• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

NURUL NAJMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Nurul Najmi

(3)

Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang. Dibimbing oleh

MENNOFATRIA BOER dan FREDINAN YULIANDA.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting bagi perairan dan menjadi habitat bagi ikan dan biota laut lainnya. Berbagai macam manfaat dan tingginya produktifitas yang terjadi pada ekosistem terumbu karang menyebabkan terjadinya pemanfaatan yang cukup besar di wilayah pesisir dan laut seperti: aktivitas penangkapan, peningkatan jumlah wisatawan, pembangunan di wilayah pesisir, peningkatan limbah dan pencemaran. Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi terumbu karang dan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan di Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Sabang serta menyusun pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang yang efektif di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh.

Penelitian dilakukan mulai Bulan Mei Tahun 2015 di kawasan Pesisir Timur Pulau Weh Sabang. Survei kondisi terumbu karang dan ikan karang pada enam lokasi yaitu: Sumur Tiga, Ujung Kareung, Reutek, Benteng, Anoi Itam dan Ujung Seuke. Pengambilan data dengan mengukur, kualitas air, persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan pertumbuhan anakan karang (karang muda). Pengambilan data persen tutupan karang dilakukan dengan metode Point Intercept Transect (PIT), pengambilan data anakan karang dengan menggunakan transek kuadrat dan kelimpahan ikan menggunakan metode Underwater Fish Visual Census (UVC). Pengambilan data sosial, ekonomi dan kelembagaan dilakukan wawancara mendalam (depth interview), kuesioner dan FGD. Keberlanjutan pengelolaan dilihat dengan analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan menggunakan tiga dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial-ekonomi, dan dimensi kelembagaan.

Penilaian status keberlanjutan dengan menggunakan analisis Rapfish yang selanjutnya dilihat dari analisis MDS. Pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang memiliki status cukup berkelanjutan (70.77). Persentase tutupan karang tertinggi berada di Benteng yaitu sebesar 65% dengan genus yang dominan ditemukan yaitu Porites

sebesar 63%. Kelimpahan koloni anakan (recruitmen) karang tertinggi berada pada lokasi Ujung Seuke yaitu sebanyak 9.2 koloni/m2. Kelimpahan ikan tertinggi berada di Ujung Seuke yaitu sebesar ±380 ind/250 m2. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di kawasan yaitu dengan melakukan transplantasi karang, menyediakan substat baru untuk memancing pertumbuhan anakan (rekruitmen) karang, meningkatkan kelimpahan ikan Herbivora, membatasi penangkapan ikan berdasarkan ukuran, membatasi pembangunan di pesisir, sanksi yang tegas, mensinergikan antara kebijakan kawasan konservasi dengan perizinan tata ruang, menghitung daya dukung kawasan dan mengkaji ulang pembentukan Kawasan Konservasi Pesisir Timur Pulau Weh Sabang yang ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam Perairan (SAP).

(4)

SUMMARY

NURUL NAJMI. Coral Reefs Ecosystem Management in Area of Eastern Coastal Water Conservation Weh Island Sabang. Supervised by MENNOFATRIA BOER and FREDINAN YULIANDA.

Coral reef ecosystems are very important ecosystems for water and a habitat for fish and other marine life. A wide variety of benefits and the high productivity that occurs in coral reef ecosystems caused considerable utilization of coastal and marine areas as: fishing activities, an increase in the number of tourists, coastal development, increased waste and pollution. This study aimed to analyze the condition of coral reefs and the problems that occurred in the management in Area of Eastern Coastal Water Conservation Weh Island Sabang and compiles the effective coral reef resource management in Area of Eastern Coastal Water Conservation Weh Island Sabang.

The research was conducted in May 2015 in the Eastern Coastal region Weh Island Sabang. Surveying the condition of coral reefs and reef fish at six locations, namely: Sumur Tiga, Ujung Kareung, Reutek, Benteng, Anoi Itam, and Ujung Seuke. Retrieval of data by measuring water quality, the percentage of coral cover, the abundance of reef fish, and coral saplings growth (recruitment). Data retrieval of percentage coral cover was conducted using Point Intercept Transect (PIT), data retrieval of coral saplings using transects squares, and an abundance of fish using the methods of Underwater Fish Visual Census (UVC). Furthermore, data retrieval of social, economic, and institutional was conducted using depth interviews, the questionnaire, and Focus Group Discussion (FGD). Sustainability management viewed with the analysis of Multidimensional Scaling (MDS) that used in three dimensions, namely ecological, socio-economic dimension, and institutional dimensions.

The assessment of sustainability status by using Rapfish analysis hereinafter seen from MDS analysis. Coral reef ecosystem management in Area of Eastern Coastal Water Conservation Weh Island Sabang has sustained enough status (70.77). The highest percentage of coral cover is in Benteng amounting to 65% with a dominant genus Porites found that by 63%. The highest abundance colony of saplings (recruitment) were in Ujung Seuke as many as 9.2 colonies / m2. The highest fish abundance in Ujung Seuke was equal to ± 380 ind / 250 m2. Coral

reef management strategies in the area, namely transplanting corals, providing a new substat for stimulating coral saplings growth (recruitment), increasing the abundance of herbivorous fish, limiting fishing by size, limiting coastal development, strict sanctions, synergize between policy in the conservation area and the licensing of spatial, counting the carrying capacity of the area, and review the formation of the Eastern Coastal Conservation Areas Weh Island Sabang which set up as the area of Water Nature Reserve (SAP).

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG

DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH

PESISIR TIMUR PULAU WEH SABANG

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(7)
(8)
(9)

Judul Penelitian : Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang

Nama : Nurul Najmi

NRP : C252130131

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA

Ketua

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini adalah Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh Sabang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji pada ujian tesis yang telah banyak memberikan saran dan masukan di dalam menyempurnakan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua Drs Alidin Banurea dan (Alm) Aisyah atas doa dan kasih sayang tanpa batas untuk Ananda dan seluruh keluarga tercinta Brigadir Rahmat Z dan Agustina Banurea, SKM., dr. Rahmat Syukur Banurea, Ajmal Banurea, Sindi Hayatun Banurea, S.Farm. Keponakan tersayang Reyhan Muhammad Azka, Zidna Arifa. Mucut dan Yahmu. Rekan penelitian Jhon Septin M. Siregar, MSi atas bantuan dan suportnya, teman-teman SPL-IPB angkatan tahun 2013 dan Dr Yonvitner, SPi MSi selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Trimakasih pula kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang, Panglima Laot Lhok Ie Meulee, Panglima Laot Anoi Itam, seluruh nelayan dan masyarakat PTPW Sabang, BAPEDA Kota Sabang, Badan Pusat Statistik Kota Sabang dan WCS Kota Sabang atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimah kasih penulis kepada seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu karena telah memberikan banyak masukan dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Bogor, Agustus 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Penelitian 4

2 METODELOGI PENELITIAN 6

Waktu dan Tempat 6

Alat dan Bahan Penelitian 6

Metode Pengambilan Data 6

Jenis dan Sumber Data 7

Analisis Indikator Ekologi 7

Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kelembagaan 12

Analisis Strategi Pengelolaan 13

Rekomendasi Pengelolaan 14

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Kondisi Ekologi Terumbu Karang 15

Kondisi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Sabang 15

Persentase Tutupan Terumbu Karang 16

Pertumbuhan Anakan (Rekruitmen) Karang 20

Kelimpahan Ikan Karang 22

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 26

Pendapatan Masyarakat Pesisir 26

Pemahaman Masyarakat Akan Pentingnya Terumbu Karang 27

Kelembagaan 30

Permasalahan Yang Terjadi di Lapangan 31

Managemen Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang 33 Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di

Kawasan Konservasi Perairan Sabang

34

Status Keberlanjutan Pengelolaan Dimensi Ekologi 36 Status Keberlanjutan Pengelolaan Dimensi Sosial Ekonomi 38 Status Keberlanjutan Pengelolaan Dimensi Kelembagaan 41 Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu

Karang di Kawasan Konservasi Perairan Sabang

44

Arahan Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Koservasi Perairan PTPW Sabang

48

(12)

4 SIMPULAN DAN SARAN 53

Simpulan 53

Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 61

(13)

DAFTAR TABEL

1. Peralatan Pengambilan Data Parameter Perairan 7

2. Jenis, Sumber dan Analisis Data 8

3. Kategori Persentase Tutupan Karang 9

4. Tingkat Kelimpahan Rekrutmen Karang dalam Kuadrat 1x1 m 9

5. Kategori Kelimpahan Ikan Karang 10

6. Kategori Kelimpahan Ikan Berdasarkan Kelompok Ikan Karang 10

7. Daftar Responden 13

8. Nilai Indeks Status Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang

14

9. Kondisi Kualitas Perairan di Kawasan PTPW Sabang 15 10. Jumlah Spesies, Spesies Dominansi, Indek Keanekaragaman, Indek

