.51 03.51 03.40 03.34

3 03.93 04.35 04.51 04.68 04.80 04.90 04.92 04.80 04.75 04.70 04.70 04.52 04.46

4 03.60 04.10 04.26 04.46 04.68 04.79 04.78 04.60 04.62 04.51 04.51 04.37 04.15

(21)
(22)

Lampiran 16. (lanjutan)

1

EEDS 400 mg/kg BB

13.90 19.02 18.78 17.56 19.51 21.46 21.95 24.39 19.51 17.07 16.58 13.41

2 15.78 17.29 20.80 20.80 21.55 26.31 29.07 30.22 21.55 19.04 17.57 12.78

3 23.33 25.75 30.60 37.57 36.96 40.60 43.63 45.45 36.96 33.93 30.30 24.24

4 16.28 21.82 28.66 39.08 42.67 44.95 48.20 49.83 42.67 38.43 38.43 31.92

5 18.07 15.06 26.50 33.13 36.14 37.05 37.95 40.66 36.14 32.52 30.12 23.49

Rata – rata 17.57 19.78 25.06 29.62 31.36 34.07 36.16 38.13 31.36 28.20 26.60 21.11 SD ± 03.59 ± 04.14 ± 04.51 ± 04.80 ± 06.93 ± 07.73 ± 09.85 ± 09.86 ± 09.53 ± 10.23 ± 26.60 ± 21.16

1

EEDS 500 mg/kg BB

13.45 17.12 19.26 22.01 29.96 30.88 28.13 27.82 25.38 19.26 22.32 19.26

2 15.57 19.37 23.18 26.64 31.14 31.48 28.71 26.29 21.45 23.18 17.64 15.57

3 10.68 14.79 19.08 22.13 24.68 25.19 22.13 20.86 19.59 19.08 15.01 13.48

4 13.88 18.33 23.88 30.04 33.05 32.77 27.77 28.33 25.27 23.88 21.38 15.27

5 11.80 17.33 20.60 25.87 29.89 30.65 28.14 24.37 20.60 20.60 18.09 16.33

Rata – rata 13.07 17.36 21.20 25.33 29.74 30.19 26.97 25.53 22.45 21.20 18.88 15.98

(23)

Lampiran 17. Tabel Data Persen Inhibisi Radang

Jumlah

Hewan Uji Perlakuan

(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)

Lampiran 20. Hasil Uji Duncan

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Menit ke-60

(32)

Lampiran 20. (lanjutan)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

(33)

Lampiran 20. (lanjutan)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Menit ke-180

(34)

Lampiran 20. (lanjutan)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Menit ke-240

(35)

Lampiran 20. (lanjutan)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Menit ke-300

(36)

Lampiran 20. (lanjutan)

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Abriyanto.(2012). Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Daun Sembukan (Paederia foetida L).Jurnal Farmasi Indonesia: vol.09 (3).

Anief, M. (1995). Ilmu Meracik Obat, Teori Dan Praktik. Cetakan V. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 107.

Carlo, D,C., Mascolo, N., dan Izzo, A.A. (1999). Flavonoid: Old and New Aspects of A Class of Natural Therapeutic Drugs. Life Sciences. 65 (4): 337-353.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 33.

Depkes RI. (1986). Sediaan Galenika. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Halaman 8-11.

Depkes RI. (1995).Farmakope Indonesia.Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 7.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 297-326,300-304,306.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Halaman 10-11.

Depkes RI. (2001). Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Halaman 255.

Dorlan, W.A.N. (200). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi XXXIX. Jakarta: EGC. Halaman 68.

Farnsworth, N.R. (1966). Biologycal and Phytochemical Screening of Plants.Journal of pharmaceutical science.Volume 55. Halaman 262-264

Fitriyani, A., Winarti, L., Muslichah, S., dan Nuri.(2011). Uji Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) Pada Tikus Putih.Majalah Obat Tradisional. 16(1): 35.

Ganiswarna, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: UI Press. Halaman 208-209.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Bandung: Penerbit ITB Bandung. Halaman 4-7.

Hariana, A. (2011). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.Cetakan Ke-4.Jakarta

(38)

Juheini, F.W., Mariana, Y., dan Rusmawan, I. (1990). Efek Antiinflamasi Jahe

(Zingiber officinale. Rosc) Terhadap Radang Buatan Pada Tikus

Putih.Majalah Farmakologi dan Terapi Indonesia. 7 (1): 9-13.

Katzung, B.G. (2006). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. Halaman 573.

Kusumaningsih, H. (2012). Uji Efek Antiinflamasi Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Daun Sembukan pada Tikus Putih.Jurnal farmasi Indonesia.10(1), Februari 2012.Halaman 2.

Linnon, B.L. (2009). Skrining Fitokimia Dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Terhadap Radang Pada Tikus.Skripsi. Jurusan Farmasi. USU. Medan. Halaman 53-55.

Mangoting, D., Imang, I., dan Said A. (2005).Tanaman Lalap Berkhasiat

Obat.Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 21.

Mansjoer, S. (2003).Mekanisme Obat Anti Radang.Media Farmasi Indonesia. 7(1): 35-36.

Mutschler, E. (1999). Dinamika Obat: Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi. Penerjemah: Mathilda Widianto dan Anna Setiadi Rianti. Edisi Ke V. Cetakan Ke III. Bandung : Penerbit ITB. Halaman 194, 208.

Nugroho, A.E. (2012). Farmakologi Obat-obat Penting Dalam Pembelajaran Ilmu

Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 175,

179.

Parmar dan Prakash.(2006). Sceening Methods in Pharmacology. Ahmedabab: Alpha Science International Ltd. Halaman 213-214.

Price, S.A., dan Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Editor Huriawati Hartono, Natalia Susi, Pita Wulansari, Dewi

Asih Maha Nani. Edisi Keenam. Jakarta: EGC. Halaman 57-58.

Robbins, S.L., Kumar, V., dan Cotran, R.S. (2007). Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC. Halaman 35-37, 50-53.

(39)

Solikin, (2007). Potensi Jenis-jenis Herba Liar di Kebun Raya Purwodadi Sebagai Obat, Proseding: Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS, 21 Februari 2007, Pasuruan. Halaman 4.

Soenarto.(2007). Inflamasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Editor: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K dan Siti Setiati. Jakarta: Interna Publishing. Halaman 2414.

Suhardjono.(1995). Percobaan Hewan Laboratorium. Yogyakarta: UGM Press. Halaman 207.

Sularkar, A.A. (2008). In-Vivo Animal Models for Evaluation of Antiinlfamatory Activity.Article Review. 6(2):7.

