• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi pengelolaan sampah pada tempat pembuangan akhir Bantargebang, Bekasi:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi pengelolaan sampah pada tempat pembuangan akhir Bantargebang, Bekasi:"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT

PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI

DJATMIKO WINAHYU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Kajian Pembangunan Daerah Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir kajian ini.

Bogor, September 2009

(3)

ABSTRACT

DJATMIKO WINAHYU, Strategies of Final Disposal Site (TPA) Management of Bantargebang, Bekasi. Under direction of SRI HARTOYO and YUSMAN SYAUKAT.

Solid waste and its management has become an urgent issue for Indonesian cities. Without giving good treatment it will bring a change of balance to the environment and cause other negative impacts. The favorite way of solid waste treatment in cities is by burying it in a final disposal site (TPA).

TPA Bantargebang is an asset owned by DKI Jakarta Provincial Government and the only final disposal site for all solid waste from Jakarta. The increase of solid waste volume buried in the site will have concequence of shorter use. The bad practice of sanitary landfill also makes the condition worse. Another thing to consider is the increase in operational expenses allocated annually by the local government.

The research is intended to know the existing condition of TPA Bantargebang and to determine the alternatives of management strategy of TPA Bantargebang that could be adopted by DKI Jakarta Provincial Government using qualitative approach with analytic descriptive design. The sample of the research is the stakeholder in solid waste sector namely government, expert and community. The data collection is through questionnaire, interview, observation and documentation. The technique of data analysis using SWOT analysis.

(4)

RINGKASAN

DJATMIKO WINAHYU, Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi. Dibawah bimbingan SRI HARTOYO,

sebagai ketua, YUSMAN SYAUKAT, sebagai anggota komisi pembimbing.

Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air maupun udara. oleh karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di pedesaan.

(5)

sekitar 26.962 m³ (97,50%), sedangkan sisanya sekitar 692 m³ (2,50%) tidak tertanggulangi.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang merupakan aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh sampah dari DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya. Kondisi ini diperparah dengan belum diterapkannya SOP Sanitary Landfill. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah semakin besarnya beban anggaran yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah TPA Bantargebang dan menentukan strategi pengelolaan TPA Bantargebang yang dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan metode kualitatif. Sampel penelitian ini adalah para pakar di bidang persampahan baik dari pihak pemerintah, pakar maupun masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara, observasi dan dokumentasi.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH PADA TEMPAT

PEMBUANGAN AKHIR BANTARGEBANG, BEKASI

DJATMIKO WINAHYU

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi

Nama : Djatmiko Winahyu

NRP : H 251064145

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kajian pembangunan daerah yang berjudul “Strategi Pengelolaan Sampah Pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, Bekasi”. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penyelesaian tulisan ini, penulis banyak mendapat bantuan, dukungan, serta kemudahan dalam memperoleh informasi dan masukan-masukan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setingg-tingginya kepada yang terhormat :

1. Departemen Dalam Negeri yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, selaku Ketua dan Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, selaku Anggota, atas kesediannya meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, saran dan dorongan yang sangat berharga dalam menyelesaikan tulisan ini.

3. Ketua Program, para Dosen dan seluruh Staf/Karyawan Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

4. Kedua orang tua, adik serta istri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan bantuan dan dorongan serta doa dan kasih sayangnya secara tulus ikhlas.

5. Rekan-rekan mahasiswa MPD Bogor III yang banyak memberikan inspirasi baik dalam proses perkuliahan maupun dalam penyelesaian tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis dalam penerapan teknik penulisan dan pengungkapan substansinya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan-masukan demi kesempurnaan di masa yang akan datang

Semoga tulisan ini bermanfaat dan semoga berkah Allah bersama kita semua. Amin.

Bogor, September 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

(12)

DAFTAR ISI

2.1. Nilai Ekonomi Pengolahan Persampahan ... 6

2.2. Pengertian Sampah ... 7

2.3. Prinsip-prinsip Pengolahan Persampahan ... 8

2.4. Manajemen Persampahan Kota ... 10

2.4.1. Sumber dan Klasifikasi Sampah ... 10

2.6. Peran Serta masyarakat dalam Penanggulangan Sampah ... 29

2.7. Organisasi ... 31

2.8. Pengertian Aset ... 32

2.9. Strategi ... 35

2.10. Formulasi Strategi dengan Analisis SWOT ... 37

(13)

IV. GAMBARAN WILAYAH... 47

4.1. Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang ... 47

4.1.1. Kondisi Klimatologi ... 47

4.1.2. Kondisi Geologi dan Hidrologi ... 48

4.1.3. Kondisi Tata Guna Lahan ... 48

4.2. Kondisi TPA Bantargebang Saat ini ... 49

4.2.1. Pembagian Zona TPA Bantargebang ... 49

4.2.2. Infrastruktur TPA Bantargebang ... 50

4.2.3. Pelaksanaan Operasional Penimbunan Sampah ... 53

4.3. Kondisi Saat Ini Pengelolaan Sampah Di DKI Jakarta ... 53

4.4. Cara Pengelolaan Sampah ... 55

4.4.1. Pewadahan ... 55

4.4.2. Sistem Pengumpulan sampah ... 55

4.5. Kondisi Tempat Pembuangan Akhir Saat ini ... 58

4.6. Aset Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang ... 58

4.7. Pengelolaan sampah di TPA Bantargebang ... 60

4.8 Ikhtisar ... 62

V. EVALUASI KINERJA, PENGELOLAAN TPA BANTARGEBANG, BEKASI ... 63

5.1. Evaluasi Kinerja ... 63

5.1.1.Aspek Institusi/kelembagaan TPA ... 63

5.1.2.Aspek teknis bidang persampahan ... 63

5.1.3.Aspek pembiayaan ... 64

5.1.4.Aspek pengangkutan sampah ke TPA ... 64

5.1.5. Timbulan sampah ... 65

6.4. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision Stage) ... 76

6.5 Strategi dan Program ... 77

6.5.1.Program Perbaikan Sistem Teknologi TPA ... 78

6.5.2. Program Kelembagaan pada Unit TPA ... 79

6.5.3. Program Pengolahan Sampah Terpadu dan Ramah Lingkungan ... 79

6.5.4. Program Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat... 79

(14)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

7.1. Kesimpulan ... 81

7.2. Saran ... 81

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah ...16

Tabel 3.1. Distribusi Responden Kajian...42

Tabel 3.2. Metode Analisis...42

Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Peruntukan Desa Cikiwul, Ciketing udik dan ...SumurBatu... ...48

Tabel 4.2. Pembagian Zone TPA Bantargebang ...49

Tabel 4.3 Estimasi Area dan Kapasitas Landfill. ...49

Tabel 4.4 Prosentase Komposisi Sampah di Provinsi DKI Jakarta...53

Tabel 4.5 Tempat Penampungan Sampah Sementara di DKI Jakarta...55

Tabel 4.6 Produksi Timbulan Sampah, Sampah Terangkut dan Sisa Sampah ...di Wilayah DKI Jakarta...56

Tabel 4.7 Aset TPA Bantargebang ...58

Tabel 4.8 Sarana Pendukung TPA Bantargebang ...59

Tabel 4.9 Pengoperasian TPA Bantargebang (Aspek Sosial dan Teknis) ...60

Tabel 5.1 Matriks Faktor Strategis Internal Pengelolan TPA Bantargebang ...66

Tabel 5.2 Matriks Faktor Strategis Eksternal Pengelolan TPA Bantargebang ...68

Tabel 5.3 Hasil Analisis Matriks SWOT Dalam Perumusan Alternatif Strategi ...Pengelolaan TPA Bantargebang Bekasi...70

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan. ...17

Gambar 2.2. Sistem Pengangkutan dengan Transfer Depo ...18

Gambar 2.3. Sistem Pengangkutan Dengan Kontainer. ...18

Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan...31

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, telah membawa perubahan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk bidang kerjasama daerah. Perubahan tersebut diharapkan menuju terciptanya sistem pengelolaan kerjasama daerah yang lebih baik dalam upaya mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah secara optimal sesuai dengan dinamika dan tuntutan masyarakat yang berkembang.

Untuk meningkatkan dan memperlancar pelaksanaan Otonomi Daerah serta menjamin tertibnya penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah meningkatkan penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan daerah melalui kerjasama daerah, terutama kerjasama antar daerah. Dengan kerjasama daerah diharapkan dapat dijadikan sarana untuk lebih memantapkan keterkaitan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mampu meningkatkan laju pertumbuhan antar daerah yang seimbang, selaras, dan serasi serta mencegah kemungkinan munculnya perselisihan antar daerah.