Keseragaman dan Indek dominansi Setiap Lokasi Pengamatan

26

11. Aturan dan Sanksi Adat “Hukum Panglima Laot” 28

12. Permasalahan dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang 32

13. Dimensi Ekologi 36

14. Dimensi Sosial Ekonomi 39

15. Kriteria dan Skor Pada Dimensi Kelembagaan 42

16. Nilai Indeks Multidimensi Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Di KKPD PTPW Sabang

46

17. Nilai Statistik Hasil Analisis RAPFISH Pada Dimensi Keberlanjutan dan Multi-Dimensi

46

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran Penelitian 5

2. Peta Lokasi Penelitian 6

3. Tutupan Karang Keras di PTPW Sabang Tahun 2015 16

4. Persentase Genus Karang di KKPD PTPW Sabang 18

5. Tutupan Karang Hidup Di KKPD PTPW Sabang Tahun 2009 - 2015

(Data WCS dan Lapangan) 19

6. Kelimpahan Koloni Karang Muda Tahun 2015 20

7. Persentase Substat Dasar Perairan di Kawasan PTPW Sabang 21 8. Kelimpahan Ikan Karang di PTPW Sabang Tahun 2015 22 9. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Kelompok di Kawasan

PTPW Sabang

23

10. Jumlah Ikan Karang dalam Setiap Famili di Kawasan PTPW Sabang 25

11. Pendapatan/bulan Masyarakat PTPW Sabang 26

12. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kawasan PTPW Sabang

30

13. Hasil Analisis RAPFISH Dimensi Ekologi 37

14. Analisis Leverage Dimensi Ekologi 37

15. Analisis Monte Carlo Dimensi Ekologi 38

16. Analisis RAPFISH Dimensi Sosial Ekonomi 39

(14)

18. Analisis Monte Carlo Dimensi Sosial Ekonomi 41

19. Analisis RAPFISH Dimensi Kelembagaan 42

20. Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan 43

21. Analisis RAPFISH Secara Multidimensi 44

22. Diagram Layang-Layang (Kite Diagram) dalam 3 (Tiga) Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan KKPD Sabang

45

23. Analisis Leverage Multidimensi 47

24. Pengelolaan Yang Berkelanjutan 49

25. Ukuran Kelompok Ikan Targer di Kawasan KKPD Sabang 51

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuisioner Penelitian 61

2. Penentuan Skoring Untuk Masing-Masing Kriteria dalam Menentukan Status Pengelolaan di KKPD PTPW Sabang

70

3. Keberadaan Genus Karang di Setiap Lokasi Pengamatan 72 4. Life Form Yang Ditemukan Pada Masing-Masing Lokasi Pengamatan 72 5. Komposisi Tutupan Karang Keras di Kawasan PTPW Sabang 73

6. Komposisi Ikan Karang di Lokasi Penelitian 74

7. Kelompok, Famili dan Spesies Ikan Karang di Kawasan PTPW Sabang

78

8. Komposisi Genus Anakan (rekruitmen) Karang di PTPW Sabang 81 9. Atribut, Status, Kriteria dan Skor Pada Dimensi Ekologi 81 10. Atribut, Status, Kriteria dan Skor Pada Dimensi Sosial Ekonomi

Masyarakat

82

11. Atribut, Status, Kriteria dan Skor Pada Dimensi Kelembagaan 82 12. Patahan Karang dan Karang yang Ditumbuhi Alga (DCA) 83

13. Kerusakan Terumbu Karang 84

14. Pertumbuhan Karang Keras 85

15. Kelimpahan Ikan Karang 86

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau Weh Sabang merupakan titik Nol Kilometer Negara Indonesia yang terletak pada 05o 46’ 28” LU – 05o54’ 28” LU dan 95o 13’ 02” BT – 95o22’ 36” BT. Pesisir Timur Pulau Weh (PTPW) merupakan wilayah yang berada di bagian Timur Pulau Weh dengan panjang garis pantai ±15.8 km, terbentang mulai dari Pantai Paradiso hingga ke Ujung Seukee. Kawasan ini didominasi oleh ekosistem terumbu karang dengan tipe karang tepi. Sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya laut, terutama yang berasal dari ekosistem terumbu karang.

Dalam rangka mewujudkan kelestarian, melindungi dan memanfaatkan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistem perairan PTPW Sabang, berdasarkan Keputusan Walikota Sabang Nomor 729 Tahun 2010, PTPW Sabang dicadangkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Tindak lanjut dari pencadangan tersebut PTPW Sabang ditetapkan sebagai KKPD oleh Walikota Sabang pada tanggal 10 Juni 2011 melalui surat Walikota Sabang No 523/2080. Berdasarkan Laporan Hasil Evaluasi Penetapan KKPD tersebut, pada Tanggal 31 Juli 2013 Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan PTPW Sabang sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah melalui KEPMEN-KP No 57 Tahun 2013.

Kondisi terumbu karang di kawasan PTPW Sabang berdasarkan hasil penelitian dari Wildlife Conservation Society (WCS) persentase tutupan karang di setiap titik pengamatan tahun 2006, 2008 dan 2009 adalah 28.04%, 29.47% dan 32.71%, pada tahun 2011 kondisi terumbu karang mengalami penurunan yaitu 32.43%. Kondisi ini akibat kenaikan suhu permukaan air laut pada tahun 2010 (Ulfa 2011 dan Hastuty et al.2013). Muttaqin (2014) menyatakan pada Bulan April 2010 NOAA mengeluarkan data yang menunjukkan suhu permukaan air laut merupakan suhu yang paling panas dibanding dengan April pada tahun-tahun sebelumnya yaitu mencapai 33oC. Peningkatan suhu ini mengakibatkan banyak terumbu karang di PTPW Sabang mati. Sebesar 80% dari beberapa spesies karang mengalami kematian dan ini salah satu kematian karang terburuk yang pernah tercatat di Aceh (Ulfa 2011).

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting bagi perairan dan menjadi habitat bagi ikan dan biota laut lainnya. Banyaknya manfaat dan tingginya produktifitas yang terjadi pada ekosistem terumbu karang menyebabkan terjadinya pemanfaatan yang cukup besar di wilayah pesisir dan laut seperti: aktivitas penangkapan, peningkatan jumlah wisatawan, pembangunan di wilayah pesisir, peningkatan limbah yang menyebabkan pencemaran terhadap perairan baik dari aktivitas kapal (tumpahan minyak) dan peningkatan limbah rumah tangga yang mengalir ke perairan.

(16)

Menurut Permen No. 60 Tahun 2007 Kawasan Konservasi Perairan yaitu kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan ditetapkan berdasarkan kriteria ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Penetapan kawasan konservasi perairan dengan tujuan: (a) melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya; (b) mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistemnya serta jasa lingkungannya secara berkelanjutan; (c) melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di dalam dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan; (d) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan.

KKPD PTPW Sabang ditetapkan sebagai Suaka Alam Perairan (SAP) dengan luas kawasan lebih kurang 3.207, 98 Ha. Berdasarkan Permen KP No. 02 Tahun 2009 tentang tata cara penetapan kawasan konservasi perairan menyatakan SAP ditetapkan dengan tujuan pengelolaan untuk perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistem. Dengan kriteria sebagai berikut:

a. Memiliki satu atau lebih jenis ikan yang khas, unik, langka, endemik dan/atau yang terancam punah di habitatnya yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian, agar dapat terjamin keberlangsungan perkembangannya secara alami;

b. Memiliki satu atau beberapa tipe ekosistem yang unik dan/atau yang masih alami;

c. Memiliki luas perairan yang mendukung keberlangsungan proses ekologis secara alami serta dapat dikelola secara efektif.

Adanya peran Lembaga Panglima Laot dan masyarakat setempat yang bekerjasama dengan pemerintah dalam mengelola kawasan ini menjadikan wilayah tersebut menarik untuk dikaji, terutama tentang pengelolaan sumberdaya terumbu

karang di KKPD PTPW Sabang yang berbasis kearifan lokal “Panglima Laot”.

