• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya Dengan Sistem Kompartemen Individu Terhadap Respons Fisiologis Dan Kinerja Produksi Lobster Pasir Panulirus Homarus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Budidaya Dengan Sistem Kompartemen Individu Terhadap Respons Fisiologis Dan Kinerja Produksi Lobster Pasir Panulirus Homarus"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP RESPONS FISIOLOGIS DAN KINERJA PRODUKSI

LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

RIFQAH PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Budidaya dengan Sistem Kompartemen Individu terhadap Respons Fisiologis dan Kinerja Produksi Lobster Pasir Panulirus homarus” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

(4)

Respons Fisiologis dan Kinerja Produksi Lobster Pasir Panulirus homarus. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan WIDANARNI.

Kanibalisme merupakan salah satu kendala yang menyebabkan tingginya mortalitas dalam budidaya lobster. Hal ini terjadi karena pemeliharaan secara komunal yang tidak kondusif, sehingga tingginya potensi kanibalisme saat lobster

molting. Kinerja produksi yang rendah ditunjukkan dengan mortalitas tinggi dan tingkat pertumbuhan yang rendah. Hal inilah yang menyebabkan banyak pembudidaya lobster merugi dan gagal panen. Upaya dalam pencegahan kanibalisme lobster dapat dilakukan dengan penyediaan tempat persembunyian buatan (shelter) dalam media pemeliharaan. Hal ini diadaptasi sesuai dengan habitat lobster di alam, yang cenderung sering bersembunyi di batu, gua, atau liang-liang karang.

Aplikasi shelter konvensional seperti rumput laut, karung plastik (teknik pocong), potongan bambu, batu karang, kayu, atau jaring banyak diterapkan para pembudidaya lobster, namun penggunaannya masih belum optimal mengatasi masalah kanibalisme. Sistem kompartemen individu (SKI) yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan modifikasi bentuk shelter pipa PVC, dirancang untuk menempatkan satu individu lobster pada satu ruang khusus. Perbedaan pada bentuk SKI dirancang sebagai adaptasi dari bentuk gua atau liang-liang karang tempat lobster bersembunyi di habitatnya, yaitu ada yang berbentuk bundar, segitiga, dan persegi. Sistem ini dapat memastikan tidak terjadi kontak antar lobster sehingga dapat mencegah kanibalisme. Selain itu, tidak terjadi kompetisi pakan dan meminimumkan penggunaan energi untuk bergerak sehingga dapat menghasilkan biomassa lobster yang lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan SKI terhadap respons fisiologis (tingkat stres), kinerja produksi, dan menentukan bentuk SKI yang lebih efektif meminimumkan tingkat stres dalam budidaya lobster.

Metode penelitian ini adalah percobaan lapangan dengan menggunakan rancangan acak lengkap, meliputi 4 perlakuan dan 2 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah berbagai bentuk SKI yaitu SKI tabung, SKI segitiga, SKI persegi, serta shelter pipa PVC sebagai kontrol. Lobster pasir Panulirus homarus

yang digunakan sebanyak 216 ekor, dengan ukuran bobot rata-rata 46,05±0,85 g/ekor dan panjang total 112,32±2,09 mm/ekor. Padat tebar yang digunakan 27 ekor untuk setiap perlakuan, dimana tiap 1 ekor lobster dimasukkan ke dalam 1 unit SKI. Lobster yang telah dimasukkan ke dalam unit SKI, lalu dimasukkan ke dalam media pemeliharaan bak beton yang disusun dua tingkat. Pemeliharaan lobster dilakukan secara outdoor yang berlangsung selama 60 hari. Jenis pakan yang digunakan yaitu potongan ikan rucah dengan feeding rate 3 – 4% bobot lobster. Pemberian pakan dengan metode at restricted dan frekuensi pemberian 1 kali sehari pukul 15.00 WIB. Manajemen kualitas air yang dilakukan yaitu aplikasi sistem resirkulasi air yang dilengkapi dengan 2 macam filter, meliputi 2 unit trickling filter dan 1 unit protein skimmer.

(5)

selama pemeliharaan yaitu suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), alkalinitas, amonia (NH3), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan total organic matter (TOM).

Hasil penelitian ini menunjukkan respons fisiologis lobster dengan perlakuan SKI persegi lebih efektif menekan tingkat stres lobster dibandingkan perlakuan lainnya. Aplikasi SKI optimal dalam meningkatkan SR dan pertumbuhan lobster. Secara keseluruhan, perlakuan SKI persegi menghasilkan kinerja produksi lobster lebih optimal, yaitu hasil SR 88,89±5,24%, SGR 0,61±0,49%/hari, dengan ukuran panen panjang total 137,31±8,11 mm/ekor dan bobot 58,83±4,78 g/ekor, serta FCR 22,71±1,72. Secara keseluruhan, kondisi kualitas air selama pemeliharaan dalam kisaran optimal mendukung pertumbuhan lobster.

Aplikasi sistem kompartemen individu (SKI) dalam budidaya lobster, efektif menekan tingkat stres dan mendukung kinerja produksi yang optimal. Pemeliharaan lobster menggunakan bentuk SKI persegi lebih efektif meminimumkan tingkat stres, dibandingkan SKI tabung dan SKI segitiga.

(6)

on Physiological Response and Production Performance of Spiny Lobster

Panulirus homarus. Supervised by EDDY SUPRIYONO and WIDANARNI.

Cannibalism is one of the obstacles that cause high mortality in lobster aquaculture. This occurs because cultured communally is not conducive, so has high potential of cannibalism when lobster molting occurred. Low production performance of lobster shown by high mortality and low growth rate. This is why many lobster farmers losing money and failed lobster harvest. Efforts to prevention of lobster cannibalism is provided by artificial hiding places (shelter) in cultured media. It is adapted to lobster habitat in nature that tend to often hide in stone, caves, or coral burrows.

Applications of conventional shelter such as seaweed, plastic sacks (pocong technique), pieces of bamboo, rocks, wood, or nets was widely applied in lobster farmers, but their use is not still optimally solve the problem of cannibalism. The individual compartments system (SKI) that applied in this study was modified of shelter PVC pipes, designed to one lobster placed into one special room. Differences in the shape of SKI designed as adaptation of the shapes cave or coral burrows hiding place of lobster in their habitat, i.e. there is tubular, triangle, and square. This system can ensure that there is no contact between lobsters as to prevent cannibalism. In addition, no feed competition and minimize use of energy to move, so that it more optimal to produce biomass lobster. This study aimed to evaluate the application of SKI on physiological responses (stress level), production performance, and determine the shape of SKI more effective to minimize stress level of lobster aquaculture.

The method of study used field experiments, with completely randomized design, for 4 treatments and 2 replications. The treatments used application various shape of SKI was tubular SKI, triangle SKI, square SKI, and shelter PVC pipes as control. Spiny lobster Panulirus homarus was total used 216 ind with size of weight average 46.05±0.85 g/ind and total length 112.32±2.09 mm/ind. Stocking density used 27 ind for each treatments, where one lobster placed into one SKI unit. Lobster which has been placed into SKI unit, then placed into cultured media of concrete ponds composed two levels. Cultured lobster was conducted with outdoor for 60 days. Type of feed used piece of trash fish feeding rate by 3 – 4% weight lobster. Feed method was at restricted with frequency of 1 times a day at 15.00 p.m. Water quality management conducted the application of water recirculation system with two kinds of filters, covers 2 unit trickling filter and 1 unit protein skimmer.

(7)

lobster. Overall, treatment of square SKI was optimal related to production performance, that was result of SR 88.89±5.24%, SGR 0.61±0.49%/day, with harvest size of total length 137.31±8.11 mm/ind and weight 58.83±4.78 g/ind, and FCR 22.71±1.72. Overall, conditions of water quality was still in range of optimal in support growth of lobster.

Application of SKI in lobster aquaculture was effective to reduce stress level and optimal to supported of production performance. Lobster aquaculture used shape of square SKI was effective to minimize stress level, compared with tubular SKI and triangle SKI.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

TERHADAP RESPONS FISIOLOGIS DAN KINERJA PRODUKSI

LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

RIFQAH PRATIWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis berjudul “Budidaya dengan Sistem Kompartemen Individu terhadap Respons Fisiologis dan Kinerja Produksi Lobster Pasir Panulirus homarus” dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga November 2015, bertempat di Laboratorium Ilmu Kelautan IPB Ancol Timur, Jakarta Utara.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Ayahanda H. Abd Hae, SH dan ibunda Dra Hj. Nurlina, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungan yang diberikan, baik secara moril dan materi selama menempuh studi.

2. Dr Ir Eddy Supriyono, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan tema dan fasilitas penelitian kepada penulis, serta memberi bimbingan dan arahan selama penelitian.

3. Dr Ir Widanarni, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian tesis. 4. Kukuh Adiyana, MSi yang telah memberi fasilitas dan arahan kepada penulis

selama penelitian di lapangan.