Kerjasama daerah merupakan alternatif yang memberikan kemanfaatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Banyak ditemukan bahwa pemerintah daerah mempunyai kekayaan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan atau dikembangkan untuk dikerjasamakan, namun upaya-upaya tersebut terhalang oleh terbatasnya sumberdaya, dana dan teknologi. Di sisi lain, terdapat pihak-pihak/stakeholders yang mempunyai potensi pendanaan dan teknologi. Potensi pihak tersebut juga bermanfaat untuk pengembangan usaha yang bersangkutan dan bagi masyarakat luas.

(18)

bersangkutan untuk membentuk kerjasama yang akan menghasilkan suatu sinergi yang “saling menguntungkan”.

Oleh karena itu melihat perkembangan pesatnya pertumbuhan Kota Jakarta dalam dua dasa warsa terakhir ini telah memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap daya dukung lingkungan, perilaku, dan pola kehidupan masyarakat juga ikut berubah hal ini mengakibatkan sikap terhadap kepedulian untuk mendukung kepentingan bersama semakin terkikis. Sementara disisi lain, adanya kebijaksanaan zero growth yang ditetapkan dalam kebijaksanaan kepegawaian pemerintah DKI Jakarta dalam pengelolaan kebersihan terutama untuk aspek non teknis antara mengenai kelembagaan dan organisasi pegawai operasional dilapangan.

Permasalahan yang melatarbelakangi kajian pengelolaan persampahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang ini adalah bahwa usaha yang telah dilakukan oleh Dinas Kebersihan selama ini dalam penanganan sampah dan tugas pokok lainnya dipandang masih belum optimal terutama dalam operasional pengolahan sampah akhir. Oleh karena itu, dasar hukum sebagai pelaksanaan pengelolaan persampahan antar kedua pemerintah daerah tersebut tertuang dalam kerjasama antara Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 dan Nomor 168 Tahun 1999 tentang pengelolaan sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi dan mengacu Perda DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah serta Sekretariat DPRD Provinsi DKI Jakarta, Surat Keputusan Gubernur Nomor 15 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas kebersihan Propinsi DKI Jakarta khususnya pembentukan Struktur Organisasi yang efisien bagi institusi Dinas Kebersihan Propinsi DKI Jakarta, serta Surat Keputusan Gubernur Nomor 119 Tahun 2002 tentang pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Dinas Kebersihan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.sebagai upaya organisasi untuk mencapai tujuan pelaksanaan tugas pokok dalam menciptakan kota yang bersih, tertib, indah dan sehat.

(19)

pengelolaan sampah di Bantargebang. Untuk itu perlu dilakukan sebuah kajian, “Bagaimana strategi pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang di Kabupaten Bekasi ?”.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti layaknya masalah lingkungan hidup perkotaan maka masalah sampah di Jakarta dapat dibedakan atas masalah sampah di tingkat kota dan masalah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pada umumnya masalah sampah mencakup produksi sampah dan sumber akhir pembuangannnya dan bagaimana proses pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, sehingga permasalahan-permasalahan yang spesifik dalam penanganan sampah dan kebersihan di DKI Jakarta dapat tertanganni dengan baik.

Berdasarkan kondisi saat ini pengelolaan sampah di DKI Jakarta yang diproduksi setiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per hari dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi, melihat produksi sampah yang dihasilkan cukup besar maka harus diimbangi dengan pengelolaan yang optimal karena masalah persampahan sebagai akibat dari pertambahan penduduk kota sehingga menuntut peningkatan pola pengelolaan sampah yang lebih baik, keheterogenan tingkat sosial budaya penduduk kota dan masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam menangani masalah sampah, keterbatasan dan kurangnya tersedianya sumber daya manusia yang sesuai untuk menangani masalah sampah, pengembangan teknologi penanganan persampahan yang bergerak relatif lambat.

Peningkatan jumlah sampah baik dalam segi volume maupun jenisnya menuntut keseriusan dan perhatian lebih untuk pengelolaannya tidak hanya sekedar untuk upaya pengumpulan, transportasi dan pemusnahan semata. Disamping itu perubahan dan pergeseran perilaku dan pola konsumsi masyarakat perkotaan juga mewarnai perubahan signifikan jenis dan volume sampah, yang pada gilirannya menuntut perubahan manajemen dan fisik atas sampah.

(20)

Keberadaan TPA dinilai lebih banyak menimbulkan kerugian terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya . Di samping itu, TPA Bantargebang masih lebih diposisikan sebagai aset atau fasilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang hanya berfungsi melayani kebutuhan masyarakat (service center) dalam hal pengolahan akhir sampah dan kurang memperhitungkan manfaat atau nilai tambah

(added value) yang dapat dihasilkan dari sampah.

Berdasarkan kondisi saat ini penerapan teknologi yang digunakan yang awalnya menggunakan teknologi sanitary landfill yang benar ternyata dalam operasionalisasinya masih tetap menimbulkan masalah seperti gas yang dapat mencemarkan udara. Apalagi bila dalam operasionalnya sanitary landfill telah bergeser menjadi open dumping, membuang sampah tanpa mengolah, dapat berdampak negatif seperti air lindi yang akan menimbulkan bau tidak enak dan menjadi tempat berkembangnya bibit penyakit. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kajian adalah “ Bagaimana rumusan strategi pengelolaan sampah pada Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang di Kabupaten Bekasi ?”.

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1). Untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan TPA Bantargebang.

2). Merumuskan strategi dan program yang dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan TPA Bantargebang.

1.4. Manfaat Penelitian

(21)

1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta, khususnya pada Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantargebang di Bekasi yang dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari 2009, melalui: 1) observasi lapangan, 2) Focuss Group Discussion (FGD), dan 3) wawancara tidak terstruktur dengan para pemangku kepentingan (stakeholders)

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nilai Ekonomi Pengelolaan Sampah

Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang mendesak di kota-kota di Indonesia, sebab bila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan dan berbagai dampak negatif lainnya. Penanganan sampah yang menjadi andalan kota-kota adalah dengan penimbunan pada sebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi merupakan aset milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan satu-satunya TPA bagi seluruh pembuangan sampah dari DKI Jakarta. Semakin meningkatnya volume sampah yang dibuang ke TPA tersebut akan memperpendek usia pemanfaatannya.

Berdasarkan kondisi saat ini yang terjadi dalam pengelolaan sampah yang diproduksi di DKI Jakarta tiap harinya 6000 ton per hari dan sekitar 4000 ton per hari dibuang ke TPA Bantargebang, Bekasi dan melihat produksi sampah yang dihasilkan cukup besar maka harus di imbangi dengan pengeloaan yang optimal karena masalah persampahan sebagai akibat dari pertambahan penduduk sehingga menuntut peningkatan pola pengelolaan sampah yang lebih baik dan profesional yang akan menghasilkan potensi maupun nilai ekonomi yang tinggi dalam pengelolaan sampah yang ada.

Nilai ekonomi pengelolaan sampah pada umumnya berasal dari dua sektor yaitu sektor formal dan sektor informal dimana sektor formal adalah nilai ekonomi yang dikelola oleh pemerintah dan sektor informal adalah sektor nilai ekonomi yang dikelola oleh pemulung dan pengumpul sampah. Hal yang menarik adalah dimana pada satu sisi sektor informal ini memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah, disisi lain pemulung memilah sampah yang organik dan anorganik yang mempunyai nilai ekonomis dari tumpukan sampah, TPS sampai ke TPA Bantargebang.

(23)

TPA Bantargebang dari sektor informal berasal dari penjualan ulang dari bahan-bahan yang dapat diolah kembali. Pada umumnya sampah-sampah yang di produksi di DKI Jakarta yang dibuang ke TPA Bantargebang Bekasi, memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi terutama bahan-bahan yang dapat di daur ulang yang kemudian ditawarkan kembali ke industri-industri yang membutuhkannya.

