• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID

PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK SECARA

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

TUGAS AKHIR

OLEH :

HENDRA GUNAWAN

NIM 112410006

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID

PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK SECARA

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HENDRA GUNAWAN

NIM 112410006

Medan, Mei 2014 Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing,

Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197712262008122002

Disahkan Oleh : Pembantu Dekan I,

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Identifikasi Bahan Kimia

Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)”, yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis telah banyak mendapat

bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, dengan ini penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Sumaiyah S.Si., M.Si., Apt. yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis dalam pembuatan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program

Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.

4. Bapak Drs. I Gde Nyoman Suandi, M.M., Apt., selaku Kepala Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

5. Ibu Lambok Oktavia SR, S.Si., M.Kes., Apt., selaku koordinator pembimbing

praktek kerja lapangan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

(4)

6. Bapak dan Ibu seluruh staf di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

Medan.

7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf program studi Diploma III Analis

Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga

kepada Ayahanda Ade Burhan dan Ibunda Yusniati tercinta serta Kak Lia, Kak

Yuli, dan Bang Asep yang telah memberikan do’a, semangat dan motivasi

sehingga penulisan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

Terima kasih kepada teman dekat dan sahabat penulis Bang Denny, Adhli,

Alfalah, Faisal, Boston, Nevi, Ecik, Sofhy, Nurzah dan Winda yang selalu

memberikan dukungan kepada penulis. Seluruh teman-teman mahasiswa Analis

Farmasi dan Makanan angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per

satu.

Penulis berharap Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak, penulis

menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, untuk itu

penulis mengharapankan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata

semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Mei 2014

Penulis

Hendra Gunawan

(5)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK

SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

ABSTRAK

Bahan kimia obat umumnya digunakan pada pengobatan secara modern. Penggunaan bahan kimia obat pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan bahan kimia obat yang ada di dalam jamu. Bahan kimia obat di dalam jamu tidak disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya dalam penggunaannya dan dikarenakan juga Glibenklamid termasuk salah satu golongan obat keras. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu bentuk serbuk ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu Diates yang akan diedarkan di pasaran ada mengandung bahan kimia obat atau tidak. Glibenklamid digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu Diates dilakukan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding Glibenklamid BPFI adalah 0,167 sedangkan pada sampel tidak memiliki noda, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional negatif mengandung bahan kimia obat Glibenklamid sehingga sampel yang diuji dinyatakan memenuhi persyaratan sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.

(6)
(7)
(8)
(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2 ... 9

Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi

Lapis Tipis (KLT) ……….. 26

Lampiran 2. Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada

Jamu Diates ...………. 28

(12)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK

SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

ABSTRAK

Bahan kimia obat umumnya digunakan pada pengobatan secara modern. Penggunaan bahan kimia obat pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan bahan kimia obat yang ada di dalam jamu. Bahan kimia obat di dalam jamu tidak disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya dalam penggunaannya dan dikarenakan juga Glibenklamid termasuk salah satu golongan obat keras. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu bentuk serbuk ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu Diates yang akan diedarkan di pasaran ada mengandung bahan kimia obat atau tidak. Glibenklamid digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu Diates dilakukan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding Glibenklamid BPFI adalah 0,167 sedangkan pada sampel tidak memiliki noda, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional negatif mengandung bahan kimia obat Glibenklamid sehingga sampel yang diuji dinyatakan memenuhi persyaratan sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional,

turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau

kebiasaan setempat, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Ditjen

POM, 1994).

Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa perlu terus

dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan

sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Produksi dan penggunaan

obat tradisional di Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus

meningkat, baik jenis maupun volumenya. Perkembangan ini telah mendorong

pertumbuhan usaha di bidang obat tradisional, mulai dari usaha budidaya tanaman

obat, usaha industri obat tradisional, penjaja dan penyeduh obat tradisional atau

jamu. Bersamaan dengan itu upaya pemanfaatan obat tradisional dalam pelayanan

kesehatan formal juga terus digalakkan melalui berbagai kegiatan uji klinik ke

arah pengembangan fitofarmaka (Ditjen POM, 1999).

Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari

bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran),

daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan,

(14)

Komposisi jamu yang ada pada umumnya terdiri dari beberapa macam

simplisia yang satu sama lain saling berinteraksi, mendukung maupun

menetralisasikan. Itulah sebabnya daya kerja jamu tidak dapat diharapkan secepat

efek obat dalam bentuk kimia murni yang dapat dengan langsung ditujukan

kepada penyakit (Soeparto, 1999).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.661/Menkes/SK/VII/1994

telah ditetapkan bahwa dalam jamu tidak boleh mengandung bahan kimia obat.

Jika dalam jamu mengandung bahan kimia obat maka jamu tersebut dikatakan

tidak memenuhi syarat karena bahan kimia obat dalam jamu bersifat racun.

Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di

negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat penyakit

kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit

tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat

tradisional di seluruh dunia. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan

tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab

terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja

tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional

(Anonim, 2008). Bahan kimia obat di dalam obat tradisional inilah yang menjadi

selling point bagi produsen. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan produsen

akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis

maupun cara penggunaannya, atau bahkan semata-mata meningkatkan penjualan,

karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada

(15)

Obat untuk penderita diabetes mellitus dikenal sebagai obat hipoglikemik

atau obat yang menurunkan kadar glukosa dalam darah. Walaupun efektif dan

mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai petunjuk dokter. Jangan mengubah

dosis atau mengganti jenis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang

terjadi bila dosis obat terlalu rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi

kronis yang lebih dini. Dosis yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat

menimbulkan hipoglikemia (Dalimartha, 2007).

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan

yang dipisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan

pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran

yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal).

Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi

larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama

perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna

harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid dalam

Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis adalah untuk

mengetahui apakah jamu yang akan diedarkan di pasaran mengandung bahan

(16)

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid

dalam Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis adalah agar

mengetahui bahwa jamu yang akan diedarkan di pasaran tersebut memenuhi

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional

yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan,

mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan. Bahan-bahan

ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian

sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat,

dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut

simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa

bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

Dalam pembuatan dan pengolahan obat tradisional biasanya ditambahkan

zat tambahan atau eksipien agar obat tradisional yang dihasilkan memiliki

penampakan atau rasa yang lebih menarik, lebih awet dalam penyimpanan, dan

menstabilkan senyawa yang dikandungnya. Bahan tambahan yang biasa

digunakan dapat dibedakan menjadi bahan tambahan alami dan bahan tambahan

kimia. Bahan tambahan kimia pada umunya bersifat racun karena itu perlu ada

pembatasan penggunaanya serta sejauh mungkin agar dihindari. Bahan tambahan

yang biasa digunakan dalam obat tradisional antara lain bahan pengawet,

(18)

Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat

tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan

menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa

memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994).

2.1.1 Jamu

Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari

bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran),

daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan,

seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996). Jamu harus

memenuhi kriteria, yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim

khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu

yang berlaku (Tjokronegoro, 1992).

Jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Di pasaran, kita

bisa menjumpainya dalam herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam

bentuk segar rebusan (jamu godok) sebagaimana dijajakan para penjual jamu

gendong. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam kapsul dan

dalam bentuk pil siap minum. Pada umumnya jamu dalam kelompok ini diracik

berdasarkan resep peninggalan leluhur, yang belum diteliti secara ilmiah. Khasiat

dan keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun

temurun) (Yuliarti, 2008).

2.2 Serbuk Obat Tradisional

Menurut SK Menkes 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah

(19)

bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan

serbuk ini penggunaannya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan

diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat

tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua

atau lebih unsur kimia murni yang dibuat menjadi serbuk dalam perbandingan

tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun

persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi:

Kadar air : Tidak lebih dari 10%

Angka lempeng total : Tidak lebih dari 106 kol/g

Angka kapang dan khamir : Tidak lebih dari 104 kol/g

Mikroba patogen : Negatif

Aflatoksin : Tidak lebih dari 30 bpj.

Bahan tambahan : Pengawet; serbuk dengan bahan baku simplisia

dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk

dengan bahan baku sediaan galenik dengan

penyari air atau campuran etanol-air bila

diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet.

Pemanis; gula tebu (gula pasir), gula aren, gula

kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang

belum menjadi zat kimia murni. Pengisi; sesuai

dengan pengisi yang diperlukan pada sediaan

(20)

Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu

kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar

matahari (Depkes RI, 1994).

