IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID
PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK SECARA
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)
TUGAS AKHIR
OLEH :
HENDRA GUNAWAN
NIM 112410006
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
ANALIS FARMASI DAN MAKANAN
FAKULTAS FARMASI
LEMBAR PENGESAHAN
IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID
PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK SECARA
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Oleh :
HENDRA GUNAWAN
NIM 112410006
Medan, Mei 2014 Disetujui Oleh :
Dosen Pembimbing,
Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197712262008122002
Disahkan Oleh : Pembantu Dekan I,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Identifikasi Bahan Kimia
Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)”, yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis telah banyak mendapat
bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, dengan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Sumaiyah S.Si., M.Si., Apt. yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam pembuatan Tugas Akhir ini.
3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program
Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.
4. Bapak Drs. I Gde Nyoman Suandi, M.M., Apt., selaku Kepala Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Medan.
5. Ibu Lambok Oktavia SR, S.Si., M.Kes., Apt., selaku koordinator pembimbing
praktek kerja lapangan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di
6. Bapak dan Ibu seluruh staf di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di
Medan.
7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf program studi Diploma III Analis
Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga
kepada Ayahanda Ade Burhan dan Ibunda Yusniati tercinta serta Kak Lia, Kak
Yuli, dan Bang Asep yang telah memberikan do’a, semangat dan motivasi
sehingga penulisan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.
Terima kasih kepada teman dekat dan sahabat penulis Bang Denny, Adhli,
Alfalah, Faisal, Boston, Nevi, Ecik, Sofhy, Nurzah dan Winda yang selalu
memberikan dukungan kepada penulis. Seluruh teman-teman mahasiswa Analis
Farmasi dan Makanan angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu.
Penulis berharap Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak, penulis
menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, untuk itu
penulis mengharapankan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata
semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Medan, Mei 2014
Penulis
Hendra Gunawan
IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK
SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)
ABSTRAK
Bahan kimia obat umumnya digunakan pada pengobatan secara modern. Penggunaan bahan kimia obat pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan bahan kimia obat yang ada di dalam jamu. Bahan kimia obat di dalam jamu tidak disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya dalam penggunaannya dan dikarenakan juga Glibenklamid termasuk salah satu golongan obat keras. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu bentuk serbuk ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu Diates yang akan diedarkan di pasaran ada mengandung bahan kimia obat atau tidak. Glibenklamid digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu Diates dilakukan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding Glibenklamid BPFI adalah 0,167 sedangkan pada sampel tidak memiliki noda, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional negatif mengandung bahan kimia obat Glibenklamid sehingga sampel yang diuji dinyatakan memenuhi persyaratan sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2 ... 9
Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) ……….. 26
Lampiran 2. Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada
Jamu Diates ...………. 28
IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK
SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)
ABSTRAK
Bahan kimia obat umumnya digunakan pada pengobatan secara modern. Penggunaan bahan kimia obat pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan bahan kimia obat yang ada di dalam jamu. Bahan kimia obat di dalam jamu tidak disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya dalam penggunaannya dan dikarenakan juga Glibenklamid termasuk salah satu golongan obat keras. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu bentuk serbuk ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu Diates yang akan diedarkan di pasaran ada mengandung bahan kimia obat atau tidak. Glibenklamid digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu Diates dilakukan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding Glibenklamid BPFI adalah 0,167 sedangkan pada sampel tidak memiliki noda, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional negatif mengandung bahan kimia obat Glibenklamid sehingga sampel yang diuji dinyatakan memenuhi persyaratan sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional,
turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan setempat, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Ditjen
POM, 1994).
Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa perlu terus
dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan
sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Produksi dan penggunaan
obat tradisional di Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus
meningkat, baik jenis maupun volumenya. Perkembangan ini telah mendorong
pertumbuhan usaha di bidang obat tradisional, mulai dari usaha budidaya tanaman
obat, usaha industri obat tradisional, penjaja dan penyeduh obat tradisional atau
jamu. Bersamaan dengan itu upaya pemanfaatan obat tradisional dalam pelayanan
kesehatan formal juga terus digalakkan melalui berbagai kegiatan uji klinik ke
arah pengembangan fitofarmaka (Ditjen POM, 1999).
Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari
bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran),
daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan,
Komposisi jamu yang ada pada umumnya terdiri dari beberapa macam
simplisia yang satu sama lain saling berinteraksi, mendukung maupun
menetralisasikan. Itulah sebabnya daya kerja jamu tidak dapat diharapkan secepat
efek obat dalam bentuk kimia murni yang dapat dengan langsung ditujukan
kepada penyakit (Soeparto, 1999).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.661/Menkes/SK/VII/1994
telah ditetapkan bahwa dalam jamu tidak boleh mengandung bahan kimia obat.
Jika dalam jamu mengandung bahan kimia obat maka jamu tersebut dikatakan
tidak memenuhi syarat karena bahan kimia obat dalam jamu bersifat racun.
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di
negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat penyakit
kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit
tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat
tradisional di seluruh dunia. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan
tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja
tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional
(Anonim, 2008). Bahan kimia obat di dalam obat tradisional inilah yang menjadi
selling point bagi produsen. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan produsen
akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis
maupun cara penggunaannya, atau bahkan semata-mata meningkatkan penjualan,
karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada
Obat untuk penderita diabetes mellitus dikenal sebagai obat hipoglikemik
atau obat yang menurunkan kadar glukosa dalam darah. Walaupun efektif dan
mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai petunjuk dokter. Jangan mengubah
dosis atau mengganti jenis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang
terjadi bila dosis obat terlalu rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi
kronis yang lebih dini. Dosis yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat
menimbulkan hipoglikemia (Dalimartha, 2007).
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang dipisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan
pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran
yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal).
Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi
larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna
harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid dalam
Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis adalah untuk
mengetahui apakah jamu yang akan diedarkan di pasaran mengandung bahan
1.3 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid
dalam Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis adalah agar
mengetahui bahwa jamu yang akan diedarkan di pasaran tersebut memenuhi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Tradisional
Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional
yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan,
mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan. Bahan-bahan
ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian
sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat,
dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut
simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa
bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
Dalam pembuatan dan pengolahan obat tradisional biasanya ditambahkan
zat tambahan atau eksipien agar obat tradisional yang dihasilkan memiliki
penampakan atau rasa yang lebih menarik, lebih awet dalam penyimpanan, dan
menstabilkan senyawa yang dikandungnya. Bahan tambahan yang biasa
digunakan dapat dibedakan menjadi bahan tambahan alami dan bahan tambahan
kimia. Bahan tambahan kimia pada umunya bersifat racun karena itu perlu ada
pembatasan penggunaanya serta sejauh mungkin agar dihindari. Bahan tambahan
yang biasa digunakan dalam obat tradisional antara lain bahan pengawet,
Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat
tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan
menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa
memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994).
2.1.1 Jamu
Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari
bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran),
daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan,
seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996). Jamu harus
memenuhi kriteria, yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim
khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku (Tjokronegoro, 1992).
Jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Di pasaran, kita
bisa menjumpainya dalam herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam
bentuk segar rebusan (jamu godok) sebagaimana dijajakan para penjual jamu
gendong. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam kapsul dan
dalam bentuk pil siap minum. Pada umumnya jamu dalam kelompok ini diracik
berdasarkan resep peninggalan leluhur, yang belum diteliti secara ilmiah. Khasiat
dan keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun
temurun) (Yuliarti, 2008).
2.2 Serbuk Obat Tradisional
Menurut SK Menkes 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah
bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan
serbuk ini penggunaannya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan
diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat
tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua
atau lebih unsur kimia murni yang dibuat menjadi serbuk dalam perbandingan
tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun
persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi:
Kadar air : Tidak lebih dari 10%
Angka lempeng total : Tidak lebih dari 106 kol/g
Angka kapang dan khamir : Tidak lebih dari 104 kol/g
Mikroba patogen : Negatif
Aflatoksin : Tidak lebih dari 30 bpj.