Potensi nilai ekonomi yang diperoleh dari beberapa pengumpul sampah yang dapat di daur ulang seperti kertas, karbon, plastik, besi tua, kaca, alumunium dan karung yang masing-masing mempunyai nilai jual per kg nya cukup baik yang akan disetorkan/pada sentra penjualan sampah. Semua sentra penjualan sampah tersebut menjadi aset yang sangat potensial secara ekonomi bagi masyarakat di sekitar TPA Bantargebang, Bekasi. Dengan melihat jumlah sentra penjualan sampah diatas berarti sentra tersebut juga menyerap tenaga kerja informal yang cukup besar terutama di tiga desa di TPA Bantargebang, yang cukup besar memberikan andil dan kontribusi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah di Kabupaten Bekasi.

2.2. Pengertian Sampah

Berbagai aktivitas dilakukan oleh manusia untuk kesejahteraan hidupnya dengan memproduksi barang dari sumberdaya alam disamping menghasilkan barang yang akan dikonsumsi manusia dihasilkan pula bahan buangan yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh manusia. Bahan buangan makin hari makin bertambah banyak, hal ini erat hubungannya dengan makin bertambahnya jumlah penduduk disatu pihak, ruangan hidup menerima relatif tetap. Bahan buangan ini dikenal dengan istilah waste (limbah) yang dalam wujudnya berbentuk padat, cair dan gas (Murthado dan Said, 1987).

(24)

yang tidak dipakai, tidak diinginkan dan dibuang, yang berasal dari suatu aktifitas dan bersifat padat (tidak termasuk buangan yang bersifat biologis).

Sementara Hadiwiyoto (1983) mengatakan bahwa sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya. Ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian.

Dari beberapa pendapat/pengertian di atas, untuk memperjelas pengertian sampah, maka batasan-batasan lain, menurut Putranto (1983) sampah adalah : 1. adanya suatu benda atau zat padat atau buangan.

2. adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan aktivitas manusia.

Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi, tidak disenangi dan dibuang dalam arti pembuangan dengan cara yang diterima oleh umum (perlu pengolahan yang baik).

2.3. Prinsip-prinsip Pengolahan Persampahan

Pengolahan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani penduduk terhadap sampah yang dihasilkannya, yang secara tidak langsung turut memelihara kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang bersih, baik dan sehat.

Pada awalnya, pemukiman seperti di pedesaan yang kepadatan penduduknya masih sangat rendah, secara alami tanah/alam masih dapat mengatasi sampah yang timbul. Namun dengan perkembangan penduduk dengan aktivitas manusia yang lebih luas serta adanya jenis sampah akibat dari kemajuan teknologi yang sulit terurai, mulailah sampah menimbulkan masalah bagi lingkungan.

Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, permasalahan sampah semakin perlu dikelola secara profesional.

Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dan masalah yang kompleks, diperlukan :

(25)

b) pembiayaan/pendanaan, dan

c) peralatan penunjang yang semuanya menjadikan suatu sistem. 2. Kesadaran masyarakat yang cukup tinggi.

Dalam pengolahan sampah semacam ini dituntut suatu pelayanan yang cepat dengan kapasitas yang besar. Untuk proses pengumpulan dan pengangkutan sampah khususnya dari daerah urban. Pengolahan inipun perlu dilaksanakan secara efektif dan efisien dan dengan program yang terencana agar dapat menekan biaya. Penanganan kebersihan semacam ini baru akan berhasil baik bila masyarakat juga terlibat langsung atau berperan serta secara aktif terutama dalam mengikuti peraturan kebersihan umum, pembayaran retribusi maupun cara-cara menangani sampah yang diproduksinya secara baik dan benar.

Informasi yang jelas perlu disampaikan kepada masyarakat sehingga menyadari bahwa perbedaan tingkat pelayanan dan kualitas akan memerlukan biaya yang berbeda pula. Oleh karena itu apabila masyarakat menginginkan suatu pelayanan yang lebih baik (peningkatan kualitas), harus menyadari bahwa untuk tingkat pelayanan tersebut diperlukan kontribusi masyarakat yang lebih besar/tinggi pula.

Sebagai contoh bila semula dilayani dengan pola komunal dan ingin dilayani dengan pola individual langsung (door to door) dengan truk, maka akan diperlukan biaya operational dan maintenance (operasional dan pemeliharaan) yang lebih besar berarti masyarakat tersebut harus membayar retribusi yang lebih tinggi sesuai dengan tingkat pelayanan yang diperolehnya.

(26)

3. Penanganan setempat.

Penanganan setempat dimaksudkan penanganan yang dilaksanakan sendiri oleh penghasil sampah dengan menanam dalam galian tanah perkarangannya atau dengan cara lain yang masih dapat dibenarkan.

4. Pengelolaan terpusat

Pengelolaan persampahan secara terpusat, khususnya dalam teknis operasional, adalah suatu proses atau kegiatan penanganan sampah yang terkoordinir untuk melayani suatu pemukiman atau kota.

2.4. Manajemen Persampahan Kota

Adapun definisi manajemen untuk pengelolaan sampah di negara-negara maju sebagaimana dikemukakan oleh Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993), yaitu sebagai disiplin yang berhubungan dengan pengendalian bagi penghasil, tempat penyimpanan, transfer dan transportasi, prosesing dan pembuangan sampah. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik kesehatan publik, ilmu ekonomi, rekayasa, konservasi, estetika dan pertimbangan lingkungan lainnya dan juga terhadap sikap masyarakat.

Menurut Nurmadi (1999) di kota-kota di Indonesia, manajemen persampahan menggunakan dua sistem yaitu sistem formal atau konvensional dan sistem informal atau non konvensional. Sistem formal adalah sistem yang di kelola oleh pemerintah terdiri dari kegiatan pengumpulan, transportasi dan pembuangan limbah sedangkan sistem informal adalah sistem yang melibatkan pemulung dalam mengambil kembali sampah seperti plastik, kertas, pecahan kaca dan besi untuk dijual. Unsur-unsur yang terdapat dalam pelaksanaan program pengelolaan persampahan kota yang menggunakan sistem formal atau konvensional meliputi: sumber sampah, pewadahan, penghimpunan, transfer, transportasi, pengolahan, pendaurulangan dan pembuangan akhir.

2.6.1. Sumber dan Klasifikasi Sampah

(27)

hal ini dititik beratkan pada sumber sampah perkotaan, dimana saat ini menjadi suatu permasalahan yang sangat kompleks, rumit dan memerlukan penanganan multi disiplin, baik dengan pendekatan teknis, maupun dengan pendekatan sosial. Sumber dari sampah pada umumnya berhubungan erat dengan penggunaan tanah dan pembagian daerah untuk berbagai kegunaan. Menurut Departemen Kesehatan (1987) pada dasarnya sumber sampah dapat diklasifikasi dalam beberapa kategori, yaitu: (1) Pemukiman Penduduk, (2) Tempat-tempat umum dan tempat perdagangan, (3) Sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah, (4) Industri berat ringan, dan (5) Pertanian,

Sementara menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sumber sampah berasal dari: (1) Daerah pemukiman (Rumah tangga), (2) Daerah komersial (Pasar dan pertokoan), (3) Daerah industri, (4) Perkantoran, pariwisata, sarana umum, (5) Kandang hewan atau pemotongan hewan, dan (6) Jalan dan taman.

Sumber-sumber sampah biasanya berkaitan erat dengan menggunakan lahan, atau daerah terbangun atau penentuan zone wilayah. Sehingga secara umum sumber sampah berasal dari (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993): 1. Pemukiman atau rumah tangga. Sampah dari rumah tangga biasanya berasal

dari aktivitas, seperti memasak, disebut juga domestik waste.

2. Daerah komersil. Meliputi sampah yang berasal dari aktivitas perdagangan, seperti toko, restoran, pasar, hotel, pusat pelayanan jasa, dan lain-lain. 3. Institusi gedung. Sampah yang berasal dari sekolah, rumah sakit,

pusat-pusat perkantoran, dan lainnya.

4. Konstruksi dan penghancuran. Sampah yang berasal dari aktivitas pembangunan gedung, perbaikan jalan dan reruntuhan gedung.

5. Aktivitas gedung. Sampah yang berasal dari penyapuan jalan, taman dan pantai, area rekreasi, pembersihan sekolah dan pertamanan.

6. Tempat pengolahan. Sampah berasal dari aktivitas pengolahan air bersih, air buangan, dan proses pengolahan dalam industri.