Tjay, H.T., dan Rahardja, K. (2013). Obat-obat Penting (Khasiat, Penggunaan

dan Efek-efek Samping).Edisi ke VI. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Halaman 327-330.

Trubus.(2013). 100 Plus Herbal Indonesia.Volum 11. Jakarta: PT. Niaga

Swadaya. Halaman: 182.

Vogel, H. (2008). Drug Discovery and Evaluation. Third Completely Revised Update and Enlarged Edition. Heidelberg: Springer. Halaman 1103-1104.

Wilmana, P.F., dan Gan, S. (2007). Analgesik-Antipiretik, Analgesik Antiinflamasi

non Steroid dan Obat Pirai. Dalam Editor: Sulistia Gan Ganiswara.

Farmakologi dan Terapi. Edisi Ke V. Jakarta: UI Press. Halaman 240.

Winarno, F.G. (1990). Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Cetakan I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 73.

Winter, C.A., Risley, E.A., dan Nuss, G.W. (1962). Carrageenin-Induced Oedema In The Hind Paw of Rat as an Assay to Inflamatory Drugs. Proc Soc Exp

Biol Med. 111 : 544-547.

World Health Organization (WHO).(1998). Quality Control Methods For

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini meliputi penyiapan daun sembukan, identifikasi daun

sembukan, pembuatan simplisia, pemeriksaan karakterisasi simplisia, pemeriksaan

skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol daun sembukan dengan cara

maserasi, penyiapan hewan percobaan dan pengujian efek antiinflamasi dengan

metode paw edem. Data hasil penelitian dianalisis dengan one way ANOVA

(Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat

perbedaan nyata antar peelakuan menggunakan program SPSS (Statistic Product

and Service Solution) versi 17.0. Penelitian dilkukan di Laboratorium

Farmakognosi dan Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara.

3.1 Alat-alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi lemari pengering,

blender (Panasonic), oven (Dynamica), pletismometer (Ugo Basile cat No. 7140),

neraca listrik (Vibra AJ), neraca hewan (GW-1500), mikroskop (Olympus),

(41)

diklofenak, karboksilmetilsellulosa (Na-CMC), λ-karagenan, larutan fisiologis

NaCl 0,9%, air suling, etanol 96%.

3.2 Penyiapan Sampel 3.2.1 Pengumpulansampel

Pengumpulan daun sembukandilakukan secara purposif yaitu tanpa

membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Daun sembukan

yang digunakan adalah daun sembukan yang masih segar.Daun sembukan diambil

dari Dusun Cinta Makmur, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu,

Sumatera Utara.

3.2.2 Identifikasi sampel

Identifikasi daun sembukan dilakukan Herbarium Bogoriense Bidang

Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor. Tumbuhan yang diidentifikasi adalah

bagian daunnya. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 49.

3.2.3 Pembuatan simplisia daun sembukan

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun sembukanyang

masih segar. Daun sembukan yang telah dikumpulkan dibersihkan dari pengotor,

lalu dicuci dibawah air mengalir hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang.

Daun sembukan dikeringkan di lemari pengering sampai daun kering (ditandai bila

diremas rapuh).Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk, lalu

ditimbang beratnya dan di simpan dalam wadah tertutup.

3.2.4 Pembuatan ekstrak etanol daun sembukan (EEDS)

(42)

Menurut Farmakope Indonesia edisi III, (1979) caranya adalah sebagai berikut:

Sebanyak 10 bagian (500g) serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah

bejana, dituangi dengan 75 bagian (3,75 liter) cairan penyari (etanol 96%), ditutup,

dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sesekali diaduk, kemudian

diserkai, diperas. Ampas diremaserasi dengan cairan penyari (etanol 96%)

secukupnya hingga diperoleh 5 liter (100 bagian). Pindahkan ke bejana tertutup,

dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan atau

saring. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporatorpada suhu

400C. Bagan alur pembuatan ekstrak etanol daun sembukan dapat dilihat pada

Lampiran 8 halaman 59.

3.3Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia Daun Sembukan

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi makroskopik, mikroskopik,

penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut

etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut asam.

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran,

diameter dan organoleptis dari daun sembukan segar dan simplisia daun

sembukan.

(43)

Pemeriksaan mikroskopik pada serbuk simplisia daun sembukan ditaburkan di atas

kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca

penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat

dilihat pada Lampiran 5 halaman 53.

3.3.3 Penetapan kadar air

Alat terdiri dari labu alas bulat 500 mL, pendingin, tabung penyambung,

tabung penerima 5 mL berskala 0,05 mL, alat penampung dan pemanas listrik.

Cara kerja :

1. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 mL toluen dan 2 mL air suling dimasukkan ke dalam labu alas

bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam.

Toluen dibiarkanmendingin selama 30 menit dan dibaca volum air pada tabung

penerima dengan ketelitin 0,05 mL (WHO, 1998).

2. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke

dalam labu yang berisi toluen yang telah dijenuhkan, kemudian labu dipanaskan

hati-hati selama 15 menit.Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes

tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan

dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik.Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam

pendingin dibilas dengan toluen.Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian

tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena

memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua

(44)

yang diperiksa.Kadar air dihitung dalam persen(WHO, 1998). Perhitungan kadar

air dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 54.

3.3.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL

air-klorofom ( 2,5 mL air-klorofom dalam air suling sampai 1 liter) dan labu bersumbat

dikocok sesekali sampai 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam,

kemudian disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam

cawan peguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa

dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap. Kadar sari larut etanol dihitung

dalam persen (Depkes, RI., 2000). Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat

dilihat pada Lampiran 6 halaman 54.

3.3.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL

etanol 96% dan labu bersumbat dikocok sesekali sampai 6 jam pertama, kemudian

dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama

diuapkan sampai kering dalam cawan peguap yang berdasar rata yang telah

dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap.

Kadar sari larut etanol dihitung dalam persen (Depkes RI, 2000). Perhitungan

kadar sari larut etanol dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 55.

(45)

abu total dihitung dalam persen (Depkes, RI., 2000). Perhitungan kadar abu total

dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 56.

3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu didihkan dalam 25 mL

asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu lalu dipijar sampai bobot

tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang . Kadar abu yang tidak larut dalam

asam dihitung dalam bentuk persen (Depkes, RI., 2000). Perhitungan kadar abu

tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 57.

3.4 Skrining Fitokimia 3.4.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 mL

asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2

menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

a. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Mayer akan

terbentuk endapan berwarna putih atau kuning.

b. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Bouchardat akan

terbentuk endapan berwarna coklat-hitam.

c. filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan pereksi Dragendorff akan

terbentuk endapan berwarna merah atau jingga.