Bahan tambahan : Pengawet; serbuk dengan bahan baku simplisia
dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk
dengan bahan baku sediaan galenik dengan
penyari air atau campuran etanol-air bila
diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet.
Pemanis; gula tebu (gula pasir), gula aren, gula
kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang
belum menjadi zat kimia murni. Pengisi; sesuai
dengan pengisi yang diperlukan pada sediaan
Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu
kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar
matahari (Depkes RI, 1994).
2.3 Diabetes
Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di
Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu
atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu
adanya cairan manis yang mengalir terus (Dalimartha, 2007).
Penyebabnya ialah kekurangan hormon insulin untuk pembakaran glukosa
sebagai sumber energi dan untuk sintesa lemak; akibatnya terjadi hiperglikemik
(meningkatnya kadar gula darah) (Anief, 2010).
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada
seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal
(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.
Penyakit ini bersifat menahun alias kronis. Penderitanya dari semua lapisan umur
serta tidak membedakan orang kaya ataupun miskin (Dalimartha, 2007)
Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat
serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa
yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5%
diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada
sel, oleh karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak
(Handoko dan Suharto, 1995).
Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing
terutama di malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu
kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat
lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh
(Waspadji, dkk., 2002).
Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu:
a. Diabetes melitus tipe 1
Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan
populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi
dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan
akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007).
Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan
oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin
disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi
autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal memberi respons
terhadap masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk
menghindari keadaan hiperglikemia yang dapat mengancam kehidupan (Mycek,
dkk., 2001).
b. Diabetes melitus tipe 2
Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi
masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar
glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih
mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi
yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, dkk., 2001). Di
samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga
disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu
gangguan fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh
walaupun kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan
gaya hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005).
Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak
atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan
antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007). Perbandingan perbedaan diabetes
Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun
Pada usia tua, umumnya > 40 tahun
Keadaan klinis saat diagnosis
Berat Ringan
Kadar Insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang disarankan
Terapi Insulin, diet, olah raga
Diet, olah raga, hipoglikemik oral
(Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005) 2.3.1 Obat Hipoglikemik Oral
Apabila perencanaan makan, latihan jasmani, dan penurunan berat badan
tidak cukup berhasil menurunkan kadar glukosa darah sampai ke batas normal
barulah penderita memerlukan obat. Obat untuk penderita diabetes mellitus
dikenal sebagai obat hipoglikemik atau obat yang menurunkan kadar glukosa
dalam darah. Walaupun efektif dan mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai
petunjuk dokter. Tidak diperbolehkan mengubah dosis atau mengganti jenis obat
tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang terjadi bila dosis obat terlalu
rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi kronis yang lebih dini. Dosis
yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia.
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penderita diabetes melitus.
Hipoglikemia adalah kadar gula darah (true glucose) penderita yang sangat
rendah, yakni kurang dari 50 mg/dl. Kadang-kadang gejala timbul pada kadar
cepat. Keadaan ini terjadi mendadak dan dapat dipastikan dengan mengukur kadar
glukosa darah. Hipoglikemia yang terjadi harus diatasi dengan segera, bila tidak
akan cepat menjadi parah dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul
dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dan kejang-kejang.
Ada 2 macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet
yang dapat diminum. Yang berupa tablet, biasa disebut juga obat hipoglikemik
oral (OHO) atau oral antidiabetes (OAD). Pemakaian istilah obat antidiabetes
(OAD) pada beberapa pustaka sudah mulai ditinggalkan, karena memang tidak
ada obat yang dapat menyembuhkan diabetes mellitus. Obat ini sebaiknya tidak
digunakan pada penderita diabetes mellitus yang disertai gangguan fungsi ginjal
dan hati (Dalimartha, 2007).