(28)

8. Pertanian. Klasifikasi sampah menurut Hadiwiyoto (1983) berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam yaitu :

a. Sampah organik, yaitu sampah yang terdiri dari daun-daunan, kayu, kertas, karton, tulang, sisa-sisa makanan ternak, sayur, buah, sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik, dan oleh karenanya tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Bahan-bahan ini mudah didegradasi oleh mikrobia.

b. Sampah Anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi dan logam-logam lainnya, gelas atau bahan-bahan yang tidak tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Sampah ini tidak dapat didegradasi oleh mikrobia.

Sementara Murthado dan Said (1987) membedakan sampah ada dua cara pembagian yang digunakan, yakni berdasarkan istilah teknis dan kepada sumbernya. Pembagian berdasarkan istilah teknis menghasilkan beberapa macam yaitu :

1). Sampah yang bersifat semi basah. Golongan ini merupakan bahan-bahan organik, misalnya sampah dapur dan sampah restauran, yang kebanyakan merupakan sisa buangan sayuran dan buah-buahan. Sampah jenis ini bersifat mudah terurai, karena mempunyai rantai ikatan kimiawi yang pendek.

2). Sampah organik yang sukar terurai karena mempunyai rantai iktan kimia yang panjang, misalnya plastik, kaca dan selulosa.

3). Sampah berupa abu yang dihasilkan pada proses pembakaran. Secara kuantitatif sampah jenis ini sedikit, tetapi pengaruhnya bagi kesehatan cukup besar. Sampah berupa jasad hewan mati, misalnya bangkai tikus, anjing, ayam, dan lain-lain.

4). Sampah jalanan, yakni semua sampah yang dapat dikumpulkan secara penyapuan di jalan-jalan, misalnya daun-daunan, kantung plastik, kertas, dan lain-lain.

(29)

Klasifikasi sampah secara garis besarnya dapat dikelompokan (Ditjen Cipta Karya, 1991) sebagai berikut :

1. Sampah Basah (garbage)

Sampah basah yaitu sampah yang berasal dari sisa pengolahan, sisa makanan atau sisa makanan yang telah membusuk, tetapi masih dapat digunakan sebagai makanan oleh organisme lainnya, seperti insekta, binatang pengerat dan lain-lain. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari kegiatan domestik atau industri pengolahan makanan. Sampah organik mempunyai sifat cepat membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah pada temperatur optimum yang diperlukan untuk membusuk, (20C-30C sampai 65C).

2. Sampah Kering (Rubbish)

Sampah kering yaitu sampah sisa pengolahan yang tidak mudah membusuk. Sampah kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:

1. sampah yang tidak mudah membusuk tetapi mudah terbakar, seperti kayu, bahan plastik, kain, bahan sintetik dan lain-lain.

2. sampah yang tidak mudah membusuk dan tidak mudah terbakar, seperti logam, kaca, keramik dan lain-lain.

3. Sampah lembut

Sampah lembut yaitu sampah yang berasal dari berbagai jenis abu, merupakan partikel-partikel kecil yang mudah beterbangan dan dapat mengganggu pernapasan dan mata. Seperti asbes, semen, abu kayu dan lain-lain.

4. Sampah Berbahaya

Sampah bila ditinjau dari tingkat bahayanya, dapat di bagi menjadi 4 golongan yaitu :

a) Sampah Patogen, yaitu sampah yang berasal dari rumah sakit.

b) Sampah beracun, yaitu sampah sisa-sisa pestisida, kertas bekas pembungkus bahan-bahan beracun dan lain-lain.

c) Sampah radio aktif, yaitu sampah dari bahan nuklir.

d) Sampah yang dapat meledak (petasan, mesiu, dan lain-lain). 5. Sampah Balokan (Bulky Waste)

(30)

6. Sampah Jalan

Sampah Jalan yaitu sampah atau kotoran yang berserakan disepanjang jalan, seperti sisa-sisa pembungkus dan sisa makanan, kertas, daun-daunan dan lain-lain.

7. Sampah Binatang Mati

Yaitu sampah seperti bangkai kucing, ayam, anjing, tikus dan sebagainya. 8. Sampah Bangunan

Yaitu sampah seperti potongan kayu, pecahan atap genteng, bata, buangan adukan dan lain-lain.

9. Sampah Industri

Yaitu sampah yang berasal dari kegiatan industri, sampah jenis ini biasanya lebih seragam bila dibandingkan dengan sampah jenis lainnya. Sampah industri ada yang beracun bila mengandung logam-logam berat, sisa pestisida dan lain-lain, yang tidak berbahaya seperti sisa makanan karyawan, kertas dan lain-lain.

10.Sampah Khusus

Sampah dari benda-benda berharga atau sampah dokumentasi, misalnya rahasia patent dari pabrik, surat rahasia negara dan sebagainya.

11.Sampah Kandang/Pemotongan Hewan

Sampah seperti kotoran hewan, sisa-sisa makanannya, kulit, sisa-sisa daging, tulang, isi perut dan sebagainya.

12.Sampah Lumpur

Merupakan sampah setengah padat, yaitu lumpur selokan, riol, lumpur dari bangunan pengolahan air buangan, septitank dan sebagainya.

2.6.2. Pewadahan Sampah

(31)

Tempat sampah ini juga harus direncanakan dengan pertimbangan kemudahan dalam proses pengumpulan (mempercepat proses), hygienis untuk penghasil sampah maupun petugas pengumpul, kuat dan relatif tahan lama serta juga mempertimbangkan segi estetika. Kapasitas pewadahan ini diperhitungkan berdasarkan rata-rata laju timbulan sampah (laju generasi sampah) per orang per hari, jumlah anggota keluarga serta frekuensi pengumpulan yang diterapkan.

Sampah di TPA pada umumnya lebih sedikit jumlahnya dari pada jumlah sampah pada sumbernya. Hal ini dikarenakan adanya pemungutan/pemulung sampah yang mengambil benda-benda yang masih dapat dimanfaatkan atau bernilai ekonomis atau masih adanya tanah terbuka atau dibuang ketempat-tempat lainnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh pusat Litbang Pemukiman yang bekerjasama dengan LPPM ITB dalam Ditjen Cipta Karya (1991), didapatkan angka-angka laju timbulan sampah sebagai berikut:

1. Laju timbulan sampah kota perliter/orang/hari (perhitungan dilakukan pada sumber sampah).

a. Kota Kecil = 2,5 sampai dengan 2,75 liter/orang/hari. b. Kota Sedang = 2,75 sampai dengan 3,25 liter/orang/hari.

2. Sedangkan berdasarkan besaran kota yaitu : a) Kota Kecil :

1) Laju timbulan sampah pemukiman = 2,0 liter/orang/hari. 2) Persentase total sampah pemukiman = 75% sampai dengan 80 % 3) Persentase total sampah non pemukiman = 20% sampai dengan 25% b) Kota Sedang :

1) Laju timbulan sampah pemukiman = 2,25 liter/orang/hari 2) Persentase total sampah pemukiman = 65% sampai dengan 75% 3) Persentase total sampah non pemukiman = 25% sampai dengan 35%

(32)

Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) jenis peralatan pewadahan dapat dilihat dari sumber sampahnya sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah

No Sumber Sampah Jenis Peralatan Volume

1. Daerah Perumahan - Kantong Plastik 40 s/d 60 liter - Bin plastik/tong 40 s/d 60 liter 2. Pasar - Bin/tong sampah yang dipasang

secara permanen

50 s/d 60 liter

- Bin plastik yang ada tutupnya dan memakai gerobak

120 s/d 240 liter

- Gerobak sampah 1 m3 - Container dari Arm roll 6 s/d 10 m3

3. Pertokoan - Kantong Plastik Bervariasi - Bin plastik/tong 50 s/d 60 liter

- Bin plastik/tong yang dipasang secara permanen

50 s/d 60 liter

- Bin plastik dengan roda 120 s/d 240 liter

Sumber : Ditjen Cipta Karya, 1991.

2.6.3. Pengumpulan

Proses pengumpulan sampah yang dilakukan dari rumah ke rumah (sumber) menuju ke tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau transfer depo, dapat menggunakan gerobak sampah selanjutnya dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau transfer depo sampah tersebut kemudian diangkut ke truk menuju ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Menurut Tchobanoglous, Theinsen dan Virgil (1993) sistem pengumpulan sampah pada dasarnya dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1. Hauled Container System (HCS)

Yaitu sistem pengumpulan sampah diangkut ke tempat pembuangan, dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi semula atau beberapa lokasi lain. 2. Stationery Container System (SCS)

Yaitu sistem pengumpulan sampah dimana Kontainer penyimpanan sampah adalah tetap (remain) di titik penimbulan sampah.