Alkaloida dinyatakan positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua

(46)

3.4.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 10 mL air suling, dididihkan

selama 5 menit dan disaring dalam keaadaan panas. Filtrat yang diperoleh diambil

5 mL, ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium, 1 mL asam klorida pekat dan 2 mL

amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna

merah kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1996)

3.4.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 mL air suling, disaring lalu

filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 mL

larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna

biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1996).

3.4.4 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 mL

campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya

ditambahkan 10 mL HCl 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring.

Pada 30 mL filtrat ditambahkan 25 mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4

M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali,

tiap kali dengan 20 mL campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian volume

isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes

(47)

3.4.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10

mL air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik,

timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm.

Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan

adanya saponin (Depkes, RI., 1995).

3.4.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 mLn-heksan selama 2 jam, lalu

disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap

ditambahkan 2 tetes asam asetat glasial dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbulnya

warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah,

merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid(Harborne, 1987).

3.5 Uji Efek Antiinflamasi

Pengujian efek antiinflamasi ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu

penyiapan hewan percobaan, penyiapan bahan, dan pengujian efek antiinflamasi.

3.5.1 Pembuatan suspensi Na CMC 0,5 %

Sebanyak 500 mg Na CMC ditaburkan kedalam lumpang berisi air suling

panas sebanyak 10 mL, ditutup dan dibiarkan selama 15 menit, kemudian digerus

hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diencekan dengan air suling

(48)

3.5.2 Pembuatan suspensi natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb

Sebanyak 4,5 mg serbuk natrium diklofenak digerus, kemudian ditambahkan

sedikit suspensi Na-CMC 0,5% digerus sampai homogen, dimasukkan ke dalam

labu tentukur 10 mL, dicukupkan sampai garis tanda dengan suspensi Na-CMC

0,5%.

3.5.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun sembukan (EEDS) dosis 300 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 500 mg/kg bb

Ditimbang masing-masing 300 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 500 mg/kg bb

ekstrak etanol daun sembukan, kemudian dimasukkan ke dalam lumpang

ditambahkan sedikit suspensi Na-CMC digerus sampai homogen. Dimasukkan ke

dalam labu tentukur 10 mL, dicukupkan sampai garis tanda. Perhitungan dosis

ekstrak etanol daun sembukan dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 64.

3.5.4 Pembuatan larutan λ-karagenan 1%

Ditimbang sebanyak 100 mg λ-karagenan, digerus sampai homogen dengan

larutan NaCl 0,9%, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 10 mL,

dicukupkan dengan larutan NaCl 0,9% sampai garis tanda. Diinkubasi pada suhu

370C selama 24 jam (Linnon, 2009).

3.5.5Pembuatan larutan reservoir

Sebanyak 2 mL campuran senyawa pembasah (Ornano Imbente BBC. 97)

yang telah tersedia dalam kemasan standar dimasukkan ke dalam labu tentukur 1

(49)

3.5.6Penyiapan hewan percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan yang

sehat sebanyak 25 ekor dengan berat badan 150-200 g. Sebelum pengujian terlebih

dahulu tikus dikondisikan selama 1 minggu dalam kandang yang baik untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hewan yang digunakan pada penelitian

ini telah disetujui penggunaanya oleh Ketua Komite Etik Penelitian Hewan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas Sumatera Utara

(Animal Research Ethics Commitees / EREC). Rekomendasi persetujuan dapat

dilihat pada Lampiran 2 halaman 50.

3.5.7 Pengujian efek antiinflamasi

Sebelum pengujian tikus dipuasakan selama 18 jam (tidak makan tetapi

masih tetap diberi minum). Hewan dikelompokkan kedalam 5 kelompok, yang

masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol negatif

(suspensi Na-CMC), kelompok kontrol positif (Natrium diklofenak), kelompok

bahan uji ekstrak etanol daun sembukan (dosis 300, 400 dan 500 mg/kg bb).

Pada hari pengujian masing-masing tikus diberi tanda pada bagian ekor dan

pada kaki kanan tikus lalu hewan ditimbang beratnya. Kemudian kaki kanan tikus

dimasukkan ke dalam sel yang berisi cairan khusus yang ada pada alat

pletismometer sampai cairan naik pada garis batas atas, kemudian pedal ditahan,

dicatat angka pada monitor sebagai volume awal (Vo) yaitu volume kaki sebelum

diberi obat dan diinduksi larutan λ- karagenan. Setelah itu masing-masing tikus

diberi suspensi bahan uji secara oral sesuai dengan kelompoknya. Satu jam

kemudian, masing-masing telapak kaki tikus disuntik secara intraplantar dengan

(50)

cara mencelupkan kaki tikus pada sel pletismometer yang berisi cairan khusus

sampai larutan mencapai garis batas atas, dan pedal dithan. Dicatat angkapada

monitor. Perubahan volume cairan yang terjadi dicatat sebagai volume telapak

kaki tikus (Vt). Pengukuran dilakukan setiap 30 menit selama 360 menit. Dan tiap

kali pengukuran larutan sel tetap dicukupkan sampai garis tanda atau garis merah

bagian atas sel dan pada menu utama ditekan tombol nol dan juga kaki tikus

dikeringkan sebelumnya (Parmar dan Prakash, 2006).

Volume radang adalah selisih volume telapak kaki tikus setelah dan sebelum

disuntikkan λ-karagenan. Pada waktu pengukuran, volume cairan pada sel

pletismometer sama setiap kali pengukuran dan tanda batas pada kaki tikus harus

jelas, kaki tikus harus tercelup sampai batas yang dibuat (Juheini, dkk., 1990).

Bagan kerja uji antiinflamasi dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 60.

3.6 Rumus Perhitungan Persentase Radang (% R) dan Persentase Inhibisi Radang (% IR)

3.6.1 Persen radang (% R)

%� =�� − ��

�� � 100%

Keterangan:

Vo = volume mula-mula

Vt = volume udem kaki pada waktu t

(51)

Contoh perhitungan persentase radang dapat dilihat pada Lampiran 16 halaman 69

dan persentase inhibisi radang dapat dilihat pada Lampiran 17 halaman 71.

3.7 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis secara ststistik menggunakan analisis

variansi (ANOVA) dengan program SPSS dengan tingkat kepercayaan 95%

dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui kelompok mana yang

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang

Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, menyebutkan bahwa tanaman yang

digunakan adalah tanaman daun sembukan Paederia foetida L, famili Rubiaceae.

hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 49.