Untuk sediaan Obat Hipoglikemik Oral terbagi menjadi 2 golongan :
1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin atau merangsang sekresi insulin
di kelenjar pankreas, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonylurea
dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). Contoh-contoh senyawa dari
golongan ini adalah Gliburida/Glibenklamid, Glipizida, Glikazida,
Glimepirida, Glikuidon, Repaglinide, Nateglinide, Tolbutamid, dan
Klorpropamid.
2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara
efektif. Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Metformin,
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung kepada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat
(Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).
2.3.2 Golongan Sulfonilurea
Obat yang termasuk golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah
yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya insulin dari sel ß pankreas. Bila
pankreas sudah rusak sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi maka obat
ini tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah. Itulah sebabnya obat golongan
ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I. Namun, akan berkhasiat
bila diberikan pada pasien DM tipe II yang mempunyai berat badan normal
(Dalimartha, 2007).
2.3.3 Glibenklamid
Glibenklamid adalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-metoksobenzamido)etil]benzen
sulfonil]-3-sikloheksilurea. Glibenklamid juga dikenal sebagai
5-kloro-N-[2-[4-{{{(sikloheksilamino)karbonil}amino}sulfonil}-fenil] etil]-2-metoksibenzamida
dan sebagai 1-[[p-[2-(5-kloro-o-anisamido)etil]fenil]sulfonil]-3-sikloheksilurea.
Gambar 2.1 Struktur Kimia Glibenklamid Berat Molekul : 494,0
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau atau
hampir tidak berbau.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam eter; sukar larut dalam
etanol dan dalam methanol; larut sebagian dalam kloroform
(Depkes RI, 1995).
Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih
kuat dari Tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea
lainnya. Gliburid/Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit
diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja.
Gliburid/Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal pagi hari. Efek
biologi Gliburid/Glibenklamid jelas menetap 24 jam setelah dosis tunggal pagi
hari pada pasien diabetes. Dosis awal yang biasa 2,5 mg/hari dan dosis
pemeliharaan rata-rata 5-10 mg/hari yang diberiikan sebagai dosis tunggal pagi
hari, dosis pemeliharaan yang lebih dari 20 mg/hari tidak direkomendasikan. Bila
pemberian dihentikan obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Handoko dan
2.4 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan terdiri atas bahan
berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas logam
atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan
berupa bercak atau pita (titik awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh dalam bejana
ditutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan
terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang
tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Depkes RI, 1995).
Kromatografi lapis tipis mempunyai keuntungan yaitu, dalam
pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi
kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis,
peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir
semua laboratorium dapat melaksanakannya setiap saat secara cepat.
Mengidentifikasi komponen dalam kromatografi lapis tipis dapat
dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan
sinar ultra violet. (Rohman, 2009).
Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan
melihat florosensi dalam sinar ultraviolet. Faktor-faktor yang mempengaruhi
gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf,
yaitu:
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap
harga-harga Rf meskipun menggunakan fase gerak dalam larutan yang sama, tetapi
hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap yang sama juga ukuran
partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga homogen.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya,
tetapi perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan
menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari
plat.
4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam
kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut
digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.
5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan
6. Teknik percobaan
Arah gerakan pelarut di atas plat (metode aliran penaikan yang hanya
diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran
penurunan dan mendatar juga digunakan).
7. Jumlah cuplikan yang digunakan
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi
penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak
kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada
8. Suhu
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama
untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang
disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase.
9. Kesetimbangan
Kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam kromatografi kertas,
hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut.
Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila
digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan
pelarut yang terbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian
tepi-tepi dari pada bagian tengah, keadaan ini harus dicegah.
Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata
dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang
dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada
kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985).
2.4.1 Komponen Kromatografi Lapis Tipis 2.4.1.1 Fase Diam
Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis merupakan
penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin
kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase
diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya
Sifat-sifat umum dari penyerap-penyerap untuk kromatografi lapisan tipis
adalah mirip dengan sifat-sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat
yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya.
Kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang
digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan
kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat
yang digunakan kebanyakan kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdangangan
silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri, dan diberi
nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985).
2.4.1.2 Fase Gerak
Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada
gaya kapiler. Yang digunakan hanya pelarut bertingkat mutu analitik dan bila
diperlukan digunakan sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka
banding campuran yang dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa,
sehingga volume tetap 100, misalnya: benzen: kloroform: asam asetat 96% (50 :
40 : 10).
2.4.1.3 Bejana Pemisah dan Penjenuhan
Bejana harus dapat menampung plat 200×200 mm dan harus tertutup
rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih
dalam bejana dengan uap pelarut pengembangan mempunyai pengaruh yang nyata
pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram (Stahl, 1985).
2.4.1.4 Penotolan Sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh
hanya jika menotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih
dipilih dari pada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan
ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan
bercak yang menyebar dan puncak ganda.
2.4.1.5 Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak
bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan
bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak
menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk
mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. Cara fisika
yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi
sinar ultraviolet. Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang
ditambahkan untuk membantu penampakan bercak berwarna pada lapisan yang
telah dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar
tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar
ultraviolet. Indikator fluoresensi yang paling berguna ialah sulfida anorganik yang
dalam penjerap niaga dan lapisan siap pakai sekitar 1% dan tampaknya tidak
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Tempat Pengujian
Pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada jamu Diates
bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis dilakukan di Laboratorium Obat
Tradisional, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Medan yang berada di
Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan.
3.2 Alat
Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, beaker glass, bejana,
corong, corong pisah, erlenmeyer, gelas ukur, kertas perkamen, kertas saring, labu
tentukur, lemari asam, magnetic stirer with heating, neraca analitik, pemanas,
pipet tetes, seperangkat alat klt, spatula, statif dan klem, syringe, dan vial.
3.3 Bahan
Bahan yang digunakan adalah akuades, asam format, butil asetat, etanol,
glibenklamid BPFI, H2SO4 1 N, kloroform, NaOH 1 N, sampel Jamu Diates, dan
3.4 Prosedur 3.4.1 Larutan Uji
Sejumlah satu dosis cuplikan serbuk halus ditimbang seksama,
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 125 ml, ditambahkan 50 ml air dan
dibasakan dengan larutan natrium hidroksida 1 N hingga pH 9-10 dan dikocok
selama 30 menit dan saring. Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes larutan asam
sulfat 1 N hingga pH 3-4 dan diekstraksi tiga kali. Setiap kali menggunakan 30 ml
kloroform. Ekstrak kloroform dikumpulkan dan diuapkan hingga kering. Sisa
penguapan dilarutkan dalam 5,0 ml etanol (A).
3.4.2 Larutan Baku
Sejumlah lebih kurang 10 mg Glibenklamid BPFI ditimbang seksama.
Masukkan ke dalam labu tentukur 5 ml. Larutkan dan encerkan dengan etanol
hingga garis tanda (B).
3.4.3 Identifikasi
Larutan A dan B masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan
kromatografi lapis tipis sebagai berikut :
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase gerak : Butil Asetat : Toluen : Asam Format (50 : 50 : 0,4)
Penjenuhan : Dengan kertas saring
Volume penotolan : Larutan A 100 µL dan larutan B 50 µL
Jarak rambat : 15 cm
3.5 Persyaratan
Obat tradisional tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada
Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa jamu
yang diuji tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid karena pada Jamu
Diates tidak menghasilkan kromatogram.
Perhitungan Rf dan kromatogram hasil pengujian dari kromatografi lapis
tipis (KLT) dapat dilihat pada lampiran.
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengujian kromatografi lapis tipis, menunjukkan bahwa sampel
tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid karena pada sampel tidak
menghasilkan kromatogram.