(33)

Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan.

2.6.4. Pengangkutan

Kegiatan pengangkutan merupakan kegiatan operasional yang dimulai dari sumber sampah atau Transfer Depo/TPS ketempat pengolahan/Tempat Pembuangan Akhir. Frekuensi pengangkutan ini dapat bervariasi. Menurut Sinulingga (1999) untuk daerah-daerah menengah ke atas Frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan daerah lainnya, misalnya dua kali sehari. Sedangkan untuk kawasan lainnya satu kali sehari tetapi hendaknya dipahami apabila kurang dari satu kali sehari menjadi tidak baik karena sampah yang tinggal lebih dari satu hari dapat mengalami proses pembusukan, sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap.

Bentuk atau pola pengangkutan bergantung pada jenis peralatan yang digunakan menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dapat berupa :

1. Pengangkutan Dengan Sistem Transfer Depo. Kegiatan pengangkutan berupa :

a. Persiapan kendaraan di pool kendaraan dan perjalanan ke Transfer Depo. b. Kegiatan pemindahan sampah ke Truck dan pengangkutan ke TPA.

PEMINDAHAN DAN PENGANGKUTAN

PENGOLAHAN

PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH PEWADAHAN

(34)

c. Pembongkaran sampah di TPA dan perjalanan kembali ke transfer Depo pertama.

Hal ini dapat disajikan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Sistem Pengangkutan dengan Transfer Depo 2. Pengangkutan Dengan Sistem Kontainer.

Kegiatan pengangkutan berupa :

a. Persiapan di pool kendaraan (Load Haul) dan perjalanan ke lokasi dengan membawa penuh gerobak kontainer kosong dibawa.

b. Sampai dilokasi, kontainer kosong ditukar, kontainer penuh diangkut dan dibawa ke TPA.

c. Kegiatan pengosongan kontainer di TPA. Setelah kontainer kosong dan dibersihkan dibawa ke lokasi kontainer penuh lainnya dan seterusnya. Jenis kendaraan yang dipakai adalah Arm Roll Truck.

Gambar 2.3. Sistem Pengangkutan Dengan Kontainer.

POOL Transfer Depo TPA

Transfer Depo

POOL KONTAINER 1 TPA

KONTAINER 2

KONTAINER 3 Kontainer Isi

(35)

Perhitungan waktu pengangkutan dilakukan bersamaan dengan perhitungan jarak, pengamatan rute pengangkutan dan frekuensi pengangkutan. Waktu pengangkutan sampah dapat dihitung sebagai berikut : (Tchobanoglous, Theisen dan Virgil, 1993)

T =

Dimana :

T = Waktu yang dibutuhkan untuk pengangkutan sampah per trip (jam) P = Waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan sampah per trip (jam) S = Waktu yang dibutuhkan untuk pembuangan sampah per trip (jam) H = Waktu yang dibutuhkan untuk proses haul sampah per trip (jam)

W = Factor off route (faktor waktu meliputi waktu yang dihabiskan selama pengoperasian atau waktu yang tidak berguna seperti: perbaikan kerusakan kendaraan, kemacetan jalan dan sebagainya).

2.6.5. Efisiensi

Pengertian mengenai efisiensi sangat beragam dari berbagai macam bidang, menurut Slichter dan Sarwoto (1994) ada tiga macam efisiensi pada dewasa ini yaitu :

1. Engineering.physical effciency (efisiensi mesin/benda), yaitu perbandingan

antara jumlah satuan benda yang dipergunakan dengan benda yang

dihasilkan.

2. Pecuniary/business efficiency (efisiensi perusahan/keuangan) yaitu,

perbandingan antara dollar yang dikeluarkan dengan penghasilan yang

masuk.

3. Social/human efficiency (efisiensi kemanusiaan/sosial) yaitu, perbandingan antara pengorbanan-pengorbanan manusia dengan kepuasan atau kemanfaatan bagi manusia yang dapat dinikmati.

Dari definisi di atas, pada dasarnya menekan kepada perbandingan antara masukan (input) yang digunakan dan keluaran (output) yang dihasilkan.

(36)

Dalam kegiatan staf pengertian efisiensi menurut Sarwoto (1994) menggunakan terminologi efisiensi kerja dengan pengertian bahwa efisiensi kerja dalam kegiatan staf adalah perbandingan terbaik antara suatu usaha dengan hasilnya. Perbandingan terbaik ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi hasil dan segi usaha sebagai berikut :

1. Segi hasil, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau usaha itu memberikan hasil yang baik. Terbaik dalam arti mutu maupun jumlah dari pada hasil yang dikehendaki.

2. Segi usaha, suatu usaha dapat dikatakan efisiensi kalau sesuatu hasil yang dikehendaki dapat dicapai dengan usaha yang teringan. Teringan dalam hubungan dengan pemakaian tenaga jasmani, pikiran, waktu, benda dan uang.

Dengan mengesampingkan faktor-faktor manusia sebagai pelaksana kerja dan lingkungan dimana kerja itu diselenggarakan maka efisiensi kerja seseorang terutama ditentukan oleh cara kerjanya yang mencakup pengertian tata kerja, prosedur dan sistem kerja.

2.6.6. Efektivitas

Pengertian efektivitas dari berbagai bidang keahlian pun amat beragam dan tergantung pada konteks apa efektivitas tersebut digunakan, namun demikian pada umumnya para ahli sependapat bawha efektivitas itu pada prinsipnya adalah seberapa besar hasil guna yang tercapai dengan menggunakan semaksimal mungkin alat atau sumberdaya yang tersedia.

Urban Institut dalam Bintarjo (1997) mendefinisikan pengertian efektivitas (measure of effectivity) sebagai berikut :

1). Tingkat dimana tujuan-tujuan jasa pelayanan yang dikehendaki terpadu. 2). Tingkat dimana terdapat dampak jasa pelayanan pada komunitas yang tidak

dikehendaki dan bertentangan.

(37)

4). Kecepatan dan keramahan yang dutunjukan dalam menanggapi permintaan penduduk.

5). Persepsi masyarakat pada kepuasan dan jasa pelayanan yang diberikan. 6). Sementara menurut Eduards dan Isworo (1996), bahwa syarat-syarat yang

penting bagi efektivitas suatu kebijakan adalah :

a. Komunikasi; biasanya suatu kebijakan menyangkut banyak pihak, terutama para pelaksana kebijakan satu sama lain saling berhubungan secara sinergis.

b. Sumberdaya manusia; merupakan orang-orang yang melaksanakan pekerjaan/tugas sesuai dengan jumlah maupun mutu yang diperlukan serat adanya wewenang dan tanggung jawab yang jelas dan dilengkapi fasilitas memadai.

c. Sikap para pelaksana; adanya kesepakatan terhadap kebijakan yang ditentukan melalui penciptaan melalui budaya organisasi.

d. Struktur birokrasi; yaitu struktur yang mampu mewadahi proses kerja organisasi bersangkutan dan pengaruh lingkungan.

2.5. Aspek Manajemen Persampahan

Makin padat penduduk suatu pemukiman atau kota dengan segala aktivitasnya, permasalahan sampah semakin perlu untuk dikelola secara profesional. Untuk dapat mengelola sampah pemukiman atau kota yang sampahnya semakin banyak dan masalah yang kompleks menurut Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993) ada beberapa aspek yang perlu dilihat dalam kinerja manajemen persampahan yaitu :

1). Aspek kelembagaan melihat mekanisme kelembagaan yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan manajemen persampahan kota.

2). Aspek teknis pada dasarnya menilai efisiensi pelaksanaan penyapuan jalan, pengumpulan, pewadahan, transfer, pengangkutan dan pembuangan akhir. 3). Aspek keuangan dengan kondisi terbatasnya dana, pemerintah untuk

(38)

4). Aspek sosial yang berupa peran serta masyarakat, pemulung dan swasta, merupakan faktor yang mempunyai kontribusi yang besar terhadap keberhasilan pelaksanaan manajemen persampahan kota.