4.2 Hasil Karakteristik Simplisia 4.2.1 Hasil pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik dari daun sembukan segar menunjukkan

bahwa daun sembukan memmiliki warna hijau, berbau kentut bila di remas,

panjang 9-12 cm, lebar 3-4 cm. Pemeriksaan makroskopik serbuk simplisia daun

sembukan dilakukan dengan melihat organoleptis simplisia berupa pemeriksaan

terhadap bau, rasa, warna dari serbuk simplisia daun sembukan. Hasil pemeriksaan

menunjukkan bahwa simplisia daun sembukan berwarna coklat kehitaman, rasa

pahit dan berbau khas.

4.2.2 Hasil pemeriksaan mikroskopik

Hasil pemeriksaan mikroskopik dari daun segar dan serbuk simplisia daun

(53)

4.2.3 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia

Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar

abu total dan kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 4.1Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia daun sembukan

Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau

rentang besarnya kandungan air didalam bahan (Depkes, RI., 2000). Kelebihan air

dalam simplisia menyebabkan pertumbuhan mikroba, jamur atau serangga, serta

mendorong kerusakan bahan aktif (WHO, 1998). Hasil penetapan kadar air yang

diperoleh lebih kecil dari 10% yaitu 4,98%. Hal ini baik karena kelebihan air

dalam simplisia akan mendorong pertumbuhan mikroba dan jamur.

Kadar sari larut air simplisia daun sembukan 12,17% dan kadar sari larut

etanol simplisia daun sembukan 38,81%. Penetapan kadar sari larut air untuk

mengetahui senyawa-senyawa yang dapat larut dalam air. Senyawa-senyawa yng

dapat larut dalam air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan

asam organik. Penetapan kadar sari larut etanol untuk mengetahui kadar sari yang

larut dalam pelarut polar. Senyawa-senyawa yang dapat larut dalam etanol adalah

glikosida, antarkinon, steroid terikat, klorofil, dan dalam jumlah sedikit yang larut

yaitu lemak dan saponin (Depkes, RI., 1986).

Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral

internal (abu fisiologi) dan eksternal (abu non-fisiologi) yang (Depkes, RI., 2000).

No Parameter Hasil (%)

1 Kadar air 4,98

2 Kadar sari larut dalam air 12,17

3 Kadar sari larut dalam etanol 38,81

4 Kadar abu total 7,28

(54)

Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususunya pasir

yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida

(WHO, 1998). Penetapan kadar abu pada simplisia daun sembukan menunjukkan

kadar abu total 7,28% dan kadar abu tidak larut asam 0,32%.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun sembukan

dilakukan untuk manunjukkan golongan senyawa metabolit sekunder yang

terdapat didalamnya. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap simplisia dan

ekstrak etanol daun sembukan adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid,

flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan

skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun sembukan dapat dilihat

pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol daun sembukan

No Skrining Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid - -

2 Flavonoid + +

3 Glikosida + +

4 Saponin + +

5 Tanin + +

6 Steroid/triterpenoid + +

(55)

Golongan flavonoid memberikan hasil yang positif ditandai dengan

penambahan serbuk magnesium dengan HCl pekat menjadi warna kuning atau

jingga. Uji identifikasi tanin menunjukkan hasil positif dengan penambahan

pereaksi FeCl3 1% terjadi warna biru kehitaman (Farnsworth, 1996). Adanya

glikosida ditandai dengan terbentuknya cincin ungu dengan pereaksi Molish. Pada

uji identifikasi saponin memberikan hasil positif dengan terbentuknya busa setelah

dikocok kuat-kuat selama 10 menit dan dengan penambahan 1 tetes HCl 2 N

buih/busa tidak hilang (Depkes, RI., 1995). Steroid/triterpenoid memberikan hasil

positif dengan terbentuknya warna hijau biru setelah ditambahkan pereaksi

Liebermann-Burchard (Harbone, 1987).

4.4 Hasil Pengujian Efek Antiinflamasi

Tikus uji dikelompokkan dalam 5 kelompok perlakuan, masing-masing

kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yaitu kelompok kontrol yang diberikan suspensi

Na-CMC 0,5%, kelompok uji dengan 3 variasi dosis perlakuan suspensi EEDS

dosis 300 mg/kg bb, suspensi EEDS dosis 400 mg/kg bb, dan suspensi EEDS dosis

500 mg/kg bb dan kelompok pembanding yang diberikan natrium diklofenak dosis

4,5 mg/kg bb.

Tikus terlebih dahulu dipuasakan ±18 jam, kemudian tikus ditimbang

diberi tanda pada bagian ekor dan pergelangan kaki kanan tikus. Sebelum

masing-masing kelompok diberikan ekstrak etanol daun sembukan, volume kaki

tikusdiukur terlebih dahulu sebagai volume awal (Vo). Setelah itu masing-masing

kelompok diberikan ekstrak etanol daun sembukan yaitu kelompok I diberikan

(56)

mg/kg bb, III dan IV dan kelompok V masing-masing diberi suspensi EEDS dosis

300, 400, 500 mg/kg bb secara oral. Satu jam kemudian, masing-masing telapak

kaki tikus disuntikan secara intraplantar dengan 0,1 mL larutan λ-karagenan 1%.

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat pletismometer dengn prinsip

pengukuran berdasarkan hukum Archhimedes, Setelah 30 menit, pengukuran

dilakukan dengan cara mencelupkan kaki tikus ke dalam sel pletismometer yang

berisi cairan khusus sampai larutan mencapai garis batas atas, dan pedal ditahan.

Dicatat angka pada monitor. Perubahan volume cairan yang terjadi dicatat sebagai

volume telapak kaki tikus (Vt). Pengukuran dilakukan setiap 30 menit selama 360

menit. Hasil pengukuran volume telapak kaki tikus dapat dilihat pada Lampiran 15

halaman 67 .

Perubahan volume kaki tikus, dapat dihitung persen radang pada kaki tikus.

Selanjutnya, dibuat grafik perubahan persen radang rata- rata kaki tikus.

Kelompok persen radang pada kaki tikus yang lebih kecil dari kelompok kontrol

menunjukkan bahwa bahan uji mampu menekan radang yang disebabkan oleh

karagenan. Hasil pengukuran persen radang yang terjadi dapat dilihat pada

(57)

Gambar 4.1 Grafik persen radang rata-rata telapak kaki tikus tiap waktu pengamatan

Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa suspensi natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb

memiliki persen radang yang lebih kecil dari pada EEDS dosis 500, 400, dan 300

mg/kg bb, dan EEDS dosis 500 mg/kg bb mempunyai persen radang yang lebih

kecil daripada EEDS dosis 400 dan 300 mg/kg bb. Data persen radang dapat

dilihat pada Lampiran 16 halaman 69.

