• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi dan struktur tegakan areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawti, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi dan struktur tegakan areal bekas tebangan dengan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia Intensif (TPII) di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawti, Kalimantan Tengah"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS

TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG

PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah

Beny Budiansyah E14201051

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Ringkasan SKRIPSI

BENY BUDIANSYAH. E14201051. KOMPOSISI DAN STRUKTUR

TEGAKAN AREAL BEKAS TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH DAN TANAM INDONESIA INTENSIF Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

Indonesia merupakan negara yang berada di kawasan tropis dengan kekayaan alam termasuk hutan yang melimpah dan merupakan salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropika terluas di bumi. Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat berperan tak hanya bagi segi perekonomian tetapi juga seluruh aspek kehidupan. Dalam pengusahaan hutan pemerintah menunjuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Dalam kegiatan pengusahaan hutan perusahaan untuk menerapkan sistem silvikultur yang bertujuan untuk menjamin kelestarian hasil hutan. Beberapa sistem silvikultur yang sudah dilaksanakan adalah THPB, TPI, TPTI dan TPTJ. Pada tahun 2005 Departemen Kehutanan melakukan ujicoba untuk menerapkan sistem silvikultur intensif yang dinamakan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang diujikan pada beberapa perusahaan pemegang IUPHHK.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pelaksanaan sistem silvikultur TPTII yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati dan mempelajari dampak penebangan dengan sistem silviklutur TPTII terhadap kondisi lingkungan terutama pada vegetasi atau tegakan tinggal, sifat fisik dan kimia tanah.

Penelitian dilakukan di IUPHHK PT. Erna Djuliawati pada hutan areal bekas tebangan yang baru dilakukan kegiatan pembuatan jalur tanam pada petak N30, N32 sebagai areal di hutan bekas tebangan dan hutan primer sebagai pembanding. Pada petak tersebut dibuat plot pengamatan analisis vegetasi pada 3 kelas kelerengan yaitu 0-15%, 15-25% dan 25-40% masing-masing kelerengan sebanyak 3 plot berukuran 100 x100 m.. Alat yang digunakan di dalam penelitian ini antara lain meteran, pita diameter, cristen meter, kompas, clinometer, tali rafia/tambang, ring tanah, parang/golok, kamera, flagging tape, alat tulis, tally sheet dan kamera. Parameter yang diukur pada plot tersebut selain diambil data untuk analisis vegetasi yang meliputi komposisi jenis, dominasi jenis, keanekaragaman jenis, kesamaan komunitas, stratifikasi tajuk juga diambil data kerusakan tegakan, keterbukaan lahan dan adanya pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah. Untuk sifat fisik tanah yang diamati adalah struktur, kelas tekstur tanah, bobot isi dan kadar air tanah. Sedangkan untuk sifat kimia tanah paramer yang diamati adalah pH tanah, unsur hara tanah esensial dan yang terkait penetapan kesuburan tanah.

(3)

permudaan tegakan tinggal jumlah individu pada masing-masing tingkat vegetasi memenuhi dari kriteria Departemen Kehutanan pada pedoman TPTI.

Jenis dominan pada plot pengamatan untuk tiap tingkat vegetasi ditentukan dengan INP-nya. Jenis dengan INP yang tinggi Berdasarkan pengamatan vegetasi yang mendominasi pada areal penelitian berasal dari famili Dipetrocarpaceae. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang mendominasi tersebut diantaranya adalah meranti kuning marsiput (Shorea xanthophylla), meranti kuning markunyit (Shorea asamica), markabang (Shorea johorensis). Sedangkan jenis diluar famili dipterocarpaceae yang mendominasi adalah medang (Litsea spp.), benitan (Polyalthia laterifolia). Jenis-jenis dominan di atas merupakan jenis yang lebih adaptif terhadap lingkungan daripada jenis lainnya.

Keanekaragaman jenis didasarkan pada parameter indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) parameter tersebut dipengaruhi oleh indeks kekayaan margallef (R1) dan dan indeks kemerataan (E). Pada areal pengamatan pada umumnya memiliki tingkat kekayaan yang cukup tinggi didasarkan pada besarnya nilai indeks sebagian besar diatas 5,0 hanya vegetasi tingkat tiang pada hutan primer kelerengan 0-15% dan 25-40% yang nilainya berada dibawah 5,00 dimana nilainya masing-masing yaitu 2,85 dan 3,73. Sedangkanbesarnya nilai Indeks Kemerataan (E) sebagian besar menunjukkan angka diatas 0,6 hanya vegetasi tingkatan tiang di hutan primer kelerengan 0-15% dan 15-25% yang nilainya dibawah 0,6 yaitu 0,59 dan 0,56. Keanekaragaman jenis yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Keragaman Shanon-Wiener (H’) memiliki nilai yang cukup tinggi lebih dari 2,00, vegetasi tingkat tiang kelerengan 15-25% di hutan primer yang memiliki nilai kurang dari 2,00 yaitu sebesar 1,67. Kecilnya niali pada ketiga parameter tersebut dikarenakan adanya jenis yang dominasinya cukup tinggi yaitu jenis medang (Litsea sp.).

Indeks kesamaan umumnya berada dibawah 75%. Indeks Kesamaan yang paling tinggi dicapai oleh tingkat pancang pada kelerengan 15 – 25% dimana besarnya IS mencapai 58,3%. Sedangkan nilai IS paling kecil didapat pada vegetasi tingkat tiang di kelerangan 0-15% dengan nilai IS hanya 17,4%.

Keterbukaan lahan akibat penebangan yang paling besar terdapat pada plot di kelerengan 25-40% dimana berdasarkan pengukuran jumlahnya mencapai 8581,945 m2. Keterbukaan lahan ini disebabkan oleh penebangan 20 pohon produksi dan 31 pohon dengan diameter >20 cm untuk keperluan pembuatan jalur tanam. Sedangkan keterbukaan akibat penyaradan sebesar 1810,1 m2 sehingga total keterbukaan lahan seluas 10.392,045 atau 34,64% dari total luas pot dikelerengan tersebut.

Kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon paling besar dialami oleh penebangan pohon markabang (diameter 83 cm) yang menyebabkan kerusakan pada plot contoh 30,38%. Sedangkan pada pengukuran kerusakan akibat kegiatan pemanenan kerusakan tegakan tegakan paling besr terjadi pada plot kelerengan 27,53% dengan bentuk kerusakan terbesar berupa batang patah/roboh sebesar 14,61%.

(4)

Berdasarkan hasil analisa laboratorium pH tanah pada termasuk kategori tanah masam untuk hutan bekas tebangan dengan pH 4,5 untuk tanah di kedalaman 0-20 cm sedangkan tanah pada kedalaman 20-40 cm 4,7. Untuk hutan primer tanahnya masuk ke kategori sangat masam dengan pH 4,1-4,4.

Dalam penetapan status kesuburan tanah untuk masing-masing lokasi baik untuk hutan primer maupun hutan areal bekas tebangan menunjukkan tingkat kesuburan yang rendah hal ini diakibatkan karena bahan organik, kandungan C-organik, P2O5, K2O5 dan KB-nya menunjukkan nilai yang rendah. Hanya KTK saja yang menunjukkan tingkat yang sedang. Hal ini menyebabkan tingkat kesuburan kedua lokasi ini menjadi rendah.

(5)

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS

TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG

PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh:

BENY BUDIANSYAH

E14201051

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul: : Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Di areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah.

Nama : Beny Budiansyah Nomor Pokok : E14201051

Menyetujui, Dosen Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan MS) NIP. 130 536 674

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.) NIP. 131 430 799

(7)

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN AREAL BEKAS

TEBANGAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG

PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Oleh:

BENY BUDIANSYAH

E14201051

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 11 Februari 1983, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Omas dan Iis Aisyah. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1988 di TK Aisiyah 1. Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar pada tahun 1989 di SDN Kiansantang Garut dan menyelesaikannya pada tahun 1995. Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis ditempuh di SMPN 1 Garut dari tahun 1995 sampai tahun 1998. Lalu melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat menengah di SMUN 1 Tarogong Garut dari tahun 1998 sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Program Studi Budidaya Hutan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Bidang minat yang dipilih pada saat perkuliahan adalah bidang Ekologi Hutan.