2.5.1. Aspek Kelembagaan

Institusi/kelembagaan dalam sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah memegang peranan yang sangat penting, meliputi status, struktur organisasi, fungsi, tanggung jawab dan wewenang serta koordinasi dari badan pengelola. Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) sesuai dengan status kota, untuk kota metropolitan dan kota besar, bentuk badan pengelola sebaiknya suku dinas tersendiri dan selanjutnya dikembangkan menjadi bentuk perusahaan Daerah. Kota dan Kabupaten sebaiknya merupakan Dinas tersendiri, sedangkan kota Administratif sebaiknya merupakan Suku Dinas Kebersihan atau unit pelayanan teknis daerah (UPTD) dibawah Dinas Kebersihan atau Dinas Pekerjaan Umum Kota.

Jumlah personil unit pengelola persampahan harus cukup memadai baik kualitas maupun kuantitasnya sesuai dengan tugasnya. Dalam pengelolaan persampahan masalah kemampuan manajemen dan teknik sangat diperlukan. Tatalaksana institusi pengelolaan persampahan secara umum perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar manajemen yang dapat menciptakan interaksi positif antara unsur-unsur organisasi, sehingga dapat menghasilkan kinerja pengelolaan menjadi lebih optimal baik dari administratif maupun teknis operasional di lapangan.

Pengelolaan persampahan dalam kegiatannya sangat ditentukan oleh peraturan yang mendukungnya. Peraturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan kebersihan dan pembayaran retribusi.

Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) kriteria Peraturan Daerah/peraturan yang baik adalah sebagai berikut :

a. Sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan yang berderajat lebih tinggi.

(39)

d. Jelas, tidak banyak mengandung arti/terukur.

e. Fleksibel, sehingga dapat memberikan pedoman yang luwes. f. Mempunyai masa berlaku yang terbatas.

Memperhatikan permasalahan persampahan diperkotaan disini jelasnya bahwa yang menangani persampahan perkotaan adalah Pemerintah Daerah setempat, maka perlu diteliti bagaimana mekanisme kelembagaan dan dinas pengelola dapat melaksanakan pelayanan dalam kondisi sarana dan prasarana maupun dana yang ada.

Adapun pelaksanaan pelayanan dari kelembagan pemerintah dalam menangnani persampahan kota adalah memberi pelayanan penyapuan jalan, pengumpulan dan pengangkutan, daur ulang pembuangan akhir.

Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) jumlah kebutuhan tenaga operasional memperhatikan :

a. Pengendalian. b. Jumlah peralatan. c. Rancangan operasional. d. Keperluan tenaga penunjang. e. Beban Penugasan.

Sementara menurut Haryoto (1998) jumlah personil institusi pengolahan sampah perlu memperhatikan :

a. Rancangan operasional dan beban tugas.

b. Jumlah dan jenis peralatan/sarana pengumpulan

Untuk memudahkan perhitungan personil dapat dilakukan dengan pendekatan setiap 1.000 jiwa penduduk dibutuhkan 2 orang petugas.

(40)

2.5.2. Aspek Teknis 1. Teknis Operasional

Menurut Haryoto (1998) teknis operasional pengelolaan sampah bersifat internal dan secara berantai dengan urutan sebagai berikut :

a. Pewadahan, kegiatan penampungan sampah secara individual atau komunal.

b. Pengumpulan, kegiatan proses pengambilan sampah dari tempat-tempat pewadahan sumber timbulan sampah ke TPS.

c. Pemindahan, kegiatan pemindahan sampah hasil pengumpulan ke dalam truck pengangkutan atau kontainer.

d. Pengolahan, kegiatan penanganan sampah yang bertujuan unuk mengurangi volume (reduction) sampah dengan mendaur ulang untuk dimanfaatkan kembali (reuse) atau mengubah menjadi produk lain atau energi (recyle) melalui proses pengomposan (composting), pembakaran (inceneration), penghalusan dan pemadatan.

e. Pembuangan akhir, kegiatan proses pembuangan dan pemusnahan sampah padat dari hasil kegiatan pengumpulan dan pengangkutan, maupun hasil buangan dari kegiatan pengolahan sampah kesuatu lokasi/lahan TPA.

Menurut Jacobsen dan Nurmandi (199) untuk mengevaluasi aspek phisik yaitu sebagai berikut :

a) Masyarakat yang dilayani sistem pengumpulan. b) Jumlah sampah kota yang dikumpulkan setiap hari. c) Jumlah pekerja pengumpul.

d) Jumlah dan tipe fasilitasi pengumpul.

e) Efisiensi tenaga kerja yang diukur dalam masyarakat yang dapat dilayani persatuan kerja dan jumlah pekerja per kendaraan.

f) Efisiensi kendaraan, yang diukur dalam masyarakat yang dilayani perkendaraan dalam jumlah m3 per kendaraan/hari.

(41)

2. Syarat-syarat Peletakan.

Penempatan tempat penampungan sementara, kontainer dan tempat pembuangan akhir menurut Tchobanoglous, Theisen dan Virgil (1993) harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :

a) Area yang tersedia. b) Dampak.

c) Jarak.

d) Kondisi tanah dan tofografinya. e) Klimatologi daerah setempat. f) Permukaan air tanah.

g) Geologi dan hidrologi. h) Kondisi Lingkungan. i) Kegunaan pokok.

2.5.3. Aspek Keuangan

Menurut Haryoto (1998) kebutuhan biaya yang berfungsi untuk membiayai operasional persampahan kota di Indonesia yang dimulai dari penyapuan jalan, pengumpulan,transfer dan pengangkutan, pengolahan sampah dan pembuangan akhir, agar cukup memadai, minimal 5 sampai 10% dari APBD.

Menurut Ditjen Cipta Karya (1991) dalam teknis operasional pengolahan sampah, biaya untuk kegiatan pengumpulan sampah dapat mencapai lebih kurang 40% dari total biaya operasional. Oleh karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan sampah dan kebersihan sementara terbatas kemampuan keuangan daerah perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan retribusi pelayanan persampahan kebersihan yang dengan sendirinya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara khusus serta dapat memberikan kontribusi yang diharapkan cukup baik bagi kemampuan keuangan daerah secara umum.

(42)

Menurut Davey (1988), retribusi adalah pungutan yang dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biasanya dimaksud untuk menutup seluruh atau sebagai dari biaya pelayanan. Sementara menurut Soedargo dan Wartini (2001), retribusi adalah suatu pungutan sebagai pembayaran untuk jasa yang oleh negara secara langsung diberikan kepada yang berkepentingan. Sedangkan menurut Munawir dan Wartini (2001), retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjukan.

Salah satu cara untuk mengukur kinerja suatu organisasi adalah melihat efisiensi dan efektivitas. Menurut Jones dan Pendlburg (1996), efisiensi pada dasarnya adalah optimalisasi penggunaan sumber-sumber dalam upaya mencapai tujuan organisasi tersebut, sedangkan efektivitas menunjukan pada keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan. Sementara menurut Devas (1989), efektivitas yaitu mengukur hubungan antara hasil pungut suatu pajak dan potensi hasil pajak itu, dengan anggapan semua wajib pajak membayar pajak masing-masing dan membayar seluruh pajak terhutang masing-masing-masing-masing juga.

2.5.4. Aspek Sosial

Bahwa berhasilnya pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat serta pada sikap mental, tekat dan semangat, ketaatan dan disiplin para penyelenggara serta seluruh rakyat Indonesia.

Dari rumusan di atas dapat ditarik pemikiran bahwa peran serta masyarakat dalam pembangunan menyangkut kepada seluruh rakyat termasuk para penyelenggara negara. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan saluran hirarki di dalam masyarakat yang seharusnya ditempuh oleh penyelenggara pembangunan.

(43)

Alport dan Sastropoetro (1998) menyatakan, the person who participates

is ego-involved instead of merely task involved. Maksudnya bahwa seseorang

yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan dirinya, berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya.

Davis (1962) dan Armen (1987) memberikan definisinya sebagai berikut :

Participation can be defined as mental and emotional involvement of a

person in group situation which encourages him to contribute to group goals and

share responsibility in them. Pendapat tersebut di atas dapat diterjemahkan

sebagai berikut :

Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan emosi perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut serta bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.

Ada tiga unsur penting yang dimaksud Davis (1962) dalam Armen (1987) dalam peran serta yang memerlukan perhatian khusus, yaitu :

a. Bahwa peran serta, sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan mental dan perasaan, lebih daripada semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.

b. Unsur tanggung jawab. Unsur ini merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota.

c. Kesediaan memberikan suatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok, ini berarti, bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok.