Pembentukan radang oleh karagenan menghasilkan peradangan akut, dan

tidak menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun radang dapat bertahan selama

360 menit dan berangsur-angsur berkurang selama satu hari.Karagenan sebagai

penyebab radang dapat dipengaruhi oleh obat antiradang. Responnya terhadap obat

antiinflamasi lebih peka dibandingkan dengan iritan lainnya (Juheini, dkk., 1990).

Persentase radang kaki tikus yang lebih kecil dari kontrol menunjukkan

bahwa suspensi natrium diklofenak dan suspensi EEDS mampu menghambat

0

(58)

peradangan pada kaki tikus yang disebabkan karagenan. Kemampuan untuk

menghambat peradangan ini yang disebut dengan inhibisi radang dapat dilihat

pada Gambar 4.2

Gambar 4.2 Grafik persen inhibisi radang rata-rata telapak kaki tikus tiap waktu pengamatan

Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa EEDS 300 mg/kg bb memiliki persen

hambatan radang yang lebih kecil dari EEDS 400, 500 mg/kg bb dan dengan

suspensi natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, EEDS 400 mg/kg bb memiliki

persen hambatan radang yang lebih kecil dari EEDS 500 mg/kg bb dan dengan

suspensi natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb, dan EEDS 500 mg/kg bb memiliki

persen hambatan radang yang lebih kecil dari suspensi natrium diklofenak dosis

4,5 mg/kg bb.

Data perubahan efek antiinflamasi yang diperoleh diolah dengan ANOVA

0

120 150 180 210 240 270 300 330 360

%

(59)

suspensi Na-CMC 0,5% sebagai pembanding negatif dan suspensi natrium

diklofenak sebagai pembanding positif. Analisis variansi secara SPPS pada menit

ke-30 sampai menit ke-360 menujukkan nilai signifikan atau taraf kepercayaan

0,000. Nilai ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perlakuan karena

nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil dari uji

analisis variansi (ANOVA) persen radang dapat dilihat pada Lampiran 19 halaman

75.

Perhitungan selanjutnya yaitu dilakukan uji Duncan dengan menggunakan

program SPSS versi 18. Untuk melihat kelompok perlakuan mana yang memiliki

efek yang sama atau berbeda dan efek terkecil sampai efek yang terbesar antara

satu dengan yang lainnya sehingga diperoleh susunan kelompok yang berbeda

dilakukan uji Duncan. Pada uji Duncan ini, dilakukan untuk semua perlakuan dari

menit ke-30 sampai menit ke-360. Uji beda rata-rata > 0,05 menunjukkan bahwa

antara perlakuan tidak ada perbedaan yang signifikan dan sebaliknya bila uji beda

rata-rata < 0,05 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan untuk semua

perlakuan dari menit ke-30 sampai menit ke-360. Hasil analisis metode Duncan

dapat dilihat pada Lampiran 20 halaman 79.

Analisis variansi terhadap perubahan volume radang digunakan untuk

melihat ada tidaknya perbedaan pengaruh obat uji yakni suspensi ekstrak daun

sembukan terhadap suspensi CMC 0,5% sebagai pembanding negatif dan suspensi

natrium diklofenak sebagai pembanding positif.

Berdasarkan hasil analisis variansi menunjukan perbedaan yang signifikan

(α < 0,05%) antar kelompok perlakuan pada menit ke-30 sampai menit ke-360

(60)

pengaruh yang berbeda nyata terhadap radang telapak kaki tikus yang disebabkan

oleh karagenan.

Untuk melihat kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama

atau berbeda dan efek terkecil sampai dengan yang terbesar antara yang satu

dengan yang lain sehingga diperoleh susunan kelompok yang berbeda dilakukan

dengan metode Duncan, uji beda rata-rata > 0,05 menunjukan bahwa atar

perlakuan tidak ada perbedaan yang bermakna dan sebaliknya bila uji beda

rata-rata < 0,05 nenunjukan terdapat perbedaan yang bermakna untuk semua perlakuan

dari menit ke-30 sampai menit ke-360.

Uji Duncan menit ke-30 menunjukan suspensi natrium diklofenak memiliki

perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS 500 mg/kg bb, tetapi memiliki

perbedaan yang signifikan dengan EEDS 300, 400 mg/kg bb dan dengan kontrol.

EEDS dosis 500 mg/kg bb memiliki perbedaan yang signifikan dengan EEDS

dosis 300, 400 mg/kg bb. EEDS 400 mg/kg bb memiliki perbedaan yang

signifikan dengan EEDS 300 mg/kg bb dengan kontrol. EEDS 300 mg/kg bb

memiliki perbedaan yang signifikan dengan kontrol.

Uji Duncan menit ke-60 menunjukan suspensi natrium diklofenak

menunjukan perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS 500 mg/kg bb tetapi

memiliki perbedaan yang signifikan dengan EEDS 400, 300 mg/kg bb. EEDS 500

(61)

Uji Duncan pada menit ke-90 sampai menit ke-210 menunjukan suspensi

natrium diklofenak memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS dosis

500, 400 mg/kg bb. EEDS dosis 500 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb memiliki

perbedaan yang signifikan dengan EEDS dosis 300 mg/kg bb dan kontrol. EEDS

dosis 300 mg/kg bb memiliki perbedaan yang signifikan dengan kontrol.

Uji Duncan pada menit ke-240 menunjukan suspensi natrium diklofenak

memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS 500 mg/kg bb, tetapi

memiliki perbedaan yang signifikan dengan EEDS 400, 300 mg/kg bb dan dengan

kontrol. EEDS dosis 500 mg/kg bb memiliki perbedaan yang signifikan dengan

EEDS dosis 400,300 mg/kg bb. EEDS 400 mg/kg bb memiliki perbedaan yang

signifikan dengan EEDS 300 mg/kg bb dengan kontrol. EEDS 300 mg/kg bb

memiliki perbedaan yang signifikan dengan kontrol.

Uji Duncan pada menit ke-270 menunjukkan suspensi natrium diklofenak

memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS dosis 400 mg/kg bb, 500

mg/kg bb. EEDS dosis 500 mg/kg bb memiliki perbedaan yang tidak signifikan

dengan dosis 400 mg/kg bb tetapi memiliki perbedaan yang signifikan dengan

EEDS dosis 300 mg/kg bb dan kontrol. EEDS dosis 400 mg/ kg bb memiiki

perbedaan signifikan dengan EEDS dosis 300 mg/ kg bb dan kontrol. EEDS dosis

300 mg/kg bb memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan kontrol.

