• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur, Strategi, Dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Di Pesisir Selatan Jawa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur, Strategi, Dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Di Pesisir Selatan Jawa."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR, STRATEGI, DAN RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA

NELAYAN DI PESISIR SELATAN JAWA

DESI PURNAMASARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur, Strategi, dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan di Pesisir Selatan Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

(3)

iii

ABSTRAK

DESI PURNAMASARI. Struktur, Strategi, dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan di Pesisir Selatan Jawa. di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN.

Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa Muara Binuangeun Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan Kabupaten Pandeglang. Tujuan penelitian adalah untuk melihat struktur nafkah on-fishing economy, off-fishing economy, dan non-fishing economy yang dibangun oleh rumahtangga nelayan serta strategi nafkah yang dilakukan untuk melewati masa krisis. Penelitian ini juga menganalisis pengaruh pemanfaatan lima modal nafkah terhadap resiliensi rumahtangga nelayan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan penggunaan instrumen berupa kuisioner dan kualitatif melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian memaparkan bahwa pemanfaatan modal nafkah mempengaruhi resiliensi rumahtangga nelayan. Kedua desa penelitian berada dalam satu wilayah sehingga sumber daya alam yang ada dimanfaatkan secara bersama-sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang berpengaruh di Desa Muara Binuangeun adalah modal manusia dan modal fisik. Faktor yang berpengaruh di Desa Cikiruh Wetan adalah modal manusia, modal fisik, dan modal alam.

Kata kunci : modal nafkah, strategi nafkah, struktur nafkah, resiliensi nafkah

ABSTRACT

DESI PURNAMASARI. Livelihood Structure, Strategy, and Resilience of Fishermen Households in South Coastal of Java. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN

This study is conducted in two places that are Village of Muara Binuangeun, Lebak and Village of Cikiruh Wetan, Pandeglang. The purpose of this study is to see the income structure of fishermen households that consists of on-fishing economy, off-fishing economy, and non-fishing economy and to determine how livelihood strategies have been undertaken by them for passing a critical period. This study analyzes the effect of using five livelihood assets to build resilience of the livelihood of fishermen households. This study used quantitative method by using questionnaires as tools of data collection and indepth interviews as approach used for qualitative method. The result of this study indicates that livelihood assets affect livelihood resilience of livelihood of fishermen households. Both villages are at one region, so natural resources has been used together. The results showed that the factors that influence livelihood resilience in the Village of Muara Binuangeun is human capital and physical capital. Factors that influence livelihood resilience of the fishermen households in the Village of Cikiruh Wetan is human capital, physical capital, and natural capital

(4)

DESI PURNAMASARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kumunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

STRUKTUR, STRATEGI, DAN RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA

NELAYAN DI PESISIR SELATAN JAWA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(5)
(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena berkat rahmatnya penyusunan skripsi yang berjudul “Struktur, Strategi, dan Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan di Pesisir Selatan Jawa” dapat selesai sesuai waktu yang telah ditentukan. Karya tulis ini memberikan gambaran mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di pesisir selatan Jawa. Selain itu, karya tulis ini memberikan gambaran mengenai pemanfaatan livelihood assets

serta strategi nafkah yang diduga memiliki pengaruh terhadap resiliensi nelayan. Tulisan ini juga memaparkan gejala-gajala kerentanan yang dihadapi nelayan sehingga harus melakukan berbagai strategi adaptasi untuk bertahan hidup setelah mendapatkan tekanan eksternal baik sosial, ekologi, dan ekonomi.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtua penulis Bapak Nurhedi dan Ibu Epon yang selalu memberikan dukungan baik moriil maupun materiil yang tiada henti

2. Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan, serta semangat dalam bentuk apapun sehingga kami selalu terpacu untuk melakukan yang terbaik.

3. Saudara-saudara penulis Eman, Eka, Indry, Yola, Jujun, Jessica, Rizky, Raffa, yang selalu memberikan doanya

4. Maria Ulfah, Futri, Pingkan Citra, dan Sophia sebagai sahabat yang selalu mendukung dan memberikan pencerahan

5. Sahabat dadakan yang selalu memberikan suntikan semangat dalam bentuk apapun

6. Putri Ginting, Apriyani, Nafiah, Tomi, Radha, Zahra teman satu bimbingan yang selalu memberikan arahan dan pencerahan, serta

7. Keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 48.

Bogor, Juni 2015

(7)

vii

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS

Konsep Nafkah 5

Konsep Nelayan 7

Konsep Ekonomi Nelayan 7

Konsep Kemiskinan Nelayan 8

Konsep Strategi Nafkah 8

Konsep Resiliensi 10

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 13

Definisi Operasional 13

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Teknik Pengumpulan Data 17

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 18

PROFIL MASYARAKAT DESA Desa Muara Binuangeun

Kondisi Fisik 19

Kondisi Sosial 20

Kondisi Ekonomi 20

Kondisi Ekologi 21

Desa Cikiruh Wetan

Kondisi Fisik 21

Kondisi Sosial 22

Kondisi Ekonomi 22

Kondisi Ekologi 23

Gambaran Umum Responden di Dua Desa 23

Ikhtisar 24

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN

Struktur Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Muara Binuangeun 25 Struktur Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Cikiruh Wetan 27

Struktur Nafkah di Dua Desa Nelayan 29

Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Nelayan Dua

Desa 31

Posisi Rumahtangga Nelayan Dua Desa terhadap Garis Kemiskinan 33

Ikhtisar 36

BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN DI DUA DESA

Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Muara

Binuangeun 37

(8)

Wetan 43

Analisis Pemanfaatan Modal Nafkah di Dua Desa 47

Ikhtisar 54

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN DI DUA DESA

Metode Penghitungan Strategi Nafkah 57

Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Muara Binuangeun 57

Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Cikiruh Wetan 60

Ikhtisar 64

RESILIENSI NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN

Resiliensi Nafkah dan Metode Penghitungannya 67

Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Muara Binuangeun 67 Resiliensi Nafkah Rumahtangga Nelayan Desa Cikiruh Wetan 69 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 75

Saran 76

DAFTAR PUSTAKA 77

LAMPIRAN 79

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Definisi operasional 13

Tabel 2. Metode pengumpulan data 17

Tabel 3. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan

keikutsertaan dalam kelompok tahun 2014-2015 49

Tabel 4. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan tingkat

modal sosial tahun 2014-2015 50

Tabel 5. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan banyaknya

keterampilan yang dimiliki tahun 2014-2015 51

Tabel 6. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan tingkat

kepemilikan modal fisik tahun 2014-2015 52

Tabel 7. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan berdasarkan tingkat

modal finansial tahun 2014-2015 53

Tabel 8. Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap resiliensi

nafkah rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun 67

Tabel 9. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan alokasi tenaga kerja dan resiliensi nafkah Desa Muara

Binuangeun tahun 2014-2015 68

Tabel 10. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan kepemilikan aset non produksi dan resiliensi nafkah Desa

Muara Binuangeun tahun 2014-2015 69

Tabel 11. Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap resiliensi

nafkah rumahtangga nelayan Desa Cikiruh Wetan 70

Tabel 12. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan tingkat keterampilan dan resiliensi nafkah Desa Cikiruh Wetan

tahun 2014-2015 70

Tabel 13. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan kepemilikan asset non produksi dan resiliensi nafkah Desa

Cikiruh Wetan tahun 2014-2015 71

Tabel 14. Jumlah dan persentase rumahtangga nelayan berdasarkan tingkat kemampuan akses wilayah tangkapan dan resiliensi

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka diversifikasi mata pencaharian pedesaan 6

Gambar 2. Kerangka pemikiran 12

Gambar 3. Ilustrasi sistem bagi upah di dua desa 24

Gambar 4. Struktur nafkah rumahtangga nelayan Desa Muara

Binuangeun dalam Rupiah tahun 2014-2015 25

Gambar 5. Struktur nafkah rumahtangga nelayan Desa Cikiruh Wetan

dalam Rupiah tahun 2014-2015 28

Gambar 6. Komposisi pendapatan rumahtangga nelayan di dua desa

berdasarkan lapisan sektor tahun 2014-2015 29

Gambar 7. Struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan

Desa Muara Binuangeun tahun 2014-2015 31

Gambar 8. Struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan

Desa Cikiruh Wetan tahun 2014-2015 33

Gambar 9. Posisi rumahtangga nelayan terhadap garis kemiskinan World

Bank pertahun 2014-2015 34

Gambar 10. Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan ekonomi rumahtangga nelayan Desa Muara Binuangeun tahun

2014-2015 37

Gambar 11. Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan ekonomi

rumahtangga nelayan Desa Cikiruh Wetan tahun 2014-2015 43 Gambar 12. Basis modal nafkah rumahtangga nelayan di dua desa,

Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang 47

Gambar 13. Jumlah strategi nafkah yang dilakukan anggota rumatangga

nelayan Desa Muara Binuangeun tahun 2014-2015 57

Gambar 14. Jumlah strategi nafkah yang dilakukan anggota rumahtangga

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta lokasi 81

Lampiran 2. Jadwal kegiatan penelitian 82

Lampiran 3. Hasil uji statistik 82

Lampiran 4. Catatan tematik 83

Lampiran 5. Kuesioner 87

Lampiran 6. Panduan wawancara mendalam 97

Lampiran 7. Kerangka sampling 98

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terbesar dengan garis pantai sepanjang 81 000 km, dilihat dari faktanya Indonesia memiliki sumberdaya yang sangat melimpah. Melimpahnya sumberdaya termasuk kelautan ini dijadikan sebagai tumpuan hidup bagi nelayan. Nelayan lokal melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat penangkapan ikan yang sederhana dan sebagian nelayan yang besar akan menggunakan alat-alat penangkapan yang lebih modern. Hasil dari FAO, yang dikutip oleh Apridar et al. (2011), dari 16 wilayah perairan laut dunia, sumberdaya perikanan di peraiaran laut Indonesia dinyatakan telah mencapai puncak pemanfaatannya. Oleh karena itu, produksi perikanan tangkap ke depan tidak dapat ditingkatkan seperti tahun sebelumnya. Menurut Nikijuluw (2002) dalam Apridar et al. (2011) Indonesia perlu melakukan upaya pemanfaatan sumber daya ikan secara lebih hati-hati, sehingga ikan yang masih ada dapat menjadi modal bagi perbaikan (recovery) ketersediaan ikan, dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan. Nelayan yang sudah terkungkung dalam kemiskinan tidak dapat memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak mereka sehingga terpaksa anaknya ikut dengan orangtua untuk menjadi nelayan. Keadaan ini kemudian menyebabkan sebuah siklus kemiskinan. Selain itu, kondisi ini juga menjadikan jumlah nelayan di Indonesia menjadi tambah banyak.

Kemiskinan menurut BPS merupakan ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS, 2014). Berdasarkan data BPS (2014) jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 28.280 jiwa atau sekitar 11,25% dari penduduk Indonesia. Kemiskinan ini seharusnya tidak lagi dialami oleh warga Indonesia mengingat kekayaannya yang membentang dari barat hingga ke timur.

Ellis (2000) menjelaskan lima modal antara lain modal manusia, modal alam, modal fisik, modal sosial, dan modal finansial. Modal manusia adalah kemampuan manusia dalam sistem mata pencaharian yang berkaitan dengan pendidikan, keahlian, dan kesehatan. Modal alam berkaitan dengan sumber daya alam dan kondisi ekologi. Modal fisik berkaitan dengan kepemilikan aset fisik oleh masyarakat, aset ini antara lain bangunan, irigasi kanal, peralatan, mesin, dan lainnya yang berbentuk fisik. Modal sosial berkaitan dengan jaringan, kepercayaan, dan norma. Sedangkan modal finansial adalah aset yang berhubungan dengan keuangan yaitu ketersediaan uang yang tersimpan dalam sebuah rumahtangga. Ellis (2000) juga menjelaskan mengenai struktur nafkah. Struktur nafkah yang dijabarkan berhubungan dengan sumber pendapatan. Sumber pendapatan tersebut adalah on farm, off farm, dan non farm.

(14)

besar. Banyaknya rumahtangga yang bekerja di sektor perikanan tangkap ini memberikan pengaruh terhadap sedikitnya jumlah ikan yang diperoleh oleh masing-masing individu. Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan merupakan dua desa perbatasan yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Kedua desa ini dipisahkan oleh sebuah muara yang juga menjadi batas antara dua kabupaten tersebut. Desa ini merupakan desa yang berada di tepi laut Indonesia sehingga sebagian besar masyarakat meggantungkan hidupnya pada sumber daya laut.

Sudah secara turun temurun mereka melakukan kegiatan melaut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun dalam sistem mata pencaharian tidak hanya bergantung pada modal alam dan modal fisik melainkan bergantung pada lima modal. Sehingga di kedua desa tersebut juga masih terdapat faktor lain yang akan memengaruhi sistem mata pencaharian nelayan. Kepemilikan lima modal pada masyarakat nelayan berpengaruh terhadap strategi nafkah yang mereka lakukan untuk bertahan hidup atau meningkatkan pendapatan. Menurut Satria (2001) terdapat tiga strategi yang biasa dilakukan nelayan yaitu pola nafkah ganda, mendorong ke arah laut lepas, serta diversifikasi alat tangkap.

Masyarakat nelayan memanfaatkan sumber daya alam yang bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang boleh memanfaatkannya. Hal ini yang akan berpengaruh pada hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang tidak menentu serta ketergantungan terhadap musim membuat nelayan harus melakukan berbagai strategi nafkah. Konsep strategi nafkah berkaitan dengan konsep resiliensi. Resiliensi sosial dijelaskan oleh Adger (2007) dalam Cote (2012) sebagai kemampuan kelompok untuk mengatasi tekanan eksternal sebagai akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan.

Rumusan Masalah

Kelautan merupakan sumberdaya alam yang terbuka sehingga setiap individu dapat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya tersebut. Hal ini akan berdampak pada sistem livelihood yang dimiliki oleh masyarakat yang memanfaatkannya terlebih lagi apabila dalam pemanfaatan sumberdaya ini diwarnai dengan konflik. Sumberdaya laut dimanfaatkan oleh nelayan tradisional demi kelangsungan hidup mereka meskipun hanya dengan menggunakan peralatan yang sederhana. Bagi nelayan tradisional, adanya nelayan luar yang datang dengan peralatan yang teknologinya lebih canggih membuat mereka mendapatkan hasil tangkapan yang jauh lebih banyak dari nelayan tradisional. Menurut Mubyarto et al. (1984) pertumbuhan yang cepat dari jumlah nelayan memberikan dampak negatif terhadap produktivitas nelayan termasuk menurunnya volume ikan yang ditangkap. Selain itu, Mubyarto et al. (1984) juga menjelaskan dampak dari adanya motorisasi yang dilakukan oleh nelayan dengan kapal-kapal besar modern bermesin dengan alat yang berdaya tangkap besar.

(15)

3

dialami karena ketergantungan pada musim, tercemarnya wilayah tangkapan, atau semakin banyaknya saingan dengan peralatan modern. Hal ini membuat hasil tangkapan yang diperoleh nelayan akan berkurang sehingga berdampak langsung pada pendapatan nelayan. Ketika nelayan mengalami masa krisis seperti ini, lima modal akan berperan dalam kehidupan nelayan sebagai cara untuk kembali ke keadaan normal. Kemampuan nelayan untuk kembali ke keadaan normal setelah mengalami tekanan ini disebut sebagai resiliensi. Pada masyarakat nelayan di dua desa yang diteliti, handak diketahui pengaruh kepemilikan lima modal terhadap resiliensi nafkah yang dijalankan nelayan untuk keluar dari keadaan krisis yang dialami. Pada penelitian ini terdapat tiga pertanyaan berikut:

1. Bagaimanakah struktur nafkah yang terdapat pada rumahtangga nelayan di dua desa?

2. Jenis strategi nafkah apa yang digunakan oleh rumahtangga nelayan di kedua desa?

3. Bagaimanakah kepemilikan livelihood asset berpengaruh terhadap resiliensi nafkah rumahtangga nelayan di dua desa?

Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis struktur nafkah yang terdapat pada rumahtangga nelayan di dua desa.

2. Menganalisis strategi nafkah yang digunakan rumahtanngga nelayan di dua desa

3. Menganalisis pengaruh kepemilikkan livelihood asset terhadap resiliensi nafkah rumahtangga nelayan

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut :

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran agar tercipta penelitian yang lebih baik lagi. Selain itu penelitian ini juga dapat menjadi acuan untuk penelitian yang terkait

2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi sistem mata pencaharian. Sehingga mereka dapat melakukan hal yang lebih baik untuk memerbaiki sistem nafkahnya.

(16)
(17)
(18)
(19)

PENDEKATAN TEORITIS

Konsep Nafkah

Nafkah adalah mata pencaharian yang terdiri dari berbagai aset (alam, fisik, manusia, finansial, dan modal sosial) aktivitas, dan akses kepada (suatu yang dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu atau rumah tangga (Ellis, 2000). Total penghasilan yang diperoleh oleh seseorang mencerminkan ada beberapa sumber daya yang diperlukan untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Menurut Ellis (2000) terdapat tiga sumber nafkah atau disebut juga struktur nafkah yaitu farm income, off farm income, dan non farm income.