5. Dr Alimuddin, SPi, MSc selaku ketua program studi Departemen Budidaya Perairan dan Dr Dinamella Wahjuningrum, SSi, MSi selaku dosen penguji luar komisi pada sidang ujian tesis.

6. Rekan-rekan seperjuangan “Tim Riset Lobster 2015” atas bantuan dan kerja sama selama proses penelitian.

7. Keluarga besar BDP IPB 47 dan AKU IPB 2014 yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para pembaca dalam pengembangan budidaya lobster.

Bogor, Juni 2016

(13)

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

2 METODE 3

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Rancangan Penelitian 3

Sistem Kompartemen Individu 3

Persiapan Bahan dan Wadah 4

Manajemen Pakan 5

Manajemen Kualitas Air 5

Metode Pengambilan Sampel 5

Parameter Respons Fisiologis 6

Parameter Kinerja Produksi 6

Parameter Kualitas Air 7

Analisis Data 7

3 HASIL 8

Respons Fisiologis 8

Kinerja Produksi 9

Kualitas Air 12

4 PEMBAHASAN 14

5 SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 28

(14)

1 Dimensi berbagai bentuk sistem kompartemen individu (SKI):

(a) SKI tabung, (b) SKI segitiga, (c) SKI persegi, dan (d) kontrol 4 2 Total hemocyte count (THC) lobster selama masa pemeliharaan 8 3 Kadar glukosa hemolim lobster selama masa pemeliharaan 9 4 Tingkat kelangsungan hidup (SR) lobster saat panen 9 5 Frekuensi molting lobster selama masa pemeliharaan 10 6 Laju pertumbuhan harian (SGR) lobster selama pemeliharaan 10 7 Pertumbuhan lobster selama 60 hari masa pemeliharaan:

(a) Panjang total dan (b) Bobot 11

8 Rasio konversi pakan (FCR) lobster selama masa pemeliharaan 11

9 Kondisi kualitas air selama masa pemeliharaan lobster:

(a) suhu, (b) salinitas, (c) pH, dan (d) oksigen terlarut 12

10 Kondisi kualitas air selama masa pemeliharaan lobster:

(a) alkalinitas, (b) amonia, (c) nitrit, (d) nitrat, dan (e) TOM 13 11 Filter yang digunakan dalam sistem resirkulasi pada media

pemeliharaan lobster pasir P. homarus: trickling filter(kiri) dan protein

skimmer (kanan) 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Desain posisi sistem resirkulasi dan denah perlakuan pada wadah

pemeliharaan lobster pasir Panulirus homarus 28

2 Prosedur analisis sampel respons fisiologis lobster pasir Panulirus

homarus 29

3 Analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut metode Tukey parameter

respons fisiologis terhadap perlakuan SKI 30

4 Analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut metode Tukey parameter

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lobster pasir Panulirus homarus merupakan salah satu komoditas laut yang mulai popular dibudidayakan di Indonesia. Hal ini disebabkan lobster termasuk dalam komoditas ekspor bernilai ekonomis tinggi. Harga jual lobster tergolong tinggi di pasar domestik yaitu berkisar Rp 250.000 – 500.000/kg, dan pasar ekspor berkisar Rp 360.000 – 630.000/kg (HULH 2015). Permintaan lobster di pasar internasional mencapai 2.500 ton per tahun, dengan tujuan ekspor yaitu Hongkong, Taiwan, Cina, Singapura, dan Jepang (Suastika et al. 2008). Produksi udang tangkapan (udang dan lobster) periode tahun 2007 hingga 2011 mengalami penurunan sebesar 2,97%, yaitu tahun 2007 sebesar 258,98 ton, kemudian menurun pada tahun 2011 menjadi 228,87 ton (KKP 2011). Upaya dalam memenuhi permintaan lobster yang meningkat dan mengatasi permasalahan merosotnya populasi lobster di alam serta kerusakan habitatnya (Erlania et al.

2014; Hargiyatno et al. 2013), maka peran usaha budidaya sangat diperlukan. Kinerja produksi yang rendah ditunjukkan dengan tingginya mortalitas dan tingkat pertumbuhan yang rendah. Tingkat kelangsungan hidup pembesaran lobster di wilayah Lombok dan Sukabumi hanya berkisar 30 – 50% (Lesmana 2013). Mortalitas yang tinggi dalam budidaya lobster, umumnya disebabkan oleh kanibalisme. Sifat kanibalisme muncul pada lobster sehat dan sebagai sasaran mangsanya yaitu lobster yang lemah karena dalam kondisi sedang atau pasca ganti kulit (molting). Secara fisik lobster pasca molting memiliki ciri karapas yang lembek, berwarna putih pucat, dan mengeluarkan aroma yang menarik selera pemangsa (Setyono 2006). Upaya pencegahan kanibalisme dalam sistem budidaya lobster, dapat dilakukan dengan penyediaan tempat persembunyian buatan

(shelter). Hal ini diadaptasi sesuai habitat lobster di alam, yang sering bersembunyi di batu atau liang karang untuk menghindari serangan predator (Erlania et al. 2014; Musbir et al. 2014; Pratiwi 2008), dan juga rumput laut dan lamun sebagai tempat berlindung sekaligus makanannya (Thangaraja & Radhakrishnan 2012).

Aplikasi shelter konvensional yang biasa digunakan para pembudidaya lobster seperti rumput laut, karung plastik (teknik pocong), potongan bambu (Suastika et al. 2008), batu karang, kayu, atau jaring (Nguyen et al. 2009), masih belum optimal dalam meningkatkan kelangsungan hidup lobster. Berbagai penelitian dalam meningkatkan kelangsungan hidup lobster, telah banyak dilakukan antara lain menggunakan shelter pipa PVC, sistem kompartemen, dan sistem housing. Efektivitas penggunaan shelter pipa PVC pada pendederan lobster

(16)

Sistem kompartemen individu (SKI) yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan modifikasi bentuk shelter pipa PVC, dirancang untuk menempatkan satu individu lobster pada satu ruang khusus. Sistem ini bersifat individual sehingga dapat memastikan tidak terjadi kontak antar lobster dan mencegah kanibalisme. Selain itu, tidak terjadi kompetisi pakan dan meminimalkan penggunaan energi untuk bergerak, sehingga dapat menghasilkan biomassa yang lebih optimal. Material dalam pembuatan SKI memanfaatkan potensi lokal dan tersedia di seluruh daerah, sehingga dapat diaplikasikan para pembudidaya lobster skala menengah di Indonesia.

Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fungsi mekanik, fisik, dan biokimia pada organ, jaringan, atau sel makhluk hidup. Penggunaan bentuk SKI yang berbeda, memungkinkan tingkat stres yang berbeda pula sebagai respons fisiologisnya. Respons stres merupakan salah satu variabel fisiologis yang mempengaruhi tingkat kesehatan, pertumbuhan, reproduksi, efisiensi pakan, dan kelangsungan hidup lobster (Verghese et al. 2007). Respons stres dapat dievaluasi secara objektif dengan pengamatan tingkah laku, atau secara kuantitatif dengan mengukur perubahan beberapa variabel fisologis, seperti penggunaan oksigen, komposisi darah, pH, hormon, ion, dan hemosit (Lorenzon et al. 2007).

Berbagai penelitian yang mengkaji tingkat stres telah banyak dilakukan, yaitu dengan menggunakan hemolim sebagai indikator untuk menganalisis total hemosit dan kadar glukosa hemolim. Total hemocyte count (THC) adalah salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai indikator terjadinya stres pada krustase (Celi et al. 2015; D’Agaro et al. 2014; Arifin et al. 2014; Adiyana et al.

2014; Rustam et al. 2013). Selain itu, produk metabolik seperti glukosa hemolim dapat digunakan untuk mengetahui tingkat stres pada krustase akibat perlakuan dalam pemeliharaan, polutan, penanganan, perubahan lingkungan, dan pascatransportasi (Arifin et al. 2014; Bislimi et al. 2013; Gulec & Aksu 2012; Lorenzon et al. 2007; Jussila et al. 2001).

Penelitian mengenai pengaruh aplikasi SKI terhadap tingkat stres dan kinerja produksi lobster belum pernah ada, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Penerapan SKI dalam budidaya lobster diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi kanibalisme dan mampu menekan tingkat stres, sehingga dapat menghasilkan kinerja produksi yang optimal. Budidaya lobster dengan SKI dapat menjadi teknologi produksi yang efektif dan efisien, sehingga produktivitas lobster tetap terjamin, baik jumlah, kualitas, maupun kontinuitasnya.