Uji Duncan pada menit ke-300 menunjukan suspensi natrium diklofenak

memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS dosis 500 mg/kg bb tetapi

memiliki perbedaan yang signifikan dengan EEDS dosiss 400, 300 mg/kg bb dan

kontrol. EEDS dosis 500 mg/kg bb memiliki perbedaan yang signifikan dengan

(62)

memimiliki perbedaan yang signifikan dengan EEDS dosis 300 mg/kg bb, EEDS

dosis 300 mg/kg bb memimiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan kontrol.

Uji Duncan pada menit ke-330 sampai menit ke-360 menunjukan suspensi

natrium diklofenak menunjukan perbedaan yang tidak signifikan dengan EEDS

500 mg/kg bb tetapi memiliki perbedaan yang bermakna dengan EEDS 400 mg/kg

bb. EEDS 500 mg/kg bb memiliki perbedaan tidak signifikan dengan EEDS 400

mg/kg bb tetapi memiliki perbedaan yang signifikan dengan dosis 300 mg/kg bb

dan kontrol. EEDS 400 mg/kg bb memiliki perbedaan yang tidak signifikan

dengan EEDS 300 mg/kg bb dan kontrol. EEDS 300 mg/kg bb memiliki perbedaan

yang signifikan dengan kontrol.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

EEDS dosis 500 mg/kg bb memiliki efek antiinflamasi yang bagus dan mendekati

obat pembanding natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb jika dibandingkan dosis lainnya

baik dilihat dari nilai persen radang dan persen inhibisi radang antara individu

maupun secara kelompok. Terlepas pada dosis berapa EEDS yang memiliki efek

antiinflamasi, penelitian ini telah membuktikan secara farmakologis bahwa hewan

ini memiliki efek antiinflamasi.

Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang telah dilakukan bahwa daun

sembukan mengandung metabolit sekunder yang dapat berkhasiat sebagai

(63)

pada lintasan siklooksigenase (Robinson, 1995). Flavonoid sebagai antiinflamasi

terjadi melalui efek penghambatan jalur metabolisme asam arakidonat, jalur

siklooksigenase, jalur lipooksigenase, pembentukan prostaglandin, pelepasan

histamin. Senyawa flavonoid yang dapat berfungsi sebagai antiinflamasi adalah

toksifolin, biazilin, haemaktosilin, gosipin, prosianonidin, nepritin (Carlo, dkk.,

1999), sedangkan aktivitas farmakologi saponin yang telah dilaporkan memiliki

aktifitas sebagai antiinflamasi, antibiotik, antifungi, antivirus, hepatoprotektor

serta antiulcer (Fitriyani, dkk., 2011), sehingga diduga flavonoid, dan saponin

yang memberikan efek antiinflamasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun

sembukan cukup efektif menghambat radang. Hal ini memberikan gambaran atas

potensi ekstrak etanol daun sembukan yang dapat dikembangkan menjadi produk

(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan:

a. Hasil karakteristik serbuk simplisia daun sembukan diperoleh kadar air 4,98%,

kadar sari larut air 12,17%, kadar sari larut etanol 38,81%, kadar abu total

7,28%, kadar abu tidak larut asam 0,32%.

b. Hasil pemeriksaan golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada

simplisia daun sembukan dan ekstrak etanol daun sembukan adalah flavonoid,

glikosida, tanin, steroid/triterpenoid dan saponin.

c. Ekstrak etanol daun sembukan dosis 300 mg/kg bb, 400 mg/kg bb memiliki efek antiinflamasi dan dosis 500 mg/kg bb memiliki efek antiinflamasi yang

mirip dengan natrium diklofenak terhadap radang telapak kaki tikus yang

diinduksi dengan larutan λ-karagenan 1% secara intraplantar.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menguji efek antiinflamasi

dengan menggunakan metode yang lain dari ekstrak etanol daun sembukan

(65)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Morfologi tumbuhan

Daun sembukan (kentutan) termasuk herba tahunan berbatang memanjang,

berkayu pada bagian pangkal, tumbuh liar di lapangan terbuka atau tepi sungai,

dan melilit di pagar rumah. Daun sembukan memiliki daun tunggal, bertangkai

sekitar 1-5 cm, letaknya berhadapan, dan bentuknya bulat telur atau lonjong.

Pangkal daun berbentuk jantung, ujung runcing tetapi rata, panjang daun 3-12 cm

dan lebar 2-5 cm dan tulang daun menyirip (Mangoting, dkk., 2005). Tumbuhan

sembukan memiliki bunga yang tersusun dalam malai sepanjang 2-12 cm, bentuk

bunga corong, mahkota bunga putih hingga kuning pucat dengan semburat ungu

kemerahan gelap di bagian tengah, panjang mahkota 1 cm dan berbentuk silinder.

2.1.2Klasifikasitumbuhan

Klasifikasi tumbuhan sembukan adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Planta

Subdivisi : Angiospermae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Rubiales

Suku : Rubiaceae

Marga : Paederia

(66)

Nama daerah dari daun sembukan adalah sekentut, daun kentut, sembukan

(Jawa), dandang king, (Melayu), kahitutan, kasembukan (Madura), gumisiki

(Ternate) (Mangoting, dkk., 2005). Nama asing dari daun sembukan adalah

Chinese fevervine (Inggris), Ji shi Teng (Cina) (Hariana, 2011).

2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan

Kandungan kimia dari tumbuhan sembukan adalah asperulosida,

skandosida, paederosida, deasetilasperulosida, asam paederosida, arbutin, asam

oleonik, dan gama sitosterol. Daun sembukan memiliki bau yang tidak enak dan

tidak bersifat permanen, karena apabila daun direbus atau dikukus aromanya akan

berkurang. Bau yang tidak enak dari daun sembukan disebabkan oleh kandungan

kimia metil merkaptan yang terdapat di daun dan batang (Trubus, 2013).

2.1.4 Kegunaan tumbuhan

Daun sembukan dapat digunakan sebagai obat tradisional yaitu digunakan

sebagai antispasmodik (pengurang kejang otot di usus), diare, rematik dan

antiradang. Daun sembukan selain digunakan sebagai obat tradisional digunakan

juga sebagai sayur, antara lain sebagai bahan untuk membuat pepes oncom, botok,

trancam, dan pelas (Trubus, 2013).