2.3 Diabetes

Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di

Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini

berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu

atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu

adanya cairan manis yang mengalir terus (Dalimartha, 2007).

Penyebabnya ialah kekurangan hormon insulin untuk pembakaran glukosa

sebagai sumber energi dan untuk sintesa lemak; akibatnya terjadi hiperglikemik

(meningkatnya kadar gula darah) (Anief, 2010).

Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada

seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal

(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.

Penyakit ini bersifat menahun alias kronis. Penderitanya dari semua lapisan umur

serta tidak membedakan orang kaya ataupun miskin (Dalimartha, 2007)

Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat

serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa

yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5%

diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada

(21)

sel, oleh karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak

(Handoko dan Suharto, 1995).

Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing

terutama di malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu

kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat

lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh

(Waspadji, dkk., 2002).

Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu:

a. Diabetes melitus tipe 1

Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan

populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi

dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan

akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007).

Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan

oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin

disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi

autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal memberi respons

terhadap masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk

menghindari keadaan hiperglikemia yang dapat mengancam kehidupan (Mycek,

dkk., 2001).

b. Diabetes melitus tipe 2

Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi

(22)

masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar

glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih

mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi

yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, dkk., 2001). Di

samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga

disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin

secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu

gangguan fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh

walaupun kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di

negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan

gaya hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005).

Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak

atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan

antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007). Perbandingan perbedaan diabetes

(23)

Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun

Pada usia tua, umumnya > 40 tahun

Keadaan klinis saat diagnosis

Berat Ringan

Kadar Insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal

Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal

Pengelolaan yang disarankan

Terapi Insulin, diet, olah raga

Diet, olah raga, hipoglikemik oral

(Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005) 2.3.1 Obat Hipoglikemik Oral

Apabila perencanaan makan, latihan jasmani, dan penurunan berat badan

tidak cukup berhasil menurunkan kadar glukosa darah sampai ke batas normal

barulah penderita memerlukan obat. Obat untuk penderita diabetes mellitus

dikenal sebagai obat hipoglikemik atau obat yang menurunkan kadar glukosa

dalam darah. Walaupun efektif dan mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai

petunjuk dokter. Tidak diperbolehkan mengubah dosis atau mengganti jenis obat

tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang terjadi bila dosis obat terlalu

rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi kronis yang lebih dini. Dosis

yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia.

Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penderita diabetes melitus.

Hipoglikemia adalah kadar gula darah (true glucose) penderita yang sangat

rendah, yakni kurang dari 50 mg/dl. Kadang-kadang gejala timbul pada kadar

(24)

cepat. Keadaan ini terjadi mendadak dan dapat dipastikan dengan mengukur kadar

glukosa darah. Hipoglikemia yang terjadi harus diatasi dengan segera, bila tidak

akan cepat menjadi parah dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul

dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dan kejang-kejang.

Ada 2 macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet

yang dapat diminum. Yang berupa tablet, biasa disebut juga obat hipoglikemik

oral (OHO) atau oral antidiabetes (OAD). Pemakaian istilah obat antidiabetes

(OAD) pada beberapa pustaka sudah mulai ditinggalkan, karena memang tidak

ada obat yang dapat menyembuhkan diabetes mellitus. Obat ini sebaiknya tidak

digunakan pada penderita diabetes mellitus yang disertai gangguan fungsi ginjal

dan hati (Dalimartha, 2007).

Untuk sediaan Obat Hipoglikemik Oral terbagi menjadi 2 golongan :

1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin atau merangsang sekresi insulin

di kelenjar pankreas, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonylurea

dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). Contoh-contoh senyawa dari

golongan ini adalah Gliburida/Glibenklamid, Glipizida, Glikazida,

Glimepirida, Glikuidon, Repaglinide, Nateglinide, Tolbutamid, dan

Klorpropamid.

2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap

insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan

tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara

efektif. Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Metformin,

(25)

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat

sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung kepada tingkat

keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat

dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat

(Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).