Farm income mengacu pada pendapatan yang dihasilkan dari pertanian yang diperoleh petani dari hasil garapan pada lahan milik sendiri, atau pada lahan yang telah disewa sebelumya. Pada penelitian ini, on farm pada masyarakat petani dimodifikasi menjadi on-fishing economy yaitu pendapatan yang diperoleh dari perikanan tangkap secara langsung menggunakan perahu dan alat tangkap milik sendiri. Off farm income yaitu mengacu pada pendapatan sektor pertanian yang diperoleh sebagai upah setelah petani bekerja di lahan orang lain. Selain di bidang bercocok tanam, sistem bagi upah juga dapat diperoleh dari kegiatan peternakan. Kegiatan peternakan ini biasanya membagi anakan ternak secara langsung terhadap mereka yang mengurusnya. Pada masyarakat nelayan, sistem bagi upah juga kerap dilakukan. Sistem pembagian upah dilakuan antara pemilik kapal dengan anak buah kapal (ABK), pendapatan ini dimodifikasi menjadi off-fishing economy, selain bagi upah kegiatan industri pengolahan hasil laut juga termasuk ke dalam off-fishing economy. Pembagian upah dilakukan setiap hari selepas menjual ikan hasil tangkapan yang diperoleh. Sedangkan non farm income adalah pendapatan yang diperoleh oleh keluarga petani dari luar sektor pertanian. Sektor ini dapat berupa industri atau jasa. Sedangkan pada masyarakat nelayan, dimodifikasi menjadi non-fishing economy yaitu pendapatan yang diperoleh nelayan selain dari hasi perikanan tangkap.

(20)

Gambar 1 Kerangka diversifikasi mata pencaharian pedesaan (Sumber : Ellis, 2000)

Berdasarkan penjelasan Ellis (2000), kelima modal tersebut secara rinci adalah: 1. Modal alam (natural capital) adalah aset yang terdiri dari tanah, air, dan

sumber daya biologis yang digunakan oleh manusia secara umum untuk bertahan hidup. Modal alam harus dikontrol secara baik oleh manusia agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

2. Modal fisik (physical capital) adalah aset yang dibentuk oleh proses produksi ekonomi seperti bangunan, kanal irigasi, jalan, peralatan, mesin, dan aset fisik lainnya. Bagian dari aset fisik yang sangat berpengaruh terhadap diversifikasi mata pecaharian petani adalah infrastruktur seperti jalan, aliran listrik, dan ketersediaan air. Modal fisik pada masyarakat nelayan dapat dilihat dari kepemilikan perahu dan kepemilikan alat tangkap.

3. Modal manusia (human capital), aset ini lebih sering dikatakan sebagai aset utama dalam pekerjaan individu. Aset ini terdiri dari pendidikan, kesehatan, dan kemampuan (Carney, 1998 dalam Ellis, 2000). Modal manusia akan meningkat seiring dengan penambahan pendidikan dan pelatihan. Menurut Moser (1998) dalam Ellis (2000) komposisi modal manusia dapat berubah secara konstan karena alasan demografi seperti kelahiran, kematian, pernikahan, migrasi, serta usia anak yang semakin bertambah.

4. Modal finansial (human capital) adalah aset yang lebih menekankan pada ketersediaan uang yang dimiliki seseorang atau rumah tangga. Menurut Swift (1989) dalam Ellis (2000) modal finansial juga dapat dilihat dari emas, perhiasan, cadangan makanan, serta keuntungan antara biaya produksi dan pendapatan.

5. Modal sosial (social capital) yaitu aset yang berhubungan dengan sistem sosial yang ada. Modal sosial berkaitan dengan jaringan sosial yang dimiliki seseorang di dalam komunitasnya. Contoh jaringan sosial yang

(21)

7

tercipta pada masyarakat adalah hubungan dengan patron, dengan kepala/ketua di desa, serta hubungan dengan pihak-pihak yang berpolitik.

Konsep Nelayan

Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 1 dan 7 menjelaskan bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, dan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Menurut Ellis (2000) aktivitas kenelayan memiliki spesifikasi gender yang sangat tinggi. Dalam banyak kasus, hanya laki-laki yang terlibat dalam aktivitas penangkapan ikan. Meskipun didalamnya ada keterlibatan perempuan di perikanan sekitar pantai dan karang, serta dalam proses pengolahan dan penjualan.

Terdapat beberapa golongan nelayan yang dijelaskan oleh Haryono (2005) yang dikutip oleh Apridar et al. (2011) yaitu :

1. Nelayan juragan/nelayan pemilik yakni mereka yang memiliki alat tangkap berupa perahu beserta jaringnya.

2. Buruh nelayan yakni mereka yang mengoperasikan alat tangkap yang bukan miliknya sendiri, yang kerap disebut sebagai pandega/bandega. 3. Nelayan perorangan yakni mereka memiliki alat tangkap sendiri dan

mengoperasikannya tanpa orang lain. Kategori ini mendominasi jumlahnya di Desa Randuputih, Kabupaten Probolinggo.

Dalam penelitian ini, pelapisan nelayan bukan dilakukan berdasarkan kepemilikan perahu. Akan tetapi pelapisan dilakukan berdasarkan lapisan ekonomi. Hal ini karena nelayan di kedua desa penelitian tidak hanya bergantung pada perikanan tangkap. Terdapat nelayan yang memperoleh sumber penghidupan selain dari kegiatan melaut.

Konsep Ekonomi Nelayan

Menurut Imron (2003) yang dikutip oleh Mulyadi (2007) nelayan adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hasil laut secara langsung. Hasil laut tersebut diperoleh dengan melakukan penangkapan ataupun dengan melakukan budidaya. Selanjutnya Mubyarto menambahkan penggolongan nelayan menurut kepemilikan alat tangkap. Pengolongan tersebut dibedakan menjadi tiga. Pertama, nelayan buruh yaitu nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Kedua, nelayan juragan yaitu nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Ketiga, nelayan perorangan yaitu nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

(22)

dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan dengan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya. Penelitian yang dilakukan oleh Mugni (2006) menunjukan hasil bahwa di Kabupaten Indramayu terdapat golongan nelayan yang sangat miskin. Golongan tersebut diberi istilah lokal sebagai nelayan bidak. Nelayan bidak adalah nelayan yang tidak memiliki peralatan melaut sama sekali. Mereka ikut dengan nelayan lain untuk melaut. Nelayan bidak tersebut akan memperoleh penghasilan apabila dalam satu kali melaut mereka mendapatkan hasil tangkapan. Namun, sistem bagi hasil yang digunakan memiliki ketimpangan yang sangat tinggi antara nelayan

bidak dengan juragannya. Selain itu, kemiskinan yang dialami oleh nelayan bidak

diperparah dengan tidak adanya upah bagi mereka apabila dalam satu hari melaut tidak mendapatkan hasil tangkapan. Hal inilah yang mendorong nelayan kecil di Indramayu untuk melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup.

Konsep Kemiskinan Nelayan

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Berikut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemisikinan nelayan.

1. Fluktuasi musim tangkapan, sumberdaya manusia yang rendah, eksploitasi pemodal, ketimpangan dalam sistem bagi hasil, motorisasi, pencemaran lingkungan, kebiasaan nelayan (Mugni, 2006)

2. Rendahnya akses rumahtangga terhadap sumber-sumber nafkah diperparah dengan biaya hidup yang terus meningkat, rendahnya hasil tangkapan yang diperoleh, banyaknya nelayan modern yang didukung oleh pemodal besar besar, modal alam tinggi tapi modal fisik dan modal finansial tidak ada, modernisasi, keterbatasan terhadap modal, tidak dapat akses terhadap modal fisik, kerusakan lingkungan laut (Widodo, 2009).

Masalah lain yang dialami nelayan adalah masalah kerentanan. Kerentanan yang biasa dialami oleh nelayan bermacam-macam antara lain:

1. Musim paceklik sebagai pemicu sensitivitas (Iqbal, 2004)

2. Perubahan iklim akibat global warming yang juga dipicu oleh penggunaan perahu nelayan (Badjeck et al. ,2010)

3. Perubahan lingkungan yang terjadi akibat adanya angin topan yang sudah menjadi musiman, penelitian ini dilakukan di Anguilla (Forster et al. , 2014)

4. Kerusakan peralatan kerja, upah rendah yang diberikan oleh patron, serta eksploitasi (Schulte et al. , 2014)

Konsep Strategi Nafkah

Berikut adalah beberapa bentuk strategi nafkah yang digunakan oleh keluarga petani dalam mengahadapi masalah perekonomian yang tidak mendukung (Scoones, 1998):

(23)

9

2. Diversifikasi mata pencaharian, yaitu dengan melakukan pekerjaan lain selain pertanian. Selain itu, juga termasuk didalamnya optimalisasi tenaga kerja. Optimalisasi ini dapat diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja keluarga untuk ikut mencari nafkah.