(67)

dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia(Depkes, RI.,

2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan yang dapat berupa sediaan kental, kering dan cair

yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau

simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai (Depkes, RI., 2000).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu

pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam simplisia dapat digolongkan

kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahui

senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut

dan cara ekstraksi yang tepat(Depkes, RI., 2000).

2.2.3 Metode ekstraksi

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua

cara yaitu :

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik bearti dilakukan

pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi bearti dilakukan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama

(68)

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses pengekstraksian dengan pelarut yang selalu baru

sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperature ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap

maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak)

terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan

(Depkes, RI., 2000).

Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah proses pengekstraksian dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada

residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna

(Depkes, RI., 2000).

b. Soxletasi

Soxletasi adalah prosespengekstraksian menggunakan pelarut yang selalu

baru yang umumnya dilakukan dengan alat yang disebut Soxhlet sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik (Depkes, RI., 2000).

(69)

d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan pemanasaan menggunakan

pelarut air pada temperatur 900C selama 15 menit (Depkes, RI., 2000).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pemanasan menggunakan

pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit (Depkes,RI., 2000).

2.3 Inflamasi

2.3.1 Definisi inflamasi

Inflamasi adalah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera

atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau

mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. Pada bentuk

akut ditandai oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan

(rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis,

menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler

dan venula, disertai peningkatan permeabilitas aliran darah, eksudasi cairan,

termasuk protein plasma dan migrasi leukosit kedalam fokus peradangan. Respon

ini disebabkan oleh pembebasan mediator (histamin, serotonin, prostaglandin,

kinin) yang berperan mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun

jaringan dan kemudian dapat timbul gejala dari jaringan yang cidera (Soenarto,

(70)

2.3.2 Mediator inflamasi a. Histamin

Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dan segera muncul

dalam beberapa detik setelah diinduksi dan berperan meningkatkan permeabilitas

kapiler. Histamin merupakan produk dekarboksilase asam amino histidin yang

terdapat dalam semua jaringan tubuh. Konsentrasi tertinggi terdapat dalam paru,

kulit dan saluran cerna terutama pada sel mast, sedangkan leukosit dan basofil

adalah dalam bentuk tak aktif secara biologik tersimpan dan terikat pada heparin

dan protein basa. Histamin akan dibebaskan dari sel tersebut pada reaksi

hipersensitivitas, kerusakan sel (misalnya pada luka) serta akibat senyawa kimia

pembebas histamin (Mutschler, 1999).

b. Bradikinin

Bradikinin bekerja pada pembuluh darah dengan merangsang pelepasan

prostaksiklin, nitrit oksida ataupun faktor hiperpolarisasi turunan endothelium.

Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas

vaskuler dan merupakan mediator penting dalam nyeri (Nugroho, 2012).

c. Serotonin

serotonin (5-hidroksitriptamin) berasal dari asam amino esensial triptamin

yang dihasilkan melalui reaksi hidroksilasi dan dekarboksilasi. Serotonin terdapat

(71)

d. Prostaglandin

Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan atau radang. Prostaglandin sebagai penyebab radang bekerja lemah,

namun berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lainnya

yang dibebaskan secara lokal, seperti histamin, serotonin dan leukotrin.

Prostaglandin dapat menimbulkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah

lokal (Ganiswarna, 1995).

e. Leukotrien

Leukotrien dihasilkan dari subtrat asam arakidonat melalui jalur

lipoksigenase yang terdapat di paru-paru, sel mast platelet, dan sel darah putih

(Nugroho, 2012).

2.3.3 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi

a. Kemerahan (rubor)

Kemerahan (rubor) merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang

mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri yang

mensuplai darah ke daerah tersebut bedilatasi, dengan demikian lebih banyak

darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang

sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh

oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna merah

lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi inflamasi

diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price dan

(72)

b. Panas (kalor)

Panas (kalor) terjadi karena aliran darah banyak tersuplai ke jaringan luka

pada proses peradangan bersama dengan kemerahan dari reaksi inflamasi akut.

Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas dari daerah sekitarnya, sebab

darah dengan suhu 370C yang disalurkan ke permukaan daerah yang terkena

inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal (Price dan Wilson,

1995).

c. Rasa Nyeri (dolor)

Rasa nyeri (dolor) ditimbulkan karena adanya kerusakan jaringan yang

melepaskan mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Mediator

tersebut adalah histamin, serotonin, asetilkolin dan bradikinin (Nugroho, 2012).

d. Pembengkakan (tumor)

Pembengkakan (tumor) terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas

dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan

yang cidera. Dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah

dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh molekul yang

lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada

biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk kedalam jaringan

sehingga menyebaban jaringan menjadi bengkak (Price dan Wilson, 1995).

(73)

yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Price dan

Wilson, 1995).

2.3.4 Mekanisme terjadinya inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan

kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan

melepaskan beberapa fosfolipid salah satunya adalah asam arakidonat. Senyawa

ini merupakan mediator radang yang merupakan komponen utama lipid dan hanya

terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil dan sebagian besar berada

dalam fosfolipid membran sel. Enzim fosfolipase diaktivasi untuk mengubah

fosfolipid menjadi asam arakidonat pada membran sel yang mengalami kerusakan

akibat suatu rangsangan. Asam arakidonat yang bebas akan diaktifkan oleh enzim

lipooksigenase dan siklooksigenase, kemudian enzim tersebut akan merubah asam

arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksida dan endoperoksida)

yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotrien, prostaglandin, prostasiklin

dan tromboksan (Katzung, 2006).

Jalur siklooksigenase menghasilkan Tromboksan A2 (TXA2)sebagai

pengagregasi trombosit dan vasokontriktor yang merupakan produk utama

prostaglandin dalam trombosit serta prostaksiklin yang merupakan suatu

vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. Jalur siklooksigenase juga

menghasilkan PGD2 yang merupakan metabolit utama jalur siklooksigenase dalam

sel mast, bersama dengan prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan vasodilatasi dan

meningkatkan pembentukan edem. Prostaglandin juga berperan dalam patogenesis

(74)

nyeri terhadap berbagai rangsangan dan berinteraksi dengan sitokin yang

menyebabkan demam (Robbins, 2007).