Perumusan Masalah

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan sistem kompartemen individu (SKI) terhadap respons fisiologis (tingkat stres), kinerja produksi, dan menentukan bentuk SKI yang lebih efektif meminimumkan tingkat stres dalam budidaya lobster.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah tentang tingkat stres dan pertumbuhan lobster yang dipelihara menggunakan SKI, sehingga dapat membantu para pembudidaya lobster dalam meningkatkan produksi.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh aplikasi SKI terhadap respons fisiologis dan menghasilkan kinerja produksi lobster yang optimal.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga November 2015. Pemeliharaan lobster dilakukan di Laboratorium Ilmu Kelautan IPB, Jalan Pasir Putih 2 Ancol Timur, Jakarta Utara. Analisis respons fisiologis dilakukan secara

in-situ dan di Laboratorium Fisiologi FKH IPB. Analisis kualitas air dilakukan secara in-situ dan beberapa parameter di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan FPIK IPB.

Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan lapangan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri 4 perlakuan dan 2 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah pemeliharaan lobster dengan aplikasi berbagai bentuk SKI yaitu SKI tabung, SKI segitiga, SKI persegi, dan shelter pipa PVC sebagai kontrol.

Sistem Kompartemen Individu

(18)

bergerak sehingga dapat menghasilkan biomassa yang lebih tinggi. Material dalam pembuatan SKI memanfaatkan potensi lokal dan tersedia di seluruh daerah, sehingga dapat diaplikasikan para pembudidaya lobster skala menengah di Indonesia. SKI yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari berbagai bentuk yaitu SKI tabung modifikasi dari pipa PVC, SKI segitiga modifikasi dari talang air PVC, dan SKI persegi modifikasi dari keranjang plastik komersil, serta shelter

pipa PVC sebagai kontrol perlakuan. Perbedaan pada bentuk SKI dirancang sebagai adaptasi dari bentuk gua atau liang-liang karang tempat lobster bersembunyi di habitatnya, yaitu ada yang berbentuk bundar, segitiga, dan persegi (Gambar 1).

SKI dirancang dengan setiap bagian sisinya terdapat lubang-lubang kecil (diameter 2 cm), berfungsi untuk mempermudah pemberian pakan, pengeluaran sisa pakan/feses, serta pemantauan lobster pasca molting. Kedua bagian sisi pada unit SKI tabung dan SKI segitiga serta bagian permukaan SKI persegi ditutup menggunakan jaring nilon, direkatkan dengan tali dan tusuk bambu, sehingga lobster yang dikurung tidak dapat keluar dari unit SKI (Gambar 1). Perbedaannya dengan kontrol adalah shelter pada kedua sisinya tidak ditutup dengan jaring, sehingga memungkinkan lobster untuk bebas keluar masuk.

Gambar 1 Dimensi berbagai bentuk sistem kompartemen individu (SKI):

(a) SKI tabung, (b) SKI segitiga, (c) SKI persegi, dan (d) kontrol.

Persiapan Bahan dan Wadah

(19)

secara outdoor dengan menggunakan wadah bak beton berukuran (4 x 1 x 1,1) m, yang terdiri 2 bak untuk perlakuan dan 1 bak sebagai tandon air resirkulasi. Setiap bak perlakuan dibersihkan dan dibuat sekat pemisah menjadi 4 ruang untuk 4 perlakuan. Selanjutnya, bak diisi dengan air laut setinggi 35 cm dari dasar bak atau sebanyak 1,4 ton/bak. Selain itu, dilengkapi sistem aerasi dengan 4 titik aerasi pada setiap perlakuannya.

Sebelum perlakuan, lobster diaklimatisasi selama 7 hari. Wadah aklimatisasi yang digunakan yaitu bak beton ukuran (4 x 1 x 1,1) m dengan volume air laut sebanyak 1,4 ton. Selain itu, dilengkapi shelter berupa potongan pipa PVC sebagai tempat berlindungnya. Setelah aklimatisasi, lobster disortir dan ditimbang agar bobotnya seragam. Padat tebar yang digunakan 27 ekor untuk setiap perlakuan, dimana tiap 1 ekor lobster dimasukkan ke dalam 1 unit SKI. Selanjutnya, SKI yang telah berisi lobster dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan yang disusun 2 tingkat. Perlakuan ini berlangsung selama 60 hari masa pemeliharaan.

Manajemen Pakan

Pemberian pakan pada masa aklimatisasi dan perlakuan digunakan pakan segar, yaitu potongan ikan rucah yang diperoleh dari nelayan sekitar Dermaga Ancol. Pakan ikan rucah yang diberikan adalah potongan daging ikan yang telah bersih dari darah, sedangkan bagian kepala dan organ dalam tubuh ikan tidak digunakan. Pemberian pakan pada lobster dilakukan dengan metode at restricted

dan frekuensi 1 kali sehari. Pakan diberikan pada sore hari pukul 15.00 WIB.

Feeding rate yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 – 4% bobot lobster. Pemberian pakan dilakukan dengan cara memasukkan tiap potongan pakan melalui lubang-lubang yang terdapat pada unit SKI.

Manajemen Kualitas Air

Penerapan sistem resirkulasi air digunakan untuk menjaga kualitas air tetap optimal sehingga tidak perlu dilakukan penggantian air. Filter yang digunakan dalam sistem resirkulasi terdiri dari 2 macam, yaitu trickling filter dan

protein skimmer (Lampiran 1). Jumlah filter yang digunakan yaitu 2 unit trickling filter untuk setiap bak perlakuan dan 1 unit protein skimmer yang diletakkan pada bak tandon.

Metode Pengambilan Sampel

(20)

Parameter Respons Fisiologis

Parameter respons fisiologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

total hemocyte count (THC) dan kadar glukosa hemolim. Pengambilan sampel hemolim lobster dilakukan pada hari ke-0, 3, 7, 10, kemudian setiap 10 hari hingga akhir penelitian. Jumlah lobster yang digunakan adalah masing-masing 2 ekor untuk setiap perlakuan dan ulangan.

Teknik pengambilan sampel hemolim yaitu menggunakan syringe yang telah dibilas dengan anti koagulan. Penambahan anti koagulan dilakukan untuk analisis THC dengan perbandingan 2 : 1 (0,2 mL anti koagulan untuk 0,1 mL hemolim), sedangkan analisis kadar glukosa tanpa penambahan anti koagulan. Hemolim lobster diambil pada bagian kaki jalan belakang dekat abdomen lobster. Sampel hemolim kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro. Selanjutnya, sampel disentrifius dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 – 20 menit untuk diperoleh plasmanya.

Analisis THC dilakukan secara in-situ mengacu pada metode Blaxhall dan Daisley (1973). Analisis kadar glukosa hemolim dilakukan di laboratorium, mengacu pada metode Wedemeyer dan Yasutake (1977) (Lampiran 2).

Parameter Kinerja Produksi

Pengamatan pertumbuhan lobster dilakukan secara in-situ pada hari ke-0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, meliputi sampling bobot, panjang karapas, dan panjang total lobster. Jumlah lobster yang digunakan untuk sampling adalah 10% dari total populasi setiap perlakuan. Frekuensi molting diamati setiap hari dengan cara pengecekan pada media perlakuan kontrol dan semua unit SKI hingga akhir pemeliharaan. Tingkat kelangsungan hidup (SR) dan rasio konversi pakan (FCR) dihitung pada akhir penelitian. Data sampling kemudian dihitung ke dalam rumus SR, SGR, panjang total, dan FCR.

1) Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) dihitung untuk mengetahui persentasae dari jumlah total lobster yang hidup hingga akhir masa pemeliharaan. SR dihitung dengan menggunakan persamaan Solanki et al. (2012):

Keterangan:

SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah lobster hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) No = Jumlah lobster hidup pada awal pemeliharaan (ekor)

2) Frekuensi Molting

(21)

3) Laju Pertumbuhan Harian

Laju pertumbuhan harian atau specific growth rate (SGR) dihitung untuk mengetahui persentase pertambahan bobot lobster setiap harinya. SGR dihitung dengan menggunakan persamaan Solanki et al. (2012):

{( ) }

Keterangan:

SGR = Laju pertumbuhan harian (%/hari)

Wt = Bobot rata-rata lobster pada akhir pemeliharaan (g) Wo = Bobot rata-rata lobster pada awal pemeliharaan (g) t = Masa pemeliharaan (hari)

4) Panjang Total

Panjang total dihitung untuk mengetahui pertambahan panjang lobster selama masa pemeliharaan. Panjang total dihitung dengan menggunakan persamaan Solanki et al. (2012):

5) Rasio Konversi Pakan

Rasio konversi pakan (FCR) dihitung untuk mengetahui perbandingan total pakan yang digunakan untuk membentuk biomassa akhir lobster saat panen. FCR dihitung dengan menggunakan persamaan Zonneveld et al. (1991):

Keterangan:

FCR = Rasio konversi pakan F = Jumlah pakan (g)

Bt = Biomassa lobster akhir pemeliharaan (g) Bo = Biomassa lobster awal pemeliharaan (g)

Parameter Kualitas Air

Pengukuran parameter suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO), dan alkalinitas dilakukan setiap hari secara in-situ. Analisis laboratorium dilakukan pada hari ke-0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60, meliputi parameter amonia, nitrit, nitrat, dan total organic matter (TOM). Pengambilan sampel air sebanyak 500 mL untuk setiap perlakuan. Pengukuran kualitas air mengacu pada metode APHA (1999).