Masyarakat mengenal obat tradisional sebagai obat yang berasal dari obat
bahan-bahan alam saja sehingga aman jika digunakan dalam jangka waktu yang
lama. Oleh karena itu, adanya bahan kimia obat dalam obat tradisional dapat
menyebabkan reaksi samping/efek samping jika digunakan dalam jangka waktu
yang panjang. Obat alam tidak dapat memberikan efek dalam waktu singkat
setelah pemakaian. Selain itu, penambahan bahan kimia obat dalam obat
tradisional juga memungkinkan terjadinya interaksi antara bahan alam dan bahan
tradisional yang mengandung bahan kimia obat adalah produk tidak terdaftar di
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia atau produk
mencantumkan nomor registrasi yang palsu dan memberikan efek dalam waktu
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada Jamu
Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa Jamu
Diates tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid, sehingga dapat
disimpulkan bahwa jamu yang diuji memenuhi persyaratan menurut dengan
KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.
5.2 Saran
Sebaiknya pengujian untuk sediaan obat tradisional tidak hanya pada
pengujian bahan kimia obat saja, akan tetapi pengujian-pengujian lain untuk
memenuhi persyaratan dari sediaan obat tradisional juga harus dilakukan agar
sediaan obat tradisional yang akan dipasarkan benar-benar merupakan sediaan
yang memenuhi persyaratan dalam segala aspek-aspeknya.
Agar instansi yang terkait terus melakukan upaya yang berkesinambungan
untuk memeriksa sediaan-sediaan obat tradisional yang beredar di pasaran, dan
jika menemukan sediaan obat tradisonal yang tidak memenuhi syarat sesuai
dengan monografinya, maka perusahaan penghasilnya harus diberi peringatan dan
sanksi yang tegas agar untuk selanjutnya tidak ditemukan kembali
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (2010). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 18.
Anonim. (2008). Obat Tradisional.www.Wikipedia.com. Tgl: 11 Maret 2014.
Christin, D. (2011). Analisis Bahan kimia Obat Dalam BKO.
http://www.scribd.com/doc/75216948/Analisis-Bahan-Kimia-Obat-Dalam-BKO. Tgl: 11 April 2014.
Dalimartha, S. (2007). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 3, 33-34, dan 47.
Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ditjen Bina Farmasi & ALKES. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: DEPKES RI. Hal 1, 7, 11-12, 25-27, dan 32.
Ditjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI. Hal 410.
Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta: DEPKES RI.
Handoko, T. dan Suharto, B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia G. Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Hal 476-477.
Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Hal 260-261, 264-265.
Rohman, A. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pusaka Pelajar. Hal. 45, 52, 252, 261-262, 353-354, dan 360.
Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 28-29.
Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Hal 3, 4, 7, dan 11.
Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya: Penerbit Airlangga. Hal. 25.
Tjay, T.H. dan Kirana R. (2007). Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi VI. Cetakan Pertama. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 739, 741-744, dan 748.
Tjokronegoro, A. (1992). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 27.
Wasito, H. (2011). Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 52-55.
Waspadji, S., Sukardji, K., Syono, S., dan Moenarko, R. (2002). Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 7-8.
LAMPIRAN Lampiran 1
Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pelarut : Etanol
Fase Diam : Silika GF254
Fese Gerak : Butil Asetat : Toluen : As. Format (50 : 50 : 0,4)
Baku Pembanding : Glibenklamid BPFI
Penjenuhan : Dengan kertas saring
Jarak Rambat : 15 cm
Penampak Noda : UV 245 nm, terjadi peredaman fluoresensi
Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis
Nama
I. Perhitungan Rf Baku Pembanding Glibenklamid BPFI Diketahui : Tinggi Bercak = 2,5 cm
Perhitungan :
Rf = ������������
�����������
= 2,5��
15��
Lampiran 2
Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates
Rf =
2,5
15 = 0,167
Lampiran 3
Sampel Jamu Diates
Nama Contoh : Jamu Diates
Komposisi : -
No. Reg : -
No. Batch : -
Tanggal Kadaluarsa : -
Netto : 10 bungkus / pot plastik @ 1,5 g
Pabrik : Swasta
Tanggal diterima : 04 Februari 2014
Pemerian
Bentuk : Serbuk
Rasa : Pahit
Warna : Coklat