Selama masa perkuliahan penulis aktif di organisasi intra kampus yaitu FMSC periode kepengurusan dari tahun 2002-2004. Penulis pernah aktif sebagai Asisten Praktikum mata kuliah Ekologi hutan pada tahun 2005-2006. Pada tahun 2003 penulis melaksanakan magang di KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Penulis mengikuti kegiatan praktek pada tahun 2004 yang meliputi Praktek Pengenalan Hutan (PUK) di Baturaden-Cilacap, KPH Banyumas Timur dan KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Getas KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Tahun 2005 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan (PKL) di IUPHHK PT. Wirakarya Sakti, Propinsi Jambi.

(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian yang dilakukan penulis mengambil judul ”Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah”.

Penelitian dan penulisan karya ilmiah yang penulis lakukan tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak oleh karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua saya tercinta Bapak Omas dan Ibu Iis Aisyah atas dukungan moril materil, doa serta pengorbanan yang diberikan, serta kedua adik Roby Iskandar dan Boby Nurul Hakim dengan segala kasih sayang dan dan pengertiannya.

2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan arahannya, Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc selaku penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan, Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc selaku penguji dari Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.

3. Bapak Suparto dan Agus Prasojo yang telah mengijinkan penulis untuk melaksanakan penelitian di PT. Erna Djuliawati

4. Bapak Ir. Suparman, Bpk. Nandang, Bpk. Feisol, Bpk. Sabarudin, Mas Filo dan semua karyawan PT. Erna Djuliawati yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

5. Konservasi Team (Mas Kamto, Bang Pius, Zaenal, Tajudin, Diono dan Leman) yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dilapangan. 6. Keluarga Besar Budidaya Hutan ’38 atas tawa, ceria dan kepeduliannya

(10)

7. Teman-teman laboratorium Ekologi: Danu, Tezar, Dika, Beri, Fiki, Dania, Eko, Weli, Tuti.

8. Fifi Isdianti atas waktunya untuk menemani dan berbagi.... terimakasih. 9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih banyak terdapat kekurangan karena semua keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dimasa yang akan datang

Bogor, Juni 2006

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

3. Penyebaran Hutan Tropika Indonesia ... 5

B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan ... 6

C. Stratifikasi ... 6

D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ... 8

E. Pemanenan Kayu ... 10

F. Dampak dari Kegiatan Pemanenan Kayu ... 10

1. Pemadatan Tanah ... 10

2. Erosi dan Sedimentasi ... 11

3. Keterbukaan Lahan ... 12

4. Kerusakan Tegakan Tinggal ... 13

G. Analisis Tanah ... 14

1. Sifat Fisik Tanah ... 14

2. Sifat Kimia dan Unsur-unsur Hara Esensial ... 15

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 19

A. Letak dan Luas ... 19

B. Topografi dan Kelerengan ... 19

C. Geologi dan Tanah ... 20

D. Hidrologi ... 21

E. Iklim ... 21

F. Penutupan Lahan ... 22

G. Flora dan Fauna ... 23

IV. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

B. Bahan dan Alat ... 24

C. Metode Pengambilan Data ... 24

1. Analisa Vegetasi ... 24

(12)

Pemanenan Kayu ... 27

4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ... 28

5. Starifikasi Tajuk ... 28

6. Pengambilan Contoh Tanah ... 29

D. Analisis Data ... 29

1. Analisis Vegetasi ... 29

2. Analisa Data Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon ... 32

3. Analisa Data Kerusakan tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan kayu ... 32

4. Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan ... 32

5. Pengukuran Sifat Fisik Tanah ... 33

6. Pengukuran Sifat Kimia Tanah ... 33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Komposisi Jenis ... 35

B. Dominasi Jenis ... 39

C. Keanekaragaman Jenis ... 45

D. Kesamaan antara Dua Komunitas (Indeks Similarity/IS) ... 49

E. Stratifikasi Tajuk ... 50

F. Keterbukaan Lahan ... 51

G. Kerusakan Tegakan Tinggal ... 53

1. Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon ... 53

2. Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan ... 55

H. Sifat Fisik Tanah ... 57

I. Sifat Kimia Tanah ... 58

1. pH Tanah ... 58

2. Analisis Unsur Hara Tanah ... 58

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(13)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Jenis Dan Unsur Hara yang diserap Tanaman Dari Sistem Tanah ... 17

2. Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 18

3. Pembagian Keadaan Wilayah Kerja PT Erna Djuliawati Berdasarkan Tingkat Kelerengan ... 20

4. Formasi Geologi Areal Kerja PT. Erna Djuliawati ... 20

5. Morpometri Sungai Di Areal PT. Erna Djuliawati ... 21

6. Penetapan Status kesuburan tanah ... 34

7. Jumlah Jenis yang Ditemukan di Hutam Primer dan Hutan Bekas Tebangan pada Berbagai Kelerengan ... 36

8. Komposisi Permudaan Jenis Komersial di Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan Dilihat dari Penyebaran (Frekuensi) dan Kerapatannya (N/Ha) ... 36

9. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada Masing-masing Lokasi Pengamatan ... 41

10. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis Komersial ditebang (KD) Komersial Tidak Ditebang dan Jenis Lain (JL) pada Berbagai Kelerengan ... 44

11. Indeks Kekayaan Margallef (R1) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan ... 45

12. Indeks Kemerataan Jenis (E) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan ... 46

13. Nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) Tingkat Pohon dan Permudaannya pada Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan... 47

14. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) ... 49

15. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan ... 52

16. Pengukuran Kerusakan Tegakan akibat Penebangan Satu Pohon ... 54

17. Persentase Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Berdasarkan Tingkat Kerusakannya ... 55

(14)

19. Pengukuran Sifat Fisik Tanah pada Hutan Bekas Tebangan ... 57

20. pH tanah ... 58

21. Hasil Analisis Kimia dalam Penetapan Kesuburan Tanah ... 60

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman 1. Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih

Tanam Indonesia Intensif (TPTII) ... 9 2. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi ... 26 3. Plot Pengamatan Stratifikasi Tajuk ... 29 4. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Areal

Pengamatan ... 37 5. Kerapatan Pohon pada Masing-masing Lokasi Pengamatan ... 38 6. Kerapatan Pohon Komersial pada Tiap Kelerengan ... 39 7. Perbandingan Indeks Keragaman Shannon-Wiener (H’) pada tiap

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Nama Jenis Dalam Plot Pengamatan ... 69

2. Daftar Nama Jenis Kayu Komersial Dalam Cruising PT. Erna Djuliawati ... 71

3. Peta Lokasi Pengamatan ... 72

4. Peta Tanah di Areal PT. Erna Djuliawati... 75

5. Rekapitulasi INP Pada Setiap Areal Pengamatan ... 76

6. Gambar Profil Arsitektur Hutan ... 83

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Indonesia terletak di kawasan tropis, dengan cahaya matahari dan curah hujan tinggi merata sepanjang tahun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya keanekaragaman hayati terutama yang berada dikawasan hutan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal hutan hujan tropika terluas di dunia. Oleh karena itu hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat berperan tak hanya bagi segi perekonomian penduduknya tetapi juga bagi seluruh aspek kehidupan.

Untuk mendapatkan hasil hutan yang lestari pemerintah terutama Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan dalam kegiatan pengusahaan hutan yang harus dilakukan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya sistem silvikultur dalam untuk kegiatan pembalakan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1998), Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, permudaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Beberapa Sistem Silvikultur yang sudah diterapkan di Indonesia antara lain Tebang Habis Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

(18)

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati. Dengan demikian penelitian ini dapat memberikan informasi sejauh mana keberhasilan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif ini dapat dilaksanakan dalam pengelolaan hutan hujan tropika dataran rendah.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah :

1. Mempelajari pelaksanaan kegiatan Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati. 2. Mempelajari dampak penebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Hujan Tropika

1. Batasan

Hutan ialah suatu kelompok pohon-pohonan yang cukup luas dan cukup rapat, sehingga dapat menciptakan iklim mikro (micro-climate) sendiri (Darjadi, Loekito dan R. Hardjono, 1980). Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1989) hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan.

Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di sekitar wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar 2000 – 4000 mm setahunnya. Suhunya tinggi (sekitar 25 – 26 oC) dan dengan kelembaban rata-rata sekitar 80 %. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata 30 meter (Ewusie 1980).

Hutan hujan merupakan suatu komunitas yang sangat kompleks dengan ciri yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya; cahaya kurang kelembaban yang lebih tinggi dengan suhu yang rendah (Whitmore, 1986).

Hutan hujan tropika termasuk merupakan hutan yang selalu hijau (evergreen forest) merupakan tipe alami dari vegetasi yang terbentuk dari kondisi lingkungan yang panas dan lembab khas daerah tropis yang merupakan karunia bagi pertumbuhan tanaman di bumi. Ada dua hal utama kondisi lingkungan yang sangat menunjang terhadap kehidupan yaitu sinar matahari dan air yang berlimpah. Suhu dan kelembaban yang tinggi dan konstan, curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, penyinaran matahari yang lama sepanjang hari di daerah ekuator bersama-sama menciptakan kondisi optimal untuk pertumbuhan tanaman yang maksimum (Mac Kinnon et al,19 ).

(20)

1. Iklim selalu basah

2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah

3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dml) dan pada tinggi (s/d 4000 m dml)

4. Dapat dibedakan menjadi 3 zone menurut ketinggiannya:

• Hutan hujan bawah 2 – 1000 m dml

• Hutan hujan tengah 1000 – 3000 m dml

• Hutan hujan atas 3000 – 4000 m dml

5. - Hutan hujan bawah, jenis kayu yang penting antara lain: dari suku Dipterocarpacea antara lain: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Genus-genus lain antara lain: Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompassia, Octomeles. - Hutan hujan tengah, jenis kayu yang umum terdiri dari suku-suku

Lauraceae, Fagaceae (Quercus), Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain.

- Hutan hujan atas, jenis kayu utama: Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain.

6. Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian.

2. Komponen Penyusun

Berdasarkan komponen penyusunnya hutan hujan tropika meliputi (Ewusie, 1980) :

1. Komponen abiotik yang terdiri dari

a. Suhu. Iklim hutan hujan tropika ditandai oleh suhu yang tinggi dan sangat rata. Rataan suhu tahunan berkisar antara 20 0C dan 28 0C dengan suhu terendah pada musim hujan dan suhu tertinggi pada musim kering. Setiap naik 100 m di pegunungan, rataan suhu itu berkurang 0.4 – 0.7 0C.

(21)

c. Kelembaban atmosfer. Kelembaban hutan hujan tropika rata-rata sekitar 80%. Pada tumbuhan teduhan lamanya kelembaban maksimum bertambah dari sekitar 14 jam selam musim kering menjadi 18 jam pada musim hujan.

d. Angin. Di wilayah tropika kecepatan angin biasanya lebih rendah dan angin topan tidak begitu sering. Rataan kecepatan angin tahunan di daerah hutan hujan pada umumnya kurang dari 5 km/jam dan jarang melampaui 12 km/jam.

e. Cahaya. Meskipun jumlah sinar matahari harian tidak pernah kurang dari 10 jam dimanapun diwilayah tropika, tetapi jumlah sinar matahari cerah sesungguhnya selalu kurang dari jumlah tersebut diatas, karena derajat keberawanan yang tinggi.

f. Karbondioksida. Karbondioksida dianggap penting dari segi ekologi karena bersama-sama dengan cahaya merupakan faktor pembatas bagi fotosintesis dan perkembangan tumbuhan.

2. Komponen biotik. Komponen dasar hutan hujan tropika adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasi.

3. Penyebaran Hutan Hujan Tropika di Indonesia

Soerianegara dan Indrawan (1988) membagi formasi hutan Indonesia ke dalam 3 zone vegetasi, yaitu:

a) Zone barat, yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia, meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan dengan jenis-jenis kayu yang dominan dari Suku Dipterocarpaceae.

b) Zone timur, berada di bawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Jenis dominan adalah dari suku Araucariaceae dan Myrtaceae.

(22)

Selanjutnya dikemukakan bahwa penyebaran hutan hujan tropika di Indonesia terdapat terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, serta Irian.

B. Dinamika Masyarakat Tumbuhan

Ewusie (1990) menyatakan bahwa suksesi merupakan hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berada dalam daerah tersebut pada suatu waktu tertentu mengubah lingkungannnya, yang terdiri dari tanah, tumbuhan dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian rupa sehingga membuatnya lebih cocok untuk spesies yang lain daripada bagi tumbuhan itu sendiri.

Soerianegara dan Indrawan (1988) masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, dan penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi. Proses ini disebut suksesi atau sere. Selama suksesi berlangsung hingga tercapai stabilisasi atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuh-tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Pada masyarakat yang telah stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon yang tua tumbang dan mati, timbullah anakan-anakan pohon atau pohon-pohon yang selama ini hidup tertekan demikian, setiap ada perubahan, akan ada mekanisme atau proses yang yang mengembalikan pada keadaan kesetimbangan.

C. Stratifikasi

Didalam masyarakat tumbuh-tumbuhan, seperti hutan, terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu jenis (species) atau berbagai jenis, jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama, misalnya dalam hal hara mineral tanah, air cahaya dan ruang.

(23)

dengan jarak teratur secara tak-sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan menampilkan tiga lapisan pohon yaitu lapisan paling atas (tingkat-A) terdiri dari pepohonan setinggi 30 – 45 m dengan tajuk yang diskontinyu, lapisan pepohonan kedua (tingkat-B) terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 18 – 27 m dengan tajuk yang kontinyu sehingga membentuk kanopi, lapisan pepohonan ketiga (tingkat-C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8 – 14 m cenderung membentuk lapisan yang rapat. Selain lapisan pepohonan juga terdapat semak belukar yang ketinggiannya kurang dari 10 m dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tetumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna (Ewusie 1990).

Soerianegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa didalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) dari pada yang lain. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, merupakan pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan.

Hutan hujan tropika terkenal karena stratifikasinya. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya tesusun secara vertikal dengan jarak teratur secara tak-sinambung (Ewusie , 1990).

Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan misalnya sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988) :

a. Stratum A : Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.

(24)

stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran)

c. Stratum C : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang.

Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu :

a. Stratum D : Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m.

b. Stratum E : Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover), tingginya 0-1 m.

D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

Dalam mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien Departemen Kehutanan akan mengembangkan sistem silvikultur intensif dalam pemanfaatan sumberdaya hutan Silvikultur adalah cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan (Departemen Kehutanan, 2004).

Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah (Departemen Kehutanan, 2005):

a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, mudah dan murah

b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 kali, kualitas produk lebih baik.

(25)

d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik. e. Kemampuan perusahaan meningkat.

Dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan Sistem Silvikultur Intensif ini hampir sama dengan pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) hanya saja perbedaannya terletak pada limit diameter pohon yang ditebang dan juga jalur tanam untuk permudaannya. Dalam Sistem Silvikultur TPTII yaitu pohon-pohon yang ditebang yaitu pohon-pohon komersil yang berdiameter 50 cm keatas, sedangkan Sistem Silvikultur TPTJ pohon yang ditebang adalah pohon komersil yang berdiameter 40 cm keatas. Pada sistem TPTJ jalur tanam selebar 10 m yang merupakan jalur bebas naungan harus bersih dari pohon-pohon yang menaungi dan pada jarak 1,5 m masing-masing dari kiri kanan sumbu jalur tanam harus lebih bersih dari semak belukar (jalur bersih selebar 3 m), dan pada jalur tanam tidak boleh dilewati alat berat, kecuali pada pinggir jalur sebelum ada tanaman. Jalur bersih sama sekali tidak boleh dilewati angkutan kayu. Dalam Sistem Silvikultur TPTII jalur tanam hanya berupa jalur bebas naungan selebar 3 m dimana di tengah jalur tanam tersebut terdapat sumbu tanam untuk anakan semai permudaan seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Jalur tanam

Gambar 1. Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)

Jarak antar titik tanam 2,5 m

2,5 m

17 m Jalur kotor

3 m

(26)

E. Pemanenan Kayu

Pemanenan kayu adalah serangkaian kagiatan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan dengan biaya yang ekonomis dan kerusakan lingkungan yang minimum (Budiaman, 2003). Sedangkan menurut Suparto (1979) dalam Kurniawan (2003) pemanenan hasil hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan dan kebudayaan masyarakat.

F. Dampak dari Kegiatan Pemanenan Kayu

Untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat pembalakan perlu adanya perencanaan yang matang. Dalam kegiatan pembalakan di Indonesia dikenal sebutan RIL (Reduced Impact Logging) atau RITH (Reduce Impact Timber Harvesting) untuk mengurangi kerusakan terhadap lingkungan. Menurut Elias (2002), RIL (Reduced Impact Logging) atau RITH (Reduce Impact Timber Harvesting) adalah suatu teknik pemanenan kayu yang direncanakan secara intensif, dalam pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta diawasi secara intensif untuk meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal dan tanah. Dari beberapa rangkaian kegiatan pemanenan hasil hutan kayu kegiatan penebangan dan kegiatan penyaradanlah yang paling menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Beberapa gangguan tersebut diantaranya adalah :

1. Pemadatan Tanah

(27)

air dan zat hara. Untuk pertumbuhan tanaman diperlukan tanah yang bertekstur pertengahan (Hamzah, 1983 dalam Matarangan, 1992).

Besarnya tingkat pemadatan tanah akibat pemanenan kayu dapat diduga dari hasil pengukuran kerapatan limbaknya. Hovland et al. (1983) dalam Matarangan (1992) membedakan kelas pemadatan tanah sebagai berikut:

a. Tanah longgar (loose soils) dengan kerapatan limbak tanah 0,9 – 1,3 g/cm3.

b. Tanah normal (normal soils) dengan kerapatan limbak tanah 1,3 – 1,5 g/cm3.

c. Tanah padat (compact soils) dengan kerapatan limbak tanah 1,5 – 1,8 g/cm3.

Terjadinya kepadatan tanah akibat kegiatan pemanenan terutama terjadi pada kegiatan penebangan dan penyaradan. Pada kegiatan penyaradan yang menggunakan traktor berban ulat menunjukkan terjadinya kenaikkan pemadatan tanah yang ditunjukkan oleh meningkatnya kerapatan limbak tanah dengan semakin tingginya intensitas penyaradan. Pada kedalaman 0 – 5 cm perubahan tingkat kepadatan lebih besar dibandingkan perubahan kepadatan tanah yang terjadi pada kedalaman 5 – 10 cm dan 10 – 15 cm (Matangaran, 1992).

Kegiatan pemanenan kayu yang melibatkan penggunaan traktor dapat mengubah berbagai penampilan fisik tanah hutan tanamannya, khususnya di bekas jalan saradnya. Watak fisik tanah yang paling mudah mengalami perubahan adalah kepadatannya. Pemanenan kayu cenderung memadatkan tanah yang akan memberikan dampak berantai pada watak tanah lainnya, misalnya peningkatan nilai bobot isi dan penurunan ukuran pori, kesarangan, infiltrasi, dan perembihannya. Intensitas perubahan tersebut antara lain bergantung pada ciri-ciri tanah lainnya dan intensitas perlintasan alat beratnya.

2. Erosi dan Sedimentasi

(28)

ketempat lain. Didaerah beriklim basah erosi oleh airlah yang penting, sedangkan oleh angin tidak berarti. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arsyad, 1989). Sedangkan menurut Sarief (1985)erosi tanah adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik yang disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi pertanian dan kualitas lingkungan hidup.

Intensitas hujan yang tinggi maka setiap penggunaan lahan tanpa memperhatikan efektifitas penutupan tanah atau bentuk pengelolaan lahan lainnya akan mengundang bahaya erosi (Poerwowidodo, 1986)

Menurut El-Swaify dan Bangler (1982) dalam Poerwowidodo (1986), karakteristik iklim khususnya hujan saja tidaklah cukup untuk menilai bahaya erosi total, oleh karena itu erosi tanah ini akan tergantung pada faktor lain seperti: watak tanah, kedudukan topografi, penutupan tetumbuhan dan faktor-faktor pengelolaan.

3. Keterbukaan Lahan

Keterbukaan areal hutan disebabkan oleh dua hal yaitu akibat penebangan adalah luasan wilayah yang terbuka akibat hempasan pohon roboh dan keterbukaan areal akibat penyaradan adalah luasan wilayah yang terbuka akibat pembuatan jalan ongkak (jalan sarad) (Kurniawan, 2002).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triyana (1995) di HPH PT Industries et Forests Asiatiques Jambi, kegiatan pemanenan kayu akan mengakibatkan terbukanya areal hutan. Besarnya keterbukaan lahan akibat penebangan adalah 5,25% yang disebabkan dari 13 batang pohon yang ditebang, sedangkan keterbukaan lahan akibat penyaradan sebesar 30,98% dari seluruh areal penebangan.

(29)

dapat dijelaskan oleh perbedaan kondisi lingkungan dan gangguan oleh flora dan fauna tanah dan juga penebangan. Kondisi iklim mikro yang terbuka ini akan menyebabkan lapisan humus dan 5 cm lapisan tanah teratas menjadi mengering. Kondisi ini sedikit menguntungkan bagi flora dan fauna tanah dalam proses dekomposisi. Dalam gap, kondisi iklim mikro selama siang hari cukup untuk menguapkan semua air yang di intersepsi oleh lapisan humus pada waktu satu atau dua jam setelah hujan. Dalam hutan yang tertutup, air hujan yang diserap oleh serasah tidak cukup dalam waktu sehari untuk mengevaporasinya. Kondisi iklim yang terdapat gap seperti ini akan meningkatkan laju dekomposisi unsur hara tanah (van Dam, 2001).

4. Kerusakan Tegakan Tinggal

Kerusakan karena pembalakan terhadap pohon-pohon tinggal, pertama disebabkan oleh kegiatan penebangan, kemudian dilanjutkan oleh kegiatan penyaradan atau pengeluaran kayu. Kerusakan ringan mungkin hanya akan menyebabkan cacat kecil pada kayu. Tetapi luka yang besar akan menjadi lubang masuknya jamur yang menyebabkan kayu itu tidak dapat lagi digunakan pada rotasi tebang berikutnya (Sutisna, 2001).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukendar (1999) kerusakan yang paling banyak diderita akibat penebangan dan penyaradan adalah pohon roboh sebanyak 75 pohon atau sebesar 29,64% yang terdiri dari akibat penebangan 24 pohon dan akibat penyaradan 25 pohon.

Berdasarkan sistem TPTI, pohon digolongkan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan, sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1993) :

1) Tajuk pohon rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan besar patah.

2) Luka batang mencapai kayu berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m.