3. Migrasi, dapat dilakukan apabila petani sudah tidak ingin bekerja di tempat asalnya. Hal ini juga dapat dilakukan apabila petani memiliki relasi dengan orang lain yang sudah bermigrasi sebelumnya.

Selain itu, jenis strategi nafkah juga dijelaskan oleh Carner (1984) yaitu sebagai berikut, (Widodo, 2009):

1. Melakukan beragam pekerjaan meskipun dengan upah rendah

2. Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan

3. Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya desa-kota sebagai pilihan terakhir jika tidak terdapat lagi sumber nafkah di desa.

Menurut Dharmawan (2001) dalam Lestari (2005), terdapat dua macam strategi yang dikembangkan oleh keluarga peasant yaitu saat kehidupan berjalan normal dan strategi yang dikembangkan saat kehidupan sedang krisis. Sedangkan menurut Satria (2001), strategi mata pencaharian yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan yang pertama yaitu dengan mengembangkan strategi nafkah ganda. Kedua, mendorong ke arah laut lepas, dan yang ketiga mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Pada penelitian ini, strategi nafkah yang digunakan sebagai acuan (confirmation) adalah strategi nafkah yang dijelaskan oleh Satria (2001) karena langsung berkaitan dengan nelayan.

Menurut Mulyadi (2007) adaptasi merupakan tingkah laku strategis dalam upaya memaksimalkan kesempatan hidup. Menurutnya, pada masyarakat nelayan pola adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya. Kondisi lingkungan laut yang sarat dengan resiko dan sering tidak menentu membuat nelayan cenderung mengembangkan pola-pola adaptasi yang berbeda dan seringkali tidak dipahami oleh masyarakat di luar komunitasnya. Dalam banyak hal masyarakat nelayan mempunyai komunitas tersendiri yang diakibatkan oleh pola sosialnya yang terasing dengan pola-pola sosial masyarakat daratan. Masyarakat nelayan dalam menghadapi kondisi ketidakpastian dan resiko yang besar dalam pekerjaannya, mereka kemudian membuat pola hubungan dengan orang lain dalam bentuk hubungan patronase.

(24)

Konsep Resiliensi

Adger (2007) dalam Cote (2012), menjelaskan mengenai konsep resiliensi sosial. Menurutnya, resiliensi sosial adalah kemampuan kelompok atau komunitas untuk menghadapi tekanan eksternal dan guncangan sebagai hasil dari tindakan politik, sosial, dan lingkungan. Berdasarkan definisi ini, resiliensi sosial lebih kepada konsep deskriptif mengenai umpan balik individu terhadap perubahan yang terjadi sementara dalam sistem sosial-ekologi (Cote, 2012). Menurut Low et al. (2003) dalam Cote (2012) pemikiran mengenai resiliensi dan sistem sosial-ekologi, pengenalan pandangan dikotomi alam dan sosial adalah problematika yang telah memberikan jalan untuk fokus pada umpan balik peralatan simetris dari ekosistem dan masyarakat. Hal ini yang menggambarkan hubungan teoritikal dalam penggunaan konsep resiliensi ekologi, seperti efek permulaan yang mengacu pada struktur dan fungsi karakteristik ekosistem, berdasarkan perspektif ilmu sosial (Tompkins and Adger, 2004) dalam Cote (2012). Menurut Cote (2012) manusia adalah komponen yang membentuk sebuah ekologi sehingga manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan. Hubungan inilah yang kemudian dapat berpengaruh terhadap resiliensi. Menurut Baird dan Gray (2014) resiliensi dapat dikatakan sebagai pengembangan rumahtangga dan ketahanan kecil untuk tekanan jangka pendek yang dilakukan oleh rumahtangga atau masyarakat untuk menghadapi tekanan yang lebih besar dalam jangka panjang. Sedangkan Adger (2000) dalam Speranza et al. (2014) menjelaskan bahwa resiliensi merujuk pada stabilitas mata pencaharian sebagai satu aspek resiliensi sosial. Tetapi pada prakteknya dan penilaian (pembebanan) pada resiliensi terdiri dari beberapa aspek mata pencaharian. Speranza et al. (2014) menjelaskan bahwa resiliensi nafkah mengacu pada kapasitas mata pencaharian untuk meredam tekanan dan gangguan serta meningkatkan fungsi. Terdapat tiga indikator yang dijelaskan oleh Carpenter et al (2001) dalam Speranza et al. (2014). Pertama, kapasitas penyangga yang didalamnya terdapat kepemilikan aset dan akses terhadap aset (modal sosial, modal alam, modal manusia, modal fisik, dan modal finansial). Kedua yaitu organisasi diri, terdiri dari institusi, koperasi dan jaringan, struktur jaringan, kesempatan untuk mengorganisasi diri, dan kepercayaan terhadap kepemilikan sumber daya. Ketiga yaitu kapasitas untuk belajar terdiri dari pengetahuan untuk tantangan dan kesempatan, berbagai visi kolektif, komitmen untuk belajar, kapabilitas indentifikasi pengetahuan, kapabilitas berbagi pengetahuan, kapabiilitas mentransfer pengetahuan, dan memanfaatkan mekanisme umpan balik.

Dalam konsep resiliensi, terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan untuk melihat dinamika resiliensi (Bagchi et al,.1998; de Haan and Zoomers, 2005; Sallu et al.,2010; Ulrich et al.,2012) dalam Speranza et al. (2014).

1. Melakukan analisis sejarah livelihood

2. Mengidentifikasi dan mengarakteristikkan livelihood yang mungkin sebagai jalan untuk menghadapi guncangan dan tekanan

3. Menganalisis jalur pemulihan dan implikasinya untuk menjaga atau meningkatkan ketahanan livelihood

(25)

11

(2014) menjelaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki resiliensi dalam menghadapi perubahan ekologi. Perubahan tersebut adalah akibat dari terjadinya bencana angin topan sehingga mengubah struktur dan strategi nelayan dalam melaut. Hal ini dapat dilihat dari perubahan strategi nelayan yang awalnya membiarkan perahu berada dekat laut, namun setelah terjadinya badai mereka meletakan perahu berada jauh dari laut. Keinginan mereka untuk kembali menjadi nelayan adalah anggapan bahwa nelayan merupakan sebuah identitas diri dan kebanggaan. Selain itu, penelitian Mugni (2006) menyebutkan bahwa resiliensi yang berkaitan dengan sosial adalah hubungan patron klien. Hubungan patron klien seringkali membuat nelayan merasa memeroleh sistem bagi hasil yang kurang adil. Mereka sudah melakukan kegiatan melaut namun hanya diberi upah yang sangat minim.

Kerangka Pemikiran

Sumber daya kelautan memberikan banyak penghidupan khususnya bagi nelayan. Hal ini yang membuat nelayan sangat bergantung pada sumber daya tersebut. Sifat sumber daya alam yang terbuka (open acces) membuat semua orang dapat memanfaatkannya. Sehingga semakin banyak penggunanya maka pendapatan akan hasil tangkapan akan semakin sedikit. Selain itu, ketersediaan ikan yang musiman membuat hasil tangkapan menjadi sangat tidak menentu. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan nelayan. Penghasilan nelayan yang terkadang sangat sedikit membuat nelayan terpaksa harus melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup. Strategi yang dilakukan ini dapat menggambarkan resiliensi nelayan dalam livelihood system mereka. Resiliensi ini dipengaruhi kepemilikan aset yang ada pada nelayan yaitu terdiri dari lima modal yang dijelaskan Ellis (2000).

Struktur nafkah nelayan terdiri dari tiga sektor yaitu on-fishing economy, off-fishing economy, dan non-fishing economy. Sektor on-fishing economy adalah pendapatan dari hasil perikanan tangkap, sektor off-fishing economy adalah hasil bagi upah dari perikanan tangkap dan berbagai jenis industri sekunder dan budidaya, sementara non-fishing economy adalah pendapatan dari luar perikanan tangkap. Perikanan tangkap memiliki dua musim yaitu musim panen ketika ikan di lautan melimpah serta musim paceklik yaitu ketika kelimpahan ikan sangat sedikit. Ketika nelayan melalui masa sulit maka mereka harus melakukan berbagai strategi.