Analisis Data

(22)

HASIL

Respons Fisiologis

Total Hemocyte Count (THC)

THC lobster selama pemeliharaan terlihat cenderung fluktuatif pada setiap perlakuan. Secara keseluruhan, rata-rata nilai respons THC selama pemeliharaan adalah kontrol 6,91±2,85 x 106 sel/mL, SKI segitiga 5,20±1,44 x 106 sel/mL, SKI tabung 4,83±1,96 x 106 sel/mL, dan SKI persegi 4,60±1,30 x 106 sel/mL (Gambar 2). THC pada perlakuan kontrol mendominasi fluktuasi tertinggi dibandingkan perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi. Perlakuan SKI persegi menunjukkan tingkat THC yang lebih rendah dan fluktuasi yang lebih stabil dibandingkan perlakuan lainnya. Uji statistik menunjukkan respons THC pada semua perlakuan SKI tidak berbeda nyata terhadap kontrol (p>0,05), kecuali pada pemeliharaan hari ke-20 perlakuan SKI persegi dan hari ke-40 SKI tabung berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05) (Lampiran 3).

Gambar 2 Total hemocyte count (THC) lobster selama masa pemeliharaan.

Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■). Huruf kecil yang berbeda pada perlakuan per waktu yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05).

Kadar Glukosa Hemolim

Kadar glukosa hemolim lobster selama pemeliharaan cenderung fluktuatif pada setiap perlakuan. Secara keseluruhan, rata-rata nilai respons kadar glukosa hemolim lobster selama pemeliharaan adalah kontrol 16,63±9,43 mg/dL, SKI tabung 15,05±10,98 mg/dL, SKI segitiga 14,70±12,49 mg/dL, dan SKI persegi 11,64±11,66 mg/dL (Gambar 3). Fluktuasi kadar glukosa hemolim

(23)

Gambar 3 Kadar glukosa hemolim lobster selama masa pemeliharaan.

Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■). Huruf kecil yang berbeda pada perlakuan per waktu yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05).

Kinerja Produksi

Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)

Hasil SR lobster pada setiap perlakuan saat panen adalah perlakuan SKI tabung 92,59±0,00%, SKI segitiga 90,74±2,62%, SKI persegi 88,89±5,24%, dan kontrol 75,93±2,62% (Gambar 4). Uji statistik menunjukkan SR lobster antara perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebaliknya, semua perlakuan SKI berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05) (Lampiran 4).

Gambar 4 Tingkat kelangsungan hidup (SR) lobster saat panen. Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■). Huruf kecil yang berbeda pada setiap perlakuan menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05).

Frekuensi Molting Lobster

(24)

lobster pada semua perlakuan SKI selama pemeliharaan adalah berkisar 2 – 3 kali per individu. Uji statistik menunjukkan frekuensi molting lobster antara perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi tidak berbeda nyata (p>0,05). Sebaliknya, semua perlakuan SKI berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05) (Lampiran 4).

Gambar 5 Frekuensi molting lobster selama masa pemeliharaan. Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■). Huruf kecil yang berbeda pada setiap perlakuan menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05).

Laju Pertumbuhan Harian (SGR)

SGR lobster pada setiap perlakuan adalah kontrol 0,81±0,11%/hari, SKI persegi 0,61±0,49%/hari, SKI segitiga 0,57±0,39%/hari, dan SKI tabung 0,53±0,29%/hari (Gambar 6). Uji statistik menunjukkan SGR lobster perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, SKI persegi berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05). SKI segitiga tidak berbeda nyata terhadap SKI tabung dan SKI persegi (p>0,05), sedangkan SKI persegi berbeda nyata terhadap SKI tabung dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 4).

Gambar 6 Laju pertumbuhan harian (SGR) lobster selama pemeliharaan. Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■). Huruf kecil yang berbeda pada setiap perlakuan menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05).

Pertumbuhan Lobster

Pertumbuhan panjang total dan bobot lobster pada semua perlakuan menunjukkan peningkatan hingga akhir pemeliharaan. Panjang total lobster saat

Fr

e

ku

e

n

si

M

o

lting

(Juml

ah

Kar

ap

(25)

panen adalah perlakuan kontrol 138,56±9,57 mm/ekor, SKI persegi 137,31±8,11 mm/ekor, SKI segitiga 132,53±7,09 mm/ekor, dan SKI tabung 131,29±6,64 mm/ekor (Gambar 7a). Bobot akhir lobster saat panen adalah perlakuan kontrol 68,79±9,09 g/ekor, SKI persegi 58,83±4,78 g/ekor, SKI segitiga 55,01±3,69 g/ekor, dan SKI tabung 51,20±3,18 g/ekor (Gambar 7b). Uji statistik menunjukkan pertumbuhan panjang total dan bobot lobster untuk semua perlakuan SKI tidak berbeda nyata terhadap kontrol (p>0,05) (Lampiran 4).

Gambar 7 Pertumbuhan lobster selama 60 hari masa pemeliharaan: (a) Panjang total dan (b) Bobot. Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■). Data pada grafik menunjukkan hasil pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Rasio Konversi Pakan (FCR)

FCR lobster selama masa pemeliharaan pada setiap perlakuan adalah kontrol 15,61±0,10, SKI persegi 22,71±1,72, SKI segitiga 23,74±0,91, dan SKI tabung 25,50±0,42 (Gambar 8). Pemeliharaan lobster dengan perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi cenderung memiliki FCR yang lebih besar dibandingkan perlakuan kontrol. Uji statistik menunjukkan FCR lobster antara SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan semua perlakuan SKI berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05) (Lampiran 4).

(26)

Kualitas Air

Kualitas air pada perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, SKI persegi dan kontrol menunjukkan kondisi suhu, salinitas, dan pH yang cenderung homogen dan stabil. Secara keseluruhan, kondisi suhu, salinitas, dan pH media selama masa pemeliharaan masing-masing berkisar 28,0 – 29,3C, 33,0 – 34,4 ppt, dan 7,8 – 8,7 (Gambar 9a,b,c). Selama pemeliharaan, kondisi DO cenderung sedikit fluktuatif yaitu berkisar antara 5,0 – 7,0 mg/L (Gambar 9d).

Gambar 9 Kondisi kualitas air selama masa pemeliharaan lobster: (a) suhu,

(b) salinitas, (c) pH, dan (d) oksigen terlarut. Perlakuan kontrol (), SKI tabung (●), SKI segitiga (▲), dan SKI persegi (■).

Kondisi alkalinitas media secara keseluruhan berkisar 32,1 – 241,3 mg/L. Kondisi alkalinitas pada hari ke-0 saat awal perlakuan, cukup optimum yaitu 53,55 mg/L. Selanjutnya, pada hari ke-10 terlihat pada perlakuan SKI tabung dan SKI persegi mengalami penurunan. Kondisi alkalinitas pada pemeliharan hari ke-10 hingga ke-20 menunjukkan adanya perbedaan pada setiap perlakuan. Namun, mulai hari ke-20 cenderung homogen dan terus meningkat hingga akhir pemeliharaan (Gambar 10a).

Kondisi amonia dan nitrit media cenderung fluktuatif hingga akhir

pemeliharaan. Secara keseluruhan, konsentrasi amonia berkisar antara 0,01 – 0,66 mg/L dan nitrit berkisar antara 0,002 – 0,17 mg/L (Gambar 10b,c).

(27)

cenderung berbeda dan meningkat, lalu kembali menurun pada hari ke-60. Secara keseluruhan, konsentrasi nitrat pada media berkisar antara 0,02 – 0,44 mg/L (Gambar 10d).

Kondisi TOM media terlihat cenderung fluktuatif hingga akhir pemeliharaan. Kondisi TOM pada pemeliharaan hari ke-10 hingga ke-50 mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Selanjutnya, pada hari ke-60 konsentrasi TOM terus meningkat yaitu perlakuan kontrol jauh lebih tinggi dibandingkan semua perlakuan SKI. Secara keseluruhan, konsentrasi TOM pada media berkisar antara 24,8 – 125,6 mg/L (Gambar 10e).