(30)

Menurut Wijayanti (1993) dalam Sukendar (1999) berdasarkan tipe kerusakan yang terjadi individu pohon, maka dapat ditetapkan sebagai tingkat kerusakan yang terjadi sebagai berikut :

1) Tingkat kerusakan berat : a. Patah batang

b. Pecah batang

c. Roboh, tumbang/ miring membentuk sudut <450 dengan tanah d. Rusak tajuk >50%

e. Luka batang/rusak kulit lebih dari setengah keliling pohon f. Rusak banir/akar lebih dari setengah banir

2) Tingkat kerusakan sedang a. Rusak tajuk : 30 – 50%

b. Luka batang/rusak kulit : ¼ - ½ banir

c. Rusak banir/akar : 1/3 – 1/2 banir/akar rusak atau terpotong d. Condong atau miring : membentuk sudut >450 dengan tanah 3) Tingkat kerusakan ringan

a. Rusak tajuk <30%

b. Luka batang atau kulit rusak <1/4 keliling pohon dan panjang luka <1,5m

c. Rusak banir/akar : <1/4 banir atau perakaran terpotong

Faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal adalah intensitas penebangan, teknik penebangan dan penentuan arah rebah, sebaran pohon tebangan (diameter lebih dari 40 cm) jenis komersial, tanaman perambat yang melilit dan sistem pemanenan (Kurniawan, 2002).

G. Analisis Tanah

1. Sifat Fisik Tanah

a. Tekstur Tanah

(31)

(Poerwowidodo, 2002). Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dari fraksi tanah halus (<2mm). b. Struktur Tanah

Menurut Harjowigeno (2003) struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lainnya. Sedangkan menurut Poerwowidodo (2002) Struktur tanah adalah istilah untuk menunjuk pada fenomena penyusun jarah-jarah primer tanah untuk membentuk paduan jarah tanah (jarah-jarah sekunder tanah).

c. Bobot Isi Tanah (Bulk Density)

Bobot isi tanah atau kerapatan lidak merupakan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk pori-pori tanah, yang dinyatakan dalam satuan g/cm3 atau g/cc.

2. Sifat Kimia dan Unsur-unsur Hara Esensial Tanah

a. Bahan Organik

Hardjowigeno (1995), menyatakan bahwa bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5 % saja tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar. Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap pertumbuhan tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara N,P,S, dan unsur mikro lainnya, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara dan sumber energi bagi mikroorganisme.

(32)

langsung dalam nutrisi tanaman, yang peranannya khususnya tidak dapat digantikan oleh hara lainnya (Arnon, 1940 dalam Poerwowidodo, 1993). b. Kapasitas Tukar Kation

Kapasitas Tukar Kation (KTK) suatu tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation. Nilai KTK sangat dipengaruhi oleh: 1) reaksi tanah, 2) tekstur atau jumlah liat, 3) Jenis mineral liat, 4) bahan organik, 5) pengapuran serta pemupukan (Direktorat Jederal Pendidikan Tinggi, 1991).

Sedangkan menurut Hardjowigeno Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah persatuan berat tanah (biasanya per 100 gr). Kapasitas tukar kation sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK yang tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi biasanya didominasi oleh kation basa sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah, sebaliknya jika tanah didominasi oleh kation asam dapat mengurangi kesuburan tanah.

Pengaruh bahan organik terhadap KTK tanah sangat nyata, bahan organik menghasilkan humus yang mempunyai KTK jauh lebih tinggi dari pada mineral liat. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka semakin tinggi pula KTK-nya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991).

c. Kejenuhan Basa

(33)

Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan perbandingan antara jumlah kation basa dengan jumlah semua kation. Kejenuhan basa sangat berkaitan erat dengan pH tanah dimana apabila pH rendah maka kejenuhan basa akan rendah sebaliknya jika pH tinggi maka kejenuhan basanya pun akan tinggi (Harjowigeno, 2003). Tanah dengan kejenuhan basa yang rendah biasanya didominasi oleh kation asam seperti Al3+ dan H+.

d. Unsur-unsur hara esensial

Unsur-unsur hara esensial adalah unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman, dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain, sehingga bila tidak terdapat alam jumlah yang cukup di dalam tanah, tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal (Hardjowigeno, 2003). Unsur-unsur hara esensial tersebut diantaranya adalah :

Unsur Hara Makro : C, H, O, N, S, P,K Ca, Mg Unsur Hara Mikro : Mn, Fe, B, Zn, Cu, Mo, Cl

Tabel 1. Jenis Dan Unsur Hara yang diserap Tanaman Dari Sistem Tanah (Poerwowidodo, 1992)

No Jenis Hara Tanaman Bentuk ion hara yang banyak di serap perakaran tanaman

1 Unsur Hara Makro

a. Nitrogen

(34)

cukup, seimbang dan sinambung, untuk menjamin pertumbuhan optimal dan produksi maksimal (Poerwowidodo, 1990). Beberapa unsur hara yang paling mempengaruhi tingkat kesuburan tanah diantaranya adalah bahan organik, N-total, P2O5, K2O, KTK dan KB.

Tabel.2. Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983)

Sifat Tanah Rendah Sedang Tinggi Bahan Organik

(%) <0,346 3,46 - 5,19 >5,19 C (%) 1,00 – 2,00 2.01 – 3,00 3,01 – 5,00 N (%) 0,10 – 0,20 0,21 – 0,50 0,51 – 0,75 C/N 5 – 10 11 – 15 16 – 25 P2O5 HCl

(mg/100 g) 10 – 20 21 – 40 41 – 60 K2O HCl 25%

(mg/100g) 10 – 20 21 - 40 41 – 60 KTK

(cmol(+)/Kg) 5 – 16 17 – 24 25 – 40 KB (%) 20 – 35 36 – 50 51 – 70

Masam Agak

Masam Netral

Agak

(35)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

IUPHHK PT. Erna Djuliawati mendapatkan hak pengusahaan hutan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 242/Kpts/IUPHHK/4/1979 pada tanggal 2 April 1979 dengan luas areal konsesi sebesar 185.000 Ha. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (SK. Pembaharuan atau Perpanjangan), yaitu SK. No. 15/Kpts-IV/1999 tanggal 18 Januari 1999, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dengan sistem tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) kepada PT. Erna Djuliawati dengan perubahan luasasan areal menjadi 184.206 Ha.

Secara geografis areal kerja PT. Erna Djuliawati terletak pada bentangan Lintang Selatan (LS) 00o52’30’’ sampai dengan 01o22’30’’, dan bentangan Bujur Timur (BT) 111o30’00’’ sampai dengan 112o07’30’’. Berdasarkan pembagian daerah aliran sungai terletak di Kelompok Hutan S. Salau - S. Seruyan. Secara Administrasi Pemangkuan Hutan, termasuk ke dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Seruyun Hulu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut administrasi pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, dan Katingan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a.Sebelah utara : PT. Sari Bumi Kusumah dan Hutan Lindung b.Sebelah barat : PT. Korindo Aria Bima Sari dan Hutan Lindung

c.Sebelah timur : PT. Sarmiento Parakanca Timber, PT. Korindo Aria Bima Sari dan S. Salau

d.Sebelah selatan : PT. Meranti Mustika dan PT. Berkat Cahaya Timber

B. Topografi dan Kelerangan

(36)

dengan kondisi topografi berkisar antara datar sampai dengan sangat curam. Secara umum pengelompokkan kelas lereng berdasarkan laporan pemotretan udara, penataan garis bentuk, pemetaan vegetasi dan pemeriksaan laporan areal kerja PT. Erna Djuliawati yang dilaksanakan oleh APHI/PT. Mapindo Parama dan yang telah memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal INTAG No. 038/97 pada bulan Nopember 1997. Hasil penafsiran kelas lereng sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pembagian Keadaan Wilayah Kerja PT Erna Djuliawati Berdasarkan Tingkat Kelerengan

Sumber : Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT. Erna djuliawati Skala 1 : 50.000 ( PT Mapindo Parama / APHI ), Laporan Pemotretan Udara, Pemetaan Garis Bentuk, Pemetaan Vegetasi dan Pemeriksaan Lapangan Areal Kerja PT. Erna Djuliawati(1997).