Untuk mempelajari sistem pengelolaan yang sedang berjalan diperlukan kajian yang komprehensif terkait antara sosial ekonomi yang dapat mendukung pelestarian ekologis dimasa yang akan datang dalam struktur kelembagaan yang sesuai. Alasan ini yang menjadi dasar dilakukannya penelitian tentang Pengelolaan sumberdaya Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sabang. Untuk mengetahui status pengelolaan di kawasan saat ini, maka perlu melihat kondisi sumberdaya ekosistem terumbu karang dengan menganalisis kondisi ekologi, sosial ekonomi masyarakat serta kekuatan kelembagaan yang berjalan saat ini.

Perumusan Masalah

(17)

karang menurun menjadi 30.12 %. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa terumbu karang merupakan tempat hidup dan berlindung biota-biota laut, sebagai sumber pendapatan nelayan dan penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat di kawasan pesisir, selain itu terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak.

Permasalahan lain adalah wilayah penangkapan yang awalnya berjarak 300 m dari pesisir pantai kini mulai menjauh hingga mencapai 1 mil dari pesisir pantai. Perubahan ini merupakan penyebab ketersediaan ikan karang di kawasan mulai mengalami penurunan. Berkurangnya ikan di kawasan telah terjadi beberapa tahun silam akibat penggunaan alat tangkap yang merusak dimasa lalu, hal yang sama terjadi pada kondisi terumbu karang. Berkurangnya tutupan karang dan ikan karang memengaruhi mata pencaharian nelayan dan perekonomian masyarakat. Kondisi ini berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat PTPW Sabang. Sebagian besar masyarakat PTPW Sabang sangat bergantung pada perikanan dan wisatawan. Ketergantungan ini menyebabkan masyarakat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan perekonomian, salah satunya melakukan penangkapan di zona inti. Aspek antar sosial juga sering muncul seperti konflik antar nelayan akibat perbedaan cara pandang nelayan terhadap wilayah tangkap antara nelayan di kawasan dengan nelayan dari luar kawasan.

Aspek lain yang dapat menggaggu pertumbuhan karang adalah peningkatan jumlah penduduk dan wisatawan. Peningkatan tersebut berdampak pada peningkatan pembangunan skala besar. Pembangunan berlebihan yang terjadi di daratan dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang, baik dari segi perubahan struktur kawasan maupun pencemaran yang diakibatkan dari proses pembangunan tersebut. Kerusakan terumbu karang lainnya juga dipengaruhi oleh tingginya pencemaran, seperti tumpahan minyak kapal, sampah yang dibuang ke laut dan bahan kimia berupa limbah rumah tangga. Kerusakan lain seperti, buangan jangkar kapal dan penangkapan ikan dengan menggunkan speargun dapat menyebabkan karang patah dan tercabut dari substatnya. Jika hal ini terus berlanjut dikhawatirkan sumberdaya terumbu karang akan terancam punah sehingga berdampak pada perekonomian dan sosial masyarakat. Olek karena itu perlu kebijakan yang sinergis untuk mengatur aktifitas yang terjadi di PTPW Sabang dalam mengoptimalkan tujuan dari pembentukan kawasan konservasi. Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka perlu untuk mempelajari sistem pengelolaan yang telah ada untuk memperbaiki dan melanjutkan pengelolaan kedepan secara berkelanjutan.

(18)

Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kondisi terumbu karang dan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan di Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Sabang.

2. Menyusun pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang yang efektif di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah setempat dalam upaya peningkatan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh (KKPD PTPW) Sabang untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang memiliki nilai ekonomis penting bagi wilayah pesisir dan masyarakat sekitarnya. Banyaknya manfaat yang dihasilkan oleh ekosistem terumbu karang baik dari fisik maupun biologi, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara pemanfaatan dengan perlindungan yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir. Untuk melindungi dan mempertahankan keberadaan terumbu karang yang memiliki banyak potensi tersebut, maka perlu dilakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan konsep keseimbangan, kelestari dan berkelanjutan.

Partisipasi aktif masyarakat lokal dan lembaga adat merupakan kunci utama dalam keberhasilan kawasan konservasi yang berkelanjutan yang disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya laut cukup tinggi, sehingga masyarakat berupaya seoptimal mungkin menjaga sumberdaya tersebut; (2) masyarakat lebih memahami permasalahan sekitarnya, sehingga memudahkan pengelolaan sumberdaya tersebut; (3) pengelolaan berbasis masyarakat dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut, dan (4) pengawasan dan kontrol oleh masyarakat akan lebih efektif, karena masyarakat berada di sekitar sumberdaya itu berada.

Untuk mengetahui kondisi pengelolaan Ekosisten Terumbu Karang di KKPD PTPW Sabang, maka dilakukan pendekatan terhadap beberapa dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial ekonomi dan dimensi kelembagaan. Dengan melakukan pendekatan terhadap beberapa dimensi tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan habitat pesisir khususnya terumbu karang, sehingga dengan pertumbuhan terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat di kawasan. Kesadaran dan kepedulian masyarakat sangat penting untuk meningkatkan kelestarian ekologis wilayah pesisir dimasa mendatang. Menaati aturan-aturan yang menyokong keberlanjutan ekologis untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat dengan bantuan kelembagaan “Panglima

(19)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Rekomendasi pengelolaan terumbu karang di KKPD PTPW Sabang Faktor Alami

- Pemutihan karang

Ekosistem Terumbu Karang

Faktor Manusia

- Pembangunan daerah pesisir

- Aktifitas penangkapan yang merusak Degradasi Ekosistem Terumbu Karang

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Analisis strategi

Analisis keberlanjutan

Multidimensionsal Scaling (MDS) Dimensi Ekologi

- - Kondisi perairan

- Persen tutupan karang

- - Kelimpahan ikan - - Anakan karang

Dimensi Sosial ekonomi - Persepsi masyarakat - Aturan tentang pengelolaan - Partisipasi masyarakat - Konflik antar nelayan - Pemanfaatan SDTK - Tingkat pendidikan - Penghasilan - Sumber modal

- Keterkaita dengan wisatawan - Ukuran ikan

Dimensi Kelembagaan - Peran masyarakat - Peran NGO

(20)

6

2 METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Pesisir Timur Pulau Weh (PTPW) Sabang. Untuk pengambilan data kondisi terumbu karang dan ikan karang dilakukan pada enam lokasi pengamatan di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Sabang (Gambar 2). Lokasinya yaitu: Sumur Tiga, Ujung Kareung, Reutek, Benteng, Anoi Itam dan Ujung Seuke. Penentuan lokasi pengambilan data ekologi didasari karena lokasi tersebut telah dilakukan survey terhadap kondisi terumbu karang dan ikan karang beberapa tahun pengamatan yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society (WCS). Selain itu juga untuk membandingkan data primer dengan data sekunder terhadap pertumbuhan ekologi di kawasan PTPW Sabang. Penelitian ini dilakukan mulai Bulan Mei-April Tahun 2015.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan pada pengambilan data ekologi di lapangan dalam penelitian ini terdiri dari rubber boat, transek (150 m), transek kuadrat (50x50 cm), Global Positioning System (GPS), kamera digital bawah air, alat tulis bawah air dan peralatan selam dengan menggunakan Self Contained Underwater Buoyancy Apparatus (SCUBA) serta peralatan untuk pengambilan data parameter perairan (Tabel 1). Sedangkan untuk pengambilan data sosial ekonomi dan kelembagaan menggunakan kuisioner.

Metode Pengambilan Data

(21)

persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan pertumbuhan anakan karang (karang muda). Pengambilan data yang berhubungan dengan indikator sosial ekonomi masyarakat yang menjadi fokus permasalahan adalah persepsi masyarakat, kepatuhan masyarakat akan aturan tentang pengelolaan, partisipasi masyarakat, konflik antar nelayan, pemanfaatan sumberdaya terumbu karang, tingkat pendidikan masyarakat, penghasilan masyarakat, sumber modal, ukuran ikan dan keterkaitan masyarakat terhadap wisatawan. Data untuk indikator kelembagaan adalah peran masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang, peran NGO, peran pemerintah/DKP Sabang, peran Panglima Laot, aturan Panglima Laot dan adanya pengelolaan perikanan (zonasi).

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder berupa data kualitatif dan kuantitatif yang dijabarkan berdasarkan jenis, sumber dan analisis data (Tabel 2). Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuisioner dan wawancara berbentuk data kuantitatif, kemudian data tersebut ditabulasikan berupa data skoring. Ketika pertanyaan-pertanyaan yang dibutuhkan untuk menjawab data kuantitatif belum mampu untuk menjawab permasalahan, maka dibutuhkan data-data kualitatif untuk mempertajam data kuantitatif tersebut.