Gambar 10 Kondisi kualitas air selama masa pemeliharaan lobster:

(28)

PEMBAHASAN

Total hemocyte count (THC) lobster selama pemeliharaan terlihat cenderung fluktuatif pada setiap perlakuan. Respons THC pada semua perlakuan SKI tidak berbeda nyata terhadap kontrol (p>0,05), kecuali pada pemeliharaan hari ke-20 perlakuan SKI persegi dan hari ke-40 SKI tabung berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05). THC pada perlakuan kontrol mendominasi fluktuasi tertinggi dibandingkan perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi (Gambar 2). Hasil penelitian ini menunjukkan pemeliharaan menggunakan SKI dapat menekan tingkat stres lobster, dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Khususnya perlakuan SKI persegi menunjukkan lebih efektif dalam menekan tingkat stres. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat THC yang lebih rendah dan fluktuasi yang lebih stabil dibandingkan perlakuan lainnya (p<0,05).

Stres menggambarkan kondisi terganggunya homeostasis yang berada di luar batas normalnya (Adams 1990; Wedemeyer & MCleay 1981), dalam kondisi ini terjadi realokasi energi metabolik dari aktivitas investasi (pertumbuhan dan reproduksi) menjadi aktivitas untuk memperbaiki homeostasis, seperti respirasi, pergerakan, regulasi hidromineral, dan perbaikan jaringan (Wendelaar 1997). Akibatnya pemanfaatan energi pakan untuk pertumbuhan lobster, termasuk sintesis materi kekebalan tubuh dapat terganggu. Hemosit memiliki peranan penting dalam sistem imun krustase, yang dapat digunakan sebagai penilaian status kesehatan melalui karakteristik dan aktivitas sistem pertahanan terhadap agen infeksius (Celi et al.2015; D’Agaro et al. 2014; Chakraborty & Ghosh 2014; Jussila et al. 2001).

THC yang tinggi pada hari ke-0 yaitu mencapai 6,00±0,00 x 106 sel/mL, diduga karena lobster stres yang disebabkan penanganan pada proses pemindahan dari bak aklimatisasi serta pemasukan lobster ke dalam unit SKI. Kondisi stres ditunjukkan dengan peningkatan THC mencapai 6,40 x 106 sel/mL pada lobster

P. cygnus (Jussila et al. 2001) dan 8,7 x 106 sel/mL pada lobster P. homarus

(Adiyana et al. 2014), atau lebih rendah dari 1,5 x 106 sel/mL (Lorenzon et al.

2008; 2007). Perubahan lingkungan seperti kualitas air dari bak aklimatisasi ke bak perlakuan juga mengakibatkan peningkatkan stres pada lobster. Menurut Verghese et al. (2007), perubahan kondisi lingkungan yang baru dapat menyebabkan stres pada lobster P. homarus, yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi THC, aktivitas phenoloxidase,dan aktivitas fagositosis.

(29)

Hal yang berbeda pada perlakuan kontrol yaitu pada hari ke-3 menurun, kemudian hari ke-7 meningkat menjadi 4,65±1,14 x 106 sel/mL (Gambar 2). THC pada perlakuan kontrol terlihat lebih cepat meningkat dibandingkan perlakuan lainnya. Secara keseluruhan, THC perlakuan kontrol mendominasi fluktuasi tertinggi, artinya lobster pada perlakuan kontrol mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan SKI. Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian yang menunjukkan tingginya THC adalah akibat stres, antara lain disebabkan pengaruh kurungan dan kelaparan pada Homarus americanus (D’Agaro et al. 2014), perlakuan jenis shelter berbeda pada P. homarus (Adiyana et al. 2014), transportasi pada Harpiosquilla raphide (Arifin et al. 2014), transportasi pada

Cancer pagurus (Lorenzon et al. 2008), transportasi pada Homarus americanus

(Lorenzon et al. 2007), tahap pembesaran pada Penaeus monodon di kolam (Rustam et al. 2013), serta integrasinya dengan waktu pembekuan hemolim

P. cignus (Jussila et al. 2001).

Kondisi stres yang tinggi dapat membahayakan kesehatan lobster karena akan lebih rentan terhadap serangan patogen. Sesuai pendapat Ekawati et al.

(2012), jumlah hemosit yang tinggi dalam hemolim menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk meresponsnya, sehingga dapat menjadi imunostresor yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Hemosit disintesis oleh sepasang epigastric nodule yaitu jaringan hematopoietic yang terletak di bagian dorsal pada lambung bagian depan. Jaringan tersebut berfungsi dalam produksi hemosianin pada krustase dalam rangka mempertahankan homeostasis. Ketika hemosianin meningkat maka secara langsung terjadi pula peningkatan hemosit. Lebih lanjut menurut D’Agaro et al. (2014) dan Johansson et al. (2000),

peran penting hemosit dalam sistem kekebalan tubuh, antara lain: (1) menghancurkan partikel asing dalam haemacoel melalui fagositosis,

enkapsulasi, agregat nodulasi, melanisasi, sitotoksitas, dan komunikasi antara sel; (2) memiliki andil dalam penanganan luka lewat reaksi seluler dan mengawali proses koagulasi dengan membawa dan melepaskan sistem proPO

(prophenoloxidase); (3) terlibat dalam pembentukan dan perombakan molekul-molekul penting dalam hemolim, seperti 2-Makroglobulin, aglutinin, dan peptida anti mikroba.

(30)

berkisar 11,64 – 15,05 mg/dL. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisiologis lobster dapat hidup normal dalam kondisi perlakuan tersebut.

Kadar glukosa hemolim yang tinggi pada pemeliharaan hari ke-0 yaitu mencapai 40,06±0,00 mg/dL, diduga karena lobster stres disebabkan penanganan pada proses pemindahan dari bak aklimatisasi dan pemasukan lobster ke dalam unit SKI, serta adanya perubahan kondisi lingkungan. Peningkatan kadar glukosa hemolim merupakan indikator terjadinya stres yang dapat disebabkan oleh perlakuan jenis shelter pada P. homarus (Adiyana et al. 2014), akumulasi polutan pada H. pomatia (Bislimi et al. 2013), pascatransportasi pada Cyprinus carpio

(Sulmartiwi et al. 2013), pengaruh penanganan pada A. leptodactylus (Gulec & Aksu 2012), dan perubahan suhu lingkungan pada Osphronemus gouramy

(Hastuti et al. 2003). Glukosa darah merupakan sumber pasokan energi utama dan substrat esensial untuk metabolisme sel, terutama sel otak. Otak akan berfungsi ketika sumber energi yang berasal dari glukosa tersedia secara kontinu (Steward 1991). Hati merupakan organ yang mempertahankan homeostasis glukosa darah melalui proses metabolisme glukosa (Piliang & Djojosoebagio 2000), yaitu meliputi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis (Rustam et al. 2013; Sulmartiwi et al. 2013; Hastuti et al. 2003).

Pemeliharaan pada hari ke-3 dan ke-7 terlihat kadar glukosa hemolim pada semua perlakuan cenderung menurun, yang menunjukkan lobster sudah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru (Gambar 3). Hal ini serupa dengan pendapat Adiyana et al. (2014); Gulec dan Aksu (2012); Hastuti et al. (2003), penurunan kadar glukosa hemolim menunjukkan bahwa organisme budidaya telah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Hal tersebut menunjukkan proses samping katabolisme protein, berupa asam amino yang meningkat dalam darah. Asam amino tersebut mengaktivasi hormon insulin untuk melakukan transpor glukosa, sehingga menyebabkan konsentrasi glukosa dalam darah kembali menurun. Hormon insulin bertugas memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel, agar dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel (D’Agaro et al.

2014).

Hal yang berbeda terjadi pada hari ke-10 hingga ke-20, kadar glukosa hemolim perlakuan kontrol meningkat dan tingginya di atas rata-rata semua perlakuan SKI, kecuali perlakuan SKI tabung pada hari ke-30 mencapai 23,02±6,95 mg/dL dan SKI segitiga pada hari ke-50 mencapai 31,11±12,67 mg/dL, yang tiba-tiba mengalami fluktuasi cukup tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 3). Hal ini diduga akibat stres karena pada hari tersebut dilakukan perbaikan jaring sekat penutup SKI, sehingga lobster cukup lama berada di luar media dan menyebabkan kadar glukosa hemolim lobster meningkat. Stres dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (Hastuti et al.

2003). Respons fisiologis terhadap stres diduga meningkatkan produksi hormon-hormon stres, seperti glukagon, epinefrin, norepinefrin, dan kortisol. Hormon tersebut akan merangsang produksi glukosa oleh hati dan mengganggu penggunaan glukosa dalam jaringan dan lemak. Selain itu, hormon tersebut menekan sekresi insulin dan menyebabkan glukosa tertahan dalam darah, sehingga kadar glukosa darah mengalami peningkatan.

(31)

budidaya, karena menentukan jumlah produksi yang dihasilkan. SR yang tinggi dalam perlakuan SKI disebabkan lobster aman terhadap serangan kanibalisme saat

molting dan tingkat stres yang rendah (kondisi tubuh yang sehat) mendukung kelangsungan hidup dan proses pertumbuhannya. Menurut Johnston et al. (2006), tidak adanya predator dan tempat berlindung lobster yang menunjang dalam sistem budidaya dapat menurunkan mortalitas, khususnya saat molting untuk menghindari ancaman serangan kanibalisme.