Strategi nafkah yang dilakukan nelayan dapat bermacam-macam. Menurut Satria (2001) terdapat tiga strategi yang biasa dilakukan nelayan yaitu pola nafkah ganda, mendorong ke arah laut lepas, serta diversifikasi alat tangkap. Strategi nafkah ganda dapat dilakukan dengan cara menambah anggota rumahtangga yang bekerja atau juga menambah jenis pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk bertahan hidup dalam keadaan krisis. Jenis strategi nafkah ganda yang dilakuan berkaitan dengan jumlah alokasi tenaga kerja. Ketika nelayan melakukan kegiatan non-fishing economy maka alokasi tenaga kerja akan meningkat.

(26)

keseimbangan. Strategi nafkah merupakan syarat yang harus dilakukan oleh nelayan untuk mencapai resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan pulih seseorang atau rumahtangga dari gangguan baik eksternal maupun internal. Resiliensi dilihat dari dua indikator yaitu banyaknya pilihan nafkah serta kecepatan recovery.

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: dianalisis secara deskriptif : berhubungan

: berpengaruh

Livelihood Assets (Ellis, 2000)

Modal Alam (X1)

Akses ke arah laut lepas (X1.1)

Modal Manusia(X2)

Tingkat alokasi tenaga kerja (X2.1)

Tingkat pendidikan (X2.2)

Banyaknya keahlian yang dimiliki anggota keluarga (X2.3)

Modal Fisik(X3)

Tingkat Kepemilikkan Asset Produksi (X3.1)

Tingkat kepemilikkan asset non produksi (X3.2)

Modal Sosial (X4)

Tingkat partisipasi terhadap lembaga formal dan non formal(X4.1)

Modal Finansial (X5)

Tingkat pendapatan on-fishing economy (X5.1)

Tingkat pendaptan off-fishing economy (X5.2)

Tingkat pendapatan non-fishing economy (X5.3)

Tingkat Saving Capacity (X5.4)

Tingkat Pengeluaran (X5.5)

TINGKAT RESILIENSI (Y) Waktu Recovery saat krisis (Y1.1)

Banyaknya pilihan sumber nafkah (Y1.2) Struktur Nafkah

Pendapatan on-fishing economy Pendapatan off-fishing economy Pendapatan non-fishing economy

Strategi Nafkah (Satria, 2001) Strategi nafkah ganda

(27)

13

Hipotesis Penelitian

Pada penelitian ini, diduga bahwa pemanfaatan livelihood aset, memiliki pengaruh terhadap tingkat resiliensi nafkah rumah tangga nelayan dengan formula sebagai berikut:

Yn = f (Xn).

Y1.1 + Y1.2 = f (X1.1, X2.1, X2.2, X2.3, X3.1, X3.2, X4.1, X5.1, X5.2, X5.3, X5.4, X5.5) Rincian sebagai berikut :

1. Diduga tingkat pemanfaatan modal alam berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X1.1)

2. Diduga tingkat pemanfaatan modal manusia berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X2.1, X2.2, X2.3)

3. Diduga tingkat pemanfaatan modal fisik berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X3.1, X3.2)

4. Diduga pemanfaatan modal sosial berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X4.1)

5. Diduga pemanfaatan modal finansial berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga nelayan, Yn = f (X5.1, X5.2, X5.3, X5.4, X5.5)

Definisi Operasional

Tabel 1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Indikator

(28)

rumahtangga nelayan c. Rendah: apabila lulus SD Modal manusia (X2) dikatakan tinggi apabila ketiga aspek diatas menunjukan skor yang

(29)

15 a. Tinggi: jika pendapatan ≥

Rp18 224 000

b. Sedang: jika pendapatan Rp2 378 000 < x < Rp18 224 000

c. Rendah: jika pendapatan ≤ Rp2 378 000

Desa Cikiruh Wetan

a. Tinggi: jika pendapatan ≥ Rp20 825 000 a. Tinggi: jika pendapatan ≥

Rp11 901 000

b. Sedang: jika pendapatan Rp5 743 000 < x < Rp11 901 000

c. Rendah: jika pendapatan ≤ Rp5 743 000 a. Tinggi: jika pendapatan ≥

Rp5 861 000

b. Sedang: jika pendapatan Rp479 000 < x < Rp5 861 000

(30)

dan dilestarikan, untuk

b. Sedang: jika pengeluaran Rp13 713 000 < x < Rp24 284 000

c. Rendah: jika pengeluaran ≥ Rp24 284 000

a. Tinggi: pilihan nafkah ≥ 5 b. Sedang: Pilihan nafkah 3-4 c. Rendah: pilihan nafkah 1-2

Tingkat resiliensi dilihat dari kedua variabel diatas, dengan cara menjumlahkan total setiap kategori dan kemudian dibagi dua. Tingkat resiliensi digolongkan menjadi dua yaitu rendah dan tinggi

(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa Muara Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Kedua desa ini menjadi desa perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Desa ini terpisah oleh sebuah muara yang juga menjadi batas kabupaten. Penelitian dilakukan mulai dari Desember 2014 hingga Mei 2015 mulai dari penyusunan proposal hingga pada tahap akhir penyelesaian analisis. Penelitian dilakukan secara berurutan perdesa dengan didahului Desa Cikiruh Wetan dan kemudian Desa Muara Binuangeun.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan menggunakan instrumen kuisioner. Namun penelitian ini juga didukung dengan data kualitatif melalui wawancara mendalam, data sekunder dan observasi lapang untuk melihat keseharian keluarga nelayan. Populasi yang diambil di Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan adalah seluruh rumahtangga nelayan dengan unit analisisnya adalah rumahtangga. Pengambilan jumlah responden diambil sebanyak 30 responden dari masing-masing desa. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode sampel acak sederhana (simple random sampling), hal karena rumahtangga nelayan memiliki kecenderungan sistem nafkah yang sama. Jumlah responden sebanyak 30 dari tiap desa ini cukup representatif untuk menggambarkan kondisi kehidupan nelayan di Desa Muara Binuangeun Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan Kabupaten Pandeglang. Responden ini dijadikan sasaran survey untuk memperoleh data, fakta, dan informasi yang diperlukan.

Tabel 2 Metode pengumpulan data

Teknik Pengumpulan

Data

Data yang dikumpulkan

Kuesioner  Karakteristik responden

 Kepemilikan livelihood assets  Strategi nafkah nelayan  Strukturnafkah nelayan

 Tingkat resiliensi rumahtangga nelayan Wawancara

Mendalam

 Bagaimana nelayan memanfaatkan livelihood asset

yang dimiliki dalam kehidupannya  Strategi nafkah nelayan

 Bentuk resiliensi nelayan Observasi

Lapang  Aktivitas yang dilakukan nelayan

Analisis

(32)

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan data yaitu dengan menyederhanakan data yang diperoleh melalui kuisioner. Data ini kemudian digolongkan menurut karakteristiknya sehingga menjadi data yang lebih sederhana. Penyederhanaan ini dilakukan agar menjawab tujuan penelitian dengan jelas. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan Microsoft excel 2007 untuk selanjutnya diolah pada program spss for windows versi 22. Untuk melihat pengaruh antar variabel diuji menggunakan uji regresi. Alpha yang digunakan dalam uji regresi adalah sebesar 20% atau 0,2. Artinya derajat kebenaran dalam penelitian ini adalah 80%. Data dianalisis dengan membandingkan tiga lapisan nelayan yaitu nelayan lapisan ekonomi atas, nelayan lapisan ekonomi menengah, dan nelayan lapisan ekonomi bawah.

Pelapisan ini dilakukan bukan atas dasar kepemilikan perahu dan alat tangkap melainkan digolongkan berdasarkan tingkat ekonomi rumahtangga. Hal ini dilakukan karena rumahtangga nelayan di dua desa melakukan berbagai aktivitas nafkah lain selain melaut. Sehingga muncul rumahtangga nelayan lapisan ekonomi bawah, rumahtangga nelayan lapisan ekonomi menengah, dan rumahtangga nelayan lapisan ekonomi atas. Namun, sistem pelapisan ini memiliki kelemahan karena akan menimbulkan bias. Bias tersebut dapat berupa adanya nelayan buruh yang seharusnya berada di lapisan bawah namun berada di lapisan ekonomi tinggi.

Hasil dari metode kualitatif wawancara, observasi dan analisis data sekunder akan disajikan secara deskriptif. Metode ini digunakan untuk memperkuat data kuantitatif. Setelah semua data diolah, maka tahap selanjutnya disajikan dalam bentuk narasi, tabulasi silang, matriks, bagan, dan gambar yang kemudian ditarik kesimpulannya.