2.3.2 Golongan Sulfonilurea

Obat yang termasuk golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah

yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya insulin dari sel ß pankreas. Bila

pankreas sudah rusak sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi maka obat

ini tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah. Itulah sebabnya obat golongan

ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I. Namun, akan berkhasiat

bila diberikan pada pasien DM tipe II yang mempunyai berat badan normal

(Dalimartha, 2007).

2.3.3 Glibenklamid

Glibenklamid adalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-metoksobenzamido)etil]benzen

sulfonil]-3-sikloheksilurea. Glibenklamid juga dikenal sebagai

5-kloro-N-[2-[4-{{{(sikloheksilamino)karbonil}amino}sulfonil}-fenil] etil]-2-metoksibenzamida

dan sebagai 1-[[p-[2-(5-kloro-o-anisamido)etil]fenil]sulfonil]-3-sikloheksilurea.

(26)

Gambar 2.1 Struktur Kimia Glibenklamid Berat Molekul : 494,0

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau atau

hampir tidak berbau.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam eter; sukar larut dalam

etanol dan dalam methanol; larut sebagian dalam kloroform

(Depkes RI, 1995).

Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih

kuat dari Tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea

lainnya. Gliburid/Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit

diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja.

Gliburid/Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal pagi hari. Efek

biologi Gliburid/Glibenklamid jelas menetap 24 jam setelah dosis tunggal pagi

hari pada pasien diabetes. Dosis awal yang biasa 2,5 mg/hari dan dosis

pemeliharaan rata-rata 5-10 mg/hari yang diberiikan sebagai dosis tunggal pagi

hari, dosis pemeliharaan yang lebih dari 20 mg/hari tidak direkomendasikan. Bila

pemberian dihentikan obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Handoko dan

(27)

2.4 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan terdiri atas bahan

berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas logam

atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan

berupa bercak atau pita (titik awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh dalam bejana

ditutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan

terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang

tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Depkes RI, 1995).

Kromatografi lapis tipis mempunyai keuntungan yaitu, dalam

pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi

kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis,

peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir

semua laboratorium dapat melaksanakannya setiap saat secara cepat.

Mengidentifikasi komponen dalam kromatografi lapis tipis dapat

dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan

sinar ultra violet. (Rohman, 2009).

Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan

melihat florosensi dalam sinar ultraviolet. Faktor-faktor yang mempengaruhi

gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf,

yaitu:

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan

(28)

Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap

harga-harga Rf meskipun menggunakan fase gerak dalam larutan yang sama, tetapi

hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap yang sama juga ukuran

partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga homogen.

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya,

tetapi perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan

menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari

plat.

4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak

Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam

kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut

digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.

5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan

6. Teknik percobaan

Arah gerakan pelarut di atas plat (metode aliran penaikan yang hanya

diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran

penurunan dan mendatar juga digunakan).

7. Jumlah cuplikan yang digunakan

Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi

penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak

kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada

(29)

8. Suhu

Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama

untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang

disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase.

9. Kesetimbangan

Kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam kromatografi kertas,

hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut.

Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila

digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan

pelarut yang terbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian

tepi-tepi dari pada bagian tengah, keadaan ini harus dicegah.

Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata

dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang

dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada

kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985).

2.4.1 Komponen Kromatografi Lapis Tipis 2.4.1.1 Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis merupakan

penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin

kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase

diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya

(30)

Sifat-sifat umum dari penyerap-penyerap untuk kromatografi lapisan tipis

adalah mirip dengan sifat-sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat

yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya.

Kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang

digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan

kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat

yang digunakan kebanyakan kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdangangan

silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri, dan diberi

nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.1.2 Fase Gerak

Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa

pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada

gaya kapiler. Yang digunakan hanya pelarut bertingkat mutu analitik dan bila

diperlukan digunakan sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu

campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka

banding campuran yang dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa,

sehingga volume tetap 100, misalnya: benzen: kloroform: asam asetat 96% (50 :

40 : 10).

2.4.1.3 Bejana Pemisah dan Penjenuhan

Bejana harus dapat menampung plat 200×200 mm dan harus tertutup

rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih

(31)

dalam bejana dengan uap pelarut pengembangan mempunyai pengaruh yang nyata

pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram (Stahl, 1985).