Pemeliharaan lobster P. homarus secara komunal (ukuran 15 – 45 g/ekor) dalam keramba jaring apung (KJA) menghasilkan SR berkisar 63 – 70% (Junaidi & Hamzah 2014) dan dalam bak menggunakan shelter pipa PVC (ukuran 2 g/ekor) menghasilkan SR 65,26±1,41% (Adiyana et al. 2014). Penelitian lainnya yaitu pemeliharaan lobster P. homarus menggunakan sistem kompartemen dalam KJA (sistem masih bersifat komunal), dengan kepadatan 25 ekor/m2 menghasilkan SR sebesar 84% (Lesmana 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan SKI dalam budidaya lobster terbukti lebih baik dalam memaksimalkan SR lobster, sehingga mendukung dalam meningkatkan hasil produksi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil SR pada semua perlakuan SKI yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0,05) (Gambar 4).

Pertumbuhan pada krustase merupakan perubahan pertambahan panjang dan bobot tubuh yang terjadi secara berkala setelah molting. Molting terjadi pada hewan eksoskeleton (kerangka luar), termasuk lobster dimana kulit yang lama ditanggalkan kemudian akan terganti dengan kulit yang baru. Frekuensi molting

lobster dapat menjadi parameter bahwa lobster mengalami proses pertumbuhan. Hasil penelitian ini menunjukkan pemeliharaan lobster dengan perlakuan SKI memiliki frekuensi molting lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol (p<0,05) (Gambar 5). Secara keseluruhan, frekuensi molting lobster pada semua perlakuan SKI selama pemeliharaan adalah berkisar 2 – 3 kali per individu. Frekuensi

molting yang rendah pada kontrol disebabkan populasi lobster semakin berkurang hingga akhir pemeliharaan. Hal ini berkorelasi dengan nilai SR yang rendah pada perlakuan kontrol. Jumlah lobster yang terus berkurang, mempengaruhi total jumlah karapas yang tanggal lebih sedikit. Selain itu, pemeliharaan lobster tanpa SKI sulit terpantau. Kecenderungan lobster yang berkumpul dan saling menumpukkan diri, memungkinkan kulit yang ditanggalkan menjadi rusak dan hancur di dalam air. Sebaliknya, penggunaan SKI mempermudah dalam pemantauan periode molting setiap individu lobster yang dipelihara.

Penelitian yang hampir serupa dengan prinsip SKI oleh Fujaya et al.

(2011), pemeliharaan kepiting Scylla olivacea (ukuran 75,00±3,00 g) selama 60 hari dalam media kotak plastik PVC (crabs box), memiliki persentase molting

(32)

Molting pada krustase dipengaruhi oleh 2 faktor, antara lain: (1) faktor eksternal, yaitu kualitas lingkungan (suhu, salinitas, atau pH), ukuran, seks, nutrisi, dan perlakuan pascaaklimatisasi atau transportasi, (2) faktor internal, yaitu produksi hormon molting (ekdisteroid) dan hormon penghambat molting (Molt Inhibiting Hormone) (Nguyen et al. 2014; Chang & Mykles 2011; Quackenbush 1986). Lebih lanjut menurut Hartnoll (1980), proses molting pada krustase terjadi melalui beberapa tahapan, antara lain: (1) pelepasan hormon molting (ekdisteroid)

yang akan merangsang pertumbuhan kulit baru di bawah kulit lama; (2) hipodermis akan memproduksi enzim untuk melarutkan komponen kulit,

sehingga kulit yang lama menjadi lebih tipis; (3) penyerapan garam-garam inorganik dari cangkang dan disimpan pada bagian dalam kulit; (4) setelah pembentukan sel baru sempurna (kulit baru yang lunak); maka lobster siap untuk

molting; (5) setelah molting, terjadi penyerapan air ke dalam tubuh sehingga terjadi peningkatan ukuran tubuh selama periode kulit lunak yang singkat; (6) perlahan-lahan kulit yang baru akan mengeras dan pertumbuhan jaringan kembali berlangsung; (7) jaringan yang berisi air, kemudian akan berubah menjadi protein yang berasal dari hasil metabolisme nutrien dalam tubuh.

SGR lobster perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, SKI persegi berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05) (Gambar 6). FCR pada pemeliharaan lobster antara SKI tabung, SKI segitiga, dan SKI persegi tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan semua perlakuan SKI berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05) (Gambar 8). Kanibalisme yang terjadi pada perlakuan kontrol, memungkinkan SGR lobster pada perlakuan tersebut lebih tinggi dan FCR yang lebih rendah dibandingkan perlakuan SKI. Pemanfaatan energi yang bukan berasal dari pakan, tetapi diperoleh dari hasil memangsa (kanibalisme), diduga menjadi sumber energi tambahan yang mendukung pertumbuhannya. Hal ini ditunjukkan pada SR perlakuan kontrol yang lebih rendah dan didukung dengan nilai FCR yang rendah pula, sehingga membuktikan terjadinya kanibalisme. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan lobster pada perlakuan kontrol lebih tinggi dibandingkan perlakuan SKI, sedangkan pada semua perlakuan tersebut jumlah FR pakan yang diberikan sama.

Sesuai dengan penelitian Irvin dan Williams (2009), pemeliharaan lobster

P. ornatus (ukuran 2 – 3 g/ekor) secara komunal memiliki SR lebih rendah yaitu 72%, dibandingkan secara individu mencapai 89%, namun pertumbuhannya jauh lebih rendah dibandingkan pemeliharaan secara individu. Selain itu, tingkat stres yang tinggi pada perlakuan kontrol merangsang lobster untuk molting. Kondisi fisik lobster yang molting sangat lemah dan mengeluarkan bau amis dari dagingnya, yang disebabkan kerangka tubuhnya terbuka. Hal ini diduga menarik selera pemangsanya yaitu lobster yang dalam kondisi sehat atau tidak molting. Kondisi pemeliharaan secara komunal dengan banyaknya lobster yang molting, tentunya akan memicu terjadinya kanibalisme.

Hal ini juga serupa dengan penelitian Vijayakumaran et al. (2010), lobster

P. homarus (ukuran 94 g/ekor) yang dipelihara secara komunal menghasilkan SGR lebih tinggi yaitu 0,54%/hari, dibandingkan secara individu yaitu 0,15%/hari. Pemeliharaan lobster P. homarus (ukuran 15 – 45 g/ekor) secara komunal dalam KJA selama 270 hari menghasilkan pertambahan bobot menjadi 151 – 120 g/ekor dengan SGR 0,59 – 0,86%/hari (Junaidi & Hamzah 2014).

(33)

sistem kompartemen dalam KJA yang bersifat komunal menghasilkan SGR 0,33%/hari (Lesmana 2013).

FCR pada krustase merupakan indikator untuk mengetahui jumlah pakan yang dapat dimanfaatkan dan efektivitas pakan selama pemeliharaan (Widanarni

et al. 2012). FCR pada pemeliharaan lobster P. homarus (ukuran 15 – 45 g/ekor) secara komunal dalam KJA yaitu sebesar 12,11 (Junaidi & Hamzah 2014) dan FCR optimal dalam pembesaran di KJA yaitu 12 (Suastika et al. 2008). FCR pada perlakuan SKI persegi adalah 22,71, artinya membutuhkan 22,71 kg pakan (daging ikan rucah) untuk membentuk 1 kg bobot lobster. FCR yang tinggi pada penelitian ini disebabkan bobot pakan yang dihitung hanya bagian daging ikan rucah yang telah dipotong dan bersih tanpa kepala dan organ dalamnya. Berbeda dengan sistem pemeliharaan lobster di KJA, pakan ikan rucah langsung diberikan secara utuh. Teknik pemberian pakan pada pemeliharaan lobster sistem KJA, tidak dapat diterapkan pada pemeliharaan di bak seperti dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan darah ikan akan meningkatkan beban amonia, sehingga lebih cepat merusak kualitas air media pemeliharaan.

Pengukuran panjang dan bobot lobster bertujuan untuk mengetahui konversi dan ukuran panjang ke bobot atau sebaliknya, sehingga dapat menjadi indikator kesehatan, kegemukan, produktivitas, kondisi fisiologis dan perkembangan gonad (Hargiyatno et al. 2013; Merta 1993). Pertumbuhan panjang total dan bobot lobster pada semua perlakuan menunjukkan peningkatan hingga akhir pemeliharaan (p>0,05) (Gambar 7). Alokasi pemanfaatan energi yang berasal dari pakan, biasanya tidak secara langsung dialihkan untuk pertumbuhan panjang dan bobot. Khususnya pada hewan eksoskeleton seperti lobster, diduga energi lebih banyak dialihkan pada aktivitas molting, perbaikan organ tubuh (seperti kaki jalan atau antena yang patah, telson yang rusak, mata yang lepas), osmoregulasi, reproduksi, dan homeostasis.