Metode penghitungan struktur nafkah adalah dengan menghitung total pendapatan nelayan selama satu tahun dari semua jenis pekerjaan yang dilakukan. Total pendapatan ini kemudian digolongkan berdasarkan lapisan ekonomi dan ditampilkan dalam bentuk diagram batang. Pembedaan lain yang digunakan adalah pendapatan antar lapisan dari on-fishing economy, off-fishing economy, dan

non-fishing economy. Setelah terbentuk diagram kemudian dianalisis sesuai dengan keadaan lapangan.

Metode penghitungan strategi nafkah dilihat berdasarkan jumlah individu yang melakukan. Sehingga hasilnya memungkinkan dalam satu rumahtangga terdiri dari beberapa individu yang melakukan jenis strategi yang sama. Metode selanjutnya adalah merangking jenis strategi nafkah mulai dari yang paling banyak dilakukan hingga paling sedikit dilakukan.

Metode penghitungan resiliensi nafkah dilihat dari kecepatan waktu

(33)

PROFIL DESA PENELITIAN

Desa Muara Binuangeun Kondisi Fisik

Desa Muara Binuangeun merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak. Untuk menuju ke kantor kecamatan, harus melewati Desa Wanasalam terlebih dahulu dengan waktu tempuh selama 30 menit. Desa Muara Binuangeun merupakan desa yang memiliki sumberdaya laut yang dimanfaatkan secara optimal. Lokasi Desa Muara Binuangeun berada di ujung kecamatan serta ujung kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Cipedang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Wanasalam, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Lautan Indonesia atau Samudera Hindia inilah yang menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat desa.

Selain pemanfaatan sumberdaya laut, di Desa Muara Binuangeun juga terdapat kawasan pertanian. Komoditas pertanian tersebut terdiri dari tanaman jagung, kacang kedelai, kacang tanah, kacang panjang, padi sawah, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, dan cabai. Selain pertanian, masyarakat Desa Muara Binuangeun juga banyak memiliki ternak. Ternak yang dimiliki masyarakat antara lain sapi, kerbau, ayam kampung, bebek dan kambing.

Sarana dan prasarana Desa Muara Binuangeun cukup baik. Prasarana tersebut berupa tempat peribadatan, sekolah, kesehatan, olahraga, jembatan, jalan aspal, serta prasarana ekonomi seperti pasar dan tempat pelelangan ikan. Sarana peribadatan cukup memadai dengan jumlah masjid sebanyak 4 bangunan, dan mushola sebanyak 27 bangunan. Sarana peribadatan ini menyebar di seluruh Desa Muara Binuangeun sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk mengaksesnya. Sarana pendidikan seperti bangunan sekolah juga sangat memadai. Penempatan lokasi bangunan sekolah berada pada tempat yang strategis sehingga tidak menyulitkan siswa untuk pergi ke sekolah. Sarana kesehatan dan sarana olahraga juga terdapat di Desa Muara Binuangeun seperti Puskesmas dan lapangan sepak bola. Selain itu, jembatan beton juga terdapat di Desa Muara Binuangeun yang menghubungkan langsung dengan Desa Cikiruh Wetan Kabupaten Pandeglang. Jembatan ini dalam kondisi yang baik sehingga tidak ada kekhawatiran bagi masyarakat untuk melintasinya.

Ketersediaan sarana ekonomi seperti pasar dan tempat pelelangan ikan sangat memadai. Pasar yang beroperasi setiap hari sejak dinihari hingga sore hari merupakan pasar tradisional. Pasar ini tidak hanya diisi oleh masyarakat Desa Muara Binuangeun namun banyak pedagang yang datang dari luar desa maupun luar kecamatan. Ketersediaan tempat pelelangan ikan juga memudahkan rumahtangga nelayan untuk melakukan kegiatan penjualan ikan. Pelelangan yang ada di Desa Muara Binuangeun selalu ramai setiap harinya dikarenakan aktivitas nelayan yang tidak pernah terhenti.

(34)

Kondisi seperti ini membuat udara laut yang masuk ke rumah lebih besar dibandingkan rumah permanen.

Kondisi Sosial

Jumlah penduduk di Desa Muara Binuangeun adalah 11.116 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 5561 jiwa dan perempuan sebanyak 5.555 jiwa. Jumlah ini didominasi Suku Sunda dan mayoritas beragama Islam. Selain Suku Sunda, terdapat Suku lain seperti Jawa yang sudah lama menetap di Desa Muara Binuangeun. Nelayan merupakan profesi yang paling banyak dimilliki oleh warga desa. Terdapat sebanyak 1681 jiwa yang berpofesi sebagai nelayan. Banyaknya nelayan mengikuti keadaan alam yang berdekatan dengan Lautan Indonesia yang memberikan banyak kehidupan.

Ikatan sosial antar warga masih terbilang erat. Hal ini terlihat dari keterlibatan warga ketika terdapat tetangga yang sedang hajatan. Mereka akan sukarela menjadi relawan meski hanya sekedar membantu memasak dan lainnya. Selain itu, beberapa waktu lalu Desa Muara rutin mengadakan acara syukuran laut

atau mereka sebut sebagai “ruwatan”. Tradisi ruwatan ini dilakukan sebagai

ungkapan rasa syukur atas kelimpahan ikan yang telah membantu memberikan kehidupan bagi nelayan serta seluruh warga. Akan tetapi, karena beberapa alasan tradisi ruwatan tersebut saat ini sudah tidak dilaksanakan lagi.

Dalam sistem nelayan, terdapat kelembagaan langgan dan ikatan

patronase. Langgan merupakan kelembagaan yang di dalamnya terdapat individu yang berperan membantu nelayan. Bantuan tersebut berupa memberikan perahu dan menjadi pelelang ikan yang diperoleh nelayan. Nelayan yang diberikan perahu tersebut memiliki kewajiban untuk memberikan sebesar 10% hasil penjulannya kepada langgan setiap kali melaut. Ikatan ini berlangsung selamanya hingga perahu yang diberikan tidak dapat digunakan lagi. Sedangkan ikatan

patronase adalah ikatan yang dibentuk antara taweu (sebutan lokal untuk pemilik perahu) dengan pandega (sebutan untuk anak buah kapal). Kedua jenis ikatan ini sangat membantu nelayan dalam kehidupannya.

Kondisi Ekonomi

Sebagian besar kegiatan ekonomi yang ada di Desa Muara Binuangeun adalah perikanan tangkap. Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan kemudian di lelang di tempat pelelangan ikan (TPI) yang tersedia. Aktivitas di TPI tidak pernah berhenti setiap harinya karena nelayan aktif mencari ikan. Terdapat beberapa aturan yang dibakukan oleh TPI untuk masyarakatnya. Dari hasil melaut, nelayan harus membayarkan sebanyak 5% dari total pendapatan yang diperoleh setiap harinya. Dana 5 persen ini dialokasikan untuk saving, dana paceklik (musim paceklik) serta dana kematian anggota keluarga nelayan. Dana

(35)

21

Kegiatan perekonomian tidak hanya terjadi di TPI tersebut akan tetapi ada beberapa ikan dengan kualitas bagus yang dikirim ke ibukota. Selain itu, saat ini sudah ada beberapa aturan yang menetapkan larangan terhadap jenis ikan tertentu untuk ditangkap. Contoh jenis spesies yang dilarang adalah tuna dibawah 20 Kg serta lobster yang kurang dari 3 Ons. Hal ini membuat nelayan merasa khawatir karena kedua jenis tersebut bernilai cukup tinggi.

Selain aktivitas kenelayanan, terdapat aktivitas ekonomi seperti pertanian yang juga berkembang di Desa Muara Binuangeun. Hasil pertanian biasa dijual ke luar desa atau di dalam desa. Pasar yang berada di Desa Muara Binuangeun merupakan pasar yang paling besar di kecamatan. Hal ini memudahkan warga desa untuk melakukan kegiatan ekonomi baik untuk menjual atau hanya sekedar membeli keperluan sehari-hari. Selain itu, Desa Muara Binuangeun memiliki keunggulan dibanding desa lainnya. Hal ini karena Desa Muara Binuangeun memiliki industri rumahan seperti industri pengolahan hasil laut. Hasil olahan ini dapat berupa bakso ikan, ikan pindang, teri, dendeng, ikan asin, abon ikan, serta kerupuk ikan. Hasil industri ini tidak hanya di pasarkan di dalam desa, tetapi sudah merambah ke luar desa, luar kecamatan bahkan hingga ke Ibukota Kabupaten.