2.4.1.4 Penotolan Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh

hanya jika menotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih

dipilih dari pada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan

ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan

bercak yang menyebar dan puncak ganda.

2.4.1.5 Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak

bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan

bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak

menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk

mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. Cara fisika

yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi

sinar ultraviolet. Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang

ditambahkan untuk membantu penampakan bercak berwarna pada lapisan yang

telah dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar

tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar

ultraviolet. Indikator fluoresensi yang paling berguna ialah sulfida anorganik yang

(32)

dalam penjerap niaga dan lapisan siap pakai sekitar 1% dan tampaknya tidak

(33)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Tempat Pengujian

Pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada jamu Diates

bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis dilakukan di Laboratorium Obat

Tradisional, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Medan yang berada di

Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, beaker glass, bejana,

corong, corong pisah, erlenmeyer, gelas ukur, kertas perkamen, kertas saring, labu

tentukur, lemari asam, magnetic stirer with heating, neraca analitik, pemanas,

pipet tetes, seperangkat alat klt, spatula, statif dan klem, syringe, dan vial.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah akuades, asam format, butil asetat, etanol,

glibenklamid BPFI, H2SO4 1 N, kloroform, NaOH 1 N, sampel Jamu Diates, dan

(34)

3.4 Prosedur 3.4.1 Larutan Uji

Sejumlah satu dosis cuplikan serbuk halus ditimbang seksama,

dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 125 ml, ditambahkan 50 ml air dan

dibasakan dengan larutan natrium hidroksida 1 N hingga pH 9-10 dan dikocok

selama 30 menit dan saring. Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes larutan asam

sulfat 1 N hingga pH 3-4 dan diekstraksi tiga kali. Setiap kali menggunakan 30 ml

kloroform. Ekstrak kloroform dikumpulkan dan diuapkan hingga kering. Sisa

penguapan dilarutkan dalam 5,0 ml etanol (A).

3.4.2 Larutan Baku

Sejumlah lebih kurang 10 mg Glibenklamid BPFI ditimbang seksama.

Masukkan ke dalam labu tentukur 5 ml. Larutkan dan encerkan dengan etanol

hingga garis tanda (B).

3.4.3 Identifikasi

Larutan A dan B masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan

kromatografi lapis tipis sebagai berikut :

Fase diam : Silika gel GF 254

Fase gerak : Butil Asetat : Toluen : Asam Format (50 : 50 : 0,4)

Penjenuhan : Dengan kertas saring

Volume penotolan : Larutan A 100 µL dan larutan B 50 µL

Jarak rambat : 15 cm

(35)

3.5 Persyaratan

Obat tradisional tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO).

(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada

Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa jamu

yang diuji tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid karena pada Jamu

Diates tidak menghasilkan kromatogram.

Perhitungan Rf dan kromatogram hasil pengujian dari kromatografi lapis

tipis (KLT) dapat dilihat pada lampiran.

4.2 Pembahasan

Dari hasil pengujian kromatografi lapis tipis, menunjukkan bahwa sampel

tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid karena pada sampel tidak

menghasilkan kromatogram.

Masyarakat mengenal obat tradisional sebagai obat yang berasal dari obat

bahan-bahan alam saja sehingga aman jika digunakan dalam jangka waktu yang

lama. Oleh karena itu, adanya bahan kimia obat dalam obat tradisional dapat

menyebabkan reaksi samping/efek samping jika digunakan dalam jangka waktu

yang panjang. Obat alam tidak dapat memberikan efek dalam waktu singkat

setelah pemakaian. Selain itu, penambahan bahan kimia obat dalam obat

tradisional juga memungkinkan terjadinya interaksi antara bahan alam dan bahan

(37)

tradisional yang mengandung bahan kimia obat adalah produk tidak terdaftar di

Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia atau produk

mencantumkan nomor registrasi yang palsu dan memberikan efek dalam waktu

(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada Jamu

Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa Jamu

Diates tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid, sehingga dapat

disimpulkan bahwa jamu yang diuji memenuhi persyaratan menurut dengan

KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.

5.2 Saran

Sebaiknya pengujian untuk sediaan obat tradisional tidak hanya pada

pengujian bahan kimia obat saja, akan tetapi pengujian-pengujian lain untuk

memenuhi persyaratan dari sediaan obat tradisional juga harus dilakukan agar

sediaan obat tradisional yang akan dipasarkan benar-benar merupakan sediaan

yang memenuhi persyaratan dalam segala aspek-aspeknya.