Analisis Indikator Ekologi

Pengukuran dan analisis data untuk indikator biofisik yaitu dengan mengukur, kualitas air, persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan pertumbuhan anakan karang (karang muda) pada enam stasiun pengamatan yaitu stasiun Sumur Tiga, Ujung Kareung, Reuteuk, Benteng, Anoi Itam dan ujung Seuke. Pengambilan data terhadap enam stasiun ini dengan pertimbangan bahwa stasiun-stasiun tersebut telah mewakili dari beberapa zonasi diantaranya zona inti, zona pemanfaatan dan zona perikanan berkelanjutan.

a) Kualitas Perairan

Pengukuran dan pengambilan kualitas air dilakukan selama penelitian sebanyak satu kali dalam tiga kali pengulangan pada masing-masing stasiun pengamatan. Variabel-variabel yang diukur langsung di lapangan meliputi suhu

(°C), salinitas (‰), kedalaman (m), kecerahan (m) dengan alat ukur masing-masing adalah thermometer, refractometer, deep gauge, secchi disc (Tabel 1).

Tabel 1 Peralatan pengambilan data parameter perairan.

Parameter Unit Alat Keterangan

Kecerahan m Secchi disc In situ Kedalaman m Deep Gauge In situ

pH - pH meter In situ

Salinitas ppm Refractometer In situ Suhu oC Thermometer In situ

b) Persentase Tutupan Karang

(22)

8

Tabel 2 Jenis, sumber dan analisis data

No Tujuan Data Perdimensi Jenis Data Sumber Data Analisis Output 1. Menganalisis kondisi  Aturan Panglima Laot  Aturan P.L Modifikasi Hill dan Obura (2004), Pomeroy et al. (2005), Garces et al. (2012), Adrianto (2013), Bennett dan Dearden (2014)

(23)

garis. Panjang transek 50 m dengan tiga kali ulangan yang diletakkan sejajar dengan garis pantai sepanjang tepi terumbu karang. Jenis yang di catat berupa genus karang dan bentuk pertumbuhan (life form), biota dan komponen abiotik lain yang menyinggung dengan transek setiap jarak 0.5 m. Metode ini digunkan untuk mengetahui persentase penutupan substat dasar habitat terumbu karang dan keanekaragaman jenis ikan.

Identifikasi genus karang menggunakan buku identifikasi coral id oleh Veron (1995). Metode PIT ini secara teknis hampir sama dengan motede Line intercept transect (LIT) namun lebih mudah dilakukan. Untuk pengamatan persentase tutupan karang lebih direkomendasikan menggunakan metode LIT dengan keakuratan data yang cukup tinggi hingga tingkat sentimeter dibandingkan menggunakan PIT. Persentase tutupan karang dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:

�� = �X %

Dimana: Ni = Persentase life form ke i (%)

Li = Banyaknya point life form ke-i

L = Jumlah point life form per transek (50 m)

Kondisi penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang berdasarkan Gomez dan Yap (1988) dan Yulianda et al. (2010) (Tabel 3).

Tabel 3 Kategori persentase tutupan karang

Skor Persen tutupan Kategori

0 0 - 24.9 % Rusak

1 25 - 49.9 % Sedang

2 50 - 74.9 % Baik

3 75 - 100 % Sangat baik

c) Pertumbuhan anakan karang (karang muda).

Pengambilan data anakan karang (karang muda) dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat, dicatat dengan menggunakan 50 cm x 50 cm ditempatkan pada transek substrat bentik mengikuti transek tutupan karang dengan interval 10 meter (Hill and Wilkinson 2004). Karang dengan ukuran <10 cm dihitung dalam setiap transek kuadrat. Peletakan transek kuadrat dilakukan pada titik 10, 20, 30, 40 dan 50 m. Pengamatan terhadap anakan karang (karang muda) dilakukan sejalan dengan pengamatan karang.

Rekrutmen (karang muda) adalah jumlah karang baru yang ditemukan pada satu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan komunitas terpilih dapat dihitung dengan rumus:

�� =

Keterangan:

Xi = Kelimpahan karang muda ke-i (koloni/m2)

ni = jumlah anakan karang ke-i pada stasiun pengamatan (koloni)

(24)

Tabel 4 Tingkat kelimpahan rekrutmen karang dalam kuadrat 1x1 meter

Skor Kepadatan dalam 1 m2 Penilaian rekrutment karang

0 0 – 2.5 Sangat rendah

1 2.6 – 5 Rendah

2 5.1 – 7.5 Sedang

3 7.6 – 10 Tinggi

4 > 10 Sangat tinggi Engelhardt (2001)

d) Ikan Karang

Pengambilan data ikan karang menggunakan metode Underwater Fish Visual Census (UVC) termodifikasi yang diadopsi dari English et al. (1997), ikan diamati di atas roll meter yang telah di bentangkan sepanjang 50 meter pada metode PITdengan tiga kali pengulangan. Pengamatan dan pengambilan data ikan berupa genus dan kelimpahan ikan karang dilakukan secara visual pada radius 2.5 meter di sebelah kiri dan kanan sepanjang garis transek untuk ikan ukuran > 10 cm dan untuk ikan < 10 cm pengambilan data dengan radius satu meter kekiri dan kekanan.

Untuk mengetahui kelimpahan ikan karang pada masing-masing stasiun dihitung menurut Hill and Wilkinson (2004) dengan rumus:

� � ��ℎ� � � =∑ spesies ikan Luas area

Keterangan: Jumlah spesies ikan = Individu (i) Luas area = 250 m2

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan excell dan pivot table.

Komunitas ikan karang yang diamati dikelompokkan dalam tiga kelompok utama. Kelompok ikan target adalah ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang hidup di perairan terumbu karang. Kelompok ikan indikator adalah ikan yang hidupnya berasosiasi sangat erat dengan terumbu karang. Kelompok ikan mayor, yaitu semua ikan yang tidak termasuk di kedua kelompok tersebut. Kelimpahan ikan karang pada setiap stasiun pengamatan dikelompokkan ke dalam beberapa dikategorikan (Tabel 5). Kategori ini yang nantinya menjadi nilai skoring dalam menghitung status keberlanjutan pengelolaan di kawasan. Selain nilai skor terhadap kelimpahan ikan juga dimasukkan nilai skor terhadap kategori data lainnya seperti, persentase tutupan terumbu karang, rekruitmen (karang muda) dan nilai skor terhadap kondisi perairan di kawasan. Dari nilai skor tersebut dengan menggunakan analisis RAPFISH akan menampilkan nilai keberlanjutan pengelolaan yang sedang berjalan.

Tabel 5 Kategori kelimpahan ikan karang

Skor Kelimpahan ikan (ind/ 250 m2 ) Kategori

0 1 – 25 Sangat jarang

1 26 - 50 Jarang

2 51 – 100 Kurang melimpah

3 101 – 250 Melimpah

(25)

Untuk menghitung kelimpahan ikan berdasarkan kelompok dijabarkan oleh Coremap (2005) dengan kategori sebagai berikut:

Tabel 6 Kategori kelimpahan ikan berdasarkan kelompok ikan karang

Parameter Penilaian Kategori (individu/250 m

2)

Rendah (0) Sedang (1) Tinggi (2) Total jumlah (spesies) 1 - 15 16 - 60 > 60 Ikan Indikator (individu) 1 - 10 11 – 30 > 30 Ikan Mayor (individu) 1 - 30 31 - 100 > 100 Ikan Target (individu) 1 - 210 211 - 870 > 870 Critic Coremap (2005)

Data yang didapatkan kemudian dihitung untuk mendapatkan nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Indeks Indeks keanekaragaman jenis yang digunakan yaitu dari jenis Shannon-Wiener dengan logaritma alami. Formulasi Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener terurai sebagai berikut:

H′ = ∑ �� ln ��

i= Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman jenis (Shannon-wienner)

pi = Proporsi jumlah ikan karang spesies ke-i (Total N = ni/N) N = Jumlah individu seluruh spesies

ni = Jumlah individu dari spesies ke-i S = Jumlah total jenis

i = 1,2,3,..., n

Nilai indeks keragaman (H’) berkisar antara 0-∞, ketegori keragaman menurut Shanon-Wiener dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut:

H’ < 1 : Keanekaragaman kecil 1 ≤ H’ < 3 : Keanekaragaman sedang

H’ ≥ 3 : Keanekaragaman tinggi

Indeks keseragaman jenis (equitability) untuk menggambarkan penyebaran spesies yang berbeda dalam suatu komunitas ( Krebs 1972) dihitung dengan rumus:

� = � ���′

Keterangan:

E = Indeks keseragaman

H’ = Keseimbangan spesies

Hmax = Indeks keanekaragaman maksimum = ln S

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dimana: E < 0.4 : Keseragamannya kecil

0.4 ≤ E < 0.6 : Keseragamannya sedang E ≥ 0.6 : Keseragamannya tinggi

(26)

dominansi suatu jenis digunakan indeks dominansi menurut Simpson dalam Krebs (1972) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

C = ∑ pi

i= Keterangan :

C = Indeks dominansi

pi = Proporsi jenis ke-i terhadap jumlah total penutupan biota

Kriteria indeks dominansi sebagai berikut:

0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah 0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang 0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi

Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kelembagaan

Pengambilan data untuk mengumpulkan informasi yang terkait dengan indikator sosial ekonomi masyarakat dan informasi tentang aturan dan sanksi pada indikator kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dikumpulkan melalui Focus Group Discussion (FGD), penyebaran kuisisoner dan wawancara langsung. Target responden yaitu masyarakat, nelayan, pelaku wisata, kepala desa, tokoh masyarakat, Panglima laut, Non Government Organisation (NGO) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang.

Pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling (sampel terpilih). Melalui teknik purposive sampling ini, sampel dipilih berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya mengenai populasi, yaitu pengetahuan mengenai elemen-elemen yang terdapat pada populasi, dan tujuan penelitian yang hendak dilakukan (Morissan, 2012). Sampel yang diamati atau diteliti dipilih berdasarkan pertimbangan penelitian dalam hal unit yang dianggap paling bermanfaat dan representatif.

Pengambilan jumlah responden di lokasi penelitian dibagi kepada 2 Lhok. Lhok adalah sistem pembagian wilayah pesisir dan laut berdasakan hukum adat laut. Biasanya dalam satu Lhok terdapat satu sampai dua Desa/Gampong. Responden yang akan di wawancara pada studi ini adalah nelayan yang tinggal di Pesisir Timur Pulau Weh Sabang yang telah melaut selama 5 tahun atau lebih. Selain itu target responden adalah pelaku wisata seperti operator atau pemilik/pengurus selam, guide, pemilik rumah makan dan penginapan serta masyarakat setempat. Penentuan jumlah responden dilakukan bedasarkan diagram Nomogram Harry king (Sugiyono 2013). Tehnik dalam menentukan persentase responden yang diwawancarai yaitu dengan menarik garis lurus pada graik nomogram antara jumlah ukuran sampel di suatu kawasan (1306 kk) dengan derajat kepercayaan 90% dan tingkat kesalahan 10%, didapatkan persentase sebesar 6 % dari jumlah ukuran sampel sehingga jumlah sampel yang di pilih yaitu sebanyak 78 sampel, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

N = n x s

(27)

Keterangan : N = Jumlah responden n = Jumlah ukuran sampel

s = Penyesuaian garis antara jumlah ukuran sampel dengan tingkat kesalahan data.

Pengambilan data terhadap responden dilakukan di setiap Lhok agar mengkafer untuk semua kelompok masyarakat (Tabel 7). Untuk menjawab permasalahan dari penelitian ini dilakukan wawancara dan penyebaran kuisioner kepada stakeholder agar dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi aspek munculnya masalah yang berkaitan dengan indikator sosial ekonomi masyarakat dan indikator kelembagaan di kawasan (Pomeroy et al. 2005). Pengambilan data yang berhubungan dengan indikator sosial ekonomi masyarakat yang menjadi fokus permasalahan agar menjawab kondisi yang terjadi di kawasan adalah persepsi masyarakat, kepatuhan masyarakat akan aturan tentang pengelolaan, partisipasi masyarakat, konflik antar nelayan, pemanfaatan sumberdaya terumbu karang, tingkat pendidikan masyarakat, penghasilan masyarakat, sumber modal, ukuran ikan dan keterkaitan masyarakat terhadap wisatawan. Untuk menjawab kondisi yang terjadi di kawasan pada indikator kelembagaan, pengambilan data untuk fokus permasalahannya adalah peran masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang, peran NGO, peran pemerintah/DKP Sabang, peran Panglima Laot dan adanya pengelolaan perikanan (zonasi).

Tabel 7 Daftar responden

No Responden Unit Analisis Kawasan

Lhok Ie Meulee Lhok Anoi Itam 1 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan 1 orang

2 NGO 2 orang

3 Panglima laot 1 orang 1 orang 4 Anggota hukum Adat Laot 2 orang 2 orang 5 Tokoh masyarakat 3 orang 3 orang 6 Nelayan 10 Orang 10 Orang 7 Pedagang 5 Orang 5 Orang 8 Usaha wisata 5 Orang 5 Orang 9 Masyarakat sekitar KKP 12 Orang 12 Orang Keterangan: Responden yang tinggal di sekitaran KKP selama 5 tahun atau lebih.

(28)

Analisis Strategi Pengelolaan

Pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat diketahui dengan mengidentifikasi variabel-variabel yang berperan dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan itu sendiri yaitu dengan melihat atribut-atribut sensitif dari setip dimensi. Keberlanjutan pengelolaan dapat dilihat dengan analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan menggunakan tiga dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial-ekonomi, dan dimensi kelembagaan. Dimensi ekologi adalah dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan untuk generasi yang akan datang (Sambali 2013).

Pembuatan skor (nilai) didasarkan pada pengamatan di lapangan, hasil wawancara dan kuisioner. Adapun skor yang diberikan berkisar antara 0-4 bergantung pada keadaan masing–masing, serta modifikasi dari modul EAFM (Ecological Aproach to Fisheries Management) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, WWF dan PKSPL-IPB 2012. Nilai buruk mencerminkan kondisi paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan keberlanjutan, sedangkan nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan bagi pengelolaan keberlanjutan. (Pitcher 1999 dalam Susilo 2003) sedangkan diantara nilai buruk dan baik ada nilai yang disebut dengan nilai tengah.

1. Skala Indeks Keberlanjutan, Analisis Monte Carlo dan Analisis Leverage Skala indeks keberlanjutan mempunyai selang 0-100. Dalam penelitian ini disusun empat kategori status keberlanjutan (Susilo 2003) (Tabel 8). Kavanagh dan Pitcher (2004) menyatakan bahwa untuk mengetahui nilai galat maka dilakukan analisis Monte Carlo, yang dilakukan sebanyak 25 kali ulangan pada metode RAPFISH. Analisis Leverage dilakukan untuk mengetahui atribut apa saja yang sensitif pada setiap dimensi keberlanjutan yang digunakan, selanjutnya dianalisis kembali secara multidimensi untuk mengetahui status keberlanjutan.

Tabel 8 Nilai indeks status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya terumbu karang

No Indeks Status keberlanjutan

1 0 – 25 Tidak berkelanjutan 2 26 – 50 Kurang berkelanjutan 3 50 – 75 Cukup berkelanjutan 4 76 - 100 Berkelanjutan

2. Nilai Stress dan Ordinasi dalam RAPFISH

Nilai stress dapat mengukur seberapa dekat nilai jarak dua dimensi dengan nilai jarak multidimensi. Nilai stress yang dilambangkan dengan S dan koefisien determinasi (R2) digunakan dalam mengukur goodness of fit. Hasil analisis yang

baik ditunjukkan dengan nilai stress yang rendah S < 0.25 dan nilai R2 yang tinggi (Fauzi dan Anna 2002).

(29)

Rekomendasi Pengelolaan

(30)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Ekologi Terumbu Karang

Kondisi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Sabang

Pesisir Timur Pulau Weh (PTPW) Sabang merupakan wilayah yang berada di bagian Timur Pulau Weh dengan panjang garis pantai ± 15.8 km mulai dari Pantai Paradiso hingga ke Ujung Seuke. PTPW Sabang memiliki potensi sumberdaya laut dan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga sangat mendukung sektor perikanan dan pariwisata. PTPW Sabang memiliki hukum adat laut yang berfungsi untuk mengatur masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya laut. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga sumberdaya pesisir dan didukung oleh aturan adat yang di kawasan PTPW Sabang merupakan dasar dibentuknya PTPW menjadi kawasan konservasi dengan tujuan untuk menjaga sumberdaya terumbu karang dan ikan secara berkelanjutan dari segala dimensi, baik dari dimensi ekologis, sosial ekonomi dan kelembagaannya.