Kondisi Ekologi

Desa Muara Binuangeun merupakan daerah dataran rendah yang berada tepat dekat pantai Samudera Hindia. Tekstur tanahnya adalah pasiran karena pengaruh dari laut. Samudera Hindia yang digunakan sebagai tempat melaut merupakan laut yang berkarang dengan ombak yang ganas. Badai dan angin sering dirasakan oleh nelayan ketika sedang melaut. Terdapat sungai yang mengalir ke lautan tersebut. Kondisi air sungai berwarna bening. Akan tetapi, aliran sungai yang melintasi tempat pelelangan berwarna cokelat. Hal ini disebabkan karena limbah air dari pelelangan yang dibuang ke sungai tersebut.

Selain itu, kondisi laut yang dekat dengan pemukiman dipenuhi sampah plastik. Sampah ini adalah sisa aktivitas rumahtangga yang tinggal dekat pesisir yang kemudian membuang sampahnya ke laut. Jika dilihat dari musim, pada saat musim kemarau, maka ikan yang ada di Samudera Indonesia ini melimpah.

Desa Cikiruh Wetan Kondisi Fisik

(36)

bangunan. Sarana kesehatan terdiri dari 4 buah posyandu. Gedung pendidikan setingkat SMA/sederajat juga terdapat 1 buah di Desa Cikiruh Wetan. Hal ini memudahkan anak muda yang ingin melanjutkan ke tingkat SMA. Mereka dapat mengakses sekolah yang ada di desanya.

Sementara itu, sarana pelelangan ikan yang terdapat di Desa Cikiruh Wetan belum berumur lama. Meski nelayan Di Cikiruh Wetan melakukan kegiatan melelang ikan di TPI nya, akan tetapi masih banyak nelayan yang melelang hasil tangkapannya di desa pertama. Hal ini tidak hanya terjadi diantara nelayan tetapi juga dilakukan oleh sebagian bakul (penjual ikan) dari Desa Cikiruh Wetan. Mereka menganggap bahwa peluang mendapatkan keuntungan menjadi bakul di Desa Binuangeun lebih besar dibanding Desa Ckiriuh Wetan.

Kondisi laut yang tidak stabil sudah menjadi tantangan tersendiri bagi warga nelayan. Kelimpahan ikan di laut bergantung pada musimnya. Terdapat dua musim yang dikenal oleh masyarakat nelayan. Musim tersebut adalah musim

paceklik yaitu ketika ikan sedikit dan musim panen yaitu ketika ikan melimpah.

Kondisi Sosial

Sebagian besar warga desa di Cikiruh Wetan didominasi oleh Suku Sunda. Agama yang banyak dianut di Desa Cikiruh Wetan adalah Islam. Jumlah penduduk di Desa Cikiruh Wetan yaitu sebanyak 6308 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 3289 jiwa dan perempuan sebanyak 3019 jiwa. Sebagian besar nelayan di desa ini berpusat di daerah dekat pesisir. Kondisi perumahan nelayan sudah terdapat yang permanen, semi permanen, dan non permanen. Ikatan sosial yang terjalin di desa ini juga masih cukup kuat. Hal ini ditunjukkan dari kebiasaan tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesama tetangga. Nelayan Desa Cikiruh Wetan juga memiliki ikatan seperti

langgan dan patronase. Ikatan ini membantu nelayan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya laut yang ada. Ikatan langgan dan patronase tidak hanya terjadi di internal desa namun banyak nelayan yang memiliki ikatan langgan dan patronase dengan nelayan di desa pertama. Hal ini tidak menutup kemungkinan karena tidak ada aturan tertentu yang membatasi jangkauan kedua ikatan tersebut.

Sebagian nelayan di Desa Cikiruh Wetan tergabung dengan kelompok nelayan seperti kelompok usaha bersama (KUB) yang diinisiasi oleh pemerintah. Selain kelompok formal, rumahtangga nelayan juga tergabung dalam kelompok non formal seperti pengajian yang diadakan satu kali dalam seminggu, dan kelompok sosial lainnya. Kegiatan nelayan yang sehari-hari melaut dan memperbaiki kerusakan jaring secara besama-sama sambil bercengkerama menjadikan ikatan sosial yang tejalin semakin erat.

Kondisi Ekonomi

(37)

23

produksi tambak sebanyak 16 ton pertahun. Produksi jermal sebanyak 86 ton pertahun, dan produksi jaring sebanyak 3 ton tahun.

Kegiatan lain yang dilakukan di Desa Cikiruh Wetan tergantung dari pekerjaan utamanya. Ada rumahtangga yang melakukan kegiatan ekonomi di rumah dan adapula yang melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah seperti di pasar. Bagi sebagian besar warga desa memanfaatkan pula pasar yang ada di Desa Muara Binuangeun. Hal ini karena wilayah mereka yang berdekatan serta ikatan sosial yang sudah terjalin erat. Kegiatan lain yang biasa dilakukan rumahtangga nelayan khususnya istri adalah melakukan kegiatan non-fishing eonomy seperti membuka warung, menjual makanan, menjadi buruh cuci, membuka jasa honorer serta kegiatan lainnya.

Ikatan patronase yang terjalin memberikan peluang bagi nelayan untuk memperoleh penghasilan. Pandega (ABK) memperoleh penghasilan dari sistem bagi hasil dari penjualan ikan. Penjualan hasil tangkapan akan dipotong biaya keberangkatan seperti bahan bakar dan bekal, kemudian di potong untuk langgan

dan TPI masing-masing 10% dan 5%. Setelah itu, baru kemudian pandega

mendapatkan bagian. Akan tetapi, bagian tersebut akan jauh lebih kecil dari taweu

(pemilik perahu).

Kondisi Ekologi

Kondisi ekologi Desa Cikiruh Wetan tidak berbeda dengan Desa Muara Binuangeun. Hal ini karena kedua desa bersebelahan satu sama lain. Sumber daya laut yang dimanfaatkan oleh nelayan ini sama. Sungai yang yang mengalir ke laut merupakan sungai yang membatasi kedua desa. Di sebelah kiri dan kanan sungai terdapat pelelangan ikan yang berseberangan. Kedua pelelangan ini beroperasi setiap hari sehingga limbah yang dihasilkan tidak terhenti.

Limbah air ikan dari kedua pelelangan tersebut dibuang ke sungai sehingga kondisi airnya berwarna cokelat. Kondisi tanah Desa Cikiruh Wetan berupa pasiran. Perumahan nelayan berada tepat di sekitar pesisir sehingga mereka membuang sampah di pesisir tersebut. Hal ini yang menyebabkan kondisi pesisir selalu dipenuhi sampah plastik dan berbau tidak sedap.

Gambaran Umum Responden di Dua Desa

Responden di kedua desa masing-masing berjumlah tiga puluh orang. Dari tiga puluh orang kemudian di golongkan berdasarkan rata-rata tingkat pendapatan masing-masing desa. Responden dari kedua desa tidak semua memiliki perahu. Pemilik perahu di Desa Muara Binuangeun adalah sebanyak 12 orang dan di Desa Cikiruh Wetan sebanyak 11 orang. Pelapisan berdasarkan pendapatan membuat nelayan pemilik perahu tidak selamanya berada di lapisan ekonomi atas. Hal ini karena selain melakukan kegiatan melaut, nelayan juga memperoleh pendapatan dari pekerjaan lain.

(38)

sebanyak 33%. Pada lapisan ekonomi menengah di kedua desa diisi oleh sebagian pemilik kapal dan bukan pemilik kapal.

Pada lapisan ekonomi atas terdapat perbedaan antara Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan. Lapisan ekonomi atas di Desa Muara Binuangeun masih ada nelayan bukan pemilik kapal yaitu sebesar 14%. Sementara itu, di Desa Cikiruh Wetan lapisan ekonomi atas hanya diisi oleh nelayan pemilik kapal.

Pada masyarakat nelayan di kedua desa terdapat sistem bagi upah yang jika dilihat lebih mendalam terdapat ketimpangan. Ketimpangan tersebut tercipta karena pembagian hasil yang diperoleh juragan (pemilik kapal) jauh lebih besar dari upah ABK. Berikut adalah ilustrasi sistem pembagian upah yang dilakukan dengan asumsi 4 orang yang pergi melaut ( 3 ABK + pemilik kapal).

Gambar 3 Ilustrasi sistem bagi upah di dua desa

Ikhtisar

Desa Muara Binuangeun dan Desa Cikiruh Wetan merupakan dua desa yang berada di wilayah administratif yang berbeda. Desa Muara Binuangeun berada di Kabupaten Lebak dan Desa Cikiruh Wetan berada di Kabupaten Pandeglang. Akan tetapi secara wilayah kedua desa ini berada bersampingan dengan lokasi Desa Cikiruh Wetan berada di sebelah barat dan Desa Muara Binuangeun berada di sebelah timur.