C. Geologi dan Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Tahun 1994, formasi geologi yang terdapat di areal kerja PT. Erna Djuliawati adalah batuan magmatit benua (94,05%) dan sedikit batuan alas kerak benua (5,95%). Formasi Geologi areal kerja PT. Erna Djuliawati dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Formasi Geologi Areal Kerja PT. Erna Djuliawati

Sumber: Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, 1994

Kelas Lereng Kemiringan (%) Topografi Luas

Ha %

Pzm Batuan Alas Kerak Benua

- Batu sabak, batu tanduk filit, kuarsit, sekis, magmatit, gunung api malih, amfibolih

10.960 5,95

Batuan Magmatit Benua

Kl.1 - Tonalit, granodolit, granit, diorit kuarsa, diorit dan gabro

156.575 85,00

Ku.2 - Lava, breksi, tufa dan aglomerat 16.671 9,05

(37)

Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Tahun 1993, areal kerja IUPHHK PT. Erna Djuliawati memiliki jenis tanah (pemberian nama jenis tanah berdasarkan SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980) antara lain adalah latosol (44%) dan podsolik merah kuning (56%).

D. Hidrologi

Areal PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu : DAS Salau + 4.922 ha, DAS Seruyan + 84.721 ha, DAS Kaleh + 8.836 ha, DAS Manjul + 74.655 ha, dan DAS Salau Hulu + 11.072 ha. Adapun sungai-sungai besar yang mengalir melalui kawasan UM adalah: S. Manjul, S. Seruyan dan S. Salau. Adapun kondisi morpometri DAS selengkapnya tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Morpometri Sungai Di Areal PT. Erna Djuliawati

Sumber : Pengukuran lapangan Tahun 2000 PT.Erna Djuliawati

E. Iklim

Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau Kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor Tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja UM PT. Erna Djuliawati menurut Klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayahnya termasuk tipe hujan A (0 - 14,3%) dan sedikit tipe hujan B (14,3 - 33,3%).

(38)

diperoleh angka curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.599 mm dengan rataan jumlah hari hujan 238 hari. Suhu udara rata-rata adalah 26,4oC dengan kisaran suhu bulanan antara 26,1 – 29, 7oC. Suhu udara yang tergolong rendah umumnya terjadi pada bulan Januari sampai dengan April dan suhu udara rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Kelembaban udara rata-rata bulanan adalah sebesar 85%, dengan kisaran antara 83% - 87%. Kelembaban udara terendah terjadi antara bulan Agustus sampai September dan tertinggi pada bulan Maret.

F. Penutupan Lahan

Input analisa dan identifikasi kondisi penutupan lahan atau vegetasi adalah hasil penafsiran dan pemeriksaan citra landsat oleh Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan No. 421/VII/Peta-1/2002 tanggal 19 November 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan citra landsat adalah sebagai berikut :

1. Areal berhutan (Virgin Forest) : 66.166 Ha (37,7%) 2. Areal bekas tebangan (LOA) : 74.872 Ha (40,7%) 3. Areal bukan hutan : 16.122 Ha (8,7%) 4. Tertutup awan : 31.056 Ha (16,9%)

Jumlah 184.206 Ha (100%)

Penafsiran pada areal yang tertutup awan (TA) dilakukan sendiri dengan metode analisis dan identifikasi perbandingan dengan peta hasil topografi dan cruising yang dilakukan oleh PT. Erna Djuliawati, peta citra landsat sebelumnya dan sumber peta kerja lainnya. Hasil identifikasi dihitung ulang secara planimetris dengan hasil sebagai berikut:

1. Area berhutan (Virgin Forest) : 9.936 Ha (32,0%) 2. Areal bekas tebangan (LOA) : 16.948 Ha (54,6%) 3. Areal bukan hutan : 4.172 Ha (13,4%)

Jumlah 31.056 Ha (100%)

(39)

3. Areal bukan hutan : 20.284 Ha (13,4%) Jumlah 184.206 Ha (100%)

G. Flora dan Fauna

Jenis-jenis pohon yang tergolong komersil yang dijumpai di lapangan antara lain adalah meranti putih (Shorea faquetiana), meranti kuning (Shorea platicarpa), meranti merah (Shorea leprosula), bengkirai (Shorea leavifolia), rengas (Gluta renghas), Mersawa (Anisoptera sp.), geronggang (Cratoxylon arborescens), kapur (Dryobalanops aromatica), dsb. Sedangkan untuk jenis-jenis lain yang bisa dimanfaatkan buahnya antara lain petai (Parkia speciosa), mangga hutan (Mangifera sp.), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), lansat hutan (Baccaurea sp.), dsb (PT. Erna, 1991).

(40)

IV. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan bulan April tahun 2005, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah dan Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor untuk analisis sifat kimia tanah.

B. Bahan dan Alat

Kegiatan penelitian ini dilakukan pada keadaan hutan:

1. Hutan yang sudah dilakukan penebangan dan baru dilakukan kegiatan pembuatan jalur tanam.

2. Hutan Primer sebagai pembanding.

Alat alat yang dgunakan dalam kegiatan penelitian adalah : 1. Peta kerja

2. Phiband atau pita diameter 3. Cristen meter

4. Kompas brunton 5. Clinometer

6. Tali rafia/tambang 7. Buku pengenal vegetasi

C. Metode Pengambilan Data

1. Analisa Vegetasi

(41)

0-15% (datar sampai dengan landai), kelerengan 15 – 25% (sedang) dan kelerengan 25 – 40% (curam).

Metode pengambilan data dilakukan untuk kegiatan analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar.2. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi ini adalah nama jenis, jumlah, diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan semai adalah nama jenis dan jumlahnya saja.

Pada masing-masing kelerengan yaitu 0-15%, 15-25% dan 25-4% dibuat tiga buah petak pengamatan dengan ukuran petak 100 x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh dan sub-sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut:

1.Tingkat pohon dengan ukuran petak 20 x 20 m sebelum penanaman dan setelah penanaman 17 x 20 m.

2. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 x 10 m 3. Tingkat pancang dengan ukuran petak 5 x 5 m 4. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 x 2 m

Untuk mengetahui mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan suksesi dipergunakan kriteria sebagai berikut :

1. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m.

2. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm.

(42)

100 m

103 m 17 m

Jalur tanam lebar 3 m

17 m

20

m

A B C D

Gambar 2. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi

Ket :

A = Sub petak intensif untuk tingkat semai (2m x 2m) B = Sub petak intensif untuk tingkat pancang (5m x 5m) C = Sub petak intensif untuk tingkat tiang (10m x 10m)

D = Sub petak intensif untuk tingkat pohon sebelum penebangan ukuran sub petak 20m x 20 m dan setelah penebangan ukuran sub petak 17m x 20m

2. Pengukuran Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu

pohon

Pengambilan data dilakukan pada hutan yang baru dilakukan penebangan. Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan cara membuat plot pengamatan berbentuk lingkaran yang berjari-jari sama

20 m

20

(43)

dengan tinggi pohon yang ditebang. Pohon yang ditebang yaitu yang berdiameter 50 cm keatas. Analisa kerusakan tegakan akibat penebangan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan penebangan satu pohon menyebabkan terjadinya kerusakan pada pohon non-target.

Data yang diperlukan didalam analisa kerusakan akibat penebangan adalah :

a. Jumlah pohon yang rusak dirinci menurut kelas diameter (10 – 19 cm, 20 cm keatas).

b. Bentuk kerusakan : patah, kulit batang terkelupas, tajuk rusak, perakaran/ banir rusak, roboh dan condong.

c. Persentasi kerusakan, dihitung berdasarkan antara jumlah pohon yang rusak dibagi dengan jumlah pohon sebelum dilakukan penebangan kayu dikurangi jumlah pohon yang ditebang.

3. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu

Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu meliputi kerusakan akibat kegiatan penebangan dan kerusakan akibat penyaradan. Dalam kegiatan ini diamati pohon-pohon yang hilang dat rusak akibat kegiatan penebangan maupun penyaradan. Kriteria pohon rusak menurut Wijayanti (1993) dalam Sukendar (1999) berdasarkan tipe kerusakan yang terjadi individu pohon, maka dapat ditetapkan sebagai tingkat kerusakan yang terjadi sebagai berikut :

4) Tingkat kerusakan berat : a. Patah batang

b. Pecah batang

c. Roboh, tumbang/ miring membentuk sudut <450 dengan tanah d. Rusak tajuk >50%

e. Luka batang/rusak kulit lebih dari setengah keliling pohon f. Rusak banir/akar lebih dari setengah banir

5) Tingkat kerusakan sedang e. Rusak tajuk : 30 – 50%

f. Luka batang/rusak kulit : ¼ - ½ banir

(44)

h. Condong atau miring : membentuk sudut >450 dengan tanah

Sedangkan berdasarkan populasi pohon dalam petak, tingkat kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai berikut (Departemen Kehutanan , 1993) :

• Tingkat kerusakan ringan <25%

• Tingkat kerusakan sedang 25 – 50%

• Tingkat kerusakan berat >50%

4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan

Analisa keterbukaan lahan bekas tebangan dilakukan pada keadaan hutan yang baru saja dilakukan pemanenan kayu. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kegiatan pemanenan kayu dapat menimbulkan keterbukaan lahan.

Keterbukaan lahan akibat pembukaan lahan dapat diketahui dengan cara mengukur jumlah areal-areal yang terbuka akibat penebangan pohon dalam luasan satu hektar. Cara pengambilan data keterbukaan lahan ini dengan cara pengamatan dan pengukuran luas areal yang terbuka atau gap akibat penebangan pada petak pengamatan ukuran 100 x 100m (1 ha).

Keterbukaan jalan sarad dapat ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad dalam satu hektar, kemudian ditentukan luas jalan sarad tersebut, yang merupakan keterbukaan lahan akibat jalan sarad. Keterbukaan lahan akibat penebangan ditentukan berdasarkan penjumlahan luas tajuk pohon yang ditebang dan luas tajuk pohon yang tumbang akibat penebangan. Selanjutnya perhitungan luas keterbukaan lahan per hektar dengan cara menjumlahkan keterbukaan lahan akibat penebangan dan penyaradan.

5. Stratifikasi Tajuk

(45)

10 m

10 m

Gambar. 3. Plot Pengamatan Stratifikasi Tajuk

Data yang diperlukan dari jalur (plot) pengamatan untuk penggambaran stratifikasi tajuk secara vertikal ini meliputi pengukuran diameter setinggi dada atau 20 cm diatas banir untuk pohon yang berbanir. Sedangkan untuk proyeksi horizontalnya (tampak atas) dibuat dengan menentukan koordinat pohon pada sumbu jalur dan memproyeksikan lebar tajuk yang diambil dari empat titik terluar dari tajuk dan ditentukan azimuthnya dari pangkal pohon yang diukur, yaitu dengan bantuan orang lain yang berdiri pada titik terluar tajuk tersebut. Kemiringan lereng hutan diukur dengan menggunakan kompas brunton untuk penggambaran tajuk secara vertikal.

6. Pengambilan contoh tanah

Pengambilan contoh tanah untuk sifat fisik tanah menggunakan metode tanah terusik dengan menggunakan ring tanah pada areal hutan bekas tebangan pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Parameter yang diamati dalam pengambilan sifat fisik tanah yaitu struktur tanah, bobot isi dan kadar air.

Pengambilan contoh tanah untuk sifat kimia tanah menggunakan metode tanah terusik pada setiap plot pengamatan baik di hutan primer maupun areal bekas tebangan, diambil contoh tanah secara zig-zag. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB.

D. Analisis Data

1. Analisis Vegetasi

a. Indeks Nilai Penting (INP)

(46)

Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR) Soerianegara dan Indrawan (1988)

Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas areal sampel

KR = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis

Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis Luas areal sampel

DR = Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis

Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

FR = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis

b.Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan. Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Kekayaan Shannon-Wiener :

n n i ni

H’ = -∑ [ ln ] i =1 N N

dimana : H = Indeks Keragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah Jenis ke-n

N = Total Jumlah Jenis

(47)

rendah, H’ = 1,5 – 3,5 menunjukkan keanekaragaman jenis sedang dan apabila H’> 3,5 keanekaragaman jenis tinggi. Besaran E<0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, E = 0,3 – 0,6 menunjukkan kemerataan tergolong sedang dan E > 0,6 kemerataan tergolong tinggi. c. Koefisien Kesamaan Komunitas

Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua tegakan yang dibandingkan dapat digunakan rumus sebagai berikut (Costing, 1956; Bray dan Curtis, 1957; Greigh-Smith, 1964 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988) :

C (IS) = kesamaan komunitas

W = Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah (≤) dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan

a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama

b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua

Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 – IS.

d.Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1)

R1 = e. Indeks Kemerataan Jenis

(48)

H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis

2. Analisa Data Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon

Kerusakan pohon akibat penebangan dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat penebangan dengan hasil pengurangan antara jumlah pohon sebelum penebangan dan jumlah pohon yang dipanen dalam satu petak contoh. Perhitungan persentase kerusakan pohon akibat penebangan dirinci menurut kelas diameternya.

3. Analisa Data Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan

Kayu

Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak/hilang akibat kegiatan pemanenan kayu (penebangan dan penyaradan) dengan jumlah pohon sebelum penebangan dikurangi jumlah pohon yang ditebang.

Ks = R = Jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan

kayu

P = Jumlah pohon sebelum penebangan n = Jumlah pohon yang ditebang

4. Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan

(49)

K =

Keterbukaan lahan per hektar dapat ditentukan dari hasil penjumlahan antara keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan dan keterbukaan lahan akibat kegiatan penyaradan.

5. Pengukuran Sifat Fisik Tanah

Pengukuran kepadatan tanah merupakan pengukuran berat isi tanah. Berat isi adalah berat suatu volume tanah dalam keadaan utuh (undisturbed), dinyatakan dalam g/cc (Lembaga Penelitian Tanah, 1979).

Penetapan berat isi tanah ditentukan dengan rumus: Berat isi tanah keadaan lapang (g/cc) = Pengukuran kandungan air tanah menggunakan rumus :

Kandungan air =

Dimana : a = Berat contoh tanah dalam tabung sebelum di oven b = Berat contoh tanah dalam tabung setelah di oven c = Berat tabung (ring tanah)

Vd= Volume tabung (bagian dalam) 6. Pengukuran Sifat Kimia Tanah

Pengukuran sifat kimia tanah adalah untuk melihat komponen-komponen unsur hara tanah, terutama unsur-unsur hara yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tanaman dan juga menentukan tingkat kesuburannya. Untuk kegiatan analisis tanah ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Dalam penentuan tingkat kesuburan tanah unsur-unsur hara beberapa unsur hara yang dijadikan parameter diantaranya adalah BO, N-total, P2O5 dan K2O5, KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan kejenuhan Basa (KB). K = Persentase keterbukaan lahan akibat penebangan/penyaradan

(50)

Dibawah ini adalah Tabel.6. yang digunakan untuk menetapkan tingkat kesuburan tanah (LPT, 1981 dalam Poerwowidodo, 2000 ).

Tabel.6. Penetapan Status kesuburan tanah No Sifat Kimia Tanah Kesuburan Status

Tanah BO, N-total, P2O5 dan K2O5 KTK KB

1 > 2 T tanpa R T T Tinggi 2 >2 T dengan R T T Sedang 3 > 2 S tanpa R T T Tinggi

4 >2 S dengan R T T Sedang 5 >2 R dengan T T T Tinggi

6 >2 R dengan S T T Sedang 7 > 2 T tanpa R T S Tinggi 8 >2 T dengan R T S Sedang

9 2S T S Sedang

10 Paduan lain T S Rendah 11 > 2 T tanpa R T R Sedang

12 > 2 T dengan R T R Sedang

13 Paduan lain T R Rendah 14 > 2 T tanpa R S T Sedang

15 > 2 T dengan R S T Sedang

16 Paduan lain S T Rendah 17 > 2 T tanpa R S S Sedang

18 Paduan lain S S Sedang

19 ST S R Sedang

20 Paduan lain S R Rendah 21 > 2 T tanpa R R T Sedang

22 > 2 T dengan R R T Rendah 23 >S tanpa R R T Sedang

24 Paduan lain R T Rendah 25 > 2 T tanpa R R S Sedang

(51)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan modifikasi dari sistem silvikultur yang sudah ada, Terutama sistem silvikultur tebang pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem Silvikultur tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif yang dilaksanakan di PT. Erna Djuliawati dilakukan pada areal bekas tebangan dimana merupakan areal bekas tebangan yang baru dikonversi dari hutan primer.