Perairan PTPW Sabang memiliki dua musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur. Musim Barat terjadi pada Bulan November hingga Januari yang merupakan bulan-bulan dengan suhu yang relatif rendah (26°C) dan curah hujan yang paling tinggi (353.8 mm). Musim Timur terjadi pada bulan Mei hingga Juli. Rata-rata suhu udara pada Musim Timur dapat mencapai 28.4°C dan kelembaban udara mencapai titik terendah yaitu 73%. Angin pada Musim Timur merupakan angin kecepatan tertinggi (DKP Sabang 2011).

Kualitas perairan di PTPW Sabang memiliki kondisi cukup baik untuk pertumbuhan terumbu karang dengan rata-rata suhu perairan sebesar 25oC. Suhu dalam kisaran tersebut merupakan suhu yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang. Hal ini didukung oleh Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 25-29oC, sedangkan batas minimum berada pada kisaran 16-17oC dan batas maksimum berada pada 36oC (Tabel 9).

Tabel 9 Kondisi kualitas perairan di kawasan PTPW Sabang

Lokasi Suhu (oC) pH Kecerahan % Salinitas Kedalaman (m)

Sumur Tiga 25 7.9 100 33 6 - 7 Ujung Kareung 25 7.8 100 33 6 - 7 Reuteuk 26 7.9 100 32 6 - 7 Benteng 25 7.8 100 33 6 - 7 Anoi Itam 25 7.9 100 33 6 - 7 Ujung Seuke 25 7.9 100 32 6 - 7

Nilai derajat keasaman (pH) yang diperoleh dari pengukuran di lapangan rata-rata 7.8. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Laut, pH normal air laut untuk terumbu karang berkisar antara 7-8.5. Peningkatan keasaman perairan (pH air laut yang lebih rendah) dapat memengaruhi pertumbuhan terumbu karang (Rani 2007).

(31)

menyebabkan kurangnya masukan aliran air dari daratan ke perairan pantai. Menurut Nybakken (1998) limbah domestik dari daratan yang masuk keperairan dapat memengaruhi kecerahan dan ini akan memengaruhi pertumbuhan ekologi. Kecerahan yang optimal sangat mendukung pertumbuhan biota karang dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan kalsium karbonat dalam pembentukan terumbu (Nybakken 1998). Ardiwijaya et al. (2006) menambahkan bahwa perairan Pulau Weh relatif memiliki kecerahan perairan yang tinggi, sehingga karang mendapatkan cahaya matahari yang cukup. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muttaqin (2014) mengatakan bahwa, secara fisika dan kimia perairan di Pulau Weh berada pada kondisi yang baik untuk pertumbuhan ekosistem terumbu karang dengan tingkat kecerahan yang sangat tinggi.

Salinitas yang diperoleh di setiap lokasi penelitian berkisar antara 32-33‰, nilai salinitas ini sesuai dengan kisaran optimal salinitas untuk pertumbuhan karang, yaitu 32-35 ‰ (Nybakken 1992). Namun karang mempunyai toleransi terhadap salinitas yang berkisar antara 27-40 ‰ (Sukarno et al. 1981). Nilai salinitas ini juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muliari (2011) dan Ulfa (2011).

Persentase Tutupan Terumbu Karang

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh (KKPD PTPW) didominasi oleh hamparan terumbu karang dengan tutupan karang hidup yang relatif tinggi, memiliki karakteristik substrat berpasir dengan kemiringan dasar perairan yang cukup landai. Terumbu karang di wilayah ini didominasi oleh beberapa genus tertentu seperti Porites, Pocillopora, dan Heliopora. Hasil penelitian ini juga dikuatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Muttaqin (2014) yang mengatakan bahwa, komposisi Genera karang keras didominasi oleh genera karang Porites sebesar 35-40%.

Kondisi terumbu karang di kawasan PTPW Sabang memiliki kategori sedang hingga baik (32-65%), kategori persentase terumbu karang di rujuk dari Gomez dan Yap (1988) dan Yulianda et al. (2010). Persentase tutupan karang tertinggi ditemukan di Benteng yaitu sebesar 65% dan berada pada kategori baik, kemudian diikuti wilayah Sumur Tiga (55%), Ujung Seuke (48%), Anoi Itam (45%), Reutek (41%) sedangkan Ujung Kareung memiliki tutupan terendah yaitu 32.17% dengan kategori sedang (Gambar 3).

Gambar 3 Tutupan karang keras di PTPW Sabang tahun 2015

Tingginya persentase tutupan terumbu karang di wilayah Benteng disebabkan kawasan ini telah ditetapkan sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL)

0

(32)

18

yang merupakan zona inti (no-take zone) dari tahun 2006 yang dikelola dengan sistem hukum Adat Laot. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muliari (2011), ulfa (2011) dan Muttaqin (2014) menyebutkan bahwa Benteng merupakan lokasi yang memiliki persentase tutupan karang tertinggi di setiap tahun pengamatan di PTPW Sabang. Kawasan yang dilindungi secara baik telah meningkatkan pertumbuhan terumbu karang secara perlahan. Hal ini didukung oleh Christie et al. (2002) yang menyebutkan terjadi peningkatan tutupan karang hidup secara signifikan pada daerah yang dilindungi.

Ujung Kareung merupakan stasiun yang memiliki persentase tutupan karang terendah dibandingkan statiun lainnya. Tutupan karang pada stasiun ini rendah diduga akibat tingginya penangkapan terhadap ikan karang khususnya bagi nelayan speargun. Selain itu lokasi ini merupakan lokasi dengan pertumbuhan terumbu karang di dominasi oleh karang Porites dan sand sehingga sulit bagi karang baru untuk tumbuh dikawasan ini. Untuk kawasan dengan pertumbuhan karang hidup yang rendah perlu pengelolaan yang lebih maksimal dibandingkan kawasan lainnya, seperti menyediakan substat baru untuk memancing pertumbuhan anakan karang, melakukan transplantasi karang agar pertumbuhan karang lebih beragam dan mengurangi aktifitas penangkapan supaya tidak menggagu pertumbuhan terumbu karang di kawasan. Begitu juga terhadap stasiun Reuteuk yang memiliki persentase pertumbuhan karang rendah.

Kawasan KKPD PTPW Sabang memiliki genus dan komunitas life form karang yang beragam, ditemukan sebanyak 30 genus karang (Lampiran 2) dan 11 life form karang keras (Lampiran 3). Komposisi life form yang ditemukan diantaranya Coral Massive (CM), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Submassive (CSM), Coral Heliopora (CHL), Coral Foliose (CF), Coral Milliopora (CME), Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Encrusting (ACE) dan Coral Masroom (CMR). Coral Massive merupakan jenis life form yang paling mendominasi di setiap lokasi pengamatan.

Karateristik perairan PTPW Sabang yang terbuka dan memiliki gelombang serta arus yang tinggi menyebabkan karang massive mendominasi kawasan ini. Karang massive memiliki struktur yang kokoh dan umumnya berbentuk bulat sehingga mampu bertahan di perairan yang memiliki arus dan ombak yang kuat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Panggabean (2007), karang massive merupakan karang yang mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan perairan. Siringoringo dan Hadi (2013) menambahkan bahwa karang massive lebih resistan terhadap kondisi lingkungan dengan turbiditas (kekeruhan) tinggi. Bentuk pertumbuhan karang massive merupakan cara terumbu karang dalam mentolerir terhadap kondisi perairan yang ekstrim.

(33)

Keberadaan genus Porites dan Montipora ditemukan di seluruh stasiun dengan jumlah yang banyak disebabkan oleh beberapa faktor. Mekanisme reproduksi Porites melalui brooding, kelompok karang dengan telur yang dibuahi di dalam polyp, selanjutnya terjadi perkembangan embrio dan larva di dalam polyp Harrison dan Wallace (1990) dalam Pitasari et al. (2011). Larva genus Porites mampu menempel langsung pada substrat karena telah memiliki septa dan alga Zooxanthella Richmond (1997) dalam Seto et al. (2014). Porites juga mampu menghasilkan banyak larva planula setiap tahunnya sehingga memiliki tingkat rekrutmen yang lebih tinggi Moulding (2005) dalam Pitasari et al. (2011). Siringoringo dan Hadi (2013) menambahkan bahwa karang jenis Porites mampu melakukan recovery (pulih kembali) terhadap penutupan sedimen meskipun telah terkubur keseluruhan selama 3 hari.