Kualitas air pada perlakuan SKI tabung, SKI segitiga, SKI persegi dan kontrol menunjukkan kondisi suhu, salinitas, dan pH yang cenderung homogen dan stabil. Secara keseluruhan, kondisi suhu, salinitas, dan pH media selama pemeliharaan adalah masing-masing berkisar 28,0 – 29,3C, 33,0 – 34,4 ppt, dan 7,8 – 8,7 (Gambar 9a,b,c). Selama pemeliharaan, kondisi DO cenderung sedikit fluktuatif yaitu berkisar antara 5,0 – 7,0 mg/L (Gambar 9d). Pemeliharaan lobster yang dilakukan secara outdoor, memungkinkan perubahan suhu yang disebabkan oleh cuaca. Ketika cuaca hujan maka suhu udara menjadi lebih rendah, sehingga menyebabkan suhu media mengalami penurunan, demikian juga sebaliknya. Peningkatan suhu media menyebabkan salinitas meningkat dan konsentrasi DO menurun. Peningkatan suhu media mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Kemp & Britz 2008), serta ketersediaan DO yang dibutuhkan untuk proses metabolisme pakan menjadi energy dan aktivitas molting lobster.

Kondisi kualitas air optimal pada pembesaran lobster di KJA adalah suhu berkisar 29,6 – 32,6C, salinitas 34 – 35 ppt, dan pH 7,89 – 8,21 (Junaidi & Hamzah 2014). Lobster termasuk organisme akuatik stenohalin, yaitu memiliki toleransi salinitas yang cukup luas, namun optimum pada lobster P. homarus

berkisar antara 26 – 35 ppt, suhu 25,5 – 31,3C, dan pH 7,8 – 8,5 (Vijayakumaran

et al. 2010). Penelitian lain oleh Murugan et al. (2005), konsentrasi DO yang

(34)

pertumbuhan krustase, sedangkan > 5 mg/L dapat menghambat pertumbuhan (Boyd 1990). Hasil penelitian ini menunjukkan kondisi suhu, salinitas, pH, dan DO pada media selama pemeliharaan, termasuk dalam kisaran optimum mendukung pertumbuhan lobster. juga sebagai penentu kesuburan alami perairan. Alkalinitas menunjukkan jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang terkandung dalam air. Tingginya alkalinitas berkorelasi dengan tingginya kesadahan, yang menunjukkan kandungan mineral dalam air, seperti kalsium, magnesium, dan fosfor yang dibutuhkan lobster dalam mendukung aktivitas molting.

Kondisi alkalinitas pada hari ke-0 saat awal perlakuan cukup optimum yaitu 53,55 mg/L, kemudian pada hari ke-10 pada perlakuan SKI tabung dan SKI persegi mengalami penurunan. Kondisi alkalinitas pada pemeliharan hari ke-10 hingga ke-20 menunjukkan adanya perbedaan pada setiap perlakuan (Gambar 10a). Hal ini diduga pengaruh stres pada lobster menyebabkan penyerapan ion dan mineral dalam air meningkat, sehingga ketersediaanya dalam air berkurang dan menyebabkan kondisi alkalinitas menurun. Misalnya, mineral kalsium dan fosfor yang ketersediaanya sangat dibutuhkan hewan eksoskeleton, dalam pembentukan karapas (Zainuddin 2012). Selain itu, mikroorganime dan bahan organik lainnya mempengaruhi kondisi alkalinitas pada media pemeliharaan. Menurut Boyd (1990), fitoplankton dan bakteri nitrifikasi memanfaatkan alkalinitas sebagai sumber karbon anorganiknya (Boyd 1990; Ebeling et al. 2006). Selanjutnya, alkalinitas pada hari ke-20 terlihat cenderung homogen dan terus meningkat hingga akhir pemeliharaan (Gambar 10a). Perairan dengan alkalinitas yang tinggi lebih produktif, dibandingkan dengan perairan yang alkalinitasnya rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan kondisi alkalinitas pada media, cukup dalam kisaran optimum mendukung pertumbuhan lobster.

Kondisi amonia (NH3) cenderung fluktuatif hingga akhir pemeliharaan, yaitu secara keseluruhan berkisar antara 0,01 – 0,66 mg/L (Gambar 10b). Konsentarasi NH3 yang disarankan dalam budidaya lobster J. edwardsii sistem resirkulasi adalah < 0,1 mg/L (Vijayakumaran et al. 2014). Konsentrasi NH3 dalam media pemeliharaan lobster J. edwardsii, P. cygnus, dan P. homarus, dipengaruhi oleh faktor bobot tubuh, aktivitas pergerakan, pakan (Crear & Forteath 2002), serta dinamika ekskresi (Kemp et al. 2009).

Nitrit (NO2) merupakan hasil dari proses oksidasi amonia oleh bakteri

Nitrosomonas, sedangkan nitrat (NO3) merupakan hasil dari proses nitrifikasi oleh bakteri Nitrobacter. Kondisi NO2 cenderung fluktuatif hingga akhir pemeliharaan, yaitu secara keseluruhan berkisar antara 0,002 – 0,17 mg/L (Gambar 10c). Konsentrasi NO2 yang disarankan untuk pemeliharaan krustase adalah < 4,5 mg/L (Boyd 1990). Konsentrasi NO2 yang disarankan pada budidaya lobster Homarus

(35)

dan meningkat, lalu kembali menurun pada hari ke-60. Pemeliharaan lobster

P. homarus,P. versicolor, dan P. ornatus pada sistem resirkulasi tumbuh optimal dengan kondisi NO2 dan NO3 yaitu < 0,05 mg/L (Vijayakumaran et al. 2014). Pemeliharaan L. vannamei yang optimal yaitu pada kondisi NO2 berkisar antara 0,02 – 0,08 mg/L dan NO3 < 1,18 mg/L (Budiardi et al. 2007).

Sumber amonia yang terdapat dalam media pemeliharaan, antara lain berasal dari hasil metabolit lobster, amonifikasi sisa pakan, dan akumulasi bahan organik yang terdekomposisi. Fluktuasi NH3, NO2, dan NO3 menunjukkan terjadinya proses nitrifikasi, yaitu NH3 dikonversi menjadi NO2 oleh bakteri

Nitrosomonas, kemudian diubah lagi menjadi NO3 oleh bakteri Nitrobacter.

Kisaran konsentrasi NH3, NO2, dan NO3 akan cenderung terus meningkat, seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan, peningkatan bobot yang berkorelasi dengan peningkatan jumlah pakan, serta kondisi DO yang berperan dalam proses konversi NH3. Hasil penelitian ini menunjukkan konsentrasi NH3, NO2, dan NO3 selama pemeliharan, masih dalam kisaran optimum mendukung pertumbuhan lobster.

Kondisi TOM pada media terlihat cenderung fluktuatif hingga akhir pemeliharaan, yaitu secara keseluruhan berkisar antara 24,8 – 125,6 mg/L (Gambar 10e). Konsentrasi TOM > 80 mg/L merupakan kondisi perairan yang subur (Setyowati et al. 2013). Pemeliharaan L. vannamei yang optimal yaitu pada kondisi TOM berkisar antara 14,7 – 225,1 mg/L (Budiardi et al. 2007). Kondisi TOM pada pemeliharaan hari ke-10 hingga ke-40, berturut-turut mengalami peningkatan dan penurunan. Selanjutnya, pada hari ke-50 hingga akhir pemeliharaan terus meningkat. Konsentrasi TOM pada perlakuan kontrol terlihat jauh lebih tinggi, dibandingkan semua perlakuan SKI (Gambar 10e). Fluktuasi TOM tersebut diduga terjadi karena kehadiran mikroorganisme, seperti bakteri, plankton, dan bahan organik lainnya, baik yang berbentuk suspensi maupun yang terlarut dalam media pemeliharaan.

Peningkatan TOM yang berlebihan dapat membahayakan lobster, karena dapat menyebabkan kompetisi oksigen di dalam media pemeliharaan. Namun, dalam kondisi optimal dapat menunjang pertumbuhan lobster, seperti kehadiran mikroorganisme (plankton) dapat berperan sebagai pakan alami untuk lobster, serta jenis bakteri heterotrof yang dapat berperan dalam konversi amonia. Hasil penelitian ini menunjukkan kondisi TOM pada media dalam kisaran optimum mendukung pertumbuhan lobster.

(36)

mendukung proses molting dengan sempurna, sehingga lobster dapat tumbuh dan hidup.