Agar instansi yang terkait terus melakukan upaya yang berkesinambungan

untuk memeriksa sediaan-sediaan obat tradisional yang beredar di pasaran, dan

jika menemukan sediaan obat tradisonal yang tidak memenuhi syarat sesuai

dengan monografinya, maka perusahaan penghasilnya harus diberi peringatan dan

sanksi yang tegas agar untuk selanjutnya tidak ditemukan kembali

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2010). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 18.

Anonim. (2008). Obat Tradisional.www.Wikipedia.com. Tgl: 11 Maret 2014.

Christin, D. (2011). Analisis Bahan kimia Obat Dalam BKO.

http://www.scribd.com/doc/75216948/Analisis-Bahan-Kimia-Obat-Dalam-BKO. Tgl: 11 April 2014.

Dalimartha, S. (2007). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 3, 33-34, dan 47.

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ditjen Bina Farmasi & ALKES. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: DEPKES RI. Hal 1, 7, 11-12, 25-27, dan 32.

Ditjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI. Hal 410.

Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta: DEPKES RI.

Handoko, T. dan Suharto, B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia G. Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Hal 476-477.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Hal 260-261, 264-265.

Rohman, A. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pusaka Pelajar. Hal. 45, 52, 252, 261-262, 353-354, dan 360.

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 28-29.

(40)

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Hal 3, 4, 7, dan 11.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya: Penerbit Airlangga. Hal. 25.

Tjay, T.H. dan Kirana R. (2007). Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi VI. Cetakan Pertama. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 739, 741-744, dan 748.

Tjokronegoro, A. (1992). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 27.

Wasito, H. (2011). Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 52-55.

Waspadji, S., Sukardji, K., Syono, S., dan Moenarko, R. (2002). Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 7-8.

(41)

LAMPIRAN Lampiran 1

Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pelarut : Etanol

Fase Diam : Silika GF254

Fese Gerak : Butil Asetat : Toluen : As. Format (50 : 50 : 0,4)

Baku Pembanding : Glibenklamid BPFI

Penjenuhan : Dengan kertas saring

Jarak Rambat : 15 cm

Penampak Noda : UV 245 nm, terjadi peredaman fluoresensi

Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis

Nama

I. Perhitungan Rf Baku Pembanding Glibenklamid BPFI Diketahui : Tinggi Bercak = 2,5 cm

(42)

Perhitungan :

Rf = ������������

�����������

= 2,5��

15��

(43)

Lampiran 2

Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates

Rf =

2,5

15 = 0,167

(44)

Lampiran 3

Sampel Jamu Diates

Nama Contoh : Jamu Diates

Komposisi : -

No. Reg : -

No. Batch : -

Tanggal Kadaluarsa : -

Netto : 10 bungkus / pot plastik @ 1,5 g

Pabrik : Swasta

Tanggal diterima : 04 Februari 2014

Pemerian

Bentuk : Serbuk

Rasa : Pahit

Warna : Coklat

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2
Gambar 2.1  Struktur Kimia Glibenklamid
Tabel 4.1  Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis

Referensi

Dokumen terkait

Adapun manfaat yang diperoleh dari identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisional bentuk serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible

Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis adalah untuk mengetahui apakah pada salah satu jamu linurat

IDENTIFIKASI SENYAWA OBAT PIROKSIKAM DALAM SEDIAAN PADAT OBAT TRADISIONAL DENGAN METODE.. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) DAN

Manfaat yang diperoleh dari identifikasi senyawa obat Piroksikam dalam. sediaan padat obat tradisional dengan metode kromatografi lapis tipis

Keseragaman bobot (untuk kapsul yang berisi obat tradisional kering) Tidak lebih dari 2 kapsul yang masing-masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-ratanya lebih

Dari keenam sampel jamu pegal linu terdapat 4 sampel yang memiliki nilai Rf yang sama dengan nilai Rf baku pembanding fenilbutazon yaitu sampel A, C, D, dan E, sehingga

Obat bahan alam yang lebih dikenal dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan cair atau galenik,

Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang terbentuk cekung