Gambar 4 Persentase genus karang di KKPD PTPW Sabang

Kelimpahan karang Porites berfungsi sebagai tempat berlindung bagi ikan Lutjanidae, Serranidae, Mullidae dan beberapa jenis ikan nokturnal lainnya. Ikan nokturnal adalah ikan yang aktif pada malam hari sehingga lebih sering ditemukan bersembunyi di celah-celah karang Porites pada siang hari. Rani et al. (2008) menyatakan keterkaitan yang terjadi secara langsung antara karang hidup dengan ikan karang yaitu sebagai rumah dan sebagai tempat persembunyian bagi ikan-ikan target. Struktur karang yang kuat dan berbentuk bulat yang menyerupai batu menjadikan Porites berfungsi sebagai pemecah gelombang sehingga dapat menjaga pesisir pantai dari hempasan ombak besar. Tipe karang massive (porites) biasanya hidup pada perairan yang berarus dan terluar seperti di wilayah PTPW Sabang. Hal ini sesuai dengan penjelasan English et al. (1997), jenis karang yang dominan disuatu habitat bergantung pada lingkungan atau kondisi karang tersebut hidup.

Dari hasil survei yang dilakukan oleh WCS dari tahun 2009-2013 tutupan karang di kawasan PTPW Sabang mengalami perubahan, kondisi ini disebabkan karena terjadinya perubahan suhu pada tahun 2010 yang menyebabkan sebagian besar terumbu karang mati khususnya karang bercabang seperti Acropora, sedangkan karang Porites tetap bertahan dan pulih kembali. Muttaqin (2014) menyatakan komposisi genera karang di wilayah KKP Pantai Timur 35% diantaranya adalah karang Acropora dan Pocillopora. Setelah terjadinya pemutihan

(34)

20

karang semua genera tersebut mengalami kematian. Kondisi ini yang menyebabkan tutupan alga di kawasan cukup tinggi dan menyisakan karang-karang yang kuat seperti Porites.

Kondisi terumbu karang tahun 2009 termasuk dalam kategori baik (persentase tutupan karang sebesar 56%), pada tahun 2011 turun pada kategori sedang (persentase tutupan karang sebesar 41%) dan tahun 2013 berada pada kategori rendah (persentase tutupan sebesar 30%) (Gambar 5). Perubahan penutupan ini akibat perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya pemutihan terumbu karang di wilayah PTPW Sabang tahun 2010 (Ulfa 2011; Muttaqin 2014). Perubahan persentase tutupan karang juga terjadi di wilayah Amet Bali pada tahun 2010 akibat pemutihan karang Simorangkir (2015). Rani (2007) menyebutkan bahwa diperkirakan terjadi penurunan kondisi karang sebesar 70-95% pada hewan karang yang kehilangan simbionnya yang bergantung pada intensitas pemulihannya.

Gambar 5 Tutupan karang hidup di KKPD PTPW Sabang tahun 2009 - 2015 (data

WCS dan lapangan)

Karang mati tertinggi tahun 2013 terjadi di lokasi Ujung Kareung, Sumur Tiga dan Reutek. Hal ini disebabkan pada lokasi tersebut banyak ditumbuhi karang bercabang yang kurang tahan terhadap perubahan suhu perairan yang ekstrim, sehingga tidak dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut. Pada tahun 2013 penurunan persen tutupan karang masih tetap berlanjut, hal ini diduga akibat proses pemulihan atau adaptasi terumbu karang terhadap lingkungan dan perairan masih belum berjalan secara normal.

Pada tahun 2011 hingga tahun 2015 persen tutupan karang di lokasi Benteng lebih baik dibandingkan lokasi lain. Hal ini karena Benteng berada pada kawasan yang sedikit terlindung dari laut lepas dengan kontur kawasan yang hampir seperti lagoon sehingga terumbu karang terlindung dari pengaruh gelombang dan arus yang terjadi pada musim Timur. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Seto et al. (2014) yang menyatakan bahwa, nilai tutupan karang tertinggi berada di stasiun Gosong Sebaru Besar di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu disebabkan karena kawasan tersebut berada diantara beberapa pulau sehingga terlindung dari arus yang kencang. Secara umum kawasan PTPW Sabang merupakan kawasan yang langsung menghadap laut lepas, sehingga

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Anoe Itam Benteng Reutek Sumur Tiga Ujung

Kareung

Ujung Seuke

(35)

pergerakan angin dan arus sangat berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan terumbu karang.

Pertumbuhan terumbu karang pada lokasi Reutek dan Anoi Itam cenderung stabil meskipun tetap mengalami perubahan jika dibandingkan dengan Sumur Tiga dan Ujung Kareung. Penurunan persen tutupan karang pada tahun 2013 di lokasi tersebut terjadi dengan sangat drastis. Rendahnya tutupan karang diduga masih dipengaruhi oleh kematian karang akibat karang bleaching. Kemampuan pemulihan karang bleaching membutuhkan waktu yang lama. McClanahan (2000) menyebutkan bahwa masih terus dilakukan penelitian terhadap lamanya waktu yang di butuhkan untuk pemulihan karang bleaching.

Lambatnya pertumbuhan karang dan meningkatnya tutupan alga menyebabkan terumbu karang sulit untuk pulih. Kemampuan terumbu karang untuk pulih sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan (Suharsono 1984) dan aktivitas manusia. Menurut Westmacot et al. (2000) terumbu karang yang tidak diganggu oleh kegiatan manusia memiliki kemampuan lebih untuk pulih, bila didukung oleh keadaan lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan karang.

Kondisi tutupan karang mengalami peningkatan pada tahun 2015, karena terumbu karang mulai beradaptasi dengan perubahan suhu dan lingkungan. Dan sistem pengelolaan yang semakin membaik juga memengaruhi peningkatan tutupan karang, salah satunya dengan membatasi alat tangkap. Penggunaan alat tangkap pancing merupakan langkah yang paling tepat untuk menjaga kelestarian terumbu karang dan ikan karang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simorakir (2015), pengelolaan kawasan merupakan langkah yang tepat untuk membantu menjaga pertumbuhan karang.

Pertumbuhan Anakan (Rekrutmen) Karang

Kelimpahan koloni rekrutmen karang pada saat pengamatan termasuk dalam kategori rendah dengan rata-rata kelimpahan sebesar 5 koloni/m2.

Kelimpahan koloni anakan karang pada masing-masing lokasi sebagai berikut: kelimpahan tertinggi berada pada lokasi Ujung Seuke yaitu sebanyak 9.2 koloni/m2, selanjutnya Sumur Tiga sebanyak 6.4 koloni/m2, Reuteuk sebanyak 4.4 koloni/m2,

Ujung Kareung sebanyak 2.9 koloni/m2, Benteng sebanyak 2.8 koloni/m2 dan lokasi yang memiliki pertumbuhan anakan karang terendah berada pada Anoi Itam sebanyak 2.1 koloni/m2 (Gambar 6).

Gambar 6 Kelimpahan koloni karang muda tahun 2015

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0

Anoi Itam Benteng Reutek Sumur Tiga Ujung Kareng Ujung Seuke

Ko

lo

n

i/

m

(36)

22

Pertumbuhan rekrutmen (anakan) karang sangat dipengaruhi oleh ketersedian larva karang, substrat yang baik dan nutrien yang cukup. Pertumbuhan rekrutmen karang mengidentifikasikan pemulihan ekosistem terumbu karang di suatu kawasan. Rendahnya pertumbuhan rekrutmen karang akibat tingginya arus yang terjadi pada musim Timur dan musim peralihan yang menyebabkan gelombang laut yang besar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dikaji oleh Suryanti et al. (2011) yang menyatakan bahwa tekanan ekologis yang berasal dari alam berupa gelombang laut yang besar menyebabkan terumbu karang rusak dan tercabut dari substratnya selain itu kondisi substrat yang labil menyebabkan rekrutmen karang sulit untuk menempel. Pertumbuhan anakan (rekrutmen) karang di kawasan PTPW Sabang di jumpai sebanyak 20 genus (Lampiran 8) dengan pertumbuhan tertinggi dari genus Porites.

Terbatasnya ketersediaan nutrien ditambah dengan sulitnya mendapatkan lokasi yang sesuai untuk penempelan larva karang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan rekruit karang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abrar (2011) bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kelulus hidupan juvenil karang di suatu perairan adalah ketersediaan substrat stabil, sedimentasi, dan biota predator. Kesuksesan hidup rekrutmen karang sangat dipengaruhi oleh karakteristik dasar perairan. Karakteristik tersebut berhubungan dengan jenis substrat dan ketersediaan ruang sebagai tempat penempelan larva karang (Bachtiar et al. 2012). Timotius (2003) menambahkan bahwa kondisi substrat dasar perairan sangat berpengaruh dalam keberhasilan polyp karang untuk menempel dan menjadi individu karang baru.