Diantara kedua desa ini terdapat sebuah sungai yang bermuara ke laut Selatan Jawa. Sungai ini menjadi penyatu antara kedua desa dengan difasilitasi sebuah jembatan beton besar dengan kondisi baik. Nelayan di kedua desa ini memanfaatkan sumber daya laut yang sama serta menjalin ikatan kesalingtergantungan. Jenis ikatan tersebut adalah ikatan langgan dan patron client. Ikatan ini memberikan keuntungan bagi kedua pihak baik antara langgan dengan nelayan maupun antara taweu (pemilik perahu) dengan pandega (anak buah kapal).

Kondisi ekonomi di kedua desa dikatakan cukup berkembang karena kedua desa ini merupakan penghasil ikan tangkap yang sudah dikenal. Selain memasarkan hasil ikan di desa, ikan tersebut dijual juga ke luar desa oleh tangan kedua. Selain menjual ikan dalam kondisi segar, rumahtangga nelayan juga melakukan berbagai industri pengolahan hasil laut meski dalam skala kecil.

Pendapatan melaut TPI (5%)

Nelayan (85%) Langgan (10%)

ABK (42,5%) Juragan (42,5%)

ABK 1 (10.6%)

(39)

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN

Struktur Nafkah Rumahtangga Nelayan di Desa Muara Binuangeun

Nelayan di Desa Binuangeun memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di desanya. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya alam. Namun kondisi sumberdaya laut yang besifat open acces ini membuat banyak nelayan yang memanfaatkan yang berdatangan baik dari luar desa maupun dari luar daerah. Akan tetapi, hal ini juga tidak menutup kemungkinan nelayan di Desa Muara Binuangeun memperluas wilayah tangkapannya ke daerah orang lain. Masalah lain, kelimpahan ikan yang tidak konstan pertahunnya membuat nelayan kadang tidak mendapatkan hasil apapun dari laut. Kondisi ini kemudian yang membuat sebagian nelayan mencari sumber pendapatan lain dengan memanfaatkan sektor non-fishing economy.

Struktur nafkah yang dimiliki nelayan sangat beragam. Setiap nelayan yang memiliki perahu akan memperoleh pendapatan langsung dari perikanan tangkap, sedang bagi nelayan yang tidak memiliki perahu mereka mendapatkan uang dari hasil bagi upah. Hasil yang diperoleh itu termasuk ke dalam sektor on-fishing economy dan off-fishing economy. Hasil yang mereka peroleh dari pekerjaan darat adalah non-fishing economy.

Non-fishing economy tidak selamanya dimiliki oleh setiap nelayan di Muara Binuangeun. Hal ini terjadi karena nelayan memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal pekerjaan darat. Nelayan yang tidak memiliki kemampuan lain selain melaut tidak dapat melakukan pekerjaan apapun meski sedang dalam keadaan rentan. Nelayan yang seperti ini hanya memanfaatkan sumberdaya laut dan ketika musim paceklik mereka hanya berdiam di rumah. Hal yang biasa dilakukan adalah memperbaiki jaring atau memperbaiki perahu taweu (juragan). Apabila nelayan memiliki pekerjaan lain maka mereka akan mampu memenuhi kebutuhan saat musim paceklik tanpa harus meminjam. Berikut adalah gambaran struktur nafkah di Desa Muara Binuangeun berdasarkan lapisan ekonomi.

(40)

Berdasarkan gambar 4 dapat kita lihat bahwa pendapatan yang diperoleh dari sektor on-fishing economy memiliki kecenderungan meningkat mulai dari lapisan ekonomi bawah hingga lapisan ekonomi atas. Lapisan ekonomi bawah bahkan tidak menunjukan adanya on-fishing economy dalam struktur nafkah mereka. Kondisi ini karena semakin nelayan memiliki perahu maka akan semakin tinggi lapisan ekonominya. Pada lapisan ekonomi bawah di desa ini hanya diisi oleh nelayan buruh (ABK) yang notabene pendapatan dari hasil bagi upahnya sangat rendah. Sementara pemilik perahu di Desa Muara Binuangeun memiliki pendapatan di atas rata-rata desa yaitu Rp22 300 000 karena sistem bagi upah yang sudah membudaya. Nelayan pemilik perahu juga biasanya memiliki istri yang ikut bekerja di bidang non-fishing economy. Hal ini ditunjukan dengan besarnya sektor non-fishing economy pada gambar tersebut. Tidak adanya perahu bagi nelayan membuat mereka terus menerus berada dalam kemiskinan. Berikut penuturan Bapak SD (50):

Kitamah dari dulu gak punya perahu, ke laut ya sama orang lain terus. Dari saya kecil saya sudah ikut orangtua melaut. Jadi saya bisa melaut ya karena pengalaman dari bapak saya. Lama-lama saya biasa. Udah puluhan tahun jadi nelayan sampe anak saya jadi nelayan juga tapi ekonomi kayak gini-gini aja. Gak ada peningkatan. Di rumah gak punya apa-apa. Jadi nelayan itu susah, musim-musiman. Gak kayak kerja di darat tiap hari ada penghasilan. Kita mah ya kadang gak dapet apa-apa dari laut. Buat makan aja kadang ya harus pinjem.

Pada gambar 4 juga dapat kita lihat pada sektor non-fishing economy untuk golongan bawah sangat kecil yaitu rata-rata pendapatan yang berkisar antara Rp630 000 pertahun untuk satu keluarga. Sektor non-fishing economy pada golongan bawah sebagian besar mereka peroleh dari bantuan pemerintah yang turun tiga bulan sekali. Kecilnya pendapatan dari sektor ini membuat keluarga nelayan lapisan ekonomi bawah sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Minimnya pendapatan dari non-fishing economy disebabkan karena kepala keluarga hanya bekerja memanfaatkan hasil laut tanpa mencoba masuk ke sektor lain. Begitu juga dengan istri yang hanya bergantung pada kemampuan melaut suami. Kurangnya keterampilan dan kurangnya modal merupakan penyebab kaum istri yang tidak mencoba mencari pekerjaan untuk membantu suami sehingga dalam hal ekonomi mereka selalu merasa kesulitan.

Pada lapisan ekonomi menengah pendapatan yang diperoleh dari ketiga sektor sudah mulai terlihat. Pendapatan paling besar diperoleh dari sektor on-fishing economy yaitu rata-rata pendapatan per rumahtangga pertahun adalah sekitar Rp9 280 000. Artinya pada golongan menengah ini masih terdapat pemilik perahu yang pendapatannya tidak diatas rata-rata desa (Rp22 300 000). Namun, baik pemilik perahu maupun bukan pemilik perahu mereka juga sudah mulai melakukan kegiatan pada sektor non-fishing economy seperti membuka warung bagi para istri, menjadi buruh cuci, atau pekerjaan lainnya. Kegiatan di sektor non-fishing economy ini memberikan sumbangsih besar bagi rumahtangga nelayan terhadap pemenuhan kebutuhan. Selain itu, pada golongan menengah ini pendapatan sektor non-fishing economy sangat membantu perekonomian keluarga terlebih lagi pada saat musim paceklik tiba.

Gambar

Gambar 1 Kerangka diversifikasi mata pencaharian pedesaan (Sumber : Ellis,
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
Tabel 1 Definisi Operasional
Gambar 3 Ilustrasi sistem bagi upah di dua desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 20 Persentase perbandingan struktur nafkah rumahtangga pedagang warung di Pemandian Air Panas Lokapurna dan Curug Cigamea Grafik tersebut menunjukkan bahwa kawasan

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada rumahtangga penenun di Dusun Sade, meskipun dengan pendapatan yang rendah tetap dapat bertahan dalam menghadapi guncangan, hal

Perubahan lanskap ekologi dari kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan perubahan struktur nafkah pada semua lapisan rumahtangga petani yaitu rata-rata

Abstrak: Tulisan ini membahas mengenai strategi nafkah keluarga nelayan miskin perkotaan di Teluk Penyu Cilacap dan Pantai Kedonganan Bali yang merupakan kelompok nelayan yang

Penggunaan sumberdaya alam lokal yang digunakan sebagai sumber nafkah penting bagi rumahtangga petani di desa Mantangai Hilir adalah bersumber dari hasil perkebunan

Mereka umumnya akan lebih intensif pada pendapatan non pertanian atau melakukan strategi diversifikasi nafkah dengan memanfaatkan anggota rumahtangga lain untuk bekerja di

Perubahan pada status penguasaan lahan serta akses dan kontrol mereka terhadap sumberdaya hutan turut berimbas pada variasi penerapan strategi nafkah yang dijalankan oleh

Strategi Nafkah Rumah Tangga Nelayan Modern dan Tradisional dan Fungsinya terhadap Ekonomi Rumah Tangga Akibat dari adanya berbagai keterbatasan tersebut, memanfaatkan jaringan