Sehubungan dengan masalah di atas, dalam pelaksanaannya serta peran serta tersebut dapat berupa : pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, barang dan berupa uang. Santosa dan Iskandar dan Sastropoetro (1986) mengemukakan, ada enam elemen untuk terwujudnya peran serta masyarakat yaitu :

(44)

c. Kemahiran untuk menyesuaikan dengan perubahan keaadaan. d. Adanya prakarsawan.

e. Iklim partisipasi dan.

f. Adanya pembangunan itu sendiri.

Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan. Sastropoetro (1986) mengemukakan sepuluh alasan tentang pentingnya peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu :

a. Dengan partisipasi lebih banyak hasil kerja yang dapat dicapai.

b. Dengan partisipasi memiliki nilai dasar yang sangat berarti untuk peserta, karena menyangkut harga dirinya.

c. Dengan partisipasi pelayanan dapat diberikan dengan biaya yang murah. d. Partisipasi mendorong timbulnya rasa tanggung jawab.

e. Partisipasi nerupakan katalisator untuk pembangunan selanjutnya.

f. Partisipasi menjamin, bahwa suatu kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat telah dilibatkan.

g. Partisipasi menjamin, bahwa pekerjaan dilaksanakan dengan arah yang benar. h. Partisipasi menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan yang

terdapat di dalam masyarakat, sehingga terjadinya perpaduan berbagai keahlian.

i. Partisipasi membebaskan orang dari ketergantungan kepada keahlian orang lain.

j. Partisipasi lebih menyadarkan menusia terhadap penyebab dari kemiskinan, sehingga menimbulkan kesadaran terhadap usaha untuk mengatasinya.

Perlu juga dikemukakan, bahwa ada lima unsur penting yang turut menentukan peran serta masyarakat :

a. Komunikasi yang menumbuhkan pengertian yang efektif.

b. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian yang menumbuhkan kesadaran.

c. Kesadaran yang didasarkan kepada perhitungan dan pertimbangan.

(45)

2.6. Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Sampah

Adanya peran serta masyarakat yang baik akan memudahkan pelaksanaan operasional di lapangan dan bahkan dapat menurunkan biaya pengelolaan. Dengan demikian maka diperlukan suatu program untuk meningkatkannya secara terpadu, teratur dan terus menerus serta dapat bekerja sama dengan organisasi yang terdapat dalam masyarakat.

Pola pendekatan peran serta masyarakat untuk kota-kota kecil dimana struktur masyarakatnya lebih homogen dan sederhana atau daerah yang berpenghasilan rendah adalah melalui pendekatan terhadap tokoh masyarakatnya sedangkan untuk kota metropolitan dan kota-kota besar lainnya dimana struktur masyarakatnya lebih heterogen dan kompleks atau daerah-daerah yang berpenghasilan menengah ke atas dan tempat-tempat umum, pendekatannya adalah melalui pendekatan institusional dan kelembagaan yang ada seperti LKMD, RW, dan RT.

Tinjauan terhadap peranan masyarakat terhadap penanganan sampah kota menjadi penting karena penyebab dari adanya masalah adalah karena masyarakat itu sendiri dapat diatur kondisi pengelolaan sampah pada kawasan-kawasan kumuh yang tidak dapat dijangkau oleh pelayanan DPKP. Secara komunal pengumpulan sampah-sampah dari rumah-rumah ke TPS akan lebih praktis dibandingkan dengan pola individual.

Manusia bersama dengan lingkungan hidupnya berada dalam suatu ekosistem. Kedudukan manusia didalam kesatuan ekosistem adalah sebagai bagian bersama unsur-unsur lain yang tidak mungkin dipisahkan, karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada kelestarian ekosistemnya. Agar kelestarian ekosistem itu dapat terjamin, maka manusia harus menjaga keserasian hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, apabila terganggu maka akan terganggu pula kesejahteraan manusia tersebut.

(46)

Resosoedarmo, Kartawinata dan Soegiarto (1987), bahwa manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan juga mengusahakan sumberdaya alam lingkungannya demi hidupnya.

Menurut Soemarwoto (1987), dengan lingkungan yang baik dapat ditingkatkan mutu kehidupan, sehingga membuat setiap orang kerasan tinggal di dalam lingkungannya. Kebersihan dan keindahan adalah keadaan yang sesuai dengan tata lingkungan untuk memenuhi harapan dalam menghasilkan sebuah kota yang berkembang secara dinamis dalam mewujudkan keseimbangan antara alam dan manusia. Oleh karena itu kota bersih dan indah merupakan kebutuhan bagi masyarakat, maka selayaknya warga masyarakat kota bersama-sama dengan pemerintah daerah bertanggung jawab menjaga dan memelihara serta menyelenggarakan kebersihan dan keindahan kota.

Masyarakat diharapkan ikut serta, karena hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat adalah untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan pendapat Tjokroamidjojo (1997) dan Panuju (1999), bahwa keterlibatan masyarakat secara aktif dapat lebih terlaksana apabila pembangunan itu sendiri berorientasi pada kepentingan masyarakat. Menurut Santono dan Iskandar (1984), peran serta masyarakat diharapkan dalam menyertai pemerintah dalam memberikan bantuan guna meningkatkan, memperlancar, mempercepat dan menjamin kebersihan usaha pembangunan.

Agar lingkungan hidup yang teratur, indah serta nyaman dapat diwujudkan, maka diperlukan suatu pengaturan, pengaturan kebersihan merupakan hal yang sangat luas yaitu berupa segala tindakan untuk menuju terciptanya lingkungan yang serasi dan warga yang tinggal di dalamnya tetap sehat serta merasa nyaman.

(47)

Sumber : Ditjen Cipta Karya (1991)

Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan

2.7. Organisasi

Menurut Siagian dan Indrawijaya (1986) organisasi adalah setiap bentuk persekutuan antar dua orang atau lebih yang bekerjasama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan, dalam ikatan terdapat seorang.beberapa orang yang disebut bawahan. Selanjutnya Atmosudirjo dan Indrawijaya (1986) mengemukakan organisasi adalah struktur tata pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerja sama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu.

Organisasi itu sendiri dapat hidup karena adanya, manusia yang menggerakannya. Manusia yang menggerakan organisasi adalah orang-orang sebagai partisipan aktor dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu perilaku suatu organisasi banyak dipengaruhi oleh perilaku para pesertanya atau aktornya.

Perilaku yang berkaitan dengan disiplin, inisiatif, wewenang dan tanggung jawab akan mencerminkan apakah organisasi berjalan dengan efisien dan efektif

Management dan Organisasi

Pembiayaan dan Retribusi

Persampahan

Teknis opersional

Managemen dan Organisasi Managemen

(48)

atau tidak. Efektifitas dan efisiensi tersebut pada akhirnya akan menentukan

performance (kinerja) organisasi tersebut. Dengan perkataan lain, secara umum efektivitas dan efisiensi merupakan instrument (waditra) untuk mengukur kinerja suatu organisasi.

Menurut Prawirosentono (199) efektivitas dari usaha kerja sama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem itu sendiri. Sedangkan efisiensi dari suatu kerja sama dalam suatu sistem (antar individu) adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya yang dipilih masing-masing individu. Efisiensi organisasi mempersoalkan hubungan antara input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Meningkatkan rasio output terhadap input merupakan indikasi dari meningkatnya efisiensi organisasi.

Untuk mengukur apakah tujuan organisasi tercapai atau tidak digunakan kriteria yakni efektivitas dan efisiensi. Dalam organisasi yang baik wewenang dan tanggung jawab telah disebar dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing peserta organisasi mengetahui apa yang menjadi haknya dan tanggung jawab dalam kerangka organisasi mencapai tujuannya.

2.8. Pengertian Aset

Aset dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai. Aset adalah sesuatu yang bernilai. ”Sesuatu” apapun namanya dan bagaimanapun bentuknya, baik yang sifatnya nyata (tangible) ataupun yang sifatnya tidak nyata

(intangible) yang merefleksikan nilai dapat dikelompokkan sebagai aset (Barata, 1995). Dalam Standar Akuntansi Pemerintahan diuraikan tentang definisi aset, yaitu :

(49)

Siregar (2000) secara umum menjelaskan bahwa pengertian aset secara umum adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu.