Rendahnya pertumbuhan anakan karang di kawasan berhubungan dengan persentase tutupan substrat di lokasi pengamatan (Gambar 7). Persentase antara tutupan karang hidup dengan persen Dead Coral Alga (DCA) hampir sama, bahkan terdapat beberapa lokasi yang lebih tinggi persen DCA dibandingkan karang hidup. Meningkatnya pertumbuhan DCA menyebabkan terjadinya kompetisi ruang antara alga dan anakan karang (Ardiwijaya 2006). Kondisi ini dipengaruhi oleh tingginya patahan karang ataupun karang yang terbalik akibat arus dan gelombang yang kuat. Selain itu diduga akibat penangkapan ikan dengan menggunakan speargun (panahan). Proses penangkapan tersebut menyebabkan karang patah saat nelayan mengejar ikan-ikan target yang bersembunyi di sela-sela karang hidup. Akibatnya patahan karang yang tidak dapat pulih akan mati dan ditumbuhi alga. Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa substrat yang terdapat di kawasan terdiri dari karang hidup, DCA, other, rock, patahan karang, pasir dan soft coral.

Gambar 7 Persentase substrat dasar perairan di kawasan PTPW Sabang

0

Anoe Itam Benteng Reutek Sumur Tiga Ujung Kareung

(37)

Tingginya karang mati yang ditumbuhi alga (DCA) dapat ditemukan pada daerah yang berombak dan kawasan yang pergerakan gelombangnya tinggi, seperti yang terjadi di KKPD PTPW Sabang. Pernyataan ini dikuatkan oleh hasil penelitian Souhoka (2013) yang menyatakan karang mati beralga (DCA) dapat ditemukan pada daerah yang berombak (alamiah) dan juga pada daerah yang pergerakan gelombangnya tidak terlalu besar sebagai akibat adanya tekanan kerusakan oleh aktivitas manusia. Tingginya DCA juga bisa dipengaruhi oleh rendahnya kelimpahan ikan herbivora. Menurut Muttaqin (2015) kelompok ikan herbivora terdiri dari famili Acanthuridae, kyphosidae, Labridae dan Scarida. Ikan karang tersebut memakan alga yang menempel pada substrat dalam rombongan. Palupi et al. (2012) menyatakan bahwa area dengan rekrutmen karang yang tinggi cenderung mempunyai algae yang melimpah, sedikit ditemukan macroalgae, dan banyak ditemukan ikan herbivora serta bulu babi untuk membantu menjaga substrat agar tidak ditumbuhi algae.

Kelimpahan Ikan karang

Kelimpahan ikan karang rata-rata di PTPW Sabang sebesar 227 ind/250 m2 dengan kategori melimpah. Kelimpahan tertinggi berada di Ujung Seuke yaitu sebesar ±380 ind/250 m2 dengan kategori sedang diikuti oleh Ujung Kareung ±254 ind/250 m2, Sumur Tiga ±247 ind/250 m2, Anoi Itam ±166 ind/m2, Reutek ±158 ind/m2 dan lokasi dengan kelimpahan terendah berada pada lokasi Benteng yaitu sebesar ±156 ind/250 m2 dengan kategori rendah (Gambar 8). Kondisi ini diduga akibat penangkapan di daerah Benteng sangat tinggi, semakin tinggi penangkapan maka kesempatan ikan untuk berkembang biak akan semakin rendah dan memengaruhi kelimpahan. Hal ini didukung oleh pernyataan Wang et al. (2016), peningkatan alat tangkap, teknologi penangkapan yang semakin canggih dan peningkatan penangkapan ikan telah mengakibatkan penurunan biomassa dan ukuran ikan dan rendahnya spesies ikan target. Charton et al. (2008) menambahkan bahwa mengurangai penangkapan yang berlebihan dapat memberikan perlindungan bagi ekosistem.

Gambar 8 Kelimpahan ikan karang di PTPW Sabang tahun 2015

Ujung Seuke terletak di ujung Pantai Timur yang berhadapan langsung dengan laut sumatra, lokasi tersebut memiliki jarak yang sedikit jauh dari penduduk. Kawasan tersebut tidak memiliki pantai namun memiliki pergerakan arus yang kuat karena dipengaruhi oleh arus masuk dan keluar pada saat pasang

0

(38)

24

surut. Oleh sebab itu, nelayan jarang melakukan penangkapan di kawasan ini, dengan alasan jarak dan arus yang kuat yang menyebabkan nelayan sulit memancing dan menembak. Berdasaran kondisi tersebut yang diduga tingginya kelimpahan ikan karang di Ujung Seuke. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2016) menunjukkan total biomassa ikan meningkat selama usaha penangkapan dialihkan/dikurangi. Berdasarkan perbedaan kelimpahan ikan karang pada masing-masing stasiun maka pengelolaan terhadap ikan karang juga berbeda. Stasiun dengan kelimpahan ikan rendah seperti Anoi Itam, Benteng dan Reuteuk harus dikurangi aktivitas penangkapannya, sehingga kelimpahan ikan karang kedepannya tetap stabil. Hal ini untuk mencegah terjadinya overfishing untuk kawasan-kawasan tertentu khususnya penangkapan terhadap ikan-ikan yangmenjadi target tangkapan nelayan seperti ikan kerapu yang memiliki nilai jual tinggi. Menurut masyarakat ikan kerapu (Plectropomus leopardus) telah jarang di jumpai di setiap kawasan di PTPW Sabang akibat permintaan pasaryan cukup tinggi.

Pengukuran terhadap Ikan karang dilakukan berdasarkan tiga kelompok yaitu ikan mayor, ikan target dan ikan indikator. Ikan mayor merupakan ikan yang keberadaannya paling tinggi di setiap lokasi penelitian dengan kelimpahan rata-rata sebesar ±156 ind/250 m2, jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding dengan kelimpahan ikan target yang hanya sebesar ±59 ind/250 m2 (Gambar 9). Tingginya kelimpahan ikan mayor disebabkan karena jumlah ikan tersebut paling banyak ditemukan di perairan. Seperti pada famili Pomacentridae, Balistidae dan Labridae. Ikan-ikan ini paling sering ditemui di terumbu karang dan paling banyak jenisnya yaitu sekitar 300 spesies. Ikan ini merupakan kelompok ikan diurnal (aktif pada siang hari) dan beberapa jenis juga hidup secara berkelompok (Terangi 2004).

Gambar 9 Kelimpahan ikan karang berdasarkan kelompok di kawasan PTPW Sabang

Ikan indikator merupakan ikan yang menunjukkan kondisi kesehatan terumbu karang di suatu kawasan. Kelimpahan ikan indikator dilihat dari kelimpahan ikan Chaetodontidae. Semakin tinggi keberadan ikan tersebut dapat dipastikan kondisi terumbu karang semakin sehat. Keberadaan ikan indikator di kawasan rata-rata sebesar 15 ind/250 m2 yang menandakan berada pada kategori sedang. Kondisi ini diduga berpengaruh pada kelimpahan tutupan karang di kawasan. Hasil penelitian Maharbhakti (2009) menyebutkan persen tutupan karang memberikan pengaruh yang besar terhadap kelimpahan ikan Chaetodontidae. Hasil

0

Anoi Itam Benteng Reutek Sumur Tiga Ujung Kareung

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Tabel 4 Tingkat kelimpahan rekrutmen karang dalam kuadrat 1x1 meter
Tabel 9 Kondisi kualitas perairan di kawasan PTPW Sabang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya habitat penyusun ekosistem terumbu karang di daerah I (Utara Fulau Batam) lebih rendah nilai penutupan karang batunya jika dibandingkan dengan daerah I1 (Selatan

terjadi persoalan ” Decouplig Sustainability ” , hal ini menghambat tercapainya tujuan pembangunan wilayah yang berbasiskan ekowisata yaitu kelesetarian alam.. terjaga dan

Untuk mengetahui sejauh mana dampak pencemaran minyak yang terjadi di perairan Pulau Pari terhadap ekosistem terumbu karang, menjadikan hal tersebut sebagai alasan perlunya dilakukan

Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai sumberdaya

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan perikanan karang tangkap di KKP Berau dengan melihat tren penangkapan ikan kerapu,

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut. Ekosistem terumbu karang di Karimunjawa telah lama dimanfaatkan sebagai kegiatan ekonomi

Untuk mengetahui sejauh mana dampak pencemaran minyak yang terjadi di perairan Pulau Pari terhadap ekosistem terumbu karang, menjadikan hal tersebut sebagai alasan perlunya dilakukan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat usulan rekomendasi pengelolaan kolaboratif pada ekosistem terumbu karang di Desa Biloro adalah sebagai berikut: - Perlu dilakukan