Kelebihan penggunaan SKI dalam budidaya lobster adalah terbukti dapat menghasilkan SR yang tinggi, karena dapat mencegah kanibalisme, tidak terjadi kompetisi pakan antar lobster, serta secara teknis lebih tahan lama dalam air karena penggunaan material yang berbahan plastik. Namun, hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan sistem ini adalah pemeliharaan jaring pada unit SKI. Jaring sebagai sekat penutup SKI perlu diamati setiap hari untuk mengetahui jika terdapat jaring yang rusak atau tali pengikat jaring yang longgar, sehingga lobster tidak keluar dalam unit SKI.

Kajian lebih lanjut mengenai tingkah laku dan perubahan morfologi lobster dalam penelitian ini perlu dilakukan. Hal ini terlihat selama pemeliharaan bahwa terdapat perbedaan tingkah laku pada lobster perlakuan SKI dan kontrol. Lobster pada semua perlakuan SKI, pada pemeliharaan hari ke-20 hingga akhir pemeliharaan lebih tenang dan tidak agresif saat sampling. Sebaliknya, lobster pada perlakuan kontrol masih agresif hingga akhir pemeliharaan. Hal ini kemungkinan akan berpengaruh pada hilang atau berkurangnya tingkat kanibalisme lobster. Misalnya, hasil pendederan lobster menggunakan SKI ketika masuk tahap pembesaran secara komunal memungkinkan tingkat mortalitas akibat kanibalisme lebih rendah. Selain itu, pada perlakuan SKI tabung dan SKI segitiga terdapat perubahan morfologi yaitu beberapa lobster memiliki antena yang bengkok. Hal ini diakibatkan antena lobster yang terus tumbuh memanjang, namun volume SKI tabung dan SKI segitiga terbatas. Hal tersebut juga dapat dilakukan kajian lebih lanjut, khususnya berkaitan dengan nilai jual lobster yang memiliki bentuk organ tubuh abnormal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Aplikasi sistem kompartemen individu (SKI) dalam budidaya lobster, efektif menekan tingkat stres dan mendukung kinerja produksi yang optimal. Pemeliharaan lobster menggunakan jenis SKI persegi lebih efektif meminimumkan tingkat stres, dibandingkan SKI tabung dan SKI segitiga.

Saran

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Adams SM. 1990. Status and Biological Indicator for Evaluating The Effects of Stress on Fish. Adams SM. (Ed.). Biological Indicator of Stress in Fish. American Fisheries Symposium. 8:1-8.

Adiyana K, Supriyono E, Junior MZ, Thesiana L. 2014. Aplikasi Teknologi

Shelter terhadap Respon Stres dan Kelangsungan Hidup pada Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus. Jurnal Kelautan Nasional. 9(1):1-9. [APHA] American Public Health Association. 1999. Standard Methods for The

Examination of Water and Waste Water. 20th Edition. Washington DC (US): APHA Press.

Arifin Y, Supriyono E, Widanarni. 2014. Total Hemosit, Glukosa, dan Survival Rate Udang Mantis Harpiosquilla raphide Pascatransportasi dengan Dua Sistem yang Berbeda. Jurnal Kelautan Nasional. 9(2):1-9.

Bislimi K, Behluli A, Halili J, Mazreku I, Osmani1 F, Halili F. 2013. Comparative Analysis of Some Biochemical Parameters in Hemolymph of Garden Snail

Helix pomatia L. of The Kastriot and Ferizaj Regions, Kosovo.

International Journal of Engineering and Applied Sciences. 4(6):11-18. Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine Haematological Methods for Use with

Fish Blood. Journal of Fish Biology. 5:577-581.

Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Alabama (US): Publishing Co.

Budiardi T, Widyaya I, Wahjuningrum D. 2007. Hubungan Komunitas Fitoplankton dengan Produktivitas Udang Vaname Litopenaeus vannamei

di Tambak Biocrete. Jurnal Akuakultur Indonesia. 6(2):119-125.

Celi M, Filiciotto F, Vazzana M, Arizza V, Maccarrone V, Ceraulo M, Mazzola S, Buscaino G. 2015. Shipping Noise Affecting Immune Responses of European Spiny Lobster Palinurus elephas. Can. J. Zool. 93:113-121. Chakraborty S, Ghosh U. 2014. In Vivo Immunological Changes Occurring at

Different Time Intervals in White Spot Syndrome Virus Infected Shrimp, Treated with Anti-WSSV Drug Derived from Marine Plants. International Journal of Basic and Applied Virology. 3(1):01-15.

Chang ES, Mykles DL. 2011. Regulation of Crustacean Molting: A Review and Our Perspectives. Gen. Comp. Endocrinol. 172:323-330.

Crear BJ, Forteath GNR. 2002. Feeding has The Largest Effect on The Ammonia Excretion Rate of The Southern Rock Lobster Jasus edwardsii and The Western Rock Lobster Panulirus cygnus. Aquacultural Engineering. 26:239-250.

Drengstig A, Bergheim A. 2013. Commercial Land-Based Farming of European Lobster Homarus gammarus in Recirculating Aquaculture System (RAS) Using a Single Cage Approach. Aquacultural Engineering. 53:14-18. D’Agaro E, Sabbioni V, Messina M, Tibaldi E, Bongiorno T, Tulli F, Lippe G,

Fabbro A, Stecchini M. 2014. Effect of Confinement and Starvation on Stress Parameters in The American Lobster Homarus americanus. Italian Journal of Animal Science. 13(3530):891-896.

(38)

Removal of Ammonia-Nitrogen in Aquaculture Systems. Aquaculture. 257:346-358.

Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusatama.

Effendy S, Alexander R, Akbar T. 2004. Peningkatan Hemosit Benur Udang Windu Penaeus monodon Fab. Pascaperendaman Ekstrak Ragi Roti

Saccharomyces cerevisiae pada Konsentrasi yang Berbeda. Jurnal Sains dan Teknologi. 14(2):46-53.

Ekawati AW, Nursyam H, Widjayanto E, Marsoedi. 2012. Diatomae Chaetoceros ceratosporum dalam Formula Pakan Meningkatkan Respon Imun Seluler Udang Windu Penaeus monodon. J. Exp. Life Sci. 2(1):20-28.

Erlania, Radiarta IN, Sugama K. 2014. Dinamika Kelimpahan Benih Lobster

Panulirus spp. di Perairan Teluk Gerupuk, Nusa Tenggara Barat: Tantangan Pengembangan Teknologi Budidaya Lobster. J. Ris. Akuakultur. 9(3):475-486.

Fujaya Y, Aslamyah S, Usman Z. 2011. Respon Molting, Pertumbuhan, dan Mortalitas Kepiting Bakau Scylla olivacea yang Disuplementasi Vitomolt melalui Injeksi dan Pakan Buatan. Ilmu Kelautan. 16(4):211-218.

Gulec AK, Aksu O. 2012. Effects of Handling on Physiological Profiles in Turkish Crayfish Astacus leptodactylus. World Journal of Fish and Marine Sciences. 4(6):684-688.

Hargiyatno IT, Satria F, Prasetyo AP, Fauzi M. 2013. Hubungan Panjang-Berat dan Faktor Kondisi Lobster Pasir Panulirus homarus di Perairan Yogyakarta dan Pacitan. Bawal. 5(1):41-48.

Hartnoll RG. 1980. Strategies of Crustacean Growth. JK Lowry (Ed). Australian Museum Memoir 18. Papers from The Conference On The Biology and Evolution of Crstacea. Trustees of The Australian Museum. p. 121-131.

Hastuti S, Supriyono E., Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Respon Glukosa Darah Ikan Gurami Osphronemus gouramy terhadap Stres Perubahan Suhu Lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2):73-77.

[HULH] Harga Udang Lobster Hidup. 2015. Harga Udang Lobster Hidup Eksportir Pergudangan Mas Bandara T-11, Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. http://hargaudanglobster.blogspot.co.id/ [12 Oktober 2015]. Irvin SJ, Williams KC. 2009. Comparison of The Growth and Survival of

Panulirus ornatus Seed Lobsters Held in Individual or Communal Cages.

Spiny Lobster Aquaculture in The Asia-Pacific Region. ACIAR Proceedings. p. 89-95.

Johansson MW, Keyser P, Sritunyalucksana K, Soderhall K. 2000. Crustacean Haemocytes and Haematopoiesis. Aquaculture. 191:45-52.

Johnston D, Melville-Smith R, Hendriks B, Maguire GB, Phillips B. 2006. Stocking Density and Shelter Type for The Optimal Growth and Survival of Western Rock Lobster Panulirus cygnus (George). Aquaculture.

260:114-127.

Gambar

Gambar 1 Dimensi berbagai bentuk sistem kompartemen individu (SKI):
Gambar  2 Total hemocyte count (THC) lobster selama masa pemeliharaan.
Gambar  3  Kadar glukosa hemolim lobster selama masa pemeliharaan.
Gambar  5  Frekuensi molting lobster selama masa pemeliharaan. Perlakuan
+5

Referensi

Dokumen terkait