Diameter penebangan pohon produksi pada sistem silvikultur TPTII adalah pohon komersial dengan diameter >50 cm. Setelah dilakukan penebangan suatu areal yang ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan TPTII ini dilakukan pembuatan jalur tanam selebar tiga meter yang diperlukan untuk jalur tanam. Jarak antar tepi jalur tanam ini adalah 17 m yang merupakan jalur konservasi. Kegiatan pemanenan ini baik penebangan, penyaradan dan pembuatan jalur tanam tentu saja memberikan dampak pada lingkungan seperti tegakan tinggal, tanah dan juga iklim mikro yang ada di sekitarnya.

A. Komposisi Jenis

Hutan tropis dataran rendah Kalimantan merupakan kawasan yang didominasi oleh flora dari famili Dipterocarpaceae. Berdasarkan hasil inventarisasi jenis pada plot pengamatan di setiap kelerengan baik di hutan primer maupun pada areal hutan bekas tebangan menunjukkan komposisi jenis yang tinggi. Pada Tabel 7 dapat dilihat jumlah jenis yang ditemukan pada areal pengamatan baik di hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan.

(52)

Komposisi jenis yang menurun terjadi juga pada hutan kelerengan 25-40% pada semua tingkat vegetasi. Dimana pada tingkat semai jumlah jenis di hutan primer ditemukan sebanyak 47 jenis sedangkan di areal hutan bekas tebangan 35 jenis. Untuk vegetasi tingkat pancang di hutan primer ditemukan 56 jenis, di areal hutan bekas tebangan 36 jenis. Vegetasi tingkat tiang di hutan primer ditemukan 39 jenis dan di areal hutan bekas tebangan 28 jenis. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pohon pada kelerengan 25-40% ditemukan 58 jenis dan di areal hutan bekas tebangan 33 jenis. Penurunan jumlah jenis di suatu areal hutan yang dilakukan penebangan pada umumnya berbanding lurus dengan tingkat intensitas penebangan atau kerusakan tegakan.

Tabel 7. Jumlah Jenis yang ditemukan di Hutan Primer dan Areal Bekas Tebangan pada Berbagai Kelerengan

Tabel 8 menunjukkan komposisi permudaan jenis dilihat dari kerapatan (N/Ha) dan frekuensinya yang terdapat pada plot pengamatan dimasing-masing kelerengan. Dari tabel terlihat adanya penurunan jumlah kerapatan apabila dibandingkan antara hutan primer dengan areal hutan bekas tebangan. Hal ini diperkirakan dikarenakan adanya dampak dari kegiatan pemanenan yaitu penebangan dan penyaradan maupun penebangan untuk pembuatan jalur tanam.

Tabel 8. Komposisi Pohon dan Permudaan Jenis Komersial di Hutan Primer dan Areal Hutan Bekas Tebangan Dilihat dari Penyebaran (Frekuensi) dan Kerapatannya (N/Ha)

Keadaan 15-25 1,00 18800,00 0,99 1888,00 1,00 368,00 0,99 76,00 25-40 0,95 20200,00 0,99 2101,33 0,95 197,33 1,00 64,67 Areal

bekas tebangan

(53)

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa permudaan jenis komersial di areal hutan bekas tebangan umumnya memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan dengan hutan primer kecuali pada vegetasi tingkat tiang kelerengan 25-40%, dimana kerapatan pada hutan primer 197,33 batang/Ha sedangkan di areal hutan bekas tebangan 237,33 batang/Ha. Berdasarkan nilai frekuensi untuk permudaan jenis komersial pada tingkat semai, pancang dan tiang memiliki nilai diatas 75%. Frekuensi pohon komersial baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan sebagian besar menunjukkan nilai >75% tetapi kurang dari 100%, kecuali pada hutan primer kelerengan 25-40% frekuensinya 100%. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Kerapatan dan Frekuensi Jenis Komersial Ditebang Pada Areal Pengamatan

Menurut Wyatt-Smith (1963) permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan tingkat semai (1000 petak ukur milliacre per hektar), 60% tingkat pancang (240 petak ukur milliacre per hektar) dan 75% tingkat tiang (75 petak ukur milliacre per hektar) dari jenis komersial. Serta SK Dirjen PH No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 mengenai Pedoman TPTI dimana disana disebutkan permudaan alam dianggap cukup Kerapatan Jenis Komersial (N/Ha)

primer Kondisi hutan Areal bekas tebangan

K

primer Areal bekas tebangan

Keadaan Hutan

Kerapatan Jenis Komersial ditebang (N/Ha) Frekuensi Jenis Komersial ditebang (N/Ha)

(54)

apabila terdapat paling sedikit 400 batang tingkat semai atau 200 batang tingkat pancang atau 75 batang tingkat tiang.

Berdasarkan kriteria tersebut vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang memenuhi dari kriteria Wyatt-Smith dan pedoman TPTI. Hal ini berarti pada areal pengamatan baik pada hutan primer maupun areal hutan bekas tebangan memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Untuk vegetasi tingkat pohon kerapatan pohon komersial pada seluruh petak pengamatan >25 pohon/Ha berarti memenuhi kriteria pedoman TPTI. Sedangkan untuk frekuensi nilainya menunjukkan nilai di atas 75% tetapi kurang dari 100% kecuali pada kelerengan 25-40% frekuensinya 100%. Hal ini berarti frekuensi pohon komersial pada petak pengamatan tidak memenuhi kriteria Wyatt-Smith dimana vegetasi tingkat pohon jenis komersial tidak tersebar merata. Tetapi dari kerapatan (N/Ha) memenuhi syarat karena dengan berjalannya waktu kerapatan pohon/Ha akan meningkat dan memenuhi syarat (Indrawan, 2000).

Kerapatan pohon per hektar yang ditemukan di dalam plot pengamatan dapat dilihat dalam Gambar 5.

Kerapatan Pohon Hutan Primer (N/Ha)

0

20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100 100 - up

diameter

Kerapatan Pohon Hutan Areal Bekas Tebangan (N/Ha)

20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90

Diameter

Gambar 5. Kerapatan Pohon pada Masing-masing Lokasi Pengamatan

Gambar

Gambar 1.  Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam
Tabel 1.  Jenis Dan Unsur Hara yang diserap Tanaman Dari Sistem Tanah (Poerwowidodo, 1992)
Tabel.2. Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983)
Tabel 4. Formasi Geologi Areal Kerja PT. Erna Djuliawati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini menunjukan tidak adanya perubahan kualitas tanah pada areal yang diterapkan sistem silvikultur TPTJ dengan kualitas tanah pada buffer zone yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi vegetasi hutan produksi yang dikelola dengan sistem Silvikultur TPTJ dilihat dari struktur tegakan dan komposisi

[r]

Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang IUPHHK telah melakukan kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung persentase luas keterbukaan tanah hutan akibat kegiatan pemanenan kayu yang bersifat sementara (penebangan pohon,

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dapat meningkatkan riap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman meranti Shorea johorensis, Shorea leprosula dan Shorea parvifolia pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemulihan komposisi vegetasi hutan produksi yang dikelola dengan sistem Silvikultur TPTJ dilihat dari struktur tegakan dan

Model Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik tegakan (luas bidang dasar, jumlah pohon dan ukuran/diameter pohon) berpengaruh berbeda terhadap model