Di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta aset dikenal dengan istilah Barang Daerah. Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 152 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yakni semua aset daerah yang menjadi kekayaan Pemerintah Daerah, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, yang berwujud, yang bergerak maupun tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur, atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Dari pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa aset merupakan sesuatu yang memiliki nilai (valuable thing), namun ditinjau dari wujudnya aset dapat dibagi menjadi aset yang tangible (ada bentuk fisik misalnya ; tanah, bangunan, dan sebagainya) dan intangible (non fisik, misal ; hak cipta, hak paten, dan sejenisnya) yang pada dasarnya dapat dimiliki oleh individu atau kelompok.

Aset tersebut di atas, memiliki potensi yang apabila dimanfaatkan secara optimal akan memberikan keuntungan baik dalam bentuk profit maupun benefit

bagi pemiliknya. Karena itu aset perlu dikelola agar efektifitas pemanfaatannya dapat menunjang tercapainya tujuan individu maupun organisasi yang memilikinya. Siregar (2004:519) menjelaskan ”Optimalisasi aset merupakan proses kerja dalam manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi yang dimiliki aset tersebut”. Dalam buku, ImplementasiManajemen Aset (1995), Barata mengatakan :

”Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah”.

(50)

ditetapkan oleh pemerintah tanpa mengesampingkan aspek yang tak kalah pentingnya, yaitu kebutuhan warga kota selaku penggunanya (users).

Bagi organisasi (pemerintah/swasta) untuk mengoptimalkan aset sesuai potensinya, maka dalam operasional pemanfaatan aset sebagai fasilitas diperlukan manajemen fasilitas (facilities management). Manajemen fasilitas diperlukan agar dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Amaratunga (Shahabudin, 2006:97) yang menyatakan

Facilities management is an umbrella term under a wide range of property an

user related function may be brought together for benefit of the organization as a

whole as well its employees”.

Penggunaan aset yang ideal harus dilihat dari dua sisi (Barata, 2007) : 1). Pengadaan/penyediaan aset sebagai fasilitas pendukung untuk menyediakan

atau melayani organisasi dimana dampaknya menuju ke arah peningkatan keseluruhan performa/kinerja dari pemerintah pusat/daerah.

2). Kemanfaatan aset yang terkait dengan keputusan, berupa ”ya” atau”tidaknya” kebijakan manajemen aset ini sudah efektif, efisien dan mencapai ’penggunaan yang terbaik dan paling tinggi’ yang notabene merupakan prinsip dari kepemilikan aset.

Dalam penelitian ini, maka konteks aset diwujudkan dalam bentuk aset sebagai sarana atau fasilitas pelayanan kebersihan, terutama dalam bidang pengolahan sampah yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan di bidang kebersihan (asset service) yang diharapkan juga dapat mendatangkan berbagai manfaat (benefit) maupun keuntungan (profit) bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kegiatan pelayanan terjadi interaksi antara pemberi pelayanan dan yang diberi pelayanan. Dalam konteks asset service

sasaran pelayanan TPA adalah masyarakat sebagai pelanggan (customer) atau pengguna jasa. TPA merupakan aset atau fasilitas perkotaan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa untuk memperoleh layanan kebersihan/persampahan.

Hak dan kewajiban masing-masing pemerintah daerah Hak pihak pertama (DKI Jakarta)

(51)

2. Membuang sampah yang berasal dari DKI Jakarta ke TPA Bantargebang 3. Melakukan komitmen sharing pembiayaan berdasarkan prosentase Kewajiban

1. Membuat Site Plan penataan TPA 2. Memelihara IPAL

3. Melakukan pemeriksaan terhadap leachate/lindi setiap 3 bulan untuk memantau tingkat pencemaran

4. Memelihara jalan masuk menuju TPA

5. Melakukan pengobatan massal setiap 2 bulan 6. Melakukan penyemprotan lalat setiap bulan

7. Melakukan pemeriksaan sampel air bersih setiap 2 bulan

8. Memelihara sarana air bersih dan menambah cakupan layanan untuk perkampungan di sekitar TPA

Hak pihak kedua (Kota Bekasi)

1. Melaksanakan pengelolaan TPA Bantargebang

2. Memperoleh kontribusi dari pemasukan sampah ke TPA Kewajiban

1. Memelihara drainase di sekitar TPA

2. Memelihara PJU di lokasi TPA dan sepanjang jalan masuk 3. Melakukan koordinasi dengan Pemkab dan Pemdes setempat.

2.9. Strategi

Konsep strategi pada awalnya adalah suatu tindakan perencanaan dan keputusan yang dilakukan oleh para petinggi militer dalam upaya memenangkan pertempuran yang didasarkan pada pemahaman terhadap kondisi eksternal dan internal. Mintzberg (1992) mengungkapkan bahwa dalam perkembangannya konsep strategi tidak hanya sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan juga menjadi alat untuk menciptakan keunggulan dalam persaingan, dan juga menjadi tindakan dinamis untuk memberi respon terhadap kekuatan internal dan eksternal.

(52)

1992). Mintzberg (1992) memberikan pandangannya mengenai strategi sebagai rencana, pola, posisi, dan perspektif.

a. Strategi sebagai rencana, berhubungan dengan bagaimana para pimpinan mencoba untuk mengarahkan organisasi dalam situasi masa yang akan datang.

b. Strategi sebagai pola, memfokuskan pada aksi/tindakan, juga mendorong pemusatan tindakan dan pencapaian konsistensi perilaku organisasi.

c. Strategi sebagai posisi, mendorong kita untuk melihat organisasi dalam lingkungan persaingannya, bagaimana mereka menentukan posisi dan bertahan dalam persaingan, menghadapi atau menghindar.

d. Strategi sebagai perspektif, meningkatkan pertanyaan mengenai intensi dan perilaku dalam konteks kolektif. Bagaimana intensi menyebar ke seluruh anggota organisasi menjadi norma dan nilai yang disepakati bersama.

Strategi merupakan penggabungan pola berpikir strategis dengan fungsi-fungsi manajemen yaitu : perencanaan (planning), penerapan (implementing), dan pengawasan (evaluating). Strategi digunakan untuk mengarahkan sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran. Strategi mencerminkan kesadaran organisasi dengan bagaimana, kapan dan dimana sebaiknya berkompetisi, dengan siapa berkompetisi dan maksud kompetisi. Rangkuti (2006) membedakan strategi kedalam tiga kelompok, yaitu : strategi manajemen, strategi investasi dan strategi bisnis.

Perencanaan strategis merupakan bagian dari kegiatan penyusunan konsep strategi. Yogi (2007) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah perencanaan yang didasarkan pada pengamatan keadaan eksternal (peluang dan ancaman) serta keadaan internal (kekuatan dan kelemahan). Sementara Rangkuti (2006) mengatakan bahwa tujuan dari dilakukannya perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.

Gambar

Tabel 2.1. Sumber dan Jenis Peralatan Sampah
Gambar 2.1. Skema Kegiatan Operasional Persampahan.
Gambar 2.4. Aspek Manajemen Persampahan
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

baku mutu lingkungan atau sebaliknya Disamping itu jarak tidak sebagaimana ditunjukkan oleh sumur dekat dan jauh dari TPA. Beberapa saran sntara lain agar TPA

sampah.)ang ma& kc TF'A Sampah Ban- J i b dihkukn pcnycsuaian nilai dana kmpcnsasi dcn-gan nibi rag-rata WT.4 masymhL b

Tujuan khusus penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah di TPA Pasir Sembung Kabupaten Cianjur; (2)

Metode : Metode penelitian yang digunakan ialah melakukan wawancara pada pimpinan TPA Kota Tangerang, serta melakukan wawancara terhadap pegawai yang mengetahui sistem

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di sebuah TPA dibutuhkan serangkaian studi untuk menentukan apakah PLTSa layak dibangun di TPA tersebut, salah satunya

Respon positif yang muncul dari adanya inisiasi pembangunan TPA di Desa Sitimulyo disebabkan adanya pemahaman dari masyarakat bahwa adanya pembangunan TPA di Desa Sitimulyo,

TPA di kelurahan pojok kota kediri ini sekarang sudah terbentuk menjadi 2 bagian, yaitu TPA 1 dan TPA 2. Lahan yang dipakai sebagai tpa ini berada di kelurahan

Pustaka, Jakarta, hlm. 14 Ni Komang Ayu Artiningsih, 2008, Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, Universitas Diponegoro, hlm.. dilaksanakan secara penuh