Jalur lipoksigenase merupakan enzim yang memetabolisme asam

arakhidonat yang terdapat dalam neutrofil, selain itu enzim ini menghasilkan

leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4 (LTA4) yang

selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik. LTB4 merupakan

agen kemotaksis dan menyebabkan agregasi neutrofil. LTC4 selanjutnya akan

menjadi LTD4 dan LTE4 yang menyebabkan vasodilataasi dan menghambat

kemotaksis neotrofil (Robbins, 2007). Mekanisme terjadinya inflamasi dapat

dilihat pada Gambar 2.1

Fospolipid (membran sel)

Fospolipase

Asam arakhidonat

Siklooksigenase Lipoksigenase

Endoperoksida Asam endoperoksida

COX-1 COX-1 COX-2 Leukotrien LTA

AINS

Kortikosteroid

Zileuton Montelukast

(75)

2.4 Obat Antiinflamasi

Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan

atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamsi

terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat

antiinflamsi steroid dan golongan kedua yaitu golongan obat antiinflamasi

nonsteroid (AINS).

2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroid

Obat antiinflamasi steroid bekerja menghambat sintesis prostaglandin

dengan cara amenghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid yang berada

padamembran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakhidonat, akibatnya

prostaglandin tidak akan terbentuk dan radang tidak ada (Tjay dan Rahardja,

2013).

2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroid

Antiinflamasi nonsteroid merupakan obat antiinflamasi yang paling banyak

digunakan, memiliki tiga macam efek farmakologi yaitu antiinflamsi, analgetik

dan antipiretik. Obat ini bereaksi dengan menghambat enzim siklooksigenase,

selanjutnya terjadi penghambatan pada produksi prostaglandin dan tromboksan.

Obat AINS generasi awal menghambat baik pada COX-1 dan COX-2, bahkan

lebih dominan menghambat COX-1 yang dapat memberikan efek samping iritasi

lambung. Perkembangan berikutnya diarahkan obat AINS yang bekerja lebih

selektif terhadap COX-2 yang terfokus pada sel inflamasi (Nugroho, 2012).

Efek antiinflamasi berkaitan dengan penghambatan pada manifestasi

(76)

diperantarai oleh mediator-mediator yang merupakan produk dari aksi COX-2.

AINS menghambat COX dan menurunkan produksi vasodilator prostaglandin

(PGE2 dan PGI2) sehingga menurunkan vasodilatasi dan menurunkan edem yang

terjadi (Nugroho, 2012).

2.4.2.1 Natrium Diklofenak

Natrium diklofenak merupaka derivat fenilasetat yang termasuk NSAID

yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang

dibandingkan dengan oabt lainnya (seperti indometasin, piroksikam) (Tjay dan

Rahardja, 2013).

Absopsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap yang

terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal (first-pass)

sebesar 40-50%, memiliki waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, natrium diklofenak

diakumulasi dicairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih

panjang waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim terjadi ialah

mual,gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-150 mg

sehari terbagi 2 atau 3 dosis (Wilmana dan Gan, 2007).

2.5 Metode Uji Antiinflamasi

a. Metode pembentukan udem buatan

(77)

kaolin, ragi dan dekstran. Iritan yang umum digunakan dan memiliki kepekaan

yang tinggi adalah karagenan (Vogel, 2008).

b. Metode pembentukan eritema

Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada

kulit hewan yang dicukur bulunya. Marmot secara kimiawi dihilangkan bulunya

dengan suspensi barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan air hangat,

satu hari kemudian senyawa uji disuspensikan dan setengah dosisnya diberikan 30

menit sebelum pemaparan UV, setengahnya lagi setelah 2 menit berjalan

pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV berjarak 20 cm diatas

marmot. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan (Vogel, 2008).

c. Induksi asam asetat

Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap

peningkatan permeabilitas vascular yang diinduksi oleh asam asetat secara

intraperitoneal. Sejumlah pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara

intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap peningkatan permeabilitas vaskular

ditunjukkan dengan kemampuan obat uji dalam mengurangi konsentrasi pewarna

yang menempel dalam ruang abdomen yang disuntikkan sesaat setelah induksi

asam asetat (Sularkar, 2008).

d. Induksi xylene pada udem daun telinga

Hewan uji diberikan obat, kemudian diinduksi xylene dengan mikropipet

pada kedua permukaan daun telinga kanannya dan telinga kiri digunakan sebagai

kontrol. Parameter yang diukur pada metode ini ada dua yaitu ketebalan dan bobot

dari daun telinga hewan uji. Ketebalan daun telinga hewan uji yang telah diinduksi

(78)

dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun telinga, maka daun

telinga hewan uji dipitong dan ditimbang, kemudian dibandingkan beratnya

dengan telinga kiri (Sularkar, 2008).

e. Induksi asam arakhidonat pada udem daun telinga kiri.

Metode yang digunakan pada metode ini hampir sama dengan metode

induksi xylene, hanya saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat

yang diberikan secara topikal pada kedua permukaan daun telinga kanan hewan uji

(Sularkar, 2008).

f. Induksi karagenan

Induksi udem dilakukan pada telapak kaki hewan uji. Dalam hal ini

disuntikan suspensi karagenan secara intraplantar dan obat uji diberikan secra oral.

Volume udem kaki diukur dengan alat pletismometer. Aktivitas inflamasi obat uji

ditunjukkan oleh kemampuan obat uji mengurangi udem yang diinduksi pada

telapak kaki hewan uji (Sularkar, 2008).

g. Induksi histamin

Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karagenan,

hanya saja penginduksi yang digunakan adalah larutan histamin 1% (Sularkar,

2008).

Gambar

Gambar Tumbuhan Daun Sembukan
Gambar Mikroskopik daun segar dan simplisia daun sembukan perbesaran  10 x 40
Gambar Pletismometer digital UGO Basile Cat. No. 7140
Gambar Kaki tikus sebelum diinduksi λ-karagenan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengiriman bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi diatur jumlah pengiriman dan waktunya sesuai dengan kebutuhan produksi, kondisi alam (seperti jahe yang

nilai serta keanekaragamannya. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Bahan Berbahaya dan Beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi,

- Pengguna Tanda (Interpretant) Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang

Berkaitan dengan analisis SWOT, maka terkait dengan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Kekuatan (Strengths=S) .Perusahaan menggunakan sistem NK

Kadar penambahan sari daun mint sebanyak 60 ml merupakan kadar tertinggi aktivitas antioksidan untuk produk permen jelly.. Produk permen jelly ini memiliki kadar

Berdasarkan kekuatan, kelemahan, tantangan dan peluang serta berbagai faktor yang mempengaruhi pencapaian misi pembangunan daerah Sumatera Utara, maka salah satu strategi dasar

Dari hasil analisis dapat diperoleh kesimpulan bahwa apabila variabel karakteristik budaya organisasi (X) ditingkatkan maka kepuasan kerja juga akan meningkat dengan asumsi